Hak Recall Partai Politik Terhadap Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Dalam Korelasinya Dengan Pelaksanaan Teori Kedaulatan Rakyat.

(1)

HAK RECALL PARTAI POLITIK TERHADAP ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT INDONESIA DALAM KORELASINYA DENGAN PELAKSANAAN TEORI

KEDAULATAN RAKYAT

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

OLEH:

AGMALUN HASUGIAN NIM: 070200140

DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

HAK RECALL PARTAI POLITIK TERHADAP ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT INDONESIA DALAM KORELASINYA DENGAN PELAKSANAAN TEORI

KEDAULATAN RAKYAT SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

OLEH:

AGMALUN HASUGIAN NIM: 070200140 DISETUJUI OLEH,

KETUA DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

Armansyah, S.H., M.Hum NIP. 19581007 198601 1 002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Drs. Nazaruddin, S.H, M.A. Yusrin Nazief, S.H., M. Hum. NIP. 19550611 19803 1 004 NIP. 19750612 200212 1 002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis ucapakan kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa atas nikmat Iman dan Islam, ridho, dan nikmat lainnya yang selalu Penulis terima, dari Penulis lahir hingga sekarang termasuk sepanjang proses perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Hak Recall Partai Politik Terhadap Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Dalam Korelasinya Dengan Pelaksanaan Teori Kedaulatan Rakyat”, yang disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperolah gelar sarjana dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari adanya keterbatasan dalam pengerjaan skripsi ini. Selama penyusunan skripsi ini, Penulis mendapatkan banyak doa, semangat, saran, motivasi dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H, M.H., DFM. selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, S.H, M.Hum. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Armansyah, S.H, M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Drs. Nazaruddin, S.H., M.A. selaku dosen Pembimbing I Penulis yang memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.


(4)

7. Bapak Yusrin Nazief, S.H., M. Hum. selaku dosen pembimbing II Penulis yang memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

8. Terkhusus Orang tua Penulis, buat Almarhum Ayahanda Penulis H. Hasugian meskipun dengan kasih sayang yang singkat telah meninggalkan Penulis dengan segala kebanggaan terhadapnya, insha Allah kita dapat berkumpul lagi kelak dan Ibunda Penulis Siti Aminah P. yang selalu mendoakan bahkan lewat tangisan, memberi nasihat, semangat, dukungan moril dan materil bagi Penulis, serta kasih sayang yang tak terhingga dan tak terbalaskan sepanjang masa, satu langkah lagi keberanian dan perjuangan Ibu untuk menyekolahkan Saya telah selesai, dan semuanya tidak akan pernah Saya sia-siakan.

9. Bapak Tua Penulis, bapak N. Sihotang yang telah sangat membantu penulis dalam menyelesaikan pendidikan dari jenjang sekolah dasar hingga bisa menjadi seorang Sarjana Hukum.

10.Keluarga bapak H. Ramli J. Marpaung, S.H., S.E., M.M. dan istri beliau ibu Hj. Chairussohbatiah, S.H., S.E., M.M. yang telah Penulis anggap sebagai orang tua angkat penulis, yang sangat banyak membantu penulis baik dukungan moral maupun materil dalam menyelesaikan perkuliahan.

11.Keluargaku yang lain yang tak dapat kusebut satu per satu, yang selalu memberikan dukungan untuk menjalani dan menyelesaikan perkuliahan.

12.Teman-teman baik Penulis selama menjalani masa perkuliahan, Ferdiansyah “kakek”, Miftah Farid, Verdinan, Sri Ayu Utami, dan teman-teman lainnya.

13.Teman-teman Penulis dalam mengguncang dunia, bung Hotmarudur T.S., bung Howard M. Limbong, bung Samuel Lubis, bung Agus Samosir, dan teman-teman lainnya.


(5)

14.Adik-adik terhebat, Erny Suciapriyanti, Fatiya Rochimah, Fiqa Habbina, dan Rizky Wirdatul Husna, yang bersama-sama dengan Penulis telah mengarungi perjalanan panjang kompetisi perancangan peraturan perundang-undangan dan mampu meraih hasil terbaik untuk kita.

15.BTM Aladdinsyah, S.H. beserta seluruh anggota dan alumninya dan tentunya yang terkhusus Jajaran Presidium BTM Aladdinsyah, S.H. dan seluruh pengurus periode 2010-2011.

16.Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Komisariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara beserta seluruh anggota dan alumninya sebagai sumur ideologi Penulis.

17.Seluruh rekan stambuk 2007, adik-adik stambuk 2008 ( terkhusus Adhary Kurniawan, Fachru Rozy Affandi, Berliana Nasution, dll.), adik-adik stambuk 2009 (terkhusus Maulida Hadry Sa’adillah “ sang guru les bahasa Inggris”), adik-adik stambuk 2010 (terkhusus Beny Iskandar, M. Reza Winata, Priawan Harmasandi, Dowang Fernando, Arija Ginting, Wildayanti, Elli, Lorenza Sianturi, dll.), serta teman-teman sejurusan di Departemen Hukum Tata Negara.

18.To more special for someone, Rizky Wirdatul Husna, the last doesn’t mean the least, terimakasih untuk warna-warni yang kau buat dalam hidupku, terimakasih buat dukunganmu, semoga cerita kita dapat bertahan selamanya.

Medan, September 2011 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG MASALAH... 1

B. PERMASALAHAN... 9

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN... 9

D. KEASLIAN PENULISAN... 11

E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN... 11

F. METODE PENELITIAN... 15

G. SISTEMATIKA PENULISAN... 19

BAB II KEDAULATAN RAKYAT DALAM UUD 1945... 21

A. AJARAN KEDAULATAN RAKYAT DALAM UUD 1945... 21

B. PENJELMAAN KEDAULATAN RAKYAT DALAM UUD 1945... 26

C. PEMILIHAN UMUM SEBAGAI SARANA PELAKSANAAN KEDAULATAN RAKYAT... 31

BAB III DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAN PARTAI POLITIK... 53

A. DPR SEBAGAI PERLEMBAGAAN KEDAULATAN RAKYAT... 53

B. SISTEM PERWAKILAN PADA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT... 56

C. PARTAI POLITIK... 70

BAB IV HAK RECALL PARTAI POLITIK DALAM KORELASINYA DENGAN PELAKSANAAN TEORI KEDAULATAN RAKYAT... 76

A. HAK RECALL PARTAI POLITIK... 76

B. HAK RECALL PARTAI POLITIK DALAM KORELASINYA DENGAN PELAKSANAAN TEORI KEDAULATAN RAKYAT... 89


(7)

A. KESIMPULAN...101 B. SARAN...102


(8)

ABSTRAK

Indonesia sebagai negara yang berkedaulatan rakyat atau sering disebut sebagai negara yang berdemokrasi menjalankan demokrasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung adalah dengan pembentukan lembaga perwakilan rakyat dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat sebagai perlembagaan kedaulatan rakyat. Sebagai negara demokrasi juga maka pelaksanan kedaulatan rakyat itu dilaksanakan melalui pemilihan umum untuk memilih anggota-anggota lembaga perwakilan rakyat yang akan duduk sebagai wakil rakyat di lembaga tersebut. Oleh sebab itu salah satu tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sistem perwakilan dalam hal pelaksanaan teori kedaulatan rakyat tersebut. Tentunya dalam pemilihan umum tersebut adalah organisasi politik yang dinamakan partai politik. Salah satu pilar demokrasi di Indonesia selaku negara demokrasi adalah partai politik yang memiliki peran dan status penting sebagai penghubung antara pemerintah dan warga negara dalam kegiatan-kegiatan negara dalam hal ini pemerintah sehari-harinya. Partai politik kemudian memiliki hak untuk melakukan penarikan kembali anggotanya yang telah terpilih menjadi wakil rakyat melaalui mekanisme recall sehingga status keanggotaan pada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berakhir. Oleh sebab itu tujuan lainnya dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hak recall partai politik terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam korelasinya dengan perwujudan teori kedaulatan rakyat.

Dalam menyusun skripsi ini digunakan metode penelitian yuridis normatif dengan melakukan suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku, maupun hukum yang diputus oleh hakim melalui proses pengadilan. Adapun sumber data yang diperoleh dalam penyusunan skripsi ini adalah bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maupun undang-undang tentang lembaga perwakilan rakyat, pemilihan umum, dan partai politik; bahan hukum sekunder berupa tulisan-tulisan yang mendukung bahan hukum primer tersebut, dan bahan hukum tersier seperti kamus hukum. Sementara pengumpulan data dilakukan dengan teknik penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai lembaga perwakilan rakyat memiliki sistem perwakilan politik (political representation) yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dengan perantaraan partai politik. Perantaraan partai politik disini maksudnya bahwa partai politik terlibat langsung dalam pemilihan tersebut dengan mengirimkan anggota-anggotanya untuk dipilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat nantinya. Partai politik mengambil posisi seperti ini karena peran (role) dan statusnya (status) yang penting dalam negara demokrasi berdasrkan fungsi-fungsi yang dimilikinya. Peran penting partai poltik tersebut dalam perwujudan teori kedaulatan rakyat tidak sampai pada penentuan duduk tidaknya seorang anggotanya pada Dewan Perwakilan Rakyat tanpa pelibatan masyarakat atau pemilih karena peran partai politik dalam proses rekrutmen telah selesai ketika rakyat mulai memilih perwakilanya di legislatif, Karena itu, keterpilihan calon anggota legislatif dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat tidak boleh bergeser dari kehendak rakyat yang berdaulat kepada keputusan pengurus partai politik, sebagaimana amanat konstitusi yang menghendaki tegaknya prinsip kedaulatan rakyat. Termasuk peran partai politik untuk menentukan status keanggotaan seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat lewat mekanisme recall yang supremasinya berada pada kepengurusan partai politik sehingga bergeser dari kehendak rakyat yang berdaulat untuk menentukan wakil-wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat.


