Siapa yang Diuntungkan dari Kapitalisme

Siapa yang Diuntungkan dari “Kapitalisme Negara”?
Indoprogress | 4 May 2017
Abdil Mughis Mudhoffir
https://indoprogress.com/2017/05/siapa-yang-diuntungkan-dari-kapitalisme-negara/

PATUT diakui, tulisan Johanes Danang Widojoko berjudul Sisi Lain Pilkada: Kembali
Surutnya Kapitalisme Negara? memberi oase di tengah wacana tentang politik
identitas yang mulai menjemukan dalam menafsirkan situasi politik kontemporer
pasca pemilihan gubernur DKI Jakarta beberapa waktu silam. Akan tetapi, ada dua
persoalan mendasar yang juga patut menjadi perhatian dalam tulisan tersebut.
Pertama, Widojoko terlalu berlebihan mendefinisikan rezim infrastruktur pemerintah
Joko Widodo (Jokowi) secara nasional dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di
Jakarta yang mengandalkan perusahaan negara dalam melaksanakan proyekproyek pembangunan sebagai kapitalisme negara. Pada kenyataannya, kelas
kapitalis domestik maupun asing masih berperan dominan dalam mewarnai
dinamika ekonomi-politik di Indonesia. Sementara Jokowi maupun Ahok hanya
mampu memonopoli secara terbatas investasi proyek pembangunan di bidang
infrastruktur melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD).
Kedua, kalaupun rezim infrastruktur Jokowi dan Ahok bisa disebut sebagai
kapitalisme negara, cara pandang Widojoko cukup problematik dalam menilai bahwa
model kapitalisme negara dianggap mampu mengatasi kepentingan oligarki karena

lebih efisien dalam melaksanakan program pembangunan mencapai sasaran
kepentingan publik. Memang ia menyadari konsekuensi pembangunan juga
menimbulkan korban tidak hanya manusia tetapi juga lingkungan. Namun,
persoalannya tidak sebatas di situ. Tanpa menyadari bahwa yang disebut
kapitalisme negara juga tidak lain bagian dari praktik akumulasi kapital dan
kekuasaan untuk segelintir elite, persoalan yang lebih besar mengenai distribusi
ekonomi menjadi kurang mendapat perhatian. Dengan kata lain, klaim efisiensi atau
nasionalisme ekonomi mesti juga dilihat tidak lain sebagai mantra aliansi predatoris
mereproduksi relasi kapitalisme.

Kembalinya Kapitalisme Negara?
Widojoko berargumen bahwa pemerintahan Jokowi di tingkat nasional serta Ahok
pada level daerah telah menunjukkan keberhasilannya dalam menggunakan
instrumen negara menyingkirkan korporasi swasta sebagai representasi dari
kepentingan oligarki dalam mendorong pembangunan ekonomi. Kecenderungan ini
disebut juga oleh Widojoko sebagai kapitalisme negara yang menjadi anti-tesis bagi
kapitalisme oligarkis.
Namun, berkaca pada sejarah Orde Baru, kecenderungan pemerintahan Jokowi
memprioritaskan kebijakan di bidang infrastruktur dengan mengandalkan
perusahaan-perusahaan negara saja tidak cukup untuk menyebut rezim ini memberi

jalan bagi kembalinya kapitalisme negara. Perbedaan paling mendasar tentu saja
berkaitan dengan kehadiran para konglomerat yang berperan dominan dalam
menentukan dinamika ekonomi-politik di era demokrasi. Sebelum merosotnya harga
minyak dunia pada tahun 1980-an, posisi kelompok borjuasi domestik masih lemah
dan karena itu kapitalis negara menjadi dominan.
Di samping itu, monopoli perusahaan pelat merah pada era Jokowi juga masih
terbatas di bidang infrastruktur. Pada bidang lainnya, para konglomerat masih
menjadi aktor utama yang bersekutu dengan politisi-birokrat dalam melaksanakan
program pembangunan. Upaya Jokowi dan menteri BUMN, Rini Soemarno,
memberikan suntikan dana besar-besar kepada perusahaan-perusahaan negara,
baik melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) maupun utang luar negeri juga bukan
dalam rangka memperkuat kapital negara, melainkan untuk menggenjot realisasi
proyek infrastruktur. Terlebih, suntikan modal itu juga lebih difokuskan kepada
BUMN bidang infrastruktur dan perbankan.[1]
Widojoko tampaknya terinspirasi dari analisis rekannya, Eve Warburton, yang
menyebut program pembangunan Jokowi sebagai pembangunan baru yang
nampaknya juga berhubungan dengan kecenderungan negara menjalankan
nasionalisme ekonomi.[2] Menurut Warburton, konsep nasionalisme ekonomi
sebenarnya berawal dari dicetuskannya Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang
Mineral dan Batubara.[3] Peraturan yang diterbitkan pada era Susilo Bambang

