Makalah Diabetes Melitus Contoh Kasus Pa

FARMAKOTERAPI DIABETES MELLITUS
Diajukan untuk memenuhi tugas farmakoterapi terapan semester ganjil

Kelas: B
Disusun Oleh:
Danintya Fairuz
Alsya Utami Rahayu
Mega Hijriawati
Hanifah Nurrochmah K.
Linda Apriyanti
Sri Wahyuni

260112170002
260112170020
260112170022
260112170024
260112170026
260112170028

PROGRAM PROFESI APOTEKER
FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS PADJADJARAN
2017

I.

Definisi
Gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai
dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme
karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin
(WHO,1999).

Gambar 1. Ketidakseimbagan glukosa darah
A. Penyebab Diabetes
Penyebab DM Tipe 1:


Faktor keturunan atau genetika.




Autoimunitas.



Virus atau zat kimia.

1

Penyebab DM Tipe 2:


Faktor keturunan.



Pola makan atau gaya hidup yang tidak sehat.



Kadar kolesterol yang tinggi.




Jarang berolahraga.



Obesitas atau kelebihan berat badan.

B. Klasifikasi Diabetes
-

DM Tipe 1: Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM). Disebabkan
oleh destruksi sel β pankreas akibat autoimun sehingga terjadi
defisiensi insulin absolut.

-

DM Tipe 2: Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM).
Disebabkan oleh resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif.


-

DM Gestasional : Kehamilan

-

DM Tipe Lain : Kelainan genetik sel β pankreas. Kelainan genetik
kerja insulin. Penyakit pankreas.

II.

Patofisiologi

1.

Patofisiologi DM Tipe 1
DM tipe 1 (insulin dependent diabetes mellitus) merupakan 10% dari

semua kasus diabetes. Umumnya terjadi pada masa kanak-kanak atau dewasa

muda dan biasanya muncul dari kerusakan sel β pankreas yang dimediasi
sistem imun, sehingga terjadi defisiensi insulin absolut. Faktor yang
memunculkan respon autoimun tidak diketahui, tapi prosesnya dimediasi oleh
makrofag dan sel limfosit T degan autoantibodi terhadap antigen sel β
(contoh : islet cell antibody, insulin antibodies) (Dipiro, 2012). Sebab
munculnya antibodi sel islet langerhans tersebut tidak diketahui namun jelas
terjadi kegagalan sistem imun dalam mengenali sel pankreatis sebagai bagian
dari individu tersebut. Proses terjadinya kerusakan sel beta pankreas yaitu:
a. Periode preklinik panjang yang ditandai dengan adanya penanda imun
kertika sel β pankreas hancur.

2

b. Hiperglisemia terjadi ketika 80-90% sel β hancur.
c. Terdapat tahap remisi sementara (Honeymoon Period).
d. Onset penyakit DM tipe 1 yang berkaitan dengan komplikasi dan
kematian, merupakan tahap akhir kerusakan sel beta pankreas (Dipiro,
2011; Ozougwu, et al., 2013).

Gambar 2. Skema kerusakan sel beta pankreas (Dipiro, 2011).


Gambar 3. Patogenesis DM Tipe 1 (Ozougwu, et al., 2013).

3

Adanya gangguan sekresi insulin juga menyebabkan ketidaknormalan
pada fungsi sel α pankreas yaitu berlebihnya sekresi glucagon. Normalnya,
hiperglikemia akan memicu berkurangnya sekresi glucagon namun pada
pasien DM tipe 1 sekresi glucagon tidak berkurang. Meningkatnya kadar
glucagon ini dapat memperparah gangguan metabolisme akibat defisiensi
insulin. Defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya produksi glukosa di
hati

