Perkembangan Sastra Islam di Indonesia

Sastra Islam menurut Said Hawwa adalah seni atau sastra yang berlandaskan
kepada akhlak Islam[1]. Sedangkan menurut Ala al Mozayyen sastra Islam muncul
sebagai media dakwah, yang di dalamnya terdapat tujuh karakteristik konsistensi,
pesan, universal, tegas dan jelas, sesuai dengan realita, optimis, dan
menyempurnakan akhlak manusia[2].
Oleh sastrawan Indonesia, Goenawan Mohammad disebutkan, sastra Islam
adalah sastra yang mempromosikan sistem kepercayaan atau ajaran Islam; memuji
dan mengangkat tokoh-tokoh Islam; mengkritik realitas yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai Islam; mengkritik pemahaman Islam yang dianggap tidak sesuai dengan
semangat asli Islam awal, atau paling tidak, sastra yang tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip Islam (Goenawan Mohammad: 2010).

Jakob Sumardjo pernah menyatakan keprihatinannya soal sastra Islam.
Menurutnya, Indonesia memiliki warisan sastra Islam yang amat kaya, namun
sedikit sekali kajian atas jenis sastra ini, baik di zaman kolonial maupunsetelah
kemerdekaan. Karya-karya sastra Islam ini dapat menguak peradaban Islam
Indonesia yang sudah berlangsung lebih dari 500 tahun [3].
Menurut Abdurrahman Wahid, sastra Islam merupakan bagian dari peradaban
Islam yang dapat dilihat dari dua sisi pertama yaitu orang yang condong
melihatnya secara legalitas formal dimana sastra Islam harus selalu bersandar pada
al Qur’an dan Hadits sedangkan yang kedua orang yang condong melihat sastra

Islam dari pengalaman religiusitas (keberagamaan) seorang muslim yang tidak
bersifat formal legislatif, artinya sastra Islam tak harus bersumber dari al
Qur’an dan Hadits (formal) dan bersifat adoptif terhadap pengaruh-pengaruh lain
terutama dimensi sosiologis dan psikologis sastrawan muslim yang tercermin dari
karyanya yang menggambarkan pengalaman keberagamaannya [4].
Pendapat lain menyebutkan, Kesusastraan Islam ialah manifestasi dari rasa, karsa,
cipta, dan karya manusia muslim dalam mengabdi kepada Allah untuk kehidupan
ummat manusia. Seni Islam adalah seni karena Allah untuk umat manusia (l'art par
die et l'art pour humanite) yang dihasilkan oleh para seniman muslim bertolak dari
ajaran wahyu Ilahi dan fitrah insani. Seperti disebutkan dalam Manifes
Kebudayaan dan Kesenian Islam 13Desember 1963 di Jakarta, yang dideklarasikan
untuk merespon Lekra dan Manifes Kebudayaan 17 Agustus 1963 para seniman,
budayawan muslim beserta para ulama yang dimotori Djamaludin Malik[5].
Terdapat juga pandangan yang mengatakan, sejarah sastra Islam dan sastra Islami
sendiri tak lepas dari perkembangan sastra Arab sebab bahasa Arab merupakan
bahasa suci Islam dan Alquran. Bahasa Arab dalam bentuk klasiknya atau bentuk
Qurani mampu memenuhi kebutuhan religius, sastra, artistik, dan bentuk formal

lainnya. Sastra Arab atau Al-Adab Al-Arabi tampil dalam beragam bentuk prosa,
fiksi, drama, dan puisi[6].

Sastra Arab sendiri memasuki babak baru sejak agama Islam diturunkan di Jazirah
Arab yang ajarannya disampaikan melalui Alquran. Kitab suci umat Islam itu telah
memberi pengaruh yang amat besar dan signifikan terhadap bahasa Arab. Bahkan,
Alquran tak hanya memberi pengaruh terhadap sastra Arab, tapi juga terhadap
kebudayaan secara keseluruhan.Bahasa yang digunakan dalam Alquran disebut
bahasa Arab klasik. Hingga kini, bahasa Arab klasik masih sangat dikagumi dan
dihormati. Alquran merupakan firman Allah SWT yang sangat luar biasa. Terdiri
atas 114 surat dan 6.666 ayat, Alquran berisi tentang perintah, larangan, kisah, dan
cerita perumpamaan itu begitu memberi pengaruh yang besar bagi perkembangan
sastra Arab.Sebagian orang menyebut Alquran sebagai karya sastra terbesar

