FAKTOR FAKTOR PENYEBAB BANYAK PEMILIKAN

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB BANYAKNYA PEMILIKAN
TANAH PERTANIAN SECARA ABSENTEE/GUNTAI

MAKALAH
Diajukan sebagai salah satu
Pengganti dari Ujian Akhir

Oleh:
RAHMAN
13.023.74.201.015

JURUSAN ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDI DJEMMA PALOPO
2015

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah Swt, karena berkat
rahmat dan kesehatan yang diberikan kepada penulis sehingga makalah yang
berjudul “FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB BANYAKNYA PEMILIKAN
TANAH PERTANIAN SECARA ABSENTEE/GUNTAI” ini bisa terselesaikan

tepat waktu, dan tak lupa pula penulis kirimkan salam dan salawat kepada nabi
besar Muhammad Saw serta keluarga dan sahabat-sahabatnya karena Beliaulah
kita bisa keluar dari zaman jahilia menuju yang penuh dengan kedamaian dan
keberkahan seperti saat ini. Tak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang membantu dalam penulisan makalah ini karena tanpa
mereka makalah ini tidak akan selesai dengan cepat.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini sangat jauh dari kata
sempurna, maka dari itu penulis mengharapkan Kritik dan Saran yang
membangun agar penulisan makalah selanjutnya bisa lebih baik dari makalah
sebelumnya.
Semoga makalah ini bisa memberikan informasi dan manfaat bagi kita
semua agar makalah ini bisa berguna untuk kehidupan kita kedepannya terutama
di bidang hukum.

Palopo, 19 Juni 2015

Rahman

1


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR .............................................................................................i
DAFATAR ISI ........................................................................................................ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ..............................................................................1
1.2. Rumusan Masalah .........................................................................2
1.3. Tujuan .............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian dan Tujuan PelaranganPemilikanTanah Absentee .............................................................2
2.2. Faktor-faktor dan Solusi BanyaknyaPemilikan Tanah Absentee ............................................................4
BAB III PENUTUP
.1

Kesimpulan ...................................................................................11


.2

Saran .............................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................14

2

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tanah merupakan salah satu sumber utama bagi kelangsungan hidup
dan penghidupan bangsa dalam mencapai sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat yang harus terbagi secara adil dan merata, maka dari itu tanah harus
diusahakan atau digunakan bagi pemenuhan kebutuhan yang nyata.
Sehubungan dengan itu, penyediaan, peruntukan, penguasaan, penggunaan
dan pemeliharaannya perlu diatur agar terjamin kepastian hukum dalam
penguasaan dan pemanfaatannya serta sekaligus terselenggara perlindungan
hukum bagi rakyat banyak, terutama golongan petani, dengan tetap
mempertahankan kelestarian kemampuannya dalam mendukung kegiatan

pembangunan yang berkelanjutan, “Pemilik tanah pertanian yang bertempat
tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan
wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat
letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut”.
Indonesia telah memiliki ketentuan khusus yang mengatur tentang
pertanahan yaitu dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang biasa disebut UUPA, yang mulai
berlaku sejak tanggal 24 September 1960.
Dalam usianya yang mencapai 55 tahun, ada lima masalah di bidang
pertanahan yang sering mencuat ke permukaan, yaitu salah satunya pemilikan
tanah Absentee/guntai (Pasal 10), hal ini baik secara langsung maupun tidak
langsung banyak terjadi di kalangan masyarakat. Masalah menjadi semakin
rumit, karena gencarnya aktivitas pembangunan menyebabkan terlupakannya
unsur keadilan di bidang pertanahan. Penerapan Pasal 6 UUPA tentang fungsi
Salah satu aspek hukum penting dengan diundangkannya UUPA adalah
dicanangkannya “Program Landreform” di Indonesia yang bertujuan untuk
mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani penggarap tanah,

1


sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan
ekonomi menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Sehubungan dengan latar belakang diatas mendorong penulis untuk
membuat makalah dengan judul: “FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB
BANYAKNYA

PEMILIKAN

TANAH

PERTANIAN

SECARA

ABSENTE/GUNTAI”.
1.2. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, maka permasalahan dapat di rincikan
sebagai berikut:
1. Pengertian dan tujuan pelarangan pemilikan tanah secara Absentee?
2. Faktor-faktor dan solusi pemilikan tanah pertanian secara Absentee?

