PENDIDIKAN BERBASIS KARAKTER MEMBANGUN M

1

PENDIDIKAN BERBASIS KARAKTER
MEMBANGUN MENTAL YANG SEHAT
(Makalah ini disampaikan dalam rangka kegiatan KANOSPI UNY
Oleh: Dr. Awalya, M.Pd. Kons.)
A. Pendahuluan
Berbagai pertanyaan yang selalu hadir dalam diri penulis makalah ini
ketika berhadapan dengan arti penting pendidikan karakter: Mengapa perlu
pendidikan karakter? Apakah ”karakter” dapat didikkan? Apa sajakah aspekaspek karakter? Bagaimanakah pendidikan karakter itu? Siapa yang harus
melakukan pendidikan karakter? Apakah karakter itu kepribadian?,
pendidikan karakter itu memlengkapi kepribadian mental yang sehat?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut kembali diperkuat oleh kebijakan yang
menjadikan pendidikan karakter sebagai ”program” pendidikan nasional di
Indonesia terutama dalam Kementerian
Menurut Undang – Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pendidikan nasional berfungsi (1) Mengembangkan
kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; (2) Pendidikan nasional
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,

sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Sohan Modgil, etc dalam bukunya Multicultural Education: The
Interminable Debate (1986) menyatakan bahwa hasil yang diinginkan dalam
pendidikan adalah: (1) Manusia yang kritis, imajinatif, self-criticsm, mampu
mengungkapkan pendapat mampu berargumen, mampu mengumpulkan bukti
yang kuat dan membuat kesimpulan; (2) Suatu hari dapat menjadi manusia
yang berpendirian kuat dan hidup sebagai manusia bebas. Bebas disini dalam
arti bebas dari ketidakpedulian, dogma, prasangka dan pada akhirnya bisa
bebas memilih kepercayaan dan dapat merencanakan hidupnya; (3)
Meningkatkan kualitas intelektual dan moral, keterbukaan pada dunia, bersikap
objektivitas, keingintahuan akan ilmu, kemanusiaan dan pada akhirnya
menghormati dan peduli pada sesama; (4) Bertujuan untuk mensosialisasikan
peserta didik kepada intelektual yang lebih luas, moral, agama, dan pencapaian
lain dalam diri manusia.
Pemerintah Indonesia, dalam hal ini khususnya Menteri Pendidikan
Indonesia mencanangkan pendidikan berbasis karakter sebagai gerakan
nasional mulai tahun ajaran 2011/2012. Pendidikan berkarakter ini dinilai
penting dimulai sejak dini karena merekalah nantinya yang akan melanjutkan
pembangunan Bangsa dan Negara Republik Indonesia. Pembentukan karakter

peserta didik, tergantung kepada aspek penekanannya, diantaranya pada
Pendidikan Moral, Pendidikan Nilai, Pendidikan Relijius, Pendidikan Budi
Pekerti, dan Pendidikan Karakter itu sendiri. Masing-masing penamaan
kadang-kadang digunakan secara saling bertukaran (inter-exchanging), misal

1

2

pendidikan karakter juga merupakan pendidikan nilai atau pendidikan religius
itu sendiri (Kirschenbaum, 2000).
B. Perkembangan Pandangan Tentang Pendidikan
Sejarah perkembangan pendidikan telah begitu banyak upaya untuk
mewariskan pengetahuan dan keterampilan kepada generasinya. Berawal para
orang tua menunjukkan ketidaksanggupan untuk mengajarkan semua
pengetahuan dan keterampilan kepada anak-anaknya. Sejak saat itu, mulailah
ada upaya pembelajaran yang tidak formal sesuai pengetahuan yang diinginkan
anaknya. Selanjutnya, pengetahuan dan keterampilan yang harus dipelajari
semakin kompleks, upaya pembelajaran tersebut mulai diformalkan dalam
bentuk persekolahan.

