KARAKTERISTIK MORFOLOGI TANAMAN CABE JAW

KARAKTERISTIK MORFOLOGI TANAMAN CABE JAWA (Piper retrofractum. Vahl) DI BEBERAPA SENTRA PRODUKSI

Wawan Haryudin dan Otih Rostiana

Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik

ABSTRAK

Cabe jawa merupakan salah satu tanaman obat potensial Indonesia, namun karakteristik tanaman yang dikembangkan di masing-masing daerah belum diketahui. Pene- litian dilakukan di beberapa daerah sentra produksi yaitu Jawa Tengah (Wonogiri), Jawa Timur (Madura, Lamongan, dan Jember) dan Bali pada bulan Juli 2003 dengan metode observasi langsung. Penelitian bertujuan untuk mengetahui karakteristik morfologi tanaman di beberapa sentra produksi. Tanaman yang di- amati berumur sekitar 5 tahun, sebanyak 50 tanaman setiap lokasi. Hasil penelitian menun- jukkan bahwa cabe jawa bervariasi dalam bentuk morfologi daun, buah, batang, dan cabang dari 23 nomor aksesi yang dikarak- terisasi. Karakter yang baik untuk membedakan tanaman cabe jawa adalah bentuk daun dan buah. Morfologi daun cabe jawa dapat dibeda- kan ke dalam 2 kelompok, yaitu bentuk daun lebar (membulat) di daerah Curah Nongko Jember, dan daun sempit (lanset) terdapat hampir di semua lokasi. Bentuk buah dibe- dakan ke dalam 4 kelompok, yaitu bentuk buah bulat panjang, bulat pendek, panjang pipih, dan panjang kecil. Hasil analisis cluster menunjuk- kan bahwa tanaman cabe jawa memiliki tingkat kesamaan yang bervariasi dengan nilai ter- tinggi ditunjukan oleh Piret 22 (92,09) dan terendah pada Piret 1 (26,29).

Kata kunci : Piper retrofractum, cabe jawa, karak- teristik morfologi

ABSTRACT Characteristics of Java Long Pepper

(Piper retrofractum Vahl.) At Several Production Center

Java long pepper is one of other potential medicinal crops cultivated in Indone- sia. However, crop characteristic of each cultivation areas has not been identified. A research was performed in several main

cultivation areas i.e. Central Java (Wonogiri), East Java (Madura, Lamongan, and Jember) and Bali in July, 2003, using direct observa- tion methods. The aim of this research was to observe the morphological characteristic of leaves and fruits of Java long pepper accessions numbers. Sum 50 plants of five years old were examined for each location. The results showed that of the 23 accessions of Java long pepper, varied in their leaves, fruits, stems, and branches characteristics. In general, Java long pepper were differed into two groups based on their leaf shapes, i.e. rounded leaves for the accessions from Curah Nongko (Jember), and narrow leaves for the accessions collected from other areas. Meanwhile, based on the fruit shapes, they were grouped into four i.e. long-rounded fruits, short-rounded, long-thin and long- small fruits. According to cluster analysis, the Java long pepper also varied in similarity level. The highest index of similarity value was observed on Piret 22 (92.09), and the lowest one was on Piret 1 (26.29).

Key words : Piper retrofractum Vahl., morphological

cha-racteristics, Java long pepper

PENDAHULUAN

Cabe jawa (Piper retrofrac- tum. Vahl) termasuk famili Pipera- ceae, yang tumbuh memanjat dan merupakan salah satu jenis tanaman obat yang banyak digunakan di Indonesia. Manfaat utama cabe jawa yaitu buahnya sebagai bahan campur- an ramuan jamu. Di Madura cabe jawa digunakan sebagai ramuan penghangat badan yang dapat dicampur dengan kopi, teh, dan susu. Cabe jawa juga dapat digunakan sebagai obat luar, diantaranya untuk pengobatan penya- kit beri-beri dan reumatik (Burkill,

Wawan Haryudin dan Otih Rostiana : Karakteristik Morfologi Tanaman Cabe Jawa (Piper retrofractum. Vahl) di beberapa Sentra Produksi

1935). Mardjodisiswojo dan Sudarso bahkan secara visual hampir sama (1975) melaporkan cabe jawa dapat (Rostiana et al., 1994). Untuk memas- dimanfaatkan untuk mengobati tekanan tikan sifat pembeda dari masing darah rendah, influenza, cholera, sakit masing tipe perlu dilakukan kepala, lemah sahwat, bronchitis mena- pengamatan. Dalam penelitian ini hun dan sesak napas. Penggunaan buah dikaji sifat morfologi daun, batang dan cabe jawa dalam bentuk seduhan buah serta kandungan mutu cabe jawa menurut Sa’roni et al. (1992) cukup dari berbagai sentra produksi. aman karena termasuk jenis simplisia

Hasil inventarisasi tanaman yang tidak berbahaya (relatively cabe jawa di sentra produksi tahun harmless).

1992/1993 memperlihatkan bahwa di Penggunaan cabe jawa dalam Madura ditemukan cabe jawa dengan bentuk simplisia termasuk 10 besar tipe buah yang berbeda ukuran (besar, bahan baku yang diserap oleh industri sedang, dan kecil) dengan warna ber- obat tradisional, dan menempati variasi, dan mutu berlainan. Cabe peringkat ke-enam, yaitu 9,5% dari jawa dari Kabupaten Sumenep memi- total simplisia. Pemakaian simplisia ini liki kandungan minyak 1,56-1,66% menunjukkan adanya peningkatan rata- (Rostiana et al., 1994; Yuliani et al., rata per tahun 20,81% dalam kurun 2001). Sementara hasil eksplorasi waktu 1985-1990 (Januwati et al., tahun 2003 (Rostiana et al., 2003) 2000). Kebutuhan cabe jawa berdasar- menunjukkan bahwa kandungan kan ragam penggunaan (khasiat obat) piperin, oleoresin dan minyak atsiri adalah 47,73% (Kemala at al., 2003). aksesi cabe jawa yang berhasil dikum- Cabe jawa merupakan salah satu dari 9 pulkan dari beberapa sentra produksi tanaman unggulan Badan Pengawasan juga berbeda beda. Kadar piperin Obat dan Makanan dan dikelompokkan tertinggi (17,24%) diperoleh pada sebagai tanaman berkhasiat afrodisiak aksesi asal Bali, dengan bentuk buah (Sampurno, 2003).

lonjong, pipih, dan kecil serta berwar- Di Indonesia cabe jawa banyak na kuning. Sedangkan kadar minyak ditemukan terutama di Jawa, Sumatera, atsiri tertinggi (1,40%) diperoleh dari Bali, Nusatenggara dan Kalimantan. aksesi asal Pamekasan. Cabe jawa Daerah sentra produksi utamanya ada- yang berasal dari Sumenep menun- lah di Madura (Bangkalan, Sampang, jukan kadar oleoresin tertinggi yaitu Pamekasan, Sumenep), Lamongan dan 6,10% (Rostiana et al., 2003). Dengan Lampung. Sampai saat ini belum demikian, perbedaan komponen pro- diketahui apakah karakteristik tanaman duksi dari masing-masing tipe cabe cabe jawa yang dibudidayakan tersebut jawa yang tersebar di sentra produksi sama atau tidak. Hasil karakterisasi belum diketahui dengan jelas. Oleh terhadap populasi pertanaman cabe karena itu dilakukan karakterisasi jawa di 4 kabupaten di Madura pada sifat-sifat tersebut di lokasi yang sama tahun 1993 menunjukkan bahwa untuk menentukan pembeda dari variasi tanaman cabe jawa lebih kecil

masing-masing tipe cabe jawa yang ada. Penelitian ini bertujuan untuk masing-masing tipe cabe jawa yang ada. Penelitian ini bertujuan untuk