Yudhoyono (SBY) ini memiliki semangat menasionalisasikan pengelolaan sumber

daya alam melalui berbagai skema divestasi. Warburton melihat lahirnya undangundang ini juga berhubungan dengan di satu sisi terjadinya oil boom akibat naiknya
harga minyak dunia dan di sisi lain semakin menguatnya kelas kapitalis domestik
yang memiliki kemampuan teknis merambah industri minyak dan gas (migas) dan
bahan tambang lainnya.
Pada era Jokowi, harga minyak dunia kembali merosot. Akan tetapi, Jokowi menurut
Warburton mampu menggugurkan tesis Mohammad Sadli, ekonom era Orde Baru,
yang mengemukakan bahwa nasionalisme ekonomi hanya bisa dilakukan pada era
booming minyak. Alasannya, kelas kapitalis domestik semakin menguat. Warburton
percaya bahwa nasionalisme ekonomi pada era Jokowi bukan sekadar mantra untuk
mendongkrak popularitas dalam kontestasi politik atau sekadar alat para kapitalis
memungut rente. Bagi Warburton, nasionalisme ekonomi juga didorong oleh
motivasi memajukan industri nasional; suatu pandangan yang terkesan retoris.
Secara historis, kita bisa melihat bahwa nasionalisme ekonomi pada era Soeharto
justru didorong oleh bangkitnya kekuatan ekonomi politik yang menuntut
dihapuskannya berbagai kendala yang menghalangi perkembangan kekuatan
tersebut, di samping melemahnya posisi kelas borjuis domestik yang menghendaki
proteksi negara dalam menghadapi kapital asing.[4] Kebijakan ini sebenarnya
lanjutan dari era Orde Lama yang lebih didorong oleh absennya kelas kapitalis

domestik dalam memanfaatkan momentum nasionalisasi perusahaan-perusahaan
Belanda pasca-kolonial.
Meskipun tampak memiliki persinggungan, nasionalisme ekonomi dan kapitalisme
negara adalah dua hal yang berbeda. Pada era Soeharto, keduanya berjalan
beriringan karena kelas kapitalis domestik lemah, sehingga berbagai investasi
ekonomi didominasi pengelolaannya oleh negara. Negara pada saat itu juga
menerapkan proteksi dan subsidi untuk melindungi perusahaan-perusahaan pelat
merah menghadapi kapital asing dan borjuasi domestik China. Namun, saat
kejayaan minyak berakhir akibat resesi ekonomi global tahun 1980-an, kapitalisme
negara dan nasionalisme ekonomi juga mengalami kebangkrutan. Sebaliknya,
situasi ini memberi peluang menguatnya konglomerat China, sekaligus membuka
jalan bagi terbentuknya relasi ketergantungan antara pengusaha yang rentan
kedudukannya secara politik dengan penguasa yang memerlukan tangan
pengusaha untuk mengakumulasi kapital dan mempertahankan kekuasaannya.[5]

Pada era Jokowi, baik kapital asing maupun kelas kapitalis domestik masih
mendominasi investasi ekonomi di berbagai sektor. Untuk bidang infrastruktur saja,
investasi proyek kereta cepat Jakarta-Bandung (High Speed Rail, HSR) didominasi
oleh kapital asing. Sebesar 75% investasi HSR dibiayai oleh China Development
Bank (CDB) dan 25% dari internal KCIC (PT Kereta Api Cepat Indonesia

