ANALISIS AKAR INTOLERANSI MAHASISWA AKTI
ANALISIS AKAR INTOLERANSI MAHASISWA AKTIVIS ISLAM DI INDONESIA
Dr. M. Fashihullisan, STP. MPd.
email: [email protected]
Abstrak
Utopia khilafah kembali bangkit pasca reformasi bersamaan dengan
terbukanya ruang kebebasan dan demokrasi. Gerakan Islamis juga mulai
masuk di kalangan mahasiswa terutama di perguruan tinggi umum non agama
Islam. Mereka aktif melakukan kegiatan dakwah kampus dari musholla dan
masjid yang telah ada di perguruan tinggi. Gerakan ini menawarkan angin
surga melalui ide khilafah Islamiyah dan utopia solusi semua masalah bangsa.
Hanya saja akar dari gerakan dakwah ini ternyata juga menyebarkan ide-ide
intoleran di tengah kehidupan bangsa yang multikultural.
Penelitian ini bertujuan untuk menggali akar-akar intoleransi melalui
studi kasus mahasiswa salah satu PTN besar di Yogyakarta bernama Imam.
Wawancara mendalam dilakukan selama kurang lebih enam bulan, dari
pertengahan tahun 2016 sampai akhir 2016. Observasi juga dilakukan dari
postingan dan ide-ide yang dituliskan di akun situs jejaring sosialnya.
Hasil penelitian menunjukkan dua hal utama yaitu: 1) Akar utama
intoleransi adalah keyakinan bahwa nabi adalah pribadi yang akan marah
apabila agamanya diganggu, dan 2) ketidak sabaran akan efektivitas gerakan
dakwah melalui gerakan kultural.
Kata kunci: Intoleransi, marah, dakwah, kultural
A. Pendahuluan
Imam adalah remaja biasa-biasa saja yang lahir dan dibesarkan di kota kecil
Rembang, di suatu desa pinggiran kota. Kehidupan desa pingiran kota, dengan tingkat
ekonomi menengah kebawah yang dominan. Meskipun dekat dengan pesantren pesantren
tua di kota Rembang, kehidupan keagaamaan hanya nampak dalam tradisi-tradisi kematian
dan pengajian. Tahlilan dan juga yasinan merupakan warna keagamaan yang paling nampak
di permukaan.
Imam sekolah dari SD sampai SMP di Rembang, saat SMA maka bersekolah di kota
Pati, yang merupakan kota tetangga Rembang. Kota Pati memiliki sebuah sekolah SMA yang
dianggap lebih maju dibandingkan SMA di derah lainnya, termasuk SMA di kota Rembang.
Proseding Seminar Membangun Masyarakat Kampus yang Berpaham Ahlussunnah Wal
Jamahaah, Malang 17 Mei 2017. ASDANU (Asosiasi Dosen Aswaja Nusantara).
Hal: 124-129.
ISBN: 978-602-6874-83-2.
Saat di Pati inilah Imam mulai belajar hidup terpisah dengan orang tua dan harus kos di kota
Pati.
Saat sekolah di Pati, Imam bukanlah sosok yang menonjol baik dalam sisi akademik
maupun sisi keorganisasian. Bukan merupakan siswa berprestasi di kelas, juga bukan siswa
yang aktif di organisasi kesiswaan. Sebagian besar kehidupannya hanya terfokus di sekolah,
di kos dan sesekali berjamaah di masjid.
Setelah lulus dari SMA, Imam diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di
Yogyakarta. Beberapa teman dekatnya saat di SMA sudah mulai tidak mengetahui aktivitas
kesehariannya di Yogyakarta. Seringkali Imam terlihat ikut kajian di masjid kampus,
berpakaian jubah dan jarang masuk kuliah.
Beberapa temannya akhirnya mengetahui Imam lebih banyak beraktivitas di luar
kampus dalam kajian ke-Islaman dan gerakan dakwah. Kuliah menjadi terbengkalai, dan
puncaknya tidak dapat menyelesaikan studi di perguruan tinggi. Kurang begitu jelas,
bagaimana respon keluarga saat Imam tidak lagi dapat menyelesaikan studi, tetapi beberapa
waktu setelah tidak dapat menyelesaikan studi, Imam menikah dan kemudian berkeluarga.
Imam di tahun 2016 sangat aktif di media sosial facebook, sebagai saluran pandangan
keagamaan dan pandangan politik. Saat ada isu tentang penista agama yang dilakukan Ahok
( Basuki Cahaya Purnama), Imam sangat aktif menulis update status dan juga menulis linklink artikel yang provokatif. Hampir setiap hari puluhan komentar silih berganti ditanggapi
dan juga selalu melakukan aktivitas menyerang bagi pandangan yang dianggapnya berbeda
dengan yang dimiliki melalui facebook.
Saat dilaksanakan aksi bela Islam, Imam dengan sangat bangga berangkat ke Jakarta
untuk membuktikan dukungannya. Adanya isu yang mengatakan bahwa peserta aksi bela
Islam dibayar, dibuktikan oleh Imam bahwa dia secara mandiri dan sukarela tidur di hotel
berbintang dengan biaya mandiri. Bukti foto sambil memegang kuitansi pembayaran pun
ikut di upload di facebook, disamping upload foto-foto dirinya diantara massa aksi.
Nada profokatif juga disampaikan di media facebook, yang mengatakan bahwa bukan
Islam sejati bila tidak mau ikut aksi membela Islam. Saat salah seorang temannya
mengomentari, Imam dengan cepat merespon dengan tulisan mencemooh bahwa orang
Proseding Seminar Membangun Masyarakat Kampus yang Berpaham Ahlussunnah Wal
Jamahaah, Malang 17 Mei 2017. ASDANU (Asosiasi Dosen Aswaja Nusantara).
Hal: 124-129.
ISBN: 978-602-6874-83-2.
macam itu tidak layak mengaku Islam. Tentu saja bersama teman-teman sepandangan, aktif
menyerang dengan tanpa argumentasi tetapi lebih sebagai pernyataan subyektif yang
bernada menyudutkan.
Bentuk perilaku intoleransi juga terlihat dengan menulis sebuah komentar, bahwa
mengapa salah satu propinsi di Kalimantan yang mayoritas Muslim, Gubernurnya harus non
Muslim. Bahkan meskipun tanpa dukungan data, dia mempertanyakan besaran sumbangan
gubernur pada pendirian salah satu tempat ibadah agama di luar Islam yang jumlahnya
cukup besar. Baginya ini merupakan masalah besar yang merupakan wujud ketidak adilan
bagi kehidupan ummat muslim. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rumagit (2013),
menjadi konfirmasi bahwa isu hubungan minoritas dan mayoritas pemeluk agama
merupakan hal yang cukup sensitif dalam perilaku intoleransi.
B. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif studi kasus dengan menganalisis
fenomena kehidupan seseorang. Wawancara dilakukan secara langsung dengan obyek
penelitian, maupun dengan orang-orang yang terhubung dengan obyek penelitian.
Wawancara ini sebagian besar berkaitan dengan konfirmasi, respon dan pandanganpandangan obyek penelitian mengenai beberapa hal yang dibutuhkan dalam penelitian.
Observasi dilakukan melalui observasi di lapangan maupun observasi perilaku obyek
penelitian di media sosial. Data hasil observasi digunakan untuk melengkapi data wawancara
dan juga untuk menganalisis hasil data wawancara secara trianggulasi. Dimungkinkan
trianggulasi antar hasil data menjadikan proses penggalian data menjadi lebih menyeluruh
dan lebih valid.
Penelitian dilakukan mulai dari pertengahan tahun 2016 sampai akhir tahun 2016.
Pada tahap awal, penelitian dilakukan secara naturalistik yaitu tanpa sepengetahuan obyek
penelitian bahwa dirinya masuk dalam proses pengambilan data penelitian. Setelah data
yang masuk dirasakan cukup dan dirasakan obyektif, barulah peneliti memberi tahu kepada
obyek bahwa ini merupakan suatu aktivitas penelitian.
Proseding Seminar Membangun Masyarakat Kampus yang Berpaham Ahlussunnah Wal
Jamahaah, Malang 17 Mei 2017. ASDANU (Asosiasi Dosen Aswaja Nusantara).
Hal: 124-129.
ISBN: 978-602-6874-83-2.
C. Persepsi Tentang Pribadi Nabi Muhammad SAW
Imam sangat aktif membela diri saat ditanya mengapa dia harus marah-marah
terutama dalam kasus Ahok yang menurutnya merupakan penistaan terhadap agama Islam.
Menurutnya apa yang dilakukan merupakan bentuk menjalankan sunnah Rosul, karena
menurutnya ajaran Rosul diantaranya adalah harus marah saat Agama dilecehkan dan
dihinakan.
Salah satu argumentasi yang dibangunnya, bahwa indikasi Nabi menjadi marah saat
Agamanya dilecehkan adalah dengan terlibatnya Nabi dalam beberapa peperangan.
Peperangan menurutnya merupakan suatu ekspresi kemarahan Nabi, saat agamanya
dilecehkan dan dihinakan. Oleh karena itulah, ekspresi marahnya dengan menyerang pribadi
Ahaok baik secara pribadi maupun secara politik, merupakan suatu bentuk amaliyah
menjalankan ajaran Nabi sebagaimana Nabi saat melakukan peperangan.
Saat ditanyakan mengenai beberapa pendapat bahwa Nabi adalah pribadi yang
lembut, penuh kasih sayang, Imam dengan tegas membenarkan. Menurutnya pribadi nabi
yang lembut dan penuh kasih sayang adalah dalam kerangka kehidupan internal ummat
Islam dan kemanusiaan, serta bagian dari strategi Nabi saat gerakan dakwahnya masih
lemah. Menurutnya ajaran Nabi yang penuh kasih sayang dilakukan sebagai strategi untuk
mengatasi kelemahan saat pengikutnya belum kuat dan belum banyak, terutama saat
periode dakwah di kota Makkah.
Lebih jauh, kondisi itu sudah berbeda sekali saat Nabi sudah hidup di Madinah, saat
ummat Islam sudah kuat dan jumlahnya sudah besar. Nabi akan sangat marah dan
melakukan peperangan saat Islam dilecehkan oleh orang kafir. Inilah yang harus ditiru oleh
ummat Islam di Indonesia yang mayoritas, oleh karenanya sangat aneh apabila orang Islam
yang sudah kuat dan mayoritas tidak marah saat merasa dilecehkan oleh ummat lain, yang
baginya dianggap kafir.
Fashihullisan (2016), menyampaikan bahwa perilaku ini diperoleh dari proses belajar
mengenai persepsi dari apa yang dilakukan nabi secara kurang lengkap. Proses pengenalan
mengenai sikap nabi, perilaku nabi dan ajaran nabi hanya melalui saluran tertentu yang
terkadang penuh manipulatif dengan doktrin tunggal. Dialektika dan diskursus menjadi
Proseding Seminar Membangun Masyarakat Kampus yang Berpaham Ahlussunnah Wal
Jamahaah, Malang 17 Mei 2017. ASDANU (Asosiasi Dosen Aswaja Nusantara).
Hal: 124-129.
ISBN: 978-602-6874-83-2.
sesuatu yang haram untuk dilakukan, karena keyakinan bukanlah pilihan tetapi suatu
kemutlakan tanpa penolakan sedikitpun.
Lebih jauh, Imam berpendapat bahwa momentum dihinakannya Islam oleh Ahok,
menjadi momentum pembuktian pribadi-pribadi muslim maupun ormas-ormas Muslim
tentang kesetiaannya pada nilai-nilai Islam. Saat orang muslim dan ormas muslim tidak
merespon dengan marah apa yang dilakukan oleh Ahok, itu merupakan suatu bentuk
kemunafikan. Menurutnya, orang dan ormas macam itu hanya mengaku Islam, tetapi
sesungguhnya tidak benar-benar Islam. Mereka tidak mengikuti ajaran Nabi yang akan
marah saat Islam dihinakan sehingga tidak layak mereka menyebut dirinya Islam.
Pandangan ini sungguh sangat sempit, karena mengidentifikasi ke-Islaman seseorang
dan suatu kelompok orang hanya dari suatu kasus yang belum pasti dan butuh pembuktian
panjang. Tuduhan penistaan agama oleh Ahok, secara faktual belum merupakan suatu
keputusan hukum yang mengikat karena awalnya Ahok hanya tertuduh, kemudian
meningkat menjadi tersangka dan baru terdakwa. Proses pengadilan masih belum
memberikan suatu keputusan, yang tentu saja bagi sebagian orang Islam dan mungkin ormas
Islam belum dalam kapasitas menilai Ahok sebagai seorang penista. Alasan semacam itu bagi
Imam sangat tidak dapat diterima, karena orang di luar Islam sama sekali tidak berhak
mengomentari apa yang ada pada ajaran Islam, apalagi ajaran kitab suci.
Pandangan Imam mengenai apa yang dilakukan oleh ormas keagamaan terbesar di
Indonesia yaitu NU sangat dangkal dan permukaan. NU tak lebih dari bentuk pragmatisme
politik, yang akan selalu mengambil untung dengan melakukan kolaborasi dengan kaum kafir
dan juga akan aktif memusuhi sesama muslim. Baginya, catatan penting bagi NU adalah saat
NU menjadi salah satu pilar pendukung Nasakom di era Soekarno, itu merupakan
penghianatan terbesar bagi ummat muslim semua. NU juga dipandang oleh Imam
melakukan hal serupa saat tidak marah dengan apa yang dilakukan oleh Ahok, bahkan
beberapa fungsionaris NU secara aktif mendukung Ahok, maka sangat beralasan apabila
Imam ikut menghujat NU baik secara keorganisasian maupun perorangan.