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di bebe- rapa daerah sentra produksi cabe jawa, yaitu Madura (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep), Lamongan, Jember, Bali, dan Wonogiri dengan metode observasi langsung pada bulan Juli 2003. Bahan tanaman yang digu- nakan adalah 23 aksesi cabe jawa, diantaranya adalah Piret 01 (Sumenep), Piret 02 (Sumenep), Piret 03 (Sume- nep), Piret 04 (Pamekasan), Piret 05 (Ketapang), Piret 06 (Ketapang), Piret

07 (Banyuates), Piret 08 (Tanjung Bumi), Piret 09 (Lamongan), Piret 10 (Sanur Bali), Piret 11 (Sanur Bali), Piret 12 (Sanur Bali), Piret 13 (Sanur Bali), Piret 14 (Sanur Bali), Piret 15 (Sangeh Bali), Piret 16 (Sangeh Bali), Piret 17 (Sangeh Bali), Piret 18 (Sangeh Bali), Piret 19 (Jembrana Bali), Piret 20 (Jembrana Bali), Piret

21 (Jember), Piret 22 (Jember), dan Piret 23 (Wonogiri), masing masing aksesi diamati sebanyak 50 tanaman. Tanaman cabe jawa produktif yang diamati berumur sekitar 5 tahun. Parameter yang diamati meliputi warna dan bentuk daun, bentuk pangkal dan ujung daun, panjang dan lebar daun, panjang tangkai daun, jumlah daun per cabang, bentuk dan warna batang, panjang ruas batang, bentuk dan warna cabang, serta panjang ruas cabang. Se- dangkan parameter buah yang diamati yaitu meliputi bentuk dan warna buah, panjang dan diameter buah, bobot basah dan kering per 100 butir. Data rata-rata diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode analisis gerom-

bol (cluster analysis) McQuitty lingkage dengan konsep jarak Eucli- dean. Analisis gerombol adalah anali- sis kelompok untuk mengetahui tingkat kesamaan tanaman cabe jawa di beberapa lokasi sentra produksi.

HASIL DAN PEMBAHASAN Morfologi batang

Cabe jawa merupakan tanaman tahunan yang tumbuh memanjat pada tiang panjat dan berbuku-buku (ruas), bentuk batang bulat dan besar, ber- diameter ± 5-7 cm, panjang ruas batang utama 2,93-9,82 cm, warna batang bervariasi dari hitam, coklat sampai coklat kehitaman. Warna ba- tang yang banyak ditemukan di setiap lokasi adalah coklat kehitaman (Tabel 1). Batang cabe jawa menyerupai batang tanaman lada yaitu mempunyai pembuluh kayu dan pembuluh tipis. Nuryani (1996) melaporkan bahwa ba- tang tanaman lada mempunyai jaring- an pembuluh kayu (xylem) dan pembuluh tapis (phloem).

Selain mempunyai sulur pan- jat, cabe jawa juga mempunyai sulur buah (cabang buah) dengan jumlah 5-

7 buah per cabang. Panjang ruas ca- bang buah berkisar 2,08-8,02 cm. Cabe jawa juga mempunyai jumlah cabang buah cukup banyak, dengan bentuk bulat dan berwarna hijau, hijau gelap sampai hijau tua. Warna hijau lebih banyak ditemukan hampir di setiap lokasi (Tabel 1). Bentuk perca- bangan cabe jawa, termasuk ke dalam tipe monopodial (Nuryani, 1996).

Wawan Haryudin dan Otih Rostiana : Karakteristik Morfologi Tanaman Cabe Jawa (Piper retrofractum. Vahl) di beberapa Sentra Produksi

Daun

Jumlah daun tanaman cabe ja- wa antara 3,95-14,46 per cabang. Menurut Rostiana et al. (2005) jumlah daun yang terbentuk pada sulur buah berkolerasi positif dengan peluang pembentukan buah cabe jawa, sehing-

ga pertumbuhan jumlah daun dapat digunakan untuk memprediksi produksi buah.

Daun tunggal umumnya ber- warna hijau sampai hijau tua, bentuk daun membulat, lebar, dan lanset. Dari

23 aksesi yang dikumpulkan daun

tanaman cabe jawa lebih banyak dite- mukan berbentuk lanset (yaitu 20 no- mor), membulat (dua nomor), dan membulat lebar (satu nomor), (Tabel 2). Bentuk daun yang perbedaannya cukup menonjol yaitu membulat lebar pada Piret 22 berasal dari Curoh Nongko Jember (Gambar 1). Perbeda- an bentuk ini kemungkinan karena tanaman cabe jawa yang ada di daerah tersebut berasal dari biji. Tanaman cabe jawa yang ada di daerah lain berasal dari sulur panjat. Menurut Rostiana et al. (1994) tanaman yang berbunga majemuk tidak terbatas

Tabel 1. Karakteristik batang dan cabang cabe jawa di beberapa sentra produksi Table 1. Stems and branches characteristics of Java long pepper at several

production centers

Karakteristik/characteristic

Batang/Stem

Cabang/Branche

Nomor aksesi/ Accession number

Daerah asal/ Origin

Panjang ruas/Length

of node

(cm)

Bentuk/ Shape

Warna/

Color

Panjang ruas/Length of node (cm)

Peret 01

Piret 02 Piret 03

Piret 04 Piret 05 Piret 06 Piret 07 Piret 08 Piret 09 Piret 10 Piret 11 Piret 12 Piret 13 Piret 14 Piret 15 Piret 16 Piret 17 Piret 18 Piret 19 Piret 20 Piret 21 Piret 22 Piret 23

Bluto 1, Sumemep Madura Bluto 2, Sumenep Ganding, Larangan, Pamekasan Ketapang 1. Madura Ketapang 2 Madura Banyuates , Madura Tanjung bumi Madura Mantup Lamongan Sanur 1, Bali Sanur 2, Bali Sanur 3, Bali Sanur 4, Bali Sanur 5, Bali Sangeh Batu Sari 1 Bali Sangeh Batu Sari 2 Bali Sangeh Batu Sari 3 Bali Sangeh TWA Bali Jembrana 1. Bali Jembrana 2 Bali Curoh Nongko 1 Jember Curoh Nongko 2 Jember Paranggupito Wonogiri

Bulat

Bulat Bulat

Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat

Coklat kehitaman

Coklat Hitam kecoklatan

Coklat kehitaman Coklat kehitaman Coklat kehitaman Coklat kehitaman Coklat kehitaman Coklat kehitaman Coklat kehitaman Coklat kehitaman Coklat kehitaman Coklat kehitaman Coklat kehitaman Hitam Hitam Hitam Hitam Hitam kecoklatan Coklat Coklat Coklat Hitam kecoklatan

Bulat Bulat

Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat

Hijau

Hijau Hijau

Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau

gelp Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau

Hijau tua

Rata-rata 5,18 5,52 Standar devisasi

1,77 1,58 Nilai maximum

9,81 8,02 Nilai minimum

Keterangan : Data rata-rata sample dari 50 tanaman contoh untuk setiap aksesi Note : Averaged data of fifty plant samples for each accession Keterangan : Data rata-rata sample dari 50 tanaman contoh untuk setiap aksesi Note : Averaged data of fifty plant samples for each accession

Duduk daun tunggal dan ber- seling, bentuk pertulangan daun menyi- rip, dan bentuk ujung daun runcing sampai meruncing. Bentuk pangkal daun berlekuk dan tidak sejajar, se- dangkan permukaan daun halus (Tabel 2).