(9)

ABSTRAK

Indonesia sebagai negara yang berkedaulatan rakyat atau sering disebut sebagai negara yang berdemokrasi menjalankan demokrasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung adalah dengan pembentukan lembaga perwakilan rakyat dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat sebagai perlembagaan kedaulatan rakyat. Sebagai negara demokrasi juga maka pelaksanan kedaulatan rakyat itu dilaksanakan melalui pemilihan umum untuk memilih anggota-anggota lembaga perwakilan rakyat yang akan duduk sebagai wakil rakyat di lembaga tersebut. Oleh sebab itu salah satu tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sistem perwakilan dalam hal pelaksanaan teori kedaulatan rakyat tersebut. Tentunya dalam pemilihan umum tersebut adalah organisasi politik yang dinamakan partai politik. Salah satu pilar demokrasi di Indonesia selaku negara demokrasi adalah partai politik yang memiliki peran dan status penting sebagai penghubung antara pemerintah dan warga negara dalam kegiatan-kegiatan negara dalam hal ini pemerintah sehari-harinya. Partai politik kemudian memiliki hak untuk melakukan penarikan kembali anggotanya yang telah terpilih menjadi wakil rakyat melaalui mekanisme recall sehingga status keanggotaan pada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berakhir. Oleh sebab itu tujuan lainnya dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hak recall partai politik terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam korelasinya dengan perwujudan teori kedaulatan rakyat.

Dalam menyusun skripsi ini digunakan metode penelitian yuridis normatif dengan melakukan suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku, maupun hukum yang diputus oleh hakim melalui proses pengadilan. Adapun sumber data yang diperoleh dalam penyusunan skripsi ini adalah bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maupun undang-undang tentang lembaga perwakilan rakyat, pemilihan umum, dan partai politik; bahan hukum sekunder berupa tulisan-tulisan yang mendukung bahan hukum primer tersebut, dan bahan hukum tersier seperti kamus hukum. Sementara pengumpulan data dilakukan dengan teknik penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai lembaga perwakilan rakyat memiliki sistem perwakilan politik (political representation) yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dengan perantaraan partai politik. Perantaraan partai politik disini maksudnya bahwa partai politik terlibat langsung dalam pemilihan tersebut dengan mengirimkan anggota-anggotanya untuk dipilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat nantinya. Partai politik mengambil posisi seperti ini karena peran (role) dan statusnya (status) yang penting dalam negara demokrasi berdasrkan fungsi-fungsi yang dimilikinya. Peran penting partai poltik tersebut dalam perwujudan teori kedaulatan rakyat tidak sampai pada penentuan duduk tidaknya seorang anggotanya pada Dewan Perwakilan Rakyat tanpa pelibatan masyarakat atau pemilih karena peran partai politik dalam proses rekrutmen telah selesai ketika rakyat mulai memilih perwakilanya di legislatif, Karena itu, keterpilihan calon anggota legislatif dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat tidak boleh bergeser dari kehendak rakyat yang berdaulat kepada keputusan pengurus partai politik, sebagaimana amanat konstitusi yang menghendaki tegaknya prinsip kedaulatan rakyat. Termasuk peran partai politik untuk menentukan status keanggotaan seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat lewat mekanisme recall yang supremasinya berada pada kepengurusan partai politik sehingga bergeser dari kehendak rakyat yang berdaulat untuk menentukan wakil-wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat.


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 membawa angin segar perubahan yang sangat besar di bidang sosial, politik, dan hukum di Indonesia. Perubahan itu berimplikasi pada perkembangan pelaksanaan demokrasi di Indonesia yang ditandai dengan adanya pemilihan umum langsung untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan umum langsung untuk memilih anggota legislatif, atau yang teranyar adalah keberadaan calon independen dalam pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, dan hal-hal lain maupun pelaksanaan lainnya yang dipandang lebih demokratis daripada sebelumnya.

Perkataan demokrasi secara terminologi berasal dari bahasa Yunani demokratia, yang diambil dari kata demos dan kratos/kratein. Secara etimologis demos diartikan sebagai rakyat dan kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa sehingga dapat diartikan bahwa demokrasi adalah pemerintahan rakyat. Pandangan terhadap istilah demokrasi diidentikkan dengan istilah kedaulatan rakyat.1 Demokrasi atau paham kerakyatan kemudian diasumsikan sama dengan pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dalam perkembangannya harus berjalan beriringan dan tidak dapat dipisahkan dengan kedaulatan hukum (nomokrasi) dikarenakan hukum yang mengatur dan membatasi kekuasan negara atau pemerintah diartikan sebagai

1

Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945 , Bandung, Fokusmedia, 2009, hlm.34.


(11)

hukum yang dibuat atas dasar kekuasan atau kedaulatan rakyat.2 Berdasarkan hal tersebut perkembangan pelaksanaan demokrasi di Indonesia sama halnya juga dengan perkembangan pelaksanaan paham kedaulatan rakyat.

Sebuah negara yang menganut paham demokrasi paling tidak terdapat beberapa hal yang mutlak keberadaannya, yakni mengharuskan adanya pemilihan umum, adanya rotasi atau kaderisasi kepemimpinan nasional, adanya kekuasaan kehakiman yang mandiri, adanya representasi kedaulatan rakyat melalui kelembagaan parlemen yang kuat dan mandiri, adanya penghormatan dan jaminan hak asasi manusia, adanya konstitusi yang memberikan jaminan hal-hal tersebut berjalan.3 Hal-hal yang mutlak keberadaannya itu merupakan penjelmaan dari kedaulatan rakyat yang berjalan bersamaan dengan paham nomokrasi. Dikatakan berjalan bersamaan dengan prinsip nomokrasi karena demokrasi yang berarti pemerintahan rakyat tentunya didasari pada partisipasi rakyat dalam pemerintahan. Partisipasi ini dilaksanakan melalui mekanisme langsung dan mekanisme tidak langsung, di negara-negara demokrasi modern tentunya kedua mekanisme ini dijalankan secara bersamaan. Di negara demokrasi dimana hak-hak individual rakyat sangat dihargai dan dijamin kebebasannya termasuk dalam hal ini menggunakan hak politiknya secara aktif maupun pasif dalam pemerintahan haruslah diatur dengan hukum, hal ini guna memastikan tertib hukum dalam masyarakat dan kepentingan umum serta menjaga berjalannya hak-hak individual tersebut.4

Istilah kedaulatan sendiri seringkali dijumpai atau ditemukan dalam berbagai macam pengertian, dan masing-masing memiliki perbedaan yang prinsipil. Misalnya pengertian kedaulatan apabila dimaknai dalam perspektif hukum Internasional yang sering dipandang dalam hubungan ekstern atau hubungan antar negara, sedangkan dalam perspektif hukum

2

Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia , Jakarta, P.T. RajaGrafindo Persada, 2006,hlm.245.

3

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cetakan ke-14, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, hlm. 60.

4

Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.


(12)

Tata Negara dipandang dalam hubungan intern yaitu hubungan negara ke dalam.5 Kedaulatan dipandang juga sebagai konsep mengenai kekuasan tertinggi dalam penyelenggaraan negara.6 Pemaknaan kedaulatan seperti ini merupakan arti yang bersifat teknis ilmiah yaitu dengan mengidentikkannya dengan penyelanggaraan kegiatan bernegara. Ketika membicarakan mengenai kedaulatan dalam konteks penyelenggaraan negara maka muncullah suatu persoalan yaitu apa dan siapa yang memegang kekuasaan tertinggi dan membuat keputusan akhir dalam kegiatan bernegaraan.7 Atau dengan kata lain persoalan tersebut menjernihkan persoalan darimanakah kedaulatan itu berasal atau bersumber yang padanya melekat kekuasaan tertinggi tersebut. Dalam hubungan ini maka dalam dunia ilmu hukum dikenal adanya lima teori kedaulatan8, yaitu :

1. Teori Kedaulatan Negara; 2. Teori Kedaulatan Tuhan; 3. Teori Kedaulatan Raja; 4. Teori Kedaulatan Rakyat; dan 5. Teori Kedaulatan Hukum.9

Khusus mengenai teori kedaulatan rakyat, teori ini memandang dan memaknai bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat, sehingga dalam melaksanakan tugasnya pemerintah harus berpegang pada kehendak rakyat yang lazimnya disebut dengan demokrasi.10 Jadi keberadaan konsep kedaulatan rakyat sebagai suatu kajian filsafat kemudian berkembang menjadi teori

5

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, BIP, Jakarta, 2007, hlm 143.

6

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, Loc.Cit.

7

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, Op.Cit., hlm.144.

8

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, Loc.Cit.

9

Para ahli Hukum Tata Negara memiliki pendapat-pendapat yang berbeda mengenai teori kedaulatan ini, misalnya Prof. Hamid S. Attamimi menyebut juga lima ajaran kedaulatan tetapi kedaulatan Tuhan digantinya dengan ajaran kedaulatan dalam lingkungan sendiri. Lain lagi Wirjono Prodjodikuro hanya menyebut empat ajaran saja, yaitu kedaulatan negara, kedaulatan Tuhan, kedaulatan rakyat, dan kedaulatan hukum.

10

Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat:Analisis Terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Pebandingannya dengan Negara Lain, Cetakan I, Nusamedia, Bandung, 2007, hlm. 9.


(13)

kedaulatan rakyat dalam kajian keilmuan. Demokrasi merupakan praksis dari teori kedaulatan rakyat dalam suatu sistem politik atau maupun pula bila menyamakan11 kedaulatan rakyat dengan demokrasi.

Sebagai negara yang berkedaulatan rakyat sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945, yang menegaskan bahwa :

“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang -Undang Dasar”.

Maka Indonesia menyelenggarakan demokrasi secara langsung maupun dengan tidak langsung. Penyelenggaran ini merupakan bentuk penyaluran gagasan kedaulatan rakyat itu sendiri. Sebagai negara modern, tentunya tidak bisa hanya menerapkan demokrasi secara langsung karena hal tersebut hanya efektif dilakukan dalam bentuk negara kota (polis) ketika era Yunani kuno, maka diakuilah adanya suatu bentuk demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan melalui keberadaan wakil-wakil rakyat di parlemen. Maka baik demokrasi langsung maupun tidak langsung dijalankan secara bersama-sama.12 Secara langsung misalnya dalam bentuk pemilihan umum terhadap Presiden dan Wakil Presiden dan secara tidak langsung misalnya dengan menciptakan lembaga perwakilan rakyat atau bisa disebut dengan parlemen sebagai perlembagaan kedaulatan rakyat.

Sebagai negara demokrasi, tentunya membenarkan keberadaan Partai Politik sebagai pilar dari demokrasi atau pelaksanaan kedaulatan rakyat itu. Hal ini didasari pada pelaksanaan demokrasi tidak langsung yang dilaksanakan melalui pemilihan umum utuk membentuk dan tentunya keberadaan partai politik sebagai peserta pemilihan umum. Partai politik pada pokoknya memiliki kedudukan (status) dan peranan (role) yang sentral dan

11

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 56.

