BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA - Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Cybercrime Yang Ditinjau Dari Hukum Pidana Indonesia Dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA CYBERCRIME A. Pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana cybercrime. Dunia maya (cyberspace) adalah media yang tidak mengenal batas, baik

  batas-batas wilayah maupun batas kenegaraan. Kejahatan dalam dunia maya

  

(cybercrime) dapat diartikan sebagai jenis kejahatan yang dilakukan dengan

  mempergunakan media internet sebagai alat untuk menjalankan aksinya, kejahatan ini (cybercrime) bisa dikatakan dilakukan tanpa ada kekerasan dan sedikit melibatkan kontak fisik dikarenakan memanfaatkan jaringan telematika

  

(telekomunikasi, media dan informatika).

  Oleh karena kejahatan duniamaya (cybercrime) menggunakan teknologi dan jaringan internet sebagai alat bantunya, jelas bahwa tindak kejahatan dunia maya tersebut dapat dilakukan dimana saja, kapan saja serta berdampak kemana saja yang seakan-akan tidak memiliki batas (borderless). Keadaan seperti itu mengakibatkan pelaku kejahatan, korban, tempat terjadinya perbuatan pidana

  

(locus delicti) serta akibat yang ditimbulkannya dapat terjadi dimana saja bahkan

   hingga melintasi antar Negara.

  Dalam mengantisipasi suatu tindak kejahatan sudah pasti harus melalui suatu penelitian yang akhirnya menghasilkan suatu peraturan dan selanjutnya harus dipatuhi oleh khalayak ramai, begitu pula dalam pembentukan tentang aturan Pidana dalam mengantisipasi suatu tindak kejahatan khususnya kejahatan 27 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Op cit, hlm 20 dunia maya (Cybercrime). Oleh karena itu penulis mencoba mengidentifikasi bentuk-bentuk kejahatan yang berkaitan dengan teknologi dan jaringan internet dengan perundang-undangan pidana yang ada kedalam delik-delik KUHP sebagai berikut:

  1. Joycomputing, diartikan sebagai perbuatan seseorang yang mengunakan komputer secara tidak sah atau tanpa izin dan menggunakannya melampaui wewenang yang diberikan. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pencurian (pasal 362 KUHP)

  2. Hacking, diartikan sebagai suatu perbuatan penyambungan dengan cara menambah terminal komputer baru pada sistem jaringan komputer tanpa izin (dengan melawan hukum) dari pemilik sah jaringan komputer tersebut. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perbuatan tanpa wewenang masuk dengan memaksa kedalam rumah atau ruangan yang tertutup atau pekarangan atau tanpa haknya berjalan diatas tanah milik orang lain (pasal 167 dan pasal 551 KUHP) 3. The Trojan Horse, diartikan sebagai suatu prosedur untuk menambah, mengurangi atau mengubah instruksi pada sebuah program, sehingga program tersebut selain menjalankan tugas yang sebenarnya juga akan melaksanakan tugas lain yang tidak sah. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penggelapan (pasal 372 dan pasal 374 KUHP). Apabila kerugian yang ditimbulkan menyangkut keuangan Negara, tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi

  4. Data Leakage, diartikan sebagai pembocoran data rahasia yang dilakukan dengan cara menulis data-data rahasia tersebut kedalam kode-kode tertentu sehingga data dapat dibawa keluar tanpa diketahui oleh pihak yang bertanggung jawab. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap keamanan Negara (pasal 112, pasal 113 dan pasal 114 KUHP) dan tindak pidana membuka rahasia perusahaan atau kewajiban menyimpan rahasia profesi atau jabatan (pasal 322 dan pasal 323 KUHP)

5. Data diddling, diartikan sebagai suatu perbutan yang mengubah data valid atau sah dengan cara yang tidak sah, yaitu dengan mengubah input data.

  Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemalsuan surat

  pasal 236 KUHP) 6. Penyia-nyiaan data komputer, diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan suatu kesengajaan untuk merusak atau menghancurkan media penyimpanan sejenis lainnya yang berisikan data atau program komputer, sehingga akibat perbuatan tersebut data atau program yang dimaksud menjadi tidak berfungsi lagi dan pekerjaan-pekerjaan yang melalui program komputer tidak dapat dilaksanakan. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perusakan barang (pasal 406 KUHP) 7. Pornografi di internet, diartikan sebagai perbuatan mempertontonkan, menyajikan (gambar atau video) dan menyebarluaskan melalui internet suatu aktifitas seksual atau tidak senonoh. Tindakan atau perbuatan tersebut dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kesopanan (pasal 281 dan pasal 282 KUHP) atau jika dilakukan ditempat umum atau diperlihatkan kepada anak yang masih dibawah umur dalam hal menyajikan bentuk-bentuk pornografi maka dikategorikan sebagai pelanggaran tentang kesopanan (pasal 533).

