Kesantunan Linguistik Dalam Ranah Sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara

(1)

KESANTUNAN LINGUISTIK DALAM RANAH SIDANG

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PROVINSI SUMATERA UTARA

DISERTASI

Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Linguistik

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

dengan wibawa Rektor Universitas Sumatera Utara

Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K)

dipertahankan pada tanggal 21 April 2009

di Medan, Sumatera Utara

\ S

E K O L A H

P A

S C

A S A R JA

NA

SRI MINDA MURNI

058107015/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

Sri Minda Murni : Kesantunan Linguistik Dalam Ranah Sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara, 2009


(2)

KESANTUNAN LINGUISTIK DALAM RANAH SIDANG

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PROVINSI SUMATERA UTARA

DISERTASI

SRI MINDA MURNI

058107015

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

KESANTUNAN LINGUISTIK DALAM RANAH SIDANG

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PROVINSI SUMATERA UTARA

DISERTASI

Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Linguistik

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Terbuka

Pada Hari : Selasa

Tanggal

: 21 April 2009

Pukul

: 09.00 WIB

Oleh

SRI MINDA MURNI


(4)

Judul Disertasi : KESANTUNAN LINGUISTIK DALAM RANAH SIDANG DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA

Nama Mahasiswa : Sri Minda Murni NIM : 058107015

Program Studi : Linguistik

Menyetujui Komisi Pembimbing,

Prof. Bahren Umar Siregar, Ph.D. Promotor

Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph. D. Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S.

Co-Promotor Co-Promotor

Ketua Program Studi, Direktur,


(5)

HASIL PENELITIAN DISERTASI INI TELAH DISETUJUI UNTUK SIDANG TERBUKA TANGGAL 21 APRIL 2009

Oleh Promotor

Prof. Bahren Umar Siregar, Ph.D

Co-Promotor

Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S.

NIP. 130809976 NIP. 131674465

Mengetahui

Ketua Program Studi Linguistik

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. NIP. 130809976


(6)

Telah Diuji pada Ujian Tertutup

Tanggal 31 Januari 2009

PANITIA PENGUJI DISERTASI

Ketua

: Prof. Bahren Umar Siregar, Ph.D.

Anggota

: 1. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.

2. Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S.

3. Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D.

`

4. Prof. Dr. Khairil Ansari, M.Pd.

5. Prof. Dr. H. Anas Yasin, M.A.

6. Dr. Eddy Setia, M.Ed., TESP

Dengan Surat Keputusan

Rektor Universitas Sumatera Utara

Nomor :

35/H5.I.R/SPB/2009


(7)

Diuji pada Ujian Akhir Disertasi (Promosi Doktor)

Tanggal 21 April 2009

PANITIA PENGUJI DISERTASI

Ketua

: Prof. Bahren Umar Siregar, Ph.D.

Anggota

: 1. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.

2. Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S.

3. Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D.

`

4. Prof. Dr. Khairil Ansari, M.Pd.

5. Prof. Dr. H. Anas Yasin, M.A.

6. Dr. Eddy Setia, M.Ed., TESP

Dengan Surat Keputusan

Rektor Universitas Sumatera Utara

Nomor :

483/H5.1.R/SPB/2009


(8)

TIM PROMOTOR

Prof. Bahren Umar Siregar, Ph.D.

Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.


(9)

TIM PENGUJI LUAR KOMISI

Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D.

Prof. Dr. Khairil Ansari, M.Pd.

Prof. Dr. H. Anas Yasin, M.A.


(10)

BUKTI PENGESAHAN PERBAIKAN DISERTASI

Judul Disertasi : KESANTUNAN LINGUISTIK DALAM RANAH

SIDANG DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA

Nama Mahasiswa : Sri Minda Murni NIM : 058107015

Program Studi : Linguistik

No Nama Tanda Tangan Tanggal

1 Prof. Bahren Umar Siregar, Ph.D. 2 Prof. T.Silvana Sinar, M.A.,Ph.D. 3 Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. 4 Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. 5 Prof. Dr. Khairil Ansari, M.Pd. 6 Prof. Dr. H. Anas Yasin, M.A. 7 Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP.


(11)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : Dra. Sri Minda Murni, M.S

No. Registrasi : 058107015

Program Studi : Linguistik

Sesungguhnya menyatakan bahwa Disertasi yang saya susun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister/Doktor dari Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri.

Adapun pengutipan yang saya lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan Tesis/Disertasi ini, telah saya cantumkan sumbernya dengan jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian Disertasi ini bukan hasil karya saya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya yang sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 21 April 2009


(12)

Persembahan untuk:

Ummi dan Buya

Alm. Hj. Syarifah Harahap

H. Arfan Marwazie, B.A

Suami dan Anak-anakku

Dr. H. Mutsyuhito Solin, M,Pd.

Syafiq Anshori, M.Solin.

Nida Wafiqah Nabila M. Solin

Thareq Muhammad M. Solin

Aqilah Nadira Safia M. Solin

Saudara-saudariku

Dra. H. Sri Milfa Yetty, M.S.

Dra. Sri Surya Warni

Dra. Sri Kemala Khairani

Dra. Sri Faizah Lisna Sari, M.Si.

Letkol. Nefra Firdaus

Dra. Sri Adelila Sari,M.Si., Ph.D.

Chandra Helmi S.E.

Kurnia Hendra Putra S.E


(13)

Nama : Sri Minda Murni

Tempat/Tanggal Lahir : Padang Sidempuan, 25 Mei 1963. Riwayat Pendidikan

SD : SD Negeri 13 Medan , tamat tahun 1974

SMP : SMP Negeri 2 Medan, tamat tahu 1977 SMA : SPG Negeri 1 Medan, tamat tahun 1981

S1 : Jurusan Bhs Inggeris-FPBS IKIP Medan (sekarang UNIMED), tamat

tahun 1987

S2 : Prog. Studi Pengkajian Amerika Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta, tamat tahun 1992

S3 : Prog Studi Linguistik Universitas Sumatera Utara Medan, tamat tahun

2009

Riwayat Pekerjaan :


(14)

ABSTRAK

Disertasi ini berkenaan dengan kajian realisasi kesantunan linguistik dalam ranah sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara (DPRD Prov-SU). Kedudukan DPRD sebagai mitra eksekutif dan fungsi DPRD mengawasi jalannya pembangunan diyakini memberikan kontribusi penting terhadap jenis realisasi kesantunan linguistik di rapat DPRD Prov-SU. Oleh karena itu penggunaan kesantunan linguistik di rapat (DPRD Prov-SU) diasumsikan sebagai hasil tarik menarik antara aspek kolaboratif kemitraan dan aspek distansi/kompetitif pengawasan yang mempersyaratkan sikap kritis, adil, profesional, dan proporsional yang diamanatkan kode etik DPRD

Tujuan penelitian ini adalah memerikan a) realisasi kesantunan linguistik dalam tindak tutur meminta penjelasan; b) realisasi kesantunan linguistik dalam memberikan pendapat, dan c) menerangkan perilaku normatif dan perilaku santun di rapat DPRD Prov-SU.

Teori utama yang digunakan adalah teori kesantunan linguistik kontemporer yang diperkenalkan Watts (2003). Ia menyatakan bahwa penelitian kesantunan linguistik pada masyarakat praktisi tertentu harus didahului oleh kajian mengenai perilaku berbahasa normatif (politic behavior) yang bersifat lazim dan berterima di

dalam masyarakat tersebut. Menurutnya, perilaku santun (polite behavior) yang

merupakan tingkah laku berbahasa yang bersifat surplus dari tingkah laku yang lazim tersebut dapat dirumuskan manakala rumusan perilaku normatif sudah ditemukan.

Metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Data dikumpulkan dengan teknik observasi partisipatoris yang bersifat pasif, teknik dokumentasi, dan teknik rekam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, dua tindak tutur yakni tindak tutur meminta penjelasan dan memberikan pendapat direalisasi melalui modus, pronomina, pemarkah kesantunan, kata berpagar (hedges), perujuk diri (committers),

dan penurun (downtoner). Kedua, perilaku normatif di rapat DPRD Prov-SU

direalisasikan melalui: 1) modus interogatif dan imperatif dalam tindak tutur meminta penjelasan dan modus deklaratif dalam tindak tutur memberikan pendapat; 2)

pronomina yang mempertahankan kelompok dalam (in-group) terpisah dari kelompok

luar (out-group); 3) pemarkah kesantunan; dan 4) perujuk diri (committers). Ketiga, perilaku santun di rapat DPRD Prov-SU direalisasikan melalui: a) modus deklaratif dalam meminta penjelasan dan modus interogatif dan imperatif dalam memberikan

pendapat; b) pronomina yang menggabungkan kelompok dalam (ingroup) dengan

kelompok luar (outgroup); c) kata berpagar (hedges); dan d) penurun (downtoner).

Kata kunci: perilaku normatif, perilaku santun, masyarakat praktisi


(15)

The dissertation deals with a study on the realization of linguistic politeness in parliament meeting in North Sumatera Province. The Parliament and the executives are bound in a partnership type of relation which implies equality. On the other hand, one of the function of the Parliament to control the government (the executive). It is assumed that linguistic politeness strategies used by members of the parliament in the parliament meeting is influenced by the tug-of-war between the collaborative aspect of partnership and the distance or competitive aspect of control.

The aim of the research is to elaborate: a) the realization of linguistic politeness in requesting for information; b) the realization of linguistic politeness in expressing disagreement, and c) the politic behavior and the polite behavior in the parliament meeting.