12


(14)

penting dalam setiap sistem demokrasi karena memainkan peran yang penting sebagai penghubung antara pemerintahan negara (the state) dengan warga negaranya (the citizens).13 Partai politik merupakan pilar atau tiang yang perlu dan bahkan sangat penting untuk diperkuat derajat perlembagaanya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis karena derajat perlembagaan partai politik itu menentukan kualitas demokratisasi kehidupan politik suatu negara.14 Hal ini didasari karena dalam proses politik misalnya dalam perlembagaan kedaulatan rakyat melalui parlemen sebagai konsekuensi pelaksanaan demokrasi tidak langsung, partai politik mengambil posisi yang sentral untuk mengirimkan anggota-anggotanya ke parlemen melalui pemilihan umum. Pemilihan umum sendiri merupakan sarana paling demokratis untuk menghasilkan kekuasaan yang berkedaulatan rakyat atau kekuasaan yang berasal dari rakyat.15

Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik ditentukan bahwa Partai politik merupakan organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.16 Status keanggotaan partai politik adalah bersifat sukarela (voluntary), terbuka dan tidak diskrimanatif bagi setiap warga negara Indoenesia yang menyetujui Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) partai politik yang bersangkutan. Seorang anggota partai politik wajib mematuhi anggaran dasar maupun anggaran rumah tangga partai politik bersangkutan serta wajib berpartisipasi

13

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, Op. Cit., hlm. 710.

14

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…,.Loc.Cit.

15

Abu Daud Busroh, Hukum Tata Negara,

16

Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8)


(15)

dalam kegiatan partai politik. Bahkan ditentukan pula bahwa seorang anggota partai politik yang kemudian terpilih menjadi anggota lembaga perwakilan rakyat atau parlemen dapat diberhentikan dari keanggotaannya di parlemen oleh partai politik yang bersangkutan.17

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 juncto Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, pemberhentian seseorang dari keanggotaannya pada partai politik berakibat pula pada pemberhentiannya juga sebagai anggota parlemen yang disebakan oleh :

a. pengunduran diri dari kenggotaan partai politik; b. menyatakan menjadi anggota partai politik lain;atau c. telah melakukan pelanggaran AD/ART.

Sementara itu dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ditentukan bahwa seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat diberhentikan keanggotaannya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) lewat Pemberhentian Antar Waktu (PAW),18 apabila :

a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apapun;

b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR;

c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

d. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;

17

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, Op.Cit., hlm. 722.

18


(16)

e. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

f. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD;

g. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD;

h. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau

i. menjadi anggota partai politik lain.

Yang menarik dari ketentuan-ketentuan juridis diatas adalah adanya hak yang diberikan oleh undang-undang kepada sebuah partai politik untuk memberhentikan anggotanya dari keangotaannya di lembaga perwakilan rakyat lewat pemberhentian antar waktu melalui mekanisme recall. Recall diartikan sebagai proses penarikan kembali anggota lembaga perwakilan rakyat untuk diberhentikan dan digantikan dengan anggota lainnya sebelum berakhir masa jabatan anggota yang ditarik tersebut.19 Dari pengertian tersebut terlihat bahwa mekanisme recall merupakan hak prerogatif partai politik. Apakah memungkinkan seorang anggota parlemen yang merupakan wakil (representation) rakyat yang dipilih melalui mekanisme demokratis yaitu pemilihan umum yang berdasarkan kekuasaan atau kedaulatan rakyat dapat diberhentikan oleh partai politiknya. Keberadaan seorang anggota partai politik di parlemen merupakan pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagai wujud pelaksanaan demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan karena keberadaan parlemen sebagai perlembagaan kedaulatan rakyat. Eksistensi seorang anggota parlemen khususnya anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang berada dalam lembaga perwakilan rakyat

19

http://ulum.blog.com/index.php/opini/meninjau-keberadaan-recall.html/ diakses pada 19 Juli 2011 Pukul 18.15 WIB.


(17)

yang dipilih berdasarkan perwujudan kedaulatan rakyat seketika itu juga berakhir melalui mekanisme recall yang menunjukkan supremasi partai politik bukan supremasi rakyat.

Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor. 22-24/PUU-VI/200820 berpendapat bahwa tujuan utama peletakan kedaulatan rakyat sebagai prinsip dasar konstitusi adalah menempatkannya sedemikian rupa sehingga penghargaan dan penilaian hak suara pemilih yang membentuk wujud kedaulatan rakyat, tidak merupakan masalah yang tunduk pada perubahan-perubahan yang timbul dari kontroversi politik di parlemen. Kemudian Mahkamah Konstitusi juga menambahkan bahwa peran partai politik dalam proses rekrutmen telah selesai ketika rakyat mulai memilih perwakilanya di legislatif, Karena itu, keterpilihan calon anggota legislatif tidak boleh bergeser dari keputusan rakyat yang berdaulat kepada keputusan pengurus partai politik, sebagaimana amanat konstitusi. Sejalan dengan pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut dapat dipertentangkan dan dipertegas kembali keberadaan hak recall partai politik yang memberikan supremasi kepada partai politik dalam hal ini pengurus

partai politik untuk menghilangkan status keanggotaan seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan kemudian dapat menggantinya dengan calon lain, dipertentangkan dan dipertegas kembali dengan prinsip kedaulatan rakyat. Hal inilah juga yang menjadi alasan bagi Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa suara terbanyaklah sebagai mekanisme yang menentukan seorang calon anggota legislatif menjadi anggota lembaga perwakilan rakyat dalam hal ini DPR. Jadi supremasi rakyat melalui kedaulatan rakyat memang benar-benar harus dijaga konstitensinya.

Permasalahan tentang keberadaan hak recall partai politik tersebut dan apabila dihubungkan dengan perwujudan teori kedaulatan rakyat menarik untuk dikaji lebih dalam, oleh sebab itu dalam penelitian ini di pilih judul: “HAK RECALL PARTAI POLITIK

20

Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.


(18)

TERHADAP ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM PERWUJUDAN TEORI KEDAULATAN RAKYAT”.

B. Permasalahan

Berdasarkan pada pengamatan penulis yang bersumber dari beberapa literatur baik yang berbentuk peraturan perundang-undangan maupun yang menggambarkan kondisi sosial politik masyarakat Indonesia dewasa ini, maka untuk pemahaman lebih lanjut, penulis mengemukakan beberapa permasalahan yang berkisar sebagai berikut :

1. Bagaimanakah sistem perwakilan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam pelaksanaan teori kedaulatan rakyat ?

2. Bagaimanakah hak recall partai politik terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam korelasinya dengan pelaksanaan teori kedaulatan rakyat ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui sistem perwakilan dalam hal pelaksanaan teori kedaulatan rakyat di Indonesia;dan

b. Untuk mengetahui hak recall partai politik terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam korelasinya dengan perwujudan teori kedaulatan rakyat di Indonesia.

2. Manfaat


(19)

a. Secara teoritis

Skripsi ini diharapkan bermanfaat sebagai tambahan dokumentasi dalam segi hukum terhadap persoalan hak recall partai politik terhadap anggota parlemen dalam perwujudan teori kedaulatan rakyat serta dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan hukum Tata Negara dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintah.

b. Secara praktis

Penelitian ini ditujukan kepada segenap kalangan, baik itu praktisi hukum, aparat penegak hukum, para penyelenggara negara, dan semua pihak yang ingin mengetahui bagaiamana tinjauan terhadap hak recall partai politik dalam perwujudan teori kedaulatan rakyat di Indonesia.

Penelitian ini juga dapat bermanfaat umumnya terhadap segenap pimpinan partai politik dan kadernya yang turut meramaikan panggung politik di Indonesia, dan khususnya terhadap setiap orang yang menjalankan tugas sebagai anggota lembaga perwakilan rakyat baik Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, agar mengetahui bagaiamana tinjauan hak recall terhadap anggota parlemen dalam perwujudan teori kedaulatan rakyat di Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “Hak Recall Partai Politik terhadap Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam Perwujudan Teori Kedaulatan Rakyat” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli serta bukan plagiat ataupun diambil dari


(20)

skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari sebuah proses penemuan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ada skripsi yang sama, maka akan dipertanggungjawabkan sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan

Untuk memberikan pemahaman terhadap penelitian ini, berikut akan diberikan beberapa pengertian terkait dengan objek penelitian ini.

Kedaulatan adalah kekuasaan mutlak dan tertinggi yang berada dalam suatu negara.21 Kata daulat dan kedaulatan sendiri berasal dari kata arab daulah yang berarti rezim politik atau kekuasaan.22 Prof. H. Soehino, S.H. menambahkan bahwa kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi, yaitu kekuasaan yang dalam taraf terakhir dan tertinggi wewenang membuat keputusan.23 Kedaulatan juga dapat bermakna teknis operasional, yaitu merupakan konsep mengenai kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaran negara, maksudnya adalah apa dan siapa yang membuat keputusan akhir dalam kegiatan bernegara.24 Dalam hubungan ini, dalam dunia ilmu hukum dan ilmu politik dikenal adanya lima teori, yaitu (i) teori kedaulatan Negara, (ii) teori kedaualatan Tuhan, (iii) teori kedaulatan Raja, (iv) teori kedaulatan Rakyat, dan (v) teori kedaulatan Hukum..25 Hamid S. Attamimi juga menyebutkan lima ajaran kedaualatan namun mengganti teori kedaulatan Tuhan dengan ajaran kedaualatan dalam lingkungan sendiri.26 Sementara itu Wirjono Prodjodikuro hanya menyebutkan empat ajaran kedaulatan saja, tanpa memasukkan ajaran kedaulatan Raja.27 Teori kedaualatan negara biasanya dibicarakan dalam konteks hukum internasional karena teori kedaulatan ini bisa

21

Jean Bodin, Six Books Of Commonwealth

22

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, Op. Cit., hlm. 143.

23

Soehino, Hukum Tata Negara: Perkembangan Pengaturan Pelaksanaan Pemilihan Umum di Indonesia,BPFE, Yogyakarta, 2010. hlm. 71.

24

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…,Op. Cit., hlm. 143.

25

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…,Op. Cit., hlm. 144.

26

Hamid S. Attamimi dalam Jimly Asshiddiqie, Loc. Cit.