Karakteristik daun cabe jawa juga sangat bervariasi bila dilihat dari panjang daun, lebar daun, tebal daun, panjang tangkai daun dan jumlah daun per cabang (Tabel 2).

a. b Gambar 1. Perbedaan bentuk daun ca-

be jawa : a). lanset, dan (b). membulat lebar Figure 1. Difference in leaf shape of Java long piper : (a) oval and (b) wide rounded

Tabel 2. Karakteristik daun cabe jawa di beberapa sentra produksi Table 2. Leaf thickness characteristic of Java long pepper at several production

centers

Karakteristik Daun

Nomor aksesi/

Accession

Number

Daerah asal/ Origion

daun/ Length of

leaf (cm)

Lebar daun/

width of

leaf (cm)

Tebal

daun (mm)/

Thick ness

of leaf

(cm)

Panjang Tangkai

daun/ Length of stem (cm)

Jumlah daun/ cabang/ Number

of leaf

Permu- kaan Daun/ Leaf surface

Peret 01 Piret 02 Piret 03 Piret 04 Piret 05 Piret 06 Piret 07 Piret 08 Piret 09 Piret 10 Piret 11 Piret 12 Piret 13 Piret 14 Piret 15 Piret 16 Piret 17 Piret 18 Piret 19 Piret 20 Piret 21 Piret 22 Piret 23

Bluto 1, Sumemep, Madura Bluto 2, Sumenep Ganding, Sumenep Larangan, Pamekasan Ketapang 1, Madura Ketapang 2, Madura Banyuates, Madura Tanjung bumi, Madura Mantup, Lamongan Sanur 1, Bali Sanur 2, Bali Sanur 3, Bali Sanur 4, Bali Sanur 5, Bali Sangeh Batu Sari 1 Bali Sangeh Batu Sari 2 Bali Sangeh Batu Sari 3 Bali Sangeh TWA Bali Jembrana 1 Bali Jembrana 2 Bali Curoh Nongko 1, Jember Curoh Nongko 2, Jember Paranggupito, Wonogiri

Membulat Membulat Lanset Lanset Lanset Lanset Lanset Lanset Lanset, kecil Lanset Lanset Lanset Lanset Lanset Lanset Lanset Lanset Lanset Lanset Lanset Lanset, kecil Membulat, Lebar Lanset

Hijau tua Hijau tua Hijau tua Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Hujau tua Hijau tua Hijau tua Hijau tua Hijau tua Hijau tua Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau tua Hijau Hijau tua

Halus Halus Halus Halus Halus Halus Halus Halus Halus Halus Halus Halus Halus Halus Halus Halus Halus Halus Halus Halus Halus Halus Halus

Rata-rata 9,57 4,70 0,34 0,84 8,29 Standar devisasi

3,15 1,46 0,19 0,37 2,56 Nilai max

1,72 14,46 Nilai min 4,33 2,35 0,17 0,25 3,95

Wawan Haryudin dan Otih Rostiana : Karakteristik Morfologi Tanaman Cabe Jawa (Piper retrofractum.

Vahl) di beberapa Sentra Produksi

Buah

Bentuk buah cabe jawa cukup beragam : bulat panjang (conical), bulat pendek (globular), panjang pipih (filiform), dan panjang kecil (cylin- dircal) dengan ukuran juga bervariasi (Tabel 3). Perkembangan warna buah cabe jawa : mulai terbentuk berwarna hijau, kemudian berubah menjadi pu- tih kekuningan, hijau, dan kuning ke- merahan. Panen pertama cabe jawa biasanya dilakukan 3 tahun setelah tanam apabila menggunakan sulur panjat, sedangkan kalau menggunakan sulur cacing, panen optimal dilakukan

5 tahun setelah tanam, dengan 3-5 ta- tahap pemetikan dalam satu musim. Penggunaan bahan tanaman dari sulur cacing mengalami dua tahap pemben- tukan sulur, yaitu sulur panjat dan sulur buah, baru kemudian tanaman mulai berbuah. Penggunaan sulur panjat hanya satu tahap pembentukan sulur, yaitu sulur buah.

Dari 23 aksesi cabe jawa yang dikoleksi, karakterisasi buah baru berhasil dilakukan terhadap 9 aksesi. Ketika observasi dilakukan, 14 aksesi lainnya tidak berbuah karena sudah lewat masa panen. Panjang buah cabe jawa antara 2,20-8,24 cm. Karakteristik buah terpendek adalah Piret 15 (2,20 cm) berasal dari Sangeh Bali, dan bu-ah terpanjang Piret 01 (8,24 cm) ber-asal dari Bluto Sumenep. Diameter buah terlebar adalah Piret 23 (0,92 cm) dengan bobot buah basah 150 g, dan bobot kering 35,85 g. Berdasarkan perbandingan bobot buah basah dan kering, Piret 01 mempunyai kepejalan tertinggi, dengan nisbah 3,28 (Tabel 3). Menurut Rostiana et al. (2005), rata-rata nisbah bobot segar terhadap bobot kering buah cabe jawa mencapai 4 : 1 (terendah) dan 3 : 1 (tertinggi).

Tabel 3. Karakterisasi buah cabe jawa beberapa sentra produksi Table 3. Fruit characteristic of Java long pepper at several production centers

Aksesi/ Accession

Daerah asal/ Origin

Panjang

buah/ Length of Fruit

(cm)

Diameter

buah/ Diameterof

fruit (cm)

Bobot buah basah /100 bh/

Fresh weight

of 100 fruits

(g)

Bobot buah kering/100 bh/ Dry weight of

100 fruits (g)

Nisbah bobot basah/kering

buah/Ratio of fresh and dry

weights (g)

PIRET 01 PIRET 03 PIRET 04 PIRET 09 PIRET 10 PIRET 15 PIRET 19 PIRET 20 PIRET 23

Bluto 1 Ganding Larangan Lamongan Sanur 1 Sangeh Batu Sari 1` Jembrana Jembrana buah kuning Wonogiri

Tingkat kesamaan antar aksesi yang sudah terkumpul dianalisis dengan sidik gerombol (analisis cluster) berdasarkan karakter batang, daun, dan buah. Dendogram menun- jukan bahwa tingkat kesamaan antar aksesi berkisar 26,29-77,39. Aksesi yang dianalisis terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok I dan

II dengan tingkat kesamaan yang ber- variasi. Kelompok I terbagi menjadi dua sub kelompok, yaitu sub kelom- pok 1 yang beranggotakan Piret 1 (26,20), Piret 2 (55,37), Piret 3 (57,61), dan sub kelompok 2 terbagi menjadi dua sub sub yang lebih kecil, terdiri 14 aksesi yaitu Piret 4 (65,22), Piret 5 (70,39), Piret 6 (72,11), Piret 7 (72,92), Piret 8 (76,07), Piret 15 (80,60), Piret

16 (81,92), Piret 17 (84,01), Piret 18 (85,12), Piret 19 (85,64), Piret 20 (89,19), Piret 21 (89,51), Piret 22

(92,09), dan Piret 23 (77,39). Kelom- pok II terbagi menjadi dua sub kelom- pok, yaitu sub kelompok 1 yang beranggotakan Piret 9 (76,13), Piret

10 (76,49), Piret 11 (77,39) yang memiliki jarak yang sama, dan sub kelompok 2 beranggotakan Piret 12 (77,82), Piret 13 (78,23), dan Piret 14 (80,06) yang memiliki jarak yang sama (Gambar 2).

Hasil penelitian menunjukan bahwa tanaman cabe jawa yang dika- rakterisasi berdasarkan morfologi daun, batang, dan buah dapat dibe- dakan dalam dua kelompok besar, dengan tingkat kesamaan yang ber- variasi antara 26,29 sampai 92,09. Tingkat kesamaan tertinggi terdapat pada Piret 22 sekitar 92,09 dengan daerah asal Curah Nongko 2 (Jember), dan tingkat kesamaan terendah ter- dapat pada Piret 1 sekitar 26,29 dengan daerah asal Bluto 1 Madura (Tabel 4).