Watts’ (2003) approach was used as the main reference of the research. His theory introduces the recognition of politic behavior and polite behavior. Politic behavior is the normative behavior while polite behavior is a surplus behavior.

The research was conducted under qualitative method. Data were collected under passive participatory-observation technique, documentation, and recording technique.

The results show firstly, in both speech act requesting for information and expressing disagreement, mood, pronoun, politeness markers, hedges, committers, and downtoner were used by the members. Secondly, the realization of politic behavior are the use of: a) interrogative and imperative moods in requesting for information and the use of declarative mood for expressing disagreement; b) pronoun in which the in-group is distinguished from the out-in-group; c)politeness markers, and d) committers. Thirdly, the realization of polite behavior are the use of: a) declarative mood in requesting for information and the interrogative and imperative moods in expressing disagreement; b) pronoun in which the ingroup and the outgroup are seen as a unity; c) hedges; and d) downtoner.

Key words: politic behavior, polite behavior, community of practice.


(16)

Syukur Alhamdulillah saya ucapkan ke hadirat Allah Swt atas segala limpahan rahmat dan rida-Nya sehingga penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Dengan segala kerendahan hati dan kebahagiaan yang mengiringi, penulis menyadari bahwa sejumlah nama dan lembaga telah turut menjadi bagian penting dalam proses penyelesaian disertasi ini.

Oleh karenanya, izinkanlah saya untuk pertama-tama mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), Direktur Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B., M.Sc. beserta para Asisten Direktur, dan Ketua serta Sekretaris Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya saya haturkan kepada promotor saya Prof. Bahren Umar Siregar, M.A., Ph.D atas bimbingan, arahan, dukungan, dan kepercayaan yang diberikan kepada saya untuk menjadi Doktor dalam Bidang Ilmu Linguistik. Beliau yang selalu mengakomodasi pemikiran-pemikiran saya dan mengarahkannya sehingga lebih bernuansa linguistik sangat memberi rasa percaya diri yang sangat saya butuhkan dalam proses penyelesaian disertasi ini.

Penghargaan serupa saya haturkan kepada Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D., promotor 2 saya. Bimbingan yang beliau berikan selalu menumbuhkan kesadaran pada diri saya bahwa draf demi draf disertasi masih perlu terus direvisi. Ketelitian beliau membaca disertasi ini sangat saya hargai.

Kepada Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S, promotor 3 saya, saya sampaikan penghargaan yang tulus atas inspirasi, wawasan, idan kritikan yang beliau


(17)

berikan yang telah mendorong saya untuk terus melakukan perbaikan sehingga disertasi ini berkembang menjadi sebuah karya akademik yang layak dipersembahkan. Beliau selalu mampu membantu saya memahami hal-hal yang pelik melalui ilustrasi.

Penghargaan yang tulus juga saya sampaikan kepada para penguji saya Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D., Prof. Dr. Khairil Ansari, M.Pd., Prof. Dr. H. Anas Yasin, M.A., dan Dr. Edy Setia, M.A atas masukan-masukan berharga yang mereka berikan dalam penyempurnaan disertasi ini baik secara lisan maupun tulisan.

Terima kasih saya haturkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Utara yang telah memberi izin kepada saya untuk mengambil data penelitian. Kepada Bapak Nurdin Lubis, S.H., M.M., Sekretaris DPRD Prov-SU saat ini, Bapak-bapak Ketua Komisi, serta tim sekretariat yang telah memberikan semua informasi yang saya butuhkan selama melakukan penelitian, saya haturkan terima kasih. Khusus kepada Anggota DPRD yang telah bersedia saya wawancarai, diantaranya Bapak Ir. Bustinursyah, M.Sc. dari Fraksi Partai Bulan Bintang, Bapak Ibrahim Sakty Batubara dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Bapak Drs. Abul Hasan Harahap dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Bapak Amas Muda Siregar, S.H., dari Fraksi Partai Golkar, Ibu Riri dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, dll saya haturkan terima kasih.

Kepada Rektor Universitas Negeri Medan, Prof. Drs. Syawal Gultom, M.Pd. yang telah memberi saya peluang dan dukungan moril dan materil selama mengikuti pendidkan saya haturkan terima kasih.


(18)

Disertasi ini juga tidak akan selesai dengan baik tanpa dukungan Fulbright Program yang telah memberi kesempatan kepada saya mengikuti Doctoral Dissertation Researcher Program di George Washington University Amerika Serikat selama 6 bulan mulai 28 Agustus 2007 sampai dengan 28 Februari 2008. Program ini telah memberi saya kesempatan bekerja di bawah bimbingan peneliti yang bidang

linguistic anthropology, Prof. Joel Kuipers, yang dedikasinya menggugah imajinasi intelektual saya. Kesempatan mengikuti American Anthropologial Association Annual Meeting di Washington D.C. selama seminggu yakni sejak 28 Nopember sampai 2 Desember 2007 juga telah memberi saya pengalaman berharga menginterpretasi linguistik dari berbagai sudut pandang dan membawa saya bertemu dengan pencetus teori kesantunan paling monumental dalam sejarah linguistik, Dr. Penelope Brown, yang banyak saya sebut-sebut di dalam disertasi ini.

Yang merupakan ikutan lain dari program ini, saya haturkan pula penghargaan dan terima kasih kepada staf Perpustakaan George Washington University,

Perpustakaan Konsorsium 8 Universitas di Washington DC, dan Staf Library of

Congress yang telah memperkenalkan kepada saya ketersediaan buku yang tidak terhitung jumlahnya, kekayaan intelektual dunia maya, dan prestisiusnya hidup sebagai seorang peneliti. Terima kasih juga saya haturkan kepada Linguistic Politeness Research Group yang berpusat di Inggeris yang telah menerima saya menjadi anggota dan memberi kesempatan mengakses penelitian-penelitian terbaru di bidang kesantunan linguistik.


(19)

Penghargaan serupa saya haturkan kepada Prof. Dr. Nur Ahmad Fadil Lubis, M.A., Direktur Eksekutif Perhimpunan Persahabatan IndonesiaAmerika di Medan yang telah merekomendasikan saya mengikuti program Fulbright ini; Prof. Jeannette Steele dari George Washington University dan Prof. Melanie Budianta dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia sebagai tim penyeleksi, atas penghargaan beliau berdua terhadap topik penelitian yang saya pilih; Mr. Michael E. McCoy, Direktur

Eksekutif American Indonesian Exchange Foundation (AMINEF); Bapak Piet

Hendrardjo, Program Officer AMINEF, serta Ibu Ratna Dewi Manurung, Program

Assistance AMINEF yang sangat penuh perhatian memberikan bantuan sebelum dan selama.saya mengikuti program ini.

Kedua orang tua saya, H. Arfan Marwazie, B.A dan Alm. Hj. Syarifah Harahap adalah teladan dan sumber inspirasi masa kanak-kanak saya. Banyaknya buku cerita anak yang tersedia di rumah telah menumbuhkan kecintaan saya kepada membaca sejak kecil dan mengilhami masa dewasa saya untuk bekerja di seputar aktifitas itu hingga kini. Terima kasih yang tidak terhingga Ananda sampaikan kepada Buya yang tidak pernah lupa memanjatkan doa untuk keberhasilan Ananda. Kepada kedua mertua saya, Ananda haturkan terima kasih.

Suami saya, Dr. H. Mutsyuhito Solin, M.Pd yang sudah lebih dulu menamatkan pendidikannya adalah teladan di usia dewasa saya. Ia menumbuhkan rasa percaya diri bahwa saya dapat mencapai apa saja. Kesempatan yang diberikannya untuk menambah ilmu walau berulang kali harus meninggalkan keluarga dalam waktu yang lama adalah sikap yang sangat menguntungkan saya. Anak-anak kami, Syafiq


(20)

Anshori M. Solin, Nida Wafiqah Nabila M. Solin, Thareq Muhammad M. Solin, serta Aqilah Nadira Safia M. Solin, adalah buah hati kepada siapa kami utamanya ingin memberi teladan dan inspirasi, semoga mereka dapat mengikuti langkah-langkah kami orang tuanya.

Kepada teman-teman di Jurusan bahasa Inggeris Unimed saya haturkan terima kasih atas kelapangan yang diberikan selama saya mengikuti pendidikan.

