REVOLUSI IRAN PERAN CENDEKIAWAN DAN ULAM (1)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam dan politik merupakan hal yang sulit untuk dipisahkan. Pada awal
mula eksisnya Islam, setelah Nabi Muhammad hijrah dari kota Mekah menuju
kota Madinah, maka dari situlah dimulai perpolitikan islam untuk pertama
kalinya. Rasulullah bukan saja sebagai pemimpin agama, namun lebih dari itu
beliau merupakan pemimpin negara yang ditandai dengan lahirnya Piagam
Madinah yang merupakan kesepakatan-kesepakatan atau aturan-aturan yang
tertulis bagi penduduk Madinah dengan berbagai macam latar belakang agama.
Hingga tongkat kepemimpinan dilanjutkan oleh para sahabat (khulafa al rasyidin)
setelah wafatnya Nabi.
Gerakan-gerakan dalam Islam mulai muncul pada masa khalifah Utsman
bin Affan. Beberapa sahabat mensinyalir bahwa adanya tindakan nepotisme pada
masa kepemimpinan Utsman. Sampai akhirnya Khalifah Utsman terbunuh oleh
kelompok yang tidak puas terhadap kepemimpinan Utsman, maka dari situlah
bermunculan berbagai aliran-aliran teologi dalam Islam seperti Syi’ah, Khawarij
dan sebagainya. Kejadian tersebutlah yang mendorong berkembangnya gerakan
dalam dunia Islam, dan beberapa tokoh klasik menjadi inspirasi pergerakan bagi
aktivis-aktivis muslim diberbgai belahan dunia khususnya di Timur Tengah,
seperti Abu Dzar al Giffari.

Ali Syari’ati yang merupakan tokoh revolusioner di Iran, juga merupakan
salah satu dari sekian banyak aktivis muslim yang mengagumi sosok Abu Dzar al
Giffari. Revolusi Iran pada tahun 1979 merupakan salah satu kejadian penting
dalam sejarah dunia. Bukan hanya Syari’ati satu-satunya tokoh revolusioner pada
masa Revolusi Iran, namun ada pula nama Ayatullah Khomeini yang berasal dari
kalangan ulama. Semangat nasionalisme dan keagamaan menjadi sangat
fundamental dalam gerakan-gerakan yang dilakukan para aktivis maupun ulama.

1

Jika Syari’ati merupakan tokoh yang merumuskan ideologi revolusioner
di Iran, maka Khomeini adalah sebuah simbol serta arsitek bagi revolusi Iran.
Gabungan kekuatan oposisi yang terdiri dari berbagai kalangan, organisasi,
bahkan ideologi, namun tetap berada dibawah nama Islam, dan hal demikianlah
yang membuat perlawanan kepada Shah Reza Pahlevi begitu menggebu-gebu,
dari semangat reformasi menjadi semangat revolusi, sehingga Shah Reza Pahlevi
akhirnya meninggalkan Iran pada 6 Januari 1979.
Keberhasilan revolusi Iran merupakan suatu peristiwa penting dalam
sejarah politik Islam maupun dunia. Gerakan revolusi yang menyatukan berbagai
kalangan ini membawa dampak atau pengaruh bagi dunia Islam terlebih di

kawasan timur tengah. Berbagai gerakan politik bermunculan sebagai reaksi
perlawanan terhadap pemerintahan yang buruk di kawasan timur tengah.

B. Rumusan Masalah
1. Mengapa kaum ulama dan intelektual punya peran penting dalam revolusi
Iran?
2. Apa penyebab pecahnya Revolusi Islam di Iran?

2

PEMBAHASAN

A. Pemikiran Revolusioner Ali Syari’ati
Ali Syari’ati lahir pada tanggal 24 November 1933, lahir dari seorang ibu
bernama Zahra serta ayahnya yaitu Muhammad Taqi Syari’ati, dan mempunyai
garis keturunan ulama, namun Taqi Syari’ati merupakan seorang alim yang tidak
terlalu memperdulikan harta. Ia enggan meninggalkan kampungnya, Mazinan,
Khurasan. Ia lebih memilih untuk merintis karir ‘ulama’ lebih tinggi, misalnya di
Qum, Teheran, atau Najaf.1
Pemikiran-pemikiran Ali Syari’ati banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh

