BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Manajemen Media Penyiaran Televisi Swasta Lokal (Studi Tentang Strategi Manajemen Media Di Stasiun Padangtv Dalam Memproduksi Program Televisi Dengan Muatan Budaya Lokal )

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Konstruktivisme

  Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme. Paradigma konstruktivisme memandang bahwa kenyataan itu hasil konstruksi atau bentukan dari manusia itu sendiri. Kenyataan itu bersifat ganda, dapat dibentuk, dan merupakan satu keutuhan. Kenyataan ada sebagai hasil bentukan dari kemampuan berpikir seseorang. Pengetahuan hasil bentukan manusia itu tidak bersifat tetap tetapi berkembang terus. Penelitian kualitatif berlandaskan paradigma konstruktivisme yang berpandangan bahwa pengetahuan itu bukan hanya merupakan hasil pengalaman terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi pemikiran subjek yang diteliti. Pengenalan manusia terhadap realitas sosial berpusat pada subjek dan bukan pada objek, hal ini berarti bahwa ilmu pengetahuan bukan hasil pengalaman semata, tetapi merupakan juga hasil konstruksi oleh pemikiran (Arifin, 2012: 140).Paradigma konstruktivisme memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi terbentuk dari hasil konstruksi. Karenanya, konsentrasi analisis pada paradigma konstruktivisme adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk.

  Menurut Dedy (2004) Paradigma konstruktivis ialah paradigma yang hampir merupakan antitesis dari paham yang meletakkan pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan. Paradigma ini memandang ilmu sosial sebagai analisis sitematis terhadap socially melalui pengamatan langsung dan terperinci terhadap perilaku

  meaningful action

  sosial yang bersangkutan dalam menciptakan dan memelihara atau mengelola dunia pekerjaan yang mereka geluti (Arifin, 2012: 159).

  Menurut Patonn (2002) para peneliti konstruktivisme mempelajari beragam realita yang terkonstruksi oleh individu dan implikasi dari konstruksi tersebut bagi kehidupan mereka dengan yang lain. Dalam konstruktivis, setiap individu memiliki pengalaman yang unik (Arifin,2012:139). Dengan demikian, penelitian dengan strategi ini menyarankan bahwa setiap cara yang diambil individu dalam memandang dunia adalah valid, dan perlu adanya rasa menghargai atas pandangan tersebut.

  Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri dari pemikiran Weber, menilai perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku alam, karena manusia bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi dalam realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna ataupun pemahaman perilaku dikalangan mereka sendiri. Kajian pokok dalam paradigma konstruktivisme menurut Weber, menerangkan bahwa substansi bentuk kehidupan di masyarakat tidak hanya dilihat dari penilaian objektif saja, melainkan dilihat dari tindakan perorangan yang timbul dari alasan-alasan subjektif. Kajian paradigma konstruktivisme ini menempatkan posisi peneliti setara dan sebisa mungkin masuk dengan subjeknya, dan berusaha memahami dan mengkonstruksikan sesuatu yang menjadi pemahaman si subjek yang akan diteliti (Arifin,2012:185)

  Paradigma konstruktivisme merupakan respon terhadap paradigma positivis dan memiliki sifat yang sama dengan positivis, dimana yang membedakan keduanya adalah objek kajiannya sebagai start-awal dalam memandang realitas sosial. Positivis berangkat dari sistem dan struktur sosial, sedangkan konstruktivisme berangkat dari subjek yang bermakna dan memberikan makna dalam realitas tersebut. Paradigma konstruktivisme adalah dapat ditelusuri dari pemikiran Weber yang menjadi ciri khas bahwa perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku alam. Manusia bertindak sebagai agen dalam bertindak mengkunstuksi realias sosial. Cara konstruksi yang dilakukan kepada cara memahami atau memberikan makna terhadap perilaku mereka sendiri.

  Peneliti menggunakan paradigma konstruktivis karena peneliti ingin mendapatkan pengembangan pemahaman mengenai konstruksi dari manajemen media penyiaran televisi lokal yaitu PadangTV.

2.2 Penelitian Terdahulu

  Sebagai landasan pemikiran dalam melakukan penelitian ini, peneliti mencantumkan hasil penelitian terdahulu yang menyinggung aspek manajemen media penyiaran televisi dan konten televisi lokal. Penelitian terdahulu ini dicantumkan sebagai literatur berdasarkan kebutuhan penulis. Untuk mengetahui sejauh mana bentuk manajemen media penyiaran televisi yang dilakukan oleh stasiun televisi lokal di Indonesia dengan menggunakan teori dari Manajemen Media Massa.

  Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Hartinah Sanusi, Djabir Hamzah dan Andi Alimuddin Unde pada tahun 2010 yang berjudul Riset mengenai Manajemen Media Televisi Fajar TV : Antara Bisnis dan Idealisme.

  Dengan hasil penelitian yaitu : Penelitian ini bertujuan menganalisis aktivitas manajemen dan performa organisasi media televisi Fajar TV yang beroperasi di antara kepentingan bisnis dan idealisme, kepentingan publik dalam ranah penyiaran di Sulawesi Selatan. Penelitian ini bersifat deskriptif. Informan penelitian ini adalah direktur utama,direktur pemberitaan/pemimpin redaksi, kepala program, produser eksekutif dan produser berita, serta reporter/kamerawan Fajar TV di Makassar, Sulawesi Selatan. Pengambilan sampel dilakukan secara purposif. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dokumentasi, dan studi pustaka. Data dianalisis dengan analisis model interaktif Miles dan Huberman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas manajemen media Fajar TV terkait isu-isu dorongan pasar, isu- isu kepentingan publik, dan isu-isu jurnalisme penyiaran televisi cenderung berorientasi pada kepentingan bisnis. Organisasi media penyiaran Fajar TV belum menunjukkan performa organisasi yang diharapkan. Hasil penelitian tidak cukup membuktikan bahwa kecenderungan yang kuat pada kepentingan bisnis berarti mengabaikan aspek kepentingan publik di dalamnya ataupun sebaliknya memberikan efek yang simultan pada terpenuhinya kepentingan publik dan berpengaruh pada efisiensi dan efektifitas performa organisasi media penyiaran

  Fajar TV. Aktivitas-aktivitas yang cenderung mengarah pada kepentingan bisnis lebih merupakan sebuah pilihan kebijakan strategis manajemen Fajar TV. Pada penelitian terdahulu ini peneliti mendapatkan cara pandang bahwa setiap media televisi tidak terlepas dari bisnis dan ideologi pemimpin dari media televisi dan pihak yang memiliki media televisi tersebut.

