PERAN CENDEKIAWAN SEBAGAI PEREKAT BANGSA
PERAN CENDEKIAWAN SEBAGAI PEREKAT BANGSA
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Khususnya untuk negara berkembang seperti Indonesia, kaum cendekiawan tidak boleh
hanya "berumah di atas angin", hanyut dalam wacana yang serba mewah dan gemerlapan,
atau sekadar menjadi komentator politik yang belum tentu mengerti medan. Mereka oleh
kesadaran sejarah dan tanggung jawab kemanusiaannya haruslah turun ke bumi untuk
turut merasakan denyut nadi rakyatnya yang masih tertatih-tatih dalam memetakan masa
depannya yang galau dan serba tidak pasti. Seorang cendekiawan di samping perlu
menjaga integritas moral dan intelektualnya agar tidak terkesan menjadi partisan dalam
berpikir dan bersikap, tetapi pada saat-saat kritikal ia haruslah menentukan pilihan,
kalau pilihan itu memang untuk kepentingan yang lebih besar, kepentingan bangsa dan
negara, bukan hanya untuk kepentingan golongan yang seagama sekalipun. Bagi saya
seorang cendekiawan di samping menjadi warga negara yang baik, sekaligus ia adalah
seorang warga dunia dengan wawasan universal yang tahan banting.
ICMI (lkatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia) yang lahir 14 tahun yang lalu pernah
disebut sebagai kelompok pemikir bangsa yang handal dengan Program 5-K (kualitas
iman dan taqwa, kualitas pikir, kualitas karya, dan kualitas hidup) yang terkenal itu serta
diikuti oleh beberapa langkahnya yang spektakuler, tetapi hanya untuk beberapa tahun.
Kedekatannya dengan rejim yang kemudian tumbang, sedikit atau banyak telah
meredupkan citranya sebagai kekuatan intelektual independen yang mampu mencerahkan
bangsa ini dalam segala situasi. Enam tahun sudah ICMI bergumul dengan Era Reformasi
yang dinamis dengan suka dan dukanya yang datang silih berganti. Kemudian karena
syahwat politik yang nyaris tak terbendung, ketua umumnya sebelum sampai di ujung
jalan bahkan telah meninggalkan lkatan ini dan digantikan oleh yang sekarang. Seorang
cendekia sebaiknya janganlah menjadi bagian mesin politik tertentu, sekalipun ia harus
paham situasi bangsa dengan segala dinamika dan persoalannya.
Tidak mudah memang menjaga independensi di tengah tarikan dan godaan politik yang
sering menggiurkan. Dunia politik di mana pun di muka bumi ini selalu menjanjikan
"pahala" di depan mata kalau berhasil, bukan pahala jauh di seberang sana, sebagaimana
diajarkan di dunia da'wah. Politik cenderung memecah dan berpecah, da'wah selalu
merangkul dan mempersatukan. Di dunia da'wah, musuh perlu diluluhkan hatinya agar
tercerahkan, di dunia politik, lawan jika perlu dibinasakan hingga babak belur. Inilah
kenyataan politik yang terlepas dari kontrol moral-transendental. Pertanyannya adalah:
dapatkah ICMI menjadikan politik sebagai alat da'wah sehingga sebuah perkawinan
yang relatif ideal antara moral dan kecenderungan kepada kekuasaan dapat diciptakan?
Dengarlah makna ayat di bawah ini: "Tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah
[kejahatan] itu dengan cara-cara yang lebih baik. Maka tiba-tiba orang yang bermusuhan
denganmu, seolah-olah telah menjadi sahabat karib[mu]. Dan tidak diberikan [sifat] yang
demikian itu melainkan kepada orang-orang sabar; dan tidak diberikan [sifat] yang
demikian itu melainkan kepada orang yang mempunyai kebahagiaan yang besar. Lih. Q
(al-Qur'an) s. Fushshilat: 34-35. Bukankah kemampuan menjinakkan lawan adalah
sebuah seni-gaul yang tinggi nilainya? Budaya politik Indonesia tampaknya perlu belajar
bagaimana mengembangkan sikap sabar dan lapang dada, sekalipun berhadapan dengan
musuh yang keras kepala yang selalu mengintai kelengahan seseorang untuk
dilumpuhkan. Barangkali Program 5-K ICMI juga perlu diarahkan untuk mencari teman
sebanyak-banyaknya sehingga kehadiran lkatan ini benar-benar dirasakan oleh semua
pihak sebagai sebuah keniscayaan sejarah.
