PAKELIRAN DARTA YA PURNA GANESA

(1)

SKRIP KARYA SENI

PAKELIRAN DARTA YA PURNA

GANESA

OLEH : I MADE SUDARMA

NIM: 2009 03 007

PROGRAM STUDI S-1 SENI PEDALANGAN JURUSAN SENI PEDALANGAN

FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN

INSTITUT SENI INDONESIA

DENPASAR

2013


(2)

SKRIP KARYA SENI

PAKELIRAN DARTA YA PURNA

GANESA

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mrncapai gelar Sarjana Seni (S1)

OLEH:

I MADE SUDARMA NIM: 2009 03 007

PROGRAM STUDI S-1 SENI PEDALANGAN JURUSAN SENI PEDALANGAN

FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN

INSTITUT SENI INDONESIA

DENPASAR

2013


(3)

SKRIP KARYA SENI PEDALANGAN

PAKELIRAN DARTA YA PURNA

GANESA

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Seni (S1)

MENYETUJUI:

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

I Kadek Widnyana, SSP., M.Si. I Ketut Sudiana, S.Sn., M.Sn. NIP. 196612271992031004 NIP. 197003292000031001


(4)

Karya Seni ini telah dipergelarkan dan diuji oleh Dewan Penguji, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Denpasar pada:

Hari, tanggal : Jumat, 24 Mei 2013

Ketua : I Ketut Garwa, S.Sn., M.Sn

Sekretaris : I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum Anggota : 1. Dr. I Gede Arya Sugiartha, SSKar., M.Hum

2. Prof. Dr. I Wayan Rai S, MA 3. I Wayan Suweca, SSKar., M.Mus 4. Ni Ketut Suryatini, SSKar., M.Sn 5. I Wayan Suharta, SSKar., M.Si 6. I Nyoman Cerita, SST., M.FA 7. Tjok. Raka Tisnu, SST., M.Si

8. I Gede Oka Surya Negara, SST., M.Sn 9. Tjok. Istri Putra Padmini, SST., M.Sn 10. Dr. Ni Made Wiratini, SST., MA 11. Ni Nyoman Kasih, SST., M.Sn

12. Ida Ayu Wimba Ruspawati, SST., M.Sn 13. I Ketut Kodi, SSP., M.Si

14. I Gusti Putu Sudarta, SSP., M.Sn 15. I Ketut Sariada, SST., M.Si


(5)

Skrip Karya ini telah dipertahankan di depan Dewan Penguji, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar, pada:

Hari, tanggal : Selasa, 28 Mei 2013

Ketua : Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST., MA (………) NIP. 19480412 1974 03 1 001

Anggota : Gusti Ayu Ketut Suandewi, SST., M.Si (………) NIP. 19650712 1992 03 2 002

Anggota : I Kadek Widnyana, SSP., M.Si (………)

NIP. 196612271992031004

Disahkan pada tanggal: 30 Mei 2013

Mengesahkan: Mengetahui:

Fakultas Seni Pertunjukan Jurusan Seni Pedalangan Institut Seni Indonesia Denpasar Ketua,

Dekan,

I Ketut Garwa, S.Sn., M.Sn. Drs. I Wayan Mardana, M.Pd. NIP. 196812311996031007 NIP. 19541231 198303 1 016


(6)

Motto : 

 

Swadharmaning 

Dharmaning 

Sudharma 


(7)

 

   


(8)

KATA PENGANTAR

“Om Maheswara Srimat Siwa Purana, Om Swastyastu !”

Puji Syukur penggarap panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, karena atas asung kerta wara nugrahaNya, karya seni dan skrip karya Pakeliran Darta Ya Purna dengan judul Ganesa ini dapat diselesaikan sesuai rencana. Karya seni dan skrip karya ini tersusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Tugas Akhir (TA). Tulisan ini merupakan laporan atau pertanggung-jawaban dari karya seni yang telah tersaji pada tgl 24 Mei 2013. Dengan segala kerendah-hatian, penggarap mohon maaf, atas segala kekurangan dan keterbatasan penggarap sehingga tidak dapat memberikan informasi yang memadai baik tulisan maupun garapan. Pada kesempatan yang baik ini penggarap

mengucapkan terima- kasih kepada yang terhormat : 1. Bapak DR. I Gede Arya Sugiartha, SSKar., M.Hum, Rektor Institut Seni

Indonesia Denpasar beserta segenap jajarannya.

2. Bapak I Ketut Garwa, S.Sn., M.Sn, Dekan Seni Pertunjukan ISI Denpasar beserta segenap jajarannya.

3. Bapak Drs. I Wayan Mardana, M.Pd, Ketua Jurusan Pedalangan, Seni Pertunjukan ISI Denpasar beserta jajarannya.

4. I Gusti Putu Sudarta, SSP., M.Sn, Pembimbing Akademik.

5. Bapak I Kadek Widnyana, SSP., M.Si, Pembimbing Tugas Akhir. 6. Bapak I Ketut Sudiana, S.Sn., M.Sn, Pembimbing Tugas Akhir. 7. Bapak Prof. Dr. I Wayan Dibia, SSP., MA.

8. Bapak Prof. Dr. I Nyoman Sedana, SSP., MA. 9. Bapak I Ketut Kodi, SSP., M.Hum.

10. Bapak I Made Sidia, SSP., M.Sn. 11. Bapak I Nyoman Sukerta, SSP., M.Si. 12. Ibu Komang Marhaeni, SSP., M.Si.


(9)

14. Bapak Saptono, S.Sen., M.Si dan para dosen lainnya yang tidak dapat penggarap sebutkan, telah memberikan segala sumbangan pemikiran, motivasi, arahan dan petunjuk pada karya seni dan skrip karya ini.

Dukungan, motivasi, do’a, dan semangat dari I Kadek Budi Setiawan (Dek Capung), I Wayan Ari Wibawa, bapak I Ketut Buda Astra, S.Sn, ibu Nik Suasti, S.Sn, keluarga (Mbok, Beli,dan ponakan), Sekaa Batel Tamyang, Sekaa Wayang dan Topeng Samirata Desa Abiansemal, teman-teman mahasiswa-mahasiswi ISI Denpasar, dan masyarakat umum yang namanya belum penggarap sebutkan, penggarap mengucapkan terima-kasih yang sedalam-dalamnya, telah bekerja keras bersama-sama mensukseskan karya seni ini.

Semoga budi baik serta keikhlasan dari semua pihak, diberikan pahala yang melebihi dari amalnya olehNya dan selalu mendapatkan kesuksesan. Sebagai akhir kata, atas segala kesalahan dan kekurangan penggarap lakukan pada proses garapan dan tulisan ini, dengan rendah hati dan hati yang tulus, penggarap mohon maaf yang setinggi-tingginya dan selanjutnya mohon diberikan masukan untuk penyempurnaannya. Terima-kasih.

“Om Santih, Santih, Santih, Om !”

Denpasar, 24 Mei 2013 Penulis


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN PENGAJUAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PENGUJI ... iv

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN ... v

MOTTO ... vi

FOTO GANESA ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Ide Garapan ... 7

1.3 Tujuan Garapan ... 11

1.3.1 Tujuan Umum ... 11

1.3.2 Tujuan Khusus ... 11

1.4 Manfaat Garapan ... 12

1.5 Ruang Lingkup ... 13

BAB II KAJIAN SUMBER ... 16

BAB III PROSES KREATIVITAS ... 21

3.1 Proses Penjajagan/Penjelajahan (Eksplorasi) ... 21

3.2 Proses Penuangan (Improvisasi) ... 22

3.3 Proses Pembentukan (Komposisi) ... 23

BAB IV WUJUD GARAPAN ... 27

4.1 Jalan Cerita/Ringkasan Cerita ... 27

4.2 Sinergi Ide/Konsep, Bentuk Penyajian, Suasana Dramatis, dan Durasi Pentas ... 29


(11)

4.3 Naskah Cerita/Pakem Jangkep ... 39

4.4 Aparatus Pertunjukan ... 54

4.4.1 Iringan ... 54

4.4.2 Kelir/Layar ... 54

4.4.3 Penokohan ... 57

4.4.5 Tata Cahaya ... 57

4.4.6 Pendukung ... 58

4.4.7 Penyajian ... 58

BAB V PENUTUP ... 59

5.1 Simpulan ... 59

5.2 Saran-Saran ... 60 DAFTAR PUSTAKA


(12)

DAFTAR TABEL

1. Tabel Jadwal Pelaksanaan ... 26 2. Tabel Sinergi/Konsep ... 29


(13)

DAFTAR GAMBAR


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wayang kulit adalah genre seni pertunjukan Bali dan merupakan warisan budaya leluhur yang telah mampu bertahan sampai sekarang ini. Wayang tidak hanya dikenal di Bali namun juga didukung oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dengan berbagai corak yang khas dan bermutu tinggi sehingga dikatakan sebagai salah satu kebudayaan nasional (Sedyawati, 1981 : 13). Setelah dideklarasikannya oleh UNESCO, seni pewayangan sebagai karya agung warisan budaya dunia pada tanggal 7 November 2003 dengan pernyataan sebagai berikut: “Masterpiece of the Oral and Intingible Haritage of Humanity” (Sedana, 2004: 6). Menyimak paparan di atas, ternyata wayang telah dikenal diseluruh dunia, dan wayang bukan saja milik Bali, atau Indonesia tetapi sudah menjadi warisan dunia karena kandungan nilainya yang adiluhung, serta dapat dipertunjukkan dengan berbagai ragam lakon.

Sebagai warisan seni pertunjukan yang bernilai tinggi dan tertua, wayang masih tetap eksis sampai sekarang dan mempertahankan fungsi serta peranannya di masyrakat, sejak terciptanya dan disepanjang perjalanan hidupnya wayang tidaklah monoton, tergantung pada kebutuhan penggarapan, dan tuntutan masyarakat pendukungnya sesuai dengan perkembangan jaman. Secara fungsional, pertunjukan wayang kulit Bali digunakan sebagai: (1) pertunjukan wali, yaitu berfungsi sebagai bagian dari keseluruhan upacara yang dilaksanakan. Termasuk golongan wayang ini ialah Wayang Sapuh Leger, dan juga wayang sudhamala. (2) pertunjukan bebali,


(15)

yakni untuk menyertai pelaksanaan upacara keagamaan, seperti upacara dewa yadnya, pitra yadnya, Resi yadnya, manusa yadnya, dan butha yadnya. (3) pertunjukan balih-balihan, yaitu pertunjukan hiburan yang menekankan nilai artistik dan didaktis, seperti misalnya karya tugas akhir (TA) mahasiswa pedalangan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.

Sumber cerita wayang kulit yang di ambil dari epos besar Ramayana dan Mahabharata disebut dengan Itihasa (sejarah masa lalu/sesuatu yang telah terjadi). Sumber-sumber cerita Pewayangan tersebut, selain itihasa sebagai sumber cerita, ada lagi sumber lain yang disebut Purana. Kitab Purana merupakan kumpulan cerita tentang pembuktian hukum yang pernah terjadi, upacara agama, tattwa hidup, lagu, tari-tarian, drama, lukisan, pemerintahan, hak dan kewajiban rakyat, adat istiadat, kesehatan, dan lain-lainnya. Tujuan dari penulisan kitab Weda Smrti Upaweda Purana adalah merupakan penjelasan tentang sumber-sumber kebaikan dan sumber kejahatan. Berbuat baik akan mengantarkan ke swarga loka, sedangkan berbuat jahat akan mengantarkan ke neraka loka (Nala dan Wiratmadja, 1995: 58).