  8. Penipuan melalui media internet, yaitu suatu perbuatan yang dilakukan dengan cara membuat suatu pemberitahuan palsu dan menyesatkan atau bertindak sebagai orang lain secara tidak sah dan melakukan penipuan melalui internet atau sms. Maka perbuatan itu masuk kedalam kategori tindak pidana penipuan yang diatur dalam Pasal 378 KUHP. Menurut buku I KUHP, yurisdiksi penerapan hukum pidana meliputi keberlakuan hukum pidana menurut waktu dan menurut tempat. Keberlakuan hukum pidana menurut waktu diatur dalam pasal 1 ayat (1) dan (2) KUHP

   .

  Didalam Bab I KUHP tersebut ditemukan asas “ruang berlakunya hukum pidana menurut waktu” yang terdiri atas asas mengenai berlakunya hukum pidana pada waktu delik terjadi atau dilakukan dan Pasal 1 ayat (1) dikenal dengan asas lex

  temporis delicti atau asas non-retroaktif, asas mengenai berlakunya hukum pidana

  pada waktu perubahan Undang-undang atau dalam masa transisi dimuat dalam Pasal 1 ayat (2) yang juga dikenal dengan asas retroaktif.

   Berdasarkan pengategorian tindak kejahatan dunia maya (cybercrime)

  kedalam delik-delik KUHP diatas, secara substansi Pasal-pasal dalam KUHP 29 Pasal 1 ayat (1): Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan

  ketentuan pidana dalam Undang-undang, yang terlebih dahulu dari perbuatan itu. Ayat (2): jikalau Undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya. 30 Maskun, Kejahatan Siber, Cybercrime suatu pengantar, (Kencana, Makasar: 2013),

  dapat saja diupayakan untuk mengakomodasikan modus kejahatan komputer, namun permasalahan yang sering kali muncul adalah relevansi Pasal-pasal tersebut dengan kejahatan yang berkembang sekarang khususnya kejahatan yang terjadi di dunia maya (cybercrime).

  Jika melihat kepada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

  

  terhadap tindak pidana di dunia maya (cybercrime) yang bersifat Transnasional,

  

  masih memiliki kekurangan dalam hal yurisdiksi karena perkembangan yang cepat dibidang ilmu dan teknologi telah mengakibatkan semakin tingginya mobilitas manusia baik secara nasional maupun internasional. Berhubung hampir setiap manusia adalah Warganegara dari suatu Negara yang berdaulat, maka peningkatan mobilitas manusia tersebut banyak menimbulkan masalah berkaitan dengan yurisdiksi ekstrateritorial suatu Negara.

  Oleh sebab itu KUHP dikatakan masih memiliki kekurangan dikarenakan aturan berlakunya hanya sebatas territorial-nya saja atau tempat dimana berlakunya suatu aturan Pidana tersebut, karena berlakunya suatu Undang-undang pidana suatu Negara digantungkan kepada tempat di mana suatu perbuatan pidana

  

  dilakukan . Melihat kepada prinsip nasional aktif dan nasional pasif, maka suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku baik di luar negeri maupun di dalam negeri harus melihat kepada status kewarganegaraannya dalam hal ini pelaku agar dapat dihukum sesuai dengan aturan yang berlaku kepadanya (prinsip nasional 31 Transnasional adalah suatu gebrakan sosial yang tumbuh dikarenakan meningkatnya

  

interkonektifitas antar manusia diseluruh Dunia yang semakin memudarkan batas-batas antar

Negara perkembangan telekomunikasi khususnya internet, migrasi penduduk dan terutama

globalisasi yang menjadi pendorong perkembangan transnasionalisme ini. 32 Yurisdiksi adalah wilayah atau daerah tempat berlakunya suatu Undang-undang yang berdasarkan hukum.

  

  aktif). Begitu juga kepada korban yang merasa dirugikan, menurut prinsip nasional pasif maka agar dapat diberikan perlindungan hukum kepada korban harus terlebih dahulu diketahui apakah status korban adalah warga Negara tempat terjadinya peristiwa pidana atau bukan. Setelah diketahui maka akan diberikan perlindungan hukum dan jika diketahui bahwa korban bukan merupakan warga Negara pada tempat peristiwa pidana yang terjadi kepadanya, maka korban harus kembali kepada Negara asalnya untuk meminta perlindungan hukum atas

   peristiwa pidana yang terjadi padanya (prinsip nasional pasif).