1. Pendidikan menunjukkan bahwa pendidikan mempunyai nilai-nilai yang
hakiki tentang harkat dan martabat kemanusiaan. Namun, belakangan
lembaga pendidikan yang namanya sekolah ini cenderung menganggap
sebagai satu-satunya lembaga pendidikan. Akhirnya, manakala
membicarakan pendidikan cenderung yang dibahas adalah sekolah;
Akibatnya, paradigma pendidikan yang begitu universal hanya dipandang
secara adaptif daripada inisiatif.
2. Ivan Illich, telah mengkritik persekolahan ini dengan pertanyaan: “Apakah
sekolah itu sesuatu yang perlu dalam pendidikan?”
3. Everet Reimer pun menganggap bahwa pendidikan persekolahan telah
‘mati’ (school is dead). Kritikan Illich dan Reimer setidaknya
mengingatkan kita bahwa pendidikan persekolahan bukanlah satusatunyalembaga pendidikan. Idealnya, pendidikan seharusnya merupakan
gambaran kondisi masyarakat seperti yang pernah diungkapkan Nicolas
Hans bahwa “pendidikan adalah watak nasional suatu bangsa”. Bahkan
dalam kelakarnya dia berkata: “ceritakan sekolahmu, maka akan dapat
kuceritakan keadaan masyarakat dan negaramu”.
4. Pandangan tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai pendidikan bukan saja
hanya sekedar etika dalam arti baik atau tidak baik, namun lebih ditekankan
pada tujuan mengapa perlu ada pendidikan. Kemajuan iptek seharusnya
dapat membimbing manusia untuk mempunyai tujuan. Seperti yang

manusia yang diibaratkan ‘penumpang’ kapal yang bernama Bumi,
berputar di jagat kosmos, melancong ke seberang lautan waktu yang tidak
terbatas.
5. Dengan kemajuan iptek manusia menjadi terserang kebingungan serta tidak
tahu lagi identitasnya, sehingga muncullah absurdisme, nihilisme, dan
hipiisme menyerang pikiran dan ruh manusia beradab hingga
menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab. Nilai dan tujuan
pendidikan hanya akan ada apabila pendidikan itu dapat menciptakan
sesuatu yang memberikan manfaat bagi kehidupan masa kini dan

3

mendatang. Jika kebijakan dalam pendidikan harus dibuat, menunjukkan
bahwa dalam praktek-praktek pendidikan ada sesuatu yang salah atau
kurang bermanfaat. Kesalahan dalam pelaksanaan pendidikan harus dapat
ditemukan, dianalisis, disintesa, kemudian dipraktekkan kembali sampai
menunjukan hasil yang lebihbermanfaat.
6. Berdasarkan amanat undang-undang pendidikan harus dilihat sebagai
humaninvestment dalam bidang sosial-budaya, ekonomi dan politik. Dalam
perspektif sosial-budaya, pendidikan menjadi faktor determinan dalam

mendorong percepatan mobilitas vertikal dan horisontal masyarakat yang
mengarah pada pembentukan konstruksi sosial baru yang terdiri atas
lapisan masyarakat kelas menengah terdidik, yang menjadi elemen penting
dalam memperkuat daya rekat sosial (social cohesion). Pendidikan dapat
menjadiwahana strategis untuk membangun kesadaran kolektif (collective
conscience) sebagai warga mengukuhkan ikatan-ikatan sosial, dengan tetap
menghargai keragaman budaya, ras, suku-bangsa, dan agama, sehingga
dapat memantapkan keutuhan nasional.
7. Dalam perspektif ekonomi, pendidikan mutlak diperlukan guna menopang
pengembangan education for the knowledge economy (EKE).
8. Satuan pendidikan harus pula berfungsi sebagai pusat penelitian dan
pengembangan yang menghasilkan produk-produk unggulan yang
mendukung knowledge based ekonomy (KBE). Oleh karena itu, pendidikan
harus mampu melahirkan lulusan-lulusan yang memiliki pengetahuan,
teknologi, dan keterampilan teknis yang memadai, serta memiliki kapasitas
dan kapabilitas kemampuan berwirausaha untuk meningkatkan daya saing
nasional dan membangun kemandirian bangsa.
9. Dalam perspektif politik, pendidikan harus mampu mengembangkan
kapasitas dan kapabilitas individu untuk menjadi warganegara yang baik
(good citizens),yang memiliki tingkat kesadaran tinggi terhadap hak,

kewajiban, tugas dan tanggung jawabdalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
10. Alfred & Carter menegaskan bahwa visi dan idealisme itu haruslah
merujuk dan bersumber pada paham ideology nasional, yang dianut oleh
seluruh komponen bangsa. Dengan demikian, pendidikan dalam dimensi
yang integratif merupakan usaha seluruh komponen masyarakat dan bangsa
untuk menumbuhkembangkan kekuatan kolektif (collective power) dengan
meletakkan landasan sosial-budaya, ekonomi dan politik yang kokoh bagi
terciptanya masyarakat sipil (civil society) yang memiliki kekokohan
budaya dan karakter tanpa menutup diri dari perkembangan jaman.