Cina).[6] KCIC sendiri adalah konsorsium BUMN Cina dan Pilar Sinergi BUMN
Indonesia (PSBI) dengan persentase masing-masing 40% dan 60%. Artinya, total
investasi BUMN Indonesia untuk proyek HSR hanya sebesar 15% saja.
Untuk sektor energi, divestasi perusahaan asing juga dikuasai oleh perusahaan
nasional, ketimbang oleh perusahaan negara akibat kemampuan permodalan yang
lemah. Pada kasus Newmont Nusa Tenggara (NNT) misalnya, 82% sahamnya telah
dimiliki oleh PT Amman Mineral Internasional (PT AMI), sedangkan sisanya 17,8%
dimiliki oleh PT Pukuafu Indah. Sementara itu, 50% saham PT AMI dimiliki oleh
Arifin Panigoro melalui Medco Energi.[7] Saham sebesar 7% yang seharusnya
didivestasikan untuk perusahaan negara, hingga kini juga masih belum jelas
pembeliannya, lagi-lagi akibat persoalan modal yang dimonopoli untuk pembiayaan
infrastruktur.[8]
Dengan demikian, sulit mengatakan bahwa negara pada era Jokowi maupun Ahok
memiliki kapital yang kuat. Faktanya, sejak awal Jokowi juga pontang-panting
mencari sumber pendanaan untuk membiayai proyek-proyek infrastrukturnya. Kita
tahu bahwa Jokowi juga gencar memberikan peluang-peluang investasi bagi kapital
asing. Tata ulang birokrasi yang menjadi perhatian Jokowi juga lebih difokuskan
untuk memberikan kemudahan bagi iklim investasi. Dengan kata lain, kondisi seperti
ini justru memberi peluang semakin menguatnya kelas kapitalis domestik dan asing,
ketimbang terbentuknya kapitalis negara. Dan mantra nasionalisme ekonomi juga

pada akhirnya justru memberi peluang yang lebih besar bagi kapitalis domestik, para
oligark, menguasai investasi ekonomi serta memainkan peran yang lebih besar
dalam politik.

Siapa yang Diuntungkan?
Pertanyaan berikutnya adalah siapa yang diuntungkan dengan model pembangunan
yang disebut oleh Widojoko sebagai kapitalisme negara atau oleh Warburton
sebagai new developmetalism?
Menurut Widojoko rejim pembangunan baru yang mengandalkan perusahaan
negara sebagai pelaksana proyek-proyek infrastruktur membuat program
pembangunan berjalan lebih efisien. Secara sederhana, target-target pembangunan
dapat lebih mudah tercapai karena pengelolaannya lebih mudah dikontrol oleh
pemerintah. Namun, apa tujuan utama dari efisiensi pelaksanaan program
pembangunan? Bagi Widojoko, paling tidak model pembangunan semacam itu
dapat meningkatkan kapabilitas pemerintah sebagai salah satu prasyarat “negara
kuat” dalam perspektif modernis ala Joel S. Migdal, meskipun diakui juga hal itu
memiliki dampak sosial dan lingkungan.
Pandangan semacam itu, menurut saya, bertendensi melokalisasi persoalan hanya
pada dampak buruk pembangunan. Padahal, kepentingan oligarki tidak serta merta
dapat disingkirkan hanya dengan mengubah pengelolaan proyek pembangunan dari

swasta kepada pemerintah.
Artinya, Widojoko mengisyaratkan bahwa kepentingan oligarki direpresentasikan
secara terbatas melekat hanya pada para konglomerat. Lagi-lagi Ahok dan Jokowi
didefinisikan, sebagaimana oleh kalangan pluralis yang menjadi rekan dan mentor
Widojoko, sebagai agensi reformis yang memiliki kepentingan diametral dengan
para oligark. Di sisi lain, cara Ahok dan Jokowi mengelola negara juga didefinisikan
sebagai model kapitalisme negara. Dengan kata lain, Widojoko sepertinya hendak
mengatakan bahwa kepentingan kapitalisme negara sejalan atau bahkan menjadi
manifestasi dari kepentingan “kelompok reformis” yang bertentangan dengan
oligarki.
Meskipun sejarah tidak selalu bisa dipahami secara linier, setidaknya kita dapat
mencatat bahwa kapitalisme negara pada era Orde Baru justru bekerja untuk
kepentingan penguasa dan kapitalis-birokrat termasuk militer, ketimbang untuk
kepentingan publik. Nasionalisme ekonomi pada saat itu juga menjadi semangat
pelaksanaan program pembangunan. Bedanya, Soeharto tidak hanya berhasil
memberdayakan perusahaan-perusahaan negara tetapi juga mampu menggerakkan