27


(21)

dipandang sebagai konsep kekuasaan negara yang bersifat eksternal yaitu hubungan antar bernegara, sementara ajaran kedaulatan lainnya dipandang sebagai konsep kekuasaan yang besifat internal dan dianggap penting untuk dibahas dalam Hukum Tata Negara.28

Ajaran kedaulatan rakyat lahir dari J.J. Rousseau yang menyatakan bahwa kedaulatan tidak bisa lepas dari rakyat yaitu pemegang kekuasaan tertinggi.29 Kedaulatan rakyat diwujudkan dalam pernyataan rakyat untuk menyampaikan kehendaknya.30 Menurut teori ini negara memperoleh kekuasaan dari rakyatnya bukan dari Tuhan atan dari Raja.31 Kekuasaan dapat dimaknai sebagai kemampuan untuk memaksakan kehendak/ keinginan kepada pihak lain.32 Kedaualatan rakyat memandang bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat, sehingga dalam melaksanakan tugasnya pemerintah harus berpegang teguh pada kehendak rakyat,33 atau yang sering dinyatakan dengan semboyan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Rakyatlah yang menentukan corak dan cara pmerintahan diselenggarakan dak rakyat pulalah yang menentukan tujuan yang hendak dicapai oleh negara dalam pemerintahannya itu.34

Dewan Perwakilan Rakyat adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau sering disebut Dewan Perwakilan Rakyat (disingkat DPR-RI atau DPR) adalah salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat. DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum.35 Dewan Perwakilan Rakyat memiliki 3 (tiga) fungsi yang utama yaitu fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran. Perwujudan ajaran

28

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, Op. Cit., hlm 145.

29

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, PS HTN Universitas Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 123.

30

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Ibid.

31

Samidjo, Ilmu Negara, C.V. Armico, Bandung, 1986, hlm.145.

32

Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat..., Op.Cit., hlm. 9.

33

Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat…, Loc.Cit.

34

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2009. hlm. 414.

35


(22)

kedaulatan rakyat di Indonesia melalui pelembagaan parlemen ditandai dengan keberadaan lembaga perwakilan rakyat ini.

Partai politik adalah organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus. Definisi lainnya adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Partai politik merupakan sarana politik yang menjembatani elit-elit politik dalam upaya mencapai kekuasaan politik dalam suatu negara yang bercirikan mandiri dalam hal finansial, memiliki platform atau haluan politik tersendiri, mengusung kepentingan-kepentingan kelompok dalam urusan politik, dan turut menyumbang political development sebagai suprastruktur politik.

Menurut Carl J. Friedrich, partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasan pemerintah bagi pemimpin Partainya, dan berdasarkan penguasan ini memberikan kepada anggota Partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun materil.36 Sementara itu menurut Miriam Budiardjo, partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.37

Hak recall secara terminologi dalam kamus politik karangan B.N.Marbun dapat diartikan sebagai suatu proses penarikan kembali atau penggantian anggota DPR oleh induk organisasinya yaitu partai politik. Hak recall partai politik adalah suatu hak untuk mengganti anggota DPR oleh induk organisasinya sehingga tidak lagi memiliki status keanggotaan di lembaga tersebut.38 Sehingga dalam hal ini hak recall dapat dikatakan sebagai suatu mekanisme kontrol yang dimiliki oleh partai politik untuk mengawasi kinerja dari para

36

http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_politik diakses pada 21 Juli 2011.

37

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT. Gramedia, 1989, hlm.159.

38


(23)

anggotanya di DPR.39 Meski dengan merujuk ketentuan peraturan perundang-undangan tidak akan kita jumpai terminologi recall, namun tetap diadopsi dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, yaitu sebagai proses penarikan kembali anggota lembaga perwakilan rakyat untuk diberhentikan dan digantikan dengan anggota lainnya sebelum berakhir masa jabatan anggota yang ditarik tersebut.40 Hal demikian yang kemudian oleh Tomassen dikatakan, “recall recht het rechts van een politieke partij oom een via haar kandidaten lijst gekozen parlement lid terug te roepen.” (hak recall merupakan hak suatu partai politik untuk

menarik kembali anggota parlemen yang terpilih melalui daftar calon yang diajukannya).41

F. Metode Penelitian

Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini dan agar dapat memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah, diperlukan data yang relevan dengan skripsi ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka diterapkan metode pengumpulan data sebagai berikut:

1. Sifat dan jenis penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputus oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is

decided by the judge through judicial process).42 Metode penelitian seperti ini disebut juga penelitian hukum dengan pendekatan doktrinal yang bersifat normatif.43 Penelitian hukum

39

http://www.fh.unsri.ac.id/index.php/posting/43 diakses pada 19 Juli 2011.

40

http://ulum.blog.com/index.php/opini/meninjau-keberadaan-recall.html/ diakses pada 19 Juli 2011.

41

M. Hadi Shubhan, Recall: Antara Hak Partai Politik dan Hak Berpolitik Anggota Parpol, Jurnal Konstitusi, Volume 3 Nomor 4, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006, hlm. 46.

42

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 118

43


(24)

normatif dalam penelitian ini didasarkan pada data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.44 Metode penelitian normative merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.45 Logika kelimuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Dengan demikian penelitian ini meliputi penelitian terhadap sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, dokumen-dokumen terkait dan beberapa buku mengenai hak recall partai politik dan teori kedaulatan rakyat.

2. Sumber data

Materi dalam skripsi ini diambil dari data sekunder. Adapun data sekunder yang dimaksud ialah:

a. Bahan hukum primer,46 yakni :

Bahan yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum maupun mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak yang berkepentingan yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang.47 Bahan hukum primer dalam tulisan ini diantaranya UUD 1945.

b. Bahan hukum sekunder, yakni :

Bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap hukum primer. Bahan hukum sekunder berupa buku, majalah, karya ilmiah, maupun artikel-artikel lainnya yang berhubungan dengan

44

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodoligi Penelitian Hukum Normatif, UMM Press, Malang, 2007, hal. 57.

45

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 3.

46

Roni Hanitjo Soemitro, Metode Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988, hal 64.

47


(25)

obyek yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan penelitian, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.48

c. Bahan hukum tertier, yakni :

Bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus, ensiklopedia dan lain-lain.49

3. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara peneletian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan

yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

Tahap-tahap pengumulan data melaui studi pustaka adalah sebagai berikut:50

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.

b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel-artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan

48

Roni Hanitjo Soemitro, Op. Cit., hal 64.

49

Roni Hanitjo Soemitro, Op. Cit., hal 64.

50

Ronitijo Hanitijo Soemitro, Metodoligi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 63.


(26)

c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan.

d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.

Agar dapat diperoleh hasil yang baik yang bersifat objektif ilmiah, maka dibutuhkan data-data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan kebenaran akan hasilnya, maka dalam hal ini data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan alat pengumpul data melalui studi dokumen, yaitu berupa penelitian yang mempelajari dan memahami bahan-bahan kepustakaan yang berkaitan dengan objek penelitian ini. Studi dokumen dari literatur yang berasal dari kepustakaan ataupun sumber lain yang berkaitan dengan masalah dari penelitian ini.

4. Analisis Data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.51

Sebelum data itu dianalisis terlebih dahulu dilakukan :

a) Editing yaitu memeriksa kembali mengenai ketetapan jawaban yang diterima dan relevansinya.

b) Evaluasi yaitu kegiatan memeriksa atas kelengkapan data, kejelasannya, konsistenya dan relevansinya terhadap topik penulisan skripsi ini.

51


(27)

c) Sistematisasi yaitu melakukan penyusunan data secara sistematis dan konsisten.52

Data yang didapat dari penelitian studi dokumen ini disusun secara sistematik untuk memperoleh deskripsi tentang hak recall partai politik terhadap anggotan parlemen dalam perwujudan teori kedaulatan rakyat. Analisis data yang dilakukan secara kuantitatif,53 yaitu dengan cara penguraian, menghubungkan dengan peraturan-peraturan yang berlaku, menghubungkan dengan pendapat pakar hukum. Untuk mengambil kesimpulan dilakukan dengan pendekatan deduktif.

G. Sistematika Penulisan

Bab I : Bab I merupakan bab pendahuluan. Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II : Dalam bab II akan dibahas mengenai Kedaualatan Rakyat, Sistem Perwakilan, Dewan Perwakilan Rakyat, Partai Politik, dan Hak Recall Partai Politik

Bab III : Dalam bab III akan dibahas mengenai pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui pemilihan umum, dan sistem perwakilan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Bab IV : Dalam bab IV akan dibahas mengenai hak recall partai politik terhadap anggota parlemen dalam korelasinya dengan perwujudan teori kedaulatan rakyat.

52

Roni Hanitjo Soemitro, Op. Cit., hal 64.

53


(28)

Bab V : Bab V merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran mengenai pembahasan yang telah dikemukakan.


(29)

BAB II

KEDAULATAN RAKYAT DALAM UUD 1945

A. AJARAN KEDAULATAN RAKYAT DALAM UUD 1945

Adalah suatu hal yang lazim dipahami bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau selanjutnya disebut UUD 1945 saja menganut ajaran kedaulatan rakyat meskipun lazim pula para ahli hukum Tata Negara yang menyatakan bahwa selain ajaran kedaulatan rakyat juga terdapat ajaran kedaulatan lain dalam UUD 1945, misalnya Ismail Sunny yang menyatakan bahwa UUD 1945 menganut tiga ajaran kedaulatan sekaligus yaitu ajaran kedaulatan tuhan, kedaulatan rakyat, dan kedaulatan hukum.54 Hal ini secara tegas dirumuskan dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

Dalam proses perubahan UUD 1945 terjadi pergulatan pemikiran tentang gagasan kedaulatan rakyat. Pergulatan pemikiran tersebut berujung dengan diubahnya ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Awalnya, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berbunyi “Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.

Kemudian diubah pada saat perubahan ketiga UUD 1945 sehingga rumusannya menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

MPR yang pada mulanya dipahami sebagai pemegang mandat sepenuhnya dari rakyat atau

54

Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi Dan Pelaksanaannya Di Indonesia:Pergeseran Keseimbangan Antara Individualisme Dan Kolektivisme Dalam Kebijakan Demokrasi Politik Dan Demokrasi Ekonomi Selama Tiga Masa Demokrasi,1945-1980-an, Disertasi Pada Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. 61.