4

C. Pendidikan Karakter
Karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa,
kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen,
watak”. Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau
menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam
bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam,
rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya,

orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter
mulia.
Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau
menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam
bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam,
rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya,
orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter
mulia.
Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat,
bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008),
karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors),
motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa
Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana
mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku,
sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya
dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai
dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi
dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional,
logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung

jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat
dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf,
berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif,
berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat,
dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian
diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib.
Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan
individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut.
Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu
(intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang
berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya,
sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada
umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai
dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya). Pendidikan karakter
adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang
meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut.

5


Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all
dimensions of school life to foster optimal character development”. Dalam
pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan)
harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu
isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau
pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau
kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos
kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter
dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan
pendidikan harus berkarakter.
Pendidikan karakter menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D.
(2004), dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort
to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When
we think about the kind of character we want for our children, it is clear that
we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right,
and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from
without and temptation from within”. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan
karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu
mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak

peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara
guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan
berbagai hal terkait lainnya.
Pendidikan karakter menurut T. Ramli (2003), memiliki esensi dan
makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya
adalah membentuk peserta didik, supaya menjadi manusia yang baik, warga
masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik,
warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu
masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang
banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu,
hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah
pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya
bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Pada kajian akademik, pendidikan karakter tentu saja perlu memuat
syarat-syarat keilmiahan akademik seperti dalam konten (isi), pendekatan dan
metode kajian. Tokoh-tokoh yang sering dikenal dalam pengembangan
pendidikan karakter antara lain Howard Kirschenbaum, Thomas Lickona, dan
Berkowitz. Pendidikan karakter berkembang dengan pendekatan kajian
multidisipliner: psikologi, filsafat moral/etika, hukum, sastra/humaniora.
”Karakter” itu sendiri sedikitnya memuat dua hal: values (nilai-nilai) dan

kepribadian. Karakter merupakan cerminan dari nilai apa yang melekat dalam
sebuah entitas. ”Karakter yang baik” adalah suatu penampakan dari nilai yang
baik pula yang dimiliki oleh orang atau sesuatu, di luar persoalan apakah
”baik” sebagai sesuatu yang ”asli” ataukah sekadar kamuflase.
Kajian pendidikan karakter akan bersentuhan dengan wilayah filsafat
moral atau etika yang bersifat universal, seperti kejujuran. Pendidikan karakter
sebagai pendidikan nilai menjadikan “upaya eksplisit mengajarkan nilai-nilai,

6

untuk membantu siswa mengembangkan disposisi-disposisi guna bertindak
dengan cara-cara yang pasti” (Curriculum Corporation, 2003: 33). Persoalan
baik dan buruk, kebajikan-kebajikan, dan keutamaan-keutamaan menjadi aspek
penting dalam pendidikan karakter semacam ini.
Sebagai aspek kepribadian, karakter merupakan cerminan dari kepribadian
secara utuh dari seseorang: mentalitas, sikap dan perilaku. Pendidikan karakter
semacam ini lebih tepat sebagai pendidikan budi pekerti. Pembelajaran tentang
tata-krama, sopan santun, dan adat-istiadat, menjadikan pendidikan karakter
semacam ini lebih menekankan kepada perilaku-perilaku aktual tentang
bagaimana seseorang dapat disebut berkepribadian baik atau tidak baik
berdasarkan norma-norma yang bersifat kontekstual dan kultural.
Bagaimana pendidikan karakter yang ideal? Dari penjelasan sederhana di
atas, pendidikan karakter hendaknya mencakup aspek pembentukan
kepribadian yang memuat dimensi nilai-nilai kebajikan universal dan
kesadaran kultural di mana norma-norma kehidupan itu tumbuh dan
berkembang. Ringkasnya, pendidikan karakter mampu membuat kesadaran
transendental individu mampu terejawantah dalam perilaku yang konstruktif
berdasarkan konteks kehidupan di mana ia berada: Memiliki kesadaran global,
namun mampu bertindak sesuai konteks lokal.
Pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya
peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun
demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang
pendekatan dan modus pendidikannya. Sebagian pakar menyarankan
penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di
negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif,
pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain
menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman
nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.
Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010),
secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu
merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif,
konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam
keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat.
Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosialkultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and
emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan
Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa
(Affective and Creativity development) yang secara diagramatik dapat
digambarkan sebagai berikut.
Beberapa pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan
moral. Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang
berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan
pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi
nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku
sosial. Sedangkan Elias (1989), mengklasifikasikan berbagai teori yang
berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan

7

pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang
biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan
karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara
sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku
manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama
manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap,
perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum,
tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa
pendidikan di setiap jenjang, harus diselenggarakan secara sistematis guna
mencapai tujuan. Hal itu berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik
sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi
dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika
Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak
ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard
skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft
skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20
persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang
tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung
kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu
pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan
dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan
kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan
perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan
adat istiadat.
Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders)
harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu
isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan,
penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah,
pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana
prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah
Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan
dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan seharihari. Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru
menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada
tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter,
Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design
pendidikan karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan.
Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan,
pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan.
Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosialkultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional
development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik

8

(Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and
Creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter
perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut.
Menurut UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
pada Pasal 13 Ayat 1 menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas
pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan
memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan
lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi
yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti
pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%.
Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan
sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah
berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik.
D. Pendidikan Karakter Melengkapi Kepribadian Mental Yang Sehat
Pada awalnya manusia itu lahir hanya membawa “personality”
atau kepribadian. Secara umum kepribadian ada empat macam meskipun
banyak teori yang menggunakan istilah yang berbeda, tetapi polanya tetap
sama. Secara umum kepribadian dikelompokkan menjadi empat, yaitu :
1. Koleris: tipe ini bercirikan pribadi yang suka kemandirian, tegas, berapiapi, suka tantangan, bos atas dirinya sendiri.
2. Sanguinis: tipe ini bercirikan suka dengan hal praktis, happy dan ceria
selalu, suka kejutan, suka sekali dengan kegiatan social dan bersenangsenang.
3. Phlegmatis: tipe ini bercirikan suka bekerjasama, menghindari konflik,
tidak suka perubahan mendadak, teman bicara yang enak, menyukai hal
yang pasti.
4. Melankolis: tipe ini bercirikan suka dengan hal detil, menyimpan
kemarahan, perfection, suka instruksi yang jelas, kegiatan rutin sangat
disukai.
Setiap orang punya kepribadian yang berbeda-beda. Dari keempat
kepribadian diatas, masing-masing kepribadian tersebut memiliki kelemahan
dan keunggulan masing-masing. Tipe koleris identik dengan orang yang
berbicara “kasar” dan terkadang tidak peduli, sanguin pribadi yang sering
susah diajak untuk serius. Phlegmatis sering kali susah diajak melangkah yang
pasti dan terkesan pasif, melankolis terjebak dengan dilemma pribadi “iya”
dimulut dan “tidak” dihati, serta cenderung perfectionis dalam detil kehidupan
serta inilah yang terkadang membuat orang lain cukup kerepotan.
Pendidikan karakter adalah pemberian pandangan mengenai berbagai
jenis nilai hidup, seperti kejujuran, kecerdasan, kepedulian dan lain-lainnya.
Dan itu adalah pilihan dari masing-masing individu yang perlu dikembangkan
dan perlu di bina, sejak dini (idealnya). Karakter tidak bisa diwariskan,
karakter tidak bisa dibeli dan karakter tidak bisa ditukar.
Karakter harus dibangun dan dikembangkan secara sadar hari demi hari dengan
melalui suatu proses yang tidak instan. Karakter bukanlah sesuatu bawaan
sejak lahir yang tidak dapat diubah lagi seperti sidik jari.

