267511017 Analisa Rank Coal Dengan Uji Proximate Menggunakan Astm d388 Dan Astm d3173 d3174 d3175

ASTM D388 DAN ASTM D3173, D3174, D3175 DI LABORATORIUM COALBED METHANE PPPTMGB “LEMIGAS” LAPORAN KERJA PRAKTEK

Oleh Adam Faharseno 111201004 PROGRAM STUDI TEKNIK PERMINYAKAN AKADEMI MINYAK DAN GAS BALONGAN INDRAMAYU 2014

ABSTRAK

Batubara adalah mineral organik yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba yang mengendap di dalam tanah selama jutaan tahun. Endapan tersebut telah mengalami berbagai perubahan bentuk/komposisi sebagai akibat dari dari adanya proses fisika dan kimia yang berlangsung selama waktu pengendapannya. Faktor yang berpengaruh pada pembentukan batubara, yaitu : Posisi Geotektonik, Morfologi (Topografi), Iklim, Penurunan, Umur Geologi, Tumbuhan, Dekomposisi, Sejarah sesudah pengendapan, Struktur cekungan batubara, Metamorfosa organik.

Klasifikasi batubara secara umum yaitu : Peat, Lignite, Sub-Bituminous, Bituminous , Anthracite. Dalam penentuan jenis tingkatan batubara menurut klasifikasi ASTM ini didasarkan atas persentase karbon padat dan nilai kalori (dalam btu/lb), yang dihitung berdasarkan basis Dry Mineral Matter Free (dmmf). Klasifikasi ini dikembangkan di Amerika oleh Bureau of Mines yang akhirnya dikenal dengan Klasifikasi menurut ASTM (America Society for Testing and Material ).

Analisa Proximate Batubara digunakan untuk mengetahui karakteristik dan kualitas batubara dalam kaitannya dengan penggunaan batubara tersebut, yaitu untuk mengetahui jumlah relatif air lembab (Moisture Content), zat terbang (Volatile Matter), abu (Ash Content), dan karbon tertambat (Fixed Carbon) yang terkandung didalam batubara.

DAFTAR GRAFIK

Halaman Grafik 5.1 Analisa Data Pengukuran Moisture ................................................. 73 Grafik 5.2 Analisa Data Pengukuran Ash Content ............................................ 75 Grafik 5.3 Analisa Data Pengukuran Volatile Matter ....................................... 77 Grafik 5.4 Analisa Data Pengukuran Fixed Carbon ......................................... 79 Grafik 5.5 Hasil Keseluruhan Analisa Proximate ............................................. 80

DAFTAR LAMPIRAN

1. D388-Standard Classification of Coals by Rank

2. D3172-Standard Practice for Proximate Analysis of Coal and Coke

3. D3173-Standard Test Method for Moisture in the Analysis Sample of Coal and Coke

4. D3174-Standard Test Method for Ash in the Analysis Sample of Coal and Coke from Coal

5. D3175-Standard Test Method for Volatile Matter in the Analysis Sample of Coal and Coke

6. Pengolahan Data Moisture

7. Pengolahan Data Ash Content

8. Pengolahan Data Volatile Matter

9. Pengolahan Data Fixed Carbon

10. Convertion of Air Dry Basis to Dry Mineral Matter Free

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Batubara merupakan salah satu sumber energi alternatif dunia yang terbentuk jutaan tahun yang lalu jauh di dalam lapisan bumi. Karena perkembangan zaman masyarakat mulai mengelola batubara dengan baik sehingga dapat memenuhi kebutuhan listrik di dunia. Batubara sebagai energi alternatif mulai menjadi target utama selain bahan bakar minyak (BBM) karena batubara mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi dan dengan menaiknya harga BBM berdampak terhadap kebutuhan sebagai sumber energi bagi berbagai aktivitas perekonomian dunia. Dengan ini batubara yang akan digunakan sesuai dengan implementasi harus dipilih yang secara kualitas dan kuantitasnya baik, demi mendapatkan hal tersebut maka beberapa sample batubara harus melalui analisa-analisa tertentu salah satunya adalah analisa proximate dan untuk lebih dalam lagi maka penulis mengambil judul Kerja Praktek yaitu “Analisa Rank Coal Dengan Uji Proximate menggunakan ASTM D388 dan ASTM D3173, D3174, D31 75”

1.2 Tema

Kerja Praktek ini bertemakan bagaimana cara menganalisa rank coal dengan menguji proximate dan implementasinya di laboratorium.

1.3 Tujuan

Memenuhi salah satu persyaratan kampus untuk melaksanakan Kerja Praktek dan memahami tentang Analisa Rank Coal Dengan Uji Proximate menggunakan ASTM D388 dan ASTM D3173, D3174, D3175.

1.4 Manfaat

Kegiatan Kerja Praktek ini memberikan manfaat nyata bagi semua pihak yang terlibat didalamnya diantaranya adalah :

1.4.1 Manfaat Bagi Mahasiswa

 Dapat mengetahui cara menganalisa rank coal dengan uji proximate menggunakan ASTM yang telah diberikan.  Mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang lebih

aplikatif dalam bidang yang diminati.

1.4.2 Manfaat Bagi Akamigas Balongan

 Terbinanya suatu jaringan kerja sama dengan institusi tempat Kerja Praktek dalam upaya meningkatkan keterkaitan dan kesepadanan antara substansi akademik dengan kegiatan manajemen maupun operasional institusi tempat Kerja Praktek.

 Meningkatkan kapasitas dan kualitas pendidikan dengan melibatkan tenaga terampil dari lapangan dalam kegiatan Kerja Praktek

1.4.3 Manfaat Bagi Instituisi Tempat Kerja Praktek

 Dapat memanfaatkan tenaga mahasiswa untuk membantu

kegiatan operasional.  Dapat mengembangkan kemitraan dengan Akamigas

Balongan dan institusi lain yang terlibat dalam kegiatan Kerja Praktek, baik untuk kegiatan penelitian maupun pengembangan.

1.5 Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Sehubungan dengan jadwal praktek yang diadakan pada perkuliahan semester V, maka penulis melakukan Kerja Praktek yang telah dilaksanakan pada tanggal 1 Oktober samapai 1 November 2014 yang bertempat di PT Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (LEMIGAS).

BAB II DASAR TEORI

2.1 BATUBARA

Batubara adalah batuan sedimen yang mudah terbakar, terbentuk dari sisa tanaman dalam variasi tingkat pengawetan, diikat proses kompaksi dan terkubur dalam cekungan-cekungan pada kedalaman yang bervariasi. The International Handbook of Coal Petrography (1963).