(30)

pemegang kedaulatan rakyat yang tertinggi,55 bergeser ke arah pemahaman bahwa MPR tidak lagi sebagai pemegang mandat tunggal yang tertinggi, melainkan mandat itu dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, mandat rakyat dijalankan oleh cabang-cabang kekuasaan negara berdasarkan UUD, termasuk oleh MPR sebagai salah satu lembaga penyelenggara kekuasaan negara. Alasan perubahan ini menurut Jimly Asshiddiqie dikarenakan rumusan Pasal 1 Ayat (2) sebelum perubahan memuat ketentuan yang tidak jelas, dengan adanya ungkapan “…dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” maka ada yang menafsirkan bahwa hanya MPR sajalah yang melakukan kedaulatan

rakyat sehingga DPR yang merupakan wakil rakyat dipandang tidak melaksanakan kedaulatan rakyat.56

Perubahan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 ini menunjukan terjadinya perubahan gagasan yang begitu mendasar tentang kedaulatan rakyat dalam UUD 1945. Terjadi pergeseran yang sangat fundamental tentang siapa sebenarnya yang bertindak sebagai pemegang supremasi atau kekuasaan tertinggi. Sebagaimana dikemukakan Soewoto Mulyosudarmo, perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 merupakan perubahan menuju sebuah kondisi yang mencerminkan keadaan yang sebenarnya tentang pengaturan kekuasaan tertinggi.57 Di mana pemilik kekuasaan tertinggi dalam negara adalah rakyat yang pelaksanaannya sesuai dengan Undang-Undang Dasar.

Perubahan gagasan kedaulatan dalam UUD 1945 sekaligus juga diiringi dengan perubahan terhadap cara rakyat memberikan mandat terhadap penyelenggara kekuasaan negara. Salah satu contoh yang dapat dikemukan bahwa Presiden sebagai penyelenggara

55

Soewoto Mulyosudarmo, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, Asosiasi Pengajar HTN dan HAN dan In-TRANS, Malang, 2004, hal. 3

56

Baca Jimly Asshiddiqie, Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Pembangunan Hukum Nasional, Sambutan Pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN) Oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) Republik Indonesia, Jakarta, 21 November 2005.

57


(31)

salah satu cabang kekuasaan negara pada awalnya dipilih oleh MPR. Sedangkan berdasarkan UUD 1945 yang telah diamandemen, Presiden dipilih langsung oleh rakyat, tidak lagi oleh MPR. Begitu juga mandat yang diberikan rakyat kepada penyelenggara kekuasaaan negara lainnya, seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Semua anggota DPR dan DPD dipilih melalui pemilihan umum. Tidak seorangpun anggota DPR dan DPD yang ditunjuk sebagaimana pernah terjadi pada masa-masa sebelum reformasi, di mana anggota DPR, DPRD I dan DPRD II yang berasal dari ABRI tidak dipilih oleh rakyat melalui mekanisme pemilihan umum.

Sebagai wujud dari ide kedaulatan rakyat, dalam sistem demokrasi harus dijamin bahwa rakyat terlibat penuh dalam merencanakan, mengatur, melaksanakan, dan melakukan pengawasan serta menilai pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan. Pelaksanaan keterlibatan penuh rakyat tersebut haruslah diorganisasikan menurut Undang-Undang Dasar sesuai dengan dengan ketentuan UUD 1945, tidak lagi diorganisasikan melalui institusi kenegaraan Majelis Permusyawaratan Rakyat layaknya ketentuan UUD 1945 sebelum perubahan. Perbedaan yang terjadi setelah perubahan itu sangat jelas dan prinsipil.58 Pertama, kedaulatan yang berada di tangan rakyat it sekarang tidak lagi dilembagakan hanya pada satu subjek (ordening subject), MPR sebagai penjelmaan tunggal lembaga negara. Dalam rumusan yang baru, semua lembaga negara baik secara langsung ataupun tidak langsung juga dianggap sebagai penjelman dan dibentuk dalam rangka pelaksanaan kedaulatan rakyat. Kedua, pengharusan pelaksanaan tugas menurut ketentuan undang-undang dasar tidak hanya satu lembaga saja, yakni MPR, melainkan semua lembaga negara diharuskan bekerja menurut ketentuan undang-undang dasar.

58


(32)

Dalam rumusan yang baru, subjek pemegang kedaulatan rakyat tidak lagi terkait hanya dengan satu subjek, maka berarti, semua lembaga negara atau jabatan publik baik secara langsung atau tidak langsung juga dianggap sebagai penjelmaan dan dibentuk dalam rangka pelaksanaan kedaulatan rakyat. Secara langsung penjelmaan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat itu adalah melalui pemilihan umum langsung untuk menetukan pemegang jabatan publik pada suatu lembaga negara sedangkan secara tidak langsung adalah dengan perantara wakil rakyat dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat.

Oleh karena semua lembaga negara atau jabatan publik pada hakikatnya adalah jabatan yang memperoleh legitimasi dari rakyat yang berdaulat, maka bukan saja tugas dan wewenang jabatan itu harus diselenggarakan menurut undang-undang dasar, tetapi juga harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat melalui prinsip akuntabilitas, transparansi, dan cara kerja yang partisipatoris. Setiap warga negara harus mendapatkan akses yang seluas-luasnya terhadap kinerja lembaga-lembaga negara, dan secara berkala lembaga-lembaga negara yang bersangkutan diharuskan menyampaikan laporan terbuka kepada masyarakat, dan yang tidak kalah pentinganya adalah kebebasan pers untuk mendapatkan informasi dan memberikan informasi itu kepada masyarakat luas.59

Utamanya, pengertian atau maksud kedaulatan rakyat dalam UUD 1945, dapat pula dikatakan berbeda dengan maksud atau pengertian kedaulatan rakyat di negara-negara liberal pada umumnya. Sebabnya adalah kedaulatan rakyat Indonesia menurut UUD 1945 tidak hanya menyangkut bidang politik, tetapi juga kedaulatan rakyat di bidang ekonomi dan bahkan sosial.60 Menurut Soekarno, prinsip ini disebutkan sebagai sosio-demokrasi, demokrasi yang berdiri di kedua kakinya. Sosio-demokrasi menurutnya adalah mencakup juga demokrasi ekonomi tidak hanya demokrasi politik. Ditambahkannya pula bahwa pada

59

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, op.cit., hal. 295.

60


(33)

bentuk demokrasi seperti ini rakyat menjadi berdaulat dalam bidang politik dan juga dalam bidang ekonomi. Itu juga sebabnya maka UUD 1945,61 selain memuat ketentuan-ketentuan dasar mengenai sistem politik juga memuat dasar-dasar mengenai sistem ekonomi.

Dengan kata lain, UUD 1945 sebagai hukum dasar dan hukum tertinggi dalam ketatanegaraan Republik Indonesia harus menjadi acuan dan pegangan bagi penyelenggara negara dalam menentukan kebijakan-kebijakan dalam rangka menjalankan tugas kenegaraan dan pemerintahan. Kebijakan politik, kebijakan ekonomi, dan bahkan kebijakan sosial budaya harus mengacu pada ketentuan hukum dasar atau ketentuan hukum tertinggi yaitu UUD 1945. UUD 1945 adalah cerminan kehendak politik seluruh rakyat yang berdaulat dalam negara Republik Indonesia. Kedaulatan rakyat itu tidak hanya menyangkut aspek politik kehidupan bernegara, tetapi juga dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya dalam bernegara. Karena itu dikatakan bahwa Indonesia menjalankan paham demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.62

B. PENJELMAAN KEDAULATAN RAKYAT DALAM UUD 1945

Dalam hubungan antara rakyat dengan kekuasaan negara dalam hubungan sehari-hari, ada dua teori yang lazim dikembangkan, yaitu teori demokrasi langsung (direct democracy) dan teori demokrasi tidak langsung (representative democracy). Artinya kedaulatan rakayat dapat dilakukan secara langsung dimana rakyatlah yang melaksanakan kekuasaan tertinggi yang dimilikinya. Namun, di zaman modern sekarang ini dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi, bentuk semacam ini hampir tidak lagi dapat dilakukan. Karena itu, hal yang

61

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, op.cit., hlm. 296.

62


(34)

lebih populer dewasa ini adalah ajaran demokrasi yang tidak langsung atau demokrasi perwakilan (representative democracy).63

Karena hal tersebut pada umumnya negara-negara modern memiliki badan atau lembaga perwakilan rakyat yang bertindak sebagai pelaku atau pelaksana kedaulatan rakyat itu dalam kekuasaan negara sehari-hari. Pengisian jabatan keanggotaan badan atau lembaga perwakilan itu biasanya dilakukan melalui mekanisme Pemilihan Umum yang menghimpun dan mengorganisasikan aspirasi, pendapat, dan suara rakyat yang berdaulat itu. Oleh karena itu, sistem demokrasi atau paham kedaulatan rakyat dewasa ini selalu terkait dengan pemilihan umum dan partai politik. Dan bahkan terkadang melalui pelaksanaan pemilihan umum dan keberadaan partai politik suatu negara dapat ditentukan pula negara tersebut sudah demokrasi atau tidak.

Ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 yang jelas menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang dasar berimplikasi pada sebuah supremasi konstitusi dimana pelaksanaan kedaulatan rakyat haruslah sesuai dengan ketentuan-ketentuan pada undang-undang dasar. Kedaulatan yang berada di tangan rakyat itu dapat dikatakan ditafsirkan oleh keberadaan undang-undang dasar sehingga ketentuan-ketentuan didalamnya adalah ketentuan yang menurut kehendak rakyat atau melaksanakan kedaulatan rakyat.

Perihal pemilihan umum dan partai politik, berbeda dengan sebelum dilakukannya perubahan, UUD 1945 hasil perubahan kini lebih jelas memuat ketentuan mengenai kedua hal tersebut. Bab VIIB pada UUD 1945 memuat 1 pasal dengan kandungan 6 ayat yang mengatur ketentuan mengenai pemilihan umum dan terkandung juga mengenai partai politik. Ketentuan ini memuat aturan-aturan umum mengenai pemilihan umum yang pengaturan lebih

63


(35)

rincinya diamanatkan dengan pembentukan undang-undang.64 Sedangkan ketentuan mengenai kehadiran partai politik dilihat dari keberadaan Pasal 22E Ayat (3) yang menentukan bahwa yang menjadi peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.65

Penjelmaan kedaulatan rakyat dalam UUD 1945 berarti penjelmaan kedaulatan rakyat itu dalam ketentuan-ketentuan UUD 1945 sebagai implikasi jurudis ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945, bukan seperti sebelum perubahan66 yang dilakukan sepenuhnya oleh MPR. UUD 1945 setelah perubahan menetukan bahwa semua lembaga atau organ negara melaksanakan kedaulatan rakyat, tidak hanya MPR saja sebagai lembaga tertinggi negara seperti sebelumnya.67 Keberadaan ketentuan mengenai pemilihan umum dan partai politik adalah penjelmaan atas kedaulatan rakyat itu juga karena pengaturannya yang berada dalam UUD 1945. Dalam sistem konstitusional berdasarkan undang-undang dasar, pelaksanaan kedulatan rakyat disalurkan dan diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi (constitutional democracy).68

Kedaulatan rakyat Indonesia berdasarkan ketentuan undang-undang dasar (constitutional democracy) diselenggarakan secara langsung dan melalui sistem perwakilan. Kedaulatan rakyat diwujudkan dalam tiga cabang kekuasaaan yang tercermin dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah sebagai pemegang kekuasaan legislatif, Presiden dan Wakil Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, dan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai pemegang kekuasaan yudikatif. Dalam menentukan kebijakan pokok pemerintahan dan mengatur ketentuan-ketentuan hukum berupa undang-undnag dasar dan undang-undang dan

64

BAB VIIB UUD 1945.

