Sejarah Masuknya Islam di Indonesia (1)

Sejarah Masuknya Islam di Indonesia
Senin, 21 Mei 2012

BAB II
MASUKNYA AGAMA ISLAM KE INDONESIA

A. Pendapat Para Sejarawan Tentang Masuknya Islam ke Indonesia
Menurut Hamka (1963:87-88, dalam Hasjmy, 1990:3), agama Islam masuk ke Indonesia
secara berangsur- angsur dan dimulai pada abad ketujuh Masehi. Agama Islam datang ke
Indonesia dengan dibawa oleh saudagar-saudagar Islam. Saudagar-saudagar tersebut bukan
hanya dari Arab saja, melainkan ada yang berasal dari Persia dan Gujarat.
Muhammad Said membuat kesimpulan (1963:226-227, dalam Hasjmy, 1990:4), sumbersumber sejarah Arab mengatakan bahwa di Sumatra sejak abad sembilan. Pada abad tersebut di
berbagai bandar sudah banyak pendatang Arab yang beragama Islam. Sebaliknya, menurut
sumber-sumber orang luar (Arab dan Tionghoa) Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama
Hijriyah yakni sekitar abad tujuh sampai dengan abad kedelapan.
Haji Abu Bakar Aceh memberi kesimpulan (1963:127, dalam Hasjmy, 1990:4), Islam
masuk ke Indonesia pertama kali di Aceh. Penyiar Islam pertama tidak hanya dari India dan
Gujarat, akan tetapi ada dari bangsa Arab. Mazhab pertama yang dipeluk di Aceh adalah Syiah
dan Syafi’i.
Muljana (2008:130), menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad kedua
belas. Hal ini dikarenakan pada akhir abad kedua belas ditemukan kerajaan Islam yang bernama

Perlak di daerah pantai timur Sumatra. Kerajaan itu diberi nama Peureulak karena didirikan oleh
para pedagang asing dari Maroko, Persi, Gujarat, dan Mesir yang sejak awal abad kedua belas
sudah menetap di sana.

Selain pendapat-pendapat para sejarawan diatas ada juga beberapa teori lain yang
menyebutkan tentang masuknya Islam ke Indonesia. Teori-teori tersebut diantaranya adalah teori
Gujarat, teori Makkah, dan teori Persia. Ketiga teori tersebut tidak membicarakan masuknya
Islam dari setiap pulau tapi hanya menganalisis dari Sumatra dan Jawa sebab dua wilayah itu
yang merupakan sampel wilayah Nusantara lainnya. Dalam teori Gujarat menyatakan bahwa
Islam masuk ke Nusantara dibawa oleh para pedagang dari Gujarat. Kemudian, Islam masuk ke
Indonesia sekitar abad ketiga belas. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya batu nisan pertama
Sultan kerajaan Samudra, yakni Malik al-Saleh yang wafat 1297. Teori Makkah merupakan
suatu teori yang dihasilkan dari koreksi dan kritik Hamka. Teori yang ketiga adalah teori Persia,
teori ini lebih memfokuskan pada kebudayaan yang hidup dalam masyarakat Islam Indonesia
yang dirasakan memiliki persamaan dengan Persia. Dalam teori Persia dijelaskan bahwa Islam
masuk ke Indonesia pada abad ketiga belas dengan dibawa oleh saudagar dari Gujarat. Jika kita
melihat, teori Gujarat dan Persia itu mempunyai kesamaan. Perbedaan dalam kedua teori ini
terletak pada ajarannya. Dalam teori Gujarat dijelaskan bahwa Islam mempunyai kesamaan
ajaran dengan mistik India. Namun, dalam teori Persia memandang bahwa adanya kesamaan
ajaran sufi Indonesia dengan ajaran sufi Persia (Suryanegara, 1996:74-93).

Dari semua pendapat-pendapat di atas kita dapat menyimpulkan bahwa menurut pendapat
yang paling kuat Islam masuk ke Indonesia pada awal abad pertama Hijriyah yakni abad tujuh
Masehi. Sebaliknya, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada
abad ketiga belas dan masuknya ke Indonesia pertama kali dibawa oleh saudagar-saudagar dari
Arab.

B. Kerajaan- Kerajaan Islam di Indonesia

Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia ada banyak, antara lain:
1. Kerajaan Islam di Peureulak
Menurut catatan sejarah bahwa pada tahun 173 Hijriyah (800 Masehi) telah berlabuh
sebuah kapal milik para saudagar Islam yang dipimpin oleh nahkoda khalifah 1[1] di kerajaan
Peureulak. Para saudagar2[2] tersebut datang dari Teluk Kambey (Gujarat). Para saudagar
tersebut datang ke Peureulak bukan hanya berniat untuk berdagang saja, akan tetapi juga untuk
menyebarkan Islam di Indonesia.
Kerajaan Peureulak semula bukan kerajaan Islam, tetapi setelah Islam datang dan tersebar
di Peureulak maka berdirilah kerajaan Islam di Peureulak. kerajaan Islam Peureulak berdiri pada
hari selasa, satu Muharram 225 Hijriyah (840 Masehi). Sultan pertama kerajaan ini adalah Saiyid
Maulana Abdul Aziz dengan gelar Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah. Ibukota
kerajaan ini adalah Bandar Peurelak, akan tetapi kemudian diubah namanya menjadi Bandar

Khalifah.

2. Kerajaan Islam Samudra Pasai
Pada tahun 433 Hijriyah (1042 Masehi) datang seorang keluarga Sultan Mahmud
Peureulak di Tanon Data. Beliau datang kesana dengan tujuan untuk menyebarakan Islam dan
membangun kerajaan Islam Samudra Pasai. Sultan pertama kerajaan tersebut adalah Mahmud
Syah dengan gelar Maharaja Mahmud Syah, beliau juga sering disebut dengan Meurah Giri.
Menurut catatan sejarah kerajaan Islam Samudra Pasai memiliki tamaddun dan kebudayaan yang
tinggi, antara lain: Telah mempunyai pemerintahan dan lembaga- lembaga Negara yang teratur,
perekonomian dan keuangan yang stabil, perdagangan yang maju, lembaga- lembaga ilmu
1
2

pengetahuan yang berkembang, angkatan perang dan hubungan luar negri yang teratur, mata
uang sendiri.
Ibnu Batutah sendiri telah menulis tentang kemajuan dan teraturnya kerajaan Samudra
Pasai. Beliau menulis dalam bukunya bahwa kerajaan tersebut memiliki raja-raja yang alim,
bijaksana, berani dan cinta kepad ulama, sedankan menteri-menterinya arif dan budiman, ulamaulamanya shalih dan jujur.
3. Kerajaan Darussalam
Di daerah Aceh besar terdapat kerajaan yang bernama Indra Purba. Kerajaan ini berdiri

sekitar 2000 tahun sebelum nabi Isa, selama ribuan tahun kerajaan tersebut selalu mengalami
pasang surut. Pada tahun sekitar 450 sampai dengan 460 Hijriyah (1059 sampai dengan 1069
Masehi), tentara cina menyerang kerajaan Indra Purba yang pada masa tersebut di perintah oleh
Maharaja Indra Sakti. Pada waktu perang berlangsung tibalah di kerajaan Indra Purba dua
pasukan yang dikirim oleh kerajaan Islam Peureulak. Dengan demikian, bertambah kuatlah
kekuatan kerajaan Indra Purba sehingga kerajaan Indra Purba mengalami kemenangan. Untuk
membalas jasa maka Maharaja Indra Sakti mengawinkan putrinya dengan Meurah Johan, salah
seorang putra mahkota dari kerajaan Lingga.
Pada hari Jumat, Ramadlan 601 Hijriyah (1025 Masehi) diubahlah nama kerajaan Indra
Purba dengan nama kerajaan Darussalam dengan ibukotanya Bandar Darussalam. Sultan
Pertama di kerajaan ini adalah Meurah Johan dengan gelar Sultan Alaiddin Johan Syah. Setelah
membuat ibukota baru yaitu Bandar Darussalam, beliau juga membuat kota peristirahatan yang
nantinya di kota itulah beliau dimakamkan.