Medan, 21 April 2009

Sri Minda Murni

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR DIAGRAM ... xiv


(21)

DAFTAR SINGKATAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Penelitian ………. 1

1.2 Rumusan Masalah Penelitian ……… 21

1.3 Tujuan Penelitian ……….. 22

1.4 Manfaat Penelitian ……… 22

1.5 Batasan dan Keterbatasan Penelitian ………..….……. 24

1.6 Klarifikasi Istilah ……….…….……. 28

BAB II KAJIAN PUSTAKA……… 29

2.1 Kesantunan Linguistik dalam Berbagai Dimensi ……….……… 29

2.2 Wilayah Kajian Kesantunan Linguistik ………... 55

2.3 Ungkapan dan Interpretasi Kesantunan Linguistik……….. 59

2.4 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara ………. 66

2.5 Rambu-rambu Tingkah Laku Berbahasa yang Berterima di Rapat Dewan Perwakilan Rakyat ...………….. .. 73

2.6 Kesantunan Linguistik dalam Tindak Tutur Meminta Penjelasan (Penelitian Terdahulu) …..………...……..……... 80

2.7 Realisasi Kesantunan Linguistik dalam Tindak Tutur Memberikan Pendapat (Penelitian Terdahulu) ………...………... 92

2.8 Taksonomi Kesantunan Linguistik ………... 99

2.9 Ujaran yang Bersifat Semi-Formulaik ………... 104

2.10 Kerangka Konseptual ………... 105

2.11 Ringkasan ... . 109

BAB III METODE PENELITIAN ... 110

3.1 Pendekatan, Rancangan dan Kerangka Model Penelitian ... 110

3.2 Lokasi Penelitian ……….……... 112

3.3 Data dan Sumber Data ………... 112

3.4 Analisis Data ………... 116

3.5 Pengecekan Keabsahan Penelitian ..………... 119

BAB IV REALISASI LAHIRIAH TINDAK TUTUR MEMINTA PENJELASAN DAN MEMBERIKAN PENDAPAT DI DALAM RAPAT DEWAN ………... 120

4.1 Pendahuluan ………... 120

4.2 Modus ……….………... 120

4.2.1. Modus Deklaratif ……….…... 121

4.2.2. Modus Interogatif ………... 126

4.2.3. Modus Imperatif ………... 133


(22)

4.3.1 Penggunaan Pronomina ‘kami’ Sebagai Pengganti

Pronomina ‘saya’ ………... 138

4.3.2 Penggunaan Pronomina ‘kita’ Sebagai Pengganti

Pronomina ‘saya’ ………... 141

4.3.3 Penggunaan Pronomina ‘kita’ Sebagai Pengganti

Pronomina ‘kami’ ………... 144 4.3.4 Penggunaan Pronomina ‘kita’ Sebagai Pengganti

Pronomina ‘saudara’ ………... 147

4.3.5 Impersonalisasi ………... 150

4.3.6 Menghilangkan Pronomina ….………... 154

4.4 Pemarkah Kesantunan (tolong, mohon) ………... 158

4.5 Kata berpagar (kurang, belum, mungkin) ………... 164

4.6 Perujuk diri (‘menurut saya’) ………... 172

4.7 Penurun (‘maaf’) ………......... 179

4.8 Ringkasan ………... 188

BAB V PEMBAHASAN ………... 201

5.1 Pendahuluan ………...…... 201

5.2 Kelangsungan dan Ketidaklangsungan Ujaran …... 202 5.3 Formulaik dan Semi-Formulaik ………... 210

5.3.1 Penggunaan Pronomina ………... 211

5.3.2 Kata berpagar ………………... 226

5.3.3 Penurun (maaf) ………... 231

5.4 Kesantunan Linguistik dalam Ranah Sidang Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara ………... 241 5.5 Ringkasan ... 246 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ………... 253 6.1 Kesimpulan ….………... 253

6.2 Saran ……….………... 255


(23)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Komposisi Anggota DPR Berdasarkan Agama dan Jender ... 67

2.2 Komposisi Anggota DPR Menurut Etnis ... 68

4.1 Tindak Tutur Meminta Penjelasan Dalam Modus Deklaratif .... 121

4.2 Tindak Tutur Memberikan Pendapat Dalam Modus Deklaratif 123

4.3 Tindak Tutur Meminta Penjelasan dalam Modus Interogatif ... 126 4.4 Tindak Tutur Memberikan Pendapat Dalam Modus Interogatif 128

4.5 Tindak Tutur Meminta Penjelasan Dalam Modus Imperatif .... 133

4.6 Tindak Tutur Memberikan Pendapat Dalam Modus Imperatif . 135

4.7 Penggunaan Pronomina ’Kami’ Sebagai Pengganti Pronomina

’Saya’ Dalam Tindak Tutur Meminta Penjelasan ... 138 4.8 Penggunaan Pronomina ’Kami’ Sebagai Pengganti Pronomina

’Saya’ Dalam Tindak Tutur Memberikan Pendapat ... 140 4.9 Penggunaan Pronomina ’Kita’ Sebagai Pengganti

Pronomina ’Saya’ Dalam Tindak Tutur Meminta Penjelasan . 141

4.10 Penggunaan Pronomina ’Kita’ Sebagai Pengganti Pronomina

’Saya’ Dalam Tindak Tutur Memberikan Pendapat ... 143 4.11 Penggunaan Pronomina ’Kita’ Sebagai Pengganti Pronomina

’Kami’ Dalam Tindak Tutur Meminta Penjelasan ... 144 4.12 Penggunaan Pronomina ’Kita’ Sebagai Pengganti Pronomina

’Kami’ Dalam Tindak Tutur Memberikan Pendapat ... 146 4.13 Penggunaan Pronomina ’Kita’ Sebagai Pengganti Pronomina

’Saudara’ Dalam Tindak Tutur Meminta Penjelasan... 147 4.14 Penggunaan Pronomina ’Kita’ Sebagai Pengganti Pronomina

’Saudara’ Dalam Tindak Tutur Memberikan Pendapat ... 148

4.15 Penggunaan Lembaga/Jabatan Untuk Menggantikan Pronomina ’Saudara’ Dalam Tindak Tutur Meminta

Penjelasan ... 151 4.16 Penggunaan Lembaga/Jabatan Untuk Menggantikan

Pronomina ’Saudara’ Dalam Tindak Tutur Memberikan


(24)

4.17 Menghilangkan Pronomina Orang Kedua Dalam

Tindak Tutur Meminta Penjelasan ... 155 4.18 Menghilangkan Pronomina Orang Kedua Dalam

Tindak Tutur Memberikan Pendapat ... 157 4.19 Ujaran yang Menggunakan Pemarkah Kesantunan

Dalam Tindak Tutur Meminta Penjelasan ... 159 4.20 Ujaran yang Menggunakan Pemarkah Kesantunan

Dalam Tindak Tutur Memberikan Pendapat ... 163 4.21 Penggunaan Leksikal ”Kurang” Dalam Tindak Tutur

Meminta Penjelasan ... 165 4.22 Penggunaan Leksikal ”Belum” Dalam Tindak Tutur

Memberikan Pendapat ... 167 4.23 Penggunaan Kata Berpagar Dalam Tindak Tutur Meminta

Penjelasan ... 170 4.24 Penggunaan Kata Berpagar Dalam Tindak Tutur Memberikan

Pendapat... 171 4.25 Menggunakan Perujuk Diri Dalam Tindak Tutur Meminta

Penjelasan ... 173 4.26 Menggunakan Perujuk Diri Dalam Tindak Tutur Memberikan

Pendapat ... 176 4.27 Penggunaan Frasa/Leksikal Maaf Dalam Tindak Tutur

Meminta Penjelasan ... . 180 4.28 Penggunaan Leksikal Maaf Dalam Tindak Tutur

Memberikan Pendapat ……... 183 5.1 Penggunaan Modus Sebagai Sumber Daya Kesantunan

Linguistik ... 202 5.2 Kelangsungan dan Ketidaklangsungan Ujaran dengan

Penggunaan Modus ... 203 5.3 Penggunaan Pronomina dalam Mencapai Kesantunan

Linguistik ……….. ………... 211

5.4 Kategorisasi Penggunaan Pronomina... 216 5.5 Modifikasi Partisipasi Penutur Petutur untuk Mencapai

Kesantunan Linguistik ...………... 220

5.6 Tiga Dimensi Keterlibatan Dalam Tindak Tutur Meminta


(25)

5.7 Kata Berpagar ’kurang’ Sebagai Sumber Daya Kesantunan

Linguistik ... .... 227 5.8 Kata Berpagar ’belum’ Sebagai Sumber Daya Kesantunan

Linguistik ... .... 228 5.9 Kata Berpagar ’mungkin’ Sebagai Sumber Daya Kesantunan

Linguistik ... ... 229 5.10 Pengunaan Frasa/leksikal maaf dalam Tindak Tutur

Meminta Penjelasan ... ... 231 5.11 Pengunaan Leksikal/Frasa maaf dalam Tindak Tutur


(26)

DAFTAR DIAGRAM

Nomor Judul Halaman

2.1 Perbandingan x-femisme (Allan dan Burridge, 2006: 33) ... 60 2.2 Kesantunan Linguistik Haverkate dalam Reiter (2000:4) ... 61 2.3 Struktur Komunikasi yang Berterima di Rapat DPR .. ... 76 2.4 Inti Permintaan dan elemen Pendukung dalam tindak tutur

Meminta ... 82

2.5 Elemen Pendukung dalam Tindak Tutur Meminta/Memohon 89

2.6 Prosedur Identifikasi dan Interpretasi Kesantunan

Linguistik ... 109 3.1 Kerangka Model Penelitian Kesantunan ... 118 5.1 Perilaku Normatif dan Perilaku Santundalam Penggunaan

Modus ... 206 5.2 Perbedaan Strategi Kesantunan dalam Tindak Tutur

Meminta Aksi dan Informasi ... 210 5.3 Perilaku Normatifdan Perilaku Santundalam Penggunaan

Pronomina ... ... 213

5.4 Pergeseran Penggunaan Pronomina dalam 1 Unit Ujaran ... 221

5.5 Tiga Dimensi Keterlibatan untuk Mencapai Kesantunan

Linguistik ... 224 5.6 Strategi Kesantunan Linguistik dalam Penggunaan

Pronomina ... 226 5.7 Perilaku Normatif dan Perilaku Santun dan Penggunaan

Sumber Daya Linguistik ... 241 5.8 Realisasi Kesantunan Linguistik dalam Ranah Sidang Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara ... 245 5.9 Fungsi, Tujuan, dan Realisasi Kesantunan Linguistik... 251 5.10 Model Kesantunan Linguistik dalam Struktur Komunikasi Rapat DPRD-SU ... 252