  Penelitian terdahulu selanjutnya yang dilakukan oleh Sarah Anabarja pada tahun 2011 yang berjudul Peran Televisi Lokal dalam Mempertahankan Identitas Lokal di Era Globalisasi Informasi, dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian Kualitatif, dengan hasil penelitian adalah Perkembangan dunia pertelivisian di Indonesia tidak lepas dari perkembangan media global. Hal ini tentu menjadi sebuah keniscayaan mengingat media nasional juga merupakan bagian dari media global. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa seringkali kiblat dari media global ini adalah negara-negara barat yang menjadi pencetus pengembangan teknologi informasi dan komunikasi. Jika media global memiliki nilai dan pengaruh dari negara barat yang dominan maka tak dapat dihindari pula pengaruhnya terhadap pemirsanya.

  Jika media global memiliki nilai dan pengaruh dari negara barat yang dominan maka tidak dapat dihindari pula pengaruhnya terhadap pemirsanya. Globalisasi media yang semakin memudahkan nilai-nilai pembuatnya- negara barat. Dengan semakin mudahnya nilai-nilai tersebut untuk masuk ke dalam masyarakat dunia termasuk masyarakat lokal di Indonesia, maka pengaruhnya akan pula dirasakan oleh mereka. Padahal, nilai-nilai dan ide merupakan suatu yang vital dalam pembentukan identitas suatu masyarakat. Dengan masuknya nilai-nilai barat maka identitas lokal pun pasti akan terpengaruh. Pengaruh tersebut antara lain adalah identifikasi diri mereka menjadi bagian dari masyarakat dunia seperti yang pernah diungkapkan oleh Mc.Luhan melalui

  Global Village -nya.

  Sebagai masyarakat yang telah memiliki identitas sendiri dengan nilai- nilai tersendiri, tentunya hal diatas dapat dikatakan sebagai masalah karena, dengan semakin banyak masuknya nilai-nilai asing melalui globalisasi media, mau tidak mau akan pula meminggirkan nilai-nilai lokal hingga merubah identitas asli lokal. Sebut saja penggunaan bahasa inggris sebagai bahasa yang dianggap modern dan bahasa yang lainnya. Menghadapi kenyataaan tersebut maka muncullah bentuk-bentuk siaran regional. Dengan kemunculan stasiun televisi lokal tersebut maka, dapat dikatakan bahwa hal ini merupakan salah satu bentuk usaha untuk menghasilkan budaya tandingan (counter culture) dan universalitas dalam berbagai performa informasi dan komunikasi dalam media massa.

  Memang membahas mengenai globalisasi media juga tidak terlepas dari kepentingan kapitalisme, di dalamnya kapitalisme tidak hanya mengubah dunia benda, akan tetapi juga mengubah dunia tindakan budaya atau action culture suatu masyarakat. Oleh karena itu, ancaman kapitalisme terhadap budaya lokal tidak hanya pada tingkat macro culture seperti keyakinan, paham, dan ideologi saja. Ia juga mengancam hingga ke micro culture yang mencakup cara berpakaian, bertingkah laku, dan sebagainya.

  Beberapa akibat yang dapat terjadi kemudian adalah fenomena dan alienasi. Itulah dampak yang mungkin timbul sebagai

  dehumanisasi

  konsekuensi dari globalisasi media massa dan informasi. Akibat yang lebih jauh lagi adalah sulitnya mengendalikan arus nilai-nilai kosmopolit (asing) di suatu negara, khususnya pada negara-negara berkembang seperti halnya Indonesia. Meskipun globalisasi informasi dan media massa tidak lagi terlalu relevan untuk dipersoalkan dari sudut isu ketimpangan arus informasi dan komunikasi dunia internasional, tetapi muncul masalah lain yaitu siapakah yang mengontrol nilai budaya dan apa yang dominan dalam globalisasi media itu.

  Letak perbedaan pada penelitian terdahulu ini peneliti ingin menggali lebih dalam pada manajemen media penyiaran televisi komersial di PadangTV dengan menggunakan studi kasus yang lebih eksploratori karenanya penelitian pada studi kasus mencari identifikasi berbagai tema atau kategori perilaku dan kejadian. Karenanya melibatkan pengumpulan dan analisis informasi dari beragam sumber, seperti wawancara, observasi, dan dokumen. Studi kasus terkadang juga menuntut peneliti menyediakan waktu lebih dalam pada lingkungan yang diinvestigasi.

  Penelitian terdahulu selanjutnya oleh Agus Sunarto Zainal A. Hasibuan tahun 2007 adalah mengenai Model Perencanaan Strategi Sistem Informasi pada Industri Penyiaran Televisi dengan Pendekatan Blue Ocean Strategy dan

  . Dengan hasil penelitian yaitu Semakin tingginya

  Balanced Scorecard

  persaingan perusahaan media penyiaran di Indonesia saat ini, khususnya televisi, memunculkan kebutuhan strategi bisnis untuk bertahan. Hampir semua media penyiaran memanfaatkan TI dalam kegiatan operasionalnya. Akan tetapi kemampuan perencanaan, pengelolaan dan implementasi SI/TI yang dikaitkan dengan strategi bisnis perusahaan masih kurang diterapkan. Hal ini terlihat dari

  output program siaran dari setiap stasiun TV memilik corak dan ragam yang

  sama. Diferensiasi dan inovasi produk tidak muncul dimana antara satu stasiun dengan stasiun lainnya menghasilkan produk yang serupa tapi tak sama. Padahal audien mereka terdiri dari berbagai lapisan, budaya dan latar belakang sosial, yang pasti mempunyai selera yang berbeda dan ini merupakan peluang yang perlu digarap lebih cermat.