Purana merupakan sejarah kuno yang menceritakan kisah-kisah dewa-dewa, raja-raja dan rsi-rsi kuno. Purana berasal dari kata pura dan ana, pura berarti jaman kuno dan ana berarti mengatakan. Kata purana mengandung dua pengertian yaitu menceritakan masa lalu dan masa yang akan datang, dimana memiliki lima unsur penting yaitu: Sarga (ciptaan alam semesta yang pertama), Pratisarga (ciptaan alam semesta yang kedua), Wansa (keturunan raja-raja),


(16)

Manvantara (perubahan manu-manu), dan Wamsanucarita (diskripsi keturunan yang akan datang). (Sanjaya 2010 : iii).

Selain itu purana mengajarkan beberapa ilmu seperti upacara agama, filsafat hidup, lagu, tarian-tarian, drama, lukisan, pemerintahan, hak rakyat, adat istiadat, masyarakat, kesehatan dan lain-lain. Purana-purana yang dijelaskan oleh Vyasa adalah purana yang tergolong maha purana yaitu: (1) Sattvika Purana; mengagungkan Wisnu berwujud Awatara terdiri dari: Wisnu atau Waisnawa Purana, Brhannarediya purana, Purana Agung Maharsi Narada; Padma Purana, Bhagawata Purana, Narada Purana, Garuda Purana, (2) Rajasika Purana; mengagungkan Brahma dalam proses penciptaan terdiri dari: Brahma Purana, Markandeya Purana, Bhavisya atau Bhvisyat Purana, Bhrahma Vaiwarta Purana, Vamana Purana, Brahmanda Purana. (3) Tamasika Purana; mengagungkan Siwa terdiri dari: Vayu Purana, Agni Purana, Lingga Purana, Skanda Purana, Kurma Purana, dan Matsya Purana. Selain purana di atas, belakangan di tulis pula Purana kecil (Purana minor) dikenal dengan nama “Upapurana”, juga dengan jumlah delapan belas yaitu: Sanat Kumara, Narasimha, Naradiya, Siwa, Durwasa, Kapila, Manawa, Usana, Warenia, Kalika, Samba, Saura, Aditya, Maheswara, Dewibhagawatam, Wasistha, Uisumdharmamottara, dan Nilamata Purana (Titib, 2004: 23).

Menyadari nilai-nilai purana tersebut di atas, penggarap memandang sangat perlu membudayakan kitab-kitab Purana khususnya di lingkungan ISI Denpasar ke dalam sebuah seni pertunjukan. Hal ini dilakukan mengingat kitab-kitab Purana dan Upapurana belum populer, dan penggarap


(17)

memandang sangat banyak yang perlu digali untuk dapat dimunculkan kepermukaan khususnya ke dalam bentuk karya seni dengan harapan lebih banyak dapat mengangkat nilai tuntunan dari pada hanya sekedar tontonan tanpa makna. Telah disadari bersama bahwa pada jaman kali ini, aturan, norma, moral dan tatakrama, mulai terkikis oleh budaya luar terutama yang datangnya dari dunia barat, dan perlahan namun pasti, nilai-nilai luhur tidak lagi dipatuhi sebagaimana yang telah ditentukan di dalam Weda. Jangan sampai tidak ada orang yang berdoa kepada dewa-dewa, tidak ada lagi hubungan asih dan bakti antara guru dan murid, yang kuat selalu berkuasa, dan yang berkuasa selalu menjadi pemenang. Para wanita akan senantiasa memperdulikan kecantikannya setiap saat. Kekayaan akan berarti segalanya pada jaman ini. Bukannya menghabiskan uang dan kekayaan untuk berbuat dharma, orang-orang malah menghabiskan uang dan kekayaan mereka untuk kepentingan nafsu semata. Uang akan dibelanjakan untuk kepentingan diri sendiri bukan untuk kepentingan sesama. Manusia menjadi lebih mementingkan diri sendiri. Uang akan didapatkan dengan cara-cara yang tidak dibenarkan (Sanjaya,2001:103). Kita hanya bisa berusaha agar jangan sampai hal itu terjadi. Secara khusus penggarap mengamati dalam kehidupan sehari-hari bahwasanya banyak anak-anak masa kini yang kurang hormat kepada orang tuanya dan kekurang mampuan orang tua dalam mengayomi dan mendidik anaknya, bahkan banyak anak-anak yang telah menjadi korban narkoba. Oleh sebab itu nilai-nilai Mahapurana dan Upapurana maupun itihasa hendaknya terus digali disesuaikan dengan kebutuhan jaman sebagai benteng ahlak dan martabat manusia.


(18)

Kreativitas pematangan secara artistik, konsep dan pengalaman pentas dalam membangkitkan seni tradisi di Desa Abiansemal, seperti: Sekaa Batel Tamyang, Sekaa Parwa Satya Werdhi Budaya, dan Sekaa Wayang dan Topeng Samirata, merupakan modal penggarap dalam mewujudkan karya ini. Hal ini dilakukan agar di masa depan penggarap mampu mempertahankan seni dan budaya daerah, bisa berinteraksi dengan lingkungan di desa maupun luar desa dan bahkan luar negeri sehingga seni dan budaya kita terus dalam pembaharuan. Adapun kreativitas karya seni yang pernah dipentaskan yaitu dramatari Parwa pada Pesta Kesenian Bali Tahun 2011 oleh sekaa-sekaa kesenian, (Batel, Parwa, Wayang, dan Topeng Desa Abiansemal ) didukung oleh para dosen dan teman-teman mahasiswa ISI Denpasar secara sukarela dengan judul “Kresna Duta”. Dilakukan pula pementasan tabuh batel, wayang dan topeng pada upacara piodalan dibeberapa Pura di Bali. Pengalaman kreativitas seni dengan berkolaborasi bersama mahasiswi/mahasiswa dari East 15th Acting School Essex, University London yang dikoordinir oleh Prof. Dr. I Nyoman Sedana, M.A, juga memberikan motivasi sehingga Penciptaan Karya Seni Pakeliran Darta Ya Purna bisa terwujud.

Mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas penggarap berkeinginan memakai tatwa yang tertera dalam Purana menjadi sebuah Garapan Karya Seni Pakeliran Darta Ya Purna dengan mentransformasikan cerita Ganesa yang bersumber dari Upapurana dalam kitab Siwa Purana pada bagian Rudra Samhita bernama Kumara KandaBagian Ke IV. (Sanjaya, 2012: 293).


(19)

Adapun jalan cerita Pakeliran Darta Ya Purna / Ganesa ini, dapat penggarap uraikan sebagai berikut : Awal cerita dimulai dengan hadirnya seorang kakek (diperankan oleh penggarap) untuk melakukan doa (mebanten) di sebuah patung Ganesa. Tiba-tiba datang seorang ibu (menantu kakek) memarahi anaknya yang merupakan cucunya kakek. Kemudian kakek meredakan kemarahan menantunya tersebut. Selanjutnya kakek menceritakan prihal Ganesa kepada cucunya. Kakek memulai ceritanya dari Dewi Parwati atau Bhatari Uma yang sedang menyucikan diri/mandi di taman Khayangan Siwa Loka. Dari mala atau kotoran tubuh Sang Dewi terwujud sebuah patung yang kemudian dihidupkan diberi nama Ganesa, serta diberikan tugas menjaga dwarapala atau pintu gerbang taman oleh Dewi Parwati agar tidak ada yang boleh masuk ke taman. Pada suatu ketika, Dewa Siwa datang berkunjung ke taman untuk menemui istrinya yaitu Dewi Parwati. Ganesa yang melihat hal tersebut dengan segera menghalangi Dewa Siwa, sehingga terjadi perselisihan antara Ganesa dengan Dewa Siwa akhirnya sampai dipenggal kepalanya Ganesa oleh Dewa Siwa. Melihat kejadian itu, Dewi Parwati menjadi marah dan berubah wujud menjadi Durga dengan mengeluarkan api yang amat dahsyat. Para dewa dan sorga menjadi kepanasan, Tribuana bagaikan mau pralaya, para dewa segera minta maaf atas kejadian tersebut. Dewi Parwati akan memaafkan mereka asalkan Ganesa bisa dihidupkan kembali. Namun karena kepala Ganesa yang sudah terpenggal oleh senjata Dewa Siwa, tidak mungkin bisa hidup kembali, maka Dewa Siwa kemudian menyarankan agar para dewa pergi ke arah utara mencarikan kepala untuk Ganesa. Setelah sekian lama pencarian, kemudian akhirnya para dewa hanya bisa


(20)

menemukan anak gajah yang kemudian dipenggal diambil kepalanya untuk Ganesa. Mulai saat itulah Ganesa berkepala gajah diberikan kekuasaan sebagai pemimpin para dewa, penghalau segala rintangan, serta menjadi pemimpin para gana Dewa Siwa dengan gelar Ganapati.

1.2 Ide Garapan

Ide merupakan cikal bakal sebuah garapan, yang nantinya dituangkan ke dalam konsep. Jadi ide dan konsep merupakan satu kesatuan yang utuh, dimana ide merupakan gagasan yang akan dijadikan sumber, sedangkan konsep adalah aplikasi dari ide dalam bentuk sub-sub bahasan atau bahan/sarana yang akan dijadikan wujud garapan.

Kitab Purana merupakan gudang cerita yang sangat luas setelah kitab Itihasa (Ramayana dan Mahabharata), yang baik dipakai inspirasi dalam berbagai bentuk karya seni untuk menyikapi perkembangan jaman di era globalisasi sehingga menghasilkan tontonan dan tuntunan yang sempurna. Kitab Purana merupakan kumpulan berbagai macam cerita kuno yang dianggap sebagai glosari kitab suci Weda yang tepat sampai saat ini maupun di masa yang akan datang. Untuk kebutuhan ide garapan Seni Pedalangan / Pewayangan kitab Purana tidak kalah bagusnya dengan kitab Ramayana dan Mahabharata, serta kitab-kitab lainnya. Hal tersebut disebabkan karena Purana berisikan pengetahuan kebijaksanaan tertinggi yang sangat relefan digunakan dalam menyikapi jaman yang penuh maya di era globalisasi ini, sehingga menyebar luaskan isi cerita purana merupakan punia yang sangat bijak untuk kepentingan umat manusia.


(21)

Intisari Purana tampaknya dapat menginspirasi upaya mengharmoniskan hubungan anak dan orang tua mengingat akhir-akhir ini banyaknya anak-anak yang cendrung bersitegang dengan orang tuanya dan kekurang mampuan orang tua dalam mengarahkan anaknya untuk menjauhkan pengaruh negatif budaya kapitalisme global.

Terinspirasi dari hal tersebut di atas, serta pengalaman mendukung TA sebelumnya, dan juga hasil pembelajaran di ISI Denpasar, khususnya di Prodi Pedalangan, timbul sebuah ide dengan memanfaatkan kitab Upapurana sebagai sumber cerita dengan nama garapan Pakeliran Darta Ya Purna. Adapun kata Darta Ya Purna merupakan penggalan dari kata Dar, Ta, Ya dan Purna yang merupakan singkatan atau akronim dari drama, tari, wayang dengan sumber Purana. Drama adalah lakon atau kisah hidup manusia yang dipertunjukkan di atas pentas dan disaksikan orang banyak (Bandem dan Murgiyanto, 1996: 9). Tari adalah ekspresi jiwa manusia melalui gerak ritmis dengan lagu atau iringan, penghayatan peran dan kemampuan geraknya (Wibisono dkk, 2001: 14). Wayang pada mulanya merupakan salah satu bentuk pemujaan kepada nenek moyang, yang pada perkembangan selanjutnya menjadi seni tontonan (Bandem dan Murgiyanto, 1996: 12). Purana merupakan kumpulan cerita tentang pembuktian hukum yang pernah terjadi, upacara agama, tatwa hidup, lagu, tari-tarian, drama, lukisan, pemerintahan, hak dan kewajiban rakyat, adat-istiadat, kesehatan, dan lain-lainnya (Nala dan Wiratmadja, 1995: 58). Jadi Pakeliran Darta Ya Purna yang dimaksud adalah perpaduan antara seni drama, tari, dan wayang mengambil cerita dari kitab Purana. Garapan ini diiringi dengan gambelan Batel Gede.