Dalam perjalanannya, ICMI tidak jarang tersandra antara dua kutup itu, mungkin bahkan
sampai hari ini, tergantung terutama sampai berapa besar kadar syahwat politik nakodanakoda utamanya. Kalau prinsip da'wah yang lebih mengernuka, maka posisi independen
lebih mudah dipertahankan. Sebaliknya bila tarikan politik praktis yang lebih dominan,
maka independensi ICMI pasti akan menuai banyak sorotan tajam dan kaum cendekia
yang berpikir bebas, tetapi peduli kepada lkatan ini. Dalam perspektif ini, jika ICMI
memang berniat tampil sebagai kekuatan perekat bangsa yang agak tercabik-cabik ini,
maka prinsip da'wah dan kecendekiaan harus lebih ditonjolkan.
Apalagi bila tujuannya untuk menciptakan sebuah masa depan yang madani, di mana
semua warga negara punya peluang yang sama untuk memainkan perannya secara
proporsional, tanpa ada rasa takut kepada politik diskriminatif dari penguasa. ICMI
hendaklah tampil sebagai payung besar bagi bangsa yang "tak putus dirundung malang''
ini. Peran itu dapat dilakukan karena semua syarat untuk kita miliki, asal kita punya
kemauan dan kesadaran ke arah itu. Sebuah bangsa yang sedang dililit gurita korupsi,
dari pucuk sampai ke akar, dari pusat sampai ke daerah, kehadiran payung besar itu
sungguh dinantikan oleh semua pihak.
Dalam proposal untuk kepentingan Rakornas ini, saya melihat sebuah kearifan ICMI dan
watak independennya cukup dirasakan. Ini terlihat misalnya bahwa semua capres
diundang untuk berbicara di forum ini dengan tidak melihat dari partai mana asalnya.
Mudah-mudahan tidak ada yang berhalangan untuk datang, karena ini juga merupakan
peluang bagi mereka untuk bertatap muka dengan kaum cendekiawan. Di samping itu
patut pula kita catat bahwa bukankah mereka capres/cawapres itu adalah alumni tanah
suci? Semuanya bertitel haji dan seorang hajjah. Mengundang mereka bagi saya adalah
sebuah keniscayaan bagi ICMI sebagai organisasi cendekiawan yang ingin memayungi
semua golongan dan partai dan tidak rela jika bangsa ini terpecah-pecah dan terkotakkotak akibat persaingan politik yang tidak selalu sehat.
Tentunya kita berharap, siapa pun di antara mereka yang terpilih nanti sebagai nakoda
nasional, memorinya tentang ka'bah tidak akan pernah pupus dan hati dan otaknya.
Ka'bah sebagai simbol universal yang mempersatukan arah orang-orang beriman. Di
mana pun mereka berada, jika shalat pasti mengarah ke ka'bah, bukan ke penjuru-penjuru
yang lain. Ada pun masih banyak umat Islam belum memahami filosofi ini, menjadilah
tugas kita semua untuk mengingatkan mereka bahwa perpecahan sesama Muslim di mana
pun di muka bumi ini adalah sebuah pengkhianatan terhadap nilai-nilai dasar
persaudaraan umat. Tetapi alangkah sulitnya membina persaudaraan ini kalau jiwa para
pemimpin telah terkontaminasi oleh kepentingan politik sesaat. Yang lebih tragis lagi
adalah perseteruan antar pemimpin itu tidak jarang memakai dalil agama. Dengan cara ini
sebenarnya Tuhan telah dibajak, demi ambisi politik. Akibat buruknya, cepat atau lambat,
yang bersangkutan dan masyarakat banyak pasti akan merasakannya.