  Keberlakuan Undang-undang Pidana yang tercantum pada KUHP didasarkan pada asas-asas yang berlaku secara internasional, antara lain asas territorial, asas nasional aktif dan asas nasional pasif. Dalam perkembangan penerapannya, asas teritorialitas ini memiliki keterbatasan untuk menjerat seseorang yang melakukan tindak pidana diluar wilayah suatu Negara. Oleh karena itu, banyak Negara menambahkan asas lain agar perundang-undangan pidananya tetap berlaku dalam kondisi-kondisi yang tidak dapat dijangkau dengan asas teritorialitas, khususnya dalam kondisi dimana pelaku tidak dapat hadir dalam wilayah Negara yang bersangkutan. Asas ini dikenal dengan asas ekstrateritorial.

  Asas ekstrateritorial ini diwujudkan dalam Pasal 4 KUHP dan Pasal 5 KUHP. Pasal 4 KUHP memuat asas nasional pasif tentang pemberlakuan Undang-undang pidana Indonesia kepada setiap orang baik warga Negara Indonesia maupun warga negara asing yang melakukan tindak pidana diluar 34 P.A.F Lamintang, Op cit, hlm. 90 wilayah hukum Indonesia namun melanggar kepentingan Indonesia, Pasal 5 KUHP mengandung asas nasionalitas aktif yaitu perundang-undangan pidana Indonesia berlaku kepada setiap warga Negara Indonesia dimanapun ia berada.

  Namun begitu juga hukum pidana Indonesia telah mengalami perluasan dalam hal batas-batas keberlakuannya baik dalam negeri maupun luar negeri atau disebut ekstrateritorial dengan adanya dukungan dari Undang-undang yang mengatur tentang asas ekstrateritorial salah satunya yaitu Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Karena cyberspace adalah merupakan dunia virtual yang lokasinya sulit untuk ditemukan tetapi dapat

   dikunjungi oleh berjuta pengguna yang tersebar di seluruh dunia setiap saat.

  

B. Pengaturan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Cybercrime yang

Diatur Dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik.

  Seiring dengan berkembangnya teknologi informasi yang menyebabkan semakin beragamnya suatu tindak pidana khususnya di dunia maya atau lebih dikenal dengan sebutan cybercrime yang tidak sepenuhnya dapat dicegah dengan aturan pidana konvensional atau yang tertera pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maka, rancangan pengaturan hukum mengenai cybercrime mulai dibahas sejak tahun 2003 oleh Kementrian Negara Komunikasi dan Informatika dan pada tanggal 21 April 2008 Undang-undang Informasi dan Transaksi

   Elektronik (UU ITE) secara resmi disahkan. Dalam pemberlakuannya UU ITE 36 Josua sitompul, Op cit, hlm. 136 menganut asas ekstrateritorial yang dicantumkan dalam pasal 2 yang berbunyi “ Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah

  

  Pasal tersebut diatas tidak hanya menjelaskan prinsip teritorialitas bahwa Undang-undang ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum dalam wilayah Indonesia, tetapi juga memperluas ruang lingkup pengaturan prinsip ekstrateritorial yang diatur dalam KUHP. Pasal 2 UU ITE memperluas cakupan asas ekstrateritorial nasionalitas dalam KUHP dengan menambahkan kepentingan-kepentingan Nasional baik asas nasionalitas pasif yang dijelaskan dalam pasal 4 KUHP maupun asas nasionalitas aktif yang dijelaskan dalam pasal

  5 KUHP serta dilindungi berdasarkan UU ITE. Kepentingan Negara Indonesia yang diatur dalam Pasal 4 KUHP ialah sebagai berikut: Ke-1. Salah satu kejahatan tersebut pasal-pasal: 104, 106, 107, 108, 110, 111 bis ke-1, 127 dan 131 Ke-2. Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau Bank, ataupun mengenai materai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan olrh Pemerintah Indonesia

  Ke-3. Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas tanggungan suatu Daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda dividen atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut atau menggunakan surat-surat tersebut diatas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah tulen tidak dipalsukan

  Ke-4. Salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan pasal 446, tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan

  pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf l, m, n dan o tentang kejahatan

   yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.