Persepsi yang dibangun bahwa Nabi sangat tegas dan sangat marah dengan
penghinaan terhadap agama, diperolehnya dari sumber-sumber kelompoknya. Imam sangat
Proseding Seminar Membangun Masyarakat Kampus yang Berpaham Ahlussunnah Wal
Jamahaah, Malang 17 Mei 2017. ASDANU (Asosiasi Dosen Aswaja Nusantara).
Hal: 124-129.
ISBN: 978-602-6874-83-2.
tidak memahami bahwa terdapat keragaman dalam pemahaman keagamaan dan juga
keragaman hasil maupun proses penafsiran. Bahkan dirinya mengaku sangat tidak mengerti
tentang perbedaan madzhab, yang bagi kalangan pesantren dan kalangan NU merupakan
suatu bentuk kewajaran.
Saat diajak diskusi tentang tata bahasa Arab yang paling dasar, mengenai perbedaan
kata tunggal dan kata jamak, Imam sangat tidak peduli dan tidak mau mengerti. Baginya
penerjemahan Al Qur’an dari Kementerian Agama dalam bahasa Indonesia merupakan
sesuatu yang final, oleh karena itu konstruksi persepsi Nabi yang marah juga didapatkannya
dari memahami Al Quran lewat terjemahan dalam bahasa Indonesia. Bahkan dia secara satir
mengatakan bahwa proses belajar di pesantren terlalu menyita waktu, karena sudah cukup
belajar agama dari terjemahan Al Quran dan Hadist, meskipun terkadang sumbernya juga
hanya dari artikel di internet.
Inilah kerangka dasar mengapa Imam menjadi yakin bahwa intoleransi yang
dilakukan merupakan bentuk dari tafsir dari terjemahan teks Al Quran dan Hadist, yang
terkadang sumbernya sangat tidak dapat dipertanggung jawabkan. Identifikasi perilaku
marah nabi hanya dari proses tafsir terjemahan yang menyampaikan peperangan yang
dilakukan nabi, dan juga bagaimana nabi bermusuhan dengan orang kafir. Apa konteks di
seputar peperangan dan bagaimana konteks besar kemarahan nabi, tidak menjadi obyek
yang terlalu dipermasalahkan, karena baginya pesannya sudah jelas, Nabi marah apabila
agamanya diganggu, maka dia akan melakukan hal yang serupa dengan apa yang
dianggapnya dilakuan nabi.
D. Persepsi Tentang Tidak Efektifnya Dakwah Melalui Gerakan Kultural
Imam dibesarkan dari suatu pedesaan Jawa, yang tentu saja sudah melekat tradisi
Islam pedesaan di tanah kelahirannya. Imam mengaku bahwa di desanya setiap ada
kematian pasti dilaksanakan tahlilan. Begitu juga saat ada kelahiran maupun momentum lain
di desanya akan terlihat pelaksanaan selametan.
Menurutnya acara selametan dan tahlilan tidak membawa dampak apapun dalam
kehidupan keagamaan di desanya. Mereka ikut tahlilan, ikut kondangan dan selametan,
Proseding Seminar Membangun Masyarakat Kampus yang Berpaham Ahlussunnah Wal
Jamahaah, Malang 17 Mei 2017. ASDANU (Asosiasi Dosen Aswaja Nusantara).
Hal: 124-129.
ISBN: 978-602-6874-83-2.
tetapi setelahnya akan tetap melakukan kebatilan yang sama. Masyarakat desa yang suka
mabuk-mabukkan dan judi, tetap saja tidak berubah perilakunya meskipun sekian ratus
forum tahlilan dan selametan telah didatangi.
Acara keagamaan yang bersifat kultural tersebut tidak lebih dari acara
kemasyarakatan, yang sebetulnya bukan merupakan bentuk pengamalan agama. Bahkan
menurut Imam, bapaknya juga seringkali menjadi pemimpin acara-acara tahlilan dan
selametan, tetapi dirinya tidak merasakan nilai-nilai keagamaan diterima dalam
kehidupannya. Semua aktivitas itu terjebak dalam aktivitas rutin yang menurutnya tidak
akan mampu merubah perilaku keagamaan masyarakat di pedesaan.
Hayami, et al (1987) lebih melihat fenomena ini sebagai suatu gejala kerusakan
pranata lokal oleh gempuran modernisasi, sehingga Imam menjadi tidak lagi yakin pada
efektivitas pranata dakwah kultural di lokal desanya. Imam lebih melihat bahwa gerakan
dakwah yang dikenalnya di kampus sebagai bentuk dakwah yang modern sehingga lebih
efektif dan optimal. Inilah yang menjadikannya lebih memilih model dakwah yang secara
fundamental mampu memisahkan secara jelas siapa lawan dan siapa kawan sehingga inilah
awal dari kemunculan nilai dasar intoleransi.
Kritik pada kehidupan keagamaan kultural juga tidak berhenti pada tataran
masyarakat desa kelahiran, tetapi lebih dari itu Imam juga menggugat eksistensi pesantren
kultural yang berada di lingkungan NU. Pesantren-pesantren di Rembang tidak dikenalnya
sama sekali, bahkan tokoh nasional sekaliber Kyai Mustofa Bisri juga tidak dikenalnya dari
tempat hidupnya di Rembang. Meskipun rumahnya hanya berjarak kurang dari 5 km dari
kediaman Kyai Mustofa Bisri, tetapi justru secara pribadi dia tidak mengenal sama sekali
siapa dan bagaimana dakwah yang dilakuan oleh Kyai Mustofa Bisri. Menurutnya, apa yang
dialaminya serupa dengan yang dialami orang-orang di desanya, termasuk juga para
remajanya.
Imam baru mengenal Kyai Mustofa Bisri secara pribadi, saat sudah kuliah di
Yogyakarta. Teman-teman kuliahnya selalu menanyakan pada dirinya mengenai sosok Gus
Mus, sebagai seorang tokoh budaya, seniman dan ulama yang berkaliber nasional. Saat
itulah baru disadarinya bahwa ada orang tokoh besar yang ternyata juga tetangganya. Tapi
Proseding Seminar Membangun Masyarakat Kampus yang Berpaham Ahlussunnah Wal
Jamahaah, Malang 17 Mei 2017. ASDANU (Asosiasi Dosen Aswaja Nusantara).
Hal: 124-129.
ISBN: 978-602-6874-83-2.
baginya keberadaan tokoh besar itu tidak membawa dampak apa-apa dalam kehidupan
keagamaan di desanya.