1.1.3. Tujuan
Adapun tujuan yang hendak penulis paparkan, yakni :
1. Untuk mengetahui apa pengertian dan tujuan pelarangan pemilikan tanah
pertanian secara Absentee.
2. Untuk mengetahui Faktor-faktor dan Solusi pemilikan tanah pertanian
secara secara Absentee/Guntai.

2

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian dan tujuan pelarangan pemilikan tanah pertanian secara
tanah Absentee.
Pengertian Tanah Absentee.
Kata absentee berasal dari kata latin “absentee” atau“absentis”,yang
berarti tidak hadir. Dalam kamus Bahasa Inggris karangan John M. Echlos
dan Hasan Sadily, Absentee adalah yang tidak ada atau tidak hadir di
tempatnya, atau landlord yaitu pemilik tanah bukan penduduk daerah itu, tuan
tanah yang bertempat tinggal di lain tempat.
Dalam Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 224 Tahun 1961 tentang

Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian (telah diubah
dan ditambah dengan PP Nomor 41 Tahun 1964) yang mengatur sebagai
berikut :
“Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar kecamatan
tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak
atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau
pindah ke kecamatan letak tanah tersebut”. Menunjukkan bahwa pemilikan
tanah pertanian secara absentee/guntai menurut Peraturan Perundangundangan tidak diperbolehkan, karena pada prinsipnya melanggar asas dalam
Pasal 10 UUPA yang mengatur bahwa setiap orang dan badan hukum yang
mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan
mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah
cara-cara pemerasan.
Tujuan pelarangan pemilikan tanah pertanian secara tanah Absentee.
Pada umumnya tanah-tanah pertanian letaknya hanya di desa, sedang
mereka yang memiliki tanah secara absentee/guntai umumnya bertempat
tinggal di kota. Orang yang tinggal di kota memiliki tanah pertanian di desa
tentunya tidak sejalan dengan prinsip tanah pertanian untuk petani. Orang
yang tinggal di kota sudah jelas bukan termasuk kategori petani. Tujuan
3


melarang pemilikan tanah pertanian secara absentee/guntai adalah agar hasil
yang diperoleh dari pengusahaan tanah pertanian sebagian besar dapat
dinikmati oleh masyarakat petani yang tinggal di pedesaan, bukan dinikmati
oleh orang kota yang tidak tinggal di desa.
Menurut Boedi Harsono, tujuan adanya larangan ini adalah agar hasil
yang diperoleh dari pengusahaan tanah itu sebagian besar dapat dinikmati
oleh masyarakat pedesaan tempat letak tanah yang bersangkutan, karena
pemilik tanah akan bertempat tinggal di daerah penghasil.
Pemilikan tanah pertanian secara absentee/guntai ini, menimbulkan
penggarapan yang tidak efisien, misalnya tentang penyelenggaraannya,
pengawasannya, pengangkutan hasilnya, juga dapat menimbulkan sistemsistem penghisapan. Ini berarti bahwa para petani penggarap tanah milik
orang lain dengan sepenuh tenaganya, tanggung jawabnya dan segala
resikonya, tetapi hanya menerima sebagian dari hasil yang dikelolanya. Di
sisi lain, pemilik tanah yang berada jauh dari letak tanah dan tidak
mengerjakan tanahnya tanpa menanggung segala resiko dan tanpa
mengeluarkan keringatnya akan mendapatkan bagian lebih besar dari hasil
tanahnya.
Sehingga hal itu tidak sesuai dengan tujuan landreform yang
diselenggarakan di Indonesia yaitu untuk mempertinggi penghasilan dan taraf
hidup para petani penggarap tanah dan sebagai landasan atau persyaratan

untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang
adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
2.2. Faktor-Faktor dan Solusi Pemilikan Tanah pertanian secara Absentee.
Faktor-Faktor penyebab banyaknya pemilikan tanah secara Absentee.
A. Faktor Masyarakat.
Kurangnya kesadaran hukum dari masyarakat Kehidupan
bermasyarakat dapat berjalan dengan tertib dan teratur tentunya didukung
oleh adanya suatu tatanan agar kehidupan menjadi tertib.