Para capres dan cawapres yang kini sedang sibuk berkampanye hendaklah senantiasa
ingat bahwa mereka adalah alumni tanah suci yang tidak boleh main-main dalam berjanji,
karena janji-janji itu adalah utang yang wajib dibayar. Adalah karena kesalahan para
pemimpin terutama yang menyebabkan bangsa ini sudah merasa lelah dan muak dalam
mendengar janji kampanye yang muluk-muluk, tetapi jarang ditepati setelah terpilih jadi
pemimpin, eksekutif atau legislatif. Keretakan bangsa ini bukan karena ulah rakyat kecil
atau wong cilik, tetapi karena ketidakpedulian pemimpin terhadap kesepakatan dasar kita
semua, terutama terhadap sila ke lima: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pemimpin yang akan datang perlu belajar sejujur-jujurnya dari peristiwa masa lampau
yang belum jauh, yaitu bahwa pemimpin tidak boleh bermain-main dengan sila ke lima
itu. Sekali sila ini diterlantarkan, maka risikonya hanya satu: negeri ini akan tetap
"rusuh", bentrokan demi bentrokan akan datang silih berganti, sebagaimana terekam
dengan baik dalam berbagai periode sejarah modern kita.
Karena janji yang tak kunjung ditepati inilah sebenarnya mengapa masalah Aceh dan
Papua sampai berlarut-larut, tak kunjung usai, sementara darah sesama anak bangsa telah
terlalu banyak yang tertumpah untuk sesuatu yang tidak mulia. Di tengah-tengah
pergolakan daerah itu, para pejabat masih sempat juga melakukan perbuatan a-moral
berupa korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Pertanyaan saya adalah: apakah sebagian
pejabat kita memang telah kehilangan akal sehat dan nuraninya dibiarkan lumpuh dan
tumpul?
Demikianlah pidato pembukaan ini telah disampaikan, semoga dapat menjadi bahan
pertimbangan yang sederhana dalam sidang-sidang komisi selama Rakornas ini.
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 07-2002
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Khususnya untuk negara berkembang seperti Indonesia, kaum cendekiawan tidak boleh
hanya "berumah di atas angin", hanyut dalam wacana yang serba mewah dan gemerlapan,
atau sekadar menjadi komentator politik yang belum tentu mengerti medan. Mereka oleh
kesadaran sejarah dan tanggung jawab kemanusiaannya haruslah turun ke bumi untuk
turut merasakan denyut nadi rakyatnya yang masih tertatih-tatih dalam memetakan masa
depannya yang galau dan serba tidak pasti. Seorang cendekiawan di samping perlu
menjaga integritas moral dan intelektualnya agar tidak terkesan menjadi partisan dalam
berpikir dan bersikap, tetapi pada saat-saat kritikal ia haruslah menentukan pilihan,
kalau pilihan itu memang untuk kepentingan yang lebih besar, kepentingan bangsa dan
negara, bukan hanya untuk kepentingan golongan yang seagama sekalipun. Bagi saya
seorang cendekiawan di samping menjadi warga negara yang baik, sekaligus ia adalah
seorang warga dunia dengan wawasan universal yang tahan banting.
ICMI (lkatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia) yang lahir 14 tahun yang lalu pernah
disebut sebagai kelompok pemikir bangsa yang handal dengan Program 5-K (kualitas
iman dan taqwa, kualitas pikir, kualitas karya, dan kualitas hidup) yang terkenal itu serta
diikuti oleh beberapa langkahnya yang spektakuler, tetapi hanya untuk beberapa tahun.
Kedekatannya dengan rejim yang kemudian tumbang, sedikit atau banyak telah
meredupkan citranya sebagai kekuatan intelektual independen yang mampu mencerahkan
bangsa ini dalam segala situasi. Enam tahun sudah ICMI bergumul dengan Era Reformasi
yang dinamis dengan suka dan dukanya yang datang silih berganti. Kemudian karena
syahwat politik yang nyaris tak terbendung, ketua umumnya sebelum sampai di ujung
jalan bahkan telah meninggalkan lkatan ini dan digantikan oleh yang sekarang. Seorang
cendekia sebaiknya janganlah menjadi bagian mesin politik tertentu, sekalipun ia harus
paham situasi bangsa dengan segala dinamika dan persoalannya.