(22)

Penggarap juga ingin menyampaikan arti pilosofisnya dari kalimat Darta Ya Purna adalah Darta = wahyu (berita), Ya = Tuhan dan Purna = sempurna. Jadi kalimat Darta Ya Purna juga bisa diartikan wahyu Tuhan yang perlu disebar-luaskan agar mencapai kesempurnaan.

Adapun tema dalam garapan ini adalah Kaya Satya. Kaya yang artinya Pekerjaan, Satya yang artinya setia. Jadi tema Kaya Satya artinya pekerjaan yang dilakukan dengan berpikir, berkata, dan berbuat yang setia.

Pakeliran Darta Ya Purna dituangkan ke dalam bentuk garapan dengan mempertahankan seni tradisi dikembangkan dengan konsep-konsep baru sehingga diharapkan menjadi sebuah garapan yang berkualitas, bermutu dan bermakna. Garapan ini merupakan sebuah persembahan yang diharapkan bisa menjadi tontonan sekaligus tuntunan, untuk menjawab tuntutan dan tantangan jaman serta tanggung jawab seniman untuk meningkatkan sumberdaya manusia dalam akselerasi budaya globalisasi yang semakin mendesak budaya tradisi dan nilai-nilai luhur agama. Kenyataan di masyarakat yang tidak dapat dipungkiri lagi adalah banyaknya pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan serta pelecehan nilai-nilai agama, etika, moral, serta perubahan karakter manusia yang tidak takut dengan karma pala dan mundurnya pengamalan ajaran agama, mengakibatkan ahlak manusia menjadi semakin merosot. Oleh sebab itu seniman harus bersama-sama masyarakat mencari solusi agar umat manusia tidak semakin jatuh ke lembah kenistaan. Dengan persembahan ide ini, penggarap berharap bahwa Karya Seni Pakeliran Darta Ya Purna dengan lakon Ganesa ini akan dapat mengingatkan kembali hakekat manusia yang sebenarnya.


(23)

Konsep dalam sebuah karya seni merupakan hal yang sangat penting untuk mewujudkan model pertunjukan. Konsep juga merupakan kerangka umum di dalam melakukan proses garapan, dan dari konsep inilah tujuan garapan akan dicapai. Untuk itu penggarap merancang konsep-konsep dramatik sebagai upaya untuk mencapai pola garapan, yang dapat ditampilkan sebagai berikut:

Pertama: mentransformasikan cerita Ganesa yang bersumber dari Upapurana ke dalam sebuah garapan pakeliran pewayangan inovatif, yang dipadukan dengan teater.

Kedua: tata cahaya (lighting) sebagai sarana penerangan dan penyinaran terhadap pelaku teater di atas panggung, dan juga untuk memunculkan bayangan wayang dan bayangan manusia pada layar atau kelir.

Ketiga: mentransformasikan ide garapan ke dalam musik pengiring agar bisa mewakili karakter setiap adegan maupun tokoh.

Keempat: merancang layar yang bisa dibuka dan dilipat (buka-lipat) secara dinamis untuk dapat lebih efisiensi waktu, menjadikannya sebuah trik garapan dengan metode artistik serta memadukannya bersama layar yang sudah ada di Natya Mandala.

Kelima: mensinergikan estetika bayangan-bayangan wayang pada kelir dengan akting wayang orang / aktor di panggung sehingga bayangan wayang dan wayang orang tidak saling berdiri sendiri, melainkan saling mendukung dan memperkaya secara harmonis dan dramatis.


(24)

Keenam: mengintegrasikan pemain anak-anak, aktor dewasa, dan pemeran tua ke dalam sebuah sajian drama yang terpadu dengan unsur-unsur teatrikal lainnya.

1.3Adapun tujuan yang disampaikan dalam garapan Pakeliran Darta Ya Purna dengan lakon Ganesa adalah :

1.3.1. Tujuan Umum.

1. Mencari alternatif lakon baru di luar Itihasa yang relevan untuk jaman kali sengara masa kini dengan menyebar luaskan cerita Purana yang tidak kalah nilainya dari kitab Itihasa, karena kitab Purana merupakan gudang cerita, yang mengandung nilai pengetahuan, kebijaksanaan, keadilan, kemanusiaan dan sebagainya yang teruji sejak jaman dahulu, sekarang bahkan akan datang.

2. Untuk mentransformasikan lakon kelahiran Ganesa ke dalam seni pertunjukan pewayangan inovasi pakeliran dramatari dan wayang. 3. Membangkitkan, melestarikan dan mengembangkan seni tradisi daerah.

1.3.2. Tujuan Khusus.

1. Memberikan tontonan dan tuntunan dengan pewayangan untuk meningkatkan sumber daya manusia.

2. Untuk memenuhi syarat mencapai gelar sarjana (S1) di Institut Seni Indonesia Denpasar, Prodi Pedalangan.


(25)

3. Mencoba untuk mengintegrasikan pemain anak-anak, aktor dewasa, dan pemeran tua ke dalam sebuah sajian drama yang terpadu dengan unsur-unsur teatrikal lainnya.

1.4Adapun manfaat yang diharapkan dalam garapan Pakeliran Darta Ya Purna dengan lakon Ganesa adalah :

1. Dimanfaatkan sebagai komoditas seni dengan nuansa cerita yang berbeda dari cerita wayang pada umumnya, sekaligus memperkenalkan cerita Purana kepada khalayak umum.

2. Menambah kuantitas dan meningkatkan kwalitas garapan seni pewayangan Bali, khususnya di lingkunagn ISI Denpasar.

3. Secara langsung menambah pengalaman dan wawasan bagi penggarap tentang cerita-cerita di dunia pewayangan serta nilai-nilai yang ada di dalam Purana.

4. Garapan ini secara spesifik juga menambah pengetahuan mengenai kandungan cerita- cerita yang ada pada Purana dengan cerita-cerita yang ada pada Itihasa.

5. Berharap dan semoga bisa meraih gelar Sarjana Seni Pedalangan jenjang S1 Penciptaan dengan nilai yang sebaik-baiknya.

6. Untuk dapat mengkontribusikan karya seni pewayangan Pakeliran Darta Ya Purna kepada masyarakat Bali, khususnya melalui pagelaran lanjut di pura-pura beserta tempat lain yang sesuai.


(26)

1.5Ruang Lingkup.

Ruang lingkup garapan Pakeliran Darta Ya Purna dengan lakon Ganesa yang disajikan tanggal 24 mei 2013 terdiri-dari struktur/pembabakan sebagai-berikut :

Babak I

Adegan 1: Dimulai dari sebuah kisah, seorang kakek yang sedang menghaturkan sesajen kehadapan Hyang Widhi dengan manifestasinya yang berwujud Ganesa.

Adegan 2: Tiba-tiba datang seorang ibu yang sedang mengejar dan memarahi anaknya sendiri dengan membawa sapu lidi karena kebandelan anaknya. Sambil mengumpat, anaknya terus dikejar tetapi si anak lari mendekati kakenya.

Adegan 3: Kejadian itu mengakibatkan talam si kakek jatuh, dan anak kecil tersebut minta perlindungan pada kakeknya. Setelah si kakek berhasil meredakan suasana, akhirnya sang kakek meneruskan menghaturkan sesajinya.

Adeganh 4: Sang cucu bertanya tentang keberadaan Dewa Ganesa yang di berikan sesaji oleh sang kakek. Selanjutnya sang kakek menceritakan kisah Ganesa.

Adegan 5: Dewi Parwati melakukan penyucian diri atau mandi di taman Khayangan. Dari semua mala/kotoran Sang Dewi, terbentuklah sebuah patung. Dengan kesaktian Sang Dewi, patung tersebut di hidupkan sehingga menjadi seorang anak yang amat tampan dan sakti yang diberi nama Ganesa. Mulai saat itu Dewi Parwati menjadikan anaknya tersebut sebagai anaknya sendiri serta


(27)

menugaskan menjadi pengawal pribadinya terutama saat lagi mandi, agar tidak seorangpun boleh masuk ke areal taman.

Babak II

Adegan 1 : Di Gunung Kelasa, Dewa Siwa berkeinginan bertemu dengan istrinya. Maka Beliau mengutus para abdiNya yaitu para gana dan para dewata untuk menemui Dewi Parwati.

Adegan 2 : Para Gana dan Siwa berangkat ke taman untuk menemui Dewi Parwati.

Adegan 3 : Pasukan Dewa Siwa dilarang memasuki wilayah pertamanan, sehingga terjadi pertempuran yang sangat sengit. Namun para gana yang dibantu oleh para dewata tidak mampu menghadapi kesaktian Ganesa.

Adegan 4: Dewa Siwa turun tangan sendiri sehingga kepala Ganesa berhasil dipenggal oleh senjata TrisulaNya.

Adeagan 5: Mengetahui anaknya mati, Dewi Parwati sangat marah dan berubah wujud menjadi Durga/Bairawi, dan hendak membunuh segalanya termasuk para dewa.

Adegan 6: Dewa Siwa amat terkejut karena tidak mengetahui kalau Ganesa adalah anak istrinya, dan para dewa kemudian minta maaf kepada Durga. Durga bisa memaafkan para dewa, apabila Ganesa bisa dihidupkan kembali. Namun segala yang sudah terbunuh oleh Trisula tidak mungkin bisa di hidupkan kembali, kecuali dengan menggunakan kepala lain.

Adegan 7: Dewa Siwa menyarankan para dewa pergi ke wilayah utara untuk mencari sebuah kepala sebagai penggati kepala Ganesa. Akhirnya dengan


(28)

mempertimbangkan waktu para dewa menemukan gajah yang dipenggal kepalanya sebagai penggati kepala anak Ganesa.

Adegan 8: Dengan kekuatan Dewa Siwa, Ganesa bisa hidup kembali dengan berkepala gajah, diberikan anugerah kekuatan dan kesaktian, diangkat sebagai pemimpin para dewa oleh para dewa, dianugrahi sebagai Dewa Penghalau segala rintangan oleh Ibunya Dewi Parwati, diangkat sebagai putra oleh Dewa Siwa dan menjadi pemimpin para gana dengan gelar Ganapati.


(29)

BAB II KAJIAN SUMBER

Penulisan skrip karya ini, penggarap mempergunakan beberapa acuan dari berbagai sumber yang dijadikan dasar dalam membuat karya seni Pakeliran Darta Ya Purna dengan lakon Ganesa yaitu :

1. Pakeliran Padat Pembentukan dan Penyebaran, oleh: Sudarko, 2003. Buku ini mengulas tentang bagaimana memadatkan sebuah karya seni, khususnya seni pedalangan yang biasa dipentaskan 2-3 jam (dibali), dan 6-8 jam (di Jawa). Untuk itu, Sudarko mencoba mencarikan solusi agar dapat mengurangi waktu pertunjukan dengan cara memadatkannya, namun tidak mengurangi substansi cerita. Buku ini juga mengulas bagaimana awal pembentukan pakeliran padat, konsep dasarnya, bagaimana kehidupan pakeliran padat serta beberapa contoh cerita yang sudah dijadikan pakeliran padat.