Meskipun ada tokoh besar, menurutnya orang kampungnya juga tetap begitu-begitu
saja. Inilah yang menjadikan keyakinannya makin tumbuh, bahwa dakwah secara kultural
kurang efektif dan kurang optimal. Dirinya menjadi semakin yakin dengan pola dakwah
kampus, yang mampu merubah secara fundamental perilaku seseorang dalam keagamaan.
Dirinya cukup menjadi bukti betapa dakwah kampus yang sarat muatan idiologis dan bersifat
fundamental menjadikan dirinya menjadi lebih Islam.
Pengalaman itulah yang menjadikan dirinya terus aktif melakukan model dakwah
dengan cara yang sama sebagaimana yang dilakukan oleh para mentornya. Baginya dakwah
kultural adalah dakwah tradisional yang cocok dalam kehidupan masyarakat di masa lalu,
bukannya pada kehidupan masyarakat kekinian. Pemanfaatan jejaring sosial dalam
penyebaran nilai-nilai fundamental keagamaan dan pembangkit emosional keagamaan
dinilainya lebih efektif merubah perilaku keagamaan, pandangan keagamaan dibandingkan
hanya terjebak dalam rutinitas ceremonial semacam tahlil dan selametan.
Pola dakwah semacam itu salah satunya adalah dengan cara semakin menajamkan
perbedaan dan hal-hal emosional. Salah satunya adalah dengan semakin menajamkan relasi
minoritas dan mayoritas dalam pemeluk agama di suatu kelompok masyarakat. Pengarus
utamaan isu ketimpangan mayoritas muslim oleh minoritas non muslim menjadi hal penting
yang harus selalu didengung dengungkan. Hal ini sebagai upaya mewujudkan kesadaran
kolektif bahwa Islam menjadi titik sentral kebenaran dan secara politis juga harus
diuntungkan.
Penajaman muslim dan kafir menjadi salah satu hal yang penting yang harus
dibiuskan pada seluruh umat muslim. Media jejaring sosial dan penyebar luasan artikelartikel intoleran yang penuh kecurigaan menjadi metode yang dianggap lebih efektif dalam
perubahan perilaku keagamaan. Inilah titik pangkal dari tradisi intoleransi yang cukup
penting selain argumentasi nabi yang marah dengan orang kafir melalui peperangan.
Tidak hanya mengkafirkan orang di luar Islam, pengkafiran juga mulai dilakukan
kepada orang-orang Muslim yang dianggap tidak sejalan dengan pandangan dan dakwah
Proseding Seminar Membangun Masyarakat Kampus yang Berpaham Ahlussunnah Wal
Jamahaah, Malang 17 Mei 2017. ASDANU (Asosiasi Dosen Aswaja Nusantara).
Hal: 124-129.
ISBN: 978-602-6874-83-2.
mereka. Dja’far ( 2014) melihat gejalan ini sebagai sebuah gejala ta’firi, dimana ada upaya
untuk menganggap orang lain yang tidak sejalan sebagai kafir. Sikap ta’firi ini juga
diperlihatkan dengan sikap penolakan terhadap pandangan demokrasi, sehingga tidak
menerima perbedaan pandangan dan tidak menerima keragaman.
E. Kesimpulan
Penelitian dengan pendekatan studi kasus dengan obyek Imam memperoleh temuan
beberapa hal penting yaitu:
1. Identifikasi bahwa Nabi akan marah saat agamanya diganggu menjadi alasan pembenar
kemarahan Imam sehingga wajar untuk bersikap intoleran. Argumentasi Nabi marah
didapatkan dari fakta bahwa Nabi sering berperang dengan orang kafir. Sangat tidak logis
baginya orang yang berperang itu tidak marah, sehingga peperangan Nabi merupakan
bentuk kemarahan nabi pada orang kafir. Semua orang yang berperang menurutnya
didasarkan pada suatu kemarahan dan latar belakang kemarahan adalah diganggu,
dihinakan dan dinistanya Islam sebagai agama oleh orang kafir.
2. Dakwah Islam melalui gerakan kultural dianggap tidak lagi efektif, karena hanya terjebak
pada rutinitas dan seremonial belaka. Seseorang atau masyarakat yang melakukan
seremono tahlilan dan selametan, tidak akan berubah perilaku keagamaannya. Oleh karena
itulah diyakini bahwa dakwah keagamaan yang lebih mengedepankan perubahan nilai-nilai
fundamentalis keagamaan dirasakan akan lebih efektif. Perubahan nilai-nilai fundamental
itu diantaranya adalah dengan semakin menjelaskan siapa insider dan siapa outsider.
Saran
1. Diperlukan upaya yang terus menerus untuk mengkampanyekan perilaku Islam yang
rohmatan lil alamin, diantaranya dengan menjelaskan secara gamblang mengapa dan
bagaimana Nabi berperang. Fakta bahwa nabi berperang dalam perspektif defensif,
ternyata telah mampu dimanipulasi sedemikian rupa sehingga seakan-akan merupakan
suatu upaya yang ofensif.
Proseding Seminar Membangun Masyarakat Kampus yang Berpaham Ahlussunnah Wal
Jamahaah, Malang 17 Mei 2017. ASDANU (Asosiasi Dosen Aswaja Nusantara).
Hal: 124-129.
ISBN: 978-602-6874-83-2.
2. Diperlukan review mendalam mengenai efektivitas dakwah melalui cara-cara kultural,
terutama dalam melakukan reformulasi dakwah dan inovasi dakwah. Masyarakat yang
terus berkembang, menjadikan format dakwah harus mengalami transformasi, meskipun
tanpa harus ditinggalkan secara keseluruhan. Bagaiamanapun dakwah kultural merupakan
suatu upaya dakwah merangkul dan dakwah pembiasaan, hanya saja memiliki kelemahan
kurang progresif dan cenderung stagnan.
Pustaka
Dja’far, AM. 2014. Memperjuangkan Wajah Islam Toleran dan Damai. Wahidinstitute.org. 18
November 2014.
Hayami, Y. and Kikuchi, M. 1987. Dilema Ekonomi Desa Suatu Pendekatan Ekonomi terhadap
Perubahan Kelembagaan di Asia. Penerjemah Zahara D. Noer. Yayasan Obor Indonesia.
Jakarta.
Fashihullisan, M. 2016. Dibangun Persepsi Nabi Tukang Marah dan Tukang Perang.
Intelektualmudanu.com. 28 Oktober 2016.
Rumagit, SK. 2013. Kekerasan dan Diskriminasi Antar Umat Beraga di Indoenesia. Jurnal Lex
Administratum, Vol.I/No.2/Jan-Mrt/2013.
Proseding Seminar Membangun Masyarakat Kampus yang Berpaham Ahlussunnah Wal
Jamahaah, Malang 17 Mei 2017. ASDANU (Asosiasi Dosen Aswaja Nusantara).
