Aspek Hukum Hak Angket Yang Dimiliki Oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sun Sep 3 4:45:07 2017 / +0000 GMT

Aspek Hukum Hak Angket Yang Dimiliki Oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia
LINK DOWNLOAD [35.80 KB]
Aspek Hukum Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Aspek Hukum Hak Angket dan Proses Pengguliran Hak Angket Secara normatif, keberadaan Hak Angket diatur dalam Pasal 20A
ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi : ?Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UndangUndang
Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.?[1]
Kemudian ditegaskan lagi dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan
Perwakilan Rakyat DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043), serta peraturan Tata
Tertib DPR.
Penggunaan Hak Angket juga tidak sembarangan namun diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 tentang Hak Angket
Dewan Perwakilan Rakyat.[2] Meskipun undang-ya ini berasal dari zaman sistem pemerintahan parlementer di bawah
Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950, tetapi sampai sekarang masih terus digunakan. Mahkamah Konstitusi melalui
putusannya tanggal 26 Maret 2004 menegaskan, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 itu masih berlaku berdasarkan ketentuan
Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945.[3] Dengan demikian, tidak ada keraguan apa pun bagi Dewan Perwakilan Rakyat untuk
menggunakan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1954 itu untuk melaksanakan hak angket Dewan
Perwakilan Rakyat.

Lebih lanjut, Pasal 77 ayat (3) UU No. 27 tahun 2009 menentukan definisi hak angket sebagai hak Dewan Perwakilan Rakyat untuk
melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal
penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan. Tetapi, mengenai penyelidikan itu sendiri tidak didefenisikan.[4] Apakah penyelidikan dalam
pengertian dari UU No. 27 tahun 2009 sama dengan pengertian penyelidikan dalam KUHAP.
Jika usulan melaksanakan Hak Angket disetujui, Dewan Perwakilan Rakyat akan membentuk Panitia Hak Angket yang akan bekerja
selama proses penyelidikan. Dalam masa itu, Panitia Hak Angket DPR dapat mengumpulkan fakta dan bukti bukan saja dari
kalangan pemerintah, tetapi dari siapa saja yang dianggap perlu, termasuk mereka yang dianggap ahli mengenai masalah yang
diselidiki. Mereka wajib memenuhi panggilan Panitia Angket dan menjawab semua pertanyaan dan memberikan keterangan
lengkap, termasuk menyerahkan semua dokumen yang diminta, kecuali apabila penyerahan dokumen itu akan bertentangan dengan
kepentingan negara. Mereka yang dipanggil namun tidak datang tanpa alasan yang sah, dapat disandera selama-lamanya seratus hari
(Pasal 17 ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954). Panitia Angket juga dapat meminta pengadilan agar memerintahkan
pejabat yang tidak mau menyerahkan dokumen negara yang mereka minta untuk selanjutnya diserahkan kepada Panitia Hak Angket.
Karena anggota Panitia Angket itu akan bertindak sebagai seorang penyelidik, maka status mereka haruslah resmi, yakni dibentuk
oleh DPR dan diumumkan dalam Berita Negara, agar diketahui oleh semua orang. Demikian pula berapa besar anggaran yang akan
digunakan oleh Panitia Angket itu. Keharusan mengumumkan penggunaan Hak Angket, nama-nama anggota panitianya serta
anggarannya dalam Berita Negara itu, merupakan syarat formal keabsahan Panita Angket, sebagaimana diatur dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 dan Pasal 181 Peraturan Tata Tertib DPR. Untuk itu, guna memenuhi syarat formal
pembentukan panitia angket ini, Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat harus segera menyampaikan segala hal yang terkait
dengan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat tentang penggunaan hak angket ini kepada Menteri Hukum dan HAM, agar

menempatkannya di dalam Berita Negara. Menteri Hukum dan HAM tidak dapat menolak mengumumkan dalam Berita Negara itu,
karena hal itu adalah kewajibannya yang diperintahkan undang-undang.
Kedudukan Panitia Angket DPR sesungguhnya sangatlah kuat bila dilihat dari sudut hukum. Dalam sistem parlementer, keberadaan
panitia angket tidaklah otomatis bubar dengan pembubaran parlemen. Seperti kita pahami dalam sistem parlementer, Pardana
Menteri dapat membubarkan parlemen setiap waktu dan menentukan kapan akan diselenggarakan pemilihan umum. Meskipun
parlemen dibubarkan, panitia angket terus bekerja sampai terbentuknya parlemen yang baru, yang akan menentukan nasib panitia
angket itu. Dalam sistem presidensial, hal ini tidak mungkin terjadi, kecuali Presiden telah berubah menjadi diktator dengan
membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Suatu hal yang dapat dijadikan sebagai pegangan dari ketentuan Undang-undang Nomor 6
Tahun 1954 yang relevan dengan situasi sekarang ialah, pekerjaan panitia angket tidaklah terhalang oleh adanya reses dan penutupan
masa sidang.
Ketika Panitia Angket sudah menyelesaikan tugasnya, semuanya akan tergantung pada fakta-fakta dan bukti-bukti yang terungkap

