BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asimetri Dentokraniofasial Simetris berasal dari bahasa Yunani, yaitu symmetria yang berarti ukuran. Simetris dapat didefinisikan sebagai suatu kesesuaian dalam ukuran, bentuk, dan posisi relatif dari bagian-bagian terhadap sisi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asimetri Dentokraniofasial Simetris berasal dari bahasa Yunani, yaitu symmetria yang berarti ukuran.

  Simetris dapat didefinisikan sebagai suatu kesesuaian dalam ukuran, bentuk, dan posisi relatif dari bagian-bagian terhadap sisi kebalikannya yang dipisahkan oleh

  

8

  suatu garis pemisah atau median plane. Menurut kamus kedokteran Stedman, simetris didefinisikan sebagai suatu kesetaraan atau kesesuaian dalam bentuk dari bagian-bagian yang terdistribusi di sekitar pusat atau poros, pada dua ekstrim atau

  18 kutub, atau pada dua sisi yang berlawanan pada tubuh.

  Asimetri dapat dinyatakan sebagai kekurangan atau ketiadaan simetris, jika diilustrasikan ke wajah manusia, ini menggambarkan ketidakseimbangan atau tidak

  8

  proposionalnya antara sisi kanan dan kiri. Dari zaman dulu, manusia selalu menghubungkan kesimetrisan dengan nilai estetika, namun seiring dengan perkembangan zaman, kesimetrisan tidak hanya berkaitan dengan estetika tetapi juga mempengaruhi fungsi. Untuk menemukan seorang individu dengan kesimetrisan yang sempurna sangatlah jarang, sehingga asimetri dengan derajat yang kecil dapat

  10

  diterima sebagai suatu keadaan yang normal. Hasse menyatakan bahwa asimetri dalam kesenian yunani kuno merupakan suatu fenomena yang terjadi secara alami yang menjadi suatu sifat atau ciri dari setiap wajah manusia. Pada kenyataannya, wajah yang simetris sempurna memiliki nilai yang kurang menarik, bagaikan suatu

  19

  topeng. Beberapa penelitian juga melaporkan bahwa ketika suatu wajah dimanipulasi untuk menciptakan suatu wajah yang simetris sempurna, wajah tersebut

  7 menjadi kurang menarik dibandingkan dengan wajah yang memiliki sedikit asimetri.

  Asimetri dentokraniofasial dapat disebabkan oleh berbagai faktor dan bervariasi pada setiap individu. Asimetri dapat disebabkan oleh tidak erupsi gigi yang tidak seimbang, kelainan skeletal yang meliputi maksila dan mandibula. Asimetri dentokraniofasial merupakan suatu hal yang kompleks karena dipengaruhi oleh gigi, prosesus alveolar, serta otot wajah yang terletak disekitar gigi. Asimetri dentokraniofasial dapat bersifat unilateral ataupun bilateral, arah anteroposterior, superoinferior, dan mediolateral. Mandibula merupakan bagian yang paling sering terjadi asimetri dikarenakan dukungan jaringan lunak bagian bawah lebih banyak

  9 dibanding maksila.

2.2 Klasifikasi Asimetri Dentokraniofasial

  Asimetri jika diklasifikasikan berdasarkan struktur dentokraniofasial terbagi menjadi asimetri dental, asimetri skeletal, asimetri muskular, dan asimetri

  9,11,12

  fungsional. Keempat tipe asimetri ini dapat menyebabkan terjadinya asimetri

  9 wajah dan bahkan dapat dijumpai pada individu yang sama.

2.2.1 Asimetri Dental

  Asimetri dental (Gambar 1) dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti tanggalnya gigi desidui yang terlalu dini, kehilangan gigi secara kongenital, kebiasaan buruk seperti menghisap jari, ketidakseimbangan jumlah gigi pada lengkung gigi yang ada, perbedaan jumlah gigi pada lengkung gigi rahang atas dan rahang bawah, dan lengkung gigi rahang atas dan rahang bawah yang tidak

  9,11

  harmonis. Pada subjek yang memiliki maloklusi dental, cenderung memiliki

  10,13,14 asimetri lengkung gigi.