Sedangkan Prijono berpendapat bahwa batubara adalah bahan bakar hidrokarbon tertambat yang terbentuk dari sisa tumbuh-tumbuhan yang terendapkan dalam lingkungan bebas oksigen serta terkena pengaruh temperatur dan tekanan yang berlangsung sangat lama. (Dalam Sunarijanto, dkk, 2008)

Menurut Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Min eral dan Batubara dijelaskan bahwa ”batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan.

Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa batubara adalah mineral organik yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba yang mengendap di dalam tanah selama jutaan tahun. Endapan tersebut telah mengalami berbagai perubahan bentuk/komposisi sebagai akibat dari dari adanya proses fisika dan kimia yang berlangsung selama waktu pengendapannya. Oleh karena itu, batubara termasuk dalam katagori bahan bakar fosil. Batubara merupakan salah satu sumber energi fosil alternatif yang cadangannya cukup besar di dunia. Bagi Indonesia, yang sumber energi minyak buminya sudah semakin menipis, pengusahaan penggalian batubara sudah merupakan suatu keniscayaan. Hampir setiap pulau besar di Indonesia memiliki cadangan batubara, walau dalam kuantitas dan kualitas yang berbeda.

2.1.1 Pembentukan Batubara

Batubara terbentuk dengan cara yang sangat kompleks dan memerlukan waktu yang lama (puluhan sampai ratusan juta tahun) Batubara terbentuk dengan cara yang sangat kompleks dan memerlukan waktu yang lama (puluhan sampai ratusan juta tahun)

A. Tempat Terbentuknya Batubara

Ada 2 macam teori yang menyatakan tempat terbentuknya batubara, yaitu :

1. Teori Insitu Teori ini menyatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara terbentuknya ditempat dimana tumbuh- tumbuhan asal itu berada. Dengan demikian setelah tumbuhan tersebut mati, belum mengalami proses transportasi, segera tertimbun oleh lapisan sedimen dan mengalami proses coalification . Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran luas dan merata, kualitasnya lebih baik karena kadar abunya relatif kecil, Dapat dijumpai pada lapangan batubara Muara Enim (SumSel).

2. Teori Drift Teori ini menyatakan bahwa bahan-bahan pembenrtuk lapisan batubara terbentuknya ditempat yang berbeda dengan tempat tumbuh-tumbuhan asal itu berada. Dengan demikian setelah tumbuhan tersebut mati, diangkut oleh media air dan berakumulasi disuatu tempat, segera tertimbun oleh lapisan sedimen dan mengalami proses coalification. Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran tidak luas tetapi dijumpai dibeberapa tempat, kualitasnya kurang baik karena banyak mengandung material pengotor yang terangkut bersama selama proses pengangkutan dari tempat asal tanaman ke tempat sedimentasi. Dapat dijumpai pada lapangan batubara delta Mahakam Purba, Kaltim.

B. Faktor yang Berpengaruh

Batubara terbentuk dengan cara yang kompleks dan memerlukan waktu yang lama (puluhan sampai ratusan juta tahun) dibawah pengaruh fisika, kimia ataupun keadaan geologi. Faktor yang berpengaruh pada pembentukan batubara, yaitu :

1. Posisi Geotektonik Merupakan suatu tempat yang keberadaannya dipengaruhi gaya-gaya tektonik lempeng. Posisi ini mempengaruhi iklim lokal dan morfologi cekungan pengendapan batubara maupun kecepatan penurunannya.

2. Morfologi (Topografi) Morfologi dari cekungan pada saat pembentukan gambut sangat penting karena menentukan penyebaran rawa-rawa dimana batubara tersebut terbentuk.

3. Iklim Kelembaban memegang peranan penting dalam pembentukan batubara dan merupakan faktor pengontrol pertumbuhan flora dan kondisi yang sesuai. Tergantung pada posisi geografi dan dipengaruhi oleh posisi geotektonik.

4. Penurunan Dipengaruhi oleh gaya-gaya tektonik. Jika penurunan dan pengendapan gambut seimbang akan dihasilkan endapan batubara tebal.

5. Umur Geologi Posisi geologi menentukan berkembangnya evolusi kehidupan berbagai macam tumbuhan. Dalam masa perkembangannya secara tidak langsung membahas sejarah pengendapan batubara dan metamorfosa organik. Makin tua umur batuan makin dalam penimbunan yang tejadi, sehingga terbentuk batubara yang bermutu tinggi. Tetapi pada batubara yang mempunyai umur geologi lebih tua selalu ada resiko 5. Umur Geologi Posisi geologi menentukan berkembangnya evolusi kehidupan berbagai macam tumbuhan. Dalam masa perkembangannya secara tidak langsung membahas sejarah pengendapan batubara dan metamorfosa organik. Makin tua umur batuan makin dalam penimbunan yang tejadi, sehingga terbentuk batubara yang bermutu tinggi. Tetapi pada batubara yang mempunyai umur geologi lebih tua selalu ada resiko

6. Tumbuhan Flora merupakan unsur utama pembentuk batubara. Pertumbuhan dari flora terakumulasi pada suatu lingkungan dan zona fisiografi dengan iklim dan topografi tertentu, merupakan faktor penentu terbentuknya berbagai type batubara.

7. Dekomposisi Dekomposisi flora merupakan bagian dari transformasi biokimia dari organik merupakan titik awal untuk seluruh alterasi. Dalam pertumbuhan gambut, sisa tumbuhan akan mengalami perubahan baik secara fisik maupun kimiawi. Setelah tumbuhan mati, proses degradasi biokimia lebih berperan. Proses pembusukan (decay) akan terjadi oleh kerja mikrobiologi (bakteri anaerob). Bakteri ini bekerja dalam suasana tanpa oksigen menghancurkan bagian yang lunak dari tumbuhan seperti celulosa, protoplasma dan pati.

Dari proses diatas terjadi perubahan dari kayu menjadi lignit dan batubara berbitumen. Dalam suasana kekurangan oksigen terjadi proses biokimia yang berakibat keluarnya air (H2O) dan sebagian unsur karbon akan hilang dalam bentuk karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO) dan methan (CH4). Akibat pelepasan unsur atau senyawa tersebut jumlah relatif unsur karbon akan bertambah. Kecepatan pembentukan gambut tergantung pada kecepatan perkembangan tumbuhan dan proses pembusukan. Bila tumbuhan tertutup oleh air dengan cepat, maka akan terhindar oleh proses pembusukan, tetapi terjadi proses disintegrasi atau penguraian oleh mikrobiologi. Bila tumbuhan yang telah mati terlalu lama berada di udara terbuka, maka kecepatan pembentukan gambut akan berkurang, Dari proses diatas terjadi perubahan dari kayu menjadi lignit dan batubara berbitumen. Dalam suasana kekurangan oksigen terjadi proses biokimia yang berakibat keluarnya air (H2O) dan sebagian unsur karbon akan hilang dalam bentuk karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO) dan methan (CH4). Akibat pelepasan unsur atau senyawa tersebut jumlah relatif unsur karbon akan bertambah. Kecepatan pembentukan gambut tergantung pada kecepatan perkembangan tumbuhan dan proses pembusukan. Bila tumbuhan tertutup oleh air dengan cepat, maka akan terhindar oleh proses pembusukan, tetapi terjadi proses disintegrasi atau penguraian oleh mikrobiologi. Bila tumbuhan yang telah mati terlalu lama berada di udara terbuka, maka kecepatan pembentukan gambut akan berkurang,

8. Sejarah sesudah pengendapan Sejarah cekungan batubara secara luas bergantung pada posisi geotektonik yang mempengaruhi perkembangan batubara dan cekungan batubara. Secara singkat terjadi proses geokimia dan metamorfosa organik setelah pengendapan gambut.