(melalui

proses

glukoneogenesis

menggunakan


glikogen)

dan

berkurangnya metabolisme glukosa di jaringan perifer menyebabkan
meningkatnya kadar glukosa di plasma. Ketika kapasitas ginjal untuk
menyerap glukosa menurun, glukosuria dapat terjadi. Glukosa merupakan zat
diuresis dan adanya glukosa pada urin juga disertai meningkatnya eksresi air
dan elektrolit sehingga muncul polidipsia, Selain itu ketidakseimbangan
kalori yang dihasilkan oleh glukosuria dan katabolisme jaringan memicu
meningkatnya nafsu makan dan asupan makanan yang disebut polifagia
(Ozougwu, et al., 2013).
Insulin membantu lipoprotein lipase yang bekerja menyimpan
trigliserida di jaringan adipose. Pada DM tipe 1, terjadi hipertrigliseridamia,
asam lemak bebas meningkat sehingga asam lemak bebas dimetabolisme
untuk menyediakan energi bagi tubuh. Asam lemak bebas ini dimetabolisme
di mitokondria, dioksidasi menjadi asetil co A yang dimetabolisme melalui
siklus TCA menjadi badan keton. Badan keton ini digunakan untuk energy
bagi otak, jantung, dan otot rangka. Badan keton berlebih yang tidak dapat

ditanggung tubuh dapat menyebabkan ketoasidosis. Efek defisiensi insulin
pada protein yaitu meningkatnya katabolisme protein sehingga kadar asam
amino di plasma meningkat. Asam amino glukogenik berperan sebagai
precursor bagi glikoneogenesis di hati dan ginjal yang akan menyebabkan
hiperglikemia pada pasien DM tipe 1 (Ozougwu, et al., 2013).
Gangguan glukosa dan defisiensi insulin ini kemudian juga akan
menurunkan ekspresi jumlah gen jaringan target yang diperlukan untuk
menormalkan insulin contohnya seperti glukokinase di hati dan transporter
glukosa GLUT 4 di jaringan adiposa (Ozougwu, et al., 2013).

4

2.

Patofisiologi DM Tipe 2
DM Tipe 2 (90% dari semua kasus) dikarakterisasikan dengan

kombinasi resistensi insulin dan kekurangan insulin yang relatif seperti pada
Gambar 3. Resistensi insulin dimanisfestasi oleh meningkatnya lipolisis dan
produksi asam lemak bebas, meningkatnya produksi gula hati, sera penurunan

serapan glukosa oleh otot rangka (Dipiro, 2012). Penyebab resistensi insulin
dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Penyebab Resistensi Insulin (Ozougwu, et al., 2013).
Disfungsi sel β terjadi secara progresif dan memperburuk kontrol atas
glukosa darah dengan berjalannya waktu. Faktor risiko nomor satu DM tipe 2
yaitu obesitas dan penumpukan lemak visceral, penyebab penumpukan lemak
visceral dapat dilihat pada Gambar 5. DM tipe 2 terjadi ketika gaya hidup
diabetogenik (asupan kalori berlebih, kurang latihan fisik, dan kegemukan)
yang memperburuk genotip tertentu, asupan lemak yang meningkat namun
tidak dibarengi dengan asupan karbohidrat atau serat dapat sebabkan
hiperinsulinemia. DM tipe 2 juga dapat disebabkan oleh faktor stress akibat
penuaan. Selain itu, pada DM tipe 2 juga terdapat kecenderungan genetic
yang menyebabkan pankreas menghasilkan insulin yang rusak atau
menyebabkan reseptor insulin atau second messengers gagal untuk merespon
insulin secara memadai. Kecenderungan genetik juga dapat berkaitan dengan
obesitas dan stimulasi reseptor insulin yang diperlama. Hal ini dapat
menyebabkan berkurangnya jumlah reseptor insulin pada badan sel. Pada DM

5


tipe 2 mungkin juga diproduksi autoantibody insulin yang berikatan dengan
reseptor insulin sehingga menghambat akses insulin ke reseptor. Selain itu
DM tipe 2 dapat disebabkan kekurangan hormone leptin akibat kekurangan
gen yang memproduksi hormone leptin atau terdapat disfungsi pada gennya.
Tanpa gen leptin, individu akan gagal merespon sensasi kenyang sehingga
akan cenderung mengalami obesitas dan menurun sensitivitas insulinnya.
Walau obesitas adalah faktor risiko utama namun DM tipe 2 juga dapat
dialami pada individu yang kurus atau memiliki berat badan normal. (Corwin,
2008; Dipiro, 2011).