  Asimetri lengkung gigi ditandai dengan adanya deviasi midline yang disertai dengan kehilangan gigi atau tanggalnya gigi yang terlalu dini dan dipastikan terdapat

  7 crowding pada salah satu sisi. Deviasi midline merupakan hal yang sering dijumpai

  pada penderita dengan asimetri dental. Deviasi midline yang lebih besar dari 2 mm merupakan hal yang mudah terlihat bagi orang awam, dan ini merupakan hal yang

  9,10 harus diperhatikan ketika menentukan rencana perawatan.

  Asimetri lengkung gigi cenderung ditemui pada populasi dengan maloklusi. ataupun kombinasi dari kedua faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut seperti malformasi kongenital, karies interproksimal, kebiasaan buruk seperti menghisap jari, mengunyah sebelah sisi, pencabutan gigi yang tidak seimbang atau trauma. Individu yang lebih tua cenderung memiliki asimetri lengkung gigi yang lebih besar, ini juga

  10,14 dikarenakan faktor lingkungan yang berjalan seiring waktu.

  Garn melaporkan bahwa asimetri ukuran gigi pada umumnya tidak melibatkan keseluruhan pada satu sisi lengkung. Di samping itu, gigi yang memiliki morfologi yang sama cenderung memiliki asimetri yang sama, seperti contoh, pada premolar satu maksila lebih besar pada sisi kanan, maka premolar dua maksila akan cenderung memiliki ukuran yang lebih besar pula pada sisi kanan. Selain itu, asimetri cenderung lebih besar terjadi pada gigi yang berposisi lebih distal seperti insisivus

  12 lateral, premolar dua, dan molar tiga.

  12 Gambar 1. Asimetri dental

  Asimetri lengkung gigi menjadi hal yang sedang banyak didiskusikan di

  10

  kepustakaan ortodonti. Sehingga, banyak metode yang dikembangkan dalam menganalisis kesimetrisan lengkung gigi tersebut. Penelitian Zubair dalam menganalis asimetri lengkung gigi menggunakan metode dengan membagi lengkung gigi menjadi tiga segmen. Segmen pertama adalah jarak insisivus-kaninus yang merupakan jarak dari titik insisal ke ujung cusp kaninus. Segmen kedua yaitu jarak kaninus-molar yang merupakan jarak dari ujung cusp kaninus ke ujung cusp distobukal dari molar satu permanen dan segmen ketiga yaitu jarak insisivus-molar yaitu jarak dari titik insisal ke ujung cusp distobukal dari gigi molar satu permanen (Gambar 2). Nilai ukur dari ketiga segmen tersebut kemudian dibandingkan antara sisi kanan dan sisi kiri dengan mengukurnya menggunakan suatu jangka sorong yang

  13 telah dimodifikasi.

  Gambar 2. Model gigi dengan segmen (a) Jarak insisivus- kaninus, (b) Jarak kaninus-molar, (c) Jarak

  

13

insisivus-molar.

  Pada penelitian Scanavini, pengukuran asimetri lengkung gigi dilakukan pada model gigi dengan menggunakan suatu alat yang dimodifikasi secara khusus untuk menganalisis asimetri lengkung gigi tersebut (Gambar 3). Alat tersebut dirancang di departemen ortodonti di UMESP dan terbuat dari baja dan aluminium. Suatu penggaris milimeter dan busur logam disesuaikan untuk memperoleh nilai ukur dari model gigi. Model gigi diposisikan pada suatu landasan dan selanjutnya difiksasi pada landasan dengan menggunakan sekrup. Midline pada model rahang atas ditentukan dengan menandakan titik di sepanjang midpalatal suture, dari papila insisivum hingga ke tanda yang terletak paling posterior yang terlihat. Dengan menghubungkan titik-titik tersebut, sumbu simetris akan diperoleh. Garis tersebut diperpanjang hingga ke incisal edge dari insisivus sentralis maksila yang merupakan titik As (anterior-superior) dan diperpanjang hingga permukaan paling posterior dari model rahang atas yang merupakan titik Ps (posterior-superior). Penentuan midline rahang bawah diperoleh dari proyeksi dari titik As dan Ps pada rahang atas menggunakan penggaris hingga diperoleh titik Ai (anterior-inferior) yang merupakan titik diantara incisal edge dari insisivus sentralis mandibula dan Pi (posterior-inferior) yang merupakan titik pada permukaan paling posterior pada rahang bawah. (Gambar 4). Setelah semua titik referensi diperoleh, dilakukan pengukuran pada deviasi midline, posisi kaninus dan molar satu dengan menggunakan busur dan