Selain kerajaan-kerajaan tersebut masih banyak kerajaan Islam lain yang lahir setelah
kerajaan Hindu-Budha runtuh, diantaranya adalah kerajaan Demak di Jawa, kerajaan Lingga di
Aceh Tengah, kerajaan Islam Jaya, dan lain-lain.

C. Perkembangan Islam di Indonesia
Menurut Wahab (2004:6) mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan proses

damai. Islam berkembang di Indonesia melalui beberapa jalan, diantaranya: Jalur perdagangan,
lembaga pendidikan, dan pondok pesantren.
1. Jalur Perdagangan
Suryanegara (1978:1, dalam Wahab, 2004:6) menjelaskan bahwa kedatangan Islam di
Indonesia dikembangkan melalui jalur perdagangan dan daerah yang pertama di datangi oleh
Islam adalah Sumatra dan Jawa. Hal ini didasarkan adanya perdagangan Arab dan dunia timur
yang berlangsung sejak abad kedua sebelum Masehi. Selain itu, adanya berita dari Cina bahwa di
Sumatra Barat terdapat seorang pembesar Arab yang menjadi kepala Arab Islam pada tahun 674
Masehi.
2. Jalan Pendidikan
Wahab (2004:8) menyebutkan bahwa agama Islam selain dikembangkan melalui jalan
perdagangan juga melalui jalan pendidikan. Ini dibuktikan dengan adanya lembaga pendidikan,
lembaga tersebut sekarang masih ada, seperti: pondok pesantren, masjid, surau, dan sebagainya.
Adanya pondok pesantren membuat agama Islam melakukan pembaharuan dalam masyarakat,
budaya, dan kehidupan beragama.

Menurut Anshari (1976:176, dalam Wahab, 2004:7), “Kedatangan Islam ke Indonesia ini
membawa kecerdasan dan peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian bangsa
Indonesia”.
3. Pondok Pesantren

Menurut Wahab (2004:9), kehidupan pondok pesantren zaman sekarang dengan pondok
pesantren zaman dahulu telah mengalami perubahan dalam sistem pendidikannya atau keadaan
lainnya. Dalam pendidikan zaman dahulu para santri diwajibkan tinggal di asrama pondok3[3],
hal inilah yang menyebabkan adanya jalinan kasih sayang yang kuat diantara para murid dan
pendidik.
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa Islam dibawa dan disebarkan bukan dengan
kekerasan, melainkan dengan perdamaian dan hal itu pulalah yang membawa Islam mudah
diterima oleh rakyat Indonesia.
Menurut para pakar sejarah (Wahab, 2004:10), hal-hal yang terkait dengan
perkembangan masuknya Islam di Indonesia adalah permulaan abad pertama Masehi yang para
pedagang asing seperti Tiongkok, India, dan Arab mulai berlayar melalui pelayaran Indonesia.
Kemudian setelah Islam lahir dan berkembang di Arab, akhirnya masuk juga di negara Indonesia
pada abad ketujuh Masehi. Islam masuk ke Indonesia pertama di daerah Sumatra dibawa oleh
pedagang Persi, India, dan juga utusan dari bangsa Arab.
Para ahli yang mengatakan Islam masuk di Sumatra pada abad ketujuh Masehi antara
lain: Sayid Alwi bin Tahir Alhaddad Mufsi, H. M. Zaenudin (beliau mengatakan bahwa pada
abad ketujuh saat Rasulullah masih hidup dan singgah pertama di Sumatra Utara yaitu Kampung
Lamuri), dan H. Zaenal Arifin Abbas, (beliau menerangkan bahwa pada tahun 684 Masehi ada

3


seorang pemimpin Arab Islam yang berangkat ke Tiongkok dan beliau sudah punya pengikut di
Sumatra Utara).
Menurut para ahli masuknya Islam di Sumatra adalah pada abad ketujuh Masehi. Hal ini
dapat dibuktikan melalui peninggalan-peninggalan yang ditemukan, seperti di daerah
Minangkabau Timur yang terdapat beberapa batu nisan yang diperkirakan dibuat pada abad
ketujuh Masehi. Selain itu, di daerah Barus dan Riau terdapat kuburan besar dari ulama penyiar
Islam yang mempunyai tanda batu-batu besar yang bergambar bulan bintang. Di daerah Riau
juga ada nama-nama daerah yang bersifat ke Arab-araban, seperti: kota Kutib, Iskandariyah,
Kuffah, dan sebagainya. Sedangkan, di daerah Barus Tapanuli ditemukan batu yang bertuliskan
huruf Arab, yang isinya adalah pencarian empat murid terhadap gurunya yang mengajar Islam di
Barus. Batu itu diperkirakan dibuat pada abad ketujuh Masehi.
Islam tidak hanya berkembang di Sumatra, akan tetapi juga di Jawa. Perkembangan Islam
di Jawa disebarkan oleh para wali Sembilan (wali songo4[4]) yang hidup pada masa kesultanan
Demak yang terjadi antara tahun 1500 sampai dengan 1550. Para wali tersebut dalam
pemerintahan bertugas sebagai penasihat raja. Wali-wali tersebut antara lain: Wali yang
mengembangkan Islam di Jawa Timur adalah Maulana Malik Ibrahim, Raden Rahmat (Sunan
Ampel), Sunan Giri (Maulan Ainul Yakin). Selanjutnya, Wali yang mengembangkan Islam di
Jawa Tengah adalah Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Muria,
Syaikh Siti Jenar. Selain itu, Wali yang mengembangkan Islam di Jawa Barat adalah Sunan

Gunung Jati (Fatahillah).

4

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pendapat yang paling kuat mengatakan bahwa Islam masuk Ke Indonesia pada abad
ketujuh Masehi. Islam datang pertama kali dibawa oleh para pedagangdari Arab yang kemudian
diikuti oleh para pedagang dari Persia dan Gujarat. Penyebaran Islam ke Indonesia bukan dengan
cara kekerasan, akan tetapi dengan kedamaian. Hal itulah yang memudahkan Islam untuk
diterima di Indonesia.
Setelah Islam datang, Indonesia menjadi bangsa yang cerdas dan memiliki peradaban
yang tinggi. Hal ini dikarenakan Islam merupakan agama yang memiliki kecerdasan dan
perdaban yang tinggi. Islam disebarkan di Indonesia melaui beberapa jalan, yaitu dengan
perdagangan, pendidikan, pondok pesantren yang merupakan salah satu lembaga pendidikan.
Islam masuk dan berkembang di Indonesia di sebarkan oleh para ulama khusus yang sasaran
utamanya adalah pada rakyat kecil dahulu, setelah itu, baru menyebarkan Islam ke para
bangsawan. Dalam perkembangannya Islam masuk ke Indonesia pada abad ketujuh Masehi ini

bisa dibuktikan setelah melakukan penelitian dan dengan ditemukannya benda- benda yang
memperkuat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ketujuh Masehi. Selain daripada itu,
dalam perkembangannya berdirilah kerajaan- kerajaan yang berlandaskan Islam. Kerajaan Islam
yang pertama adalah Kerajaan Peurelak, dengan ibukota kerajaan tersebut adalah Bandar
Peurelak. Setelah kerajaan ini maka berdirilah kerajaan- kerajaan Islam lain yang tersebar di
hampir seluruh Nusantara terutama di Sumatra dan Jawa.

B. Saran
Makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu bagi para pembaca diharapkan lebih
banyak membaca buku-buku tentang sejarah Islam. Diharapkan juga untuk lebih mencintai
sejarah bangsa sendiri daripada sejarah bangsa lain. Untuk lebih memperkuat kepercayaan
terhadap sejarah tersebut diharapkan untuk bisa melihat dari peninggalan-peninggalan sejarah
yang tersebar di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Hasjmy. 1990. Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang.

Muljana, Slamet. 2008. Runtuhnya Kerajaan Hindu- Jawa. Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara.
Suryanegara, Ahmad Mansur. 1996. Menemukan Sejarah. Bandung: Mizan

Wahab, Rochidin. 2004. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung: Alfabeta.