barat seperti Emile Durkheim, Karl Marx, Frantz Fanon, dan Max Weber. Pada
tahun 1965 Syari’ati memperoleh gelar Doktor dari Sorbonne University, Prancis.
Salah satu pandangan Syati’ati yang dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx yaitu
menurut Syari’ati masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yaitu masyarakat
tanpa kelas (lapisan) yang menolak keistimewaan-keistimewaan berdasarkan
suku, lapisan, dan status kepribadian.2 Salah satu tema sentral dalam ideologi
politik kagamaan Syari’ati adalah agama –dalam hal ini, Islam- dapat dan harus
difungsionalisasikan sebagai kekuatan revolusioner untuk membebaskan rakyat
yang tertindas, baik secara kultural maupun secara politik.3
Kelompok intelektual –karena sifat dasar kritisisme mereka- tidak jarang
pula mengkritik ‘ulama’ dan insitutsi-institusi tradisional yang berada dibawah
kekuasaan pemerintah.4 Dari situlah Ali Syari’ati tak segan-segan mengkritik
keras para ulama. Adapun beberapa karya Syari’ati yang menggambarkan
1 Azyumardi Azra, “Pergolakan politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga PostModernisme”, 1996, halaman 76, Paramadina, Jakarta.
2 John L. Esposito, “Islam dan Politik”, halaman 260, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1990.
3 Azyumardi Azra, “Pergolakan politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga PostModernisme”, 1996 halaman 70, Paramadina, Jakarta.
4 Ibid. Hal. 68

3


bagaimana Iran-Islam pada masanya, diantaranya yaitu: “Reasons for Decline of
Religion”, “The Machine and the Captivity of Machinism”, “Man without Self:
Two Concepts of Alienation”, “A Revolution of Values”, serta “Tauhid: a
Philosophy of History”.
Menurut Syari’ati, negara Dunia Ketiga, seperti Iran, memerlukan dua
bentuk revolusi yang saling berkaitan. Pertama, revolusi nasional, yang bertujuan
bukan hanya untuk mengakhiri seluruh bentuk dominasi Barat, tetapi juga untuk
merevitaslisasi kebudayaan dan identitas nasional negara Dunia ketiga
bersangkutan. Kedua, revolusi sosial untuk menghapuskan semua bentuk
eksploitasi dan kemiskinan guna menciptakan masyarakat yang adil, dinamis, dan
“tanpa kelas” (classless).5 Bagi Syari’ati, revolusi di Iran mempunyai dua aspek
fundamental, yaitu: kesatuan-identitas nasional dan keadilan sosio-ekonomik.
Cuma dengan program itulah Iran akan dapat dibebaskan kembali dari penguasa
politik dan pemerasan ekonomi oleh pihak imprealisme dunia, termasuk
maskapai-maskapai

multinasional,

imprealisme


kebudayaan,

rasialisme,

pemerasan kelas, penindasan kelas, ketidakadilan kelas, dan palugodam Barat.6
Selama di Paris Syari’ati banyak belajar dari karya-karya Frantz Fanon
diantaranya tentang solidaritas Dunia Ketiga dan internasionalisme, penolakan
terhadap model pembangunan Eropa, dan perlunya Dunia Ketiga menciptakan
‘manusi baru’ yang didasarkan pada ‘gagasan baru’ dan ‘sejarah baru’. Fanon dan
Syari’ati berkorespondensi serta bertukar pikiran mengenai peranan Islam dalam
perang antikolonial, yang oleh Fanon disebut juga sebagai titik keberangkatan
Dunia

Ketiga

untuk

berjuang

mendapatkan


kembali

identitas

dan

kemerdekaannya.7
Ali Syari’ati juga sempat ditangkap dan dipenjarakan oleh pihak
pemerintah Shah Reza Pahlevi karena aksinya sewaktu di Paris menentang
5 Ibid, halaman 70
6 Ali Shariati: Iedologue of the Iranian Revolution, Ervand Abrahamian, dalam John L. Esposito,
“Islam dan Politik”, 1990, halaman 258, PT. Bulan Bintang, Jakarta.
7 Ali Syari’ati, terjemahan M.S. Nasrullah dan Afif Muhammad, “ISLAM MAZHAB PEMIKIRAN dan
AKSI”, 1992, Mizan, Bandung.