  10 penggaris tersebut (Gambar 5).

   Gambar 3. Alat pengukur pada

  10

  penelitian Scanavini Gambar 4. Penentuan midline pada penelitian

  10 Gambar 5. Metode pengukuran asimetri lengkung gigi pada penelitian

10 Scanavini

  Pengukuran kesimetrisan lengkung gigi menurut Kula dan Maurice pada foto model gigi yang dicetak dengan perbandingan foto sebesar 1:1. Sebelum model gigi difoto, penentuan tanda-tanda referensi dilakukan terlebih dahulu. Adapun tanda referensi terdiri dari garis MPP (Median Palatal Plane) yang terbentuk dari dua titik, yaitu titik pada median palatal raphe dekat dengan rugae kedua dan titik kedua adalah titik yang berjarak 1 cm lebih ke distal dari titik pertama. Garis MPP pada maksila diproyeksi ke mandibula untuk memperoleh garis MPP pada mandibula. Tanda referensi lainnya adalah titik pada sudut mesio insisal insisivus sentral, titik pada ujung cusp kaninus, titik pada ujung cusp mesiobukal molar dua desidui dan titik pada ujung cusp mesiobukal molar satu permanen (Gambar 6). Titik pada insisivus, kaninus, molar dua desidui dan molar satu permanen ditarik garis tegak lurus ke garis MPP. Jarak antar titik ke garis MPP diukur dan dibanding antar sisi kiri

  14,15 dan sisi kanan untuk menentukan asimetri lengkung gigi. Gambar 6. Titik-titik referensi pada model gigi yang digunakan dalam menentukan

  14,15

  asimetri lengkung gigi Cara lain untuk menilai kesimetrisan lengkung gigi juga dapat menggunakan alat symmetograph (Gambar 7). Symmetograph menurut Bernklau berupa suatu template plastik dengan skala 2 mm persegi dan terdapat 2 batang besi yang berguna sebagai penahan agar calibrated grid dapat tetap tegak pada midpalatal raphe. Asimetri lengkung gigi dapat dinilai dari arah transversal dan arah anteroposterior

  20 dengan membandingkan sisi kiri dan sisi kanan.

  20 Gambar 7. Symmetograph

2.2.2 Asimetri Skeletal

  Asimetri skeletal dapat melibatkan satu tulang seperti maksila atau mandibula dan juga dapat berdampak pada sejumlah struktur skeletal pada satu sisi wajah, seperti pada penderita hemifacial microsomia (Gambar 8 dan 9). Ketika perkembangan osseus pada satu sisi terpengaruhi maka sisi kontralateralnya pasti akan mengalami gangguan pertumbuhan. Kebiasaan buruk mengunyah sebelah sisi ataupun tidur pada satu sisi yang terus menerus merupakan penyebab perkembangan skeletal pada sisi ipsilateral. Selain itu, faktor asimetri dental, asimetri muskular dan

  11,21 asimetri fungsional juga berkontribusi terhadap terjadinya asimetri skeletal.