Tokoh Islam di Indonesia Abad XIX – XX
Posted: Januari 17, 2013 in Uncategorized
Tag:tokoh islam

0

Di Indonesia terdapat banyak tokoh muslim yang mempunyai keahlian di berbagai bidang seperti
agama, pendidikan, politik, dan sosial. Mereka memberi andil yang besar bagi perkembangan
Islam dan bangsa Indonesia. Berikut ini adalah nama, masa hidup, dan ketokohan para tokoh
Islam Indonesia abad XIX-XX.
NAMA MASA_HIDUP KETOKOHAN
Abbas Abdullah 1883-1957 Ulama dan tokoh pendidikan di Minangkabau (Sumatera Barat
Abdul Halim 1887-1962 Ulama, tokoh pembaru di bidang kemasyarakatan dan pendidikan dari
Jawa Barat
Abdul Hamid Hakim 1893-1959 Ulama dan tokoh pendidikan Islam Sumatera Barat
Abdul Karim Amrullah 1879-1945 Ulama dari Minangkabau, Sumatera Barat, dan salah seorang
perintis majalah
Abdul Malik Fadjar 1939 Menteri Agama Kabinet Reformasi Pembangunan (1998-1999 dan

menteri
Abdullah Ahmad 1878-1933 Ulama, tokoh pembaru pendidikan Islam Sumatera Barat
Abdullah bin Nuh 1905-1987 Ulama, sastrawan, penulis, pendidik, dan pejuang dari Cianjur,
Jawa Barat
Abdullah Syafi’i 1910-1985 Ulama Betawi, pendiri lembaga asy-Syafi’iah
Abdurrahman Siddiq al-Banjari 1857-1939 Ulama, pendidik, mufti Kerajaan Indragiri, penulis,
dan guru di Masjidilharam, Mekah
Abdurrahman Wahid 1940 Cendekiawan, ketua umum Tanfidziyah PBNU (1994-1999), dan
Presiden ke-4 RI, Pendiri PKB (Partai Kebangkitan Bangsa)
Abu Bakar Atjeh 1909-1979 Ulama, penulis buku islam, filsafat, tasawuf, sejarah, dan
kebudayaan Aceh
Achmad Siddiq 1926-1991 Ulama, Rais Am Syuriah NU (1985-1991), dan pemimpin Ponpes asSiddiqiyah
Achmad Tirtosudiro 1922 Ketua Umum ICMI (1997-2000), cendekiawan, dan ketua DPA
(1999-2003)
Agus Salim 1884-1954 Intelektual, pemimpin politik, diplomat, pejuang Islam asal Sumatera
Barat
Ahmad Dahlan 1868-1923 Pendiri Muhammadiyah, anggota Budi Utomo, Jam’iat Khair, dan
Sarekat Islam
Ahmad Hassan 1883-1958 Ulama dan politikus Persatuan Islam (Persis) dan Masyumi
Ahmad Khatib al-Minangkabawi w. 1916 Ahli fikih, ahli hukum Islam, dan ulama Minangkabau

(Sumatera Barat)
Ahmad Sanusi 1888-1950 Tokoh partai Sarekat Islam (SI) dan pendiri al-Ittihadiat al-Islamiyah,
Jawa Barat
Ahmad Soorkati 1874-1943 Ulama, pendidik, dan pendiri al-Irsyad
Ahmad Syaikhu 1921-1995 Tokoh politik NU dan pendiri Ponpes al-Hamidiyah, Depok (Jawa
Barat)
Alamsjah Ratu Perwiranegara 1925-1998 Menteri Agama RI Kabinet Pembangunan III (19781983)
Ali Akbar 1915-1994 Ilmuwan dan dokter Muslim
Ali Hasjmy 1914-1998 Ulama, tokoh Pujangga Baru, dan mantan Gubernur DI Aceh
Ali Maksum 1915-1989 Ulama, pengasuh Ponpes al-Munawwir Krapyak (DIY), dan Rais AM
Ali Yafie 1926 Ulama, cendekiawan, dan pengurus MUI serta ICMI Pusat
Amien Rais, Mohammad 1944 Ketua Umum PP Muhammadiyah (1995-2000), Pendiri Partai
Amanat Nasional (PAN), Ketua MPR (1999-2004)
Arsyad Thalib Lubis 1908-1972 Ulama, mubalig, dan pejuang dari Sumatera Utara
As’ad Syamsul Arifin 1897-1990 Ulama, tokoh NU, dan pemimpin Ponpes Salafiyah Syafi’iayh,
Situbondo (Jawa Timur)
Azhar Basyir, Ahmad 1928-1994 Ulama, cendekiawan, ahli fikih, dosen filsafat Islam UGM, dan
ketua umum
Bustami Abdul Gani 1912 Ulama dan cendekiawan muslim, dan guru besar IAIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta
Deliar Noer 1926 Pemimpin Parta Umat Islam, rektor IKIP Jakarta (167-1974), dan ahli ilmu
politik
Diponegoro, Pangeran 1785-1855 Ulama, pangeran Kesultanan Yogyakarta, dan mujahid
(pejuang) melawan
Fakhruddin, Abdur Rozzaq 1916-1995 Ulama dan ketua PP Muhammadiyah (1968-1990)
Faqih Usman, M. 1904-1968 Tokoh Muhammadiyah, Menteri Agama pada Kabinet RI XI dan
Kabinet XV
Habibie, B.J. 1936 Cendekiawan, ketua umum ICMI (1992-2000), menteri Riset dan teknologi
Hadikusumo, Ki Bagus 1890-1954 Ulama, peimpinan Muhammadiyah, anggota BPUPKI, PPKI,
dan KNIP
HAMKA 1908-1981 Ulama, sastrawan, mubalig, dan penulis Tafsir al-Azhar
Hamzah Haz 1940 Ketua Umum PPP, dan wakil presiden RI (2001-2004)
Harun Nasution 1919-1998 Guru besar filsafat Islam IAIN Jakarta dan pembaru pemikiran
rasional umat Islam
Hasan Basri 1920-1998 Ulama, mubalig, dan ketua umum MUI (1985-1995)
Hasan Mustafa 1852-1930 Ulama, pujangga, dan penulis guritan agama dan tasawuf dari Jawa
Barat
Hasbi ash-Shiddieqy 1904-0975 Ulama, ahli fikih, hadis, tafsir, dan ilmu kalam dari Aceh
Hasyim Asy’ari 1871-1947 Ulama, perintis NU, dan pendiri Ponpes Tebuireng
Hasyim Muzadi 1944 Ketua umum PBNU mulai 1999
Hatta, Mohammad 1902-1980 Cendekiawan muslim, ahli ekonomi, proklamator, dan wakil
presiden RI pertama
Hazairin Gelar Pangeran Alamsyah 1906-1975 Intelektual muslim, ahli hukum Islam, dan
hukum adat istiadat Indonesia
Hidayat Nur Wahid 1960 Intelektual muslim, ketua MPR RI periode 1999-2004