2. Estetika Sebuah Pengantar, oleh: A.A. Made Jelantik, 2004. Buku yang secara umum mengungkapkan keindahan yang meliputi keindahan alam dan keindahan alam buatan manusia. Dengan demikian kesenian dapat dikatakan merupakan salah satu wadah yang mengandung unsur-unsur keindahan (2004:13). Ada tiga aspek dasar keindahan yang menjadi unsur-unsur estetika yang terkandung kedalam benda dan peristiwa kesenian yaitu: wujud atau rupa (appearance) yang terdiri dari bentuk (form) atau unsur yang mendasar dan susunan atau struktur (structure); bobot yang terdiri dari tiga aspek yaitu: suasana (mood), gagasan (idea),


(30)

ibarat atau pesan (massage); penampilan yang mengandung tiga unsur yaitu: bakat (talent), ketrampilan (skil), sarana atau media. Buku ini dalam garapan Sidakarya mampu memberikan faedah-faedah tentang keindahan manusia ataupun alam dalam melakukan sebuah ritual.

3. Retorika Sebagai Ragam Bahasa Panggung Dalam Seni Pertunjukan Wayang Kulit Bali, oleh: Ketut Rota, 1990. Buku ini mengulas tentang kebahasaan terutama aspek-aspek penggunaan bahasa sebagai ragam tutur. Dalam pertunjukan wayang kulit Bali, tutur atau retorika sangat diperlukan dalam dialog-dialog. Salah satu ragam tutur yang banyak digunakan adalah ragam tutur alternasi, alternasi yang dimaksud adalah penggunaan gaya bahasa berselang seling seperti tutur bahasa kawi dengan tutur bahasa Bali, tutur berbentuk tembang dengan tutur ganjaran (prosa), tutur berirama panjang, tinggi dan keras, dengan tutur berirama pendek, rendah dan lemah. Di samping itu ragam tutur alternasi juga menggunakan ragam tutur yang lain seperti: ragam tutur epentesis yaitu penggunaan gaya bahasa dengan menyelipkan bahasa lain kedalam dialog, ragam tutur repetisi adalah gaya bahasa yang berulangan bunyi, suku kata, kata atau kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Relevansinya dengan garapan, adanya pengulangan suku kata atau kata serta kalimat yang terjadi dalam kalimat yang terjadi dalam dialog antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lainnya. Buku ini merupakan sebuah power yang


(31)

paling utama dalam membuat garapan, tanpa penyusunan kata-kata atau retorika yang benar mustahil sebuah garapan di katakan bagus.

4. Purana Sumber Ajaran Hindu Komprehensif, oleh: Made Titib, 2004. Buku ini menguraikan tentang ajaran Purana secara lengkap seperti misalnya; pengertian dan masa penyusunan Purana, kedudukan Purana dalam susastra Hindu, topic dan pengelompokan kitab-kitab Purana, dan pokok-pokok ajaran Purana. Karena lengkapnya informasi yang penggarap dapat dalam buku ini, maka literatur ini penggarap gunakan sebagai salah satu dari tinjauan sumber garapan. Selain itu, pokok-pokok ajaran purana yang disampaikan Made Titib sangat sesuai dengan amanat lakon yang penggarapkan inginkan. Adapun penjelasan tersebut adalah:

(a) Sraddha, yang mengulas tentang; brahmavidya, atmavidya, karmaphala, samsara/punarjanma, dan moksa. (b) Tata susila, mengulas tentang; dasar etika dan moralitas, catur purusartha (empat tujuan hidup manusia), caturwarnya (empat profesi manusia). (c) Acara, yaitu menguraikan tentang; sadacara, tempat suci (pemujaan), upacara pancayadnya, tirthayatra, hari raya hari suci (Vijaya Dasami, Holi, dll), Sivaratri, dan Saraswati.

5. Siwa Purana vol. II, oleh; Gede Oka Sanjaya, Surabaya, Paramita 2011. Buku ini menjelaskan tentang kitab Purana yang terdiri dari kitab Purana Pokok (Mahapurana) dan kitab Purana Minor (Upapurana). Dari buku ini pula sumber cerita yang penggarap olah menjadi sebuah Karya Seni


(32)

Pakeliran Darta Ya Purna dengan lakon Ganesa. Ke 18 upapurana yang salah satu bagiannya yaitu Siwa Purana terdiri dari;Sanat Kumar, Narasimha, Naradiya, “Siwa”, Durwasa, Kapila, Manawa, Usana, Warenia, Kalika, Samba, Saura, Aditya, Maheswara, Dewibhagawatam, Wasistha, Uisumdharmamottara, dan Nilamata Purana. Sedangkan Purana terdiri dari: Brahma, Padma, Visnu, Civa/Wayu, Bhagawata, Narada, Markandeya, Agni, Bhavisya, Bhrahmavaivarta, Lingga, Varaha, Skanda, Vamana, Kurma, Matsya, Garuda, dan Brahmanda Purana. 6. Weda Sabda Suci Pedoman Praktis Umat Hindu, oleh: I Made Titib, 1998.

Buku ini banyak menjelaskan secara lengkap perihal seluk beluk Veda, seperti; pengertian Veda, kedudukan kitab suci Veda, Para Rsi dan Chanda Veda, Konsep Ketuhanan Dalam Veda, Pembagian Kitab Suci Veda yang di dalamnya ada penjelasan Itihasa dan Purana. Kalimat tersebut berbunyi: “ Itihasa Puranabhayam vedam samupabrmhayet,

Bibhetyalpasruad vedo mamayam praharisyati !”(Vayu Purana I.20). Artinya:

Hendaknya Veda dijelaskan melalui sejarah (Itihasa) Dan Purana (sejarah dan mitologi kuna) Veda merasa takut

Kalau seorang yang bodoh membacanya, Veda berpikir Bahwa dia (orang yang) akan memukulku.

7. Manajemen Organisasi Pertunjukan, oleh; Achsan Permas, dkk, Jakarta, PT. Sadodadi, 2003: 44. Buku ini memberikan cara mengatasi kondisi dan situasi yang dihadapi dalam menggarap dengan mempertimbangkan analisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman.


(33)

struktur drama ke dalam enam tahap: eksposisi, konflik, komplikasi, krisis, resolusi, dan keputusan. Jenis pengaluran yang dipergunakan alur dramatik secara pekat jenuh dalam aspek pementasan teatrikal membantu alur dramatiknya.


(34)

BAB III

PROSES KREATIVITAS

Proses kreatif merupakan awal dari usaha untuk mewujudkan suatu bentuk karya seni. Karena sesuatu yang akan di buat sudah tentu melalui proses untuk menyelesaikan karya yang diinginkan.

Ada tiga tahap proses yang dilalui dalam mewujudkan garapan Pakeliran Darta Ya Purna dengan lakon Ganesa menurut Alma M. Hawkins yaitu :

3.1 Proses Penjajagan/Penjelajahan (Eksplorasi)

Dalam tahapan ini proses dilakukan dengan pencarian ide-ide serta materi-materi yang sesuai dengan kemampuan penggarap. Langkah awal yang penggarap lakukan pada tahap ini adalah mencari sumber dan cerita yang akan di pergunakan dalam membuat suatu garapan. Banyaknya cerita-cerita yang ada, membuat penggarap agak kebingungan dalam pemilihan cerita. Namun dengan berbagai pertimbangan akhirnya penggarap menggunakan Purana sebagai sumber cerita, tepatnya Upapurana yaitu Siwa Purana. Setelah mendapat cerita yang pasti untuk digarap, kemudian dilanjutkan dengan mencari wujud garapan yang diinginkan. Akhirnya di putuskan penuangannya dalam bentuk pakeliran inovatif yang mana perpaduan wayang kulit dan teater dengan iringan gambelan Batel. Pencarian model layar atau kelir yang akan dipakai tempat bayangan wayang juga menjadi pertimbangan, karena sudah begitu banyak model-model layar yang sudah digunakan dalam ujian TA. Akhirnya penggarapan


(35)

menggunakan layar buka-lipat seperti yang sudah disajikan dalam karya. Selain itu pencarian dan penggunaan lighting yang tepat serta penari atau kesting peran yang sesuai, serta pemilihan tokoh-tokoh wayang, merupakan awal eksplorasi penggarap agar bisa mengkolaborasi ide serta konsep yang di sepakati.

Sebagai orang beragama setiap langkah awal kegiatan selalu diawali dengan do’a dan nunas ica. Demikian halnya dengan proses garapan ini, penggarapan juga mohon lindungan Hyang Maha Esa dengan menghaturkan pejati pada saat nuasen (pertama kali memulai latihan). Demikianlah langkah awal proses garapan ini yang setiap latihan selalu penggarap awali dengan nunas ica.

3.2 Proses Penuangan (Improvisasi)

Tahap ini merupakan tahap mencari materi-materi gerakan atau improvisasi yang juga merupakan tahap percobaan mengkolaborasi antara wayang dan tarian baik tarian yang khusus efek bayangan (di belakang layar) ataupun yang murni (di depan layar). Pada tahap ini pula sekaligus penuangan konsep-konsep kepada para pendukung yang telah ditentukan dan dipersiapkan sebelumnya yang akan dituangkan pada saat latihan. Kepada semua pendukung, penggarap juga memberikan susunan adegan, ringkasan cerita serta beberapa dialog walaupun masih sangat kasar sifatnya. Hal ini dimaksudkan agar ada dipakai pedoman berimprovisasi oleh para pendukung sehingga dapat mempermudah dan mempercepat proses latihan. Pada tanggal 10 April 1913 penggarap menetapkan hari untuk nuasen, yaitu pada hari suci “Tilem, Buda


(36)

Kliwon Langkir”. Saat itu juga jadwal latihan disepakati satu minggu tiga kali. Khusus kepada penggarap tabuh/iringan wayang, atas petunjuk Dek Capung dan saran Bapak Gustti Putu Sudarta, penggarap percayakan kepada bapak I Wayan Buda Astra, S.Sn, dari Br. Babakan, Desa Sukawati. Beliau ini ahli dibidang gender dan juga mampu menciptakan lagu-lagu atau gending-gending baru sesuai dengan konsep garapan yang penggarap inginkan. Oleh sebab itu penggarap memberikan kebebasan dalam menciptakan gending-gending yang akan dipergunakan dalam mengiringi garapan yang tentu saja disesuaikan dengan kebutuhan dan suasana garapan. Tata iringan ini juga mendapatkan saran dan petunjuka dari I Gusti Putu Sudarta,SSP., M.Sn yang perupakan dosen jurusan pedalangan ISI Denpasar. Untuk mempercepat proses latihan, di dalam proses latihan penggarap memisahkan penabuh dengan penari teater dan penggerak wayang. Musiknya latihan sektoral di Sukawati, dan teater wayangnya di kampus ISI Denpasar.

3.3 Proses pembentukan (Komposisi)

Sebagaimana terlihat pada 8 (delapan) gambar/foto pada bagian Lampiran di bawah yang diambil pada saat-saat latihan gabungan di gedung Natya Mandala,, adegan demi adegan penggarap susun sedemikian rupa sehingga terbentuk suatu rangkaian cerita yang dinginkan walaupun masih sangat kasar tampilannya. Foto-foto tersebut memperlihatkan dan menguraikan secara rinci suasana, sarana, dan prasarana latihan beserta sejumlah pendukung garapan Pakeliran Darta Ya Purna dengan judul Ganesa. Seperti dipahami bersama


(37)

bahwa tahapan ini merupakan penggabungan dari kedua tahapan di atas, yang merupakan tahap akhir dari pembuatan garapan. Oleh sebab itu penggarap berusaha melakukan perbaikan-perbaikan agar mendapatkan hasil yang diinginkan dan sesuai dengan konsep garapan. Yang tidak kalah pentingnya juga mengadakan latihan sesuai dengan jadwal yang ditentukan secara teratur guna mempercepat terwujudnya garapan ini.