  Banyak faktor yang telah ditemukan dapat menyebabkan terjadinya asimetri skeletal dengan mempengaruhi aktivitas sel. Beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan mandibula secara prenatal seperti pada penderita hemifacial

  microsomia , dan banyak faktor postnatal lainnya, seperti trauma, osteo chandroma

  pada kondilus, nerve injury (unilateral muscle dysfunction), rheumatoid atritis

  7 unilateral pada TMJ, amblyopia (asimetri pada tonus otot).

  12 Gambar 8. Hemifacial Microsomia Gambar 9. (a) Hemifacial Microsomia, (b) Foto rontgen pada penderita

  

22

Hemifacial Microsomia

  2.2.3 Asimetri Fungsional

  Asimetri fungsional adalah asimetri yang disebabkan oleh terdapatnya pergeseran mandibula dalam arah transversal atau sagital. Pergeseran mandibula tersebut dapat terjadi karena adanya hambatan oklusi ketika menutup mulut saat

  7,9,12,21

  melakukan gerakan relasi sentris ke posisi interkuspasi maksimum. Asimetri

  11,12 dental merupakan hal yang umum terdapat pada asimetri fungsional.

  Deviasi fungsional dapat disebabkan oleh lengkung maksila yang mengalami konstriksi ataupun faktor lokal seperti malposisi gigi. Jika tidak dikoreksi sejak dini, asimetri fungsional dapat menyebabkan terjadinya asimetri skeletal ataupun

  11,12 gangguan pada TMJ sejalan dengan bertambahnya usia.

  2.2.4 Asimetri Muskular

  Asimetri muskular dapat menyebabkan wajah yang tidak proposional dan penyimpangan midline. Asimetri muskular biasa muncul pada penderita hemifacial

  

microsomia dan penderita cerebral palsy. Adanya kelainan dari fungsi otot seperti

  terjadinya hipertropi pada otot masetter dapat menyebabkan terjadinya asimetri dental

  9,11,12 dan asimetri skeletal karena dorongan otot yang abnormal.

2.3 Diagnosis Asimetri Dentokraniofasial

  Diagnosis ortodonti membutuhkan kumpulan bukti yang adekuat dan menyeluruh mengenai informasi dari pasien. Diagnosis dalam ortodonti

  3

  membutuhkan gambaran luas mengenai situasi pasien. Khususnya untuk kasus asimetri dalam ortodonti, diagnosis kondisi asimetri yang sedini mungkin akan sangat berguna nantinya untuk meminimalkan kebutuhan penggunaan perawatan mekanik

  14

  yang lebih kompleks. Asimetri wajah yang dipengaruhi faktor skeletal, dental, fungsional, dan jaringan lunak dapat dideteksi dari pemeriksaan klinis, radiografi, model studi, dan fotometri.

  2.3.1 Pemeriksaan Klinis

  Pemeriksaan klinis (Gambar 10a) dapat memperlihatkan asimetri dalam dimensi vertikal, sagital, atau transversal. Salah satu pemeriksaan klinis adalah melakukan evaluasi terhadap midline dental. Evaluasi midline dental dilakukan pada posisi membuka mulut, relasi sentrik, kontak insisal, dan oklusi sentrik. Asimetri yang hanya disebabkan oleh faktor skeletal atau dental akan memperlihatkan penyimpangan midline yang sama ketika berada dalam posisi relasi sentrik dan posisi

  12 oklusi sentrik.

  2.3.2 Pemeriksaan Radiografi

  Pemeriksaan penunjang lain untuk melihat perbedaan antara tipe-tipe asimetri dapat dilihat dengan menggunakan radiografi. Terdapat beberapa proyeksi yang dapat mengidentifikasi lokasi dan penyebab dari asimetri. Pemeriksaan asimetri dengan radiografi dapat menggunakan sefalometri lateral, sefalometri postero-anterior (Gambar 10b), dan radiografi panoramik. Identifikasi asimetri menggunakan sefalometri lateral memberikan interpretasi yang terbatas karena antara sisi kanan dan

  12 kiri terjadi superimposisi.