  Kepentingan nasional yang diperluas dalam UU ITE yaitu meliputi tetapi tidak terbatas pada perbuatan-perbuatan yang merugikan ekonomi nasional, perlindungan data strategis, harkat dan martabat bangsa, pertahanan dan keamanan Negara, kedaulatan Negara, warga Negara, serta badan hukum Indonesia. Maksudnya adalah, perbuatan pidana yang diatur dalam UU ITE jika dilakukan oleh warga Negara asing diluar wilayah hukum Indonesia dan memiliki akibat hukum diluar wilayah hukum Indonesia tetap dapat dipidana berdasarkan aturan UU ITE sepanjang perbuatan tersebut melanggar kepentingan nasional yang diatur dalam Undang-undang ini.

  Sebagai contoh seorang Warga Negara Amerika Serikat memiliki akun di

   blogspot, dan ketika berada di negaranya, ia menuliskan dalam blog-nya

  informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu atau kelompok masyarakat yang ada di Indonesia. Dalam kasus tersebut, Warga Negara Amerika Serikat dapat dipidana berdasarkan pasal 28 ayat (2) UU

  ITE karena meskipun perbuatan penulisannya dilakukan di Amerika Serikat, tetapi memiliki akibat hukum untuk Indonesia mengingat blog-nya dapat dibaca di Indonesia dan targetnya adalah warga Negara Indonesia.

  Dalam hal ini, tidak hanya Negara Indonesia yang memiliki kepentingan atas perbuatan atau akibat tindak pidana, dan atas pelaku, tetapi juga Negara lain yang terkait. Meskipun warga Negara Amerika Serikat yang melakukan tindak pidana cyber berdasarkan Undang-undang Indonesia dari negaranya, belum tentu isi blog yang dimaksud merupakan tindak pidana di Negara Amerika Serikat dan belum tentu Negara bersangkutan akan menyerahkan warga negaranya untuk diproses di Indonesia.

  Namun, bentuk lain penerapan dari akibat perbuatan hukum yang dilarang

   hadir di wilayah Indonesia terdapat dalam pasal 37 UU ITE.

  Pasal ini ditujukan terhadap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 s.d. Pasal 36 diluar wilayah Indonesia terhadap Sistem Elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia. Dengan 40 Blogspot adalah merupakan suatu wadah yang terdapat di dunia maya yang berfungsi

  

sebagai catatan atau buku harian dan bisa saja digunakan untuk tempat berbisnis

diakses pada tanggal, 07-April-2014, jam, 01:09 wib 41 Pasal 37 UU ITE Setiap Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 di luar wilayah Indonesia terhadap kata lain, yang menjadi objek tindak pidana dalam Pasal 27 s.d. Pasal 36 tersebut adalah Sistem Elektronik yang berada di Indonesia. Oleh karena itu, setiap orang yang melakukan perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam pasal 27 s.d. pasal 36 di luar Indonesia, sepanjang ditujukan kepada sistem elektronik Indonesia, dapat dipidana berdasarkan UU ITE. Hal tersebut merupakan maksud dari “memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU ITE. Maka perbuatan yang dilakukan oleh Warga Negara Amerika Serikat yang telah membuat rasa kebencian atau permusuhan antar individu atau kelompok masyarakat Indonesia melalui sistem elektronik, dapat dikenai aturan Pidana.

  Selain hal tersebut, unsur “ memiliki akibat hukum diwilayah hukum Indonesia “ juga dimaksudkan untuk memperluas asas nasionalitas aktif dan memperluas keberlakuan UU ITE. Berdasarkan pasal 2 UU ITE tersebut diatas ketentuan-ketentuan tindak Pidana dunia maya sebagaimana dimaksud dalam

  BAB VII tentang Perbuatan Yang Dilarang pasal 27 s/d pasal 37 UU ITE beserta

  

  ancaman-ancaman pidananya berlaku bagi: 1.

  Orang (yaitu orang perseorangan, baik warga Negara Indonesia, warga Negara asing, maupun badan hukum) dalam wilayah Negara Indonesia, atau

  2. Orang (WNI, WNA, badan hukum) diluar wilayah hukum Indonesia dan perbuatan tersebut: a.

  Memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia, atau b.

  Memliki akibat hukum diluar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. Perumusan keberlakuan UU ITE dalam pasal 2 juga mengakomodir teori-teori

  locus delicti yang berlaku di Indonesia. Secara umum, teori locus delicti dalam

  ilmu hukum pidana dan yurisprudensi yang ada ialah: a.

  Teori perbuatan materiil (leer van de lichamelijke daad) Menurut teori ini, yang menjadi locus delicti ialah tempat dimana pelaku melakukan perbuatan-perbuatan yang kemudian dapat menimbulkan tindak pidana yang bersangkutan. Dengan kata lain, locus deilcti ialah tempat dimana perbuatan yang perlu ada supaya tindak pidana dapat terjadi. Dengan demikian, waktu dan tempat delik ialah sama. Kelemahannya ialah teori ini tidak membawa penyelesaian dalam hal delik materil b.