4

pemerintahan dan dianggap sebagai suatu ancaman. Perlawanan Syari’ati terhadap
pemerintahan Shah Reza Pahlevi disebabkan oleh upaya-upaya pemerintah untuk

memodernisasi

Iran

membuat

kondisi

sosio-eknomik

negara

tersebut

mengkhawatirkan, berbagai kebijakan yang dibuat membuat kegelisahan bahkan
ketegangan dalam masyarakat meningkat. Kepemimpinan Shah Reza Pahlevi
yang oktokratik dan dianggap sebagai boneka Amerika membuat Syari’ati dan
para tokoh lainnya dari berbagai kalangan menyatukan kekuatan untuk
menumbangkan pemerintahan Shah Reza Pahlevi. Walaupun Syari’ati tak berhasil
menumbangkan Shah Reza hingga ia menutup hayatnya pada 1977 di Inggris,

namun pemikirannya terus menginsprasi berbagai kalangan.

B. Pemikiran dan Gerakan Oleh Khomeini
Ayatullah Khomeini, -lahir di kota Khomein Tengah, Iran pada tahun
1902, dan pernah tinggal dan menjalani pendidikan di Najaf selama 14 tahun tapi
menyelesaikan pendidikan tingginya di kota suci Qom di bidang teologi dan
hukum Islam (fiqih)- salah seorang ulama yang bila disebut namanya maka
gambaran yang terlintas dalam pikiran yaitu pemimpin gerakan revolusi Iran.
Bukan hanya sekedar kritik-kritik yang dilontarkan Khomeini terhadap
pemerintahan Shah Reza, namun ide-idenya lah yang dikemudian hari menjadi
begitu penting pasca revolusi.
Dalam doktrin Islam Syi’ah, masyarakat semestinya dipimpin oleh para
imam, terlebih imam yang 12. Imam yang terakhir telah menghilang, dan akan
turun kembali ke bumi sebagai Imam Mahdi. Namun selama tidak adanya imam
tersebut maka posisi kepemimpinan diambil alih oleh kaum ulama. Seperti halnya
juga dengan pendapat Syari’ati, Khomeini percaya bahwa ketiadaan Al Imam
bukan bermakna bahwa pihak Syi’ah adem dalam dunia politik. Muslim tidak
mesti bersikap menunggu kedatangan Al Imam untuk hidup di bawah negara
Islam dan masyarakat Islam. 8 Atas dasar doktrin tersebutlah Khomeini
8 John L. Esposito, “Islam dan Politik”, 1990, halaman 264, PT Bulan Bintang, Jakarta.


5

menciptakan konsep Wilayah al-Faqih, dan konsep inilah yang dijadikan
Khomeini sebagai Guardian dalam hukum Islam.
Menurut Khomeini, seorang fuqaha tidak hanya ahli dalam bidang hukum
Islam, namun lebih dari itu, seorang fuqaha yang kompeten setidaknya
mempunyai keahlian di bidang yang lainnya seperti filsafat, politik, sosial, atau
ekonomi. Khomeini juga sangat menentang sekularisme yang memisahkan antara
agama dengan negara, sejalan dengan pernyataan Khomeini
Doktrin Islam diterapkan dalam kehidupan kemesyarakatan, patriotisme adminstrasi
keadilan dan penentangan terhadap tirani dan dispotisme. Islam mengingatkan kepada
pemeluknya untuk tidak tunduk kepada kekuasaan asing. Inilah sebabnya, mengapa
kaum imperialis berusaha mengacaukan pikiran rakyat dengan menarik garis pemisah
antara antara agama dan pemerintahan dan politik.9

Konsep Wilayah al-Faqih yang ditawarkan Khomeini ini lah yang
kemudian menjadi suatu alternatif baru yang menentang sistem pemertintahan
yang berbentuk dinasti di Iran. Setelah banyaknya gerakan yang didasari oleh
berbagai macam idelogi seperti Marxist, Sosialis, maupun Nasionalis. Maka

munculah agama sebagai pemersatu gerakan untuk menumbangkan rezim Syah
yang otokratis di Iran.
Khomeini mengemukakan pendapatnya mengenai pengawasan terhadap
pemerintah oleh otoritas keagamaan bahkan hingga pada batasan kekuasaan
langsung. Ia berpegang pada konsep Kedaulatan Tuhan dan memandang alQur’an sebagai konstitusi Islam, dan karena itu ia berpendapat bahwa negara tidak
memerlukan parlemen sebagai badan legislatif yang menyusun UU. Baginya
rakyat itu sudah punya UU dasar, yaitu al Qur’an yang didukung oleh Sunnah.
Tapi ini bukan berarti parlemen tidak diperlukan. Parlemen diperlukan, tapi untuk
menciptakan peraturan-peraturan pelaksanaan atau UU organik guna memberikan
tugas kepada eksekutif. Namun pemegang kekuasaan eksekutif harus juga kaum
fuqaha.10

9 http://www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/006/02.html
10 Ibid.