  Perencanaan Strategis Sistem Informasi kini merupakan salah satu kunci dalam pencapaian sasaran perusahaan, karena harus selaras dengan strategi bisnis yang dijalankan. Model Perencanaan Strategis Sistem Informasi yang akan dibahas dalam kajian ini adalah menggunakan strategi bisnis Blue Ocean

  (BOS) diintegrasikan dengan Balanced Scorecard (BSC). Dengan sifat-

  Strategy

  sifat pada BOS dan BSC, model ini menjawab kebutuhan model Perencanaan Strategis Sistem Informasi pada industri media televisi yang berkarakteristik dinamis, inovatif, dan tingkat persaingan tinggi dengan hasil pencapaian yang terukur dan komprehensif. Model ini di implementasikan dalam TV Anak Space Toon. Hasil kajian menunjukkan bahwa industri penyiaran TV yang selaras dengan strategi bisnisnya. Komponen-komponen industri penyiaran yang tertangkap dalam kurva nilai BOS dipetakan kedalam 4 perspektif BSC, yaitu persepektif finansial, pelanggan, proses bisnis internal, pembelajaran dan pertumbuhan. Hasil pemetaan ini selanjutnya mengelaborasi kebutuhan SI/TI sejalan dengan strategi bisnis BOS menggunakan empat perspektif BSC. Kebutuhan SI/TI yang muncul kemudian di inventarisir untuk dijalankan sesuai dengan manajemen strategis SI/TI-nya.

  Pada penelitian terdahulu ini, peneliti mendapatkan informasi bahwa dunia usaha saat ini termasuk media televisi sangat membutuhkan suatu strategi informasi (SI) dan teknologi informasi (IT) yang sangat membantu perusahaan dalam mengembangkan usaha bisnisnya dan memperluas informasi kepada masyarakat. Dengan adanya perencanaan strategi SI atau IT ini dapat memberikan arahan dan konsentrasi pada usaha industri media televisi dalam mencapai target. Letak perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian yang peneliti tulis adalah peneliti ingin membahas tentang manajemen strategi yang digunakan atau dilakukan oleh manajer program bekerja dalam memproduksi suatu acara yang bermuatan budaya lokal yang tidak terlepas dari budaya atau adat istiadat yang dianut pada masyarakat setempat dimana stasiun televisi lokal ini berada dan mampu menarik perhatian masyarakat pada acara atau program televisi yang dibuat oleh media PadangTV.

  Penelitian terdahulu selanjutnya oleh Erni Herawati Universitas Bina Nusantara tahun 2012 mengenai Keterkaitan Isi Siaran Televisi di Indonesia dan keadilan Informasi. Dengan hasil penelitian yaitu Dunia pertelevisian Indonesia saat ini telah mengalami perkembangan pertumbuhan yang cukup pesat, baik dari segi jumlah stasiun televisi maupun program. Kenyataannya, hampir semua lembaga penyiaran swasta nasional hanya menyiarkan program mengenai Jakarta. Artikel menganalisis fungsi media massa, termasuk penyiaran yang berkaitan dengan isi media yang disampaikan. Isi media tidak hanya ditentukan oleh faktor internal media tetapi juga faktor eksternal. Kepemilikan media akhirnya menentukan bagaimana isi media yang diproduksi dan dibentuk. Oleh karena itu, agar informasi tidak hanya dimonopoli oleh satu golongan dan masyarakat mendapat pilihan informasi yang beragam dan sesuai dengan yang dibutuhkan maka perlu dipastikan agar keberagaman itu dimulai dari kepemilikan dari media. Disimpulkan, aturan main dalam dunia penyiaran harus mempertimbangkan kepentingan masyarakat sehingga akan membawa keadilan informasi bagi masyarakat khususnya di Indonesia.

  Berdasarkan penelitian terdahulu ini peneliti mendapatkan informasi bahwa dengan mulai banyaknya stasiun televisi yang muncul didaerah-daerah maka informasi tidak hanya dimonopoli oleh satu media televisi saja atau informasi yang terpusat di stasiun penyiaran televisi yang ada di Jakarta sehingga akan terbentuk adanya keadilan informasi bagi masyarakat. Letak perbedaan pada penelitian terdahulu ini adalah isi siaran yang peneliti teliti nantinya sebatas tentang muatan budaya lokal yang ada di daerah dimana stasiun televisi lokal yang akan diteliti nantinya.

  Peneliti juga menambahkan beberapa jurnal internasional tentang konten lokal yaitu, Berita Utama: Nasional Swasembada Program Penyiaran Televisi Sebuah Studi Empiris Tentang Nasional Swasembada Pemrograman Penyiaran Televisi: Memprediksi Saham Domestik Versus Program Acara Buatan AS Oleh Xuexin Xu and W. Wayne Fu Nanyang Technological University Joseph D. Straubhaar dari University of Texas at Austin. Studi ini mengkaji masing- masing negara swasembada program televisi siaran, memiliki tujuan yang universal dan menyeluruh mengenai kebijakan kepercayaan dalam layanan siaran nasional atau domestik. Ini menelusuri dan memprediksi saham siaran pada program domestik dan program Amerika, dengan menggunakan data longitudinal yang diambil selama kurun waktu 1962 - 2001 untuk 20 negara atau teritori di seluruh dunia. Membangun teori ekonomi dan budaya tentang aliran media yang transnasional dan resepsi. Penulis ini berhipotesis bahwa penyiaran terestrial suatu negara tertentu yang mengudara untuk program buatan sendiri relatif terhadap program acara yang diimpor dari negara televisi pengekspor dominan (seperti Amerika Serikat) yang mempengaruhi bagi penonton dalam negeri pada aspek ekonomi dan jarak budaya importir-eksportir. Analisis regresi, pada data selama 1962-2001, mengungkapkan bahwa pangsa siaran program buatan sendiri adalah fungsi peningkatan ukuran dan kemakmuran penonton domestik negara itu.

  Ada perbedaan antara film dan program televisi, yang dapat menyebabkan perbedaan besar terhadap pengaruh ekonomi dan budaya pada aliran internasional dari dua jenis konten media. Pertama-tama, dibandingkan dengan industri film, industri televisi adalah industri dalam negeri dengan lebih orientasi lokal. Hampir setiap negara memiliki produksi program televisi dan siaran sistem sendiri, yang beroperasi di bawah peraturan negara dan sensor (Bielby dan Harrington, 2008). Pemerintah memainkan peran yang lebih penting dan lebih besar dalam mengatur isi dan perdagangan program televisi daripada film (Wildman & Siwek, 1988). Dalam pengertian ini, industri televisi lebih nasionalis dari industri film, dan aliran internasional program televisi merupakan subjek penting dalam produksi program. Kedua, film yang dikonsumsi dalam beberapa jam, sedangkan serial televisi dapat berjalan selama bertahun-tahun. Karena kehidupan berkepanjangan pada program televisi, penonton memiliki cukup waktu untuk dapat akrab dengan konteks budaya program, yang dapat bekerja untuk memoderasi setiap ketidaksesuaian budaya antara negara-negara pengekspor dan pengimpor, menciptakan keakraban budaya yang besar dari waktu ke waktu. Iwabuchi (2002) mencatat bahwa kedekatan budaya yang dinamis dari waktu ke waktu, yang mencerminkan hubungan perubahan budaya, seperti pertumbuhan ekspor budaya populer Jepang di tahun 1990-an ke negara- negara di Asia Timur.