Gambar 2. Dendogram 23 aksesi cabe jawa berdasarkan karakter morfologi daun, batang, dan buah Figure 2. Dendogram of 23 a Java long pepper accessions based on leaf, stem, and fruit morphology Keterangan/Note : 1–23: Piret 1, Piret 2, Piret 3, Piret 4, Piret 5, Piret 6, Piret 7, Piret 8, Piret 9,

Piret 10, Piret 11, Piret 12, Piret 13,Piret 14, Piret 15, Piret 16, Piret 17, Piret

18, Piret 19, Piret 20, Piret 21, Piret 22, dan Piret 23

Observasi/Observations

Kekerabatan/Similarity

Wawan Haryudin dan Otih Rostiana : Karakteristik Morfologi Tanaman Cabe Jawa (Piper retrofractum. Vahl) di beberapa Sentra Produksi

KESIMPULAN

Nuryani, Y. 1996. Klasifikasi dan karak- terisasi tanaman lada (Piper nigrum

Morfologi daun, buah, batang, L.). Monograf Tanaman Lada No. 1 : dan cabang aksesi cabe jawa mem-

punyai karakter yang bervariasi. Namun karakter pembeda utama Rostiana, O., A. Abdullah, W. Haryudin, tanaman cabe jawa adalah bentuk daun

dan S. Aisyah. 1994. Eksplorasi, dan buah. Tanaman cabe jawa dapat

karakterisasi, evaluasi, dan peles- dibedakan dalam dua kelompok besar

tarian plasma nutfah tanaman obat. yaitu kelompok I dan II. Karakter yang

Koleksi dan Karakterisasi Plasma membedakan kedua kelompok tersebut

Nutfah Pertanian. Review Hasil dan adalah tingkat kesamaan tanaman

Program Penelitian Plasma Nutfah berdasarkan karakter morfologi batang,

Pertanian, Bogor. 193-208. daun dan buah. Kelompok I mempu- Rostiana, O., SMD. Rosita, W, nyai tingkat kesamaan berkisar antara

Haryudin, B. Martono, M. Raharjo, 20,20-80,06, sedangkan kelompok II

Hernani, S. Aisyah, dan Nasrun. antara 76,13-80,06. Tingkat kesamaan

2005. Karaterisasi cabe jawa dan tertinggi terdapat pada Piret 22 (92,09)

purwoceng, seleksi pohon induk, dan dan terendah pada Piret 1 (26,29).

efisiensi pemupukan cabe jawa di

DAFTAR PUSTAKA

sentra produksi. Laporan Teknis Penelitian 2004. Buku II : 95-127.

Burkill, I.H. 1935. A dictionary of the

Balittro.

economic products of the Malay Peninsula. Vol. II (i-z) : 1752.

Rostiana, O., SMD. Rosita, H. Muhamad, Hernani, S. F. Syahid, D.

Januwati, M., M. Syai, dan M. Nasir. Surachman, dan Nasrun. 2003. Eks- 2000. Budidaya tanaman cabe jawa

plorasi potensi purwoceng dan cabe (Piper retrofractum Vahl.). Direktorat

jawa serta perbaikan potensi genetic Aneka Tanaman. hal. 2.

menunjang industri obat tradisional Kemala, S., Sudiarto, E. Rini P., J.T.

afrodisiak. Laporan Akhir Tahun Yuhono, M. Yusron, L. Mauludi, M.

2002, Balittro Bogor (Tidak Raharjo, B. Waskito, dan H.

dipublikasi).

Nurhayati. 2003. Serapan, pasokan Sa’roni, W. Winarto, M. Adjirni, dan B. dan pemanfaatan tanaman obat di

Nuratmi. 1992. Beberapa penelitian Indonesia. Laporan Teknis Penelitian

efek farmakologi cabe jawa pada Tanaman Rempah dan Obat (II). hal.

hewan percobaan. Warta TOI 1 (3) : 187-247.

1-3.

Mardjodisiswojo dan Sudarso. 1975. Sampurno. 2003. Kebijakan pengem- Cabe puyang warisan nenek moyang

bangan jamu/obat tradisional/obat

I. Karya Wreda. Jakarta. hal. 238. herbal Indonesia. Makalah pada Seminar dan Pameran Nasional POKJANAS TOI. Jakarta, 25-26

Maret 2003.

Wawan Haryudin dan Otih Rostiana : Karakteristik Morfologi Tanaman Cabe Jawa (Piper retrofractum. Vahl) di beberapa Sentra Produksi

Wahid, P. 1996. Identifikasi tanaman daerah Lamongan dan Sumenep. lada. Monograf Tanaman Lada No 1:

Prosiding Seminar Nasional XIX 27-32.

Tumbuhan Obat Indonesia, Bogor, 4-5 April 2001. 343-346.

Yuliani, S., Anggraeni, dan Tritianingsih. 2001. Analisis mutu cabe jawa dari

ANALISIS FITOKIMIA DAN PENAMPILAN POLAPITA PROTEIN TANAMAN PEGAGAN (Centella asiatica) HASIL KONSERVASI IN VITRO

Natalini Nova Kristina **) , Edy Djauhari Kusumah , dan

Putri Karina Lailani **)

*) Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik

**) Institut Pertanian Bogor

ABSTRAK

kan adanya 2 pita protein yang dominan dengan masing-masing bobot molekul 53,7

Pegagan (Centella asiatica) merupa-

Kda dan 31 Kda.

kan salah satu tanaman obat yang digunakan untuk mengatasi pikun dan juga sebagai bahan

Kata kunci : Centella asiatica, pegagan, konservasi in industri farmasi, kosmetika, suplemen makanan

vitro, fitokimia, pola pita protein dan minuman. Tanaman ini telah dikonservasi

ABSTRACT

secara in vitro dan telah memasuki usia kultur lima tahun. Selama masa periode tersebut

Phytochemical Analyses and Protein

terlihat ada perubahan pada penampilan kultur.

Banding Pattern of Gotuloca (Centella

Untuk itu tanaman hasil konservasi in vitro

asiatica) from In Vitro Conservation

tersebut dikeluarkan dari botol kultur dan di aklimatisasi di rumah kaca. Penelitian ber-

Gotuloca (Centella asiatica) is one of tujuan untuk melihat kandungan fitokimia dan

medicinal plants which is usually applied for pola pita protein tanaman tersebut dibanding-

Alzheimer disease and raw materials for kan dengan tanaman induknya yang berasal

pharmaceutical, cosmetics, food and drink dari kebun percobaan Cimanggu. Sampel daun

supplements industries. Gotuloca used in this pegagan in vitro dan yang tumbuh di lapang

experiment had been conserved and main- diekstrak untuk analisis fitokimia alkaloid, tained in vitro for about 5 years. During the flavanoid, saponin, dan triterpenoid berdasar-

culture period, the appearance of gotuloca kan metode Harbone (1987). Kadar protein

culture had changed. Therefore, gotuloca ditentukan dengan menggunakan metode plantlets were then acclimatized in the green Lowry dan pola pita protein ditentukan ber-

house. This research was conducted to find dasarkan hasil elektroforesis dengan gel poli-

out the phytochemical compound and protein akrilamida. Hasil penelitian menunjukkan banding patterns of conserved gotuloca as bahwa kandungan metabolit sekunder pegagan

compared to their mother plant. Phytoche- in vitro berbeda dengan tanaman induk yang

mical analysis (alkaloids, flavonoid, saponin, tumbuh di lapang. Pegagan asal in vitro

and triterpenoid) was performed according to menghasilkan tannin dan alkaloid positif (2+)