Segala sesuatu yang penggarap buat selalu mendapat pengawasan dari pembimbing untuk memberikan koreksi serta merevisi, sekaligus memberikan masukan dan memperbaiki apabila ada hal-hal yang tidak sesuai dengan tujuan yang diinginkan dalam garapan. Walaupun bermodalkan semangat dan kemampuan yang sangat minim, namun dengan usaha yang keras serta bantuan para pendukung dan motivasi para pembimbing dan semua dosen, akhirnya garapan Pakeliran Darta Ya Purna dapat diwujudkan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.

Dalam tahap revisi penggarap mengundang pakar-pakar seni dari kampus seperti para dosen, staf pegawai, teman-teman mahasiswa dari semua jurusan, dan pemerhati seni dari masyarakat umum yang antosias dan sangat dibanggakan memberikan masukan-masukan yang baik hingga garapan Pakeliran Darta Ya Purna bisa dipergelarkan sesuai jadwal yang ditetapkan dengan baik.

Penggarap juga merevisi sarana dan prasarana yang telah dibuat seperti dua buah kelir lengkap dengan gawangnya, dua buah kaca cermin untuk memperbesar layar proyektor, gapura, sepeda dan patung Ganesa penggarap


(38)

tidak pakai karena menyadari masukan-masukan di atas dan arahan pembimbing setiap latihan-latihan. Hal tersebut dilakukan disesuaikan dengan adegan, mengganti dengan layar buka lipat, tembok kuno dan patung yang terbuat dari spon, sehingga garapan mempunyai nilai arstistik yang utuh.

Demikian pula banyak sebenarnya masukan-masukan yang sangat bagus penggarap belum memasukkan dalam garapan ini karena terbatasnya waktu sehingga masukan-masukan yang sangat mulia tersebut penggarap akan wujudkan pada kesempatan selanjutnya di masyarakat.

Setelah proses revisi, gapura (seperti gambar diatas) yang telah selesai dibuat, tidak perlu dipakai.


(39)

Jadwal pelaksanaan dapat dilihat dalam table berikut.

NO Kegiatan 5 bulan tahun 2013 Jan Feb Mar Apr Mei 1 Tahap Ekplorasi

Pencarian ide, tema, merancang struktur dramatik sesuai tema dan penetapan berbagai aspek seni pertunjukan, untuk kepentingan bobot karya. Pada tahap ini latihan sektoral diperbanyak

2 Tahap Improviasai.

Percobaan menggali gerak-gerak wayang, gerak-gerak tarian, dan juga membangun suasana teater agar sesuai dengan cerita. Pada tahap ini mulai menggabungkan adegan satu dengan yang lainnya namun terus melalui perbaikan yang diperlukan.

3 Tahap Forming.

Merangkai dan menggabungkan konsep-konsep pakeliran dengan teater dan musik pengiringnya dengan

penyempurnaan yang lebih rinci, masukan dari semua pihak terutama masukan dari pembimbing. Dalam tahap ini wujud maupun bobot karya sudah utuh dan siap untuk ditampilkan.


(40)

Sebagai catatan, bahwa sebelum karya ini ditampilkan, penggarap terus melakukan revisi dan penyempurnaan.


(41)

BAB IV WUJUD GARAPAN

Karya seni Pakeliran Darta Ya Purna ini merupakan wujud karya inovasi dari hasil usaha penggarap melalui proses kreatif yang tetap berpedoman dari konsep tradisi. Penggarap mencoba mengkolaborasikan antara wayang dan teater dan mentransformasikan sastra purana ke dalam bentuk pakeliran inovatif. Dengan mengembangkan unsur-unsur pewayangan serta unsur-unsur teater serta memadukan bayangan orang, merupakan wujud dari garapan ini. Penggunaan tata lampu dengan proyektor digunakan sebagai penerangan untuk memunculkan bayangan wayang. Sedangkan lampu penyinaran digunakan lampu panggung untuk para penari teater. Selain itu scenery yang dihasilkan lewat proyektor juga menjadi bagian estetika garapan ini.

Wujud garapan Pakeliran Darta Ya Purna ini dapat penggarap uraikan ke dalam beberapa sub pokok bahasan yaitu: jalan cerita, sinergi ide/konsep, pakem/naskah, gambar, iringan, kelir/layar, kesting/penokohan dan wayang, tata cahaya, dan penyajian.

4.1Jalan Cerita/Ringkasan Cerita

Dikisahkan di sebuah desa, hiduplah seorang kakek yang sedang menghaturkan sesajen kehadapan Hyang Widhi, terutama manifestasinya dalam wujud Ganesa. Pada suatu hari ketika si kakek sedang menghaturkan sesajen, ia tiba-tiba dikagetkan oleh datangnya seorang ibu yang sedang memarahi anaknya. Ibu ini tiada lain menantu dari kakek sendiri yang lagi jengkel dengan kelakuan


(42)

anaknya. Sambil mengumpat anaknya, ibu mengejar anaknya sambil membawakan sapu lidi. Kegaduhan itu mengakibatkan talam si kakek jatuh, dan anak kecil tersebut minta perlindungan pada kakeknya. Setelah si kakek berhasil meredakan suasana, akhirnya sang kakek meneruskan menghaturkan sesajinya. Namun tiba-tiba sang cucu bertanya tentang keberadaan dewa Ganesa yang di berikan sesaji oleh sang kakek. Selanjutnya sang kakek menceritakan kisah Ganesa.

Dikisahkan, Dewi Parwati melakukan penyucian atau mandi di taman Khayangan. Dari semua mala/kotoran Sang Dewi terbentuklah sebuah patung. Dengan kesaktian Sang Dewi, patung tersebut dihidupkan sehingga menjadi seorang anak yang amat tampan dan sakti. Mulai saat itu Dewi Parwati menjadikan anak tersebut sebagai anaknya sendiri serta menugaskannya menjadi pengawal pribadinya terutama ketika sedang mandi, agar tidak seorangpun masuk ke areal taman.

Di tempat lain, yaitu di Gunung Kelasa, Dewa Siwa berkeinginan ketemu dengan istrinya Dewi Parwati. Maka Beliau mengutus para pengawalnya yaitu para gana dan para dewata, berangkatlah Dewa Siwa ke taman untuk menjemput dewi Parwati. Ketika pasukan Dewa Siwa dilarang memasuki wilayah pertamanan oleh Ganesa, maka terjadilah pertempuran sengit. Namun para gana serta para dewata tidak mampu menghadapi kesaktian Ganesa. Akhirnya Dewa Siwa harus turun tangan sendiri menghadapi Ganesa. Dalam peperangan ini Dewa Siwa berhasil memenggal kepala Ganesa dengan senjata TrisulaNya. Mengetahui anaknya mati, Parwati sangat marah dan berubah wujud menjadi Durga/Bairawi,


(43)

dan hendak menghancurkan semuanya dan dewa yang datang. Menyaksikan kejadian tersebut, para dewa mohon maaf kehadapan Durga dan memberitahukan bahwa hal ini terjadi atas kehendak Dewa Siwa. Dewa Siwapun amat terkejut karena tidak mengetahui kalau Ganesa adalah anak angkat istrinya, dan kemudian minta maaf kepada istrinya. Durga bisa memaafkan apabila Ganesa bisa dihidupkan kembali. Mendengar penjelasan itu, Dewa Siwa memberitahukan bahwa segala yang sudah terbunuh oleh Trisula tidak mungkin bisa dihidupkan kembali, kecuali dengan menggunakan kepala lain. Akhirnya Dewa Siwa menyarankan para dewa mencari ke wilayah utara sebuah kepala sebagai pengganti kepala Ganesa. Dengan segera untuk menyelamatkan dunia, para dewa mendapatkan kepala gajah sebagai pengganti kepala anak tersebut. Dengan kekuatan Dewa Siwa, anak tersebut bisa hidup kembali, dan diberikan anugrah kekuatan dan kesaktian. Mulai saat itu Ganesa berkepala gajah diangkat sebagai pemimpin para dewa oleh para dewa, dianugrahi sebagai Dewa Penghalau segala rintangan oleh Ibunya Dewi Parwati, dan diangkat menjadi putra dan sebagai pemimpin para gana (abdi Dewa Siwa) oleh Dewa Siwa dengan gelar Ganapati.

4.2Sinergi Ide/Konsep, Bentuk Penyajian, Suasana Dramtis, dan durasi pentas

peradegan dalam Tabel

No Ide dan Konsep Adegan Bentuk Penyajian Suasana Waktu BA

BAK I

PANGGUNG DI DEPAN LAYAR.

ADEGAN TEATER

1. Seorang kakek setengah baya menghaturkan Seorang kakek dengan membawa Hening dan 1 menit.


(44)

Ganesa, di depan tembok yang akan di persembahkan kepada patung Ganesa, sambil melantumkan sebuah kidung.

2. Ribut-ribut antara seorang ibu dan anak. (di depan tembok, dan keluarnya dari sisi kiri )

Seorang ibu, mengejar dan memarahi anaknya yang bandel dan lari kearah sang kakek, sampai talam sang kakek terjatuh.

Gaduh / Agak kacau

4 menit.

3 Nasehat kakek kepada ibu dan anak (tuntunan) di depan patung dan tembok.

Sang kakek berusaha melerai dan

menenangkan orangtua si anak dan memberikan petuah-petuah seperlunya.

Lebih tenang dari sebelum nya. 1 menit.

4 Percakapan singkat antara cucu dan kakek di depan patung Ganesa.

Dengan keluguannya sang cucu bertanya tentang Ganesa berkepala gajah, dilanjutkan dengan sang kakek bercerita (nyatua) awal kisah Ganesa, sambil berjalan keluar. (out stage)

tenang 1 menit.                  


(45)

DI LAYAR GANTUNG (SCREEN/LAYAR KE 2)

ADEGAN TEATER DALAM

BAYANGAN 5 Dewi Parwati mandi. (di

layar belakang, dengan bantuan kayon sebagai simbol air).

Dewi Parwati

membersihkan badan di taman, dari

kotoran (mala) tubuhnya dijadikan sebuah patung, kemudian di

hidupkannya dengan nama Ganesa, serta diberikan tugas menjaga pintu gerbang taman agar tidak ada yang boleh masuk. Tenang dan mistis 3 menit     Dewi Parwati menciptakan Ganesa


(46)

6 Punakawan Malen-Merdah di layar utama (layar buka-lipat), dan Ganesa.

Punakawan menari (tetikesan penasar) sesuai dengan angsel iringan, dan

berdialog tentang tugasnya sebagai abdi Ganesa, yang bertugas sebagai penjaga taman di saat Parwati sedang mandi.

Tenang dan humor.

3 menit

7 Ganesa Tetikesan Ganesa di

layar utama bersama Malen dan Merdah. Bersiap-siap

menghadap Parwati

Tenang 1 menit

8 Rebong/condong sebagai abdi dewi Parwati

Condong menari dan bernyanyi (tandak rebong), dilanjutkan dengan tetikesan Dewi Parwati. Tenang / riang gembira 1 menit

9 Roman Malen-Condong Tokoh Condong Malen melakukan adegan roman

melalui tetikesan dan vocal.

Riang dan humor

2 menit

10 Dewi Parwati dan Ganesa Dialog Parwati dengan Ganesa agar menjaga taman dan melarang siapapun yang mau masuk ke taman

Tenang 2 menit

11 Ganesa dengan penasar Ganesa berdialog dengan punakawan bahwa tiada

seorangpun yang berani datang ke taman, dilanjutkan dengan dialog Malen-Merdah.