  Seperti isi media dari produk budaya yang menyampaikan ide tertentu, keyakinan, nilai-nilai, dan identitas dari pasar produksi, faktor budaya akan memainkan peran penting dalam menjelaskan konsumsi di seluruh dunia tentang produk konten audiovisual. Straubhaar (1991) berpendapat bahwa konsumen konten media secara aktif mengejar kedekatan budaya, yaitu, penonton lebih memilih produk budaya dalam negeri atau produk dari budaya asing. Dengan demikian, perbedaan budaya antara sumber produk dan target pasar luar negeri akan menghasilkan diskon budaya, yaitu, penurunan nilai konten media ke khalayak di pasar luar negeri (Cantor & Cantor, 1986; Hoskins & Mirus, 1988; Waterman, 1988). Semakin besar jarak budaya dari pasar ke pasar yang berasal untuk dikonsumsi, semakin besar penurunan nilai produk.

  Temuan menegaskan efek pasar rumah di program siaran televisi buatan sendiri di masing-masing negara. Hasil menunjukkan bahwa ukuran basis penonton suatu negara berhubungan positif dengan program yang disiarkan oleh program televisi buatan sendiri dan negatif dengan pangsa program buatan AS, baik selama sepanjang hari dan pada saat siaran primetime. Dengan penonton yang lebih besar mengindikasikan kebutuhan nasional untuk program televisi, yang merangsang produksi program serta menarik lebih banyak iklan untuk mendukung industri penyiaran. Dalam hal ini, lembaga penyiaran lokal dengan penonton lebih dapat memberikan lebih banyak program dan / atau program berkualitas tinggi, dan pada gilirannya program impor yang lebih sedikit dari pasar AS. Ini menunjukkan bahwa skala pasar domestik memainkan peran penting dalam penyiaran program televisi buatan sendiri dan buatan AS, yang konsisten dengan model ekonomi perdagangan media internasional. Artinya, industri televisi dalam negeri mempunyai keunggulan kompetitif dalam memproduksi dan menyiarkan program-program buatan sendiri, dan dengan demikian membuat negara kurang bergantung pada impor program televisi Amerika selama siaran sepanjang hari. Hal ini memberikan dukungan tambahan untuk model ekonomi perdagangan media internasional.

  Selain itu, penelitian ini mengungkapkan tren waktu yang relatif jelas dalam program siaran televisi buatan sendiri dan buatan AS di negara-negara dan wilayah masing-masing di lima puluh tahun terakhir. Saham program buatan sendiri di sepanjang hari-waktu dan penyiaran penurunan siaran di primetime dari waktu ke waktu, sedangkan saham program Amerika meningkat. Ini berarti kecenderungan globalisasi dan kecenderungan pertukaran budaya, yang dapat berfungsi untuk memperkaya kehidupan hiburan rakyat (Buonano, 2007). Namun, ini juga dapat menyebabkan dominasi Amerika dan homogenisasi, yang akan membahayakan keseimbangan dan keragaman budaya yang berbeda (Schiller, 1971).

  Temuan penelitian ini dapat memberikan wawasan bagi para pembuat kebijakan tentang bagaimana mengembangkan swasembada produksi Program dalam mempertahankan keragaman budaya. Sebuah negara dengan industri televisi dalam negeri lebih besar dan cenderung lebih kuat untuk menyiarkan program yang lebih tentang buatan sendiri dan lebih sedikit program buatan AS.Secara khusus, isi media yang telah didistribusikan melalui Internet dan situs televisi online telah menjadi komponen penting dari industri program televisi negara. Tren ini membutuhkan lebih banyak dukungan keuangan pada pengembangan layanan televisi online dalam negeri, terutama pada peningkatan kualitas dan kuantitas program televisi untuk kembali dirilis secara online. Investasi tersebut di program televisi online akan membantu dalam memperbesar ukuran penonton dengan menarik penonton yang lebih muda, yang pada gilirannya menguntungkan industri program televisi dalam negeri.

  Membuat konten pemasaran untuk pasar penonton yang diperluas, dengan demikian dapat memperkuat kemampuannya untuk memproduksi dan pemrograman acara. Hal ini membutuhkan seperangkat korporasi antara bakat ,penulis, aktor, seniman, produser dan eksekutif jaringan untuk membuat program yang mencerminkan nilai-nilai budaya dan norma-norma dalam negeri, dan akibatnya menarik penonton dalam negeri. Salah satu contoh penting adalah jenis yang berbeda dari program televisi yang disebut telenovela, yang sering mencerminkan budaya, ekonomi dan politik dari negara-negara Amerika Latin dan dengan demikian sangat populer di wilayah tersebut. Dengan cara ini, penyiaran domestik dapat mengembangkan industri program televisi sendiri dan mempertahankan swasembada, yang membantu dalam mempromosikan keragaman budaya.

  Program televisi genre yang berbeda berhubungan dengan kemampuan yang tidak sama untuk mengatasi hambatan budaya dan diekspornya program acara tersebut. Genre sinetron dan action-adventure yang relatif lebih mudah diangkat melintasi perbatasan, dengan alasan bahwa sinetron mengeksplorasi tema global yang memegang daya tarik universal dan action-adventure menekankan pada tindakan daripada dialog atau karakter. Namun, genre komedi situasi yang lebih spesifik budaya sehingga kurang menarik bagi penonton internasional (Bielby dan Harrington, 2008). Oleh karena itu, genre program dapat mempengaruhi aliran internasional program televisi dan swasembada nasional. Straubhaar (2007) telah menunjukkan bahwa perdagangan budaya dalam wilayah budaya-linguistik semakin besar dan berkembang, terutama di Amerika Latin, Asia dan Timur Tengah. Salah satu contoh penting adalah ekspor drama Korea Selatan dan Hong Kong TVB komedi di Cina, Singapura, Taiwan, dan di tempat lain di Asia. Dalam hal ini, fokus hanya pada saham siaran program buatan sendiri dan buatan AS mungkin tidak cukup untuk mengungkapkan kompleksitas gambaran global siaran program televisi. Arus program televisi di daerah-daerah budaya-linguistik yang pantas diselidiki. Penelitian di masa depan harus mencakup arus televisi intra-regional.