Harbone (1987). Meanwhile, protein content saponin positif kuat (3+) serta ditemukan was determined according to Lowry and the steroid dengan kandungan positif kuat sekali

banding patterns were compared depending (4+). Sementara pada tanaman pegagan lapang,

upon their electrophoresis separation by kandungan metabolit sekunder tannin, alkaloid,

using polyacrylamide gel. Leaves sample from dan flavonoid positif kuat (3+), saponin, tanin,

both of conserved gotuloca showed that, dan triterpenoid kuat sekali (4+), tetapi tidak

secondary metabolites of in vitro conserved ditemukan steroid. Konsentrasi protein total

gotuloca plants were different from their pada pegagan asal in vitro 17,092 µg/mL lebih

mother plants in order of positive (2+) of tinggi dibandingkan dengan di lapang 8,559

tannin and alkaloids contents, strongly µg/mL. Pola pita protein asal in vitro lebih

positive (3+) of tannin, and positively very tebal daripada yang di lapang dan menunjuk-

strong (4+) for saponin, tannin and triterpenoid, nevertheless no steroid was observed. Concentration of total protein in in

Natalini Nova Kristina et al. : Analisis Fitokimia dan Penampilan Polapita Protein Tanaman Pegagan

Hasil Konservasi In Vitro

vitro conserved gotuloca was found to be higher (17.092 µg/mL) than that of their mother (8.559 µg/mL). Moreover, thicker banding patterns were also found in in vitro conserved plants, with two dominant protein banding patterns of 53.7 and 31 Kda molecular, weights respectively.

Key words : Centella asiatica, gotuloca, in vitro conser- vation, phytochemistry, protein banding patterns

PENDAHULUAN

Pegagan (Centella asiatica) merupakan salah satu tanaman dari famili Umbeliferae yang sejak dulu telah digunakan sebagai obat kulit dan sebagai lalapan yang dikonsumsi dalam bentuk segar maupun direbus (van Steenis, 1997). Tanaman ini juga di- gunakan untuk meningkatkan ketahan- an tubuh (panjang umur), membersih- kan darah, dan memperbaiki gangguan pencernaan. Pegagan mempunyai rasa manis dan bersifat sejuk, dengan kan- dungan bahan kimia yang terdapat di dalamnya adalah asiatikosida, madeko- sida, brahmosida, tannin, resin, pectin, gula, vitamin B (Santa dalam Wahjoedi dan Pudjiastuti, 2006), garam mineral seperti kalium, natrium, magnesium, kalsium, besi, fosfor, minyak atsiri, pektin dan asam amino (Santa dan Bambang, 1992 dalam Wahjoedi dan Pudjiastuti, 2006). Efek farmakologis pegagan di antaranya ialah anti infeksi, anti racun, penurun panas, peluruh air seni, anti lepra, dan anti sipilis. Daun pegagan berguna juga sebagai astri- gensia dan tonikum. Pegagan juga di- kenal untuk revitalitas tubuh dan otak yang lelah serta untuk kesuburan wanita. Di Australia, pegagan diguna- kan sebagai anti pikun dan stress (Januwati dan Yusron, 1994).

Pegagan merupakan tanaman herba tahunan yang tumbuh di daerah tropis dan berbunga sepanjang tahun. Bentuk daunnya bulat seperti ginjal manusia, batangnya lunak dan beruas, serta menjalar hingga mencapai satu meter. Pada tiap ruas tumbuh akar dan daun dengan tangkai daun panjang sekitar 5–15 cm dan akar berwarna putih, dengan rimpang pendek dan stolon yang merayap dengan panjang 10–80 cm (van Steenis, 1997). Tinggi tanaman berkisar antara 5,39–13,3 cm, dengan jumlah daun berkisar antara 5– 8,7 untuk tanaman induk dan 2–5 daun pada anakannya (Bermawie et al., 2008).

Perbanyakan secara in vitro pada tanaman pegagan asal Kebun Percobaan Cimanggu Balittro telah berhasil dilakukan dengan mengguna- kan media tumbuh MS + BA 0,1 mg/l (Kristina et al., 2000) dan telah ber- hasil dikonservasi secara in vitro selama 5 tahun. Memasuki masa ter- sebut terlihat adanya perubahan penampilan tanaman sehingga dilaku- kan aklimatisasi plantlet di rumah kaca. Secara morfologi tidak memper- lihatkan adanya perubahan penam- pilan dari plantlet hasil in vitro ter- sebut sehingga dilakukan uji lanjutan untuk melihat kandungan fitokimia- nya. Pada tanaman daun encok (Plumbago zeylanica) hasil konservasi in vitro, kandungan kimia alkaloid (4+), flavonoid (1+), dan steroid (3+) tanaman hasil kultur in vitro lebih tinggi bila dibandingkan dengan alkaloid (2+), flavonoid (-), dan steroid (-) tanaman induknya (Syahid dan Kristina, 2008).

Kemampuan diferensiasi sel poli-akrilamid yang bersifat transpa- tanaman dan reaksi kimia yang ran dan dapat dipindai pada daerah menyertainya (antara lain aktivitas sinar tampak maupun UV, juga dapat enzim), akan menyebabkan perbedaan diper-oleh resolusi yang lebih baik metabolit yang terbentuk. Kedua hal dan ukuran pori medium dapat diatur tersebut akan membedakan peng- berdasarkan perbandingan konsentrasi golongan senyawa kimia yang ada akrilamid yang digunakan. Pada me- dalam organisme/tanaman (Darusman, dium poliakrilamid pengaruh arus 2003).

konveksi dapat dikurangi sehingga Tanaman yang dikonservasi se- pemisahan komponen menjadi sem- cara in vitro secara periodik mendapat- purna dan pita-pita yang terbentuk kan asupan bahan kimia yang diberikan menjadi lebih jelas. Poliakrilamid pada media kultur. Untuk itu dilakukan merupakan medium yang bersifat inert uji fitokimia, yang dilakukan berdasar- sehingga tidak bereaksi dengan sam- kan metode Harbone (1987) dengan pel dan tidak terjadi ikatan antara mengidentifikasi alkaloid, tannin, sampel dan matrik (Andrews, 1986). flavonoid, saponin, steroid, dan triter-

Pada tanaman gandarusa penoid.

(Justicia gendarussa Burm. F) yang Selain penampilan morfologi, diberi pupuk kandang dan humus, dan kandungan bahan aktif, kemung- hasil analisis protein (dengan meng- kinan timbulnya perubahan pada gunakan SDS-PAGE), menunjukkan tanaman hasil in vitro dapat diidentifi- bahwa sampel (yang diberi pupuk kasi dengan cara analisis protein. Pro- kandang, humus, dan pupuk anor- tein merupakan komponen utama dan ganik) memperlihatkan terlihat pola berperan penting dalam suatu tanaman. pita protein dengan berat molekul ± Selain itu, protein dapat digunakan 56,05 kDa dan ± 15,70 kDa, dan pada sebagai identifikasi tanaman secara sampel tanpa pupuk, pita protein farmakogenetik.

dengan berat molekul ± 27,0 kDa Perubahan yang terjadi pada (Aryanti, 2007). Penelitian ini ber- kultur dapat juga dilihat dari struktur tujuan untuk melihat kandungan fito- protein tanaman. Analisis ini lebih kimia dan penampilan pola pita pro- murah bila dibandingkan dengan ana- tein pegagan hasil konservasi in vitro lisis DNA. Oleh karena itu elektro- yang telah diaklimatisasikan dan foresis dengan metode gel poliakri- dibandingkan dengan induknya yang lamid dengan buffer sodium dedosil tumbuh di lapang. sulfat (Sodium Dedocyl Sulphate – PolyAcrylamide Gel Electrophorisis/