Gambar 5. Penyebab Penumpukan Lemak Viseral (Ozougwu, et al., 2013).
Pada pasien DM tipe 2, insulin masih disekresikan namun terdapat
penundaan waktu sekresi dan adanya penurunan jumlah insulin total yang
dilepaskan. Hal ini semakin parah semakin tua usia seseorang. Jaringan lemak
dan otot menunjukkan resistensi terhadap insulin yang tersirkulasi sehingga
carrier glukosa (transporter GLUT4) tidak terdapat pada sel secara memadai
dan glukosa tidak dapat digunakan oleh sel. Ketika sel mulai kehilangan
energy, hati akan memulai proses glukoneogenesis yang lama kelamaan akan
meningkatkan kadar glukosa darah, pemecahan trigliserida, protein, dan

glikogen sebagai sumber energy sehingga kadarnya akan meningkat dalam
darah (Corwin, 2008).

6

3.

Patofisiologi DM Tipe Lain
Diabetes jenis ini disebut juga diabetes sekunder atau diabetes melitus

tipe3. Etiologi diabetes jenis ini meliputi:
a) Penyakit pada pankreas yang merusak sel β, seperti hemokromatosis,
pankratitis, fibrosis kistik;
b) Sindrom hormonal yang menganggu sekresi atau menghambat kerja
insulin, seperti akromegali, feokromositoma, dan sindrom Cushing;
c) Obat-obat yang menganggu sekresin insulin (fenitoin [Dilantin]) atau
menghambat kerja insulin (estrogen dan glukokortikoid);
d) Kondisi tertentu yang jarang terjadi seperti kelainan pada reseptor insulin;
e) Sindrom genetik (Arisman, 2010).
4.

Patofisiologi DM Gestasional
Diabetes gestasional yaitu diabetes yang terjadi pada wanita hamil

yang sebelumnya tidak menderita DM. Pada diabetes tipe ini, kurang lebih
50% wanita setelah proses persalinan tetap mengalami diabetes atau apabila
sembuh maka risiko untuk terkena DM tipe 2 lebih tinggi dari pada normal
dalam jangka waktu kurang lebih lima tahun. Penyebab diabetes gestasional
yaitu meningkatnya kebutuhan energy selama kehamilan dan secara bertahap
terjadi peningkatan hormone pertumbuhan dan hormone estrogen. Hormon
pertumbuhan dan estrogen memicu pelepasan insulin dan mungkin
menyebabkan oversekresi insulin karena adanya penurunan keresponsifan sel.
Hormon

pertumbuhan

juga

memilik

efek

anti-insulin,

contohnya

menstimulasi glikogenolisis dan penguraian jaringan lemak. Adiponektin,
sebuah protein plasma turunan jaringan lemak, berperan dalam mengatur
konsentrasi insulin dan resistensinya, menurunnya kadar adiponektin
berpengaruh terhadap gangguan metabolisme glukosa dan hiperglikemia.
Diabetes gestasional dapat berakibat buruk bagi kehamilan dengan
meningkatkan risiko kecacatan janin, berat badan bayi besar, sehingga
menyebabkan masalah pada proses persalinan. Diabetes gestasional secara
rutin harus di periksa pada pemeriksaan medis prenatal. Diabetes gestasional

7

harus diobati dengan pemberian hormon insulin dan pengaturan makanan.
Sebelum terkena diabetes gestasional, sebaiknya gula darah dan berat badan
wanita sebelum kehamilan terkontrol (Corwin, 2008).

Gambar 6. Patofisiologi GDM

III. Manifestasi Klinik

Gambar 7. Karakteristik Klinik Pasien DM Tipe 1 dan 2 (Ozougwu, et al., 2013).
Pada DM Tipe 1 dan 2:
 Poliuria (meningkatnya volum urin, karena air mengikuti glukosa yang
masuk ke dalam urin)