Sastra Islam dan Nama Lain
Menurut Sukron Kamil, di Indonesia, sastra Islam dikenal dengan banyak sebutan.
Diantaranya:
(1) sastra sufistik, yaitu sastra yang mementingkan pembersihan hati
(tazkiyah an-nafs) dengan berakhlak baik agar bisa dekat sedekat mungkin
dengan Allah.
(2) Sastra suluk, yaitu karya sastra yang menggambarkan
perjalanan spiritual seorang sufi mencapai taraf di mana hubungan jiwanya
telah dekat dengan Tuhan, yaitu musyâhadah, penyaksian terhadap keesaan

Allah.
(3) Sastra transendental, yaitu sastra yang membahas Tuhan Yang
Transenden. Dan
(4) sastra profetik, yaitu sastra yang dibentuk berdasarkan atau untuk tujuan
mengungkapkan prinsip-prinsip kenabian/wahyu
Periodisasi Sastra Islam di Nusantara[sunting | sunting sumber]

Menurut Abdul Hadi WM[9], Sastra Islam di Indonesia tidak bisa lepas dari
perkembangan sastra Melayu. Sedangkan perkembangan sastra Melayu Islam sejak
awal kemunculannya hingga akhir zaman klasiknya dapat dibagi menjadi empat
periodisasi: (1) Zaman Awal, pada abad ke-14 – 15 M; (2) Zaman Peralihan, dari
akhir abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-16 M; (3) Zaman Klasik, dari akhir
abad ke-16 hingga awal abad ke-18 M; (4) Zaman Akhir, dari pertengahan abad ke18 hingga awal abad ke-20 M.
Pujangga Lama
Salah satu halaman Hikayat Abdullah

Pujangga lama merupakan bentuk pengklasifikasian karya sastra
di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya
satra di dominasi oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat. Di
Nusantara, budaya Melayu klasik dengan pengaruh Islam yang kuat

meliputi sebagian besar negara pantai Sumatera dan Semenanjung Malaya.
Di Sumatera bagian utara muncul karya-karya penting berbahasa Melayu,
terutama karya-karya keagamaan. Hamzah Fansuri adalah yang pertama di
antara penulis-penulis utama angkatan Pujangga Lama. Dari istana
Kesultanan Aceh pada abad XVII muncul karya-karya klasik selanjutnya,
yang paling terkemuka adalah karya-karya Syamsuddin Pasai dan
Abdurrauf Singkil, serta Nuruddin ar-Raniri.[1]
Karya Sastra Pujangga Lama
Sejarah
Sejarah Melayu (Malay Annals)
1. HikayatHikayat Abdullah
2. Hikayat Aceh
3. Hikayat Amir Hamzah
4. Hikayat Andaken Penurat
5. Hikayat Bayan Budiman
6. Hikayat Djahidin
7. Hikayat Hang Tuah
8. Hikayat Iskandar Zulkarnain
9. Hikayat Kadirun
10.Hikayat Kalila dan Damina

11.Hikayat Masydulhak
12.Hikayat Pandawa Jaya
13.Hikayat Pandja Tanderan
14.Hikayat Putri Djohar Manikam
15.Hikayat Sri Rama
16.Hikayat Tjendera Hasan
17.Tsahibul Hikayat
Syair :
1. Syair Bidasari
2. Syair Ken Tambuhan
3. Syair Raja Mambang Jauhari
4. Syair Raja Siak
Kitab agama :
1. Syarab al-'Asyiqin (Minuman Para Pecinta) oleh Hamzah Fansuri
2. Asrar al-'Arifin (Rahasia-rahasia para Gnostik) oleh Hamzah Fansuri
3. Nur ad-Daqa'iq (Cahaya pada kehalusan-kehalusan) oleh Syamsuddin
Pasai
4. Bustan as-Salatin (Taman raja-raja) oleh Nuruddin ar-Raniri

Sastra Islam Nusantara Zaman Awal[sunting | sunting sumber]

Zaman Awal ditandai dengan munculnya terjemahan dan saduran karyakarya Arab dan Persia ke dalam bahasa Melayu. Babakan ini bersamaan dengan
munculnya dua kerajaan Islam awal yaitu Samudra Pasai (1270-1516 M)
dan Malaka (1400-1511 M). Karya-karya saduran dan terjemahan itu pada