  2.3.3 Pemeriksaan Model Studi

  Analisis model studi merupakan penilaian tiga dimensi pada gigi-geligi rahang atas dan rahang bawah, serta penilaian terhadap hubungan oklusal. Pemeriksaan pada model studi dapat dilakukan dari arah transversal, sagital, dan menyelesaikan. Pada ahli telah mengembangkan cara analisis dengan teknik komputerisasi yang dianggap lebih praktis dibandingkan teknik manual, tetapi teknik

  23 ini memerlukan pengetahuan dan peralatan khusus.

2.3.4 Pemeriksaan Fotometri Fotometri terbagi menjadi fotometri ekstraoral dan fotometri intraoral.

  Pemeriksaan fotometri ekstraoral dapat diambil dari posisi frontal (Gambar 11), lateral, dan dari sudut 45 dengan keadaan bibir istirahat, keadaan bibir yang saling bersentuhan, dan foto dengan keadaan tersenyum. Fotometri intraoral mencakup lima pandangan dari gigi dan oklusi. Gambar dari fotometri intraoral terdiri dari dua foto bukal (kiri dan kanan), dua foto oklusal (rahang atas dan rahang bawah), dan satu foto

  24 pandangan frontal. Foto diambil dalam posisi gigi interkuspasi maksimum.

  Gambar 10. Diagnosis secara (a) pemeriksaan klinis (b) pemeriksaan radiografi dengan sefalometri

  24 Anteroposterior Gambar 11. Diagnosis melalui

  24

  pandangan frontal

2.4 Klasifikasi Oklusi menurut Angle

  Oklusi normal merupakan hal yang sering dijumpai dalam suatu populasi, sedangkan oklusi ideal itu jarang ataupun hal langka yang ditemukan. Oklusi normal mencakup variasi dalam posisi dan hubungan gigi sedikit berbeda dari oklusi ideal. Angle menggambarkan bahwa oklusi normal merupakan suatu dataran yang ditempati oleh sederetan gigi yang tersusun dalam suatu lengkungan yang rapi dengan hubungan lengkung rahang atas dan lengkung rahang bawah yang harmonis. Oklusi normal memiliki rotasi yang sangat kecil, berjejal, dan atau jarak antar gigi. Menurut Angle, kunci untuk oklusi normal adalah hubungan

  25,26 anteroposterior antara molar satu permanen bawah (Gambar 12).

  26 Gambar 12. Oklusi normal

  Konsep Angle pada oklusi normal pada dasarnya merupakan gambaran dari oklusi ideal. Orang dengan oklusi ideal harus memiliki 32 gigi permanen dan memiliki hubungan yang sangat bagus pada ketiga bidang. Ujung cusp mesiobukal dari molar satu permanen atas terletak dengan tepat pada groove bukal dari molar satu permanen rahang bawah, dan ujung dari mahkota kaninus atas terletak dengan tepat pada embrasur antara kaninus dan premolar satu bawah. Panjangnya insisivus sentral atas menutupi 20% dari permukaan labial insisivus sentral bawah dalam bidang vertikal (overbite). Jarak di sepanjang bidang anteroposterior antara permukaan labial dari insisivus sentral bawah adalah sekitar 1-2 mm. Bahkan, gigi memiliki sudut yang normal dalam bidang mesiodistal, memiliki inklinasi yang normal dalam bidang bukolingual dan tersusun tanpa adanya ruang, rotasi, dan

  25,26 crowded di sepanjang puncak prosesus alveolar (Gambar 13).