9. Struktur cekungan batubara Terbentuknya batubara pada cekungan batubara umumnya mengalami deformasi oleh gaya tektonik, yang akan menghasilkan lapisan batubara dengan bentuk tertentu.

10. Metamorfosa organik Tingkat kedua dalam pembentukan batubara adalah penimbunan atau penguburan oleh sedimen baru. Pada tingkat ini proses degradasi biokimia tidak berperan lagi tetapi lebih didominasi oleh proses dinamokimia. Proses ini menyebabkan terjadinya perubahan gambut menjadi batubara dalam berbagai mutu. Selama proses ini terjadi pengurangan air lembab, oksigen dan zat terbang (seperti CO2, CO, CH4 dan gas lainnya) serta bertambahnya prosentase karbon padat, belerang dan kandungan abu. Perubahan mutu batubara diakibatkkan oleh faktor tekanan dan waktu. Tekanan dapat disebabkan oleh lapisan sedimen penutup yang sangat tebal atau karena tektonik.

Gambar 2.1 Proses Pembetukan Batubara (Sumber : lehoboy.wordpress.com)

C. Reaksi Pembentukan Batubara

Unsur-unsur utamanya terdiri dari karbon, hydrogen dan oksigen. Batubara juga adalah batuan organik yang memiliki sifat- sifat fisika dan kimia yang kompleks yang dapat ditemui dalam berbagai bentuk. Analisis unsur memberikan rumus formula

empiris seperti C 137 H 97 O 9 NS untuk bituminus dan C 240 H 90 O 4 NS untuk antrasit. Reaksi pembentukan batubara dapat diperlihatkan sebagai berikut :

C 20 H 22 O 4 + 3CH 4 + 8H 2 O + 6CO 2 + CO Cellulosa

5(C 6 H 10 O 5 )

Lignit Gas Metana Air

2.1.2 Maceral Batubara

Batubara merupakan bahan bakar fosil berupa mineral organik yang dapat terbakar, yang terbentuk dari sisa tumbuhan purba yang mengendap yang selanjutnya berubah bentuk akibat proses fisika dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun .

Di dalam batubara terdapat unsur-unsur organik yang disebut Maceral . Maceral terbagi atas tiga grup, yaitu Maceral vitrinite, liptinite dan inertinite. Maceral vitrinite berasal dari bahan sel dinding ataupun serat-serat kayu dari suatu tumbuhan. Sedangkan liptinite berasal dari unsur-unsur yang mengandung lilin dan resin suatu Di dalam batubara terdapat unsur-unsur organik yang disebut Maceral . Maceral terbagi atas tiga grup, yaitu Maceral vitrinite, liptinite dan inertinite. Maceral vitrinite berasal dari bahan sel dinding ataupun serat-serat kayu dari suatu tumbuhan. Sedangkan liptinite berasal dari unsur-unsur yang mengandung lilin dan resin suatu

2.1.3 Coalification Dan Struktur Batubara

Coalbed Methane (CBM) merupakan hasil produk dari proses coalification selain air dan batubara itu sendiri. Coalification adalah proses pembentukan batubara (dan produk sampingan berupa air dan gas) dari akumulasi peat yang tertimbun di bawah permukaan pada temperatur tertentu dan waktu yang lama. Gas hasil produk dari proses coalification didominasi oleh metana dengan kandungan lebih dari 90% sisanya adalah karbon dioksida dan nitrogen. Proses coalification tersebut dibagi dalam beberapa coal rank sesuai tahapan prosesnya menjadi Lignite, Sub Bituminous, Bituminous, Anthracite dan Graphite. CBM akan dapat diproduksikan dengan baik pada coal rank Sub Bituminous – Bituminous karena memiliki komposisi dan kandungan air dan gas yang sesuai.

Gambar 2.2 Proses Pembentukan Batubara dan Tahapan

Coal Rank (Sumber : coalbedmethane.wordpress.com)

Struktur Batubara terdiri dari dua porositas, yaitu matriks dan cleats , berbeda dengan reservoir konvensional dimana hanya fracture sebagai porositas primer. Karakteristik matriks barubara memiliki permeabilitas rendah namun high gas storage dengan mekanisme adsorpsi, sedangkan cleats memiliki permeabilitas tinggi namun low gas storage . Pada cleats (fracture system) terdiri dari face cleats dan butt cleats , dimana face cleats memiliki karakteristik menerus sepanjang reservoir batubara yang dapat digunakan sebagai jalur utama pada aliran produksi CBM, sedangkan butt cleats memiliki karakteristik tidak menerus dan tegak lurus face cleats.

2.1.4 Klasifikasi Batubara

A. Klasifikasi Batubara Secara Umum

Secara umum batubara digolongkan menjadi lima tingkatan, yaitu:

1. Peat (Gambut) Peat ditandai dengan kondisi fisik berwarna kecoklatan dan struktur berpori, memiliki kadar air 75%, nilai kalori sangat rendah, kandungan sulfur sangat tinggi, dan kandungan abu sangat tinggi. Nilai kalori peat adalah 1.700-3.000 kcal/kg.

2. Lignite Lignite adalah batubara yang sangat lunak ditandai dengan kodisi fisik berwara hitam dan sangat rapuh, mengandung air 35% - 75% dari beratnya, memiliki kandungan karbon terendah 25% - 35%, dengnan nilai kalor/panas yang dihasilkan berkisaran antara 4.000 – 8.300 BTU per pon kandungan abu tinggi, dan kandungan sulfur tinggi. Nilai kalori lignite adalah 1.500-4.500 kcal/kg.