BAHAN DAN METODE

SDS-PAGE) merupakan salah satu tek- Penelitian dilakukan mulai nik yang dapat digunakan untuk meng- Juni - November 2007 di rumah kaca

identifikasi pola pita protein tanaman. Plasma Nutfah dan Pemuliaan, Labo- Teknik ini dinilai lebih menguntungkan ratorium Terakreditasi Balai Peneli- daripada elektroforesis kertas dan gel tian Tanaman Obat dan Aromatik pati, karena media penyangga yang serta di Laboratorium Bioteknologi digunakan dalam SDS-PAGE yaitu gel LRPI Bogor. Bahan yang digunakan

Natalini Nova Kristina et al. : Analisis Fitokimia dan Penampilan Polapita Protein Tanaman Pegagan

Hasil Konservasi In Vitro

adalah daun segar tanaman pegagan tersebut didinginkan kemudian diko- hasil konservasi in vitro selama lima cok selama ± 10 menit dan bila me- tahun dan telah ditumbuhkan di rumah nimbulkan busa menunjukkan adanya kaca pada media tanah + pupuk saponin. Uji triterpenoid dan steroid kandang. Sebagai pembanding diguna- satu gram daun ditambahkan 2 ml kan daun segar dari tanaman induk etanol lalu dipanaskan dan disaring. yang tumbuh di Kebun Percobaan Filtratnya diuapkan kemudian ditam- Cimanggu, Balai Penelitian Tanaman bahkan dengan eter. Lapisan eter di- Obat dan Aromatik.

tambahkan dengan pereaksi Lieber- Tahapan penelitian meliputi : men Burchard (3 tetes asetat anhidrat uji fitokimia, penentuan kadar protein dan 1 tetes H 2 SO 4 pekat). Warna dan analisis pola pita menggunakan merah atau ungu yang terbentuk SDS-PAGE. Uji fitokimia meliputi uji menunjukkan adanya triterpenoid dan alkaloid, saponin, triterpenoid, steroid, warna hijau menunjukkan adanya dan kandungan asiaticosid.

steroid. Uji tannin : lima gram daun ditambahkan air kemudian dididihkan

Analisis fitokimia

selama beberapa menit. Disaring dan Analisis fitokimia dilakukan filtrat ditambahkan dengan 3 tetes

berdasarkan Harbone (1987). Iden- FeCl 3 . Warna biru tua atau hitam tifikasi yang dilakukan adalah uji kehijauan yang terbentuk menunjuk- alkaloid, tannin, flavonoid, saponin, kan adanya tanin. steroid, dan triterpenoid. Pada uji

Daun sampel diambil dari alkaloid, satu gram daun digerus dan tanaman pegagan hasil konservasi in

ditambahkan 1,5 ml kloroform dan 3 vitro yang diperbanyak dalam 100 tetes amoniak. Fraksi kloroform dipi- polibag berukuran 25 x 25 cm di sahkan dan diasamkan dengan 5 tetes rumah kaca.

H 2 SO 4 2M. Fraksi asam dibagi menjadi

3 tabung kemudian masing-masing di- Analisis kandungan protein

tambahkan pereaksi Dragendorf, Analisis kandungan protein di- Meyer dan Wagner. Adanya alkaloid lakukan berdasarkan metode Lowry ditandai dengan terbentuknya endapan (Kennison, 1990), menggunakan putih pada pereaksi Meyer, endapan sampel dari daun pegagan yang telah merah pada pereaksi Dragendorf, dan diekstraksi. Sampel daun berasal dari endapan coklat pada pereaksi Wagner.

5 tanaman pegagan hasil konservasi in Uji flavonoid : 0,5 g daun ditambahkan vitro yang telah diperbanyak di rumah dengan metanol sampai terendam lalu kaca. Ekstraksi protein : daun pegagan dipanaskan. Filtrat ditambahkan hasil kultur in vitro dan dari lapang

dengan 5 tetes H 2 SO 4 . Terbentuknya ditimbang berturut-turut sebanyak warna merah karena penambahan 1,027 g dan 1,096 g. Daun tersebut

H 2 SO 4 menunjukkan adanya senyawa digerus dengan penambahan nitrogen flavonoid. Uji saponinm : 0,5 g daun cair pada mortar. Pasta dari kedua ditambahkan air secukupnya dan dipa- sampel daun tersebut dimasukkan ke naskan selama lima menit. Larutan dalam tabung sentrifuse yang telah

Elektroforesis SDS-PAGE

HASIL DAN PEMBAHASAN analisis protein adalah ekstraksi protein Analisis fitokimia

Tahapan yang dilakukan untuk

daun pegagan, pembuatan gel, dan elektroforesis.

Hasil analisis fitokimia Larutan separating gel dibuat menunjukkan bahwa kandungan alka-

dengan menggunakan bahan pereaksi loid, saponin, tanin, flavonoid dan 3,35 ml Aquades (H 2 O); 2,5 ml Tris- triterpenoid pegagan di lapang lebih HCl 1,5 M pH 8,8; 0,1 ml SDS 10%; 4 kuat daripada tanaman pegagan hasil ml akrilamid; 0,05 ml Amonium Per- in vitro. Tetapi pegagan hasil kultur in sulfat (APS) 10%, dan 0,008 ml vitro menghasilkan steroid yang posi- TEMED. Larutan stacking gel dibuat tif kuat sekali yang tidak dihasilkan dengan menggunakan 2,95 ml Aquades dari pegagan yang tumbuh di lapang

(H 2 O); 1,25 ml Tris HCl 1,5 M pH 8,8; (Tabel 1). Tingginya kadar saponin, 9,05 ml SDS 10%; 0,05 ml APS 10%, tanin, dan glikosida pada tanaman dan 0,008 ml TEMED.

pegagan hasil penelitian ini sama Elektroforesis protein dilakukan dengan hasil penelitian Bermawie et

menurut metode Andrews (1986). al. (2008), yang juga mendapatkan Masing-masing sampel sebanyak 30 kadar 4+ untuk alkaloid, saponin, µL dengan konsentrasi 1.000, 5.000, tanin, dan glikosida dari 16 aksesi dan 8.000 µL dimasukkan ke dalam pegagan koleksi Balittro. Perbedaan sumur. Deteksi protein pada gel dila- terlihat pada kandungan fenolik, fla- kukan dengan pewarnaan coomasie vonoid, steroid dan triterpenoid. Di- blue selama semalam dan digoyang duga karena aksesi pegagan yang di- menggunakan shaker. Larutan pewarna gunakan berbeda. Pada hasil pene-

litian Bermawie et al. (2008) tidak 45,5%, asam asetat 9%, dan 0,09% menemukan adanya fenolik, semen-

terdiri dari Metanol 45,5%; H 2 O

Coomasiee Blue R 250. Penyimpanan tara hasil penelitian ini menunjukkan gel dilakukan dengan merendam gel adanya fenolik baik tanaman hasil in pada larutan asam asetat 7% dan vitro maupun yang tumbuh di lapang. pengeringan serta pengawetan gel dila- Pramono (1992) menyatakan kan- kukan dengan selofan dan dibiarkan dungan fenolik pada tanaman pega- semalam di ruang dingin.

gan merupakan penyusun tanin.

Natalini Nova Kristina et al. : Analisis Fitokimia dan Penampilan Polapita Protein Tanaman Pegagan

Hasil Konservasi In Vitro

16

Triterpenoid yang memiliki efek terapeutik pada tanaman pegagan yang tumbuh di lapang memiliki kadar 4+, tetapi pada tanaman pegagan hasil kultur jaringan 1+. Tingginya kandung- an triterpenoid sejalan dengan hasil penelitian Rachmawaty (2005), yang mendapatkan kandungan triterpenoid pegagan 4+. Menurut Mantell dan Smith (1983), pada umumnya kan- dungan metabolit sekunder tanaman hasil kultur in vitro lebih rendah. Hal ini terjadi karena banyak faktor yang mempengaruhi produksi metabolit sekunder melalui kultur jaringan, antara lain ekspresi metabolit sekunder dipengaruhi oleh asal eksplan, kompo- sisi media, jenis kultur, macam dan konsentrasi zat pengatur tumbuh (Santoso dan Nursandi, 2001).