umumnya ditulis untuk kepentingan pengajaran dan penyebaran agama. Terutama
epos Arab Persia seperti Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Amir Hamzah dan
Hikayat Muhammad Ali Hanafiya; kisah-kisah para nabi (Qisas al-Anbiya‘),
termasuk Nabi Muhammad s.a.w., dan cerita berbingkai seperti Hikayat Bayan
Budiman dan Hikayat Seribu Satu Malam. Pada masa ini, puisi beberapa penyair
seperti Ma‘arri, Umar Khayyam, ‘Attar, Sa‘di, dan Rumi juga telah muncul
terjemahannya dalam bahasa Melayu.
Sastra Islam Nusantara Zaman Peralihan[sunting | sunting sumber]
Zaman Peralihan berlangsung bersamaan dengan masa akhir kejayaan Malaka dan
munculnya kesultanan Aceh Darussalam (1516-1700 M). Zaman ini ditandai
dengan usaha Melayunisasi hikayat-hikayat Arab dan Persia, pengislaman kisahkisah warisan zaman Hindu, dan penulisan epos lokal serta historiografi. Syairsyair tasawuf, agiografi sufi, dan alegori-alegori mistik mulai ditulis pada zaman
ini. Di antara alegori mistik terkenal ialahHikayat Burung Pingai, yang merupakan
versi Melayu dari Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung) karangan penyair sufi
Persia Farid al-Din al-‘Attar (w. 1220 M).
Sastra Islam Nusantara Zaman Akhir[sunting | sunting sumber]
Zaman Klasik sastra Melayu berlangsung dari akhir abad ke-16 hingga awal abad

ke-18 M. Periode ini ditandai dengan kesadaran pengarang Melayu untuk
membubuhkan nama diri dalam karangan yang ditulisnya. Syair-syair tasawuf dan
karya bercorak sufistik lain kian banyak dilahirkan dalam periode ini, begitu juga
epos, karya sejarah, dan roman yang lebih orisinal. Keorisinalan karya penulis
Melayu pada periode ini tampak terutama dalam syair-syair tasawuf Hamzah
Fansuri yang indah dan begitu mendalam isinya.
Dalam menulis karya-karya mereka, penulis-penulis Melayu pada umumnya
bertolak dari dua wawasan estetika yang popular di dunia Islam. Pertama, wawasan
estetika yang diasaskan para filosof dan teoritikus peripatetik (mashsha‘iya)
seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan Abdul Qahir al-Jurjani, yang memandang sastra
sebagai karya imaginatif (mutakhayyil). Keimaginatifan sebuah karya bisa tercapai
jika pengarang menggunakan bahasa figuratif (majaz) seintensif dan semaksimal
mungkin. Wawasan estetik ini merupakan sintesa pandangan Plato dan Aristoteles.
Kedua, wawasan estetika yang diasaskan para sufi seperti Imam al-Ghazali, Ibn
‘Arabi, ‘Attar, Rumi, dan Jami. Bagi mereka karya sastra adalah representasi
simbolik dari gagasan dan pengalaman keruhanian.
Sastra Islam Nusantara Zaman Klasik[sunting | sunting sumber]
Zaman Akhir membentang dari awal abad ke-18 hingga akhir abad ke-19 M. Pada
periode ini karya-karya keislaman ditulis di berbagai pusat kebudayaan Islam baru
seperti Palembang, Banjarmasin, Pattani, Johor, Riau,Kelantan, dan tempat-tempat


lain di kepulauan Melayu. Sekalipun sejak akhir abad ke-18 kerajaan-kerajaan
Islam ini sudah jatuh ke tangan penguasa kolonial seperti Belanda dan Inggris,
namun kegiatan penulisan sastra Islam masih terus berlanjut hingga awal abad ke20 M. Tidak banyak pembaruan dilakukan pada zaman ini. Namun zaman ini
melahirkan penulis-penulis kitab keagamaan dan historiografi terkemuka seperti
Abdul Samad al-Falimbangi, Arsyad al-Banjari, Kimas Fakhrudin, Sultan
Badruddin, Nawawi al- Bantani, Raja Ali Haji, dan lain-lain.

Sastra Melayu dan Hikayat[sunting | sunting sumber]
Menurut Abdul Hadi WM[10], dalam sastra Melayu semua karya berbentuk prosa
pada umumnya disebut hikayat, dari kata-kata Arab yang arti literalnya ialah kisah
atau cerita. Berdasarkan pokok pembahasan dan corak penyajiannya, keseluruhan
hikayat Melayu lazim dibagi ke dalam sepuluh jenis:

1. Hikayat Para Nabi, biasa disebut Surat Anbiya‘. Mengisahkan kehidupan
para nabi sebelum Nabi Muhammad, termasuk Nabi Adam, Idris, Nuh,
Ibrahim, Musa, Ayub, Yusuf, Daud, Sulaiman, Isa Almasih, dan lain
sebagainya. Yang paling populer ialah Hikayat Nabi Musa, Hikayat Nabi
Sulaiman, Hikayat Yusuf dan Zuleikha, dan Isa Almasih.
2. Kisah-kisah yang berhubungan dengan kehidupan Nabi