3. Sub-Bitminous/Bitumen Menengah Sub-Bituminous memiliki ciri-ciri tertentu yaitu warna yanag kehitam-hitaman dan sudah mengandung lilin. Struktur sudah terkompaksi, mengandung 35% - 45% karbon (C) 3. Sub-Bitminous/Bitumen Menengah Sub-Bituminous memiliki ciri-ciri tertentu yaitu warna yanag kehitam-hitaman dan sudah mengandung lilin. Struktur sudah terkompaksi, mengandung 35% - 45% karbon (C)

4. Bituminous Bituminous ditandai dengan warna hitam mengkilat, struktur kurang kompak, mengandung 68% - 86% unsur karbon (C), dengan kandungan air 8% - 10% dari beratnya, nilai kalor/panas yang dihasilkan antara 10.500 – 15.500 BTU per pon, kandungai abu sedikit, dan kandungan sulfur sedikit. Nilai kalori bituminous adalah 7.000-8.000 kcal/kg.

5. Anthracite Anthracite ditandai dengan warna hitam sangat mengkilat (luster), struktur kompak dengan kuat, mengandung antara 86% - 98% unsur karbon (C), nilai kalor/panas yang dihasilkan hampir 15.000 BTU per pon, dengan kandungan air kurang dari 8%, kandungan abu sangat sedikit, dan kandungan sulfur sangat sedikit. Nilai kalori anthacite lebih besar atau sama dengan 8.300 kcal/kg.

Semakin tinggi kualitas batubara, maka kadar karbon akan meningkat, sedangkan hidrogen dan oksigen akan berkurang. Batubara bermutu rendah, seperti lignite dan sub- bituminous , memiliki tingkat kelembaban (Moisture) yang tinggi dan kadar karbon yang rendah, sehingga energinya juga rendah. Semakin tinggi mutu batubara, umumnya akan semakin keras dan kompak, serta warnanya akan semakin hitam mengkilat. Selain itu, kelembabannya pun akan berkurang sedangkan kadar karbonnya akan meningkat, sehingga kandungan energinya juga semakin besar.

B. Klasifikasi Batubara Secara Metode ASTM D388 (American Standard Testing Material)

Dalam penentuan jenis tingkatan batubara menurut klasifikasi ASTM ini didasarkan atas persentase karbon padat dan nilai kalori (dalam btu/lb), yang dihitung berdasarkan basis Dry Mineral Matter Free (dmmf)

Klasifikasi ini dikembangkan di Amerika oleh Bureau of Mines yang akhirnya dikenal dengan Klasifikasi menurut ASTM (America Society for Testing and Material). Klasifikasi ini berdasarkan rank dari batubara itu atau berdasarkan derajat metamorphism nya atau perubahan selama proses coalifikasi (mulai dari lignit hingga antrasit). Untuk menentukan rank batubara diperlukan data Fixed Carbon (dmmf), Volatile Matter (dmmf) dan nilai kalor dalam Btu/lb dengan basis mmmf (moist, mmf). Cara pengklasifikasian :

Tabel 2.1 Klasifikasi Batubara Menurut ASTM D388

Volatile Fixed

Matter Calorific Value Limits BTU per

Carbon

pound (mmmf) Class

% dmmf Less Greater

Less Agglomerating

Than Character 1. Meta-anthracite

Non- Anthracite

3. Semianthracite C 86 92 8 14 1. Low Volatile

78 86 14 22 Bituminous Coal

2. Medium Volatile 69 78 22 31 Bituminous Coal Commonly

3. High Volatile A Agglomerating

Bituminous Bituminous Coal 4. High Volatile B

13000 14000 Bituminous Coal

5. High Volatile C 11500 13000 Bituminous Coal Agglomerating

10500 11500 1. Subbituminous A

Coal 2. Subbituminous B

Non- Sub-bitiminous

Agglomerating 3. Subbituminous C

Coal 1. Lignite A

8300 Lignite

2. Lignite B

(Sumber : ASTM, 1981, op cit Wood et al., 1983)

Tabel 2.2

Klasifikasi Batubara Menurut ASTM D388 Yang Telah Dimodifikasi

(Sumber : ASTM, 1981, op cit Wood et al., 1983)

2.1.5 Analisa Kualitas Batubara

Dalam pemanfaatannya, batubara harus diketahui terlebih dahulu kualitasnya. Hal ini dimaksudkan agar spesifikasi mesin atau peralatan yang memanfaatkan batubara sebagai bahan bakarnya sesuai dengan mutu batubara yang akan digunakan, sehingga mesin-mesin tersebut dapat berfungsi optimal dan tahan lama. Analisa yang dilakukan antara lain analisa proximate, analisa ultimate, mineral matters , physical & electrical properties, thermal properties, mechanical properties , spectroscopic properties, dan solvent

properties .

2.1.6 Parameter Kualitas Batubara

Secara umum, parameter kualitas batubara yang sering digunakan adalah:

1. Kalori (Calorivic Value atau CV, satuan cal/gr atau kcal/gr) CV merupakan indikasi kandungan nilai energi yang terdapat pada batubara, dan merepresentasikan kombinasi pembakaran dari karbon, hidrogen, nitrogen, dan sulfur.

2. Kadar kelembaban (Moisture, satuan persen) Hasil analisis untuk kelembaban terbagi menjadi Free Moisture (FM) dan Inherent Moisture (IM). Jumlah dari keduanya disebut dengan Total Moisture (TM). Kadar kelembaban ini mempengaruhui jumlah pemakaian udara primer untuk mengeringkan batubara tersebut.

3. Zat terbang (Volatile Matter atau VM, satuan persen) Kandungan VM mempengaruhi kesempurnaan pembakaran dan intensitas api. Hal ini didasarkan pada rasio atau perbandingan antara kandungan karbon (Fixed Carbon) dengan zat terbang, yang disebut dengan rasio bahan bakar (fuel ratio). Semakin tinggi nilai fuel ratio , maka jumlah karbon di dalam batubara yang tidak terbakar juga semakin banyak. Jika perbandingan tersebut nilainya 3. Zat terbang (Volatile Matter atau VM, satuan persen) Kandungan VM mempengaruhi kesempurnaan pembakaran dan intensitas api. Hal ini didasarkan pada rasio atau perbandingan antara kandungan karbon (Fixed Carbon) dengan zat terbang, yang disebut dengan rasio bahan bakar (fuel ratio). Semakin tinggi nilai fuel ratio , maka jumlah karbon di dalam batubara yang tidak terbakar juga semakin banyak. Jika perbandingan tersebut nilainya

4. Kadar abu (Ash Content, satuan persen) Semakin tinggi kadar abu, secara umum akan mempengaruhi tingkat pengotoran, keausan, dan korosi peralatan yang dilalui.

5. Kadar sulfur (Sulfur content, satuan persen) Kandungan sulfur dalam batubara biasanya dinyatakan dalam Total Sulfur (TS). Kandungan sulfur ini berpengaruh terhadap tingkat korosi sisi dingin yang terdapat pada pemanas udara, terutama apabila suhu kerja lebih rendah daripada titik embun sulfur. Selain itu, berpengaruh juga terhadap efektivitas penangkapan abu pada electrostatic presipitator.