9

Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang
bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari
agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat
memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar
tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut
adalah: cinta kepada Allah dan ciptaan-Nya (alam dengan isinya), tanggung
jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya
diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan;
baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain
mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa
hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan,
ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas.
Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilainilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang
lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif)
sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas
pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan
tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni
meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal
dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar
tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh
karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan
generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam
pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan
kualitas pendidikan karakter.
1. Konsep kesehatan mental
Konsep kesehatan mental dari konsep mental hygine. “Mental” dari
bahasa Yunani, pengertiannya sama dengan psyche dalam bahasa Latin berarti
psikis, jiwa atau kejiwaan. Istilah mental hygiene dimaknai sebagai kesehatan
mental atau kesehatan jiwa. Istilah mental hygiene pada banyak literatur dapat
pula disebut sebagai psychological medicine, nervous health atau mental
health, meski memiliki maksud yang sama tetapi memiliki kandungan makna
yang berbeda. Kesehatan mental adalah mental hygiene, sedangkan mental
health, bermakna keadaan jiwa yang sehat.
Konsep “sehat” menurut WHO dirumuskan sebagai “keadaan yang
sempurna baik fisik, mental, maupun sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit
atau kelemahan/cacat”. Sehat disini dimaknai sebagai keadaan yang sempurna,
baik fisik, mental, maupun social. Pengertian kesehatan menurut WHO
merupakan suatu keadaan ideal dari sisi biologis, psikologis, dan sosial.
Beberapa pengertian cara dalam memberikan pengertian mental yang
sehat yaitu: (1) Karena tidak sakit; (2) Tidak jatuh sakit akibat stressor; (3)
Sesuai dengan kapasitas dan selaras dengan lingkungannya; dan (4) Tumbuh
dan berkembang secara positif.
a. Sehat mental karena tidak mengalami gangguan mental

10

Pakar klinis klasik menekankan bahwa orang yang sehat mentalnya adalah
orang yang tahan terhadap sakit jiwa atau terbebas dari sakit dan gangguan
jiwa. Orang yang mengalami neurosa dan lebih-lebih psikosa dianggap tidak
sehat. Orang yang tidak mengalami neurosa dan psikosa dianggap orang yang
sehat. Orang yang sehat dapat diberi pengertian sebagai “terbebas dari
gangguan”.
b. Sehat mental jika tidak sakit akibat adanya Stressor
Clausen dalam Notosoedirdjo dan Latipun (2005: 24) menyatakan bahwa
orang yang sehat mentalnya adalah orang yang dapat menahan diri untuk jatuh
sakit akibat stressor (pembuat stress). Pengertian ini tampaknya lebih
menekankan pada aspek individual. Seseorang yang tidak sakit meskipun
mengalami tekanan-tekanan maka menurtut pengertian ini adalah orang yang
sehat.
c. Sehat mental jika jalan dengan kapasitasnya dan selaras dengan
lingkungannya
Michael dan Kirk, memandang bahwa individu yang sehat mentalnya jika
terbebas dari gejala psikiatris an individu itu berfungsi secara optimal dalam
lingkungan sosialnya. Pengertian ini menurut Notosoedirdjo bahwa seseorang
yang sehat mental itu jika sesuai dengan kapasitasnynya diri sendiri, dapat
hidup tepat yang selaras dengan lingkungan. Meski demikian konsep ‘hidup
selarasdengan lingkungan’ dapat menjerumuskan seseorang, maksudnya bahwa
adaptasi tanpa selektif selalu ingin menyerupai atau mengikuti kehendak
lingkungan juga pada dasarnya tidak sehat.
d. Sehat mental karena tumbuh dan berkembang secara positif
Fran, L.K. merumuskan kesehatan mental secara lebih komprehensiof dan
melihat sisi kesehatan mental secara ‘positif’, di kemukakan bahwa orang yang
terus menerus tumbuh. Berkembang dan matang dalam hidupnya, menerima
tanggung jawab, menemukan penyesuaian dalam berpartisipasi dan dalam
memelihara aturan soasial dan tindakan dan budayanya. dalam Notosoedirdjo
dan Latipun (2005: 25)
2. Prinsip-prinsip dalam kesehatan mental
Schneiders (1964), mengemukakan lima belas prinsip-prinsip kesehatan
mental. Yang di kategorikan menjadi tiga kategori yaitu sebagai berikut:
1. Prinsip yang didasarkan atas sifat manusia mel;iputi:
1) Kesehatan penyesuaian mental memerlukan bagian yang tidak terlepas
dari kesehatan fisik dan integritas organisme. Untuk memelihara
kesehatan mental dan penyesuaian yang baik, perilaku manusia harus
sesuai dengan sifat manusia sebagai pribadi, yang bermoral, intelektual,
religius, emosional dan social.
2) Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan intrasi dan
pengendalian diri, yang meliputi pengendalian pemikiran, imanjinasi,
hasrat, emosi, dan perilaku.
3) Dalam pencapaian dan khususnya memelihara kesehatan dan
penyesuaian mental, memperluas pengetahuan tentang diri sendiri
merupakan suatu keharusan.