  Penelitian terdahulu selanjutnya adalah Masalah kepemilikan: Lokalisme, Lokal Televisi Berita & FCC. Pada penelitian ini membahas tentang Tiga prinsip-prinsip regulasi media dan pembuatan kebijakan di Amerika Serikat adalah persaingan, keragaman dan lokalisme. Keputusan itu dibuat oleh Federal Communications Act of 1934. Beberapa peraturan (seperti stasiun koran-televisi aturan kepemilikan silang) karena FCC menyatakan bahwa tindakan tersebut akan mempromosikan lokalisme. Peraturan lainnya (seperti jumlah stasiun televisi yang dimiliki oleh satu perusahaan di industri penyiaran) karena FCC percaya bahwa relaksasi mereka tidak akan secara signifikan membahayakan lokalisme karena beragam media yang tersedia di sebagian besar pasar industri penyiaran (Napoli, 2004). Temuan penelitian ini menegaskan bahwa kepemilikan itu penting dalam produksi berita dan berita lokal pada siaran berita televisi lokal. Ada statistik hubungan signifikan yang terkait jumlah konten berita dan konten berita lokal untuk profil kepemilikan. Dalam penelitian ini stasiun ini disebut "independen". Secara umum, stasiun independen menyiarkan konten yang lebih lokal pada siaran berita daripada stasiun yang lain.Singkatnya, kepemilikan media konsolidasi negatif mempengaruhi produksi konten lokal pada siaran berita televisi lokal.

  Fungsi media sebagai komunikator informasi politik atau sebagai lembaga politik, itu akan memiliki efek terkuat di tempat-tempat lokal karena praktek politik yang luar biasa di Amerika Serikat terjadi di tingkat lokal. Isu-isu kebijakan publik seperti zonasi, pendidikan, kejahatan, keadilan, transportasi, pengelolaan sampah, kemiskinan, perumahan di antara banyak lainnya adalah "hal-hal" keputusan politik lokal. Oleh karena itu, lokalisme sebagai prinsip kebijakan tertanam di banyak bidang kebijakan publik (Briffault, 1988, 1990).

  Dalam demokrasi modern, tanggung jawab besar untuk menginformasikan warga mengenai isu-isu kebijakan publik ada pada media massa. Bahkan, ada kewajiban eksplisit (oleh undang-undang untuk media elektronik dan dengan standar jurnalistik untuk media cetak) untuk melayani kepentingan publik (Napoli, 2001; Graber, 2001). Ada bukti substansial yang menunjukkan pentingnya konten berita lokal untuk hasil politik dan ekonomi lokal (Georgedan Waldfogel, 2003; Stromberg, 2004). Namun, produksi berita, baik elektronik atau cetak, tunduk pada kalkulus yang memperlakukan informasi sebagai komoditas (Hamilton, 2004; Adilov, Alexander & Brown, 2006).

  Mengingat peran politik dan informasi berita dan urusan konten publik di tempat-tempat lokal, kekhawatiran FCC mengenai lokalisme dalam pembuatan kebijakan yang dianganggap sangat penting. Meskipun konsep lokalisme yang belum terdefinisi dengan baik, peneliti mempunyai ide bahwa lokalisme mengacu pada tempat-tempat lokal yang memiliki batas-batas geografis fisik. Yang konsisten dengan definisi lokalisme yang dimaksud oleh FCC yang tampaknya berakar pada gagasan masyarakat (Alexander & Brown, 2006).

  Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji sejauh mana konten lokal pada siaran berita yang diproduksi secara lokal dan untuk memeriksa apa efek dari kepemilikan media dalam konten lokal. Untuk melakukan analisis itu, peneliti berfokus pada kisah-kisah individu mengenai siaran berita. Metodologi dasar untuk penelitian ini adalah analisis isi (Krippendorf, 1980). Ini adalah metode yang menghasilkan gambaran yang sistematis dan objektif tentang konten informasi. Sampel penelitian ini dikembangkan dari siaran berita televisi lokal direkam oleh Proyek Keunggulan dalam Jurnalisme (PEJ) pada tahun 2002. Secara khusus, siaran disajikan pada bulan Maret, April dan Mei 2002. dimana Nielsen menetapkan ukuran penonton dalam menentukan harga iklan di stasiun penyiaran. Jelas, semakin besar penonton, semakin stasiun dapat biaya dari pemasukan iklan.

  Program acara mengenai kejahatan menyumbang proporsi yang paling signifikan dari cerita dan disiarkan dalam waktu (28,2 dan 29,2 persen, masing- masing). Bahkan, siaran tentang kejahatan menyumbang waktu siaran lebih dari dua jenis cerita ( seperti isu-isu publik, 19% dan kebakaran / kecelakaan / bencana, 8,1%) yang dikombinasikan. Yang konsisten dengan penelitian sebelumnya (Yanich, 2004). Ini perlu untuk dicatat bahwa kategori isu-isu publik berisi semua isu publik (perumahan, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan, dll).

  Temuan analisis dari jumlah total konten berita dan jumlah konten berita lokal pada siaran. Hasil analisis regresi yang menguji hubungan antara konten dan stasiun karakteristik lokal juga disajikan. Variabel dependen yang ditentukan dalam penelitian ini sebagai: (1) proporsi siaran yang ditujukan untuk berita, dan (2) proporsi siaran yang lokal konten. Yang berbeda dari variabel dependen yang ditentukan oleh peneliti FCC. ini digunakan sebagai variabel dependen: (1) jumlah berita yang disiarkan sebanyak berapa detik dan (2) jumlah detik berita lokal. setiap pendekatan mengukur jumlah berita total dan jumlah berita lokal pada siaran berita.

  Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk standar sebagai proporsi. Standarisasi yang dikembangkan karena jumlah siaran dikaitkan dengan pemilik yang bervariasi karena mereka memiliki perbedaan dalam jumlah stasiun. Sebagai contoh, jika sebuah perusahaan memiliki tiga stasiun penyiaran, hal ini akan lebih banyak waktu untuk berita secara umum dan untuk berita lokal pada khususnya. Akibatnya, jumlah berita umum dan konten berita lokal harus dihitung dalam bentuk standar untuk membuat perbandingan di seluruh stasiun pemilik. Yang dilakukan dengan menyatakan variabel dependen sebagai proporsi daripada jumlah total waktu yang dihabiskan untuk berita atau berita lokal. Dalam setengah jam siaran berita kebijaksanaan konvensional adalah bahwa 22,5 menit siaran yang tersedia untuk berita. 7,5 menit lainnya dikhususkan untuk iklan. Dalam penelitian ini, pemberitaan mengenai cuaca sehari-hari dan pemberitaan mengenai olahraga dari siaran berita tidak dimasukkan dalam analisis karena mereka fitur struktural siaran.

  Sejauh ini, faktor terkuat yang mempengaruhi isi berita lokal adalah apakah stasiun ini dimiliki dan dioperasikan oleh jaringan dan bahwa itu adalah bagian dari kepemilikan duopoli. Ketika itu terjadi, konten berita lokal turun lebih dari enam persen (-6,494%). Ketika profil kepemilikan stasiun dimiliki dan dioperasikan hanya, konten berita lokal turun lebih dari dua persen (-2,330%). Status kepemilikan duopoli-satunya juga memiliki efek negatif pada konten berita lokal, penurunan itu sekitar satu-setengah dari satu persen (-.453%).

  Jumlah pasar di mana pemilik memiliki stasiun televisi dan stasiun radio dan jumlah stasiun televisi yang dimiliki oleh pemilik semua memiliki efek negatif pada proporsi muatan lokal pada siaran, -.274%, -.216% dan -. 118%,. Sebaliknya, dua variabel memiliki efek positif pada jumlah konten berita lokal. Jika pemilik stasiun memiliki sebuah surat kabar di DMA lain, isi berita lokal meningkat lebih dari enam persen (6,24%). dengan hanya lebih dari satu persen (-1,253%). Jumlah stasiun radio yang dimiliki oleh perusahaan media televisi sangat sedikit meningkat kandungan lokal (0,096%).

  Duopoli hanya status dalam karakteristik kepemilikan yang berbeda-beda mempengaruhi jumlah berita total dan proporsi konten berita lokal. Kepemilikan stasiun penyiaran yang Duopolies menghasilkan total berita hampir sepuluh persen lebih dan lebih dari enam persen lebih sedikit memuat konten lokal dari stasiun yang tidak duopolies atau dimiliki dan dioperasikan oleh jaringan. Dua dari tiga pemilik yang memiliki stasiun penyiaran yang duopolies seperti CBS dimiliki di Los Angeles dan Boston dan General Electric NBC duopolies dimiliki di Los Angeles dan New York. Kepemilikan koran di DMA selain pasar di mana pemilik memiliki sebuah stasiun televisi, juga mempengaruhi produksi berita (meningkat lebih dari satu persen). Namun, pengaturan itu juga sedikit mempengaruhi proporsi muatan lokal pada siaran dari stasiun (sekitar satu setengah dari satu persen).

  Penelitian ini merupakan pemeriksaan hubungan potensial antara isi siaran berita lokal dan karakteristik kepemilikan. Ini merupakan perpanjangan dari analisis yang dilakukan oleh FCC dan Televisi Lokal Berita Media Project di University of Delaware. Sebuah fitur penting dari penelitian ini adalah bahwa konten yang sebenarnya dari program berita lokal dianalisis. Pemeriksaan ini mengungkapkan hubungan antara kepemilikan dan berita televisi konten. Seperti yang dikatakan sebelumnya, hal kepemilikan diatur dengan cara tertentu. Kepemilikan konsolidasi mempengaruhi proporsi konten lokal pada siaran berita televisi lokal. Analisis ini, konsisten dengan temuan penelitian FCC (federal communication communities) sendiri.

  Penelitian jurnal internasional yang selanjutnya adalah Aturan Konten lokal dalam Penyiaran Disusun oleh Ken Bhattacharjee, Legal Officer, dan direvisi oleh Toby Mendel, Kepala Program Hukum mengenai negara memiliki aturan konten lokal di sektor penyiaran untuk melindungi dan mempromosikan program lokal. Dikatakan bahwa aturan ini diperlukan karena pasar internasional mendukung negara-negara besar dan berkembang dengan penyiaran dan produksi sektor program yang dapat dengan mudah menggantikan program lokal di negara-negara yang lebih kecil, seperti negara yang kurang berkembang. Namun, pada saat yang sama, aturan ini kadang-kadang dikritik karena pelanggaran atas jaminan kebebasan berekspresi, perdagangan yang menahan dan mengatur arus informasi asing ke suatu negara. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji standar internasional dan praktik terbaik tentang perbandingan aturan konten lokal dan status mereka dalam kaitannya dengan jaminan kebebasan berekspresi.

  Menurut hukum internasional, bahwa pluralisme merupakan aspek penting kebebasan berekspresi. Dengan demikian, aturan konten lokal yang mempromosikan keragaman Ekspresi bisa konsisten dengan kebebasan berekspresi. Menurut Agarsah, aturan konten lokal harus: a). Bertujuan untuk mempromosikan pluralisme; b).Dilaksanakan dengan cara hukum yang tepat; c).Realistis dan praktis, dan berdasarkan kriteria yang sesuai, dalam arti yang disesuaikan dengan sektor penyiaran secara khusus dan kebutuhan khusus mereka; dan d). Dilaksanakan secara progresif.