(27)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Rapat Paripurna I Tanggal 20 Maret 2007... 266

2 Rapat Paripurna II Tanggal 28 Maret 2007 ... 297

3 Transkripsi Rapat Komisi A dengan Kepolisian Daerah

Provinsi Sumatera Utara 19 Februari 2007………... 312

4 Transkripsi Rapat Komisi B dengan Dewan Ketahanan


(28)

DAFTAR SINGKATAN

1. PU : Rapat Paripurna

2. FPBR : Fraksi Partai Bintang Reformasi

3. FPPP : Fraksi Partai Persatuan Pembangunan

4. FPDS : Fraksi Partai Damai Sejahtera

5. FPKS : Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

6. FPAN : Fraksi Partai Amanat Nasional

7. FPGOLKAR :Fraksi Partai Golkar

8. FPDIP : Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

9. FPD : Fraksi Partai Demokrat

10.KOMISI-A/KAPOLDA : Rapat Komisi A dengan Kepolisian Daerah ProvSU

11.KOMISI-B/DKP : Rapat Komisi B dengan Dewan Ketahanan Pangan


(29)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Salah satu standar dalam bertingkah laku dalam norma sosial adalah berbicara santun. Di dalam agama Islam, Alquran menampilkan enam prinsip yang dapat dijadikan pegangan saat berbicara1. Enam prinsip tersebut adalah, pertama, qaulan sadida (Q.S. 4 an-Nisa: 9), yaitu berbicara dengan benar; kedua, qaulan ma'rufa, (Q.S.4 An-Nisa: 8), yaitu berbicara menggunakan bahasa yang menyedapkan hati, tidak menyinggung atau menyakiti perasaan, sesuai dengan kriteria kebenaran, jujur, tidak mengandung kebohongan, dan tidak berpura-pura; ketiga, qaulan baligha, (Q.S. 4 An-Nisa: 63), yaitu berbicara efektif dengan menggunakan ungkapan yang mengena, mencapai sasaran dan tujuan, atau membekas, bicaranya jelas, terang, tepat; keempat,

qaulan maysura, (Q.S.17 Al-Isra: 28), yaitu berbicara dengan baik dan pantas, agar orang tidak kecewa; Kelima, qaulan karima, (Q.S. 17 Al-Isra: 23), yaitu berbicara dengan kata-kata mulia yang menyiratkan kata yang isi, pesan, cara serta tujuannya selalu baik, terpuji, penuh hormat, mencerminkan akhlak terpuji dan mulia; keenam,

qaulan layyina, (Q.S. 20 Thaha: 44), yaitu berbicara dengan lembut. Enam prinsip yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran di atas merupakan acuan untuk mengetahui

1 Dr. H. Sofyan Sauri, Ingin Mabrur Berbicaralah dengan Santun. Gema Haji 2004/2005. Pikiran Rakyat Cyber Media.


(30)

bagaimana seharusnya kita berkomunikasi. Hal ini, menurut Sauri2 sejalan dengan isyarat Nabi Muhammad SAW bahwa "Muslim yang baik adalah jika Muslim lain merasa tenteram dari perkataan dan perbuatannya". Kesantunan dalam hal ini difahami sebagai pemenuhan perilaku normatif yang dijunjung tinggi.

Kesantunan berbahasa juga merupakan salah satu nilai budaya yang sangat dijunjung tinggi di dalam masyarakat Indonesia. Nilai kesantunan bukan sesuatu yang dibawa lahir tetapi merupakan hasil proses sosialisasi dan konstruksi sosial budaya

dan sejarah suatu bangsa3 . Menurut Watts4 kita tidak mungkin membayangkan

sebuah masyarakat manusia yang tidak mendayagunakan strategi berkomunikasi untuk menghindari friksi interpersonal, menghindari konflik, meminimalkan pertentangan, serta untuk meningkatkan rasa nyaman dan saling pengertian. Selain itu, Deutschman5 menyatakan bahwa bentuk kesantunan tidak bersifat universal tetapi dibentuk oleh latar sosial sehingga bentuk dan latar tidak boleh dipisahkan. Menurutnya ada tiga hal yang menentukan bentuk kesantunan yang dipilih yakni norma budaya, situasi, dan sifat pesan yang ingin disampaikan.

2

Dr. H. Sofyan Sauri, ibid,

3 Rosina Márquez Reiter, Linguistic politeness in britain and uruguay :A contrastive study of requests and apologie (Philadelphia: John Benjamins Pub. C. ,2000.), p. 3.

4 Richard J. Watts,”Linguistic politeness research: Quo Vadis?” Politeness in Language. Richard Watts, Sachiko Ide, Konrad Ehlich (ed), (New York: Mouton de Gruyter, 2005a), p. xvi


(31)

Perkembangan yang terjadi dalam masyarakat sering sekali membawa pergeseran dalam nilai budaya termasuk nilai kesantunan dalam berbahasa. Di dalam konteks Indonesia misalnya, seiring dengan proses demokratisasi dan reformasi yang sedang bergulir di Indonesia, perkembangan pers menunjukkan adanya perubahan watak dari pers yang semula amat santun menjadi pers bebas yang trampil memproduksi teks-teks kritis terhadap pemerintah ataupun sosok kekuasaan lain. Hal ini didukung Siregar di dalam Kompas6 yang menyatakan bahwa pemilihan kata-kata dalam pemberitaan media massa cenderung menurun kesantunannya dibanding sebelum reformasi. Kata-kata yang dipakai cenderung lugas untuk tidak menyebut sebagai kasar. Menurutnya hal ini sangat berbeda dengan zaman pemerintahan Soeharto. Pada masa itu pemakaian bahasa dibingkai secara santun lewat pemilihan kata yang dihaluskan maknanya.

Watts7 menegaskan bahwa perilaku santun tidak sama dengan perilaku

normatif. Kesantunan merupakan perilaku yang bersifat surplus yakni berada di atas tataran perilaku normatif. Dengan merujuk kepada pendapat ini, seseorang yang berperilaku santun dipastikan telah memenuhi kriteria berperilaku normatif. Sebaliknya seseorang yang berperilaku normatif belum tentu berperilaku santun.

6 Kompas, Kesantunan Berbahasa Cenderung Turun, 2003 (http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0307/28/dikbud/456905.htm).

7 Richard J. Watts, Politeness. Key topics in sociolinguistics (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), p. 20-21.


(32)

Oleh karena kesantunan sering dipandang sama dengan perilaku normatif, maka realisasi perilaku santun dianggap sebagai sesuatu yang sudah semestinya. Perhatian dan penghargaan terhadap perilaku santun menjadi sangat sedikit. Sebaliknya, pelanggaran terhadap perilaku normatif atau ketidaksantunan lebih cepat dikenali dan dibicarakan. Hal ini misalnya jelas terlihat di dalam fenomena rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang banyak disoroti akhir-akhir ini.

Dengan dihasilkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang merupakan dasar bagi peralihan sistem pemerintahan yang sentralistis menuju sistem pemerintahan yang desentralistis, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak lagi menjadi bagian dari Pemerintahan Daerah namun merupakan Badan Legislatif Daerah. Kedudukannya dengan demikian sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah. Perubahan kedudukan DPRD ini membawa implikasi pada pemberian tugas dan kewenangan bagi DPRD dalam menentukan arah dan kebijakan pemerintahan dan pembangunan di daerah antara lain dalam kewenangan mengontrol Pemerintahan Daerah. Namun

sebagaimana yang disebutkan oleh Hadiati8 lembaga legislatif di daerah sering

bertentangan dengan lembaga eksekutif. Banyak kasus menunjukkan seringnya terjadi perdebatan bahkan pertengkaran tentang suatu masalah dalam rapat dan diabaikannya sopan santun.

8 Sri Hadiati, , SH, MBA, dkk. Kompetensi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Jakarta: Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur Lembaga Administrasi Negara, 2005), p. 2.


(33)

Selain itu, banyak kritik yang dilontarkan atas etika berbahasa anggota DPRD di dalam sidang sebagaimana yang dapat dicermati dari sejumlah pemberitaan di media massa. Sebagaimana ditulis pada surat kabar nasional misalnya, Rapat Paripurna DPR-RI yang membahas komposisi keanggotaan komisi-komisi dan alat kelengkapan DPRD lainnya pada tanggal 4 Nopember 2003 diwarnai kericuhan karena sejumlah anggota merasa tidak cukup dengan interupsi melainkan maju ke depan berteriak-teriak bahkan memukul-mukul meja9.

Demikian juga rapat kerja gabungan Komisi II dan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh pada 17 Februari 2005 diberitakan berlangsung ricuh dipicu pertanyaan seorang anggota DPR, “Masih adakah kemampuan Bapak untuk menegakkan benang basah, sehingga tidak seperti ustadz di kampung maling”. Sebagaimana ditulis di Suara Merdeka10, Abdul Rahman Saleh minta agar kalimat tersebut dicabut. Kejati Nanggroe Aceh Darussalam diberitakan berdiri dan menggebrak meja sambil mengatakan dengan nada tinggi, "Anggota DPR apa seperti ini. Kita ini rapat, bukan saling menghina, jangan seenaknya bicara". Juga digambarkan bahwa situasi sempat tak terkendali selama 15 menit, apalagi anggota DPR dimaksud tak mau mencabut kalimat yang membuat ricuh

9 Suara Merdeka, Rapat Paripurna DPR Ricuh, (http://www. suaramerdeka-com/ harian/ 0411/10/nas03.htm, 2004).

10 Suara Merdeka, Raker DPR-Kejagung Ricuh, ((http://www. suaramerdeka-com/ harian/ 0502/18/nas01.htm, 2005).


(34)

tersebut. Akhirnya rapat selama 6 jam 20 menit untuk membicarakan pemberantasan korupsi itu ditutup dengan hasil nol besar11.