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 1/4 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sun Sep 3 4:45:07 2017 / +0000 GMT

selama penyelidikan dan tergantung pula pada analisis Panitia Angket terhadap fakta-fakta dan bukti-bukti yang berhasil

diungkapkan. Kalau semua yang terungkap disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah sekitar masalah yang diangkat,
menguntungkan rakyat, dan sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka Pemerintah tentu aman-aman saja.
Laporan Panitia Angket kepada rapat paripurna yang diterima oleh fraksi-fraksi dan disahkan DPR, selanjutnya diserahkan kepada
Presiden. Presiden akan dengan senang hati menerima hasil angket DPR yang ternyata membenarkan segala kebijakan yang
ditempuh Pemerintah. Ini sekaligus berarti DPR telah keliru mengasumsikan sesuatu, yang setelah diselidiki ternyata tidak benar.
Jika penyelidikan yang dilakukan Panitia Angket menyimpulkan telah terjadi kebijakan yang merugikan negara, merugikan rakyat
serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, apalagi melanggar ketentuan Undang-Undang Dasar 1945,
laporan Panitia Angket harus disampaikan ke rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendengarkan pendapat fraksi-fraksi
sebelum laporan itu diputuskan untuk diterima atau ditolak, baik secara aklamasi maupun melalui pemungutan suara. Keputusan
DPR tersebut disampaikan kepada Presiden. Selanjutnya DPR dapat menindaklanjuti keputusan itu sesuai kewenangan Dewan
Perwakilan Rakyat (Pasal 182 Peraturan Tata Tertib DPR).
Tindak lanjut atas keputusan Dewan Perwakilan Rakyat tentang penggunaan hak angket diatur dalam Pasal 184 ayat (1a) ialah
menyampaikan ?Hak Menyatakan Pendapat? atas keputusan hasil penyelidikan melalui penggunaan hak angket, atau langsung
menggunakan ketentuan Pasal 184 ayat (1b) yakni Hak Menyatakan Pendapat untuk menduga bahwa ?Presiden dan/atau Wakil
Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya
atau perbuatan tercela maupun tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden?. Penggunaan ketentuan pasal ini yang merupakan ketentuan yang bersumber dari ketentuan Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 - memang sangat serius. Ketentuan inilah
yang dikenal dengan istilah ?impeachment? terhadap Presiden.
Ketentuan Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 di atas belum pernah ada praktiknya dalam sejarah ketatanegaraan kita. Kalau pendapat
DPR bahwa benar hal itu terjadi, maka Mahkamah Konstitusilah yang harus memutuskan apakah pendapat DPR itu terbukti atau
tidak. Kalau MK memutuskan memang terbukti, maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR (Pasal 7B ayat 5 UUD 1945 jo Pasal 190 Peraturan Tata Tertib DPR.
Sejarah Indonesia mencatat dua kali sidang istimewa MPRS dan MPR yang terjadi pada masa Presiden Sukarno dan Presiden
Abdurrahman Wahid. Dan keduanya adalah presiden yang menjadi korban hak angket, karena harus dipaksa turun dari jabatanya
sebelum masa kepemimpinannya berakhir.
Eksistensi Penggunaan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Masa Orde Lama, Orde Baru Dan Era
Refomsi Sampai Sakarang

Orde Lama
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, hak angket digunakan kali pertama pada 1950-an. Berawal dari usul resolusi RM Margono
Djojohadikusumo agar Dewan Perwakilan Rakyat mengadakan angket atas usaha pemerintah memperoleh dan cara mempergunakan
devisa. Maka kemudian dibentuklah Panitia Angket beranggotakan 13 orang, diketuai Margono, yang tugasnya menyelidiki
untung-rugi mempertahankan devisen-regime berdasar Undang-Undang Pengawasan Devisen 1940 dan perubahan-perubahannya.
Panitia Angket pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo-I (30 Juli 1953-12 Agustus 1955) ini mula-mula diberi waktu enam bulan,
tetapi kemudian diperpanjang dua kali dan menyelesaikan tugasnya pada Maret 1956 pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap (12
Agustus 1955-24 Maret 1956). Sayang, hasil kerja tim bersamaan dengan terbentuknya kabinet hasil Pemilu 1955 (Kabinet Ali
Sastroamidjojo-II) itu nasibnya tidak jelas.[5]