Tenang 1 menit


(47)

  Dewi Parwati parum dengan Ganesa (anaknya) diiringi oleh punakawannya

masing-masing BA

BAK II

PANGGUNG DI DEPAN LAYAR

ADEGAN TEATER

12 Kakek dengan sepeda dan cucu.

Sang kakek berhenti bercerita, tergesa-gesa mau pergi dengan sepedanya untuk mencari makanan babi (dagdag), namun dihalangi oleh cucunya, agar sang kakek melanjutkan ceritanya lagi. Dengan terpaksa si kakek bercerita lagi sambil mencari dagdag.

Kecewa dan kesal


(48)

  Kakek melanjutkan cerita Ganesa kepada cucunya

  DI LAYAR UTAMA/LAYAR BUKA- REBAH ADEGAN WAYANG KULIT 13 Punakawan Delem-Sangut

di layar utama

Delem menari dan bernyanyi diikuti oleh Sangut, dan dilanjutkan dengan dialog tentang keberadaan Siwaloka. Bahwa Dewa Siwa

menyuruh abdi dan para gana

menjemput Dewi Parwati ke taman.

Riang gembira

2 menit

14 Para gana ke taman Beberapa tokoh gana sebagai pengawal Siwa berangkat ke taman tempat Dewi Parwati mandi

Riang gembira


(49)

15 Ganesa dan para gana di layar utama

Dialog Ganesa dan para gana,

dilanjutkan dengan perang. Kekalahan ada di pihak para gana, dan diketahui oleh para dewata.

Tegang/ Resah

3 menit

 

  Para gana berangkat menjemput Dewi Parwati  

  ADEGAN DI DEPAN

LAYAR

TEATER MURNI 16 Drama di depan layar

dipadukan dengan adegan di layar utama (Ganesa bayangan wayang dan tokoh dewa manusia)

Para dewata yang divisualisasikan dengan penari di depan

layar,berperang dengan

Ganesa(wayang)di layar utama. Kekalahan ada di para dewata.

Tegang/ Resah


(50)

  Perang Ganesa(pakeliran) dengan para Dewa (Drama Tari) 

DI TRAP DENGAN DEKORASI GUNUNG

TEATER MURNI 17 Siwa di Gunung Kelasa

(memunculkan gunung-gunungan di belakang layar utama)

Para dewa

menghadap Dewa Siwa di Gunung Kelasa dan mengadukan kesaktian Ganesa sebagai penjaga Dewi Parwati, Siwa dan para dewa menemui Ganesa

Hikmat/ Resah

3 menit

18 Siwa dan para dewa Siwa berperang sampai kepala Ganesa

terpenggal,membuat Dewi Parwati marah dan berubah menjadi Rangda

Tegang dan mistis


(51)

  Dewa Siwa datang membantu para Dewa untuk membunuh Ganesa  

DI DEPAN LAYAR RANGDA DAN

PARA DEWA 19 Rangda dan para dewa

dengan adegan teater depan layar

Rangda sebagai perwujudan Dewi Parwati sangat marah dan ingin membakar semua para dewa,namun para dewa berjanji menghidupkan kembali Ganesa dengan

menggunakan kepala gajah yang

dipenggal di wilayah utara oleh para dewata Tegang dan mence- kam 3 menit

20 Dewata dan Ganesa di depan layar (penari manusia) Dewa Siwa memberikan anugrah pada Ganesa Agung/ ritual 3 menit


(52)

Sementara semua penari dalam kindisi membeku dalam posisi masing-masing, Kakek dan cucu di depan layar Sang Kakek memberikan petuah kepada cucu bagaimana seharusnya seorang anak kepada orang tua, sementara lampu lebih difokuskan kepada tokoh kakek dan cucu. Tenang dan damai, untuk memberi kan intensitas yg tajam pada adegan nyatua si kakek kepada cucu. 2 menit     Kakek mengakhiri cerita pada cucunya dan pertunjukan berakhir


(53)

4.3 Naskah cerita/pakem Jangkep

Pekak : (kidung turun daun): “turun daun . . ., si gedong sari”. Meme : (mengejar anaknya) kal kija, ci ne ahhh… mai paekang

ibane,sajan jlema nakal…sing nongos-nongos jumah!! Cucu : kak… pekak….tulungin kak.., tyang anua jak imeme…

kakkk

Pekak : (sesaji sang kakek jatuh) neh!!.. turah tuah ulung prabot bapa.., nak ngudyang semengan suba uyut, sinq nawang lek teken pisagane ….

Meme : ne, ne cucun bapane, sing taen ngoyong jumah!.. pragat nagih pipis dogen.

Cucu : layah basang cange to.

Meme : we..cai mula nakal..meblanja gen gaene, apa sing ada jumah? Hahhh?

Cucu : fried chicken adaa…,

Meme : (mengangkat alis karena tambah marah).

Cucu : ngidih pipis sing baanga, main PS sing baanga, main game sing dadi, main HP mase sing dadi, pragat orina melajah dogen, masih bin pidan be duweg kal korupsi.. Meme : nah apa kal petaang buin to ah!!

Pekak : nah, nah, nah..de to lantanganga kema pragatang swaginane, depang bapa bakal nglemekang anak cenik sing nawang dilaku..


(54)

Meme : (sambil ngambil talam): nah..urus suba cucun bapane ane cara Celengto..

Cucu : apalagi meme cara kuluk peking…kaing..kaing..kai celeng ng...

Meme : (pergi sambil membawa kapar) orahang bin cepok, lamet tendasne.

Pekak : we..we..ning…prabot bapa! Meme : apa buin ahh..

Pekak : prabot bapa!

Meme : neh!(dengan mukak ketus)!!, “meme meninggalkan mereka berdua”.

Pekak : sajan anak tua sing bisa ngayum anak cenik. Cening mase keto, sing dadi anak bani tekening rerama, apa buin imeme! Nyen kaden cening ento imeme, satmaka Ibu Pertiwi, ane ngrupaka ragan ceninge! Keto nyen ning, sing dadi langgah teken rerama nah ning?

Anak : nah kak

Pekak : nah mai ning, kak bakal nutugang ngayabang banten(kakek melanjutkan menghaturkan sesaji pada patung Ganesa). mantra : Om Sri Guru Byo Yanamah Hari Om. Om Gananam twa Ganapatigum Hawamahae Kawin kawenam, we…ning…dadi ciplak-ciplak, dija maan dedaaran.


(55)

Anak : to di banten kak,e

Pekak : ih ning, mani-mani sing dadi nglungsur banten setonden kak suud ngayabang banten!

Anak : nah kak…, kak ngudiang mebanten di patunge, patung nyen nto kak?

Pekak : beh luwung pesan petakon ceninge, ne mapesengan Ida Ganesa.

Anak : dadi mesirah gajah kak…

Pekak : mai ning, mautama pesan petakon ceninge. Anak ada satwane ento, Ida Ganesa anak alit ane subakti tekenin ibu ning!

Cucu : kenken satwane ento kak!

Pekak : ditu di Siwa Purana Tatwane mungguh, duk ane malu Ida Dewi Parwati,...!

Cucu : nyen nto kak Dewi Parwati?

Pekak : Ida Bhatari Uma, rabin Ida Bhatara Siwa.

Narasi Dalang : “Om..., Om..., Om..., Om Maheswara Srimat Siwa Purana. Ksama akna ingulun angaturaken kawiana sira Weda Wyasa, maka utameng haji purana, Siwa Purana,

maring Rudra Samhita mangaran Kumara Kanda. Caritanan : ri lampah Hyang Mahadewi risedeng

aprayascita maring taman khayanganira. Saking raganira metu sakwehing mala, saking sakwehing mala kapupulan matemahan tawulan. Samangkana...!

Irika...,inurip ikang tawulan, saksana manadi Ganesa...!


(56)

Tualen : Merdah de ngelen-ngelen ci Merdah, nanang kelawaning cai keutus antuk ida betaran nani bhataran nanang.

Merdah : Aduh… saja nanang iraga jani ngiring pemargan Ida Sang Ganesa nanang.

Tualen : duh, yan buat kewibawan Ida sing sandan buwin sampingan cai! Bawa, teja, lan keagungan idane manunggal dadi besik.

Merdah : Aduh saja nanang. Kawibawan Ida Sang Ganesa sing ada nyamain pada nanang! Kingsaking sutha manuting papa, gunaniya mwang gawenya pinandan. Jek pasti cocok nto. Putran Ida Diah Dewi Parwati.

Tualen : Mula ida wikan turmaning pinih-pinih teken pawacanan biang Idane. Cening -cening, keto Ida Dewi Parwati, sangkan ida sing bani piwal.

Merdah : Sangkane Ide raosange Putra ane Suputra. Tualen : Suputrae Nto?

Merdah : Su ngaraning Luwih, Putra Pianak. To pang ke keto irage dadi panak.

Tualen : Beneh!

Merdah : Mawinan ade tetelu tingkatan pianak rawosange nanang! Tualen : Tetelu tingkatang pianake nto merdah yan numadi dadi


(57)

Merdah : Keto nanang!

Tualen : Ani cen nto? Abesik…? Merdah : Putra Utama!

Tualen : Putra Utamae nto?

Merdah : Putra Utamae nto yan I rerama ngelah kebisan melah, pianak ngelah lantas kebisan selae lebihang ken I rerama. Nto ane madan putra utama.

Tualen : Duwegan berarti I panak teken I rerama.

Merdah : Beneh!

Tualen : Jani ane nomor dua?

Merdah : Jani ane tingkat menengah, ade ane madan madyama. Tualen : Madyama ne nto?

Merdah : yan I rerama ngelah kebisan molas, I pianak patuh masi ngelah kebisan molas. To madyama nto ani tingkat menengah.

Tualen : Yan ane nomer telu?

Merdah : Yan putra ane nomer telu, ade ane madan putra Agama. Tualen : Agamae nto?

Merdah : I rerame ngelah ye kebisan molas, I pianak ngelah lantas ia kebisan lelima. Satmaka yan cara Janine ngelah tanah 2 are, nu bin are tengah.

Tualen : Amonto liun bvacakan putrane di gumie dah. Jani sube ye keto jani nanang metakon teken cai!


(58)

Merdah : apo takonan nanang?

Tualen : ane tetelu to sube nyidang cai midartayang, ane cen gen sube bakat terapang cai? Nanang metakon ken cai!

Merdah : Beh aratu. Yan rinasa-nase mekejang nto suba tawang awake nang.

Tualen : Nto sing mare munyin cai ne gen nto! Yan nanang , dadi nanang ngeraosang sing cocok kelawaning cai? To amonto jek mesepuk bungut ci ne ngeraos. Ngorahan mekejang sube bakat pelajahin ci!

Merdah : Mawinan nanang sing cocok ngajak cai? Apane sing cocokin nanang?

Tualen : Yan nanang ngelah demen len, nyak cai kal nuwut demen nanange? Agem gen ci!

Merdah : Aduh sing ja keto nanang! Sing je makejang patut tuwutin! Ade ane sing patut tuwutin care demen anake ane boyo-boyo nto patut tuwutin awake? Ape demen nanange? Tualen : Ngalih cewek… hahaha, dah, de irage meleco.

Merdah : Aduh saje nanang! Sawireh sasuwunan irage Ida Sang Ganesa kautus antuk Dewi Parwati. Ngemitin ida ritatkala Ida jagi masiram.

Tualen : Ne patut anggon nani tatuladan, kenken baan cai pang nyidang nulad Ida Sang Ganesa. Lan tangkilin Ida Sang Ganesa Merdah!