Ibrahim Hosen 1917-2001 Ulama fikih, pemrakarsa dan rektor (1971-1977) PTIQ dan IIQ di
Jakarta
Idham Chalid 1921-2004 Tokoh NU, ketua PPP (1973), ketua DPR/MPR RI (1971-1977), ketua
DPA
Ilyas Ruchiyat 1934 Ulama dan Rais Am Syuriah PBNU (1992-1999)
Imam Bonjol, Tuanku 1772-1864 Ulama dan pemimpin Perang Paderi melawan Belanja
Imam Zarkasyi 1910-1986 Ulama dan salah seorng pendiri Pondok Modern Gontor
Isa An Anshari, Muhammad 1916-1969 Ulama dan politikus Indonesia dari Maninjau, Sumatera
Barat
Ismail al-Khalidi an-Naqsyabandi 1811-1926 Ulama, penyebar Tarekat Naqsyabandiyah di
Sumatera dan Semenanjung Malaka
Ismail Hasan Metareum 1929-2005 Ketua umum PPP (1984-1994 dan 1994-1999) dan ketua
umum HMI (1957-1960)
Jambek, Muhammad Jamil 1860-1947 Pelopor pembaru Islam di Minangkabau dan ahli ilmu
falak
Jambek, Sa’adoedin 1911-1977 Guru, ahli ilmu hisab dan rukyat Indonesia
Jassin, Hans Bague 1917-2000 Kritikus, sastra dan sastrawan Indonesia
Kahar Muzakkir, Abdul 1908-1973 Intelektual, tokoh Muhammadiyah dan Masyumi, anggota
BPUPKI dan Konstituante
Lukman Harun 1934-1999 Tokoh Muhammadiyah dan cendekiawan muslim dari Payakumbuh,
Sumatera Barat
Mahmud Yunus 1899-1982 Tokoh pendidikan dan pemrakarsa PTAIN (Perguruan Tinggi
Agama Islam Negeri)
Mas Mansur 1896-1946 Ulama dan ketua umum PB Muhammadiyah (1936-1942)
Masykur 1902-1992 Toko NU dan menteri Agama RI selama empat periode
Mohamad Roem 1908-1983 Tokoh agama dan politikus
Mukti Ali, A. 1923-2004 Menteri Agama RI Kabinet Pembangunan I dan Kabinet Pembangunan
II
Munawir Sjadzali 1925-2004 Menteri Agama RI Kabinet Pembangunan IV dan Kabinet
Pembangunan V
Natsir, Mohammad 1908-1993 Ulama, negarawan, dan politikus muslim
Nurcholish Madjid 1939-2005 Cendekiawan muslim, tokoh pembaruan Islam, dan pendiri
Ponpes al-Furqan
Pabbaja, Muhammad Abduh 1928 Ulama, pembina Dar ad-Dakwah wa al-Irsyad (DDI), dan
pendiri Ponpes al-Furqon
Palimokayo, Mansoer Daoed Datuk 1905-1985 Ulama, toko adat Minangkabau,dan diplomat
Indonesia
Prawoto Mangkusasmito 1910-1970 Tokoh politik dan pendidikan dari Magelang, Jawa Tengah
Quraish Shihab, Muhammad 1944 Ulama, cendekiawan, ahli tafsir Al-Qur’an, rektor dan guru
besar IAIN/UIN
Rahmah el-Yunusiyyah 1900-1969 Tokoh pendidikan, pendiri Madrasah Diniyah Puteri di
Sumatera Barat, dan
Raja Ali Haji 1809-1870 Ulama dan sastrawan Melayu dari Riau
Rasjidi, Mohammad 1915-2002 Filsuf, ulama, guru besar, dan menteri Agama RI ke-1
Rasuna Said, H.R. 1910-1965 Pendidik, pejuang, dan pahlawan nasional
Rohana Kudus 1884-1972 Perintis pergerakan wanita Islam dan wartawati

Sahal Mahfudz 1937 Rais Am Syuriah PBNU (1999), ketua umum Dewan Pimpinan MUI
(2000-)
Saifuddin Zuhri 1919-1986 Kiai, pendidik, ulama, aktivis sosial-politik NU, dan menteri Agama
RI selama lima
Saleh Darat Semarang, Muhammad 1820-1903 Ulama dari Jawa Tengah dan pelopor
penerjemahan Al-Qur’an bahasa Jawa
Samanhudi 1868-1956 Pendiri Sarekat Dagang Islam (SDI) di Solo, Jawa Tengah
Singodimedjo, Kasman 1904-1982 Pejuang dan politikus Islam dari Purworejo, Jawa Tengah
Subchan Z.E. 1931-1973 Tokoh pembaru politik NU dari Malang, Jawa Timur
Sulaiman ar-Rasuli 1871-1970 Ulama ahlusunah wal jamaah dan mazhab syafi’I dan pemimpin
tarekat
Sutan Mansur, Ahmad Rasyid 1895-1985 Ulama dan tokoh Muhammadiyah dari Sumatera Barat
Syafi’I Ma’arif, A. 1935 Sejarawan, ketua PP Muhammadiyah (sejak 2000)
Syarifuddin Prawiranegara 1911-1989 Politikus muslim, negarawan, dan pemimpin Pemerintah
Darurat Republik
Tajul Arifin, Sahibul Wafa’ 1915 Pemimpin Pesantren Suralaya, Tasikmalaya, Jawa Barat
Tarmizi Taher 1936 Dai, menteri Agama Kabinet pembanguan VI (1998-1998), perwira TNI-AL
Taufik Abdullah 1936 Sejarawan, peneliti, dan ketua LIPI (2000-2003)
Thaib Umar, Muhammad 1874-1920 Ulama pembaru dan tokoh pembaruan pendidikan Islam
dari Sumatera Barat
Tjokroaminoto, Oemar Said 1882-1934 Tokoh pergerakan Indonesia dan pemimpin sarekat
Islam
Wahab Hasbullah, Abdul 1888-1971 Ulama Jawa Timur, pendiri NU, dan pengasuh Ponpes
Tambakberas, Jombang
Wahid Hasyim, Abdul 1914-1953 Ulama, tokoh NU, dan menteri Agama pada tiga kabinet
(1949-19520
Zaenal Mustofa 1907-1944 Pemimpin pesantren di Singaparna, Jawa Barat, dan pejuan pada
masa
Zainal Muttaqien, Engkin 1925-1985 Ulama, mubaliq, pendidik, dan cendekiawan Islam
Zainuddin M.Z. 1951 Ulama, dai “sejuta umat”, dan ketua Partai Bintang Reformasi
Zakiah Daradjat 1929 Ahli pendidikan Islam, guru besar psikoterapi IAIN Jakarta, dan
intelektual muslim
About these ads
Share this:
TOKOH-TOKOH DALAM PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA

 
Abdul Rauf Singkel (Tengku Syah Kuala) adalah seorang ulama besar yang
berjasa mengembangkan islam di Sumatra. Ia lahir di kota Singkil, Provinsi Aceh
sehingga ia sering di sebut juga Abdur Rauf as-Singkili. Nama aslinya adalah Abdur
Rauf al-Fansuri. Ia merupakan pengembang Tarekat Syattariyah di Indonesia. Abdur
Rauf Singkel meniggal dunia di Aceh pada tahun 1961, dan namanya diabadikan
dengan didirikannya Universitas Syah Kuala.

Setelah belajar Islam di Mekah, Abdur Rauf Singkel menjabat sebagai mufti di Kerajaan
Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultanah Safatuddin Tajul Alam. Abdur Rauf
Singkel menulis sebuah buku yang berjudul Mir’at at Tullab f Tahsil Ma’rifah Ahkam asySyar’iyyah li al-Malik al-Wahhab (Cermin bagi penuntut Ilmu Fikih pada memudahkan segala
hokum Syarak Allah). Di dalam kitab ini termuat berbagai masalah Mahzab SyafiI yang
merupakan paduan bagi seorang qadi.

 
Ulama yang berjasa mengembangkan islam di Jawa adalah Wali Songo. Para
wali yang termasuk Wali Songo adalah sebagai berikut.
a.
b.
c.

d.
e.
f.

g.

h.
i.

Maulana Malik Ibrahim, beliau juga dikenal dengan nama Maulana Magribi. Ia dianggap
sebagai orang islam pertama yang masuk pulau Jawa.
Sunan Ampel, beliau memiliki nama asli Raden Rahmat. Beliau lahir di Campa dan
merupakan putra Maulana Malik Ibrahim dari istrinya bernama Candrawulan.
Sunan Bonang, beliau lahir di Surabaya dan merupakan putra Raden Rahmat. Beliau juga
terkenal dengan nama Maulana Makdum Ibrahim. Sunan Bonang adalah pencipta gending
untuk tujuan dakwah.
Sunan Giri, beliau memiliki nama asli Raden Paku. Ia mengajarkan islam kepada anak-anak
dengan beberapa permainan berjiwa agama, seperti jelungan dan jor gula.
Sunan Drajat, beliau lahir di Surabaya dan memiliki nama asli Raden Qasim. Ia menciptakan
tembang Pangkur yang digunakan dalam dakwahnyaa.
Sunan Kalijaga, beliau lahir di Tuban dan memiliki nama asli Raden Mas Syahid. Beliau
banyak berdakwah kepada para bangsawan dan cendekiawan dengan system dakwah yang
intelek.
Sunan Kudus, beliau memiliki nama asli Jakfar Sadiq. Ia memiliki keahlian khusus dalam
ilmu fkih, usul fkih, tauhid, hadis, tafsir serta logika sehingga mendapat julukan
waliyyul-‘ilmi.
Sunan Muria, beliau adalah putra Sunan Kalijaga dan memiliki nama asli Raden Umar Saiid.
Beliau memusatkan dakwah di desa-desa terpencil.
Sunan Gunung Jati, beliau merupakan cucu Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi. Beliau
mengembangkan islam di daerah Majalengka, Kuningan, dan Banten.
 