Masa Orde Baru
Meskipun pada masa Orde Baru, parlemen praktis dikuasai Golkar sebagai fraksi penopang pemerintah, usul penggunaan hak angket
sempat lolos masuk dalam sidang pleno Dewan Perwakilan Rakyat 7 Juli 1980. Sebanyak 20 anggota DPR (14 dari FPDI dan 6 dari

FPP) menandatangani usul penggunaan hak angket yang kemudian diserahkan R Santoso Danuseputro (FPDI) dan HM Syarkawie
Basri (FPP) kepada Ketua DPR kala itu, Daryatmo, pada 5 Juli.
Para pengusul angket tidak puas atas jawaban Presiden Soeharto menyangkut kasus H Thahir dan Pertamina yang disampaikan
Mensesneg Sudharmono dalam sidang pleno Dewan Perwakilan Rakyat 21 Juli 1980, menanggapi interpelasi atau hak bertanya

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 2/4 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sun Sep 3 4:45:07 2017 / +0000 GMT

yang uniknya dilakukan tujuh anggota FKP sendiri. Dalam usul angket tentang Pertamina tersebut dicantumkan rencana
pembentukan Panitia Angket yang terdiri atas 14 orang dengan 24 anggota pengganti, plus sejumlah tenaga ahli yang khusus
dipekerjakan untuk itu, dengan anggaran waktu itu sebesar Rp 108 juta. Panitia angket diprogramkan bekerja selama satu tahun, dan
setiap bulan bersidang sedikitnya empat kali dan sebanyaknya delapan kali. Jadi dalam satu tahun mereka bersidang hingga sekitar
75 kali.
Reaksi keras pun muncul, terutama dari kalangan anggota FKP dan Fraksi ABRI yang menyoal perlunya menggunakan hak angket.
Nasib selanjutnya pun sangat jelas: hak angket ditolak. Angket mentok di sidang pleno DPR. Setelah itu, hak ini nyaris tak pernah
terdengar lagi gaungnya hingga rezim Orde Baru tumbang pada 1998.


Masa Reformasi (1998-sekarang)
Pascareformasi, penggunaan hak angket kembali digulirkan. Itu terjadi ketika Dewan Perwakilan Rakyat mencium keterlibatan
Presiden Abdurrahman Wahid dalam penyalahgunaan uang Yayasan Dana Kesejahteraan (Yanatera) Bulog. Hak angket digunakan
untuk menyelidiki penyelewengan dana Bulog serta bantuan dana dari Sultan Brunei atau yang lebih dikenal dengan istilah
Buloggate dan Bruneigate.
Tidak seperti sebelumnya, hak angket yang dipicu keluarnya memorandum Gus Dur untuk membubarkan parlemen itu berujung
pada impeachment presiden.
Pada periode pertama masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), hak angket pernah dicoba digulirkan atas sejumlah
kasus. Di antaranya menyangkut kenaikan harga BBM yang mengundang reaksi mahasiswa, masalah impor beras 2006,
penyelenggaraan ibadah haji 2008, dan ruwetnya daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2009. Namun, usaha tersebut hanya
menghasilkan keputusan normatif.
Dalam pidato di depan Sidang Paripurna Pembukaan Masa Persidangan I Tahun Sidang 2009-2010, pertengahan Agustus lalu Ketua
DPR HR Agung Laksono mengaku DPR masih terus berusaha untuk menuntaskan beberapa hak DPR yang sedang dalam proses. Di
antaranya menuntaskan hak angket menyangkut penyelenggaraan ibadah haji 1429H/2008, hak angket DPT, dan hak angket
menyangkut kebijakan Pemerintah menaikkan harga BBM.
Pada Hak Angket Century, Belajar dari kasus-kasus sebelumnya, hak angket nampak hanya menjadi sebuah keputusan normatif
tanpa ada solusi yang dapat diberikan. Padahal peraturan Tata Tertib DPR menegaskan, hak angket digunakan untuk menyelidiki
"kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan".