Hal: 124-129.
ISBN: 978-602-6874-83-2.
Dr. M. Fashihullisan, STP. MPd.
email: [email protected]
Abstrak
Utopia khilafah kembali bangkit pasca reformasi bersamaan dengan
terbukanya ruang kebebasan dan demokrasi. Gerakan Islamis juga mulai
masuk di kalangan mahasiswa terutama di perguruan tinggi umum non agama
Islam. Mereka aktif melakukan kegiatan dakwah kampus dari musholla dan
masjid yang telah ada di perguruan tinggi. Gerakan ini menawarkan angin
surga melalui ide khilafah Islamiyah dan utopia solusi semua masalah bangsa.
Hanya saja akar dari gerakan dakwah ini ternyata juga menyebarkan ide-ide
intoleran di tengah kehidupan bangsa yang multikultural.
Penelitian ini bertujuan untuk menggali akar-akar intoleransi melalui
studi kasus mahasiswa salah satu PTN besar di Yogyakarta bernama Imam.
Wawancara mendalam dilakukan selama kurang lebih enam bulan, dari
pertengahan tahun 2016 sampai akhir 2016. Observasi juga dilakukan dari
postingan dan ide-ide yang dituliskan di akun situs jejaring sosialnya.
Hasil penelitian menunjukkan dua hal utama yaitu: 1) Akar utama
intoleransi adalah keyakinan bahwa nabi adalah pribadi yang akan marah
apabila agamanya diganggu, dan 2) ketidak sabaran akan efektivitas gerakan
dakwah melalui gerakan kultural.
Kata kunci: Intoleransi, marah, dakwah, kultural
A. Pendahuluan
Imam adalah remaja biasa-biasa saja yang lahir dan dibesarkan di kota kecil
Rembang, di suatu desa pinggiran kota. Kehidupan desa pingiran kota, dengan tingkat
ekonomi menengah kebawah yang dominan. Meskipun dekat dengan pesantren pesantren
tua di kota Rembang, kehidupan keagaamaan hanya nampak dalam tradisi-tradisi kematian
dan pengajian. Tahlilan dan juga yasinan merupakan warna keagamaan yang paling nampak
di permukaan.
Imam sekolah dari SD sampai SMP di Rembang, saat SMA maka bersekolah di kota
Pati, yang merupakan kota tetangga Rembang. Kota Pati memiliki sebuah sekolah SMA yang
dianggap lebih maju dibandingkan SMA di derah lainnya, termasuk SMA di kota Rembang.
Proseding Seminar Membangun Masyarakat Kampus yang Berpaham Ahlussunnah Wal
Jamahaah, Malang 17 Mei 2017. ASDANU (Asosiasi Dosen Aswaja Nusantara).
Hal: 124-129.
ISBN: 978-602-6874-83-2.
Saat di Pati inilah Imam mulai belajar hidup terpisah dengan orang tua dan harus kos di kota
Pati.
Saat sekolah di Pati, Imam bukanlah sosok yang menonjol baik dalam sisi akademik
maupun sisi keorganisasian. Bukan merupakan siswa berprestasi di kelas, juga bukan siswa
yang aktif di organisasi kesiswaan. Sebagian besar kehidupannya hanya terfokus di sekolah,
di kos dan sesekali berjamaah di masjid.
Setelah lulus dari SMA, Imam diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di
Yogyakarta. Beberapa teman dekatnya saat di SMA sudah mulai tidak mengetahui aktivitas
kesehariannya di Yogyakarta. Seringkali Imam terlihat ikut kajian di masjid kampus,
berpakaian jubah dan jarang masuk kuliah.
Beberapa temannya akhirnya mengetahui Imam lebih banyak beraktivitas di luar
kampus dalam kajian ke-Islaman dan gerakan dakwah. Kuliah menjadi terbengkalai, dan
puncaknya tidak dapat menyelesaikan studi di perguruan tinggi. Kurang begitu jelas,
bagaimana respon keluarga saat Imam tidak lagi dapat menyelesaikan studi, tetapi beberapa
waktu setelah tidak dapat menyelesaikan studi, Imam menikah dan kemudian berkeluarga.
Imam di tahun 2016 sangat aktif di media sosial facebook, sebagai saluran pandangan
keagamaan dan pandangan politik. Saat ada isu tentang penista agama yang dilakukan Ahok
( Basuki Cahaya Purnama), Imam sangat aktif menulis update status dan juga menulis linklink artikel yang provokatif. Hampir setiap hari puluhan komentar silih berganti ditanggapi
dan juga selalu melakukan aktivitas menyerang bagi pandangan yang dianggapnya berbeda
dengan yang dimiliki melalui facebook.
Saat dilaksanakan aksi bela Islam, Imam dengan sangat bangga berangkat ke Jakarta
untuk membuktikan dukungannya. Adanya isu yang mengatakan bahwa peserta aksi bela
Islam dibayar, dibuktikan oleh Imam bahwa dia secara mandiri dan sukarela tidur di hotel
berbintang dengan biaya mandiri. Bukti foto sambil memegang kuitansi pembayaran pun
ikut di upload di facebook, disamping upload foto-foto dirinya diantara massa aksi.
Nada profokatif juga disampaikan di media facebook, yang mengatakan bahwa bukan
Islam sejati bila tidak mau ikut aksi membela Islam. Saat salah seorang temannya
mengomentari, Imam dengan cepat merespon dengan tulisan mencemooh bahwa orang
Proseding Seminar Membangun Masyarakat Kampus yang Berpaham Ahlussunnah Wal
Jamahaah, Malang 17 Mei 2017. ASDANU (Asosiasi Dosen Aswaja Nusantara).
Hal: 124-129.
ISBN: 978-602-6874-83-2.
macam itu tidak layak mengaku Islam. Tentu saja bersama teman-teman sepandangan, aktif
menyerang dengan tanpa argumentasi tetapi lebih sebagai pernyataan subyektif yang
bernada menyudutkan.
Bentuk perilaku intoleransi juga terlihat dengan menulis sebuah komentar, bahwa
mengapa salah satu propinsi di Kalimantan yang mayoritas Muslim, Gubernurnya harus non
Muslim. Bahkan meskipun tanpa dukungan data, dia mempertanyakan besaran sumbangan
gubernur pada pendirian salah satu tempat ibadah agama di luar Islam yang jumlahnya
cukup besar. Baginya ini merupakan masalah besar yang merupakan wujud ketidak adilan
bagi kehidupan ummat muslim. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rumagit (2013),
menjadi konfirmasi bahwa isu hubungan minoritas dan mayoritas pemeluk agama
merupakan hal yang cukup sensitif dalam perilaku intoleransi.
B. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif studi kasus dengan menganalisis
fenomena kehidupan seseorang. Wawancara dilakukan secara langsung dengan obyek
penelitian, maupun dengan orang-orang yang terhubung dengan obyek penelitian.