6. Kadar karbon (Fixed Carbon atau FC, satuan persen) Nilai kadar karbon ini semakin bertambah seiring dengan meningkatnya kualitas batubara. Kadar karbon dan jumlah zat terbang digunakan sebagai perhitungan untuk menilai kualitas bahan bakar, yaitu berupa nilai fuel ratio.

7. Ukuran (Coal size) Ukuran batubara dibatasi pada rentang butir halus dan butir kasar. Butir paling halus untuk ukuran maksimum 3 mm, sedangkan butir paling kasar sampai dengan ukuran 50 mm.

8. Tingkat ketergerusan (Hardgrove Grindability Index atau HGI)

Kinerja pulverizer atau mill dirancang pada nilai HGI tertentu. Untuk HGI lebih rendah, mesin harus beroperasi lebih rendah dari nilai standarnya untuk menghasilkan tingkat kehalusan yang sama.

2.1.7 Analisa Proximate

Analisa Proximate Batubara digunakan untuk mengetahui karakteristik dan kualitas batubara dalam kaitannya dengan penggunaan batubara tersebut, yaitu untuk mengetahui jumlah relatif Analisa Proximate Batubara digunakan untuk mengetahui karakteristik dan kualitas batubara dalam kaitannya dengan penggunaan batubara tersebut, yaitu untuk mengetahui jumlah relatif

 Kandungan Air (Moisture Content) Dalam batubara, Moisture Content paling sedikitnya terdiri

atas satu senyawa kimia tunggal. Wujudnya dapat berbentuk air yang dapat mengalir dengan cepat dari dalam sample batubara, senyawa teradsorpsi, atau sebagai senyawa yang terikat secara kimia. Sebagian Moisture merupakan komponen zat mineral yang tidak terikat pada batubara.

Dalam ilmu perbatuan, dikenal istilah Moisture dan air. Moisture didefinisikan sebagai air yang dapat dihilangkan bila

batubara dipanaskan sampai suhu 104 o C – 110 C (Menurut ASTM D3173). Sementara itu, air dalam batubara ialah air yang terikat

secara kimia pada lempung. Semua batubara mempunyai pori-pori berupa pipa-pipa kapiler, dalam keadaan alami pori-pori ini dipenuhi oleh air. Didalam standar ASTM, air ini disebut Moisture bawaan (Inherent Moisture). Ketika batubara ditambang dan diproses, air dapat teradsorpsi pada permukaan kepingan batubara, menurut standar ASTM air ini disebut Moisture permukaan (Surface Moisture). Air yang terbentuk dari penguraian fraksi organik batubara atau zat mineral

merupakan bagian dari Moisture dalam batubara. Moisture yang datang dari luar saat batubara itu ditambang dan diangkut atau terkena hujan selama penyimpanan disebut Free Moisture (standar ISO) atau air-dry loss (standar ASTM). Moisture

jenis ini dapat dihilangkan dari batubara dengan cara dianginkan atau dikering-udarakan. Moisture in air-dried sample (ISO) atau residual Moisture (ASTM) ialah Moisture yang hanya dapat jenis ini dapat dihilangkan dari batubara dengan cara dianginkan atau dikering-udarakan. Moisture in air-dried sample (ISO) atau residual Moisture (ASTM) ialah Moisture yang hanya dapat

Penjumlahan antara Free Moisture dan Residual Moisture disebut Total Moisture. Data Moisture dalam batubara kering-udara ini digunakan untuk menghitung besaran lainnya dari basis kering- udara (adb), bebas-ash (daf) dan basis kering, bebas-mineral matter (dmmf).

Kandungan air total merupakan dasar penilaian yang sangat penting. Secara umum, tinggi rendahnya kandungan air berpengaruh pada beberapa aspek teknologi penggunaan batubara terutama dalam penggunaan untuk tenaga uap. Dalam penggerusan, kelebihan kandungan air akan berakibat pada komponen mesin penggerus karena abrasi. Parameter lain yang terpengaruh oleh kandungan air adalah nilai kalor. Semakin besar kadar air yang terkandung oleh batubara maka akan semakin besar pula nilai kalor dalam pembakaran.

Penentuan kandungan air didalam batubara bisa dilakukan melalui proses satu tahap atau proses dua tahap. Proses dilakukan dengan cara pemanasan sample sampai terjadi kesetimbangan kandungan air didalam batubara dan udara. Penentuan kandungan air dengan cara tersebut dilakukan pada temperatur diatas titik didih air.

 Kandungan Abu (Ash Content) Coal Ash didefinisikan sebagai zat organik yang tertinggal

setelah sample batubara dibakar (incineration) dalam kondisi standar sampai diperoleh berat yang tetap. Selama pembakaran batubara, zat mineral mengalami perubahan, karena itu banyak Ash umumnya lebih kecil dibandingkan dengan banyaknya zat mineral yang semula ada didalam batubara. Hal ini disebabkan antara lain karena menguapnya air konstitusi (hidratasi) dan setelah sample batubara dibakar (incineration) dalam kondisi standar sampai diperoleh berat yang tetap. Selama pembakaran batubara, zat mineral mengalami perubahan, karena itu banyak Ash umumnya lebih kecil dibandingkan dengan banyaknya zat mineral yang semula ada didalam batubara. Hal ini disebabkan antara lain karena menguapnya air konstitusi (hidratasi) dan

Ash batubara, disamping ditentukan kandungannya (Ash Content), ditentukan pula susunan (komposisi) kimianya dalam analisa Ash dan suhu leleh dalam penentuan suhu leleh Ash.

Abu merupakan komponen non-combustible organic yang tersisa pada saat batubara dibakar. Abu mengandung oksida-oksida logam seperti SiO2, Al2O3, Fe2O3, dan CaO, yang terdapat didalam batubara. Kandungan abu diukur dengan cara membakar

dalam tungku pembakaran (furnace) pada suhu 700°C o – 750 C selama ± 3 jam (Menurut ASTM D3174). Residu yang terbentuk

merupakan abu dari batubara. Dalam pembakaran, semakin tinggi kandungan batubara, semakin rendah panas yang diperoleh dari batubara tersebut. Sebagai tambahan, masalah bertambah pula misalnya untuk penanganan dan pembuangan ash hasil pembakaran.