Peristiwa di atas menunjukkan perhatian yang besar terhadap pelanggaran perilaku normatif di rapat DPRD. Hal yang sama yang terjadi pada sidang lanjutan membahas keputusan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di Gedung DPR/MPR Rabu 16 Maret 2005 yang diberitakan berlangsung ricuh karena perbedaan pendapat diselesaikan dengan kekuatan fisik, adu dorong, bukan dengan kekuatan nalar dan adu argumen12 (Pikiran Rakyat, 2005).

Sejumlah pesan short message service (SMS) yang berasal dari responden

acara Bedah Editorial yang disiarkan pada hari Sabtu, 04 Februari 2006 dengan judul “Etika Bicara di Parlemen” juga menunjukkan kritik yang sama. Hampir semua pesan

SMS menyoroti gaya bicara anggota DPRD yang dinilai kurang santun. Pesan SMS

tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

1. “Saya sgt setuju anggota DPR yg tdk beretika dan ngomongnya arogan gaya preman kampungan itu dipermak spt itu, biar taurasa dan beretika...!!” (AJIE-Bogor 6281315073xxx);

2. “DPR HRS akhiri premanisme dan belajar etika berbicara, kalau demokrasi hrs SANTUN dan bijaksana anda dipilih oleh rakyat dan hargai apa yg rakyat sdh percayakan.” (62811489xxx);

3. “Bicara boleh keras tapi harus santun bos.” (6285241002xxx) 4. “DPR JAGA BICARA DAN ETIKAMU, OKEY.” (6281545994xxx);

11

Moh. Samsul Arifin, Kala Etika Diacuhkan Parlemen dan Kejaksaan. Teropong (Jakarta: Pikiran Rakyat Cyber Media, 2002).


(35)

5. “Anggota DPR RI adalah ahli bicara menyampaikan pendapat tetapi tetap hrs punya etika krn etika itu adalah gambaran akhlak.” (6281349593xxx);

6. ”Mentang2 anggota dewan ngomong seenaknya. Di pikir dong

bos.” (6281528248xxx);

7. “Kalau bicara jangan hanya asal bunyi seperti kentut, yg santun ya dik.”(628161857xxx);

8. “Tolong di perbaiki tata krama di ruang parlamen. Selain bicara disaring, handphone di matikan,gaya duduk sopan & jangan tidur tiduran waktu sidang.”(6281372195xxx);

9. “Etika berbicara hrs diperhatikan jgn menimbulkan emosi org yg

mendengarnya.” (62811123xxx);

10.”DPR PERLU DITATAR BERBAHASA LAGI, MASA KALAH OLEH ANAK

TK.” (628889201xxx);

11.”Supaya anggota dewan kita introspeksi untuk lebih dewasa, bijaksana, dan santun erbicara.” (62816901xxx);

12.”Anggota DPR yth, kalau ngomong pake etika dan sopan jangan

asbun.” (6281318999xxx).

Sedikit Sekali pesan SMS yang membela gaya bicara anggota dewan sebagai berikut: ”DPR maju kena mundur kena. Bicara keras salah, bicara halus dikira lemah dan loyo...Ekskutif-Legslatif-Yudijatif semua sm sj gak ada yg baik dpt dicontohkan” (62816937xxx); ”ETIKA KOMUNIKASI MEMANG PERLU, TETAPI YG PALING PERLU MAKSUD DAN ISI YG DIKOMUNIKASIKAN (6281524174xxx).”

Sejumlah faktor diasumsikan terkait dengan pemberitaan miring mengenai etika berbicara anggota DPRD. Secara keseluruhan persepsi masyarakat Indonesia

mengenai sikap politisi memang belum baik. Penelitian Manurung13 (2000: 35-36)

yang mengambil sampel di Kotamadia Medan mengenai persepsi mahasiswa terhadap politisi misalnya menunjukkan bahwa sikap politisi saat ini memang dinilai tidak

13 Ria Manurung, Keberadaan partai Politik di Indonesia (Studi Kasus Persepsi Mahasiswa Kotamadya Medan terhadap Kehidupan Politik. (Medan: Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara, 2000.), p.35-35.


(36)

positif. Sebanyak 32% responden melihat politisi hanya berbicara tanpa melakukan tindakan, 21% responden melihat politisi masuk ke partai hanya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi bagi diri sendiri, dan 19% responden melihat politisi suka melupakan janji kepada pemilih. Hal ini sejalan dengan temuan yang digambarkan

pada Hadiati14 bahwa kebijakan yang diambil Anggota DPRD adalah untuk

kepentingan individu yang dibungkus seolah-olah untuk kepentingan rakyat. Hal ini lah yang kadang-kadang dinilai menjadi sumber kericuhan di dalam rapat DPRD.

Padahal ukuran keberhasilan demokrasi, menurut Koiruddin15 bisa dillihat dalam

kerangka apakah aspirasi konstituen sebagaimana yang dicerminkan dalam janji-janji politik partai terwujud dalam implementasinya.

Faktor lain adalah sebagaimana dikemukakan Hadiati16 yang mengidentifikasi sejumlah kelemahan berbahasa dalam rapat DPRD diantaranya adalah: tidak mampu mengemukakan argumen; belum bisa menerima masukan, kritik dan saran dari fihak luar; kemampuan komunikasinya lemah, apabila bicara atau memberi pandangan justru membingungkan; sering terjadi perdebatan bahkan pertengkaran tentang suatu masalah dalam rapat komisi.

Sejumlah hal yang disampaikan di atas menunjukkan bahwa lembaga itu seolah-olah hanya menampilkan ketidaksantunan berbahasa. Padahal kesan yang

14

Sri Hadiati, , SH, MBA, dkk. op. cit. p. 41

15 Koirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, . 2004), p. 2

16


(37)

tertangkap itu dikarenakan ketidaksantunan sebagai pelanggaran perilaku normatif lebih mudah dikenali. Bila dibandingkan dengan keadaan yang terjadi di negara lain seperti di Amerika Serikat misalnya hal yang sama juga pernah menjadi keprihatinan

kaum intelektual. Uslaner17 menggambarkan bagaimana menurunnya praktik

kesantunan berbahasa di Kongres Amerika Serikat. Dia mengatakan Kongres Amerika

dulunya adalah tempat yang menyenangkan yakni ketika kesopanan dan sikap saling

menghargai merupakan hal-hal yang diutamakan di dalam tingkahlaku anggota Kongres. Menurutnya, hal tersebut merupakan gambaran mengenai menurunnya sikap hormat di negara tersebut. Pernyataan ini saat itu dipandang sangat kontroversial oleh berbagai kalangan.

Demikian juga Cipto18 dengan merujuk kepada tindak kekerasan yang pernah terjadi di Kongres Amerika dan Parlemen Taiwan, dia menyimpulkan bahwa isu pengendalian dan pengawasan perdebatan di parlemen ternyata bukan hal yang sepele. Dia menggambarkan, secara ideal, dalam perdebatan seorang anggota parlemen sebaiknya menghindari sejauh mungkin kata-kata atau pernyataan-pernyataan yang merusak hubungan pribadi dengan anggota parlemen lainnya.

Semua fenomena mengenai rapat Dewan Perwakilan Rakyat di atas dan rapat parlemen di Negara lain jelas menunjukkan kepada kita bahwa pelanggaran perilaku normatif atau yang disebut dengan ketidaksantunan lebih cepat disadari. Dalam

17 Eric M. Uslaner, The Decline of Comity in Congress (Ann Arbor: The University of Michigan, 1993), p. vii.

18 Bambang, Cipto, Drs, MBA, Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Era Pemerintahan Modern-Industrial (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada¸. 1995), p 31-33.


(38)

konteks Indonesia, kenyataan sesungguhnya menunjukkan bahwa tidak semua rapat

DPR berlangsung ricuh. Walaupun rapat DPRD adalah sebuah genre pengancaman

muka, kebanyakan rapat DPR berlangsung mulus. Hal ini menandakan bahwa pemenuhan kriteria perilaku normatif di rapat DPRD lebih umum terjadi dibanding pelanggarannya. Pertanyaannya kemudian adalah apakah hanya pemenuhan perilaku normatif saja yang terjadi di rapat DPRD? Adakah upaya anggota DPRD untuk merealisasi perilaku santun yakni perilaku yang menampilkan mutu ujaran yang lebih tinggi dari sekedar mutu ujaran perilaku normatif?

Realisasi kesantunan berbahasa dalam salah satu lembaga nasional yang paling mewakili semangat reformasi yakni Dewan Perwakilan Rakyat Daerah penting untuk dikaji sedikitnya karena dua alasan: pertama, karena dapat merefleksikan cara-cara sebagian orang Indonesia bertutur satu sama lain; kedua, karena dapat merefleksikan perkembangan sosial politik yang ada. Pada zaman Orde Baru, strategi kesantunan Budaya Jawa cenderung dijadikan sebagai model strategi kesantunan berbahasa dalam tataran kehidupan politik dan sosial secara nasional yang ditandai dengan ketidaklangsungan ujaran. Di zaman reformasi, kebebasan memberikan pendapat secara lugas dipandang sebagai cara baru memaknai demokrasi.