4

Dalam hal ini, walaupun pemerintah telah berusaha untuk mencegah
terjadinya pemilikan tanah pertanian secara absentee/guntai, namun hal ini
tidak lepas pula dari peran serta masyarakat untuk mematuhi peraturanperaturan yang telah ada. Hal ini tidak lepas dari itikad seseorang yang
sudah mengetahui tentang peraturan adanya larangan pemilikan tanah
pertanian secara absentee/guntai tersebut, mereka sengaja melanggar
peraturan tersebut demi keuntungan ekonomi diri sendiri.
Tanah pertanian absentee/guntai yang terjadi karena jual beli di
bawahtangan, pada umumnya oleh pemiliknya dihasilkan pada penduduk
setempat sebagai petani penggarap. Hubungan hukum seperti ini sudah

berlaku umum dan bagi penduduk setempat, khususnya para petani
penggarap dirasakan cukup menguntungkan baik dari segi ekonomi
maupun hubungan sosial/kekeluargaan.
B. Faktor Budaya yaitu pewarisan.
Dalam kaitannya dengan faktor penyebab terjadinya tanah
absentee/guntai dari aspek kebudayaan yaitu karena adanya Pewarisan.
Hal pewarisan ini sebagai wujud kelakuan berpola dari manusia sendiri.
Pewarisan sebenarnya menjadi peristiwa hukum yang lumrah terjadi
dimana-mana di setiap keluarga, akan tetapi peristiwa hukum ini menjadi
penting diperhatikan sehubungan dengan adanya larangan pemilikan tanah
pertanian secara absentee/guntai, apalagi jika ahli warisnya berada jauh di
luar kecamatan letak tanah pertanian tersebut berada. Kepemilikan tanah
pertanian secara absentee/guntai itu sebenarnya bisa dihindari dengan ahli
waris itu pindah ke kecamatan di mana tanah warisan itu berada, atau
tanah warisan itu dialihkan kepada penduduk yang berdomisili di
kecamatan itu.
Namun, dalam kenyataannya yang dijumpai di lapangan, bahwa
pewarisan itu jarang sekali yang segera diikuti dengan pembagian warisan
dalam tenggang waktu satu tahun sejak kematian pewarisnya. Hal itu
disebabkan karena adat kebiasaan di masyarakat, dan adanya perasaan

tidak etis bila ada kehendak untuk segera membagi-bagikan harta warisan
sebelum selamatan 1000 hari kematian pewaris.
5

Oleh karenanya alternatif secara yuridis yang ditawarkan dalam
rangka menghindarkan diri dari ketentuan tanah absentee/guntai sulit
untuk dapat dipenuhi. Namun, walaupun terjadi demikian, para kepala
desa atau aparat desa umumnya melindungi pula kepentingan para ahli
waris itu. Pertimbangan yang dijadikan dasar untuk berbuat demikian
antara lain karena mereka mengenal baik pewaris maupun ahli warisnya.
Para ahli waris umumnya menyatakan ingin tetap memiliki tanah warisan
itu sebagai penompang kehidupan di hari tua. Kehendak merantau bagi
mereka adalah untuk memperbaiki kehidupannya, dan setelah tua mereka
ingin menghabiskan sisa hidupnya di daerah asalnya. Dengan alasan
seperti itu, maka aparat desa tidak pernah melaporkan terjadinya tanah
absentee/guntai karena pewarisan itu. Kalaupun ada pewarisan, ahli waris
yang berada dalam perantauan itu selalu dianggap penduduk desanya.
Dengan demikian, tanah-tanah absentee/guntai yang secara materiil
memang ada dan terjadi karena pewarisan itu, secara formal tidak pernah
diketahui datanya, sehingga lolos dari kemungkinan ditetapkan pemerintah
sebagai obyek Landreform.
Dengan demikian dilihat dari nilai yang hidup dalam masyarakat
petani, larangan pemilikan tanah absentee/guntai karena pewarisan tidak
sesuai dengan keinginan mereka. Para petani hampir semua mengatakan
konsep tanah pertanian untuk petani dan wajib diolah sendiri harus
ditegakkan. Tanah pertanian banyak yang terlantar atau tidak diolah
dengan semestinya karena pemiliknya bukan keluarga petani dan tinggal di
daerah lain yang umumnya di perkotaan dan telah mempunyai sumber
penghidupan yang lain.
C. Faktor sarana dan prasarana.
Selama ini Kantor Pertanahan diberbagai Kabupaten/kota tidak
mempunyai data yang akurat tentang adanya pemilikan tanah pertanian
secara absentee/guntai tersebut, yaitu tidak adanya laporan-laporan yang
bersifat