11

4)

Kesehatan mental memerlukan konsep diri yang sehat. Meliputi
penerimaan diri, dan usaha yang realistic terhadap status atau harga
dirinya sendiri.
5) Pemahaman diri dan penerimaan diri harus ditingkatkan terus-menerus
memperjuangkan untuk peningkatan diri dan realistic diri jika
kesehatan dan penyesuaian mental hendak dicapai.
6) Stabilitas mental dan penyesiuaian yang baik memerlukan
pengembangan terus menerus dalam diri seseorang mengenai kebaikan
moral yang tinggi. Yaitu hokum, kebijaksanaan, ketabahan, keteguhan
hati, penolakan diri, kerendahan hati, dan moral.
7) Mencapai dan memelihara kesehatan dan penyesuaian mental
tergantung kepada penanaman dan perkembangan kebiasaan yang baik.
8) Stabilitas penyesuaian mental, menuntut kemampuan adaptasi,
kapasitas untuk mengubah meliputi mengubah situasi dan mengubah
kepribadian.
9) Kesehatan danpenyesuaian mental memerlukan perjuangan yang terus
menarus untuk kematangan dalam pemikiran, keputusan, emosionalitas
dan perilaku.
10) Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan belajar mengatasi
secara efektif dan secara sehat terhadap konfliik mental dan
kekagagalan dan ketegangan yang ditimbulkan.
2. Prinsip yang didasarkan atas hubungan manusia dengan lingkungannya
meliputi:
11) Kesehatan dan penyesuaian mental tergantung kepada hubungan
interpersonal yang sehat. Khususnya di dalam kehidupan keluarga.
12) Penyesuaian yang baik dan kedamaian pikiran tergantung kepada
kecukupan dalam kepuasan kerja.
13) Kesehatan danpenyesuaian mental memerlukan sikap yang realistic
yaitu menerima realitas tanpa distorsi danobjektif.
3. Prinsip yang disasarkan atas hubungan manusia dengan Tuhan:
14) Stamilitas mental memerlukan seseorang mengembangkan kesadaran
atas realitas terbesar daripada dirinya yang menjadi tempat bergantung
kepada setiap tindakan yang fundamental.
15) Kesehatan mental dan ketenangan hati memerlukan hubungan yang
konstan antara manusia dengan Tuhannya.
4. Prinsip dasar kesehatan mental adalah:
1. Kesehatan mental itu lebih dari tiadanya perilaku abnormal
2. Kesehatan mental konsep yang ideal
3. Kesehatan mental sebagai bagian dari karakteristik kualitas hidup.
3. Norma-Norma Kesehatan Mental
Para ahli kesehatan mental menggunakan kriteria seseorang dalam
membuat keputusan tentang apakah suatu perilaku itu sehat atau tidak, kriteria
yang paling umum digunakan adalah:
1. Perilaku yang tidak biasa

12

2.

3.

4.

5.