(59)

Merdah : aduh saje nanang. To tolih-tolih nang! Ida Sang Ganesa jagi medal!

Tualen : Ainggih aratu pidaging aratu durusang medal palungguh iratu. Titiiangsampun siaga ngiring pemargan Palungguh cokoridewa.

Ganesa : warnanan ari wijil sira Parwati Suta, Ganesa natan hana waneh. caraka!

Tualen : Titiang aratu!

Ganesa : haywa nunaning pariatna.

Tualen : aduh kapan titiang purun puniki jaga kiwal ring pawecanan palungguh cokoridewa.

Ganesa : apan dinuta lamakane angemit sira Hyang Ibu.

Tualen : Duwaning wenten sabeh pawecanan ida biang iratu. Mangda iratu ngemmit linggih Ida Dewi Parwati Sang kasinangeh Biang Palungguh Cokoridewa.

Ganesa : enak pada yatna-yatna ajaga-jaga, lamakane tan ana wang lumiwar marikanang taman.

Tualen : Aduh, semalih kantun aratu palungguh cokoridewa mahurip, nenten purun djatma tios jaga nampekang linggih biang palungguh cokoridewa.

Ganesa : Sigra! Tut wuri lampah nghulun kaya mangke.

Tualen : Nggih… titiang ngiring aratu! Merdah mai dah! Nto-nto to keto-keto. Nyen lakar ade bani? Yan sube ida sang


(60)

Ganesa, Nanang kelawan cai mejaga ngiring kadi pemargan ida sang Ganesa.

Merdah : Aduh, saje nanang! Irage ngiring sapemargan palungguh cokoridewa.

Tualen : Aduh Merdah iwasin dah!

Merdah : adu nanang, jek len dadi boon ne nanang! Suba jam kude ne nang?

Tualen : Nto-to to iwasin luh-luhe makejang! Makejang masi suba nangsek ring linggih Ida Dewi Parwati.

Merdah : Aduh Nanang, ne suba prasida ida diah Dewi Parwati masiram nanang.

Tualen : Jek sing ade bani piwal! Panyerowane nayaka makejang! Jek setata nangsek ring linggih Ida Dewi parwati dah. Merdah : Aduh, penyeroan Idane jeg jegeg-jegeg gati nanang! Sing

dadi abe besik mulih nang?

Tualen : Jeneng cine nagih ngajak mulih?! To to to iwasin merdah! Merdah : Mulat nia hana wisik. Wisikaken bajang ne ngoner

ngakung. Aduh nanang… Tualen : Ngonyong cai dini malu dah!

Merdah : Wih.., nanang! Kal kije to nang? Woy! Nang! De jemak gegaen nto nanang! Duh ratu jek sajan, ngintip kale polone! Nang! Mai nang! Wuy!


(61)

Merdah : De Ngintip nang! Condong : (Rebong)

tayungane lemet malengkung, Paliate nunjung biru, Untu asat ngati bambung, Kemikane ngemu madu, kenyung manis mangedanin.

Condong : Dewa ratu, liang paidepan gelahe jani. Cen ani mawinan keto? Ngiring pemargan palungguh Ida Sang Dewi Parwati dini di taman. Aduh Dewaratu Jani ida, Dewi Parwati suba maduwe putra. Aduh yan nirgamayang, kenken ja kadi Sang Hyang Surya. Jek keto nyen kebagusan Idane. Kadi rase idewek sube tua jak kadi rasa suba buduh paling. Duh ratu… ainggih aratu duwagung istri, bhatari palungguh cokoridewa. Durusang tedun aratu. Titiang sampun siaga aratu nyanggra sapangrawuh cokoridewa.

Dewi Parwati : ariwijil, Diah Murti Girinda Putri, Dewi Parwati natan hana waneh. Uduh… pariwaran ingulun!

Condong : Ainggih titiang parekan iratu titiang. Palungguh betari Dewi Parwati : Luwir garjita tuas ingulun, sawityan ana putra sawiji

mengaran Ganesa.

Condong : Ledang-ledang pekayunan palungguh cokoridewa sekadi mangkin. Napi sane mahawinan sapunika.


(62)

Condong : aduh dewa ratu, yan asapunika putarn palungguh cokoridewa, ida sang Ganesa jeg bagus sampun bagus. Mawibawa sampun mawibawa. Titiang gen sampun buduh paling aratu.

Dewi Parwati : mangke ulun bipraya atemu lawan ranakku.

Condong : Pikayunan palungguh cokoridewa sane mangkin jagi pacang nampedan ida I anak. Asapunika aratu?

Dewi Parwati : Garjita,enak tut wuri lampah ngulun kaya manngke. Condong : Ainggih paduka bhatari, titiang wantah sairing ngiring

pemargin palungguh bhatari. (Angkat-angkatan)

Condong : Dewaratu, tidong-tidong tua! Jek kedeng-kedeng beli liman tiang bli!

Tualen : Nyen ngedeng? Ade sing ngedeng!

Condong : Do ketoange ragoe! Awak suba tua! Tiang nak nu bajang ting-ting!

Tualen : Jek tuan cange ubat-abit nyi! Kudiange nyai ken tuan cangee?

Condong : Sing dadi bene keketo, titiang nak nu bajang! De ketoange tiang! De nyemak-nyemak nyonyo keto!

Tualen : Masi sing ade nyen!

Condong : Dewa ratu…


(63)

Condong : Aduh, tiang sing je maan ngerunguang nak tua kekene! Anak nu liu gegaen cange!

Merdah : Aduh nanang! Jek nanang sing bisa ngajiang awak! Dija nanang ne? Dija nanang ne?

Tualen : Beh, di taman! Engken ne?

Merdah : Aduh nanang, nanang nak kanikain kal ngemit ne nanang! Pang sing cara pagar makan tanaman nyen!

Tualen : Nanang nak sube ngiring pawecanan idane, kewala mesambilan.

Merdah : Aduh nanang, de mesambilan nanang, lek atie nanang! Tualen : Arah, tengilan iban caine!

Merdah : aduh nanang jek keto nanang! Sing nyidang ngajian wake nanang!

Tualen : Keto cai sing taen nepukin lud! Nanang gen tuwutin! Kone tingkahing suta nganut ring bapa!

Merdah : wake nak sing ngawag-ngawag care nanang ngalih kurenan nanang!

Tualen : Aduh, yan kene goban cine sube jelek nu masi cai milihin ngalih somah!

Merdah : Awake sing care nanang! Somahe nto nak lakar anggon seumur hidup nanang!


(64)

Merdah : yan awake dot lakar ngalih kurenan, pang awake maan anak luh …

Tualen : demen-demen atin ci to?

Merdah : Sing ja keto! Ada anak luh ane sing nyandang juang to nanang!

Malen : jalan dah..jani iring ida anake alit lakar nyaga sewewengkon tamane dini di Siwaloka..

Merdah : masedewek nanang..

Ganesa : singgih inganika ibu, tabe-tabe ranak inganika Ganesa angaturaken anjali lamakana sidhi ing sabda pakulun. Malen : aratu ibu agung, sampunang sumandang saya, banggyang

tityang dados satpam nyaga kawentenan tamane iriki. Parwati : uduh nanak nandana pwa kita, garjita tuas ibunta kaya

mangke, mapan kita satya ing sabda.

Condong : kewala de cening bakal tuna yatna, kenten ida ibiyang Ganesa : singgih hyang Ibu, ranak inganika satata ing sabda

pakulun.

Malen : To keto nyen subaktin Ida Sang Ganesa ring ibun ida. Merdah : Pih saja nanang jalan apang sing kasep tampekang ida

nang.?

Pekak : yah tengai suba, bakal ngalih dagdag malu bedik. Anak : stop, stop, stop kak kal kija ne!


(65)

Anak : tonden pragat satuane.

Pekak : yih kaden suba ning, too suba satwan Ida Ganesa. Anak : dadi ye mesirah gajah kak.

Pekak : yih saja, mai ning bakal tugtugang pekak satuane sambil ngalih dagdag, nah jani ditu di Siwa Loka, Ida Bhatara Siwa mapekayun matemu sareng rabin Idane Dewi Parwati, ditu lantas Ida ngutus para ganane mendak ke taman. Nah.. nah... tototo..suryak-suryak para ganane. Narasi : Caritanan.... wateking para gana... marikanang

Siwaloka... ramia pada agirang

P. gana : Riwijil... paragana... ae,,ae... aruang..aruang... enak pada mijil.

Delem : Bedang sara tisaya... ketara hanja-hanja tenas puana buja, pada pupu muang Angga, buta diraksasa, kala rupa muntab geseng mangane kunapa. Sanguuut..

Sangut : Wuh...

Delem : gebrasang gebrasang iban caine Sangut : masedewek icang, Lem

ting ting perit, bondole matenggek perit, ikajuru kena begal kena bedil, katuju memeh lueng mai malu dot kelencing, kuang-kaing ing ing ing


(66)

Malen : Yah... nyen jeg anak rame teka dah... Ratu Sang Hyang Ganesa, wenten anak rauh, akeh pisan sapa sira puniki....

Ganesa : Sigra...

P. gana : ih... siapa kita wong lare umadang pahawaning ulun? Delem : yih...nyen cai cenik peceh... nyadang wake dijalane?

Ah...

Merdah : Memukul...

Ganesa : ingulun mengaran Ganesa, Sutanira Dewi Parwati, sedeng ajaga-jaga.

Tan dadi wang len liwar ingkene.

Malen : Tyang madan Ganesa, putran Ida Dewi Parwati... mejaga iriki... ten dados Anak tios ngranjing meriki ke taman. P. gana : ih... siapa? Ganesa... pah kita lara antian cangkah

cumangkah. Tan uruh kita yeki para gana dateng merangke.

Ganesa : diastu siapa kita tan wineh manjing...

Merdah : Nyen ja... diapin paragana, bupati.. gubernur.. pokokne sing dadi masuk...

P.gana : Pih... yan mingkene amrih pati kita... yanta mati kita mangke.

Ganesa : Enak pelaga juga.... Perang...


(67)

Pekak : nah keto tatwan Ida Sang Hyang Ganapati, Ida Ganesa anak alit ane kaya satya, subakti tekenin ibu.

Cucu : saja kak!

Pekek : sajaning! Sing ja cara cening bani-bani teken rerama Cucu : nah kak! Tyang kal cara Ganesa!

Pekak : saja ning!

Cucu : sepedane ulung kak! Pekak : sing kenken, untengne cening nuut Ida Ganesa! To mara


(68)

4.3Aparatus pertunjukan 4.3.1 Iringan

Musik pengiring garapan ini adalah Gambelan Batel Gede dengan tambahan sebuah Gong dan dua buah kendang pepanggulan untuk mendukung adegan-adegan dramatis sehingga terkesan lebih heroik dan mencekam. Personilnya terdiri dari mahasiswa Jurusan Pedalangan dan dilengkapi oleh mahasiswa Jurusan Karawitan. Gambelan Batel Gede yang digunakan terdiri dari:

a. 7 tungguh gender b. 1 buah kempluk c. 1 buah klenang d. 1 buah gong

e. 4 buah kendang (sepasang kendang batel dan sepasang kendang pepanggulan)

f. 1 prangkat kecek g. 1 buah klentong h. 3 buah seruling bambu

4.3.2 Kelir/Layar

Layar yang digunakan adalah 2 buah layar yang terbuat dari kain yaitu yang terdiri dari layar utama dan layar pendukung. Yang dimaksud layar utama adalah layar yang digunakan dan dapat diolah pada saat pertunjukan sedang berlangsung. Adapun layar tersebut dibuat sedemikian


(69)

rupa sehingga bisa dibuat rebah dan dibuka kembali sesuai dengan kebutuhan pentas. Layar ini menggunakan tali dan besi sebagai bahan pendukung untuk dapat membuatnya rebah dan terbuka kembali. Adapun panjang dan lebar kelir utama adalah 3,5 meter x 6 meter. Layar pendukung adalah layar yang digunakan untuk membantu adegan yang diperlukan pada saat pertunjukan. Layar tersebut adalah layar yang tersedia dipanggung Natya Mandala yaitu layar putih yang telah tersedia di sana.