mesin birokrasi melalui perencanaan yang teknokratis, sementara Jokowi hanya
mampu mengandalkan perusahaan negara.
Pada era Soeharto, negara memang menguasai investasi di berbagai sektor, mulai

dari migas (Pertamina) dan sumber daya alam lainnya (Antam), infrastruktur (PUTL,
Telkom, PLN), perbankan, manufaktur (Krakatau Steel, Pusri), hingga komoditas
pangan (Bulog). Namun demikian, patut dicatat bahwa meluasnya investasi negara
ini tidak dimaksudkan untuk menghadapi atau menjadi anti-tesis kelas borjuis
kapitalis, melainkan justru menjadi bagian dalam memfasilitasi akumulasi kapital
sektor swasta.
Singkat kata, berkembangnya kapital negara tidak lain menjadi prasyarat bagi
proses akumulasi kapital privat serta memberi jalan bagi bangkitnya kelas kapitalis
domestik. Hal ini tentu saja tidak hanya disebabkan oleh terbatasnya anggaran
negara dalam menunjang pelaksanaan proyek pembangunan sehingga memerlukan
penyertaan modal dari pengusaha domestik maupun kapital asing, tetapi para
pejabat dalam perusahaan negara juga memiliki kepentingan karena menguasai
akses terhadap kontrak dan monopoli. Perusahaan negara yang terkenal menjadi
sapi perahan keluarga Cendana dan kroni-kroninya, termasuk dalam membiayai
operasi militer dan politik, bisa kita lihat misalnya pada kasus Pertamina dan Bulog.
Keberadaan Rini Soemarno sejak awal sebagai kepala kantor transisi kemudian
berlanjut sebagai menteri BUMN tampaknya dapat menunjukkan kecenderungan
serupa yang bisa kita amati juga terjadi pada era Jokowi. Terlebih, Jokowi juga
menekankan penguatan perusahaan negara untuk menunjang target proyek-proyek
infrastrukturnya. Penunjukan Ari Soemarno, kakak kandung Rini yang juga mantan

direktur utama Pertamina era SBY (2006-2008), sebagai kepala Satgas Anti Mafia
Migas oleh Rini, penunjukan Sudirman Said –mantan penasihat Ari saat menjabat
dirut Pertamina –sebagai menteri ESDM, serta pembubaran Petral pada tahun 2015
yang kemudian tugasnya dalam memasok minyak mentah digantikan oleh ISC –
anak perusahaan yang didirikan oleh Ari adalah beberapa teka-teki yang tidak bisa
diabaikan begitu saja. Pengangkatan komisaris-komisaris BUMN yang sebagian
besar berasal dari tim sukses Jokowi, baik dari unsur politisi maupun aktivis, adalah
indikasi lain adanya muatan kepentingan ekonomi-politik yang juga tidak bisa
disepelekan terkait proyek-proyek infrastruktur yang mengandalkan perusahaanperusahaan negara itu.[9]

Faksi pengusaha-politisi lainnya yang berada dalam lingkaran kekuasaan juga tidak
bisa diabaikan memiliki ongkos politik tersendiri karena telah memberikan dukungan
kepada pemerintah Jokowi. Di antara mereka dapat disebut antara lain Wakil
Presiden Jusuf Kalla yang juga memiliki hubungan kepentingan dengan keluarga
Soemarno, Menteri Koordinator Kemaritiman purnawirawan TNI Luhut Binsar
Panjaitan serta Ketua Umum partai Nasional Demokrat Surya Paloh yang masingmasing memiliki usaha di bidang pertambangan dan energi, perkebunan serta
infrastruktur. Artinya, agenda memperkuat industri nasional atau menjalankan
program pembangunan yang efisien akan terhambat jika langkah-langkah yang
diambil tidak mempertimbangkan kepentingan faksi-faksi predatoris tersebut.
Jika kita kembali mencermati data yang dipaparkan oleh Widojoko, sebagian besar