65

Pasal 22E Ayat (3) UUD 1945.

66

Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat…, Op.Cit., hlm.76.

67

Baca Jimly Asshiddiqie, Implikasi Perubahan…, Op.Cit.

68


(36)

juga dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan, dilangsungkanlah suatu perlembagaan kedaulatan rakyat berdasarkan sistem perwakilan yang mengahadirkan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Bahkan juga di daerah-daerah provinsi dan kabupaten/kota, perlembagaan kedaulatan rakyat itu disalurkan melalui sistem perwakilan sehingga menghadirkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.69

Penyaluran kedaulatan secara langsung (direct democracy) dilakukan melalui pemilihan umum, pemilihan presiden, dan sebagai tambahan yaitu pelaksanaan referendum untuk menyatakan persetujuan atau penolakan terhadap rencana perubahan atas pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Dasar. Bentuk penyaluran kedaulatan rakyat lainnya yaitu melalui pelaksanaan hak atas kebebasan berpendapat, hak atas kebebasan pers, hak atas kebebesan informasi, hak atas kebebasan berorganisasi dan berserikat serta hak-hak asasi lainnya yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar.70 Pada hakikatnya dalam ide kedaulatan rakyat itu, tetap harus dijamin bahwa rakyatlah yang sesungguhnya pemilik negara dengan segala kewenangannya untuk menjalankan semua fungsi kekuasaan negara, baik di bidang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Dan tentunya UUD 1945 dengan segala ketentuannya merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat, baik yang dilaksanakan secara langsung (direct democracy) maupun yang dilaksanakan secara tidak langsung atau perwakilan

(representative democracy) melalui lembaga perwakilan rakyat. Oleh sebab itu pula, organ atau lembaga-lembaga negara yang melaksanakan fungsi kekuasaan negara dianggap melaksanakan amanat kedaulatan rakyat dan tunduk pada kedaulatan rakyat berdasarkan ketentuan undang-undang dasar. Apabila hal ini dihubungkan dengan teori kontrak sosial Jean Jacques Roesseau yang menyatakan bahwa kehendak rakyat yang berdaulat itu dapat disalurkan dengan dua cara yaitu,71 pertama adalah kehendak seluruh rakyat yang biasa

69

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme…,Op.Cit., hlm. 59.

70

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme…,op.cit.hal.59.

71


(37)

disebut volunte de tous dan yang kedua adalah kehendak umum yang berarti tidak harus semua rakyat atau disebut sebagai volunte generale. Kehendak yang pertama biasa juga disebut sebagai kedaulatan politik dan yang kedua biasa juga disebut sebagai kedaulatan hukum.

Dalam sistem hukum Indonesia, kehendak yang pertama atau kedaulatan politik itu disalurkan melalui pemilihan umum yang dilaksanakan secara periodik setiap 5 (lima) tahun sekali. Hasil dari pemilihan umum itulah yang kemudian mengisi jabatan-jabatan kelembagaan negara yang menjalankan kedaulatan rakyat dalam bentuk kedaulatan hukum. Hanya saja dalam proses menjalankan kedaulatan rakyat itu, semua lembaga negara haruslah tunduk pada ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar sebagai implikasi dari supremasi konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. tidak hanya itu saja, segala ketentuan yang berada dalam UUD 1945 sejatinya adalah amanat pelaksanaan kedaulatan rakyat namun tetap tidak dapat bertentangan dengan kedaulatan rakyat itu sendiri. Artinya apabila rakyat menghendaki untuk merubah ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945, maka kehendak rakyat ini harus dipandang sebagai kehendak hukum ataupun kedaulatan di bidang hukum (volunte general) yang harus disalurkan dan tidak boleh dikesampingkan karena UUD 1945 juga telah memberi peluang untuk melakukan perubahan terhadapnya. Inilah penegasan kembali terhadap pelaksanaan sistem konstitusional berdasarkan undang-undang dasar, yaitu pelaksanaan kedulatan rakyat yang disalurkan dan diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi (constitutional democracy).72 Atupun disebutkan sebagai negara demokrasi yang berdasarkan hukum dan negara hukum yang demokratis, beriringannya konsep demokrasi dan nomokrasi. Hal ini dikarenakan kedaulatan rakyat itu terwujud juga dalam hukum selain terwujud juga dalam instansi sebagaimana telah isebutkan sebelumnya diatas. Oleh karena itu, lembaga-lembaga tinggi

72


(38)

negara yang melaksanakan kedaulatan rakyat secara kehendak hukum (volunte generale) tetap tidak boleh melanggar prinsip kedaulatan rakyat.73

C. PEMILIHAN UMUM SEBAGAI SARANA PELAKSANAAN KEDAULATAN RAKYAT

Seperti dikemukakan Moh. Kusnardi dan Harmailly Ibrahim dalam paham kedaulatan rakyat (democracy), rakyatlah yang dianggap sebagai pemilik atau pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.74 Rakyatlah yang menentukan corak dan bagaimana cara pmerintahan diselenggarakan. Rakyatlah yang menetukan tujuan yang hendak dicapai oleh negara dan pemerintahannya itu. Dalam suatu negara yang kecil, yang jumlah penduduknya sedikit, dan juga dengan luas wilayah yang tidak begitu besar, kedaulatan rakyat yang seperti ini tidak dapat berjalan dengan semurni-murninya atau tidak berkalan dengan sepenuhnya. Apalagi di negara-negara dengan jumlah penduduk yang besar dan ditambah lagi dengan luas wilayah yang besar pula, sangat tidak mungkin untuk menghimpun pendapat rakyat seorang demi seorang untuk menentukan jalannya pemerintahan. Ditambah lagi dalam konteks masyarakat modern seperti sekarang ini dimana kehidupan sudah sangat berkembang dinamis dan kompleks, masing-masing rakyat memiliki ragam pekerjaan dan spesialisasi yang perbedaannya sudah semakin tajam, termasuk juga perbedaan tingkat kecerdasan antar individual dalam masyarakat. Hal-hal seperti ini menyebabkan kedaulatan rakyat tidak dapat dilakukan secara murni, namun dengan tetap dalam kondisi bahwa kedaulatan rakyat itu harus ditegakkan, kompleksitas seperti ini berujung pada pembenaran bahwa kedaulatan rakyat itu dilaksanakan dengan melalui sistem perwakilan (representation).

73

Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat…, op.cit., hal. 81.

74


(39)

Dalam kedaulatan rakyat dengan sistem perwakilan atau demokrasi biasa juga disebut sebagai sistem demokrasi perwakilan (representative democracy) atau demokrasi tidak langsung (indirect democracy). Di dalam demokrasi perwakilan ini yang menjalankan kedaulatan rakyat adalah para wakil-wakil rakyat yang duduk di dalam lembaga perwakilan rakyat atau biasa juga disebut parlemen. Para wakil-wakil rakyat tersebut bertindak atas nama rakyat dan merekalah yang kemudian menentukan corak dan jalannya pemerintahan suatu negara, serta tujuan apa yang hendak dicapai baik dalam jangka waktu yang pendek maupun dalam waktu yang panjang. Hal seperti yang dikatakan Rousseau sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui kehendak hukum (volunte generale).75

Agar wakil-wakil rakyat itu benar-benar dapat bertindak atas nama rakyat maka wakil-wakil rakyat itu harus ditentukan oleh rakyat sendiri, yaitu melalui suatu mekanisme yang dinamakan pemilihan umum (general election) yang merupakan pelaksanaan kehendak seluruh rakyat secara politik (volunte de tous). Jadi pemilihan umum adalah tidak lain sebagai cara untuk memilih wakil-wakil rakyat secara demokratis. Oleh sebab itu, bagi suatu negara yang mengaku sebagai negara demokrasi, pemilihan umum (general election) yang demokratis itu merupakan ciri penting dan harus dilaksanakan dalam waktu-waktu yang tertentu. Pengertian pemilu sendiri menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu DPR, DPRD, dan DPD bahwa pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber-jurdil) dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.76 Dari pengertian ini saja kemudian dapat kita tarik suatu pemahaman bahwa konstitusi memang mengehendaki pemilu sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat.

75

Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social (Perjanjian Sosial), Visimedia, Jakarta, 2009, hal. 46.

76


(40)

Peserta pemilihan umum dapat bersifat kelembagaan atau perseorangan calon wakil rakyat. Perseorangan apabila calon wakil rakyat itu mencalonkan diri secara pribadi. Akan tetapi yang pribadi itu memerlukan suatu mesin politik untuk mendukung pencalonannya dan sebagai mesin kampanye pencalonannya yang bersifat kelembagaan. Kelembagaan yang seperti itulah yang biasanya disebut sebagai partai politik, yaitu organisasi yang sengaja dibentuk untuk tujuan-tujuan yang bersifat politik, seperti untuk kepentingan rekrutmen politik, komunikasi politik, pendidikan politik, dan sebagainya. Partai politik sangat terkait erat dengan kegiatan pemilihan umum, bahkan dikatakan bahwa partai politik merupakan pilar demokrasi yang sangat penting dalam sistem demokrasi perwakilan yang secara rutin dan periodik melaksanakan pemilihan umum.77

Ada beberapa alasan mengapa sangat penting bagi pemilihan umum untuk dilaksanakan secara berkala.78 Pertama, pendapat atau aspirasi rakyat tidak akan selalu sama untuk jangka waktu yang panjang dalam artian bahwa kondisi kehidupan rakyat itu bersifat dinamis sehingga aspirasi mereka akan aspek kehidupan bersama juga akan berubah-ubah seiring dengan berjalannya waktu. Mungkin saja terjadi dalam jangka waktu tertentu rakyat menghendaki agar corak dan jalannya pemerintahan harus berubah, hal ini dapat kita pahami dengan melihat proses amandemen UUD 1945 dan dihubungkan dengan teori resultante dari K.C. Wheare yang menyatakan bahwa kondisi masyarakat pada suatu masa tertentu memiliki aspek pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan konstitusi. Kedua, disamping pendapat rakyat dapat berubah-ubah dari waktu ke waktu, kondisi kehidupan bersama dalam masyarakat dapat pula berubah, baik karena dinamika internasional maupun karena dinamika dalam negeri sendiri, baik karena faktor internal manusia maupun karena faktor eksternal manusia. Ketiga, perubahan-perubahan aspirasi dapat juga disebabkan karena pertambahan

77

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekertariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006, hal. 170.