Perilaku yang tidak biasa sering dikatakan abnormal. Hanya sedikit dari
kita yang melihat, ataupun mendengar sesuatu yang sebenarnya tidak ada
‘melihat sesuatu’ dan ‘mendengar sesuatu’ seperti yang dikatakan abnormal
dalam budaya kita, kecuali dalam pengalaman religius tertentu dimana
‘mendengar suara’ atau melihat bayangan’ tokoh religius menjadi bukan
yang aneh. Perilaku yang tidak biasa, adalah sesuatu yang jarang ada
menjadi ukuran abnormalitas.
Perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial atau melanggar norma
social.
Setiap masyarakat memiliki norma-norma (standar) yang menentukan jenis
perilaku yang menentukan jenis perilaku yang dapat dan diterima dalam
beragam konteks tertentu. Perilaku yang diangap normal dalam satu budaya
mungkin dipandang sebagai abnormal dalam budaya lainnya. Satu
implikasi dari mendasarnya perilaku abnormal pada norma social adalah
bahwa norma-norma tersebiut merefleksikan standar relative, bukan
kebenaran universal. Apa yang normal dalam satu budaya mungkin
dianggap abnormal dalam budaya yang lain.
Persepsi atau interpretasi yang salah terhadap realitas
Biasanya system sensori dan proses kognitif memungkinkan untuk
membentuk representasi mental yang akurat tentang lingkungan sekitar.
Melihat sesuatu ataupun mendengarkan suara yang tidak ada objeknya akan
disebut sebagai halusinasi, dimana dalam budaya kita sering dianggap
sebagai tanda-tanda yang mendasari gangguan. Bagi seseorang yang berdoa
“berbicara pada Tuhan” dianggap suatu hal yang realitas. Tetapi jika
seseorang mengklaim dirinya melihat Tuhan dan mendengar suaraNya,
dianggap bahwa orang itu mengalami gangguan mental.
Orang-orang tersebut berada dalam stress personal yang signifikan
Kondisi stress personal yang diakibatkan oleh gangguan emosi seperti
kecemasan, ketakutan, atau depresi dapat dianggap abnormal. Kecemasan,
atau depresi terkadang merupakan respon yang sesuai dengan situasi
tertentu. Ancaman dan kehilangan yang nyata terjadi dan dialami oleh
setiap orang dari waktu-kewaktu dan tidak adanya respon emosional pada
kondisi tertentu dapat dianggap abnormal. Perasaan stress yang tepat tidak
dapat dikatakan abnormal. Kecuali apabila perasaan tersebut berkelanjutan
bahkan lama setelah sumbernya sudah tidak ada (pada kebanyakan orang
akan segera menyesuaikan diri) kecuali jika perasaan itu sangat intens
sehingga merusak kemampuan individu untuk berfungsi kembali.
Perilaku maladaptive atau ‘self-defeating’
Yaitu perilaku yang menghasilkan ketidak bahagiaan dapat dianggap
sebagai abnormal. Perilaku yang membatasi kemampuan untuk berfungsi
dalam peran dan harapan atau untuk beradaptasi dengan lingkungan juga
dapat dianggap abnormal. Seperti pengkonsumsi alcohol yang parah
mengganggu fungsi kesehatan, social, dankerja dipandangsebagai
abnormal. Perilaku yang ditandai dengan rasa takut yang sangat kuat ketika
berada diarea public dapart juga disebut abnormal dengan alas an perilaku
tersebut dianggap tidak umum dan maladaptive, karena merusak