proyek reklamasi teluk Jakarta memang telah dikuasai oleh BUMD. Proyek-proyek
konstruksi juga didominasi oleh perusahaan-perusahaan pelat merah, tidak hanya
dari BUMD tetapi juga dari BUMN yang komisaris-komisarisnya adalah mantan tim
sukses Jokowi. Namun, persoalannya bukan terletak pada siapa yang mengelola
proyek pembangunan, melainkan bagaimana dan untuk siapa pembangunan
ditujukan.
Kemenangan gugatan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) baik oleh warga Bukit
Duri atas kebijakan penggusuran maupun oleh nelayan atas pulau reklamasi F, I dan
K[10] merupakan bukti bahwa pembangunan yang investasinya dikuasai oleh
pemerintah sekalipun tidak berpihak kepada masyarakat bawah. Sebagai tambahan,
putusan peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan
gugatan petani Rembang, Jawa Tengah, atas izin pertambangan PT Semen
Indonesia yang 51% sahamnya dimiliki pemerintah[11] juga menunjukkan tidak
adanya korelasi antara yang disebut Widojoko sebagai “kapitalisme negara” dengan
tujuan pembangunan untuk rakyat.
Dengan demikian, persoalannya juga bukan apakah kapitalisme negara mengalami
kebangkrutan pasca kekalahan Ahok dalam pemilihan Gubernur Jakarta beberapa
waktu silam, melainkan justru dengan menciptakan ilusi “negara kuat” atau “negara
yang aktif melayani” atau “kapitalisme negara” versi Jokowi dan Ahok dapat
membuat kita lalai mencermati kepentingan-kepentingan predatoris melekat tidak

hanya pada konglomerat, tetapi juga pada politisi-birokrat.***

Penulis adalah PhD Candidate di Asia Institute, The University of Melbourne,
Australia

———[1] https://finance.detik.com/moneter/3021034/rini-soemarno-antar-3-bank-bumnteken-utang-china-rp-42-triliun
[2] Warburton, E. 2016. “Jokowi and the New Developmentalism.” Bulletin of
Indonesian Economic Studies, 52(3), 297-320. Lihat juga
https://kyotoreview.org/yav/in-whose-interest-debating-resource-nationalism-inindonesia/
[3] https://kyotoreview.org/yav/in-whose-interest-debating-resource-nationalism-inindonesia/
[4] Robison, R. 1986. Indonesia: The Rise of Capital. Sydney: Allen Uvwin.
[5] Robison, R. 1986.
[6] http://industri.kontan.co.id/news/meneropong-nasib-proyek-lrt-dan-kereta-apicepat
[7] https://finance.detik.com/energi/3335949/akuisisi-822-saham-newmont-nusatenggara-selesai
[8] http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150214110316-78-32068/menkeutidak-ada-anggaran-untuk-beli-7-persen-saham-newmont/
[9] https://tirto.id/gurita-timses-jokowi-di-bumn-bKQC
[10]http://megapolitan.kompas.com/read/2017/03/17/08153511/tiga.kemenangan.nel
ayan.terkait.gugatan.reklamasi.pulau.f.i.dan.k
[11] http://www.semenindonesia.com/profil-perusahaan/


Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISA BIAYA OPERASIONAL KENDARAAN PENGANGKUT SAMPAH KOTA MALANG (Studi Kasus : Pengangkutan Sampah dari TPS Kec. Blimbing ke TPA Supiturang, Malang)

24 196 2

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Isolasi Senyawa Aktif Antioksidan dari Fraksi Etil Asetat Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.

2 95 93

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan manajemen mutu terpadu pada Galih Bakery,Ciledug,Tangerang,Banten

6 163 90

Aplikasi penentu hukum halal haram makanan dari jenis hewan berbasis WEB

48 291 143

Efek ekstrak biji jintan hitam (nigella sativa) terhadap jumlah spermatozoa mencit yang diinduksi gentamisin

2 59 75

Pengaruh Rasio Kecukupan Modal dan Dana Pihak Ketiga Terhadap Penyaluran Kredit (Studi Kasus pada BUSN Non Devisa Konvensional yang Terdaftar di OJK 2011-2014)

9 104 46

Pengaruh Etika Profesi dan Pengalaman Auditor Terhadap Audit Judgment (Penelitian pada Kantor Akuntan Publik di Wilayah Bandung yang Terdaftar di BPK RI)

24 152 62