(70)

Gambar Pementasan Di Gedung Natya Mandala ISI Denpasar


(71)

4.3.3 Penokohan

Tokoh-tokoh yang digunakan dalam garapan ini adalah manusia dan wayang. Adapun tokoh yang diperankan oleh manusia adalah tokoh Dewi Parwati, tokoh Ganesa, tokoh Siwa para dewa, tokoh Bairawi (Durga), tokoh Pekak, Meme, dan Anak kecil (cucu). Tokoh wayang yang diperlukan adalah : kakayonan, punakawan (delem, sangut, merdah, malen), condong, Parwati, Ganesa, para gana, para dewa. Sedangkan wayang-wayang pendukung yang digunakan adalah binatang (gajah, kuda) senjata-senjata (panah, gada, trisula, cakra).

4.3.5 Tata Cahaya

Tata cahaya yang dimaksud disni adalah cahaya yang digunakan baik sebagai penerangan maupun penyinaran. Adapun sumber cahaya tersebut didapat dari slide pyoyektor sebagai sumber cahaya dalam menghasilkan bayangan wayang. Sumber cahaya lainya adalah cahaya lampu listrik sebagai penerangan bayangan orang dan lampu yang telah tersedia dipanggung Natya Mandala, termasuk juga lampu folospot sebagai Lampu panggung, dan digunakan untuk memberikan penyinaran kepada teater yang ada di depan layar utama, seperti adegan tokoh Pekak, Meme, dan Cucu serta adegan dramatari perang gana dan para dewa.


(72)

Adapun pendukung garapan ini adalah mahasiwa Jurusan Pedalangan ISI Denpasar, dibantu oleh beberapa dari jurusan Tari dan Karawitan. Selain mahasiswa ISI Denpasar sebagai pendukung utama, juga dibantu oleh masyarakat Abiansemal sebagai pendukung pembantu.

4.3.7 Penyajian

Garapan Pakeliran Darta Ya Purna dengan judul Ganesa ini disajikan pada tanggal 24 Mei 2013 di panggung Natya Mandala ISI Denpasar sebagai persyaratan Tugas Akhir (TA) mahasiswa dengan durasi pagelaran 45 menit. Secara khusus garapan ini disajikan dihadapan dewan penguji yang telah ditentukan untuk dapat memberikan penilaian terhadap karya seni yang disajikan. Selain itu karya ini juga disajikan kepada penonton umum yang datang menyaksikan garapan ini, sekaligus memberikan penilaian mereka kepada karya ini, walaupun hanya sebagai penilaian apresiasi belaka.


(73)

BAB V PENUTUP

5.1 Simpulan

Garapan Pakeliran Darta Ya Purna merupakan karya inovasi yang mengkolaborasikan teknik mesatwa, dramatari dan struktur pertunjukan wayang kulit, yang juga menjadi ide utama garapan. Ide di atas penggarap tuangkan ke dalam bentuk pakeliran lipat-buka yang juga merupakan salah satu konsep kreasi garapan. Sebagai pesan dan amanat penting dalam garapan ini menyoroti banyaknya anak-anak masa kini yang kurang respek kepada orang tuanya dan kekurang mampuan orang tua dalam mengayomi dan mendidik anaknya, bahkan banyak di ekpose anak-anak mengkonsumsi narkoba perlu mendapat perhatian dan tuntunan. Karya ini disajikan untuk persyaratan Tugas Akhir (TA) penggarap, dalam menyelesaikan studi di Prodi Pedalangan Institut Seni Indonesia Denpasar.

Kitab Purana merupakan kumpulan cerita tentang pembuktian hukum yang pernah terjadi, upacara agama, tattwa hidup, lagu, tari-tarian, drama, lukisan, pemerintahan, hak dan kewajiban rakyat, adat istiadat, kesehatan, dan lain-lainnya. Tujuan dari penulisan kitab Weda Smrti Upaweda Purana adalah merupakan penjelasan tentang sumber-sumber kebaikan dan sumber kejahatan. Salah satu cerita tersebut adalah Ganesa, yaitu seorang Dewa yang amat setia berbakti kepada orang tua (Parwati-Siwa) sehingga dapat julukan pahlawan yang tak tertandingi diangkat sebagai pemimpin para dewa, dianugrahi menjadi Dewa Penghalau segala rintangan dan sebagai pemimpin para gana bergelar Ganapati.


(74)

Struktur pertunjukan garapan ini, disesuaikan dengan ide dan konsep yang telah direncanakan sebelumnya. Layar lipat-buka serta bantuan tembok kuno dan patung Ganesa merupakan perpaduan konsep tempat mentransformasikan adegan teater wayang dan adegan teater masatwa. Selain itu layar yang tersedia di Natya Mandala juga difungsikan sebagai bayangan tokoh Parwati dan Ganesa dalam bentuk bayangan manusia. Jadi garapan Pakeliran Darta Ya Purna ini, memadukan teater wayang, teater tutur dan bayangan orang yang diapresiasikan lewat dua buah layar, serta panggung dengan latar belakang tembok kuno dan patung Ganesa.

5.3 Saran-saran

Pada kesempatan ini, penggarap ingin menyampaikan beberapa saran berkenaan dengan pelaksanaan Ujian Tugas Akhir mahasiswa ISI Denpasar, Khususnya Jurusan Pedalangan. Adapun saran-saran tersebut:

1. Hendaknya dalam pelaksanaan ujian karya, mahasiswa penciptaan diberikan metode penulisan lebih sederhana dibandingkan drngan pengkajian yang dituntut mengikuti aturan-aturan tulisan yang hampir sama

2. Diharapkan kurikulum memberikan matakuliah komposisi yang lebih kepada mahasiswa pedalangan yang telah memilih penciptaan, untuk mempersiapkan diri lebih awal dan matang sampai pada saat ujian TA.

3. Mencarikan pengajar-pengajar model pewayangan, baik dari luar daerah bahkan luar negeri, untuk menambah wawasan pewayangan sekaligus sebagai bahan kreatif dan bahan apresiasi.


(75)

4. Mengharapkan mahasiswa bisa meminjam sarana dan prasarana yang berada di kampus dipakai untuk membantu dan mendukung suksesnya karya seni (TA).

5. Diharapkan Karya ini bisa dijadikan bahan pembanding oleh penggarap lainnya.

6. Cerita Purana sangat penting untuk mencapai kebijaksanaan setelah mendalami cerita Ramayana dan Mahabharata maka Kitab Purana dilanjutkan dalam berbagai seni pertunjukan.


(76)

DAFTAR PUSTAKA

Debroy ,Bibek & Dipavali Debroy. 2001. Bhavisya Purana, Surabaya: Paramita __________________. 2001. Vayu Purana. Surabaya: Paramita

__________________. 2002. Brahmanda Purana, Surabaya:, Paramita

Dibia, I Wayan.2004. Pragina : Penari, Aktor, dan Pelaku Seni pertunjukan Bali. Malang ; Seva media

Hawkins,Alma M. 1990. Creating Through Dance (mencipta lewat tari terjemahan Y. Sumantiya Hadi) Yogjakarta Institut Seni Indonesia Jelantik, A. A. Made. 2004. Estetika Sebuah Pengantar. Bandung : Majalah Seni

Pertunjukan Indonesia

Karanavar, G.K. 2000. Mengungkap Rahasia Siwa di Bumi, Jakarta: Komite penerbitan buku Yayasan Sri Satya Sai Indonesia.

Maswinata, I Wayan. 1996. Gayatri Sadhana, Surabaya: Paramita.

Nala, I Gusti Ngurah & I G. K. Odia Wiratmadja. 1995. Murddha Agama Hindu. Denpasar: Upada Sastra.

Permas,Achsan dkk.2003. Manajemen Organisasi Pertunjukan, Jakarta, PT. Sadodadi,

Rao,V.V.B. 2008. Siva Purana, Surabaya: Paramita.

Sanjaya, Gede Oka. 2001. Wisnu Purana. Surabaya: Paramita.

_________________ . 2011. Siva Purana vol. II, Surabaya: Paramita. __________________. 2010. Siwa Purana vol. I. Surabaya: Paramita.

Satoto, Soediro, Wayang Kulit Purwa, 1985. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi).

Sedana, I Nyoman. 2004. 30 Tahun Dinamika Seni Pewayangan, Fakta, Isu, Masalah dan Perspektif. Orasi Ilmiah pada Dies Natalis I dan Wisuda Sarjana Seni II ISI Denpasar: Program Studi Seni Pedalangan.


(1)

67                                     

Suasana saat latihan sektoral pemain wayang

Penyesuaian gerak wayang dan perpindahan sineri


(2)

(3)

69   

   


(4)

Pendukung Teater:

1. Ni Gst Ayu Parwati: sebagai meme.

2. I Made Dian Daeria Daneswara : sebagai cucu.

3. I Gusti Ngurah Gede Oka Wiratmaja : sebagai Siwa.

4. I Wayan Bratasena : sebagai Brahma. 5. I Komang Trisnajaya: sebagai Indra.

6. I Gusti Ngurah Wisnu Pramana: sebagai Wisnu.

7. I Komang Adi Pratama: sebagai Ganesa.

8. Dewa Mesi Negara sebagai Durga.

9. Anak Agung Dewi Setiawati sebagai Dewi Parwati.

Pendukung Wayang:

1. I Kadek Budi Setyawan, sebaagai koordinator pakeliran.

2. I Wayan Ari Wibawa.

3. I Komang Pande Artawa.

4. I Putu Rekayasa.

5. Pande Bambang

Pendukung Penabuh:


(5)

71   

3. I Gusti Made Darma Putra : gender

4. I Kadek Agus Sastrawan : gender

5. I Kadek Bhaswara Dwitya: gender, sebagai koordinator.

6. I Made Yoga saputra: gender

7. Yasuko Takei: gender

8. I Komang Adi Saputra: kendang

9. A.A Gde Agung Ariwamsa: kendang

10.I Kadek Gunawan: kecek

11.Ida Bagus Gede Suparsa : Kajar 12.I Putu Trisna Nugraha : Gong 13.I Putu Adi Maretayasa : Klenang 14.I Putu Yudik Setyawan : Klentong

Pendukung Tata Cahaya:

1. I Made Panji Wilimantara sebagai koordinator. 2. I Putu Ardyasa.

3. Maulana Putra Dandiasri

Pendukung Gerong :

1. Ida Ayu Werdi Kusuma Putri

2. Ni Wayan Sukerti


(6)

1. I Putu Indra Parusha sebagai koordinator.

2. I Wayan Balik Anto.

3. I Gusti Aryana.

4. Ida Ayu Werdi Kusuma Putri.

5. Dewa Mesi Negara.

6. I Putu Ardyasa.

Seksi Banten dan upacara:

1. Men Sari. 2. Ni Made Anggraenita Wira Putri, S.Pd.

Pembantu umum: 1. Made Garsana. 2. Ketut Jarna. 3. Ketut Ronal. 4. Putu Yana.

5. Sekaa Batel Tamyang dan Sekaa Wayang dan Topeng Samirata Desa Abiansemal.