Sehubungan dengan skandal Bank Century, kebijakan pemerintah "menyelamatkan" Bank Century dengan sendirinya dapat menjadi
objek Hak Angket DPR karena berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara, apalagi kebijakan itu juga berkaitan
dengan keuangan negara. Namun, apakah kebijakan itu benar-benar bertentangan dengan Undang-Uundang sebagaimana dugaan
DPR, inilah yang harus "dibuktikan" melalui penggunaan hak angket itu.
Carut marut pengucuran dana talangan Bank Century yang menyeret keterlibatan beberapa pejabat negara, seperti gubernur BI dan
Menkeu, mendorong sejumlah anggota Dewan menggulirkan hak angket untuk mengurai benang kusut tersebut. Penting bagi Dewan
Perwakilan Rakyat menggali keterangan ahli dan semua pihak terkait dengan aliran dana dan masalah lainnya yang terkait dengan
"penyelamatan" Bank Century. Dengan memakai hak angket, diharapkan ada konklusi yang lebih objektif, bukan asal kritis. Sebab,
orientasi angket menyelidiki dan mencari solusi. Yang ingin diketahui Dewan Perwakilan Rakyat bukan sebatas mendengar apologi
pemerintah, melainkan menguak lebih jauh ada apa sebenarnya dibalik kebijakan pemerintah terhadap pengawasan bank-bank
selama ini.
Hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyangkut Bank Century dapat digunakan (atau tidak digunakan) oleh panitia
angket Dewan Perwakilan Rakyat. Nantinya, Dewan Perwakilan Rakyat dapat saja berpendapat lain dengan BPK. Dengan kata lain,
bila hasil audit BPK berkesimpulan aliran dana pemerintah ke Bank Century sudah sesuai dengan prosedur, kesimpulan itu dapat
dikesampingkan oleh DPR. Apalagi Wapres Boediono memiliki peran terkait pencairan dana Rp 6,7 triliun saat dirinya menjadi
Gubernur BI. Pada titik inilah kehadiran Panitia Hak Angket DPR untuk menguak persoalan seputar penyelamatan Bank Century
menjadi amat penting dilakukan.
Persoalan Bank Century menjadi semakin menarik sejak 138 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara resmi menyerahkan
usulan hak angket kepada pimpinan DPR (12/11/2009). Jumlah anggota yang menandatangani usulan tersebut dikabarkan terus
bertambah.[6]


Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 3/4 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sun Sep 3 4:45:07 2017 / +0000 GMT

Wapres Boediono, yang namanya terseret dalam kasus ini, pernah menyatakan bahwa penggunaan angket adalah hal yang wajar
dalam sistem demokrasi (13/11/2009). Maka banyak pihak berharap Hak Angket DPR untuk kasus Century berhasil dilaksanakan,
tidak kempis di tengah jalan seperti penggunaan hak angket pada masa sebelumnya. Modal kejujuran dan kesungguhan perlu untuk
dipegang oleh DPR selaku pemilik Hak Angket.
[1] Pasal 20 UUD 1945
[2] Undang-Undang tentang Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat
[3] Pasal 1 aturan peralihan UUd 1945
[4] Pasal 77 ayat (3) UU No. 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
[5] Bagir Manan Perbandingan Hukum Tata Negara Bandung, 1995, hlm 57.
[6] Koran kompas tanggal 14-11-2009 hlm 7

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com


| Page 4/4 |

Dokumen yang terkait

Peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Padang Lawas dalam penyelesaian sengketa lahan (studi kasus: sengketa lahan antara PT sumatera Riang Lestari dan PT Sumatera Sylva Lestari dengan Masyarakat Adat Kecamatan Aek Nabara Barumun)

1 100 105

Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap Kinerja Eksekutif di Kota Medan

3 64 152

Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Suatu Studi Terhadap Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Simalungun Periode 2009-2014)

0 22 77

Hubungan Wakil dengan yang Diwakili (Studi Perbandingan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara Periode 1999-2004 dengan Periode 2004-2009)

1 45 101

Hak Recall Partai Politik Terhadap Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Dalam Korelasinya Dengan Pelaksanaan Teori Kedaulatan Rakyat.

8 114 110

Minat Menonton anggota Dewan Perwakilan Daerah Tapanuli Selatan terhadap Berita Politik Di Metro TV ( Studi Korelasi Tentang Tayangan Berita Politik Dan Minat Menonton Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tapanuli Selatan Terhadap Metro TV )

1 39 143

Kesantunan Linguistik Dalam Ranah Sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara

1 41 285

Penggunaaan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

12 61 91

Aspek Hukum Hak Angket Dewan Perwakilan

0 1 5

PENERAPAN HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PASCAAMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

0 2 10