Wawancara ini sebagian besar berkaitan dengan konfirmasi, respon dan pandanganpandangan obyek penelitian mengenai beberapa hal yang dibutuhkan dalam penelitian.
Observasi dilakukan melalui observasi di lapangan maupun observasi perilaku obyek
penelitian di media sosial. Data hasil observasi digunakan untuk melengkapi data wawancara
dan juga untuk menganalisis hasil data wawancara secara trianggulasi. Dimungkinkan
trianggulasi antar hasil data menjadikan proses penggalian data menjadi lebih menyeluruh
dan lebih valid.
Penelitian dilakukan mulai dari pertengahan tahun 2016 sampai akhir tahun 2016.
Pada tahap awal, penelitian dilakukan secara naturalistik yaitu tanpa sepengetahuan obyek
penelitian bahwa dirinya masuk dalam proses pengambilan data penelitian. Setelah data
yang masuk dirasakan cukup dan dirasakan obyektif, barulah peneliti memberi tahu kepada
obyek bahwa ini merupakan suatu aktivitas penelitian.
Proseding Seminar Membangun Masyarakat Kampus yang Berpaham Ahlussunnah Wal
Jamahaah, Malang 17 Mei 2017. ASDANU (Asosiasi Dosen Aswaja Nusantara).
Hal: 124-129.
ISBN: 978-602-6874-83-2.
C. Persepsi Tentang Pribadi Nabi Muhammad SAW
Imam sangat aktif membela diri saat ditanya mengapa dia harus marah-marah
terutama dalam kasus Ahok yang menurutnya merupakan penistaan terhadap agama Islam.
Menurutnya apa yang dilakukan merupakan bentuk menjalankan sunnah Rosul, karena
menurutnya ajaran Rosul diantaranya adalah harus marah saat Agama dilecehkan dan
dihinakan.
Salah satu argumentasi yang dibangunnya, bahwa indikasi Nabi menjadi marah saat
Agamanya dilecehkan adalah dengan terlibatnya Nabi dalam beberapa peperangan.
Peperangan menurutnya merupakan suatu ekspresi kemarahan Nabi, saat agamanya
dilecehkan dan dihinakan. Oleh karena itulah, ekspresi marahnya dengan menyerang pribadi
Ahaok baik secara pribadi maupun secara politik, merupakan suatu bentuk amaliyah
menjalankan ajaran Nabi sebagaimana Nabi saat melakukan peperangan.
Saat ditanyakan mengenai beberapa pendapat bahwa Nabi adalah pribadi yang
lembut, penuh kasih sayang, Imam dengan tegas membenarkan. Menurutnya pribadi nabi
yang lembut dan penuh kasih sayang adalah dalam kerangka kehidupan internal ummat
Islam dan kemanusiaan, serta bagian dari strategi Nabi saat gerakan dakwahnya masih
lemah. Menurutnya ajaran Nabi yang penuh kasih sayang dilakukan sebagai strategi untuk
mengatasi kelemahan saat pengikutnya belum kuat dan belum banyak, terutama saat
periode dakwah di kota Makkah.
Lebih jauh, kondisi itu sudah berbeda sekali saat Nabi sudah hidup di Madinah, saat
ummat Islam sudah kuat dan jumlahnya sudah besar. Nabi akan sangat marah dan
melakukan peperangan saat Islam dilecehkan oleh orang kafir. Inilah yang harus ditiru oleh
ummat Islam di Indonesia yang mayoritas, oleh karenanya sangat aneh apabila orang Islam
yang sudah kuat dan mayoritas tidak marah saat merasa dilecehkan oleh ummat lain, yang
baginya dianggap kafir.
Fashihullisan (2016), menyampaikan bahwa perilaku ini diperoleh dari proses belajar
mengenai persepsi dari apa yang dilakukan nabi secara kurang lengkap. Proses pengenalan
mengenai sikap nabi, perilaku nabi dan ajaran nabi hanya melalui saluran tertentu yang
terkadang penuh manipulatif dengan doktrin tunggal. Dialektika dan diskursus menjadi
Proseding Seminar Membangun Masyarakat Kampus yang Berpaham Ahlussunnah Wal
Jamahaah, Malang 17 Mei 2017. ASDANU (Asosiasi Dosen Aswaja Nusantara).
Hal: 124-129.
ISBN: 978-602-6874-83-2.
sesuatu yang haram untuk dilakukan, karena keyakinan bukanlah pilihan tetapi suatu
kemutlakan tanpa penolakan sedikitpun.
Lebih jauh, Imam berpendapat bahwa momentum dihinakannya Islam oleh Ahok,
menjadi momentum pembuktian pribadi-pribadi muslim maupun ormas-ormas Muslim
tentang kesetiaannya pada nilai-nilai Islam. Saat orang muslim dan ormas muslim tidak
merespon dengan marah apa yang dilakukan oleh Ahok, itu merupakan suatu bentuk
kemunafikan. Menurutnya, orang dan ormas macam itu hanya mengaku Islam, tetapi
sesungguhnya tidak benar-benar Islam. Mereka tidak mengikuti ajaran Nabi yang akan
marah saat Islam dihinakan sehingga tidak layak mereka menyebut dirinya Islam.
Pandangan ini sungguh sangat sempit, karena mengidentifikasi ke-Islaman seseorang
dan suatu kelompok orang hanya dari suatu kasus yang belum pasti dan butuh pembuktian
panjang. Tuduhan penistaan agama oleh Ahok, secara faktual belum merupakan suatu
keputusan hukum yang mengikat karena awalnya Ahok hanya tertuduh, kemudian
meningkat menjadi tersangka dan baru terdakwa. Proses pengadilan masih belum
memberikan suatu keputusan, yang tentu saja bagi sebagian orang Islam dan mungkin ormas
Islam belum dalam kapasitas menilai Ahok sebagai seorang penista. Alasan semacam itu bagi
Imam sangat tidak dapat diterima, karena orang di luar Islam sama sekali tidak berhak
mengomentari apa yang ada pada ajaran Islam, apalagi ajaran kitab suci.
Pandangan Imam mengenai apa yang dilakukan oleh ormas keagamaan terbesar di
Indonesia yaitu NU sangat dangkal dan permukaan. NU tak lebih dari bentuk pragmatisme
politik, yang akan selalu mengambil untung dengan melakukan kolaborasi dengan kaum kafir
dan juga akan aktif memusuhi sesama muslim. Baginya, catatan penting bagi NU adalah saat
NU menjadi salah satu pilar pendukung Nasakom di era Soekarno, itu merupakan
penghianatan terbesar bagi ummat muslim semua. NU juga dipandang oleh Imam
melakukan hal serupa saat tidak marah dengan apa yang dilakukan oleh Ahok, bahkan
beberapa fungsionaris NU secara aktif mendukung Ahok, maka sangat beralasan apabila
Imam ikut menghujat NU baik secara keorganisasian maupun perorangan.