Tidak mudah memang menjaga independensi di tengah tarikan dan godaan politik yang
sering menggiurkan. Dunia politik di mana pun di muka bumi ini selalu menjanjikan
"pahala" di depan mata kalau berhasil, bukan pahala jauh di seberang sana, sebagaimana
diajarkan di dunia da'wah. Politik cenderung memecah dan berpecah, da'wah selalu
merangkul dan mempersatukan. Di dunia da'wah, musuh perlu diluluhkan hatinya agar
tercerahkan, di dunia politik, lawan jika perlu dibinasakan hingga babak belur. Inilah
kenyataan politik yang terlepas dari kontrol moral-transendental. Pertanyannya adalah:
dapatkah ICMI menjadikan politik sebagai alat da'wah sehingga sebuah perkawinan
yang relatif ideal antara moral dan kecenderungan kepada kekuasaan dapat diciptakan?
Dengarlah makna ayat di bawah ini: "Tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah
[kejahatan] itu dengan cara-cara yang lebih baik. Maka tiba-tiba orang yang bermusuhan
denganmu, seolah-olah telah menjadi sahabat karib[mu]. Dan tidak diberikan [sifat] yang
demikian itu melainkan kepada orang-orang sabar; dan tidak diberikan [sifat] yang
demikian itu melainkan kepada orang yang mempunyai kebahagiaan yang besar. Lih. Q
(al-Qur'an) s. Fushshilat: 34-35. Bukankah kemampuan menjinakkan lawan adalah
sebuah seni-gaul yang tinggi nilainya? Budaya politik Indonesia tampaknya perlu belajar
bagaimana mengembangkan sikap sabar dan lapang dada, sekalipun berhadapan dengan
musuh yang keras kepala yang selalu mengintai kelengahan seseorang untuk
dilumpuhkan. Barangkali Program 5-K ICMI juga perlu diarahkan untuk mencari teman
sebanyak-banyaknya sehingga kehadiran lkatan ini benar-benar dirasakan oleh semua
pihak sebagai sebuah keniscayaan sejarah.
Dalam perjalanannya, ICMI tidak jarang tersandra antara dua kutup itu, mungkin bahkan
sampai hari ini, tergantung terutama sampai berapa besar kadar syahwat politik nakodanakoda utamanya. Kalau prinsip da'wah yang lebih mengernuka, maka posisi independen
lebih mudah dipertahankan. Sebaliknya bila tarikan politik praktis yang lebih dominan,
maka independensi ICMI pasti akan menuai banyak sorotan tajam dan kaum cendekia
yang berpikir bebas, tetapi peduli kepada lkatan ini. Dalam perspektif ini, jika ICMI
memang berniat tampil sebagai kekuatan perekat bangsa yang agak tercabik-cabik ini,
maka prinsip da'wah dan kecendekiaan harus lebih ditonjolkan.
Apalagi bila tujuannya untuk menciptakan sebuah masa depan yang madani, di mana
semua warga negara punya peluang yang sama untuk memainkan perannya secara
proporsional, tanpa ada rasa takut kepada politik diskriminatif dari penguasa. ICMI
hendaklah tampil sebagai payung besar bagi bangsa yang "tak putus dirundung malang''
ini. Peran itu dapat dilakukan karena semua syarat untuk kita miliki, asal kita punya
kemauan dan kesadaran ke arah itu. Sebuah bangsa yang sedang dililit gurita korupsi,
dari pucuk sampai ke akar, dari pusat sampai ke daerah, kehadiran payung besar itu
sungguh dinantikan oleh semua pihak.