Muhammad Arsyad al-Banjari lahir di Martapura, Kalimantan Selatan. Beliau
diambil sebagai anak angkat oleh Sultan Tahlilullah, Raja Banjar. Setelah itu, beliau di
kirimkan ke Mekah untuk belajar agama islam.
 
Setelah kembali dari Mekah, ia mengembangkan islam dengan cara
mendirikan Kampung Dalam Pagar. Kampung tersebut merupakan kompleks
pendidikan yang dilengkapi mushala, tempat belajar, kyai, perpustakaan dan asrama
untuk para santri.
 
Karya monumental Muhammad Arsyad al-Banjari adalah sebuah kitab yang
berjudul Sabilul Muhtadin (jalan orang yang mendapat petunjuk). Kitab ini menjadi
buku pegangan dan bahan pelajaran di beberapa daerah di Indonesia, Malaysia, dan
Thailand pada abad 19 M dan awal abad ke 20.

Diposkan oleh desi ratnasari di 22.22

Penyebaran Islam di Nusantara
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Artikel ini bagian dari seri

Sejarah Indonesia

Lihat pula:
Garis waktu sejarah
Indonesia
Sejarah Nusantara
Prasejarah

Kerajaan Hindu-Buddha
Kutai (abad ke-4)
Tarumanagara (358–669)
Kalingga (abad ke-6 sampai ke7)
Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke13)
Sailendra (abad ke-8 sampai ke9)
Kerajaan Medang (752–1006)
Kerajaan Kahuripan (1006–
1045)
Kerajaan Sunda (932–1579)
Kediri (1045–1221)
Dharmasraya (abad ke-12

sampai ke-14)
Singhasari (1222–1292)
Majapahit (1293–1500)
Malayapura (abad ke-14 sampai
ke-15)

Kerajaan Islam
Penyebaran Islam (12001600)
Kesultanan Samudera Pasai
(1267-1521)
Kesultanan Ternate (1257–
sekarang)
Kerajaan Pagaruyung (15001825)
Kesultanan Malaka (1400–1511)
Kerajaan Inderapura (15001792)
Kesultanan Demak (1475–1548)
Kesultanan Kalinyamat (1527–
1599)
Kesultanan Aceh (1496–1903)
Kesultanan Banten (1527–1813)
Kesultanan Cirebon (1552 1677)
Kesultanan Mataram (1588—
1681)
Kesultanan Palembang (16591823)
Kesultanan Siak (1723-1945)
Kesultanan Pelalawan (17251946)

Kerajaan Kristen

Kerajaan Larantuka (1600-1904)

Kolonialisme bangsa
Eropa
Portugis (1512–1850)
VOC (1602-1800)
Belanda (1800–1942)

Kemunculan Indonesia
Kebangkitan Nasional (18991942)
Pendudukan Jepang (1942–
1945)
Revolusi nasional (1945–1950)

Indonesia Merdeka
Orde Lama (1950–1959)
Demokrasi Terpimpin (1959–
1965)
Masa Transisi (1965–1966)
Orde Baru (1966–1998)
Era Reformasi (1998–sekarang)

 l
 b
 s

Penyebaran Islam di Nusantara adalah proses menyebarnya agama Islam di Nusantara
(sekarang Indonesia). Islam dibawa ke Nusantara oleh pedagang dari Gujarat, India selama abad
ke-11, meskipun Muslim telah mendatangi Nusantara sebelumnya.[butuh rujukan] Pada akhir abad ke16, Islam telah melampaui jumlah penganut Hindu dan Buddhisme sebagai agama dominan
bangsa Jawa dan Sumatra. Bali mempertahankan mayoritas Hindu, sedangkan pulau-pulau timur
sebagian besar tetap menganut animisme sampai abad 17 dan 18 ketika agama Kristen menjadi
dominan di daerah tersebut.
Penyebaran Islam di Nusantara pada awalnya didorong oleh meningkatnya jaringan perdagangan
di luar kepulauan Nusantara. Pedagang dan bangsawan dari kerajaan besar Nusantara biasanya

adalah yang pertama mengadopsi Islam. Kerajaan yang dominan, termasuk Kesultanan Mataram
(di Jawa Tengah sekarang), dan Kesultanan Ternate dan Tidore di Kepulauan Maluku di timur.
Pada akhir abad ke-13, Islam telah berdiri di Sumatera Utara, abad ke-14 di timur laut Malaya,
Brunei, Filipina selatan, di antara beberapa abdi kerajaan di Jawa Timur, abad ke-15 di Malaka
dan wilayah lain dari Semenanjung Malaya (sekarang Malaysia). Meskipun diketahui bahwa
penyebaran Islam dimulai di sisi barat Nusantara, kepingan-kepingan bukti yang ditemukan tidak
menunjukkan gelombang konversi bertahap di sekitar setiap daerah Nusantara, melainkan bahwa
proses konversi ini rumit dan lambat.
Meskipun menjadi salah satu perkembangan yang paling signifikan dalam sejarah Indonesia,
bukti sejarah babak ini terkeping-keping dan umumnya tidak informatif sehingga pemahaman
tentang kedatangan Islam ke Indonesia sangat terbatas. Ada perdebatan di antara peneliti tentang
apa kesimpulan yang bisa ditarik tentang konversi masyarakat Nusantara kala itu.[1]:3 Bukti
utama, setidaknya dari tahap-tahap awal proses konversi ini, adalah batu nisan dan beberapa
kesaksian peziarah, tetapi bukti ini hanya dapat menunjukkan bahwa umat Islam pribumi ada di
tempat tertentu pada waktu tertentu. Bukti ini tidak bisa menjelaskan hal-hal yang lebih rumit
seperti bagaimana gaya hidup dipengaruhi oleh agama baru ini, atau seberapa dalam Islam
mempengaruhi masyarakat. Dari bukti ini tidak bisa diasumsikan, bahwa karena penguasa saat
itu dikenal sebagai seorang Muslim, maka proses Islamisasi daerah itu telah lengkap dan
mayoritas penduduknya telah memeluk Islam; namun proses konversi ini adalah suatu proses
yang berkesinambungan dan terus berlangsung di Nusantara, bahkan tetap berlangsung sampai
hari ini di Indonesia modern. Namun demikian, titik balik yang jelas terjadi adalah ketika
Kerajaan Hindu Majapahit di Jawa dihancurkan oleh Kerajaan Islam Demak. Pada 1527,
pemimpin perang Muslim Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa yang baru ditaklukkannya
sebagai "Jayakarta" (berarti "kota kemenangan") yang akhirnya seiring waktu menjadi "Jakarta".
Asimilasi budaya Nusantara menjadi Islam kemudian meningkat dengan cepat setelah
penaklukan ini.

Daftar isi
 1 Awal sejarah
 2 Menurut wilayah
o 2.1 Malaka
o 2.2 Sumatera Utara
o 2.3 Jawa Tengah dan Jawa Timur
o 2.4 Jawa Barat
o 2.5 Daerah lain
 3 Legenda Nusantara dan Melayu
 4 Lihat pula
 5 Rujukan
 6 Referensi

Awal sejarah

Peta lokasi Kesultanan Samudera Pasai.