  Kebutuhan untuk aturan konten lokal di banyak negara telah disejutui melalui undang-undang untuk melindungi dan mempromosikan dalam sektor lokal penyiaran dan program lokal. Di banyak negara-negara, kontrol lokal atas dan kepemilikan penyiaran serta produksi dan penyiaran program lokal dilihat memiliki peran penting untuk mempromosikan pluralisme, dan untuk melindungi identitas, persatuan dan kedaulatan bangsa. Di Kanada, misalnya, UU Penyiaran menyatakan bahwa sistem penyiaran "akan efektif dimiliki dan dikendalikan oleh Kanada yang "berkontribusi untuk" pemeliharaan dan peningkatan identitas nasional dan kedaulatan budaya, "dan harus: 1). berfungsi untuk menjaga, memperkaya dan memperkuat budaya, politik, sosial, dan ekonomi Kanada, 2).mendorong pengembangan berekspresi di Kanada dengan menyediakan berbagai macam program yang mencerminkan sikap Kanada, pendapat, gagasan, nilai-nilai dan kreativitas seni, dengan menampilkan bakat Kanada dalam pemrograman hiburan dan dengan menawarkan informasi dan analisis mengenai Kanada dan negara-negara lain dari sudut pandang budaya di Kanada, 3).melalui program dan kesempatan kerja yang timbul dari perusahaan operasi, melayani kebutuhan dan kepentingan, dan mencerminkan keadaan dan aspirasi, pria Kanada, perempuan dan anak-anak, termasuk hak yang sama, yang dualitas linguistik dan alam multikultural dan multiras masyarakat Kanada dan tempat khusus masyarakat asli.

  Di Malaysia, misalnya, penyiar dapat menyiarkan selama 30 menit siaran Program amerika yang dibayar sekitar US $ 1.500, sedangkan biaya rata-rata menghasilkan 30 menit Program lokal adalah sekitar US $ 20.000. Akibatnya, dengan tidak adanya aturan konten lokal, negara-negara besar dan memiliki sektor penyiaran dan produksi, terutama Amerika Serikat, dengan mudah dapat menggantikan program lokal, dan homogenisasi pemrograman negara-negara kecil,dan negara yang kurang berkembang. Ini adalah ancaman tidak hanya untuk negara dan demokrasi dalam transisi, seperti Afrika Selatan atau negara- negara di Eropa Timur, tetapi juga untuk demokrasi yang sudah mapan yang memiliki penyiaran yang cukup berkembang dan memiliki kapasitas produksi, seperti Kanada, Perancis dan Australia.

  Pluralisme, termasuk hak seseorang untuk mengakses beragam informasi, merupakan aspek penting dari kebebasan berekspresi. Bahkan, telah diakui bahwa negara memiliki kewajiban positif untuk mempromosikan pluralisme untuk memastikan hak yang sama dalam semua akses di media. Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa telah menyatakan: "[Menyampaikan] informasi dan ide-ide dari kepentingan umum ... tidak dapat berhasil dicapai kecuali didasarkan pada prinsip pluralisme. " Inter-American Court juga telah menetapkan bahwa kebebasan berekspresi mensyaratkan bahwa "Media komunikasi berpotensi terbuka untuk semua tanpa diskriminasi atau, lebih tepatnya, bahwa tidak ada individu atau kelompok yang dikecualikan dari akses ke media”.

  Namun, jika dalam prakteknya aturan konten lokal tidak mempromosikan keragaman, maka akan terjadi pembatasan kebebasan berekspresi. Dimana kuota konten lokal terlalu tinggi, di mana mereka tidak membedakan antara berbagai jenis penyiaran (misalnya nasional, lokal, radio, televisi), di mana mereka gagal untuk memperhitungkan rekening jenis pemrograman yang mengudara untuk disiarkan, dan di mana mereka tidak termasuk pentahapan dalam periode kuota, mereka mungkin tidak hanya membatasi asing pemrograman tetapi sebenarnya merusak kemampuan penyiaran lokal untuk bertahan hidup. Dalam kasus tersebut, aturan ini tidak memberikan kontribusi terhadap keanekaragaman.

  Konten lokal secara umum didefinisikan sebagai pemrograman yang diproduksi di bawah kontrol kreatif dari warga negara. Aturan konten lokal harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai hukum. Aturan konten lokal harus realistis dan praktis. Aturan konten lokal harus dicapai secara progresif. Di Australia, misalnya, Program televisi Australia didefinisikan sebagai sebuah program yang "diproduksi di bawah kontrol kreatif Australia.

2.3 Regulasi Penyiaran

  Ada 3 hal mengapa regulasi penyiaran dipandang urgent. Pertama, dalam iklim demokrasi kekinian, salah satu urgensi yang mendasari penyusunan regulasi penyiaran adalah hak asasi manusia tentang kebebasan berbicaran yang menjamin kebebasan seseorang untuk memperoleh

  (freedom of speech), dan menyebarkan pendapatnya tanpa adanya intervensi dari pemerintah.

  Keterbatasan frekuensi, merupakan salah satu hal yang mengindikasikan urgensi pengaturan penyiaran. Tanpa regulasi, maka interferensi signal nicaya terjadi. Dan, ketika itu aspek dasar komunikasi tidak tercapai. Sebagai ilustrasi sederhana dapat digambarkan bahwa jika pada saat yang bersamaan terdapat dua orang atau lebih berbicara, maka proses komunikasi pasti mengalami kegagalan. Regulasi akan menentukan siapa yang berhak “menyiarkan” dan siapa yang tidak. Dalam konteks demikian regulasi berperan sebagai mekanisme kontrol

  (control mechanism) dalam Mufid (2005: 68).

2.3.1 Model Regulasi Penyiaran

  Dalam hubungannya dengan model kepemerintahan suatu negara, Leen d‟Haenens (2000 dalam Mufid,2005:70-73), membagi model regulasi penyiaran menjadi 5, yaitu:

1. Model Otoriter

  Tujuan dalam model ini lebih sebagai upaya menjadikan penyiaran sebagai alat negara. Televisi sedemikian rupa diarahkan untuk mendukung kebijakan pemerintah dan melestarikan kekuasaan. Ciri khas dalam model ini adalah kuatnya lembaga sensor terutama yang menyangkut perbedaan. Hal ini sebagai konsekuensi keberbedaan yang dipandang sebagai sesuatu yang tak berguna (wasteful) dan cenderung tidak bertanggungjawab karena kadang kala bersifat subversif. Sebaliknya, konsensus dan standardisasi dilihat sebagai tujuan dari komunikasi massa. Dunia penyiaran selama orde baru praktis berada pada kondisi seperti ini.

  2. Model Komunis

  Walau merupakan subkategori dari model otoriter, namun dalam model komunis, penyiaran memiliki semacam tritunggal fungsi, yaitu propaganda, agitasi, dan organisasi. Aspek lain yang membedakan model ini dari model otoriter adalah dilarangnya kepemilikan swasta, karena media dalam model ini dilihat sebagai milik kelas pekerja (biasanya terlembagakan dalam partai komunis), dan media merupakan sarana sosialisasi, edukasi, informasi, motivasi dan mobilisasi.