Kesantunan berbahasa di rapat DPRD sesungguhnya merupakan sebuah hal yang pasti ada. Hal ini sejalan dengan pendapat Goody19 yang menyatakan bahwa di

19 Esther N. Goody, (ed.), Questions and politeness : Strategies in social interaction (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), p.5.


(39)

mana saja di dunia ini, setiap orang ingin mengamankan kerjasamanya dengan orang lain. Untuk itu, dia harus menghindari diri dari bersikap menentang orang lain atau

dalam istilah Brown dan Levinson20 menghindari mengancam muka orang lain.

Kesantunan merupakan sistim hubungan interpersonal yang dapat memfasilitasi kebutuhan untuk menghindari atau mengurangi ancaman muka dimaksud. Namun sebagaimana ditegaskan terdahulu, kesantunan sering dianggap sebagai perilaku normatif sehingga pelanggarannya lebih mudah terlihat. Selain itu, karena perilaku normatif dan perilaku santun dianggap identik, perhatian terhadap kesantunan sebagai sebuah perilaku surplus sering diabaikan.

Dalam setiap kelompok budaya berbeda, definisi dan realisasi kesantunan juga

berbeda. Namun menurut Watts21, ada bentuk-bentuk tingkah laku sosial yang

diklassifikasikan sebagai kerjasama dalam interaksi sosial (cooperative social

interaction) dan sikap mempertimbangkan orang lain (displaying consideration for others). Walaupun diakui bahwa tidak semua interaksi sosial bertujuan untuk membina kerjasama seperti perdebatan politik, diskusi tentang issu-issu yang bersifat kontroversial, pertengkaran karena mempertahankan hak dan kepemilikan, dan sejenisnya22 yang merupakan contoh-contoh dimana konfrontasi dan kompetisi, bukan kolaborasi dan kerjasama yang diutamakan, kesantunan diyakini tetap menjadi bagian

20 Levinson, Penelope Brown dan Stephen C. Levinson, “Universals in Language Usage: Politeness Phenomena”. Questions and Politeness Strategies in Social Interaction. Esther N. Goody (ed) (Cambridge: Cambridge University Press, 1992) pp.10-11, pp 10-11.

21

Richard J. Watts (2003), op. cit, p. 14.

22


(40)

penting di dalamnya. Bila dikaitkan dengan rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, perdebatan bukan saja merupakan sesuatu yang diharapkan tetapi juga dihargai. Sifat kompetitif ujaran yang bersifat dominan dalam mengajukan rancangan peraturan daerah, mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat tidak serta merta dapat dijadikan kesimpulan bahwa perilaku santun ditiadakan. Hal ini disebabkan antara lain bahwa pemenuhan perilaku normatif di rapat DPRD diatur dalam pasal 65, berkewajiban menaati kode etik dan Peraturan tata Tertib DPRD, menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga terkait23. Ini sekaligus bermakna bahwa perilaku santun potensial keberadaanya di rapat DPRD.

Hal ini telah dibuktikan pada penelitian sebelumnya di rapat parlemen Inggeris. Merujuk kepada temuan penelitian yang dilakukan pada Parlemen Inggeris,

Christie24 menyatakan bahwa perdebatan pada rapat parlemen merupakan genre

pengancaman muka, yang tidak dirancang untuk menghindari atau mengurangi konflik, temuan penelitian menunjukkan bahwa ujaran yang bersifat mengancam muka di parlemen tidak selamanya mengancam jalannya rapat. Sering sekali yang terjadi adalah sebaliknya, perdebatan justru memaksimalkan jalannya rapat. Demikian juga halnya di dalam rapat DPRD, tidak semua rapat berjalan kisruh dan ricuh walau di

23

Sri Hadiati, , SH, MBA, dkk. op. cit. pp. 12-14.

24 Chris Christie, Politeness and the Linguistics Construction of Gender in Parliament: An Analysis of Transgressions and Apology Behaviour. Working Papers on the Web., (2005).


(41)

dalamnya terjadi perdebatan. Perdebatan sedemikian ini diasumsikan merealisasi perilaku lazim bahkan mungkin perilaku santun di dalamnya.

Kesantunan berbahasa anggota DPRD menarik untuk diteliti karena berbagai alasan. Pertama, kesantunan berbahasa merupakan salah satu nilai yang sangat diyakini oleh masyarakat Indonesia dan juga merupakan salah satu ikon yang dikenal secara luas tentang Indonesia di dunia internasional. Secara internal, nilai budaya ‘sopan santun’ dan ‘tatakrama’ banyak diinspirasi oleh Al Qur’an sebagaimana yang dikemukakan di awal yang diajarkan turun temurun dari generasi ke generasi. Secara eksternal, nilai budaya ini juga dijadikan nilai identitas diri sebagai rujukan untuk perkenalan diri. Ruth Willner pada Drake25 menulis bahwa Indonesia dikenal dengan nilai-nilai: saling ketergantungan dan gotong royong, mencapai keputusan melalui musyawarah dan mufakat, meyakini perlunya mengontrol emosi dan menyelamatkan muka, menyesuaikan diri dengan norma-norma dan harapan kelompok, dan menekankan pentingnya menjaga harmoni dan persatuan. Dengan kata lain, nilai perlunya mengontrol emosi dan menyelamatkan muka yang merupakan bagian dari kesantunan berbahasa merupakan nilai-nilai yang kepentingannya sejajar dengan nilai musyawarah mufakat dan realisasi kedua nilai ditemukan dalam rapat DPRD. Oleh karenanya, interaksi antara kedua nilai dalam mengakomodasi pencapaian tujuan demokrasi di dalam persidangan penting dan menarik untuk dikaji. Hal ini sekaligus

25 Christine Drake, “National Integration in Indonesia”. Ethnic and Religious Conflict in Indonesia: a Crisis of Nationhood? (Washington DC: The Woodrow Wilson International Center Asia Program, 1999), p. 5.


(42)

akan menerangkan secara akademis fenomena kericuhan sidang yang terjadi sebagaimana digambarkan pada media di atas.

Kedua, sebagaimana dinyatakan Sibarani26 fenomena kesantunan berbahasa

penting diperbincangkan di negara berkembang yang sedang mengalami proses reformasi seperti Indonesia karena berbagai alasan, yakni: 1) kesantunan berbahasa sebagai ciri khas masyarakat Indonesia tampaknya telah bergeser atau tidak dihiraukan lagi; 2) kesantunan berbahasa dianggap sebagai warisan budaya feodal yang menghambat kebebasan berfikir; dan 3) kesantunan berbahasa sering disalahtafsirkan menjadi terlalu eufemistis sehingga dapat digunakan pejabat untuk membohongi rakyat. Sementara di sisi lain masih berlaku anggapan bahwa kesantunan berbahasa sangat diperlukan di dalam berkomunikasi dengan sejumlah alasan pula, yakni: 1) kesopansantunan seseorang dinilai dari bahasanya yang santun atau dari ‘budi bahasanya’; 2) bahasa yang santun akan memperlancar penyampaian pesan dalam berkomunikasi; dan 3) bahasa yang kurang santun sering menyakitkan perasan orang lain sehingga tidak jarang menjadi sumber konflik.

Ketiga, adanya pergeseran mengenai konsep musyawarah dan mufakat di dalam masyarakat Indonesia sejak berakhirnya orde baru. Pergeseran konsep musyawarah mufakat diperkirakan juga menggeser konsep mengenai kesantunan

26 Robert Sibarani, Kesantunan Bahasa. Antropolinguistik (Medan: Penerbit Poda, 2004), p. 169.


(43)

berbahasa di dalam rapat-rapat DPRD. Menurut Kuipers27, format bermusyawarah yang bermakna pencapaian mufakat dalam pengambilan keputusan merupakan sebuah format kesantunan yang pernah sangat dibanggakan. Bahkan, dengan mengutip pendapat mantan Presiden Republik Indonesia Soeharto, musyawarah mufakat dianggap sebagai salah satu identitas bangsa Indonesia yang khas yang membedakan bangsa Indonesia dari bangsa Barat. Pengambilan keputusan dengan cara voting bukan saja dianggap tidak sesuai dengan tradisi bangsa Indonesia tetapi juga akan

menciptakan sikap tersinggung, marah, dan sakit hati pada pihak yang kalah28.

Namun sejauh pengamatan Kuipers, konsep musyawarah mufakat baik dalam masyarakat kampung maupun dunia politik Indonesia sesungguhnya tidak pernah terjadi dalam tataran praktis empiris tetapi hanya ada dalam tataran ideologi dan cita-cita. Menurutnya, yang sesungguhnya terjadi adalah sebagian kecil orang mengambil keputusan dan sebagian besar lainnya tinggal menyetujui. Dia juga menyatakan, sejak runtuhnya orde baru konsep musyawarah mufakat versi orde baru semakin tidak menemukan realisasinya lagi yang dibuktikan dengan proses pengangkatan Habibie menggantikan Soeharto yang menurut Kuipers adalah sebuah penyelaan (interruptions) yang merupakan gaya berinteraksi dan strategi bermusyawarah masyarakat Barat. Konsep musyawarah dan mufakat yang telah bergeser sejak era reformasi ini mungkin saja memberi dampak pada terbentuknya cara-cara

27 Joel C. Kuipers, Elections and Conflict Resolution in Indonesia: Perspectives on Culture, Language and History. Special Report Ethnic and Religious Conflict in Indonesia: A Crisis of Nationhood?. (Washington DC: The Woodrow Wilson Center Asia Program, 1999), p. 19.