Bukti sejarah penyebaran Islam di Nusantara terkeping-keping dan umumnya tidak informatif
sehingga pemahaman tentang kedatangan Islam ke Indonesia terbatas. Ada perdebatan di antara
peneliti tentang apa kesimpulan yang bisa ditarik tentang konversi masyarakat Nusantara.[1]:3
Bukti utama, setidaknya dari tahap-tahap awal proses konversi ini, adalah batu nisan dan
kesaksian beberapa peziarah, tetapi hal ini hanya dapat menunjukkan bahwa umat Islam pribumi
ada di tempat tertentu pada waktu tertentu. Baik pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun
Republik Indonesia lebih memilih situs peninggalan Hindu dan Buddha di Pulau Jawa dalam
alokasi sumber daya mereka untuk penggalian dan pelestarian purbakala, kurang memberi
perhatian pada penelitian tentang awal sejarah Islam di Indonesia. Dana penelitian, baik negeri
maupun swasta, dihabiskan untuk pembangunan masjid-masjid baru, daripada mengeksplorasi
yang lama.[2]
Sebelum Islam mendapat tempat di antara masyarakat Nusantara, pedagang Muslim telah hadir
selama beberapa abad. Sejarawan Merle Ricklefs (1991) mengidentifikasi dua proses tumpang
tindih dimana Islamisasi Nusantara terjadi: antara orang Nusantara mendapat kontak dengan
Islam dan dikonversi menjadi muslim, dan/atau Muslim Asia asing (India, China, Arab, dll)
menetap di Nusantara dan bercampur dengan masyarakat lokal. Islam diperkirakan telah hadir di
Asia Tenggara sejak awal era Islam. Dari waktu khalifah ketiga Islam, 'Utsman' (644-656) utusan
dan pedagang Muslim tiba di China dan harus melewati rute laut Nusantara, melalui Nusantara
dari dunia Islam. Melalui hal inilah kontak utusan Arab antara tahun 904 dan pertengahan abad
ke-12 diperkirakan telah terlibat dalam negara perdagangan maritim Sriwijaya di Sumatra.
Kesaksian awal tentang kepulauan Nusantara terlacak dari Kekhalifahan Abbasiyah, menurut
kesaksian awal tersebut, kepulauan Nusantara adalah terkenal di antara pelaut Muslim terutama
karena kelimpahan komoditas perdagangan rempah-rempah berharga seperti Pala, Cengkeh,
Lengkuas dan banyak lainnya.[3]
Kehadiran Muslim asing di Nusantara bagaimanapun tidak menunjukkan tingkat konversi
pribumi Nusantara ke Islam yang besar atau pembentukan negara Islam pribumi di Nusantara.[1]:3
Bukti yang paling dapat diandalkan tentang penyebaran awal Islam di Nusantara berasal dari
tulisan di batu nisan dan sejumlah kesaksian peziarah. Nisan paling awal yang terbaca tertulis
tahun 475 H (1082 M), meskipun milik seorang Muslim asing, ada keraguan apakah nisan
tersebut tidak diangkut ke Jawa di masa setelah tahun tersebut. Bukti pertama Muslim pribumi
Nusantara berasal dari Sumatera Utara, Marco Polo dalam perjalanan pulang dari China pada
tahun 1292, melaporkan setidaknya satu kota Muslim,[4] dan bukti pertama tentang dinasti

Muslim adalah nisan tertanggal tahun 696 H (1297 M), dari Sultan Malik al-Saleh, penguasa
Muslim pertama Kesultanan Samudera Pasai, dengan batu nisan selanjutnya menunjukkan
diteruskannya pemerintahan Islam. Kehadiran sekolah pemikiran Syafi'i, yang kemudian
mendominasi Nusantara dilaporkan oleh Ibnu Battutah, seorang peziarah dari Maroko, tahun
1346. Dalam catatan perjalanannya, Ibnu Battutah menulis bahwa penguasa Samudera Pasai
adalah seorang Muslim, yang melakukan kewajiban agamanya sekuat tenaga. Madh'hab yang
digunakannya adalah Imam Syafi'i dengan kebiasaan yang sama ia lihat di India.[4]

Menurut wilayah
Pada awalnya sejarawan meyakini bahwa Islam menyebar di masyarakat Nusantara dengan cara
yang umumnya berlangsung damai, dan dari abad ke-14 sampai akhir abad ke-19 Nusantara
melihat hampir tidak ada aktivitas misionaris Muslim terorganisir.[5] Namun klaim ini kemudian
dibantah oleh temuan sejarawan bahwa beberapa bagian dari Jawa, seperti Suku Sunda di Jawa
Barat dan kerajaan Majapahit di Jawa Timur ditaklukkan oleh Muslim Jawa dari Kesultanan
Demak. Kerajaan Hindu-Buddha Sunda Pajajaran ditaklukkan oleh kaum Muslim di abad ke-16,
sedangkan bagian pesisir-Muslim dan pedalaman Jawa Timur yang Hindu-Buddha sering
berperang.[1]:8 Pendiri Kesultanan Aceh Ali Mughayat Syah memulai kampanye militer pada
tahun 1520 untuk mendominasi bagian utara Sumatera dan mengkonversi penduduknya menjadi
Islam. Penyebaran terorganisir Islam juga terbukti dengan adanya Wali Sanga (sembilan orang
suci) yang diakui mempunyai andil besar dalam Islamisasi Nusantara secara sistematis selama
periode ini. [1]:8[6]
Malaka

Didirikan sekitar awal abad ke-15 , negara perdagangan Melayu Kesultanan Malaka (sekarang
bagian Malaysia) didirikan oleh Sultan Parameswara, adalah, sebagai pusat perdagangan paling
penting di kepulauan Asia Tenggara, pusat kedatangan Muslim asing, dan dengan demikian
muncul sebagai pendukung penyebaran Islam di Nusantara. Parameswara sendiiri diketahui telah
dikonversi ke Islam, dan mengambil nama Iskandar Shah setelah kedatangan Laksamana Cheng
Ho yang merupakan Suku Hui muslim dari negeri China. Di Malaka dan di tempat lain batu-batu
nisan bertahan dan menunjukkan tidak hanya penyebaran Islam di kepulauan Melayu, tetapi juga
sebagai agama dari sejumlah budaya dan penguasa mereka pada akhir abad ke-15.
Sumatera Utara

Masjid di Sumatera Barat dengan arsitektur tradisional Minangkabau.