membantu

dalam

menanggulangi

terjadinya

pemilikan/

penguasaan tanah Absentee/guntai dari aparat di tingkat kelurahan/desa
6

dan kecamatan. Kurangnya koordinasi dan kerja sama ini justru
menimbulkan bentuk pelanggaran yang semakin besar terhadap larangan
pemilikan tanah pertanian secara absentee/guntai tersebut. Faktor aparat
atau penegak hukumnya, yaitu dengan adanya kemudahan yang diberikan
oleh aparat di tingkat kelurahan dan kecamatan dalam pembuatan KTP
yang mengakibatkan banyak terdapat KTP ganda yang digunakan dalam
transaksi pemilikan tanah di pedesaan.
D. Faktor ekonomi.
Sebagaimana diketahui bahwa tanah mempunyai nilai yang sangat
penting karena memiliki nilai ekonomis. Kabupaten Banyumas terdiri dari
berbagai kecamatan yang memiliki tanah pertanian yang cukup subur
sehingga mengundang perhatian masyarakat kota-kota besar yang kondisi
ekonominya cukup baik dan bermodal kuat untuk membeli dan
menjadikan tanah tersebut sebagai investasi di hari tuanya nanti, karena
mereka mempunyai harapan tanah tersebut harganya akan selalu
meningkat.
Seperti yang telah diuraikan di atas, bagi seorang petani, tanah
pertanian adalah suatu sumber kehidupan, lambang status dalam
masyarakat

agraris.

Karena

itu

seorang

petani

tidak

mungkin

meninggalkan tanah pertaniannya, membiarkan tanahnya menjadi tanah
absentee/guntai. Selain itu data menunjukkan bahwa yang memiliki tanah
pertanian secara absentee/guntai, bukanlah para petani, tetapi orang-orang
kota yang membeli tanah pertanian. Tanah itu dibeli bukan untuk diolah
sebagaimana peruntukkan tanahnya, tetapi dibeli sebagai sarana investasi
dan dijual kembali setelah harganya tinggi.
Dengan demikian, ketidaktahuan seorang petani mengenai adanya
larangan pemilikan tanah secara absentee/guntai tidak berpotensi untuk
melahirkan tanah absentee/guntai. kecenderungan yang muncul dalam
masyarakat petani adalah pemilikan tanah yang melebihi batas
maksimum.Kecenderungan ini terjadi karena nilai budaya masyarakat tani
itu sendiri. Misalnya, seorang kelurga petani yang telah berhasil merubah
kehidupannya dan tinggal menetap di kota akan menyerahkan atau
7

menjual tanahnya kepada orang yang memegang prioritas utama yaitu
sanak keluarga yang masih tetap jadi petani. Namun demikian, kadangkala
terjadi juga peristiwa yang sebaliknya, dimana keluarga petani yang telah
berhasil hidup layak di kota dan mengetahui bahwa tanah merupakan
investasi yang menjanjikan membeli tanah-tanah pertanian di kampung
halamannya. Dalam hal ini telah terjadi imitasi terhadap perilaku orangorang kota yang senang menanam investasinya dalam jual beli tanah.
E. Fenomena larangan tanah absentee/guntai secara nyata terjadi, tetapi tidak
dilakukan sanksi yang tegas.
Telah diketahui sebelumnya bahwa ketentuan larangan pemilikan
tanah absentee/guntai termasuk ketentuan hukum yang bersifat memaksa,
dengan kata lain ketentuan-ketentuan dalam Pasal 10 UUPA termasuk
peraturan-peraturan yang tidak boleh dikesampingkan.
Undang-undang ini dari segi hukumnya, jelaslah bahwa secara
formal keseluruhan peraturan perundangan yang mengatur adalah sah,
karena dibentuk oleh pejabat/instansi yang berwenang dan dalam
pembentukannya telah melalui proses sebagaimana yang ditentukan.
Namun, dari segi materiil, keseluruhan peraturan yang mengatur
tentang

larangan

pemilikan/penguasaan

tanah

pertanian

secara

absentee/guntai adalah produk sekitar tahun 60-an. Sehingga menurut
pendapat penulis, adanya pemikiran-pemikiran pada saat itu, ternyata
dalam kenyataannya sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi dan kebutuhan
masyarakat saat ini, khususnya yang terjadi di berbagai Kabupaten/kota.
Dilihat batas wilayah untuk menentukan keberadaan dari tanah
absentee/guntai adalah wilayah kecamatan, atau setidaknya wilayah
kecamatan yang berbatasan, yaitu dengan jarak tidak lebih dari 5 Km,
namun dengan adanya perkembangan teknologi komunikasi, transportasi
dan semakin canggihnya metode pertanian, ternyata jarak yang demikian
jauh bahkan antar pulau tidak menjadi hambatan untuk bisa mengolah
tanah pertaniannya dengan efektif. Dari jarak yang berjauhan selama
perantauan, ternyata para pemilik tanah masih bisa secara aktif memantau