 Kandungan Fixed Carbon Fixed Carbon (FC) menyatakan banyaknya karbon yang

terdapat dalam material sisa setelah Volatile Matter dihilangkan. FC ini mewakili sisa penguraian dari komponen organik batubara ditambah sedikit senyawa nitrogen, belerang, hidrogen dan mungkin oksigen yang terserap atau bersatu secara kimiawi. Kandungn FC digunakan sebagai indeks hasil kokas dari batubara pada waktu dikarbonisasikan, atau sebagai suatu ukuran material padat yang dapat dibakar di dalam peralatan pembakaran batubara setelah fraksi zat mudah menguap dihilangkan. Apabila Ash atau zat mineral telah dikoreksi, maka kandungan FC dapat dipakai sebagai indeks

batubara dan parameter untuk mengklasifikasikan batubara.

rank

Fixed Carbon ditentukan dengan perhitungan : 100% dikurangi persentase Moisture, Volatile Matter, dan Ash Content (dalam basis kering udara (adb)).

Data Fixed Carbon digunakan dalam mengklasifikasikan batubara, pembakaran, dan karbonisasi batubara. Fixed Carbon kemungkinan membawa pula sedikit presentase nitrogen, belerang, hidrogen, dan mungkin pula oksigen sebagai zat terabsorbsi atau bergabung secara kimia.

Fixed Carbon merupakan ukuran dan padatan yang dapat terbakar yang masih berada dalam peralatan pembakaran setelah zat-zat mudah menguap yang ada dalam batubara keluar. Ini adalah salah satu nilai yang digunakan didalam perhitungan efesiensi peralatan pembakaran.

 Volatile Matter Definisi Volatile Matter (VM) ialah banyaknya zat yang hilang bila sample batubara dipanaskan pada suhu dan waktu yang telah ditentukan (setelah dikoreksi oleh kadar Moisture). Suhunya

adalah 950 o

C dengan waktu pemanasan 7 menit (Menurut ASTM D3175). Volatile yang menguap terdiri atas sebagian besar gas-gas yang mudah terbakar, seperti hidrogen, karbon monoksida, dan metan, serta sebagian kecil uap yang dapat mengembun seperti tar, hasil pemecahan termis seperti karbon dioksida dari karbonat, sulfur dari pirit, dan air dari lempung.

Moisture berpengaruh pada hasil penentuan Volatile Matter sehingga sample yang dikeringkan dengan oven akan memberikan hasil yang berbeda dengan sample yang dikering-udarakan. Faktor- faktor lain yang mempengaruhi hasil penentuan Volatile Matter ini adalah suhu, waktu, kecepatan pemanasan, penyebaran butir, dan ukuran partikel.

Volatile Matter yang ditentukan dapat digunakan untuk menentukan rank suatu batubara, klasifikasi, dan proporsinya dalam blending. Volatile Matter juga penting dalam pemilihan peralatan pembakaran dan kondisi efisiensi pembakaran.

2.1.8 Basis Batubara

Untuk mempermudah penjelasan, dibawah ini ditampilkan hubungan antara basis analisis dikaitkan dengan keberadaan yang menjadi dasar perhitungan.

Gambar 2.3 Basis Batubara (Sumber : Idemitsu Kosan Co, Ltd)

Dari gambar diatas, terlihat ada 5 jenis basis untuk analisis batubara yang dapat diterapkan yaitu ARB, ADB, DB, DAF, dan DMMF.

 ARB (As Received Basis) Analisa pada basis ini juga juga mengikutsertakan air yang

menempel pada batubara yang diakibatkan oleh hujan, proses pencucian batubara (coal washing), atau penyemprotan (spraying) ketika di stock pile maupun saat loading. Air yang menempel di batubara karena adanya perlakuan eksternal ini dikenal sebagai Free Moisture (FM).

 ADB (Air Dried Basis) Pada kondisi ini, Free Moisture (FM) tidak diikutkan dalam analisis batubara. Secara teknisnya, uji dan analisis dilakukan dengan menggunakan sample uji yang telah dikeringkan pada udara terbuka yaitu sample ditebar tipis pada suhu ruangan, sehingga terjadi kesetimbangan dengan lingkungan ruangan laboratorium, sebelum akhirnya di seluruh dunia.

Nilai analisis pada basis ini sebenernya mengalami beberapa fluktuasi sesuai dengan kelembaban ruangan laboratorium, yang dipengaruhi oleh musim dan faktor cuaca lainnya. Akan tetapi bila dilihat secara jangka panjang dalam waktu satu tahun misalnya, maka kestabilan nilai tertentu akan didapat. Disamping itu, basis uji dan analisi ini sangat praktis karena perlakuan pra pengujian terhadap sample adalah pengeringan alami sesuai suhu ruangan sehingga tidaklah mengherankan bila standar ADB ini banyak dipaki diseluruh dunia.

 DB (Dried Basis) Tampilan dry basis menunjukan bahwa hasil uji dan analisis dengan menggunakan sample uji yang telah dikeringkan di udara terbuka di atas, lalu dikonversikan perhitungannya untuk memudahi kondisi kering.

 DAF (Dried Ash Free) Dry & ash free basis merupakan kondisi asumsi dimana

batubara sama sekali tidak mengandung air maupun abu. Adanya tampilan dry & ash free basis menunjukan bahwa hasil analisi dan uji terhadap sample yang telah dikeringkan di udara terbuka seperti di atas, lalu dikonversikan perhitungannya sehingga memenuhi kondisi tanpa abu dan tanpa air.

 DMMF (Dried Mineral Matter Free)

Basis DMMF dapat diartikan pula sebagai pure coal basis, yang telah berati batubara diasumsikan dalam keadaan murni dan tidak mengandung air, abu, serta zat mineral lainnya.

Untuk konversi perhitungan ke basis ini maka besarnya zat- zat mineral harus diketahui terlebih dulu. Dalam hal ini, perhitungan yang paling banyak digunakan adalah persamaan parr, seperti berikut :

= 1.08A + 0.555 .......... (1) Dimana

: Mineral matters (%)

A : Ash (%)

: Sulfur (%) Akan tetapi persamaan ini tidak dapat diterapkan untuk perhitungan yang teliti dari setiap jenis batubara.

2.2 COALBED METHANE (CBM)

Coal Bed Methane atau dikenal dengan istilah BCM merupakan salah satu sumber energi alternatif yang relatif masih baru di Indonesia, yang saat ini sedang hangat-hangatnya dibicarakan. Sumber energi ini dapat diperbaharui penggunaannya. Gas metane yang diambil dari lapisan batubara ini dapat digunakan sebagai energi untuk berbagai kebutuhan manusia sehari- hari. Walaupun asal usulnya dari energi fosil yang tidak terbarukan, tetapi gas ini masih terus akan terproduksi bila lapisan batubara tersebut masih ada.