6

Khomeini juga sependapat dengan Maulana al Maududi dari Jamaat-iislami (india) dan Hasan al Bana dari Ikhwanul Muslimin (Mesir) dalam
mengutuk Westernisasi, Imprealisme Barat, dan Israel: “Cengkraman imprealisme
sudah mencekam jantung wilayah-wilayah yang mempercayai Al-Qur’an, hingga

kemakmuran

nasional

beserta

sumber-sumbernya

sudah

diperas

oleh

imprealisme . . . dan kebudayaan imprealisme yang penuh racun itu telah
menorobos sedemikian dalam pada kota-kota dan desa-desa di seluruh dunia
Islam, menggantikan kebudayaan Al Qur’an.”11
Namun disisi lain Khomeini bersebrangan pendapat dengan Maulana al
Maududi dan Hassan al Bana mengenai masyarakat muslim mesti terlebih dahulu
menunjukan ciri Islam sebelum melaksanakan/menggunakan hukum Islam secara
penuh. Sebaliknya, Khomeini berpendapat bahwa pelaksaan hukum Islam
merupakan jalan bagi perubahan serta pembaharuan bagi masyarakat Islam.

C. Pecahnya Revolusi Islam Iran
Dinasti Pahlevi dimulai saat perwira militer Reza (Khan) Syah merebut
kekuasaan pada tahun 1925. Pondasi awal yang dibangunnya adalah memperkuat
pemerintahan di pusat. Ikhtiar Reza Syah untuk memodernisasi Iran dalam
berbagai aspek mulai dari sosial budaya, politik, militer, serta ekonomi menjadi
salah satu langkah yang diambil sebagai upaya untuk menciptakan negara yang
modern. Bila pemimpin Turki Mustafa Kemal mengambil langkah sekularisasi
secara menyeluruh di negaranya, lain halnya dengan Reza Syah yang masih
mempertahankan lembaga-lembaga keagamaan, namun lembaga-lembaga tersebut
dibatasi dan berada dalam pengawasan pemerintah pusat.
Besarnya peran ulama di Iran membuat Reza Syah tak punya banyak
pilihan untuk mempertahankan lembaga-lembaga keagamaan. Reza Syah
membutuhkan

dukungan

dari

para

pimpinan

Syi’ah

diawal

11 John L. Esposito, “Islam dan Politik”, 1990, halaman 262, PT Bulan Bintang, Jakarta.

7

masa

pemerintahannya, maka dari itu lah berbagai janji bagi Islam dibuat untuk
menarik simpati para ulama besar Syi’ah. Seiring berjalannya waktu pemerintahan
Reza Syah mengeluarkan banyak kebijakan yang bertentangan dengan janjijanjinya, seperti larangan menggunakan cadar serta mewajibkan pakaian Barat
untuk para pria. Revolusi Konstitusional pada 1905-1911 bertujuan untuk
membatasi kekuasaan raja/pemimpin dengan melibatkan ulama untuk mengawasi
kebijakan pemerintah agar tidak bertentangan dengan Islam. Namun hal tersebut
nyatanya bersifat semu dimasa pemerintahan Reza Syah.
Walaupun pada saat itu pemerintahan Reza Syah memberikan celah
kepada oposisi dengan sistem dua-partai tapi itu tak lebih dari sekedar nama
ketimbang substansi. Mardom (Partai oposisi) hanyalah sebagai suatu manipulasi
oleh pemerintahan Reza Syah. Sedangkan partai Novin Iran (Partai pemerintah)
terus mendominasi dan tak tergoyahkan. Di lain sisi, peran ulama terus melemah
dengan berbagai kebijakan sekularisasi yang diterapkan oleh Reza Syah.
Dalam bidang hukum dan pendidikan, peran serta wewenang ulama terus
merosot. Di bidang hukum, wewenang serta penghasilan ulama terus menurun
karena posisi hakim, ahli hukum, pencatat surat-surat wasiat dan yang lainnya
digantikan oleh hakim-hakim modern, pengacara-pengacara serta pejabat sipil,
dan semua itu berada dibawah pengawasan pemerintah. Bidang lain yang
membuat wewenang ulama merosot ialah pendidikan, sekolah-sekolah sekular
modern terus berkembang dengan luas, sementara itu pendidikan berbasis
keagamaan ditundukan ke bawah pengawasan negara.
Hingga pada 1941 sekutu berhasil kembali menduduki Iran sehingga
memaksa Reza Syah untuk turun takhta dan digantikan oleh sang putra mahkota
Mohammad Reza Syah Pahlevi. Selama masa Perang Dunia ke dua berlangsung
raja muda Iran terperangkap dibawah kendali kolonial Inggris, Amerika Serikat,
serta Uni Soviet. Hingga pada 1946 Uni Soviet angkat kaki dari Iran karena
tekanan dari PBB dan Amerika Serikat. Melihat situasi tersebut Amerika