8

perkembangan atas penggarapan tanahnya sehingga tidak adanya tanah
terlantar.
Walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa ada pula TanahTanah pertanian yang ditelantarkan pemiliknya karena dia sendiri
berdomisili di luar kota atau bahkan di luar Provinsi. Hal itu tentu saja
menimbulkan kesulitan bagi sebagian pihak. Dengan demikian, jelaslah
terbukti bahwa ketentuan-ketentuan larangan pemilikan/penguasaan tanah
pertanian secara absentee/guntai yang ada pada saat ini masih perlu
ditinjau kembali untuk disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan
masyarakat pada saat ini.
F. Banyaknya orang kota yang membeli tanah hanya untuk investasi.
Banyak orang dari kota yang memiliki tanah pertanian di desa hanya untuk
sebagai investasi belaka, karena menurutnya jika kita membeli tanah
didesa 3-5 tahun kedepan harganya akan sangat tinggi dan disaat tanah
tinggi

diapun

akan

menjual

tanahnya,

karena

memang

tujuan

pembeliannya hanya untuk investasi bukan untuk dikelola seperti halnya
dengan petani.
Solusi yang bisa gunakan untuk mengurangi pemilikan tanah pertanian
secara Absente antara lain:
A. Kantor pertanahan seharusnya melakukan sosialisasi kepada masyarakat
karena kebanyakan masyarakat masih kurang tahu mengenai pelararangan
pemilikan tanah pertanian secara Absente, apalagi di masyarakat sering
melakukan jual-beli tanah tanpa memikirkan tempat tinggal dan dan letak
tanah yang akan dibelinya. Dengan adanya sosialisasi yang dilakukan oleh
kantor pertanahan sekiranya bisa mengurangi kepemilikan tanah secara
Absentee di masyarakat.
B. Penertiban administrasi, yaitu dengan melakukan pengawasan yang ketat
terhadap pemindahan hak atas tanah pertanian melalui kerja sama antara
instansi yang terkait yaitu Kepala Desa, Kecamatan dan PPAT/Notaris.
C. Penertiban hukum, yaitu melalui penyuluhan hukum yang terarah dan
diselenggarakan terus menerus secara luas terhadap masyarakat juga
pejabat/aparat yang berkaitan dengan masalah pertanahan.
9

BAB III
PENUTUP
.1

Kesimpulan
1. Tanah Absentee adalah tanah yang letaknya diluar tempat berdomisili atau
tanah yang letaknya diluar kecamatan tempat tinggalnya.
Tujuan pelarangan pemilikan tanah pertanian secara absentee adalah untuk
mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani penggarap tanah
dan

sebagai

landasan

atau

persyaratan

untuk

menyelenggarakan
10

pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila.
2. Faktor-faktor yang menyebabkan banyaknya pemilikan tanah secara
Absente antara lain:
a. Faktor kurangnya kesadaran hukum masyarakat, yaitu masih banyak
terjadi jual beli tanah yang dilakukan secara di bawah tangan dan
peralihannya juga tidak didaftarkan di Kantor Pertanahan sehingga
banyak tanah-tanah yang dimiliki secara absentee/guntai yang lolos dari
pantauan Kantor Pertanahan.
b. Faktor Budaya yaitu karena Pewarisan Tanah dimana banyaknya
keluarga yang mewariskan tanahnya kepada anknya sedangkan anaknya
ini tinggal di kota dan sudah menetap kota bahkan sudah mendapatkan
pekerjaan yang layak dikota dibandingkan di desa letak tanahnya itu,
inilah juga salah satu penyebab kepemilikan tanah yaitu karena
pewarisan.k
c. Faktor sarana dan prasarana, yaitu Kantor Pertanahan tidak mempunyai
data yang akurat tentang adanya pemilikan tanah pertanian secara
absentee/guntai tersebut.
d. Faktor ekonomi, karena tanah memiliki nilai ekonomis dan masyarakat
beranggapan bahwa tanah dapat digunakan sebagai jaminan hidup di
hari tuanya nanti, sehingga mengakibatkan terjadinya peralihan
peruntukan tanah pertanian menjadi kawasan perumahan, industri dan
pariwisata.
e. Faktor aparat atau penegak hukumnya, yaitu dengan adanya kemudahan
yang diberikan oleh aparat di tingkat kelurahan dan kecamatan dalam
pembuatan KTP yang mengakibatkan banyak terdapat KTP ganda yang
digunakan dalam transaksi pemilikan tanah di pedesaan.
f. Fenomena larangan tanah absentee/guntai secara nyata terjadi, tetapi
tidak dilakukan sanksi yang tegas.
3. Solusi agar pemilikan tanah pertanian secara Absentee berkurang antara
lain:
1. Kantor pertanahan seharusnya melakukan sosialisasi kepada masyarakat
karena kebanyakan masyarakat kurang tahu mengenai pelararangan