CBM adalah gas metana (gas alam) yang dihasilkan selama proses pembatubaraan dan terperangkap dalam batubara. CBM dikenal juga sebagai ‘sweet gas’, karena sedikitnya kandungan sulfur (dalam bentuk hidrogen

sulfida). Gas metana ini terperangkap dalam batubara itu sendiri dan juga air yang ada didalam ruang pori-porinya. Porositas matriks umumnya mengacu pada ukuran cleat (retakan sepanjang batubara), dan bukan porositas batubara tersebut. Porositas ini umumnya sangat rendah jika dibandingkan cekungan tradisional (kurang dari 3%). Mengenai pembentukan CBM, maka sulfida). Gas metana ini terperangkap dalam batubara itu sendiri dan juga air yang ada didalam ruang pori-porinya. Porositas matriks umumnya mengacu pada ukuran cleat (retakan sepanjang batubara), dan bukan porositas batubara tersebut. Porositas ini umumnya sangat rendah jika dibandingkan cekungan tradisional (kurang dari 3%). Mengenai pembentukan CBM, maka

Sebagian besar CBM adalah gas yang terbentuk ketika terjadi perubahan kimia pada batubara akibat pengaruh panas, yang berlangsung di kedalaman tanah. Ini disebut dengan proses thermogenesis. Sedangkan untuk CBM pada lapisan brown coal (lignit) yang terdapat di kedalaman kurang dari 200m, gas metana terbentuk oleh aktivitas mikroorganisme yang berada di lingkungan anaerob. Ini disebut dengan proses biogenesis. Baik yang terbentuk secara thermogenesis maupun biogenesis, gas yang terperangkap dalam lapisan batubara disebut dengan CBM.

Kuantitas CBM berkaitan erat dengan peringkat batubara, yang makin bertambah kuantitasnya dari gambut hingga medium volatile bituminous, lalu berkurang hingga antrasit. Tentu saja kuantitas gas akan semakin banyak jika lapisan batubaranya semakin tebal.

2.2.1 Potensi CBM Sebagai Energi Alternatif di Indonesia

Coalbed methane (CBM) merupakan sumber energi yang relatif masih baru. Sumber energi ini merupakan salah satu energi alternatif yang dapat diperbaharui penggunaannya. Gas metane yang diambil dari lapisan batubara ini dapat digunakan sebagai energi untuk berbagai kebutuhan manusia. Walaupun dari energi fosil yang tidak terbaharukan, tetapi gas ini terus terproduksi bila lapisan batubara tersebut ada.

Gambar 2.4 Negara Dengan Cadangan dan Produksi Batubara Terbesar Didunia. (Sumber : Bp Statistical Review of World Energy 2007)

Seiring bertambahnya kebutuhan akan energi, baik untuk listrik dan transportasi, negara-negara berkembang seperti Indonesia juga membutuhkan suatu energi alternatif yang dapat terus dikembangkan. Dapat kita lihat pada gambar 2, dimana kebutuhan akan energi untuk pembangkit listrik terus berkembang. Salah satu pembangkit listrik di dunia yang paling dominan adalah dari energi batubara.

Gambar 2.5 Sumber Pemakaian Energi Untuk Konsumsi Listrik Didunia. (Sumber : World Coal Institute)

Berdasarkan perkiraan dari sebuah institusi di Prancis, maka konsumsi energi di dunia tetap akan memakai minyak, batubara dan gas sebagai energi primer. Projeksi ini memberikan gambaran sebagaimana pentingnya peran energi fosil sebagai energi yang ”harus” terbarukan. Kata-kata harus disini mungkin tidak masuk akal, karena energi tersebut memang habis dipakai (tidak dapat diperbaharui). Dengan adanya teknologi, riset dan pemikiran baru, maka sebuah lapisan batubara dapat memberikan sebuah energi baru berupa gas yang dapat kita pakai..

Gambar 2.6 Energi Primer Yang Dipakai Didunia.

(Sumber : World Primary Energy Consumption)

Dari penelitian Steven dan Hadiyanto, 2005, (IAGI special publication ) ada 11 cekungan batubara (coal basin) di Indonesia yang memiliki CBM, dengan 4 besar urutan cadangan sebagai berikut: 1. Sumsel (183 Tcf), 2. Barito (101.6 Tcf), 3. Kutai (80.4 Tcf), 4. Sum- Tengah (52.5 Tcf). Dengan kata lain sumber daya CBM di Sumsel sama dengan total (conventional) gas reserves di seluruh Indonesia.

2.2.2 Produksi Coal Bed Methane

Produksi CBM & Teknologi Pengeboran Pada metode produksi CBM secara konvensional, produksi yang ekonomis hanya dapat dilakukan pada lapisan batubara dengan permeabilitas yang baik. Tapi dengan kemajuan teknik pengontrolan arah pada pengeboran, arah lubang bor dari permukaan dapat ditentukan dengan bebas, sehingga pengeboran memanjang dalam suatu lapisan batubara dapat dilakukan. Seperti ditunjukkan oleh gambar di bawah, produksi gas dapat ditingkatkan volumenya melalui satu lubang bor dengan menggunakan teknik ini. Terkait potensi CBM menurut Steven dan Haryono, ada 2 hal yang menarik untuk diperhatikan:

Pertama, jika ada reservoir conventional gas (sandstone) dan reservoir CBM (coal) pada kedalaman, tekanan, dan volume batuan yang sama, maka volume CBM bisa mencapai 3 – 6 kali lebih banyak dari conventional gas. Dengan kata lain, CBM menarik secara kuantitas.

Kedua, prinsip terkandungnya CBM adalah adsorption pada coal matrix , sehingga dari segi eksplorasi faktor keberhasilannya tinggi, karena CBM bisa terdapat pada antiklin maupun sinklin. Secara mudahnya dapat dikatakan bahwa ada batubara ada CBM.

Gambar 2.7 Teknik Produksi CBM (Sumber : jefrigeophysics.wordpress.com)

Teknik ini juga memungkinkan produksi gas secara ekonomis pada suatu lokasi yang selama ini tidak dapat diusahakan, terkait permeabilitas lapisan batubaranya yang jelek. Sebagai contoh adalah apa yang dilakukan di Australia dan beberapa negara lain, dimana produksi gas yang efisien dilakukan dengan sistem produksi yang mengkombinasikan sumur vertikal dan horizontal, seperti terlihat pada gambar di bawah.

Gambar 2.8 Produksi CBM Dengan Sumur Kombinasi (Sumber : jefrigeophysics.wordpress.com)

Lebih jauh lagi, telah muncul pula ide berupa sistem produksi multilateral, yakni sistem produksi yang mengoptimalkan teknik pengontrolan arah bor. Lateral yang dimaksud disini adalah sumur (lubang bor) yang digali arah horizontal, sedangkan multilateral adalah sumur horizontal yang terbagi-bagi menjadi banyak cabang.