Pegagan hasil konservasi in vitro mengandung steroid 4+, semen- tara pegagan di lapang tidak meng- hasilkan steroid. Tingginya kadar ste- roid diduga karena sampel pegagan in vitro yang digunakan telah dikulturkan selama lima tahun, sehingga men- dapatkan asupan unsur hara, zat pengatur tumbuh, intensitas cahaya, dan kelembapan yang jauh berbeda dengan tanaman induknya yang tum- buh di lapang. Selain itu pegagan hasil in vitro ditumbuhkan pada kondisi rumah kaca yang tidak mendapatkan intensitas cahaya penuh karena men- dapatkan naungan 50%. Hal ini sejalan dengan pernyataan Vickery and Vickery (1981) bahwa steroid pada pegagan merupakan glikosida triterpenoid. Pembentukan steroid memerlukan kecukupan hara dan intensitas cahaya yang lebih rendah.

Tabel 1. Kandungan fitokimia tanaman pegagan hasil in vitro dan yang tumbuh di lapang Table 1. Phytochemical contents of Centella asiatica derived from in vitro and the field

No Senyawa Pegagan in vitro Pegagan di lapang

Keterangan/Note : - = Negatif/negative

+ = Positif/weak positive

*) = Tidak dianalisis/not analysed

Uji lanjutan perlu dilakukan Kandungan protein

untuk melihat apakah perubahan ini Kandungan protein hasil kultur menetap pada tanaman hasil kultur in in vitro lebih tinggi dibandingkan vitro, dengan cara penanaman kembali dengan yang dari lapang (Tabel 2). di lapang berulang-ulang. Bila per- Menurut Pramono (1992), kandungan ubahan ini menetap, maka per- nutrisi tiap 100 g daun pegagan adalah banyakan tanaman pegagan hasil kultur

34 kalori; 89,3 g air; 1,6 g protein; 0,6 in vitro akan diarahkan pada tanaman

g lemak; 6,9 g karbohidrat; 2,0 g serat; penghasil kadar steroid tinggi bukan 1,6 g abu; 170 mg kalsium; 30 mg pada penghasil kadar triterpenoid fosfor; 3,1 mg besi; 414 mg kalium; (asiaticosid). 6580 µg beta-karoten; 0,15 mg Perlu pengujian lanjutan untuk tiamina; 0,14 mg riboflavin; 1,2 mg mengetahui jenis steroid yang di- niasin, dan 4 mg asam askorbat. hasilkan oleh tanaman pegagan hasil in

vitro. Asiaticosid yang merupakan Tabel 2. Kadar protein total tanaman glikosida triterpenoid, pada tanaman

pegagan asal in vitro dan pegagan hasil in vitro terdeteksi dengan

lapang umur panen 9 bulan kadar 0,99% (Tabel 1). Bermawie et al. Table 2. Total protein contents of (2005), menyatakan pegagan asal

Centella asiatica derived Cimanggu yang ditanam secara kon-

from in vitro and the field, vensional mengandung 1,76% asia-

9 months harvested ticosid. Lebih lanjut Bermawie et al.

Kadar protein/ (2008), menyatakan kadar asiaticosid

Jenis sampel/

Protein content

16 aksesi pegagan koleksi Balittro

Sample

(µg/ml) berkisar antara 0,15–1,49%. Lebih jauh

dinyatakan budidaya, kondisi ling-

17,092 kungan tumbuh, varietas pegagan, dan

In vitro

Lapang 8,559 teknik analisis kemungkinan berperan

terhadap terdekteksi tidaknya senyawa Tingginya kadar protein pada kimia pada pegagan.

sampel daun pegagan hasil kultur in

Bila dilihat dari syarat bahan vitro diduga karena, selama masa lima baku pegagan untuk industri obat tahun periode kultur setiap kali sub- tradisional menurut Musyarofah kultur eksplan mendapat asupan unsur (2006), minimal harus mengandung hara pada media. Menurut Bajaj (1992 tanin 3+, flavonoid 2+, steroid 1+, dalam Rostiana, 2007), berbagai triterpenoid 2+; maka pegagan hasil perubahan dapat terjadi selama kultur kultur in vitro dapat memenuhi per- in vitro, mulai dari penampilan syaratan tersebut, bila ditanam sesuai morfologi, sifat genetik, atau epige- dengan SOP pegagan, karena pegagan netik, kariotik, fisiologis, biokimia, hasil in vitro yang digunakan dalam dan tingkat molekuler lainnya, penelitian ini ditanam belum mengikuti sehingga menimbulkan perubahan SOP yang baku.

biokimia tanaman.

Natalini Nova Kristina et al. : Analisis Fitokimia dan Penampilan Polapita Protein Tanaman Pegagan

Hasil Konservasi In Vitro

Unsur hara makro (N, K, S, P, Ca dan Mg), mikro (Fe, Mo, Zn, Mn, Cl), vitamin (thiamin, piridoksin, bio- tin, dan lain-lain), asam amino dan karbohidrat yang secara rutin diberikan pada media untuk konservasi pegagan. Unsur-unsur tersebut pada proses foto- sintesis membentuk protein dan asupan protein ini cukup tinggi karena setiap tahunnya, eksplan pegagan mengalami 2-3 kali subkultur dan hal ini terus berlangsung selama lima tahun.

Elektroforesis/SDS-PAGE

Gambar 1. Pola pita protein pegagan Dari hasil analisis SDS-PAGE,

asal in vitro dan lapang tidak terlihat adanya perbedaan pola

berdasarkan hasil elektro- pita protein pegagan hasil in vitro

foresis menggunakan gel ataupun dari tanaman induk yang di

poliakrilamid (SDS- lapang. Hasil ini sejalan dengan

PAGE) pengamatan morfologi tanaman pega- Figure 1. Protein banding patterns of gan hasil in vitro yang tidak memper-

Centella asiatica from in lihatkan perubahan bentuk daun bila

vitro and field based on dibandingan dengan tanaman induknya

SDS-PAGE electrophoresis (Kristina dan Surachman, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa penyimpanan Keterangan/Note : pegagan secara in vitro sampai periode M = Protein standar/standard protein

1,2, 3 = in vitro dengan konsentrasi sampel

kultur lima tahun, tidak memperlihat-

1,000 µg/ml/in vitro with 1.000 µg/ml

kan adanya perbedaan pola pita,

sample concentrations

sehingga teknik konservasi secara in

3 = in vitro dengan konsentrasi sampel

vitro dapat tetap dilanjutkan walaupun

5,000 µg/ml/in vitro with 5.000 µg/ml

secara visual terlihat perubahan bentuk

sample concentrations 4 = in vitro dengan konsentrasi sampel

eksplan.

8,000 µg/ml/ in vitro with 8.000 µg/ml

Penebalan pita protein dari

sample concentrations

tanaman hasil kultur in vitro nampak

5 = lapang dengan konsentrasi sampel

jelas dan berbeda dengan tanaman yang

1,000 µg/ml/in the field with 1.000

tumbuh di lapang. Penebalan pita

µg/ml sample concentrations 6 = lapang dengan konsentrasi sampel

dominan terlihat pada bobot molekul

5,000 µg/ml/in the field with 5.000

53,7 dan 31 Kda (Gambar 1).