Persepsi yang dibangun bahwa Nabi sangat tegas dan sangat marah dengan
penghinaan terhadap agama, diperolehnya dari sumber-sumber kelompoknya. Imam sangat
Proseding Seminar Membangun Masyarakat Kampus yang Berpaham Ahlussunnah Wal
Jamahaah, Malang 17 Mei 2017. ASDANU (Asosiasi Dosen Aswaja Nusantara).
Hal: 124-129.
ISBN: 978-602-6874-83-2.
tidak memahami bahwa terdapat keragaman dalam pemahaman keagamaan dan juga
keragaman hasil maupun proses penafsiran. Bahkan dirinya mengaku sangat tidak mengerti
tentang perbedaan madzhab, yang bagi kalangan pesantren dan kalangan NU merupakan
suatu bentuk kewajaran.
Saat diajak diskusi tentang tata bahasa Arab yang paling dasar, mengenai perbedaan
kata tunggal dan kata jamak, Imam sangat tidak peduli dan tidak mau mengerti. Baginya
penerjemahan Al Qur’an dari Kementerian Agama dalam bahasa Indonesia merupakan
sesuatu yang final, oleh karena itu konstruksi persepsi Nabi yang marah juga didapatkannya
dari memahami Al Quran lewat terjemahan dalam bahasa Indonesia. Bahkan dia secara satir
mengatakan bahwa proses belajar di pesantren terlalu menyita waktu, karena sudah cukup
belajar agama dari terjemahan Al Quran dan Hadist, meskipun terkadang sumbernya juga
hanya dari artikel di internet.
Inilah kerangka dasar mengapa Imam menjadi yakin bahwa intoleransi yang
dilakukan merupakan bentuk dari tafsir dari terjemahan teks Al Quran dan Hadist, yang
terkadang sumbernya sangat tidak dapat dipertanggung jawabkan. Identifikasi perilaku
marah nabi hanya dari proses tafsir terjemahan yang menyampaikan peperangan yang
dilakukan nabi, dan juga bagaimana nabi bermusuhan dengan orang kafir. Apa konteks di
seputar peperangan dan bagaimana konteks besar kemarahan nabi, tidak menjadi obyek
yang terlalu dipermasalahkan, karena baginya pesannya sudah jelas, Nabi marah apabila
agamanya diganggu, maka dia akan melakukan hal yang serupa dengan apa yang
dianggapnya dilakuan nabi.
D. Persepsi Tentang Tidak Efektifnya Dakwah Melalui Gerakan Kultural
Imam dibesarkan dari suatu pedesaan Jawa, yang tentu saja sudah melekat tradisi
Islam pedesaan di tanah kelahirannya. Imam mengaku bahwa di desanya setiap ada
kematian pasti dilaksanakan tahlilan. Begitu juga saat ada kelahiran maupun momentum lain
di desanya akan terlihat pelaksanaan selametan.
Menurutnya acara selametan dan tahlilan tidak membawa dampak apapun dalam
kehidupan keagamaan di desanya. Mereka ikut tahlilan, ikut kondangan dan selametan,
Proseding Seminar Membangun Masyarakat Kampus yang Berpaham Ahlussunnah Wal
Jamahaah, Malang 17 Mei 2017. ASDANU (Asosiasi Dosen Aswaja Nusantara).
Hal: 124-129.
ISBN: 978-602-6874-83-2.
tetapi setelahnya akan tetap melakukan kebatilan yang sama. Masyarakat desa yang suka
mabuk-mabukkan dan judi, tetap saja tidak berubah perilakunya meskipun sekian ratus
forum tahlilan dan selametan telah didatangi.
Acara keagamaan yang bersifat kultural tersebut tidak lebih dari acara
kemasyarakatan, yang sebetulnya bukan merupakan bentuk pengamalan agama. Bahkan
menurut Imam, bapaknya juga seringkali menjadi pemimpin acara-acara tahlilan dan
selametan, tetapi dirinya tidak merasakan nilai-nilai keagamaan diterima dalam
kehidupannya. Semua aktivitas itu terjebak dalam aktivitas rutin yang menurutnya tidak
akan mampu merubah perilaku keagamaan masyarakat di pedesaan.
Hayami, et al (1987) lebih melihat fenomena ini sebagai suatu gejala kerusakan
pranata lokal oleh gempuran modernisasi, sehingga Imam menjadi tidak lagi yakin pada
efektivitas pranata dakwah kultural di lokal desanya. Imam lebih melihat bahwa gerakan
dakwah yang dikenalnya di kampus sebagai bentuk dakwah yang modern sehingga lebih
efektif dan optimal. Inilah yang menjadikannya lebih memilih model dakwah yang secara
fundamental mampu memisahkan secara jelas siapa lawan dan siapa kawan sehingga inilah
awal dari kemunculan nilai dasar intoleransi.
Kritik pada kehidupan keagamaan kultural juga tidak berhenti pada tataran
masyarakat desa kelahiran, tetapi lebih dari itu Imam juga menggugat eksistensi pesantren
kultural yang berada di lingkungan NU. Pesantren-pesantren di Rembang tidak dikenalnya
sama sekali, bahkan tokoh nasional sekaliber Kyai Mustofa Bisri juga tidak dikenalnya dari
tempat hidupnya di Rembang. Meskipun rumahnya hanya berjarak kurang dari 5 km dari
kediaman Kyai Mustofa Bisri, tetapi justru secara pribadi dia tidak mengenal sama sekali
siapa dan bagaimana dakwah yang dilakuan oleh Kyai Mustofa Bisri. Menurutnya, apa yang
dialaminya serupa dengan yang dialami orang-orang di desanya, termasuk juga para
remajanya.
Imam baru mengenal Kyai Mustofa Bisri secara pribadi, saat sudah kuliah di
Yogyakarta. Teman-teman kuliahnya selalu menanyakan pada dirinya mengenai sosok Gus
Mus, sebagai seorang tokoh budaya, seniman dan ulama yang berkaliber nasional. Saat
itulah baru disadarinya bahwa ada orang tokoh besar yang ternyata juga tetangganya. Tapi
Proseding Seminar Membangun Masyarakat Kampus yang Berpaham Ahlussunnah Wal
Jamahaah, Malang 17 Mei 2017. ASDANU (Asosiasi Dosen Aswaja Nusantara).
Hal: 124-129.
ISBN: 978-602-6874-83-2.
baginya keberadaan tokoh besar itu tidak membawa dampak apa-apa dalam kehidupan
keagamaan di desanya.