Pada produksi yang lokasi permukaannya terkendala oleh keterbatasan instalasi fasilitas akibat berada di pegunungan misalnya, maka biaya produksi memungkinkan untuk ditekan bila menggunakan metode ini. Secara praktikal, misalnya dengan melakukan integrasi fasilitas permukaan. Karakter dari batubara yang baik untuk produksi CBM :

3  Kandungan gas tinggi :15m 3 -30m per ton  Permeabilitas yang baik : 30mD-30mD.

 Dangkal : lapisan batubara < kedalaman 1000m. Tekanan pada kedalaman yang berlebih terkadang sangat tinggi dan telah mengalami penguapan. Hal ini disebabkan tekanan tinggi menyebabkan adanya struktur cleat yang menyebabkan penurunan permeabilitas.

 Ranking batubara : kebanyakan proyek CBM memproduksi gas dari batubara bituminus, tetapi hal ini dapat mungkin terjadi di

Antrasit. Semakin bertambah kuantitasnya dari gambut hingga medium volatile bituminous rank , lalu berkurang hingga antrasit. Jadi, dari low rank coal pun sudah punya CBM (umumnya kualitas batubara di Indonesia kita adalah low rank). Tentu saja kuantitas gas akan semakin banyak jika lapisan batubaranya semakin tebal.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Dalam melaksanakan kerja praktek, mahasiswa diharapkan mampu melakukan studi kasus, yaitu mengangkat suatu kasus yang dijumpai ditempat kerja praktek menjadi suatu kajian sesuai dengan bidang keahlian yang ada, ataupun melakukan pengamatan terhadap kerja suatu proses atau alat untuk kemudian dikaji sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki.

Untuk mendukung kerja praktek dan kajian yang akan dilakukan, maka dapat dilakukan beberapa metode pelaksanaan, antara lain :

3.1 Orientasi Lapangan

Dimana data yang di peroleh dari penelitian secara langsung tentang Analisa Rank Coal Dengan Uji Proximate Menggunakan ASTM D388 dan ASTM D3173, D3174, D3175. Berdasarkan penelitian itulah penulis mendapatkan data – data yang akan menjadi sumber data dalam pembuatan laporan.

3.2 Metode Wawancara

Data – data diperoleh dari konsultasi langsung dengan pembimbing di laboratorium yang berasangkutan.

3.3 Study Literature

Merupakan data yang diperoleh dari buku – buku dan hand book sebagai bahan tambahan dalam penyusunan laporan yang berkaitan dengan tema yang diambil

3.4 Skema Penelitian

Standarisasi Alat

Pemilihan Batubara

Analisa Free Moisture Densitas Batubara

Preparasi Sample

Analisa Proximate

Moisture

Ash Content

Volatile Matter

Fixed Carbon

Pengolahan Data

Kesimpulan

Gambar 3.1 Skema Penelitian Analisa Proximate

3.5 Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu pengukuran analisa proximate (untuk klasifikasi batubara) diantaranya adalah Moisture, Ash Content , Volatile Matter, dan Fixed Carbon.

3.5.1 Persiapan Alat dan Bahan

A. Alat

 Timbangan Analog  Furnace 47900  Vakum Desikator  Stopwatch  Wadah Plastik

 Kosibel/Cawan  Gegep  Sarung tangan  Coal Crusher  Saringan  Masker

B. Bahan

 KGM-1  KGM-3  KGM-6  KGM-8  KGM-10  Gas CA  Gas Oksigen  Gas Nitrogen

3.5.2 Standarisasi Alat

Sebelum melakukan pengukuran Moisture, Ash Content, Volatile Matter , dan Fixed Carbon terlebih dahulu melakukan standarisasi alat analisa proximate untuk mengetahui kualitas dan cara kerja alat masih berfungsi dengan baik atau buruk, sehingga mempermudahkan saat melakukan analisa proximate dan hasil yang didapat akan lebih akurat. Saat melakukan standarisasi alat menggunakan reference material Leco 502-680, Leco 502-681, dan Leco 502-682 yang sudah diketahui nilai Volatile Matter dan Ash Content nya..

3.5.3 Preparasi Sample Batubara

Sample batubara adalah bahan yang didapat dari Sumatra dengan rank yang berbeda-beda, masing-masing batubara akan digerus/dihaluskan dengan menggunakan coal crusher selama ± 1 jam, lalu diayak menggunakan saringan berdiameter 60µm. Kemudian Sample batubara adalah bahan yang didapat dari Sumatra dengan rank yang berbeda-beda, masing-masing batubara akan digerus/dihaluskan dengan menggunakan coal crusher selama ± 1 jam, lalu diayak menggunakan saringan berdiameter 60µm. Kemudian

3.5.4 Pengukuran Moisture

Moisture (air) ada dalam batubara sebagai Inherent Moisture, Surface atau Free Moisture, air terikat di mineral matter dan dekomposisi Moisture. Pengukuran secara analisa yaitu Moisture Holding Capacity , Total Moisture, Air Dry Loss, Residual Moisture dan Moisture In Analysis Sample. Sample batubara dipanaskan pada

C selama ± 1 jam (Menurut ASTM D3173) untuk menguapkan air dan dialirkan gas nitrogen untuk menghindari oksidasi. Moisture pada batubara dapat menempel dipermukaan partikel atau berada didalam partikel batubara. Moisture dapat dibagi menjadi 3 yaitu, Free Moisture (kadar lengas bebas), Inherent Moisture dan Total Moisture. Tetapi dilboratorium Coalbed Methane (CBM) di PPPTMGB Lemigas ini menggunakan Moisture yang

temperatur 104 o C – 110

dipanakan pada suhu 110 0 C selama ± 1 jam. Parameter yang digunakan untuk menentukan nilai Moisture :

 Berat sample kering Berat sample dalam keadaan kering/belum dipanaskan.  Berat sample setelah dipanaskan (dry weight)

Berat sample yang telah dipanaskan pada temperatur 104 o C – 110 o C (Menurut ASTM D3173)  Tray weight + sample Berat cawan ditambah berat sample.

 Loss weight Selisih antara berat sample sebelum dipanaskan dengan berat

sample yang sudah dipanaskan pada temperatur 110 o C

 Moisture Persentase dari perbandingan antara loss weight dengan sample weight.

Moisture (%) = x100%

Prosedur kerja untuk menentukan nilai Moisture :

1. Menyiapkan alat dan bahan

2. Menimbang masing-masing kosibel/cawan

3. Menimbang sample yang akan dihitung nilai Moisturenya sebanyak ± 1 gram

4. Setelah itu memasukkan kosibel/cawan yang telah berisi sample ke dalam furnace pada temperatur 110 o C selama 1 jam

5. Mengeluarkan sample yang telah dipanaskan lalu didiamkan ±30 menit pada suhu ruang

6. Memasukkan sample yang telah didiamkan pada suhu ruang kedalam desikator selam ± 1 jam.

7. Setelah 1 jam kemudian menimbang masing-masing sample dan catat hasilnya

8. Menghitung nilai Moisture dari data-data yang telah diperoleh