13

kemampuan individu untuk menyelesaikan pekerjaan dan mengemban
tanggung jawab keluarga.
6. Perilaku berbahaya
Perilaku yang menimbulkan bahaya bagi oranng itu sendiri dan atau pun
bagi orang lain dapat dikatakan abnormal. Dalam konteks social ini
menjadi masalah penting. Orang yang mengancam atau berupaya untuk
bunuh diri karena tekanan hidup sehari-hari biasanya juga dianggap
abnormal.
E. Pendidikan Karakter Membangun Mental Yang Sehat
Mencermati himbauan Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Menteri
Pendidikan Indonesia yang mencanangkan pendidikan berbasis karakter
sebagai gerakan nasional mulai tahun ajaran 2011/2012, maka melalui
pendidikan berkarakter ini dinilai penting dalam melanjutkan pembangunan
Bangsa dan Negara Republik Indonesia. Pendidikan berkarakter penting
dimulai sejak dini, aspek penekanannya, diantaranya melalui Pendidikan
Moral, Pendidikan Nilai, Pendidikan Religius, Pendidikan Budi Pekerti, dan
Pendidikan Karakter itu sendiri.
Himbauan Presiden SBY (dalam Puncak Peringatan Hari Pendidikan
Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional 2011, Jumat 20 Mei 2011), bahwa
pendidikan karakter mempunyai fungsi strategis bagi kemajuan bangsa, harus
ada komitmen untuk menjalankan pendidikan karakter sebagai bagian dari jati
diri bangsa. Komitmen yang harus dijalankan, mengacu kepada lima nilai
karakter bangsa untuk menjadi manusia unggul dalamhal:
1.
Manusia Indonesia yang bermoral, berakhlak dan berperilaku baik
2.
Mencapai masyarakat yang cerdas dan rasional
3.
Manusia Indonesia ke depan menjadi manusia yang inovatif dan terus
mengejar kemajuan;
4.
Memperkuat semangat “Harus Bisa”, yang terus mencari solusi dalam
setiap kesulitan;
5.
Manusia Indonesia haruslah menjadi patriot sejati yang mencintai bangsa,
Negara dan tanah airnya.
Sehingga pendidikan bukan hanya membangun kecerdasan dan transfer
of knowledge, tetapi juga harus mampu membangun karakter atau character
building dan perilaku peserta didik yang berkepribadian sehat mentalnya dalam
mengoptimalkan hard skill dan soft skill, disamping itu diwujudkan dalam
kemampuan peserta didik dalam olah hati, olah piker, olah raga, olah rasa, dan
olah karsa di berbagai jenjang pendidikan.
Disamping itu, pada hakekatnya pendidikan dan perlu dibangun melalui
metodologi yang tepat, yang diharapkan dapat dibangun intellectual
curiosity dan membangun common sense. Penyelenggara pendidikan, tidak
bisa menunda-nunda lagi, menyiapkan generasi penerus bangsa secara serius
untuk dibekali pendidikan karakter agar dapat memenuhi lima nilai manusia
unggul di atas.

14

Sumber Bacaan Pustaka
David Elkind and Freddy Sweet Ph.D. 2004 are co-Presidents of Live Wire
Media, producers and publishers of videos and other media for
character education, guidance, and life skills.
Elias, N., 1988, “Kerangka untuk Sebuah Teori Peradaban”, dalam Evers,
H.D.(ed.), Teori Masyarakat: Proses Peradaban dalam Sistem Dunia
Modern, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
Everett Reimer, 1987. Sekitar Eksistensi Sekolah: Sebuah Essay tentang
Alternatif-alternatif Pendidikan. (Penyadur M.Soedomo). Yogyakarta:
PT. Hanindita Graha Widya.
Hersh, et. al. 1980. Model of Moral Education, New York: Longman, Inc.
Howard Kirschenbaum, 2000, From Values Clarificationto Character
Education: A Personal Journey, Journal of Humanistic Counseling
and Development. Vol. 39, No. 1 (September), pp. 4 -20.
Kemdiknas (2010). Grand Design Pendidikan Karakter
Musfiroh, Tadkiroatun. 2008. Cerdas Melalui Bermain. Jakarta: Grasindo.
Nevid, Jeffrey S. Rathus, Spencer A & Greene, B. 2005. Psikologi Abnormal.
(terjemahan) Jilid I,II. Jakarta: Penerbit Buku Erlangga
Notosoedirdjo, Moeljono dan Latipun. (2005). Kesehatan Mental: Konsep dan
Penerapan. Malang: Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang.
Schneiders, A. 1964. Personal Adjustment and Mental Health. New York:
Rinehart and Windston.Inc.
Sohan Modgil, etc. 1986. Multicultural Education: The Interminable Debate
Sudrajat, Akhmad. 2010. Tentang Pendidikan Karakter. (dalam
http://akhmadsudrajat.wordlpress.com/2010/08/20/diakses
15
Oktober 2010)
Paulo Frere, Ivan Illich, dkk, 2006, Menggugat Pendidikan: Konsevatif,
Liberal, Anarkis, Cetakan VI. Yogyakarta: Pustaka Pelajara,
Undang – Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional
Wibowo, Timothy. 7 Cara Meningkatkan Rasa Percaya Diri Anak, founder.
www. Pendidikan Karakter.com.

15