  Teori alat yang dipergunakan (leer van het instrument) Menurut teori alat yang dipergunakan, tempat tindak pidana dilakukan ialah ditempat alat yang dipergunakan pelaku menyelesaikan tindak pidana. Alat tersebut dianggap sebagai perpanjangan tangan dari pelaku, sehingga dimana alat tersebut bekerja disitu pula pelaku dianggap berada c.

  Teori akibat (leer van het gevolgt) Menurut teori ini, lucos delicti ialah tempat akibat yang dilarang dari suatu tindak pidana muncul.

  Perluasan asas-asas ini dimaksudkan untuk mengantisipasi metode atau cara melakukan kejahatan dalam dunia maya yang memanfaatkan karakteristik ruang virtual, selain itu, pengaturan ini juga memberikan dasar hukum bagi Pemerintah Indonesia unruk memberikan bantuan hukum kepada Negara lain dalam menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan tindak pidana

  

cybercrime. Perbuatan pidana yang diatur dalam UU ITE BAB VII tentang

  perbuatan yang dilarang, perbuatan-perbuatan tersebut dapat dikategorikan

  

  menjadi beberapa kelompok sabagai berikut: 1.

  Tindak pidana yang berhubungan dengan aktivitas illegal, yaitu : a.

  Distribusi atau penyebaran, transmisi, dapat diaksesnya konten illegal, yang terdiri dari:

  

  • Kesusilaan

  

  • Perjudian

  

  • Penghinaan atau pencemaran nama baik

  

  • Pemerasan atau pengancaman

  

  • Berita bohong yang menyesatkan dan merugikan konsumen

  

  • Menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA
  • Mengirimkan informasi yang berisi ancaman kekerasan atau

   menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.

   b.

  Dengan cara apapun melalui akses illegal c. Intersepsi illegal terhadap informasi atau dokumen elektronik dan

   system elektronik.

2. Tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan (interferensi), yaitu:

  43 44 Ibid., hlm. 148 45 Pasal 27 ayat (1) UU ITE. 46 Pasal 27 ayat (2) UU ITE. 47 Pasal 27 ayat (3) UU ITE. 48 Pasal 27 ayat (4) UU ITE. 49 Pasal 28 ayat (1) UU ITE. 50 Pasal 28 ayat (2) UU ITE. 51 Pasal 29 UU ITE.

Pasal 30 UU ITE.

  a.

  Gangguan terhadap informasi atau dokumen elektronik (data

   interference)

   b.

  Gangguan terhadap system elektronik (system interference).

   3.

  Tindak pidana memfasilitasiperbuatan yang dilarang

   4.

  Tindak pidana pemalsuan informasi atau dokumen elektronik

  

  5. dan Tindak pidana tambahan (accesoir),

   6.

  Perberatan-perberatan terhadap ancaman pidana.

  Dengan luasnya dalam hal Undang-undang yang mengatur tentang peraturan pidana khususnya dibidang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat mengantisipasi dan mengurangi perkembangan kejahatan dunia maya

  (Cybercrime).

  53 54 Pasal 32 UU ITE. 55 Pasal 33 UU ITE. 56 Pasal 34 UU ITE. 57 Pasal 35 UU ITE.

Dokumen yang terkait

Analisis Hukum Perdata Tentang Syarat Sah Kontrak Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

9 219 88

Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Cybercrime Yang Ditinjau Dari Hukum Pidana Indonesia Dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

4 107 81

Tindak Pidana Di Bidang Teknologi Informasi Di Pandang Dari UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

0 67 145

Hasil Penyadapan KPK Sebagai Alat Bukti Dalam Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

1 64 77

Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Teknologi Informasi Dari Perspektif UU NO. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

0 47 112

Tinjauan Hukum Penyadapan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Alat Bukti Ditinjau Dari Udang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

0 7 1

Tinjauan Hukum Mengenai Kekuatan Pembuktian Secara elektronik Dalam Perkara Cyber Crime Dihubungkan Dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

1 10 29

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ABORSI MENURUT PENGATURAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA - Perbandingan Tindak Pidana Aborsi Menurut Hukum Positif Di Indonesia Dan Hukum Islam

0 1 34

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN ORANGTUA TERHADAP ANAK KANDUNGNYA A. Tindak Pidana Pembunuhan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) - Analisis Hukum Pidana Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Y

1 2 36

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) - Perbandingan Tindak Pidana Perzinahan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Hukum Islam

0 2 23