78


(41)

jumlah penduduk dan rakyat yang dewasa. Mereka itu, terutama para pemilih baru (new voters) atau pemilih pemula belum tentu memiliki sikap yang sama dengan orang tua mereka

sendiri. Dan keempat, pemilihan umum perlu diadakan secara teratur dengan maksud untuk menjamin terjadinya pergantian kepemimpinan negara, baik di cabang kekuasaan eksekutif maupun di cabang kekuasaan legislatif.

Untuk menjamin siklus kekuasaan yang besifat teratur itu diperlukan mekanisme pemilihan umum yang diselenggarakan secara berkala sehingga demokrasi dapat terjamin, dan pemerintahan yang sungguh-sungguh mengabdi kepada kepentingan seluruh rakyat dapat benar-benar bekerja efektif dan efisien. Jadi, dengan adanya jaminan sistem demokrasi yang beraturan itulah kesejahteraan dan keadilan dapat diwujudakan dengan baik.

Dalam sistem demokrasi modern, legalitas dan legitamasi pemerintahan merupakan faktor yang sangat penting. Di satu puhak, suatu pemerintahan haruslah terbentuk berdasarkan ketentuan hukum dan konstitusi sehingga dapat dikatakan memiliki legalitas. Di lain pihak, pemerintahan itu juga harus legitimate, dalam arti bahwa di samping legal, ia juga harus dipercaya. Tentu akan timbul keragu-raguan, apabila suatu pemerintah menyatakan diri bahwa mereka berasal dari rakyat dan dapat disebut sebagai pemerintahan yang demokrasi, padahal pembentukannya tidak berasal dari pemilihan umum. Artinya, setiap pemerintahan yang demokratis yang mengaku berasal dari rakyat, memang diharuskan sesuai dengan hasil pemilihaan umum sebagai ciri yang penting atau pilar yang pokok dalam sistem demokrasi modern. Jimly Asshiddiqie kemudian menegaskan bahwa, pemilihan umum dapat dikatakan sebagai syarat yang mutlak bagi negara demokrasi, yaitu untuk melaksanakan kedaulatan rakyat.79 Dan melalaui pemilulah rakyat dapat terlibat dalam penentuan atau pengambilan keputusan mengenai jalannya pemerintahan setelah pemilu. Karena perlu ditegaskan lagi

79


(42)

bahwa demokrasi itu merupakan suatu sistem politik,80 dimana di dalamnya mengikutsertakan rakyat atau warga dalam pengambilan keputusan, dan wujud pelaksanaan atau implementasi demokrasi adalah pemilihan umum, sebagaimana disebutkan dalam undang-undang tentang pemilu yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. Dan tentunya pelaksanaan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.81

Affan Gafar mengajukan 5 (lima) parameter untuk sebuah pemilihan umum yang ideal.82 Pertama, pemilihan umum yang akan dating haruslah diselenggarakan dengan cara yang demokratis sehingga memberikan peluang bagi semua partai dan calon legislatif yang terlibat untuk berkompetisi secara fair dan jujur. Rekayasa dan manipulasi yang sangat mewarnai penyelenggaraan pemilu masa lampau jangan sampai terulang lagi. Kedua, pemilihan umum haruslah menciptakan MPR/DPR, DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II yang lebih baik, lebih berkualitas, dan memiliki akuntabilitas politik yang tinggi. Ketiga, derajat keterwakilan, artinya bahwa anggota MPR/DPR yang dibentuk melalui pemilihan umum haruslah memiliki keseimbangan perwakilan, baik antara wakil Jawa maupun luar Jawa atau antara pusat dengan daerah. Keempat, peraturan perundang-undangan pemilu haruslah tuntas. Kelima, pelaksanaan pemilu hendaknya bersifat praktis, artinya tidak rumit dan gampang dimengerti oleh kalangan masyarakat banyak.

1. Tujuan Pemilihan Umum

Secara menyeluruh melalui uraian di atas, dapat dikatakan bahwa tujuan penyelenggaraan pemilihan umum itu ada 4 (empat)83, yaitu :

80

Soehino, Hukum Tata Negara “Perkembangan Pengaturan dan Pelaksanaan Pemilihan Umum di Indonesia”, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 2010, hlm.74.

81

Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.

82

Affan Gafar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hlm. 251-255.

83


(43)

a. untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai;

b. untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan;

c. untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat; dan d. untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.

Harus dimaklumi, kemampuan seseorang dalam melaksanakan apapun adalah bersifat terbatas. Di samping itu pula, jabatan pada dasarnya merupakan amanah yang berisi beban dan tanggung jawab, bukan merupakan hak yang harus dinikmati. Jadi, sudah seharusnya seseorang tidak boleh menduduki suatu jabatan tanpa ada kepastian berapa lama ia duduk di jabatan tersebut. Dibutuhkan suatu siklus jabatan yang dinamis untuk mencegah kekuasaan yang permanen dan menjadi sumber malapetaka, hal ini dikarenakan dalam setiap jabatan, dalam dirinya selalu ada kekuasaan yang cenderung berkembang menjadi sumber kesewenang-wenangan bagi siapa saja yang memegangnya. Untuk itulah, pergantian kepemimpinan harus dipandang sebagai suatu keniscayaan untuk memelihara amanah yang terdapat dalam setiap kekuasaan itu sendiri.

Dalam pemilihan umum, yang dipilih tidak saja wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat atau parlemen, tetapi juga para pemimpin pemerintahan yang duduk di kursi eksekutif. Di cabang kekuasaaan legislatif, para wakil rakyat itu ada yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, dan ada yang duduk di Dewan Perwakilan Daerah. Sementara itu di cabang kekuasaan eksekutif, para pemimpin yang dipilih secara langsung oleh rakyat adalah Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Dengan terlaksananya pemilihan umum


(44)

yang teratur dan berkala maka pergantian pejabat yang dimaksud juga berjalan secara teratur dan berkala pula.84

Suatu kewajaran apabila selalu terjadi pergantian pejabat baik di lingkungan eksekutif maupun di lingkungan legislatif. Pergantian pejabat yang dimaksudkan disini adalah pergantian yang terjadi secara legal atau terjadi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. Dan di dalam negara demokrasi pergantian pejabat pemerintah itu ditentukan secara langsung oleh rakyat, yaitu melalui pemilihan umum yang diselenggarakan secara periodik yang kemudian dituangkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pemilihan umum kemudian disebut juga bertujuan untuk memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan dan pergantian pejabat negara yang diangkat melalui pemilihan (elected public officials). Dalam hal tersebut di atas, memungkinkan disini bermaksud bahwa tidak harus selalu berarti ketika terjadi pemilihan umum harus terjadi pergantian pemerintahan atau pejabat negara. Mungkin saja terjadi, pemerintahan suatu partai politik dalam sistem parlementer memerintah untuk dua, tiga, atau empat kali, ataupun seorang Presiden di Indonesia atau Amerika Serikat dipilih untuk dua kali masa jabatan. Dimaksud memungkinkan disini berarti bahwa pemilihan umum itu harus membuka kesempatan yang sama bagi peserta pemilu untuk menang atau kalah. Pemilihan umum yang demikian itu hanya dapat terjadi apabila benar-benar dilaksanakan dengan jujur dan adil (jurdil).

Tujuan ketiga dan keempat dari pemilihan umum itu adalah juga untuk melasanakan kedaulatan rakyat dan melaksanakan hak asasi para warga negara. Untuk menentukan jalannya negara, rakyat sendirilah yang harus mengambil keputusan melalui perantaraan wakil-wakilnya yang akan duduk di lembaga legislatif. Hak-hak politik rakyat untuk menentukan jalannya pemerintahan dan fungsi-fungsi negara secara dengan benar dan

84


(45)

sebaik-baiknya menurut UUD adalah hak konstitusional warga negara dan merupakan hak yang sangat fundamental. Oleh karena itu, penyelenggaraan pemilihan umum, di samping merupakan perwujudan kedaulatan rakyat, juga merupakan sarana pelaksanaan hak-hak asasi warga negara sendiri. Untuk itulah, diperlukan pemilihan umum guna memilih para wakil rakyat itu secara periodic. Demikian pula di lingkungan kekuasaan eksekutif, rakyat sendirilah yang harus memilih Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk memimpin jalannya pemerintahan, baik di tingkat pusat, di tingkat provinsi, maupun di tingkat kabupaten/kota.

2. Sistem Pemilihan Umum

Dalam menentukan wakil-wakil rakyat yang akan duduk di dalam keanggotaan lembaga perwakilan rakyat atau parlemen, diperlukan cara sebagai sistem yang kemudian biasa dipakai atau dipraktikkan di berbagai negara.85 Di setiap negara itu, sistem pemilihan umumnya berbeda satu sama lain, namun tergantung juga darimana kita melihatnya. Dari sudut kepentingan rakyat, sejauh mana rakyat dipandang sebagai individu yang bebas untuk menentukan pilihannya,dan sekaligus mencalonkan dirinya sebagai calon wakil rakyat, atau apakah rakyat hanya dipandang sebagai anggota yang sama sekali tidak berhak untuk menentukan siapa yang akan menjadi wakilnya untuk duduk di lembaga perwakilan rakyat., atau juga tidak berhak untuk mencalonkan diri sebaga wakil rakyat. Dalam ilmu politik,86 sistem pemilihan umum diartikan sebagai kumpulan metode atau cara warga masyarakat memilih para wakil mereka.

Sebagai tindak lanjut Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang sudah diubah, maka Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 yang merupakan

85

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, Op.Cit., hlm. 758.