Dalam proposal untuk kepentingan Rakornas ini, saya melihat sebuah kearifan ICMI dan
watak independennya cukup dirasakan. Ini terlihat misalnya bahwa semua capres
diundang untuk berbicara di forum ini dengan tidak melihat dari partai mana asalnya.
Mudah-mudahan tidak ada yang berhalangan untuk datang, karena ini juga merupakan
peluang bagi mereka untuk bertatap muka dengan kaum cendekiawan. Di samping itu
patut pula kita catat bahwa bukankah mereka capres/cawapres itu adalah alumni tanah
suci? Semuanya bertitel haji dan seorang hajjah. Mengundang mereka bagi saya adalah
sebuah keniscayaan bagi ICMI sebagai organisasi cendekiawan yang ingin memayungi
semua golongan dan partai dan tidak rela jika bangsa ini terpecah-pecah dan terkotakkotak akibat persaingan politik yang tidak selalu sehat.
Tentunya kita berharap, siapa pun di antara mereka yang terpilih nanti sebagai nakoda
nasional, memorinya tentang ka'bah tidak akan pernah pupus dan hati dan otaknya.
Ka'bah sebagai simbol universal yang mempersatukan arah orang-orang beriman. Di
mana pun mereka berada, jika shalat pasti mengarah ke ka'bah, bukan ke penjuru-penjuru
yang lain. Ada pun masih banyak umat Islam belum memahami filosofi ini, menjadilah
tugas kita semua untuk mengingatkan mereka bahwa perpecahan sesama Muslim di mana
pun di muka bumi ini adalah sebuah pengkhianatan terhadap nilai-nilai dasar
persaudaraan umat. Tetapi alangkah sulitnya membina persaudaraan ini kalau jiwa para
pemimpin telah terkontaminasi oleh kepentingan politik sesaat. Yang lebih tragis lagi
adalah perseteruan antar pemimpin itu tidak jarang memakai dalil agama. Dengan cara ini
sebenarnya Tuhan telah dibajak, demi ambisi politik. Akibat buruknya, cepat atau lambat,
yang bersangkutan dan masyarakat banyak pasti akan merasakannya.
Para capres dan cawapres yang kini sedang sibuk berkampanye hendaklah senantiasa
ingat bahwa mereka adalah alumni tanah suci yang tidak boleh main-main dalam berjanji,
karena janji-janji itu adalah utang yang wajib dibayar. Adalah karena kesalahan para
pemimpin terutama yang menyebabkan bangsa ini sudah merasa lelah dan muak dalam
mendengar janji kampanye yang muluk-muluk, tetapi jarang ditepati setelah terpilih jadi
pemimpin, eksekutif atau legislatif. Keretakan bangsa ini bukan karena ulah rakyat kecil
atau wong cilik, tetapi karena ketidakpedulian pemimpin terhadap kesepakatan dasar kita
semua, terutama terhadap sila ke lima: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pemimpin yang akan datang perlu belajar sejujur-jujurnya dari peristiwa masa lampau
yang belum jauh, yaitu bahwa pemimpin tidak boleh bermain-main dengan sila ke lima
itu. Sekali sila ini diterlantarkan, maka risikonya hanya satu: negeri ini akan tetap
"rusuh", bentrokan demi bentrokan akan datang silih berganti, sebagaimana terekam
dengan baik dalam berbagai periode sejarah modern kita.
Karena janji yang tak kunjung ditepati inilah sebenarnya mengapa masalah Aceh dan
Papua sampai berlarut-larut, tak kunjung usai, sementara darah sesama anak bangsa telah
terlalu banyak yang tertumpah untuk sesuatu yang tidak mulia. Di tengah-tengah
pergolakan daerah itu, para pejabat masih sempat juga melakukan perbuatan a-moral
berupa korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Pertanyaan saya adalah: apakah sebagian
pejabat kita memang telah kehilangan akal sehat dan nuraninya dibiarkan lumpuh dan
tumpul?
Demikianlah pidato pembukaan ini telah disampaikan, semoga dapat menjadi bahan
pertimbangan yang sederhana dalam sidang-sidang komisi selama Rakornas ini.
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 07-2002