Muhammad. Termasuk Hikayat Kejadian Nur Muhammad, Hikayat Nabi
Mikraj, Hikayat Seribu Satu Masalah, Hikayat Nabi dan Iblis, Hikayat Nabi
dan Orang Miskin, Hikayat Nabi Mengajar Ali, dan lain sebagainya.
3. Kisah Sahabat dan Kerabat Nabi. Menceritakan kehidupan dan
perjuangan sahabat-sahabat Nabi Muhammad seperti Abu Bakar, Umar bin
Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Hikayat Raja Handak, Hikayat
Salman al-Farisi, Hikayat Hasan dan Husein, dan lain sebagainya.
4. Hikayat Para Wali Suf. Misalnya Hikayat Rabi‘ah al-Adawiyah, Hikayat
Ibrahim Adham, Hikayat Bayazid Bhistami, Hikayat Syekh Abdul Qadir alJilani, Hikayat Syekh Saman, Hikayat Syamsi Tabriz, dan lain-lain.
5. Hikayat Pahlawan atau epos. Misalnya yang paling populer dan dijumpai
dalam berbagai versi ialah Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Amir
Hamzah, dan Hikayat Muhammad Ali Hanafiya.

6. Hikayat Para Bangsawan. Misalnya Hikayat Johar Manik, Hikayat Syamsul
Anwar, Hikayat Kamaruz Zaman, Hikayat Sultan Bustaman, Hikayat Siti
Hasanah, Hikayat Siti Zubaidah Berperang dengan Pendekar Cina, Hikayat
Syekh Mardan dan lain sebagainya. Hikayat jenis ini paling banyak dijumpai
dalam sastra Melayu. Yang diceritakan biasanya adalah petualangan,
percintaan, dan perjuangan tokoh membela negeri atau martabat keluarga.
Jadi termasuk ke dalam jenis roman.

7. Perumpamaan atau Alegori Suf. Pada umumnya alegori sufi digubah
berdasarkan roman yang popular, tetapi disajikan secara simbolik sebagai
kisah perjalanan kerohanian. Yang terkenal di antaranya ialah Hikayat Syekh
Mardan, Hikayat Inderaputra, Hikayat Burung Pingai, dan lain-lain.
8. Cerita Berbingkai. Sebagian besar kisah berbingkai dalam sastra Melayu
merupakan saduran dari cerita berbingkai Arab dan Persia. Yang terkenal
selain Kisah Seribu Satu Malam adalah Hikayat Bayan Budiman, Hikayat
Maharaja Ali, Hikayat Bachtiar, Hikayat Khalilah dan Dimnah, dan lain-lain.
Di antara cerita terbingkai ini termasuk fabel, yaitu Hikayat Bayan Budiman
dan Hikayat Khalilah dan Dimnah. Sebelum hadirnya versi Arab Persia, telah
hadir versi India dalam sastra Jawa dengan judul Tantri Kamandaka, yang
merupakan saduran dari Panchatantra. Fabel asli Melayu yang terkenal
ialah Kisah Pelanduk Jenaka.
9. Kisah Jenaka. Yang terkenal Hikayat Abu Nuwas dan Hikayat Nasrudin
Affandi. Kisah Jenaka asli Melayu yang terkenal di antaranya ialah Hikayat
Pak Belalang.
10.Karya bercorak sejarah atau historiograf. Karya semacam ini sering pula
disebut salasilah. Khazanahnya tergolong banyak dalam sastra Melayu. Yang
terkenal ialah Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu,Hikayat Aceh, dan
lain-lain.

Perdebatan Seputar Sastra Islam[sunting | sunting sumber]

AA Navis merupakan salah seorang sastrawan yang menolak sastra Islam, dan
menyebutnya sebagai hal yang utopis untuk saat ini. Diikuti oleh pendapat Edy A.
Effendi[11] membuat kesimpulan agar sastra Islam ditolak karena tidak ada estetika
yang diusungnya. Demikian pula halnya dengan pendapat Chavchay Syaifullah[12],
juga Aguk Irawan MN dalam tulisannya: Merumuskan Kembali Konsep Sastra
Islami[13].

Kebalikan dari itu, Abdul Hadi WM[14] menyebut bahwa pandangan dan anggapan
yang meragukan nisbah Islam dengan sastra dan kesangsian bahwa sastra Islam
dengan tema, corak pengucapan, wawasan estetik serta pandangan dunia tersendiri,
pada umumnya timbul untuk menafikan sumbangan Islam terhadap kebudayaan
dan peradaban umat manusia. Sebagian anggapan berkembang karena semata
kurangnya perhatian dari umat Islam dewasa ini terhadap sastra dan tiadanya
apresiasi. Ditambahkannya, sastra Islam itu ada, bahkan eksis. Sastra Hindu saja
ada, maka tidak masuk akal kalau sastra Islam dinafikan.