Bukti yang lebih kuat mendokumentasikan transisi budaya yang berlanjut berasal dari dua batu
nisan akhir abad ke-14 dari Minye Tujoh di Sumatera Utara, masing-masing dengan tulisan
Islam tetapi dengan jenis karakter India dan lainnya Arab. Berasal dari abad ke-14, batu nisan di
Brunei, Trengganu (timur laut Malaysia) dan Jawa Timur adalah bukti penyebaran Islam. Batu
Trengganu memiliki dominasi bahasa Sansekerta atas kata-kata Arab, menunjukkan representasi
pengenalan hukum Islam. Menurut Ying-yai Sheng-lan: survei umum pantai samudra (1433)
yang ditulis oleh Ma Huan, pencatat sejarah dan penerjemah Cheng Ho: "negara-negara utama di
bagian utara Sumatra sudah merupakan Kesultanan Islam. Pada tahun 1414, ia (Cheng Ho)
mengunjungi Kesultanan Malaka, penguasanya Iskandar Shah adalah Muslim dan juga
warganya, dan mereka percaya dengan sangat taat".
Di Kampong Pande, Banda Aceh terdapat batu nisan Sultan Firman Syah, cucu dari Sultan Johan
Syah, yang memiliki sebuah prasasti yang menyatakan bahwa Banda Aceh adalah ibukota
Kesultanan Aceh Darussalam dan bahwa kota itu didirikan pada hari Jumat, 1 Ramadhan (22
April 1205) oleh Sultan Johan Syah setelah ia menaklukkan Kerajaan Hindu-Buddha Indra Purba
yang beribukota di Bandar Lamuri.
Pembentukan kerajaan-kerajaan Islam lebih lanjut di bagian Utara pulau Sumatera
didokumentasikan oleh kuburan-kuburan akhir abad ke-15 dan ke-16 termasuk sultan pertama
dan kedua Kesultanan Pedir (sekarang Pidie), Muzaffar Syah, dimakamkan 902 H (1497 M) dan
Ma'ruf Syah, dimakamkan 917 H (1511 M). Kesultanan Aceh didirikan pada awal abad ke-16
dan kemudian akan menjadi negara yang paling kuat di utara Pulau Sumatra dan salah satu yang
paling kuat di seluruh kepulauan Melayu. Sultan pertama Kesultanan Aceh adalah Ali Mughayat
Syah yang nisannya bertanggal tahun 936 H (1530 M).
Pada 1520, Ali Mughayat Syah memulai kampanye militer untuk mendominasi bagian utara
Sumatera. Dia menaklukkan Daya, dan mengkonversi orang-orangnya ke Islam. [7]
Penaklukannya berlanjut ke bawah pantai timur, seperti Pidie dan Pasai menggabungkan
beberapa daerah penghasil emas dan lada. Penambahan daerah-daerah tersebut akhirnya
menyebabkan ketegangan internal dalam Kesultanan Aceh, karena kekuatan Aceh adalah sebagai
bandar perdagangan, yang kepentingan ekonominya berbeda dari wilayah-wilayah bandar
produksi.
Buku ahli pengobatan Portugis Tome Pires yang mendokumentasikan pengamatannya atas Jawa
dan Sumatera dari kunjungannya tahun 1512-1515, dianggap salah satu sumber yang paling
penting tentang penyebaran Islam di Nusantara. Pada saat tersebut, menurut Piers, kebanyakan
raja di Sumatera adalah Muslim, dari Aceh dan ke selatan sepanjang pantai timur ke Palembang,
para penguasanya adalah Muslim, sementara sisi selatan Palembang dan di sekitar ujung selatan
Sumatera dan ke pantai barat, sebagian besar bukan. Di kerajaan lain Sumatera, seperti Pasai dan
Minangkabau penguasanya adalah Muslim meskipun pada tahap itu warga mereka dan orangorang di daerah tetangga bukan. Bagaimanapun, dilaporkan oleh Pires bahwa agama Islam terus
memperoleh penganut baru.
Setelah kedatangan rombongan kolonial Portugis dan ketegangan yang mengikuti tentang
kekuasaan atas perdagangan rempah-rempah, Sultan Aceh Alauddin al-Kahar (1539-1571)
mengirimkan dutanya ke Sultan Kesultanan Utsmaniyah, Suleiman I tahun 1564, meminta

dukungan Utsmaniyah melawan Kekaisaran Portugis. Dinasti Utsmani kemudian dikirim
laksamana mereka, Kurtoğlu Hızır Reis. Dia kemudian berlayar dengan kekuatan 22 kapal
membawa tentara, peralatan militer dan perlengkapan lainnya. Menurut laporan yang ditulis oleh
Laksamana Portugis Fernão Mendes Pinto, armada Utsmaniyah yang pertama kali tiba di Aceh
terdiri dari beberapa orang Turki dan kebanyakan Muslim dari pelabuhan Samudera Hindia.[8]
Jawa Tengah dan Jawa Timur

Masjid Agung Demak, Kerajaan Islam pertama di Jawa.

Prasasti-prasasti dalam aksara Jawa Kuno, bukan bahasa Arab, ditemukan pada banyak
serangkaian batu nisan bertanggal sampai 1369 M di Jawa Timur, menunjukkan bahwa mereka
hampir pasti adalah Jawa pribumi, bukan Muslim asing. Karena dekorasi rumit dan kedekatan
dengan lokasi bekas ibukota kerajaan Hindu-Buddha Majapahit, Louis-Charles Damais (peneliti
dan sejarawan) menyimpulkan bahwa makam ini adalah makam orang-orang Jawa pribumi yang
sangat terhormat, bahkan mungkin keluarga kerajaan.[9] Hal ini menunjukkan bahwa beberapa
elit Kerajaan Majapahit di Jawa telah memeluk Islam pada saat Majapahit yang merupakan
Kerajaan Hindu-Buddha berada di puncak kejayaannya.
Ricklefs (1991) berpendapat bahwa batu-batu nisan Jawa timur ini, berlokasi dan bertanggal di
wilayah non-pesisir Majapahit, meragukan pandangan lama bahwa Islam di Jawa berasal dari
pantai dan mewakili oposisi politik dan agama untuk kerajaan Majapahit. Sebagai sebuah
kerajaan dengan kontak politik dan perdagangan yang luas, Majapahit hampir pasti telah
melakukan kontak dengan para pedagang Muslim, namun kemungkinan adanya abdi dalem
keraton yang berpengalaman untuk tertarik pada agama kasta pedagang masih sebatas dugaan.
Sebaliknya, guru Sufi-Islam yang dipengaruhi mistisisme dan mungkin mengklaim mempunyai
kekuatan gaib, lebih mungkin untuk diduga sebagai agen konversi agama para elit istana Jawa
yang sudah lama akrab dengan aspek mistisisme Hindu dan Buddha.[1]:5
Pada awal abad ke-16, Jawa Tengah dan Jawa Timur, daerah di mana suku Jawa hidup, masih
dikuasai oleh raja Hindu-Buddha yang tinggal di pedalaman Jawa Timur di Daha (sekarang
Kediri). Namun daerah pesisir seperti Surabaya, telah ter-Islamisasi dan sering berperang dengan
daerah pedalaman, kecuali Tuban, yang tetap setia kepada raja Hindu-Buddha. Beberapa wilayah
di pesisir tersebut adalah wilayah penguasa Jawa yang telah berkonversi ke Islam, atau wilayah
Tionghoa Muslim, India, Arab dan Melayu yang menetap dan mendirikan negara perdagangan
mereka di pantai. Menurut Pires, para pemukim asing dan keturunan mereka tersebut begitu
mengagumi budaya Hindu-Buddha Jawa sehingga mereka meniru gaya tersebut dan dengan
demikian mereka menjadi "Jawa". Perang antara Muslim-pantai dan Hindu-Buddha-pedalaman
ini juga terus berlanjut lama setelah jatuhnya Majapahit oleh Kesultanan Demak, bahkan
permusuhan ini juga terus berlanjut lama setelah kedua wilayah tersebut mengadopsi Islam.[1]:8

Kapan orang-orang di pantai utara Jawa memeluk Islam tidaklah jelas. Muslim Tionghoa, Ma
Huan, utusan Kaisar Yongle,[4] mengunjungi pantai Jawa pada 1416 dan melaporkan dalam
bukunya, Ying-yai Sheng-lan: survei umum pantai samudra (1433), bahwa hanya ada tiga jenis
orang di Jawa: Muslim dari wilayah barat Nusantara, Tionghoa (beberapa adalah Muslim) dan
Jawa yang bukan Muslim.[10] Karena batu-batu nisan Jawa Timur adalah dari Muslim Jawa lima
puluh tahun sebelumnya, laporan Ma Huan menunjukkan bahwa Islam mungkin memang telah
diadopsi oleh sebagian abdi dalem istana Jawa sebelum orang Jawa pesisir.
Sebuah nisan Muslim bertanggal 822 H (1419 M) ditemukan di Gresik, pelabuhan di Jawa Timur
dan menandai makam Maulana Malik Ibrahim. Namun bagaimanapun, dia adalah orang asing
non-Jawa, dan batu nisannya tidak memberikan bukti konversi pesisir Jawa. Namun Malik
Ibrahim, menurut tradisi Jawa adalah salah satu dari sembilan rasul Islam di Jawa (disebut Wali
Sanga) meskipun tidak ada bukti tertulis ditemukan tentang tradisi ini. Pada abad ke-15-an,
Kerajaan Majapahit yang kuat di Jawa berada di penurunan. Setelah dikalahkan dalam beberapa
pertempuran, kerajaan Hindu terakhir di Jawa jatuh di bawah meningkatnya kekuatan Kesultanan
Demak pada tahun 1520.
Jawa Barat