  (a) (b)

  Gambar 13. (a) Pandangan frontal dari oklusi ideal, (b)

  25

  pandangan lateral dari oklusi ideal

2.4.1 Maloklusi Klas I Angle

  Maloklusi Klas I memiliki hubungan molar satu yang sama dengan oklusi normal, dimana cusp mesiobukal dari molar satu permanen rahang atas beroklusi pada groove bukal yang terletak di antara cusp mesial dan distal bukal molar satu permanen rahang bawah (Gambar 14). Maloklusi Klas I pada umumnya memiliki gigi yang normal dari arah anteroposterior yang dikombinasi dengan adanya suatu penyimpangan antara ukuran gigi dengan panjang lengkung rahang. Penyimpangan yang biasa terjadi adalah crowded, dan untuk kasus diastema antar gigi jarang ditemukan. Pasien maloklusi Klas I dengan crowded memiliki gigi yang lebih besar dengan panjang lengkung gigi yang lebih kecil serta memiliki lebar lengkung yang lebih kecil. Gigitan silang anterior dan posterior juga dapat ditemukan pada pasien

  1,26 dengan maloklusi Klas I.

  Dewey mengemukakan suatu modifikasi dari klasifikasi maloklusi Angle

  

27

  yang membagi Klas I menjadi lima tipe, yaitu : a.

  Tipe 1 : Maloklusi Klas I dengan crowded pada gigi anterior b.

  Tipe 2 : Klas I dengan protusi pada gigi insisivus maksila c. Tipe 3 : Maloklusi Klas I dengan gigitan terbalik anterior d.

  Tipe 4 : Relasi molar Klas I dengan gigitan terbalik posterior e. Tipe 5 : Molar permanen telah terjadi pergeseran ke arah mesial karena pencabutan dini pada molar satu desidui atau molar dua desidui.

  3 Gambar 14. Maloklusi Klas I Angle

2.4.2 Maloklusi Klas II Angle

  Maloklusi Klas II memiliki hubungan lengkung gigi yang tidak normal dengan posisi gigi molar satu mandibula berada lebih ke distal dari gigi molar satu maksila (Gambar 15). Angle membagi maloklusi Klas II menjadi maloklusi Klas II

  1,26

  divisi 1, maloklusi Klas II divisi 2, dan maloklusi Klas II subdivisi Maloklusi Klas II Angle subdivisi memiliki karakteristik Klas II maloklusi pada satu sisi dan Klas I oklusi pada sisi yang berlawanan. Klas II subdivisi dapat mencakup asimetri skeletal, asimetri dentoalveolar atau kombinasi dari keduanya. Maloklusi Klas II subdivisi memiliki hubungan yang asimetri antara sisi kanan dan kiri, sehingga klinisi harus mampu menentukan penyebab utama dari asimetri ini guna untuk memberikan perawatan yang terbaik. Pada penelitian Cassidy dkk., melaporkan bahwa 50% dari dari 98 subjek penelitian dengan maloklusi Klas II subdivisi menunjukkan pergeseran midline mandibula terhadap midline wajah. Artinya, maloklusi Klas II subdivisi lebih banyak disertai dengan asimetri mandibula. Pada umumnya faktor skeletal sebagai penyebab dan terlihat deviasi dagu ke sisi Klas II. Faktor utama yang berkontribusi pada maloklusi Klas II subdivisi adalah defisiensi pada mandibula karena terjadi pengurangan pada tinggi ramus atau panjang mandibula pada sisi Klas II. Selain itu, Alavi dkk., menyatakan bahwa faktor utama yang berkontribusi untuk terjadinya hubungan asimetri ini adalah

  28,29 komponen dentoalveolar.

  3,8

  Gambar 15. Maloklusi Klas II Angle

  2.4.2.1 Maloklusi Klas II Angle Divisi 1

  Maloklusi Klas II divisi 1 memiliki gigi rahang bawah dengan posisi lebih distal dari gigi rahang atas. Protusi gigi insisivus atas umum ditemukan pada maloklusi ini, sehingga akan menghasilkan overjet lebih besar dari normal (Gambar 16). Insisivus atas sering dijumpai penambahan inklinasi ke labial, ini menyebabkan mahkota insisivus rentan terjadi fraktur. Hubungan molar satu permanen pada maloklusi ini menunjukkan cusp distobukal dari gigi molar satu atas beroklusi pada bukal groove dari molar satu permanen bawah dan ujung mahkota kaninus maksila beroklusi di dekat permukaan mesial dari kaninus mandibula. Pasien dengan maloklusi ini dapat atau tidak memiliki gigi crowded dan memiliki variasi dalam derajat dari overbite, dari openbite hingga deep overbite. Rata-rata pada individu dengan maloklusi Klas II divisi 1 memiliki lebar lengkung maksila yang

  26 lebih sempit dibanding dengan individu dengan oklusi normal.