µg/ml sample concentrations

7 = lapang dengan konsentrasi sampel

8,000 µg/ml/in the field with 1.000

µg/ml sample concentrations

KESIMPULAN DAN SARAN

Undergraduate Thesis dari JIPTUNAIR /2007-01-09 10:26:40.

Penyimpanan pegagan secara in http://adln.lib.unair.ac.id/ , 10 Juni vitro selama 5 tahun menimbulkan

perubahan kandungan kimia, yang di- dukung dengan perbedaan kadar pro- Bermawie, N., M. Ibrahim, SD dan tein serta adanya 2 pita yang meng-

Ma’mun. 2005. Karakteristik mutu alami penebalan. Kandungan metabolit

aksesi pegagan (Centella asiatica sekunder pegagan in vitro berbeda

L.). Prosiding Seminar Nasional TOI dengan tanaman induk yang tumbuh di

XXVII, Surabaya, 15-16 Maret lapang. Pegagan in vitro menghasilkan

2005. Balai Materia Medica. Dinkes kadar tanin, saponin, alkaloid dan

Prop. Jatim. hal. 259-264. triterpenoid kuat (2+) dan positif kuat Bermawie, N., S. Purwiyanti, dan (3+) serta steroid positif kuat sekali

Mardiana. 2008. Keragaan sifat (4+). Sementara pada tanaman pegagan

morfologi, hasil dan mutu plasma lapang baik kandungan tannin, saponin,

nutfah pegagan (Centella asiatica alkaloid dan triterpenoid positif kuat

(L.) Urban.). Bul. Littro. XIX (1): 1- (3+) dan positif kuat sekali (4+), tetapi

steroid tidak ditemukan (-). Kadar protein total pada pegagan asal in vitro Darusman, L. K. 2003. Good agricultural (17,092 µg/mL), lebih tinggi diban-

practices (GAP) dalam budidaya dingkan dengan di lapang (8,559 µg/

tanaman obat sebagai upaya meng- mL), namun pola pita proteinnya tidak

hasilkan simplisia terstandar. berbeda tetapi terjadi penebalan pada 2

Prosiding Seminar dan Pameran pita protein dominan dengan bobot

Nasional Tumbuhan Obat Indonesia molekul masing-masing 53,7 Kda dan

XXVIII. Fak. Farmasi Univ.

31 Kda pada tanaman asal in vitro. Pancasila. Jakarta 25-26 Maret. hal. Perlu dilakukan uji lanjutan untuk

21-35.

mengklarifikasi apakah perubahan kan- Harbone, IB. 1987. Metode Fitokimia. dungan metabolit sekunder menetap

Penterjemah : ITB Bandung, ter- pada tanaman pegagan asal in vitro,

jemahan dari Dictionary of Natural dengan marka DNA dan analisis kom-

Product. 354 hal.

ponen kimia. Januwati, M. dan M. Yusron. 2004.

DAFTAR PUSTAKA

Standard Operasional, Budidaya Pegagan, Lidah Buaya, Sambiloto

Andrews, AT. 1986. Electrophoresis : dan Kumis Kucing. Circular No. 9. Theory, Techniques, and Bioche- Bogor. Balittro. hal. 1-6. mical, and Clinical Application. 2 nd

ed. New York Oxford University Kennison, J.A. 1990. Methods is Press. pp. 20 and 126.

Enzymology. Vol. 182. Guide to protein purification. (Ed.) M.P.

Aryanti, N. 2007. Pengaruh jenis pupuk Deutsher. Academic Press, San terhadap profil protein daun Justicia

Diego. 894 p.

gendarussa Burm. F. : Analisis dengan Metode Elektroforesis.

Natalini Nova Kristina et al. : Analisis Fitokimia dan Penampilan Polapita Protein Tanaman Pegagan

Hasil Konservasi In Vitro

Kristina, N.N., N. Sirait dan D. bakteri. Perkembangan Teknologi Surachman. 2000. Multiplikasi tunas

Tanaman Rempah dan Obat, XIX dan penyimpanan tanaman obat

(2) : 77-100.

pegagan secara in vitro. Jurnal Ilmiah Santoso, U. dan F. Nursandi. 1998. Pertanian Gakuryoku. VI (1) : 20-22. Induksi kalus & embriosomatik

Kristina, N.N. dan D. Surachman. 2008. Phalaenopsis amboinensis J.J. Smith Multiplikasi tunas dan aklimatisasi

dari akar dan daun melalui kultur in pegagan (Centella asiatica L.)

vitro. Tropika : v. 6 (2), 1998. pp. periode kultur lima tahun. Jurnal

142-149.

Littri 14 (1) : 30-35. Syahid, S.F. dan N.N. Kristina. 2007. Musyarofah, N. 2006. Respon Tanaman

Induksi dan regenerasi kalus keladi Pegagan (Centella asiatica L. Urban),

tikus (Typonium flagelliformae Terhadap Pemberian Pupuk Alami di

Lodd.) secara in vitro. Jurnal Littri Bawah Naungan. Tesis Fakultas

13 (4) : 142-146.

Pasca Sarjana, IPB. 83 hal. Syahid, S.F. dan N.N. Kristina. 2008.

Pierik, R.L.M. 1987. In Vitro Culture of Multiplikasi tunas, aklimatisasi dan Higher Plants. Martinus Nijhoff Pub.

analisis mutu simplisia daun encok 344 p.

(Plumbago zeylanica L.) asal kultur Pramono, S. 1992. Profil kromatogram

in vitro periode panjang. Buletin ekstrak herba pegagan yang berefek

Littro XIX (2) : 117-128. antihipertensi. 1992. Warta TOI Vol 1 Van Steenis, C.G.G.J. 1997. Flora.

(2) : 37-38. Moeso Surjowinoto, Penerjemah. Jakarta. Pradnya Paramitha. hal. 324.

Racmawaty, R.Y. 2005. Pengaruh

Naungan dan Jenis Pegagan (Centella Vickery, M.L. and B. Vickery. 1981. asiatica (L.) Urban.) Terhadap Per-

Secondary plant metabolism. The tumbuhan Produksi dan Kandungan

Macmillan Press LTD. 335 p. Triterpenoidnya sebagai Bahan Obat. Wahjoedi, B. dan Pudjiastuti. 2006. Skripsi Jurusan Budidaya Pertanian,

Review hasil penelitian pegagan IPB, 58 hal.

(Centella asiatica (L.) Urban. Rostiana, O. 2007. Peluang pengem-

Makalah pada POKJANAS TOI bangan bahan tanaman jahe unggul

XXV. 10 hal.

untuk penanggulangan penyakit layu

PRODUKSI DAN KANDUNGAN SELENIUM BEBERAPA GALUR TANAMAN TEMU-TEMUAN DI LAHAN PASANG SURUT, SUMATERA SELATAN

Muchamad Yusron 1) , Subowo , dan M. Januwati

1) Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Bogor

2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan

ABSTRAK

1,98; dan 2,08 ppm, sedangkan kandungan Se pada rimpang temu-temuan yang ditanam di

Lahan pasang surut merupakan lahan Sukamulia, Sukabumi tidak terukur. potensial untuk pertanian. Saat ini sebagian

lahan pasang surut di Sumatera Selatan telah Kata kunci : Lahan pasang surut, produksi, selenium, direklamasi dan dimanfaatkan untuk lahan

temu-temuan pertanian, terutama untuk budidaya padi. Salah

ABSTRACT

satu kelebihan lahan pasang surut adalah kandungan mineral Fe, Cu, dan Se yang cukup

Yield and Selenium (Se) Content of

tinggi. Kelebihan tersebut dapat dimanfaatkan

Zingiberaceae accessions in a Tidal

untuk menghasilkan produk pertanian dengan

Swamp Area of South Sumatra

kandungan Se (selenium) tinggi bermanfaat sebagai antioxidan. Salah satu komoditas