Meskipun ada tokoh besar, menurutnya orang kampungnya juga tetap begitu-begitu
saja. Inilah yang menjadikan keyakinannya makin tumbuh, bahwa dakwah secara kultural
kurang efektif dan kurang optimal. Dirinya menjadi semakin yakin dengan pola dakwah
kampus, yang mampu merubah secara fundamental perilaku seseorang dalam keagamaan.
Dirinya cukup menjadi bukti betapa dakwah kampus yang sarat muatan idiologis dan bersifat
fundamental menjadikan dirinya menjadi lebih Islam.
Pengalaman itulah yang menjadikan dirinya terus aktif melakukan model dakwah
dengan cara yang sama sebagaimana yang dilakukan oleh para mentornya. Baginya dakwah
kultural adalah dakwah tradisional yang cocok dalam kehidupan masyarakat di masa lalu,
bukannya pada kehidupan masyarakat kekinian. Pemanfaatan jejaring sosial dalam
penyebaran nilai-nilai fundamental keagamaan dan pembangkit emosional keagamaan
dinilainya lebih efektif merubah perilaku keagamaan, pandangan keagamaan dibandingkan
hanya terjebak dalam rutinitas ceremonial semacam tahlil dan selametan.
Pola dakwah semacam itu salah satunya adalah dengan cara semakin menajamkan
perbedaan dan hal-hal emosional. Salah satunya adalah dengan semakin menajamkan relasi
minoritas dan mayoritas dalam pemeluk agama di suatu kelompok masyarakat. Pengarus
utamaan isu ketimpangan mayoritas muslim oleh minoritas non muslim menjadi hal penting
yang harus selalu didengung dengungkan. Hal ini sebagai upaya mewujudkan kesadaran
kolektif bahwa Islam menjadi titik sentral kebenaran dan secara politis juga harus
diuntungkan.
Penajaman muslim dan kafir menjadi salah satu hal yang penting yang harus
dibiuskan pada seluruh umat muslim. Media jejaring sosial dan penyebar luasan artikelartikel intoleran yang penuh kecurigaan menjadi metode yang dianggap lebih efektif dalam
perubahan perilaku keagamaan. Inilah titik pangkal dari tradisi intoleransi yang cukup
penting selain argumentasi nabi yang marah dengan orang kafir melalui peperangan.
Tidak hanya mengkafirkan orang di luar Islam, pengkafiran juga mulai dilakukan
kepada orang-orang Muslim yang dianggap tidak sejalan dengan pandangan dan dakwah
Proseding Seminar Membangun Masyarakat Kampus yang Berpaham Ahlussunnah Wal
Jamahaah, Malang 17 Mei 2017. ASDANU (Asosiasi Dosen Aswaja Nusantara).
Hal: 124-129.
ISBN: 978-602-6874-83-2.
mereka. Dja’far ( 2014) melihat gejalan ini sebagai sebuah gejala ta’firi, dimana ada upaya
untuk menganggap orang lain yang tidak sejalan sebagai kafir. Sikap ta’firi ini juga
diperlihatkan dengan sikap penolakan terhadap pandangan demokrasi, sehingga tidak
menerima perbedaan pandangan dan tidak menerima keragaman.
E. Kesimpulan
Penelitian dengan pendekatan studi kasus dengan obyek Imam memperoleh temuan
beberapa hal penting yaitu:
1. Identifikasi bahwa Nabi akan marah saat agamanya diganggu menjadi alasan pembenar
kemarahan Imam sehingga wajar untuk bersikap intoleran. Argumentasi Nabi marah
didapatkan dari fakta bahwa Nabi sering berperang dengan orang kafir. Sangat tidak logis
baginya orang yang berperang itu tidak marah, sehingga peperangan Nabi merupakan
bentuk kemarahan nabi pada orang kafir. Semua orang yang berperang menurutnya
didasarkan pada suatu kemarahan dan latar belakang kemarahan adalah diganggu,
dihinakan dan dinistanya Islam sebagai agama oleh orang kafir.
2. Dakwah Islam melalui gerakan kultural dianggap tidak lagi efektif, karena hanya terjebak
pada rutinitas dan seremonial belaka. Seseorang atau masyarakat yang melakukan
seremono tahlilan dan selametan, tidak akan berubah perilaku keagamaannya. Oleh karena
itulah diyakini bahwa dakwah keagamaan yang lebih mengedepankan perubahan nilai-nilai
fundamentalis keagamaan dirasakan akan lebih efektif. Perubahan nilai-nilai fundamental
itu diantaranya adalah dengan semakin menjelaskan siapa insider dan siapa outsider.
Saran
1. Diperlukan upaya yang terus menerus untuk mengkampanyekan perilaku Islam yang
rohmatan lil alamin, diantaranya dengan menjelaskan secara gamblang mengapa dan
bagaimana Nabi berperang. Fakta bahwa nabi berperang dalam perspektif defensif,
ternyata telah mampu dimanipulasi sedemikian rupa sehingga seakan-akan merupakan
suatu upaya yang ofensif.
Proseding Seminar Membangun Masyarakat Kampus yang Berpaham Ahlussunnah Wal
Jamahaah, Malang 17 Mei 2017. ASDANU (Asosiasi Dosen Aswaja Nusantara).
Hal: 124-129.
ISBN: 978-602-6874-83-2.
2. Diperlukan review mendalam mengenai efektivitas dakwah melalui cara-cara kultural,
terutama dalam melakukan reformulasi dakwah dan inovasi dakwah. Masyarakat yang
terus berkembang, menjadikan format dakwah harus mengalami transformasi, meskipun
tanpa harus ditinggalkan secara keseluruhan. Bagaiamanapun dakwah kultural merupakan
suatu upaya dakwah merangkul dan dakwah pembiasaan, hanya saja memiliki kelemahan
kurang progresif dan cenderung stagnan.
Pustaka
Dja’far, AM. 2014. Memperjuangkan Wajah Islam Toleran dan Damai. Wahidinstitute.org. 18
November 2014.
Hayami, Y. and Kikuchi, M. 1987. Dilema Ekonomi Desa Suatu Pendekatan Ekonomi terhadap
Perubahan Kelembagaan di Asia. Penerjemah Zahara D. Noer. Yayasan Obor Indonesia.
Jakarta.
Fashihullisan, M. 2016. Dibangun Persepsi Nabi Tukang Marah dan Tukang Perang.
Intelektualmudanu.com. 28 Oktober 2016.
Rumagit, SK. 2013. Kekerasan dan Diskriminasi Antar Umat Beraga di Indoenesia. Jurnal Lex
Administratum, Vol.I/No.2/Jan-Mrt/2013.
Proseding Seminar Membangun Masyarakat Kampus yang Berpaham Ahlussunnah Wal
Jamahaah, Malang 17 Mei 2017. ASDANU (Asosiasi Dosen Aswaja Nusantara).
Hal: 124-129.
ISBN: 978-602-6874-83-2.