8

memanfaatkannya dengan mempererat hubungan dengan Iran. Diantarnya
menjadikan Iran sebagai pasar senjata produksi AS.
Tahun 1951 Inggris dan pihak Barat memboikot minyak Iran. Hal tersebut
terjadi karena pada tahun itu Front Nasional yang di organisir oleh Muhammad
Mossadeq berhasil melakukan nasionalisasi terhadap Anglo-Iranian Oil Company.
Sekaligus

membuat

Mossadeq

tampil

sebagai

pahlawan

rakyat

dan

mengantarkannya untuk menduduki posisi Perdana Menteri. Hal tersebut lantas
membuat Syah Reza Pahlevi beriktiar untuk menyingkirkannya, namun rencana
tersbut gagal dan memicu reaksi dari berbagai kalangan yang mendukung
Mossadeq dan membuat Syah Reza Pahlevi harus pergi meninggalkan Iran ke
pengasingannya di Roma, Italia. Namun hal itu tak berlangsung lama, dalam
tempo enam hari Syah Reza Pahlevi dapat kembali ke Iran berkat bantuan dari
pihak AS dan Inggris.
Tahun 1959 hubungan pemerintah dengan ulama semakin retak, UU Land
Reforms dicanangkan oleh pemrintah. UU Land Reforms bertujuan untuk
mengambil-alih tanah dari tuan-tuan tanah untuk dibagikan dengan luas tertentu
kepada para petani. UU Land Reforms tersebut berakibat terhadap tanah-tanah
wakaf keagamaan yang merupakan salah satu sumber penghasilan untuk bantuan
masjid-masjid, pesantren-pesantren, serta gaji bagi para tokoh-tokoh keagamaan.
Hal ini menyebabkan hilangnya kebebasan ulama dari ketidaktergantungannya
dengan negara. Walaupun RUU tersebut diratifikasi pada tahun 1960, namun
pelaksanaannya tidak pernah terjadi.
Pada 1962 muncul Ayatullah Khomeini sebagai suara lantang yang
menentang pemerintahan Syah Reza Pahlevi yang dianggap membahayakan
Islam, kehidupan muslim karena hubungan eratnya dengan Amerika Serikat,
Israel, dan perusahaan-perusahaan multinasional asing.
`

Hingga pada tahun 1963 terjadi bentrokan di Qum pada tanggal 22 Maret

1963 serta di Mashad pada tanggal 3 Juni 1963 yang menyebabkan Khomeini
ditangkap oleh SAVAK pada tanggal 4 Juni 1963 dan diasingkan keluar Iran. Pada