86


(46)

undang pertama setelah reformasi yang mengatur bahwa anggota DPR dan DPD mesti dipilih. Seluruh anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota tanpa terkecuali harus dipilih melalui mekanisme pemilihan umum. Sampai di sini, dapat dipahami bahwa prinsip kedaulatan rakyat dalam Undang-Undang Dasar 1945 tergambar dengan jelas dan juga sekaligus telah diiringi dengan sebuah mekanisme untuk melaksanakannya, yaitu pemilihan umum. Walaupun demikian, tanpa melihat bagaimana sistem yang diterapkan dalam sebuah pemilihan umum, tentunya penilaian terhadap paras kedaulatan rakyat belumlah cukup atau lengkap. Sebab, untuk menilai apakah pemilu benar-benar telah dijadikan sebagai media pelaksanaan

kedaulatan rakyat dapat dilihat dari sistem yang digunakan dalam pemilihan umum tersebut.87

Kemudian pilihan terhadap sistem pemilu juga akan dapat menjadi ukuran sejauhmana konsistensi penyelenggara negara terhadap penegakan prinsip kedaulatan rakyat yang telah diamanahkan dalam UUD 1945. Semakin sistem tersebut memberikan ruang lebih banyak dan luas bagi rakyat untuk menentukan sendiri pilihannya, maka sistem tersebut akan lebih mendekati hakekat kedaulatan rakyat. Semakin sistem tersebut mempersempit ruang bagi rakyat menentukan pilihannya, maka sistem tersebut akan semakin menjauh dari hakekat kedaulatan yang dikandung Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Ada dua macam jenis utama sistem pemilihan umum, yang pertama yaitu sistem pemilihan umum mekanis dan yang kedua yaitu sistem pemilihan umum organis.88 Sistem mekanis merupakan sistem pemilihan umum yang memberikan pandangan bahwa rakyat harus ditempatkan sebagai suatu individu-individu yang sama. Aliran Liberalisme,

87

Khairul Fahmi, Prinsip Kedaulatan Rakyat dalam Penentuan Sistem Pemilihan Umum Anggota Legislatif, Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 3, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, hlm. 149.

88


(1)

rakyat yang telah dipilihnya. Apalagi Mahkamah Konstitusi191 melalui putusannya menyatakan bahwa peran partai politik dalam proses rekrutmen telah selesai ketika rakyat mulai memilih perwakilanya di legislatif, Karena itu, keterpilihan calon anggota legislatif tidak boleh bergeser dari keputusan rakyat yang berdaulat kepada keputusan pengurus partai politik, sebagaimana amanat konstitusi. Mahkamah Konstitusi menambahkan bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota merupakan pemilu yang dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka, dengan demikian adanya keinginan rakyat memilih wakil-wakilnya yang diajukan oleh partai politik dalam Pemilu, sesuai dengan kehendak dan keinginannya dapat terwujud, harapan agar wakil yang terpilih tersebut juga tidak hanya mementingkan kepentingan partai politik, tetapi mampu membawa aspirasi rakyat pemilih. Dengan sistem proporsional terbuka, rakyat secara bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif yang dipilih, maka akan lebih sederhana dan mudah ditentukan siapa yang berhak terpilih, yaitu calon yang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling banyak.192

Mahkamah Konstitusi menambahkan bahwa UUD 1945193 mengamanatkan agar penyelenggaraan Pemilu lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya atas prinsip demokrasi, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, harus menjadi landasan utama dalam penyelenggaraan Pemilu, untuk dikembangkan dan diimplementasikan oleh undang-undang mengenai Pemilu secara singkat dan sederhana, yang dipergunakan untuk memberi landasan bagi seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu agar dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, rakyat sebagai subjek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat, tidak hanya ditempatkan sebagai objek oleh peserta Pemilu dalam

191

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tentang Pengujian Undang-Undang (PUU) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.

192

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tentang Pengujian Undang-Undang (PUU) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.

193


(2)

mencapai kemenangan semata. Mahkamah Konstitusi kemudian menambahkan lagi bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota merupakan pemilu yang dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka, dengan demikian adanya keinginan rakyat memilih wakil-wakilnya yang diajukan oleh partai politik dalam Pemilu, sesuai dengan kehendak dan keinginannya dapat terwujud, harapan agar wakil yang terpilih tersebut juga tidak hanya mementingkan kepentingan partai politik, tetapi mampu membawa aspirasi rakyat pemilih. Jadi wakil rakyat yang telah dipilih tersebut haruslah membawa aspirasi rakyat pemilih tidak hanya kepentingan partai politik saja. Tentu saja pelibatan rakyat pemilih terhadap wakilnya adalah penting karena kepentingannya, tidak melulu partai politik karena kepentingannya seolah-olah anggota Dewan Perwakilan Rakyat adalah wakil partai bukan wakil rakyat.

Posisi partai politik dalam hal hubungannya dengan anggotanya yang berada dalam Dewan Perwakilan Rakyat mestinya harus diperjelas. Bagaimana hubungan antara anggota DPR dengan partai politiknya itu tetap mencerminkan pelaksanaan kedaulatan rakyat Indonesia. Jangan sampai rakyat yang telah mendapatkan tempat khusus sebagai pihak yang berdaulat yang oleh Sutan Syahrir dinamakan sebagai sosialisme kerakyatan,194 digeser oleh supremasi politik sehingga yang berdaulat bukan lagi rakyat melainkan kelompok, golongan, atau partai politik tertentu. Karena perlu ditegaskan lagi bahwa demokrasi itu merupakan suatu sistem politik,195 dimana di dalamnya mengikutsertakan rakyat atau warga dalam pengambilan keputusan.

194

Sutan Syahrir dalam Yudi Latif, Op.Cit., hlm. 418. 195

Soehino, Hukum Tata Negara “Perkembangan Pengaturan dan Pelaksanaan Pemilihan Umum di


(3)

(4)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai lembaga perwakilan rakyat memiliki sistem perwakilan politik (political representation) yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dengan perantaraan partai politik. Perantaraan partai politik disini maksudnya bahwa partai politik terlibat langsung dalam pemilihan tersebut dengan mengirimkan anggota-anggotanya untuk dipilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat nantinya. Partai politik mengambil posisi seperti ini karena peran (role) dan statusnya (status) yang penting dalam negara demokrasi berdasrkan fungsi-fungsi yang dimilikinya.

2. Peran penting partai poltik tersebut dalam perwujudan teori kedaulatan rakyat tidak sampai pada penentuan duduk tidaknya seorang anggotanya pada Dewan Perwakilan Rakyat tanpa pelibatan masyarakat atau pemilih karena peran partai politik dalam proses rekrutmen telah selesai ketika rakyat mulai memilih perwakilanya di legislatif, Karena itu, keterpilihan calon anggota legislatif dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat tidak boleh bergeser dari kehendak rakyat yang berdaulat kepada keputusan pengurus partai politik, sebagaimana amanat konstitusi yang menghendaki tegaknya prinsip kedaulatan rakyat. Termasuk


(5)

peran partai politik untuk menentukan status keanggotaan seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat lewat mekanisme recall yang supremasinya berada pada kepengurusan partai politik sehingga bergeser dari kehendak rakyat yang berdaulat untuk menentukan wakil-wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat.

B. SARAN

1. Pelaksanaan teori kedaulatan rakyat sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia haruslah dilakukan dengan konsisten, penekanan konsisten disini adalah pada pembentukan norma-norma hukum di bawah undang-undang dasar. Keberadaan norma-norma hukum di bawah undang-undang dasar tersebut tidak dibenarkan untuk menciderai kedaulatan rakyat yang terdapat pada seluruh bagian pada ketentuan-ketentuan undang-undang dasar.

2. Sebagai perwakilan politik (political representation), Dewan Perwakilan Rakyat perlu diatur hubungannya dengan para pemilih, tentunya hubungan antara rakyat dengan wakilnya di lembaga perwakilan rakyat sehingga peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai lembaga ini perlu diperbaiki dan memuat hubungan antara rakyat dengan wakilnya, khususnya dari segi pertanggungjawaban wakil rakyat terhadap para pemilihnya.

3. Ketentuan mengenai hak recall partai politik dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia harus segera ditinjau ulang karena telah terbukti tidak merepresentasikan pelaksanaan kedaulatan rakyat dimana terdapat peran langsung dari pengurus partai politik untuk menentukan seseorang yang duduk di lembaga perwakilan rakyat, dimana peran ini seharusnya hanya dimiliki oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Akan lebih baik dan benar-benar


(6)

mewujudkan pelaksanaan kedaulatan rakyat jika recall dilakukan langsung oleh rakyat atau setidak-tidaknya melibatkan peran besar atau partisipasi rakyat atau masyarakat (konstituen).


Dokumen yang terkait

Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Suatu Studi terhadap Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Simalungun Periode 2009-2014)

0 56 76

Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap Kinerja Eksekutif di Kota Medan

3 64 152

Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Suatu Studi Terhadap Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Simalungun Periode 2009-2014)

0 22 77

Hubungan Wakil dengan yang Diwakili (Studi Perbandingan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara Periode 1999-2004 dengan Periode 2004-2009)

1 45 101

Kesantunan Linguistik Dalam Ranah Sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara

1 41 285

RECALL PARTAI POLITIK TERHADAP ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT INDONESIA DALAM KORELASINYA DENGAN TEORI KEDAULATAN RAKYAT DAN PELAKSANAAN TEORI KEDAULATAN HUKUM.

0 2 15

RECALL PARTAI POLITIK TERHADAP ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT INDONESIA DALAM KORELASINYA DENGAN TEORI KEDAULATAN RAKYAT DAN PELAKSANAAN TEORI KEDAULATAN HUKUM. - Repositori Universitas Andalas

0 2 11

RECALL PARTAI POLITIK TERHADAP ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT INDONESIA DALAM KORELASINYA DENGAN TEORI KEDAULATAN RAKYAT DAN PELAKSANAAN TEORI KEDAULATAN HUKUM. - Repositori Universitas Andalas

0 0 1

RECALL PARTAI POLITIK TERHADAP ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT INDONESIA DALAM KORELASINYA DENGAN TEORI KEDAULATAN RAKYAT DAN PELAKSANAAN TEORI KEDAULATAN HUKUM. - Repositori Universitas Andalas

0 0 2

RECALL PARTAI POLITIK TERHADAP ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT INDONESIA DALAM KORELASINYA DENGAN TEORI KEDAULATAN RAKYAT DAN PELAKSANAAN TEORI KEDAULATAN HUKUM. - Repositori Universitas Andalas

0 0 1