  Gambar 16. Maloklusi Klas II

  26 Angle divisi 1

  2.4.2.2 Maloklusi Klas II Angle Divisi 2

  Pada maloklusi Klas II divisi 2, inklinasi insisivus sentralis atas lebih ke lingual (Gambar 17). Hal ini yang menunjukkan perbedaan dengan maloklusi Klas II divisi 1 dimana terdapat inklinasi labial yang besar. Jumlah dari insisivus maksila dengan inklinasi ke lingual bervariasi antara keempat gigi insisivus rahang atas. Posisi dari insisivus dengan inklinasi ke lingual akan menghasilkan nilai overjet yang kecil hingga sedang. Oleh karena inklinasi insisivus yang lebih ke lingual, maka

  overbite akan ditemukan lebih dalam dari biasanya. Collum angle antara panjang axis

  dari mahkota dengan panjang axis dari akar pada insisivus sentralis maksila memiliki derajat lebih besar pada pasien maloklusi Klas II divisi 2 dibandingkan dengan kelompok oklusi normal. Pasien dengan maloklusi Klas II divisi 2 yang memiliki derajat collum angle yang besar pada umumnya memiliki overbite yang lebih besar dari normal. Lengkung maksila dan mandibula pada pasien dengan maloklusi ini

  26 lebih sempit dibandingkan dengan oklusi normal.

  Gambar 17. Maloklusi Klas II

  26 Angle divisi 2

2.4.3 Maloklusi Klas III Angle

  Posisi gigi pada rahang bawah berada lebih mesial dari gigi rahang atas dan umunya terlihat gigitan terbalik anterior terdapat pada maloklusi Klas III Angle. Cusp mesiobukal dari molar satu rahang atas beroklusi pada embrasure di antara molar satu dan molar dua rahang bawah (Gambar 18). Lengkung gigi maksila cenderung terjadi

  crowded dibanding mandibula. Lebar lengkung maksila lebih sempit dibanding oklusi

  normal. Sempitnya lengkung gigi maksila dan adanya penyimpangan anteroposterior

  26 pada lengkung sering dihubungkan dengan adannya gigitan terbalik posterior.

  Dewey memodifikasi klasifikasi maloklusi Klas III Angle menjadi tiga tipe,

  27

  yaitu : a.

  Tipe 1 : Lengkung gigi atas dan bawah ketika dilihat secara terpisah menunjukkan deretan yang normal. Tetapi, ketika lengkung dioklusikan akan menunjukkan insisivus yang edge to edge.

  b.

  Tipe 2 : Insisivus mandibula mengalami crowded dan memiliki hubungan lingual terhadap insisivus maksila.

  c.

  Tipe 3 : Insisivus maksila mengalami crowded dan memiliki hubungan gigitan terbalik terhadap anterior mandibula.

  3,8

  Gambar 18. Maloklusi Klas III Angle

  Kerangka Teori

  Asimetri Dental

  Asimetri Skeletal

  Asimetri Fungsional

  Asimetri Muskular

  Asimetri Dentokraniofasial

  Asimetri Lengkung Gigi

  Maloklusi Angle

  Maloklusi Klas

  I Angle Maloklusi

  Klas II Angle Maloklusi

  Klas III Angle Diagnosis

  Pemeriksaan Klinis

  Pemeriksaan Radiografi

  Analisis Model Studi

  Fotografi

  Kerangka Konsep

  Mahasiswa FKG USU :

  • Maloklusi Klas II Angle - Maloklusi Klas III Angle Asimetri Lengkung Gigi