11

pemilikan tanah pertanian secara Absente, apalagi di masyarakat sering
melakukan jual-beli tanah tanpa memikirkan tempat tinggal dan dan
letak tanah yang akan dibelinya. Dengan adanya sosialisasi yang
dilakukan

oleh

kantor

pertanahan

sekiranya

bisa

mengurangi

kepemilikan tanah secara Absente di masyarakat.
2. Penertiban administrasi, yaitu dengan melakukan pengawasan yang
ketat terhadap pemindahan hak atas tanah pertanian melalui kerja sama
antara instansi yang terkait yaitu Kepala Desa, Kecamatan dan
PPAT/Notaris.
3. Penertiban hukum, yaitu melalui penyuluhan hukum yang terarah dan
diselenggarakan terus menerus secara luas terhadap masyarakat juga
pejabat/aparat yang berkaitan dengan masalah pertanahan.
.2

Saran

Berhubungan dengan kesimpulan diatas, maka disarankan:
1.

Ketentuan-ketentuan larangan pemilikan tanah absentee/guntai yang ada pada
saat ini masih perlu ditinjau kembali untuk disesuaikan dengan perkembangan
dan kebutuhan masyarakat saat ini. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan
kembali mengenai jarak antara domisili pemilik tanah dan letak tanah
mengingat kemajuan di bidang teknologi transportasi, jarak antar kecamatan
sudah tidak menjadikan suatu hambatan terhadap efektifitas dan produktivitas

2.

secara optimal tanah pertanian untuk dapat diolah.
Hendaknya ketentuan sanksi terhadap pelanggaran larangan pemilikan tanah
absentee/guntai

diperbaharui

dan

disesuaikan

dengan

perkembangan

kemajuan pembangunan sekarang ini, dan pelaksanaannya agar lebih
dipertegas. Oleh karena dari segi materiil, keseluruhan peraturan yang
mengatur tentang larangan pemilikan tanah absentee/guntai adalah produk
sekitar tahun 1960-an, sehingga pemikiran-pemikiran pada saat itu ternyata
dalam kenyataannya sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi dan kebutuhan
masyarakat saat ini.

12

DAFTAR PUSTAKA

Perangin, Effendi, Hukum Agraria di Indonesia, Suatu Telaah dari Sudut
Pandang Praktisi Hukum, CV. Rajawali, Jakarta, 1986
Prakoso, Djoko dan Budiman Adi Purwanto, Eksistensi Prona sebagai
Pelaksanaan Mekanisme Fungsi Agraria, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985
Rahardjo, Satjipto, Hukum dalam Perspektif Sosial, Bandung, Alumni, 1981
Ruchiyat, Eddy, Politik Pertanahan Nasional sampai Orde Reformasi, Alumni,
Bandung, 1999
Salindeho, John, Masalah Tanah dalam Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta,
1993

13

Asshiddiqie, Jimly, Penegakan Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia, Jurnal
Keadilan, Vol 2, No 2, Jakarta, Pusat Kajian Hukum dan Keadilan, 2002
Chomzah, H.Ali Achmad, Hukum Agraria (Pertanahan) Indonesia, Jilid I,
Jakarta, Prestasi Pustakaraya, 2004
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta, Djambatan, 2005
Hadi, Soetrisno, Metodologi Research, Andi Offset, Yogyakarta, 1995
Jaya, I Nyoman Budi, Tinjauan Yuridis tentang Restribusi Tanah Pertanian
Dalam Rangka Pelaksanaan Landreform, Liberty, Yogyakarta, 1989
Kusumaatmadja, Mochtar, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum
Nasional, Bandung, Bina Cipta, 1976

14