9

tahun 1964 Khomeini di asingkan ke Turki, lalu pindah ke Irak pada tahun 1965
dan kemudian ke Prancis pada 1978. Walaupun demikian Khomeini terus
berbicara lantang menentang dan mengutuk kebijakan-kebijakan Syah Reza
Pahlevi yang “tidak Islami”.12
Pangkal pecahnya revolusi terjadi ddi tahun 1977-1979. Bulan November
1977 pihak kepolisian berikhtiar membubarkan sidang-sidang deklamasi sejak di
Aryamehr University yang dipelopori oleh Writers Association (Persatuan
Pengarang), sebuah organisasi tokoh-tokoh pengarang terkemuka dan kaum
intelektual yang bersikap mengecam rezim Syah. Lebih dari 100.000 mahasiswa
dan para peserta memenuhi ruangan yang padat hingga melimpah hingga ke jalanjalan raya, semuanya menyerukan slogan-slogan anti rezim Syah. Dalam peristiwa
tersebut seorang mahasiswa tewas, tujuhpuluh menderita luka-luka dan seratus
orang ditahan.13 Pada tahun 1978 beberapa peristiwa menjadi titik didih agitasi
politik di Iran pada saat itu.
Puncaknya yaitu pada 7 September 1978 di Teheran sebanyak 500.000
demonstran berkumpul untuk menyanggah pengumuman Hukum Darurat Perang
oleh Dekrit Kerajaan. Dan pada hari Jum’at tanggal 8 September sumlah 75.000
orang melaksanakan demonstrasi duduk bersama di Lapangan Jaleh (Jaleh
Square). Sewaktu militer dan kepolisian tidak mampu membubarkan rombongan
orang banyak itu, maka orang banyak itu ditembaki dengan senapan mesin dari
pesawat helikopter dan begitu pun oleh pasukan tank dan tentara di daratan,
peristiwa tersebut di ingat dengan nama “Black Friday”.14

PENUTUP

12 John L. Esposito & John O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim; Problem dan Prospek,
halaman 71, Mizan, Bandung.
13 Ervan Abrahamian, Ali Shariati: Ideologue of the Iranian Revolution, dalam Islam dan Politik,
halaman 268.
14 Ibid, halaman 270.

10

A. Kesimpulan
Penundukan kekuasaan oleh perwira militer Reza Kahn Syah membawa
dampak buruk bagi babak baru percaturan politik di Iran. Upayanya untuk
memodernisasi Iran mendapatkan reaksi negatif dari berbagai kalangan, mulai
dari rakyat biasa, cendekiawan, serta para ulama. Berbagai kebijakan dibuat
sebagai langkah modernisasi, tapi ternyata banyak kebijakan yang dibuat
bertentangan dengan Islam, mulai dari kebijakan bagi kaum pria untuk
menggunakan pakaian Barat, sampai kebijakan larangan menggunakan cadar bagi
para wanita.
Upaya sekularisasi pun terus dilakukan, diantaranya melemahkan peran
tokoh-tokoh keagamaan serta lembaga-lembaga keagamaan, bidang hukum dan
pendidikan yang menjadi perhatian utama Reza Syah untuk melemahkan peran
tokoh-tokoh keagamaan dan lembaga-lembaga keagamaan. Sebaliknya, lembagalembaga sekular diberikan keleluasaan untuk terus berkembang dan diberikan
perlindungan oleh pemerintah. Ulama yang awalnya tidak mempunyai
ketergantungan dengan pemerintah lambat laun menghilang, berbagai kebijakan
membuat para tokoh keagamaan kehilangan penghasilan.
Suara-suara penentang bermunculan, mulai dari kalangan cendekiawan
hingga kalangan ulama. Nama-nama dari kalangan cendekiawan seperti
Mohammad Mossadeq, Ali Syari’ati, Jalal al Ahmad, dan Mehdi Bazargan, hingga
nama-nama dari kalangan ulama seperti Ayatullah Kashyani sampai yang paling
menonjol yaitu Ayatullah Khomeini. Ali Syari’ati begitu keras menentang rezim
otoriter Syah Reza. Kritik-kritik terus dilontarkannya sebagai reaksi atas
pemerintahan Syah Reza yang melampaui batas.
Jika Ali Syari’ati merupakan pencetus revolusi, maka Ayatullah Khomeini
menjadi lambang perjuangan melawan rezim Mohammad Reza Syah Pahlevi.
Khomeini merupakan simbol perlawanan terhadap perlawanan Syah Reza Pahlevi.
Membangkitkan semangat reformasi menjadi semangat revolusi. Walaupun
sempat diasingkan keberbagai negara, namun Khomeini tetap menentang rezim
11

Syah Reza Pahlevi melalui tulisan-tulisan maupun rekaman-rekaman khutbahnya
yang berhasil diselundupkan ke Iran.

12