  3. Model Barat-Paternalistik

  Sistem penyiaran ini banyak diterapkan oleh negara-negara Eropa Barat semisal inggris. Disebut “Paternalistik”, karena sifatnya yang top-down, dimana kebijakan media bukan apa yang audien inginkan tapi lebih sebagai keyakinan penguasa bahwa kebijakan yang dibuat memang dibutuhkan dan diinginkan oleh rakyat. Dalam model ini, penyiaran juga memiliki “tugas” untuk melekatkan fungsi-fungsi sosial individu atas lingkungan sosialnya.

  4. Model Barat-Liberal

  Secara umum sama dengan model Barat-paternalistik, hanya berbeda dalam fungsi media komersialnya. Disamping sebagai penyedia informasi dan hiburan, media juga memiliki fungsi “mengembangkan hubungan yang penting dengan aspek-aspek lain yang mendukung indepedensi ekonomi dan keua ngan”.

  5. Demokratis-Participan Model

  Model ini dikembangkan oleh mereka yang mempercayai sebagai powerful dan dalam banyak hal terinspirasi oleh mahzab kritis. Termasuk

  medium,

  dalam model ini adalah berbagai media penyiaran alternatif. Sifat komunikasi dalam model ini adalah dua arah (two-way-communication). Secara fundamental, regulasi penyiaran mesti mengandung substani yang : a. Menetapkan sistem tentang bagaimana dan siapa yang berhak mendapatkan lisensi penyiaran.

  b.

  Memupuk rasa nasionalitas. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa televisi memiliki peran yang penting dalam mengembangkan kebudayaan sekaligus sebagai agen pembangunan bangsa, bahkan ketika suatu bangsa tengah dilanda krisis sekalipun.

  c.

  Secara ekonomis, melindungi institusi media domestik dari “kekuatan”asing. d.

  Dalam semangat diatas, mencegah konsentrasi dan untuk membatasi kepemilikan silang. Di Uni Eropa dan komisi khusus yang mengatur tata laksana merger dan pengawas kuota media.

  e.

  Memuat apa yang disebut Head (1985) sebagai “regulation of fairness” yang memuat prinsip objektivitas, imparsialitas dan akuntabilitas. Prinsip- prinsip tersebut diperlukan selain untuk membangun media yang sehat juga untuk menjaga keseimbangan hubungan antara pengelola penyiaran, pemerintah dan audien.

  f.

  Mengatur tata-aliran keuangan dari sumber yang berbeda. Dana komersial, misalnya mesti dibatasi guna melindungi konsumen dari iklan eksesif, paling tidak dari bentuk promosi tertentu dan untuk mencegah pengaruh pengiklan yang berlebihan terhadap suatu acara.

  Pada praktiknya keenam prinsip regulasi penyiaran tersebut diterapkan secara bervariatif tergantung bentuk model penyiaran yang ada disuatu negara. Menurut Feintuck (1998 dalam Mufid,2005:73), dewasa ini regulasi penyiaran mengatur tiga hal, yakni struktur, tingkah laku, dan isi. Regulasi struktur berisi pola-pola kepemilikan media oleh pasar, regulasi tingkah laku dimaksudkan untuk mengatur tata laksana penggunaan properti dalam kaitannya dengan kompetitor dan regulasi isi yang berisi batasan material siaran yang boleh dan tidak boleh untuk disiarkan.

  Pengaruh media massa umumnya merupakan dampak dari media itu sebagai institusi ekonomi. Dari sisi ekonomi media adalah institusi ekonomi yang menekankan keuntungan. Demi mendapatkan keuntungan atau demi memenangi persaingan, media massa kadang mengabaikan dampak pesan-pesan yang dibawanya untuk publik. Oleh karena itu, media memerlukan regulasi. Regulasi berguna untuk mengontrol dampak media terhadap publik, mengontrol atau membatasi konsentrasi kepemilikan media (membatasi adanya pihak asing/warganegara asing yang memiliki media di Indonesia), dan mengontrol konten media. Regulasi disatu sisi bersifat preventif, mencegah dampak buruk media, sementara disisi lain, regulasi bersifat represif, “menghukum” media yang mendatangkan dampak buruk bagi publik. Disatu sisi lainnya lagi, media sebagai institusi ekonomi yang harus dilindungi dalam Mufid (2005: 82).

Dokumen yang terkait

Manajemen Media Penyiaran Televisi Swasta Lokal (Studi Tentang Strategi Manajemen Media Di Stasiun Padangtv Dalam Memproduksi Program Televisi Dengan Muatan Budaya Lokal )

17 192 223

Stasiun Televisi Swasta Di Medan (Arsitektur Metafora)

5 57 122

Kompetisi Program Berita Siang Di Televisi Swasta Dalam Konteks Hegemoni Media Dilihat Dari Perspektif Teori Niche

6 32 93

Pelaksanaan Peraturan Program Sistem Stasiun Jaringan Pada Lembaga Penyiaran Televisi Swasta Lokal Di Sumatera Utara Dalam Perspektif Tanggung Jawab Sosial Media

1 59 136

PENGEMBANGAN PROGRAM ACARA CHATZONE(Studi Terhadap Manajemen Program Acara di Stasiun Televisi Lokal Agropolitan Televisi Kota Batu)

0 39 2

Perancangan Media Visual Quote PT. Manajemen Qolbu Televisi

0 5 1

Strategi Komunikasi Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat Dalam Menerapkan Pedoman Perilaku Penyiaran Dan Standar Program Siaran (P3&SPS) Di Stasiun Televisi Lokal Di Bandung

0 2 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Muatan Lokal Bahasa Jawa Di SDN Kalisegoro Kecamatan Gunungpati

0 1 32

Manajemen Media Penyiaran Televisi Swasta Lokal (Studi Tentang Strategi Manajemen Media Di Stasiun Padangtv Dalam Memproduksi Program Televisi Dengan Muatan Budaya Lokal )

0 0 34

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Manajemen Media Penyiaran Televisi Swasta Lokal (Studi Tentang Strategi Manajemen Media Di Stasiun Padangtv Dalam Memproduksi Program Televisi Dengan Muatan Budaya Lokal )

0 3 46