8

 Polidipsia (meningkatnya rasa haus, karena banyaknya kehilangan air
melalui urin yang memicu dehidrasi ekstraselular)
 Polifagia (meningkatnya rasa lapar, karena katabolisme kronik lemak dan
protein)
 Kelelahan dan lemas (karena adanya katabolisme protein otot dan
ketidakmampuan sel untuk menggunakan glukosa sebagai energy,
buruknya aliran darah pada diabetes yang sudah lama memicu kelelahan)
Pada DM tipe 1 juga ditemui:
 Rasa mual dan muntah yang parah
 Penurunan berat badan
 Individu dengan DM tipe 1 umumnya kurus dan rentan terkena diabetic
ketoacidosis (DKA) jika insulin tidak diberikan atau di bawah kondisi
stress parah dimana terjadi ekskresi berlebih hormon yang kerjanya
berlawanan dengan insulin (glucagon). Sekitar 20-40% pasien akan
mengalami DKA setelah beberapa hari mengalami poliuria, polidipsia,
polifagia, dan berat turun.
Pada DM tipe 2 juga ditemui:
 Pasien DM tipe 2 seringkali asimtomatik (tanpa gejala), namun penurunan
berat badan yang signifikan jarang terjadi, lebih sering terjadi pada pasien
obesitas dan overweight
 Nocturia
 Meningkatnya laju infeksi karena meningkatnya konsentrasi glukosa
dalam sekresi mucus, buruknya fungsi imun, dan menurunnya aliran
darah.
 Perubahan fungsi penglihatan akibat adanya ketidakseimbangan cairan
atau terjadi kerusakan retina pada kasus yang lebih parah.
 Parestesia atau abnormalitas dalam sensasi.
 Terkena vaginal candidiasis akibat meningkatnya kadar glukosa pada
secret vagina dan urin serta akibat lemahnya fungsi imun.

9

 Kerusakan otot akibat protein otot dipecah untuk memenuhi kebutuhan
energy tubuh.
(Dipiro, 2011; Corwin, 2008).

IV.

Diagnosis

1. Diabetes Melitus tipe 1
Glukosa darah puasa dianggap normal bila kadar glukosa darah kapiler
200 mg/ dL (11.1 mmol/L).

-

Pada penderita yang asimtomatis ditemukan kadar glukosa darah sewaktu
>200 mg/dL atau kadar glukosa darah puasa lebih tinggi dari normal dengan
tes toleransi glukosa yang terganggu pada lebih dari satu kali pemeriksaan.

a. Tes Toleransi Glukosa
Pada anak biasanya tes toleransi glukosa (TTG) tidak perlu dilakukan
untuk mendiagnosis DM tipe-1, karena gambaran klinis yang khas. Indikasi
TTG pada anak adalah pada kasus-kasus yang meragukan yaitu ditemukan
gejala-gejala klinis yang khas untuk DM, namun pemeriksaan kadar glukosa
darah tidak menyakinkan. Dosis glukosa yang digunakan pada TTG adalah
1,75 g/kgBB (maksimum 75 g). Glukosa tersebut diberikan secara oral (dalam
200- 250 ml air) dalam jangka waktu 5 menit. Tes toleransi glukosa dilakukan
setelah anak mendapat diet tinggi karbohidrat (150-200 g per hari) selama tiga
hari berturut-turut dan anak puasa semalam menjelang TTG dilakukan.
Selama tiga hari sebelum TTG dilakukan, aktifitas fisik anak tidak dibatasi.
Anak dapat melakukan kegiatan rutin sehari-hari. Sampel glukosa darah
diambil pada menit ke 0 (sebelum diberikan glukosa oral), 60 dan 120
(Tridjaya dkk., 2015).

10

Beberapa hal perlu diperhatikan dalam melaksanakan TTG pada anak
yaitu (Tridjaya dkk., 2015):

-

Anak tidak sedang menderita suatu penyakit.

-

Anak tidak sedang dalam pengobatan/minum obat-obatan yang dapat
meningkatkan kadar glukosa darah.

-

Jangan melakukan pemeriksaan dengan glukometer/kapiler, gunakanlah
darah vena.

-

Berhubung kadar glukosa darah dapat berkurang 5 % per jam apabila
dibiarkan dalam suhu kamar, maka setelah darah vena diambil dengan
pengawet EDTA/heparin harus segera disimpan di lemari es.

-

Selain cara diatas, maka sampel darah dapat harus segera disentrifus agar
kadar glukosa darah tidak menurun.

b. Penilaian Hasil Tes Toleransi Glukosa (Tridjaya dkk., 2015)
-

Anak menderita DM apabila kadar glukosa darah puasa ≥140 mg/dL (7,8
mmol/L) atau Kadar glukosa darah pada jam ke 2 ≥200 mg/dL (11,1
mmol/L).

-

Anak dikatakan menderita toleransi gula terganggu apabila kadar glukosa
darah puasa