28


(44)

berkomunikasi yang baru yang dapat saja memberi makna baru pula terhadap konsep kesantunan berbahasa antara lain yang dilakonkan di rapat DPRD.

Keempat, kesantunan berbahasa merupakan sebuah sistem dan realisasinya berlaku secara khas dalam sebuah masyarakat praktisi tertentu. Dengan istilah ini, anggota masyarakat praktisi lah yang memutuskan apakah sebuah unsur bahasa tertentu santun atau tidak29 (Mills, 2003: 9). Dengan pernyataan ini, disadari adanya gejala penolakan secara luas terhadap konsep keuniversalan kesantunan sebagaimana yang dikemukakan Brown dan Levinson30. Pendapat Mills ini menyatakan bahwa apa yang dianggap tidak santun oleh masyarakat praktisi tertentu dapat saja masih dianggap santun dan berterima di dalam masyarakat praktisi lainnya dan sebaliknya. Interupsi misalnya merupakan sesuatu hal yang lumrah di dalam rapat DPRD namun sedikit sekali dilakukan di dalam rapat akademis atau birokratik.

Kelima, sejauh pengetahuan peneliti, belum ada penelitian yang dilakukan tentang kesantunan linguistik di Rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi

Sumatera Utara yang menggunakan pendekatan Watts31. Di dalam penjelasannya,

Watts membedakan antara perilaku normatif (politic behaviour) dan perilaku santun

(polite behavior). Perilaku normatif adalah tingkah laku berbahasa yang berada dalam

29 Sara Mills, Gender and Politeness (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), p.9.

30

Penelope Brown dan Stephen C. Levinson, op. cit, p.14

31


(45)

tataran berterima atau lazim32 di kalangan masyarakat praktisi tertentu sedangkan perilaku santun adalah tingkah laku berbahasa yang berada di atas tataran itu yakni yang bersifat surplus33. Dia juga membedakan antara tingkah laku yang secara sosial mengikat (socially stricted behavior) dan tingkah laku yang dipilih secara strategis oleh individu (strategically chosen by individual). Kajian kesantunan linguistik menurutnya tidak mengkaji tingkah laku yang secara sosial mengikat tetapi hanya mengkaji tingkah laku yang secara strategis dipilih individu-individu dalam peristiwa komunikasi tertentu.

Kajian kesantunan berbahasa yang sering dirujuk selama ini yakni Brown dan Levinson dan Leech mencampurkan norma sosial dan penggunaan sumber daya linguistik di dalam strategi kesantunan berbahasa yang mereka kemukakan. Sebagai contoh, Brown dan Levinson mengemukakan strategi yang didasarkan pada norma sosial seperti memberi perhatian, mengupayakan kesepakatan, menghindari perbedaan pendapat; dan strategi yang terkait dengan penggunaan sumber daya linguistik tertentu seperti menghindarkan penggunaan kata ‘saya’ dan ‘kamu’ dalam kajian kesantunan mereka. Bahkan Leech hanya merujuk kepada norma sosial saja dengan maksim yang diajukannya diantaranya maksim kedermawanan dan maksim kerendahhatian. Selain itu, 25 strategi yang diajukan Brown dan Levinson serta 6 maksim yang diajukan Leech, bermakna bahwa strategi kesantunan memiliki rumusan yang tetap. Padahal

32

Pengertian lazim di sini adalah kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat tutur tertentu yang sering disebut dengan masyarakat praktisi (community of practice). Oleh sebab itu, hal-hal yang bersifat tidak lazim tidak dapat langsung dianggap sebagai hal yang bersifat metaforis.

33


(46)

sebagaimana dikatakan Mills di atas, strategi kesantunan sebuah kelompok masyarakat berbeda satu dengan lainnya. Selain itu, berbeda dengan pendekatan-pendekatan sebelumnya, pendekatan kesantunan Watts hanya memberikan kerangka bukan formula. Kerangka ini dapat dipergunakan peneliti untuk secara induktif mengidentifikasi sumber daya linguistik yang digunakan di rapat DPRD. Oleh karena itu, pendekatan Watts akan digunakan di dalam disertasi ini dengan harapan akan dapat menjawab pertanyaan mengenai strategi kesantunan yang khas yang dipraktikkan di rapat DPRD. Oleh karena istilah yang digunakan Watts untuk menggambarkan penggunaan sumber daya linguistik tertentu untuk mencapai kesantunan adalah kesantunan linguistik (linguistic politeness)34, maka istilah kesantunan linguistik seterusnya akan digunakan di dalam disertasi ini.

Alasan lain adalah bahwa beberapa penelitian pendahuluan terhadap ujaran-ujaran yang digunakan Anggota DPRD di dalam Rapat- rapat DPRD Provinsi Sumatera Utara telah penulis lakukan dan publikasikan seperti pada Murni 35; Murni36;

Murni 37; dan Murni38. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa Rapat DPRD

34

Dalam disertasi ini istilah ‘kesantunan linguistik’ dan ‘kesantunan bahasa’ merujuk pada konsep yang sama seperti yang dimaksudkan oleh Watts (2003)

35 Sri Minda Murni, Menyiasati Tuturan: Strategi Kesantunan Positif dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Sumatera UtarA, . 2005.

36 Sri Minda Murni, Bald-On Record: Strategi Bertutur Tanpa Basa-Basi dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Sumatera Utara. Seminar Internasional Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, . 2007a.

37 Sri Minda Murni, Mengurangi Tekanan pada Lawan Bicara: Strategi Kesantunan Negatif dalam Ranah Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Sumatera Utara.


(47)

Provinsi Sumatera Utara sangat potensial digunakan sebagai objek kajian kesantunan

linguistik. Selain itu, Murni dan Solin39 juga menegaskan bahwa penelitian

kesantunan dalam berbagai profesi akan memberi wawasan mengenai perlunya meningkatkan mutu interaksi.

Sebagaimana terlihat pada tata tertib yang mengatur fungsi DPRD yakni fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, ada dua faktor yang secara dinamis tarik menarik di antara kedua lembaga DPRD dan Pemerintah Daerah, yakni faktor kemitrasejajaran di satu sisi dan fungsi DPRD mengawasi jalannya pembangunan di sisi lain. Faktor kemitrasejajaran mempersyaratkan kolaborasi dan kooperasi sementara faktor pengawasan mempersyaratkan distansi dan kompetisi. Penelitian ini akan mengkaji bagaimana sebuah sidang dapat berjalan dalam hubungan tarik menarik di antara faktor kolaborasi dan kompetisi ini dengan asumsi bahwa kesantunan berbahasa menjadi kendali yang menyeimbangkan keduanya.

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, paling tidak ada dua jenis tindak tutur yang dominan digunakan di dalam rapat DPRD yang dilakukan dalam rangka melaksanakan ketiga fungsi dimaksud dan yang dianggap potensial mengancam muka yakni tindak tutur meminta penjelasan dan tindak tutur memberikan

Kesinambungan dan Pemantapan Bahasa di Asia Tenggara. Paitoon M. Chaiyanara (ed.). (Rancangan Penubuhan Persatuan Linguis ASEAN, . 2007b).

38 Sri Minda Murni, Situasi Berbahasa Kompetitif Dalam Ranah Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Sumatera Utara. Linguistik Terapan. Jurnal Linguistik Terapan Pascasarjana UNIMED Vol. 4 No. 2 Mei 2007.

39 Sri Minda Murni dan Mutsyuhito Solin, Kesantunan Berbahasa dan Penelitian Kebahasaan di Universitas Negeri Medan. Pelangi Pendidikan. Vol. 12 Juni 2005), pp. 10-11.


(48)

pendapat. Reiter 40 menyatakan bahwa tindak tutur meminta (dalam konteks rapat DPRD tindak tutur memberikan pendapat juga dipandang memiliki sifat yang sama) memiliki sifat menekan petutur sehingga selalu ada kebutuhan untuk menggunakan strategi kesantunan. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji bagaimana strategi kesantunan berbahasa yang digunakan di dalam kedua tindak tutur ini.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara dipilih dengan pertimbangan strategis dan praktis. Strategis karena masyarakat Sumatera Utara cenderung dikenal ’keras’ dalam berbahasa; praktis karena peneliti tinggal di daerah ini. Tahap awal penelitian menunjukkan adanya reaksi pesimis dari beberapa Anggota

DPRD41 sendiri tentang apakah akan ditemukannnya data yang diinginkan karena

sebagaimana dinyatakan di atas, bahwa bahasa dalam sidang DPRD merupakan genre pengancam muka yang memang tidak dirancang untuk mengurangi ancaman muka, ditambah lagi dengan asumsi bahwa anggota DPRD Sumatera Utara dikenal ’keras’ dalam berbahasa. Namun sebaliknya, sebagaimana tanggapan anggota DPRD

lainnya42, kesantunan linguistik merupakan sesuatu yang menyatu di dalam

40

Rosina Márquez Reiter, op. cit, p.xiv

41

Di antaranya Amas Muda Siregar, SH yang merupakan anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara dari Fraksi Partai Golongan Karya yang ketika mendengar peneliti akan meneliti kesantunan berbahasa di DPRD-Prov SU secara spontan mengatakan bahwa peneliti datang ke tempat yang salah. Anggota DPRD lainnya yakni Riri dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan Drs. Abul Hasan Harahap anggota DPRD dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan juga menyatakan bahwa kesantunan berbahasa di rapat-rapat DPRD tidak sepenuhnya menggembirakan.