Suma Oriental ("Dunia Timur") yang ditulis Tome Pires melaporkan juga bahwa Suku Sunda di
Jawa Barat bukanlah Muslim di zamannya, dan memang memusuhi Islam.[1] Sebuah penaklukan
oleh Muslim di daerah ini terjadi pada abad ke-16. Dalam studinya tentang Kesultanan Banten,
Martin van Bruinessen berfokus pada hubungan antara mistik dan keluarga kerajaan,
mengkontraskan bahwa proses Islamisasi dengan yang yang berlaku di tempat lain di Pulau
Jawa: "Dalam kasus Banten, sumber-sumber pribumi mengasosiasikan "tarekat" tidak dengan
perdagangan dan pedagang, tetapi dengan raja, kekuatan magis dan legitimasi politik."[11] Ia
menyajikan bukti bahwa Sunan Gunungjati diinisiasi ke dalam aliran "Kubra", "Shattari", dan
"Naqsyabandiyah" dari sufisme.
Daerah lain

Tidak ada bukti dari penerapan Islam oleh orang Nusantara sebelum abad ke-16 di daerah luar
Pulau Jawa, Pulau Sumatera, Kesultanan Ternate dan Tidore di Maluku, dan Kesultanan Brunei
dan Semenanjung Melayu.

Legenda Nusantara dan Melayu
Meskipun kerangka waktu bagi masuknya Islam di wilayah Indonesia dapat ditentukan secara
luas, sumber-sumber utama sejarah tidak bisa menjawab banyak pertanyaan yang spesifik,
sehingga kontroversi terus mengelilingi topik ini. Sumber-sumber seperti tidak menjelaskan
mengapa konversi signifikan orang pribumi Nusantara menjadi Islam tidak dimulai hingga
beberapa abad bahkan setelah para Muslim asing mengunjungi dan tinggal di Nusantara.
Sumber-sumber ini juga tidak cukup menjelaskan asal usul dan perkembangan "aliran" istimewa
Islam di Nusantara, atau bagaimana Islam menjadi agama yang dominan di Nusantara.[1]:8 Untuk
mengisi kekosongan celah sejarah ini, banyak peneliti mencari referensi ke legenda-legenda
Melayu dan Nusantara tentang konversi pribumi Nusantara ke Islam.

Ricklefs berpendapat bahwa meskipun legenda-legenda ini bukanlah catatan historis yang dapat
diandalkan tentang peristiwa yang sebenarnya, legenda-legenda ini berharga dalam memberi titik
terang mengenai beberapa peristiwa, melalui wawasan mereka yang tersebar di masyarakat, ke
dalam sifat pembelajaran dan kekuatan magis, latar belakang asing dan hubungan perdagangan
para guru Islam awal, dan proses konversi yang bergerak dari atas (golongan elit keraton) ke
bawah. Legenda ini juga memberikan wawasan tentang bagaimana generasi muda Nusantara
(Indonesia) melihat proses Islamisasi ini.[1]:8–11 Sumber-sumber ini termasuk:
 Hikayat Raja-raja Pasai - sebuah teks Bahasa Melayu Kuno yang

menceritakan bagaimana Islam datang ke negeri "Samudra" (Kesultanan
Samudera Pasai, sekarang di Aceh) di mana Kerajaan Islam di Nusantara
yang pertama didirikan.
 Sejarah Melayu - teks Bahasa Melayu Kuno, yang seperti juga Hikayat Rajaraja Pasai menceritakan kisah konversi Samudra, tetapi juga bercerita
tentang konversi Raja Malaka (Parameswara).
 Babad Tanah Jawi - nama generik yang digunakan untuk sejumlah besar
manuskrip, di mana konversi ke dalam bahasa Jawa yang pertama
diatributkan pada Wali Sanga ("sembilan orang suci").
 Sejarah Banten - Sebuah teks Jawa yang berisi cerita konversi.

Dari teks-teks yang disebutkan di sini, teks-teks Melayu menggambarkan proses konversi ke
Islam sebagai ritual pelepasan yang signifikan, ditandai dengan tanda-tanda formal dan nyata
dari ritual konversi, seperti sunat, pengakuan iman, dan mengadopsi nama Arab. Di sisi lain,
ketika peristiwa-peristiwa magis masih memainkan peran penting dalam kesaksian Jawa tentang
Islamisasi, peristiwa magis dalam konversi ke Islam menurut kesaksian teks-teks Melayu tidak
ditemukan. Hal ini menunjukkan proses konversi Jawa ke Islam lebih merupakan "menyerap"
Islam ketimbang berpindah, [1]:9 hal ini konsisten dengan elemen sinkretisme agama yang secara
signifikan lebih besar dalam Islam kontemporer Jawa dibandingkan terhadap Islam yang relatif
lebih ortodoks di Sumatera dan Semenanjung Malaya (sekarang Malaysia).

Lihat pula
etelah berakhirnya kerajaan Hindu Buddha di Indonesia, berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia, antrara lain: kerajaan Samudra Pasai, Aceh, Demak, Pajang, Mataram, Banten,
Cirebon, Makasar, Ternate, Tidore dan Banjar. Namun, untuk kerajaan-kerajaan tersebut akan
dibahas pad artikel selanjutnya. Kali ini kita akan membahas proses masuknya Agama Islam ke
Indonesia.

Islam lahir di Mekah tahun 611 Masehi dengan ditandai dengan turunnya ayat AlQuran yang
pertama. Mula-mula ajaran ini berkembang di Mekah dan Madinah, kemudian berkembang di
seluruh Timur Tengah, Eropa Selatan dan ke wilayah timur hingga ke Indonesia.
Mulanya Islam dibawa oleh para pedagang Gujarat, kemudian diikuti oleh orang-orang Arab dan
Persia. Para pedagang ini pada umumnya memeluk Islam. Sambil berdagang mereka
menyebarkan ajran Islam di tempat-tempat mereka berlabuh.
Ada beberapa pendapat mengenai masuknya Islam ke Indonesia. Pendapat tersebut mereka
kemukakan berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan. Pendapat yang menyatakan pengaruh Islam
mulai masuk ke Indonesia adalah antara abad ke-7 dan ke-8. Pendapat ini mendasarkan bukti
pada abad tersebut telah terdapat perkampungan orang ISlam di sekitar Selat Malaka..
Pendapat lain menyatakan pengaruh Islam mulai masuk ke Indonesia abad ke-11. Pendapat ini
mendasarkan bukti pada sebuah batu nisan Fatimah binti Maimun yang dikenal dengan Batu
Leran di daerah Tuban Jawa Timur yang berangka tahun 1082 Masehi.
Ada juga yang berpendapat pengaruh Islam mulai masuk ke Indonesia pada abad ke-13.
Pendapat ini berdasarkan bukti-bukti sebagai berikut:
1. Batu nisan Sultan Malik al Saleh berangka tahun 1297 Masehi. Sultan Malik al Saleh
adalah raja Samudra Pasai pertama yang masuk Islam. Kerajaan ini adalah kerjaan Islam
pertama di Indonesia.
2. Catatan perjalanan Marco Polo yang pernah singgah di Kerajaan Perlak (1292). Dalam
catatannya menceritakan penduduk kota Perlak telah menganut Islam, sedangkan di luar
kota belum, melainkan masih animisme dan dinamisme.
3. Catatan Ibnu Battuta (12345 - 1346) yang menytakan bahwa Samudra Pasai menganut
paham Syafi'i. Hal ini membuktikan bahwa Islam sudah berkembang di kerajaan tersebut.
4. Catatan Ma-Huan musafir Cina ini memberitakan pada awal abad ke-15 Masehi sebagian
besar masyarakat di pantai utara Jawa Timur telah memeluk agama Islam.
5. Suma Oriental dari Tome Pires musafir Portugis memberitakn tentang penyebaran Islam
antara tahun 1512 sampai tahun 1515 Masehi, yang meliputi Sumatera, Kalimantan, Jawa
hingga kepulauan Maluku.
Faktor-faktor yang mendukung penyebaran Islam ce