42

Di antaranya Ir. Bustinursyah dari Fraksi Partai Bulan Bintang menyatakan bahwa kesantunan berbahasa sangat bergantung kepada pribadi-pribadi anggota DPRD, ada yang santun dan ada yang kurang santun.


(49)

komunikasi manusia, sehingga kesantunan linguistik merupakan hal yang pasti ada di rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provoinsi Sumatera Utara.

Penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan sumber daya linguistik apa saja yang digunakan aggota DPRD untuk mengurangi tekanan pada lawan bicara atau untuk mengurangi ancaman muka ujaran dan menerangkan apakah sumber daya linguistik dimaksud terbuka terhadap interpretasi perilaku santun atau hanya merupakan perilaku normatif saja.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Untuk melihat secara lebih jelas realisasi kesantunan linguistik dalam rapat DPRD Provinsi Sumatera Utara, penelitian ini mencoba meneliti bagaimana realisasi kesantunan linguistik bahasa anggota DPRD dalam melaksanakan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Secara khusus pertanyaan penelitian adalah

1. Bagaimana realisasi kesantunan linguistik dalam meminta penjelasan?

2. Bagaimana realisasi kesantunan linguistik dalam memberikan pendapat?

3. Bagaimana realisasi kesantunan linguistik yang digunakan di rapat DPRD

dapat memisahkan perilaku normatif dari perilaku santun dan menjelaskan kesantuan linguistik sebagai penyeimbang aspek kolaboratif kemitraan dan aspek kompetitif pengawasan yang menjadi ciri hubungan DPRD dengan eksekutif?


(50)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan kesantunan linguistik bahasa anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara dalam melaksananan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah menggambarkan

a) Realisasi kesantunan linguistik dalam meminta penjelasan. b) Realisasi kesantunan linguistik dalam memberikan pendapat.

c) Realisasi kesantunan linguistik yang digunakan di rapat DPRD dengan

memisahkan perilaku normatif dari perilaku santun dan menjelaskan kesantuan linguistik sebagai penyeimbang aspek kolaboratif kemitraan dan aspek kompetitif pangawasan yang menjadi ciri hubungan DPRD dengan eksekutif.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat dalam hal dapat memberikan bukti empirik kepada masyarakat bahwa kesantunan linguistik merupakan sesuatu hal yang melekat di dalam komunikasi manusia termasuk komunikasi di dalam rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Secara khusus, penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan kepada kita bahwa kesantunan linguistik tetap ada dalam perdebatan di rapat DPRD yang belakangan ini praktek kesantunannya banyak disoroti masyarakat dan media massa. Temuan penelitian diharapkan dapat memberi data sekaligus merubah persepsi mengenai mutu perdebatan di DPR/DPRD secara umum dan DPRD Provinsi Sumatera Utara secara khusus.


(51)

Dari segi keberadaan kepustakaan di tingkat nasional, penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan kepustakaan mengenai kajian kesantunan linguistik yang telah pernah dilakukan di masyarakat Indonesia. Untuk tingkat internasional, penelitian yang sama diharapkan dapat memberi sumbangan kepustakaan mengenai realisasi kesantunan linguistik pada masyarakat Timur yang selama ini masih didominasi oleh temuan penelitian pada masyarakat China dan Jepang.

Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi sumbangan terhadap model pendekatan kajian kesantunan linguistik yang telah ada. Model penelitian kesantunan selama ini masih banyak didominasi pendekatan yang berfokus kepada norma individual dan sosial yang diperkenalkan Brown & Levinson, Leech, dan Lakoff, sementara penelitian-penelitian kesantunan linguistik terakhir lebih berfokus kepada kajian mengenai pemberdayaan sumber daya linguistik tertentu untuk mencapai kesantunan linguistik sebagaimana yang diajukan Watts. Dengan kata lain, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu contoh model penelitian dengan pendekatan kesantunan linguistik.

Di samping itu, pendekatan penelitian yang selama ini ada juga cenderung memandang kesantunan linguistik sebagai sesuatu yang bersifat universal di dalam sebuah masyarakat. Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran bahwa setiap masyarakat praktisi yang berbeda merealisasi perilaku normatif dan perilaku santun secara berbeda pula sesuai dengan sifat hubungan yang mengatur interaksi komunikasi di dalam masyarakat praktisi itu sendiri.


(52)

1.5 Batasan dan Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian ini bersifat empirik dibanding teoritik. Keterbatasan yang pertama adalah bahwa penelitian ini hanya mengambil data realisasi kesantunan di dalam rapat DPRD dalam pelaksanaan fungsi DPR dalam menentukan anggaran dan melaksanakan pengawasan. Peneliti tidak mengambil data dari pelaksanaan fungsi yang ketiga yakni fungsi legislasi karena keterbatasan waktu.

Data ujaran yang diambil hanya data ujaran berupa tanggapan yang dikemukakan anggota DPRD setelah mendengarkan sajian eksekutif dan pihak-pihak yang diundang. Tanggapan eksekutif dan pihak-pihak yang diundang di dalam rapat tidak turut dikaji karena keterbatasan dalam hal mentranskripsi dan menganalisis ujaran. Alasan lainnya adalah struktur sidang pada rapat DPRD mengatur interaksi komunikasi antara anggota DPRD dan eksekutif sedemikian rupa sehingga hampir tidak ada kesempatan bagi kedua belah pihak untuk memberikan respon secara langsung sebagaimana halnya percakapan non-formal. Dengan adanya jeda yang kadang-kadang lumayan panjang antara pernyataan seorang eksekutif dengan respon yang diberikan anggota DPRD pada pernyataan dimaksud, atau sebaliknya, ditambah lagi dengan respon dimaksud sering sekali ditujukan kepada lembaga bukan kepada individu eksekutif tertentu, secara teknis hal ini mempersulit pencocokan satu tanggapan ke satu pernyataan.

Dari seluruh tindak tutur yang mungkin terjadi di rapat DPRD, hanya dipilih dua tindak tutur saja yakni tindak tutur meminta penjelasan dan tindak tutur


(53)

memberikan pendapat. Alasannya adalah karena berdasarkan observasi yang dilakukan, dua tindak tutur ini lah yang terlihat paling dominan di rapat DPRD.

Tidak semua data ujaran terekam secara sempurna karena alasan-alasan yang bersifat teknis seperti ketika berbicara anggota DPRD kadang-kadang tidak terlalu dekat dengan pengeras suara. Oleh karena itu, sebagian ujaran tidak dapat didengar dengan jelas sehingga tidak dapat ditranskripsi secara sempurna. Hal ini merupakan keterbatasan lain dalam penelitian ini.

Tidak dilakukan penghitungan atas frekuensi kemunculan tiap-tiap strategi kesantunan linguistik. Alasannya adalah karena penggunaan satu strategi cenderung ditentukan oleh konteks sehingga penghitungan frekuensi penggunaan dipandang kurang relevan. Hal ini sejalan dengan Sinar43 yang menyatakan bahwa penggunaan bahasa adalah kontekstual khususnya dalam arti bahwa secara kontekstual bahasa terikat kepada konteks. Demikian juga Reiter44 menyatakan bahwa kesantunan bukan merupakan sebuah karakteristik yang melekat kepada sebuah tindakan tetapi dibentuk oleh hubungan interaksi yang didasarkan kepada norma yang diyakini bersama, dibangun, dan diproduksi ulang oleh sekelompok orang di dalam sebuah kelompok sosial. Konteks yang dimaksudkan di dalam hal ini adalah konteks perilaku normatif

43 Tengku Silvana Sinar, Teori Analisis Wacana Pendekatan Sistemik-Fungsional (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008).

44


(54)

di rapat DPRD sebab di atas tataran perilaku normatif ini lah perilaku santun dipraktekkan.

Hal yang juga termasuk dalam keterbatasan penelitian ini adalah bahwa kajian kesantunan dalam ranah rapat DPRD tidak dikaitkan dengan faktor-faktor yang bersifat sosiologis seperti agama, jenis kelamin, etnis, ideologi partai, dll. Hal ini tidak

dimaksudkan untuk menafikan agama (Bertrand45, dan Balda46) dan nasionalisme

(Anderson47, 1983) sebagai penanda identitas kelompok termasuk identitas partai-partai politik di Indonesia yang sangat kuat dan peka. Beberapa penelitian mengenai kesantunan mengaitkan faktor-faktor di atas ke dalam kajian mereka sebagai unsur-unsur pada konteks sosial yang memberi pengaruh terhadap strategi kesantunan yang digunakan. Di dalam penelitian ini yang disebut dengan konteks sosial bukan latar belakang sosial yang mencakup latar belakang etnis, usia, jenis kelamin, pendidikan dan lain-lain tetapi adalah konteks perilaku normatif di rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dikatakan demikian karena dalam konteks rapat DPRD, faktor-faktor yang bersifat sosiologis di atas telah melebur ke dalam formalitas sebuah rapat resmi yang memiliki ciri kedudukan kemitraan dan fungsi pengawasan. Faktor-faktor seperti usia, etnis, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan lain-lain dinilai telah melebur

45

Jacques Bertrand, “Language Policy and the Promotion of National identity in Indonesia.” Fighting Words Language Policy and Ethnic Relation in Asia. Michael Brown and Sumit Ganguly (ed). (London: The MIT Press, . 2003), p. 3.

46

Syamsul Balda, dkk. Politik Da’wah Partai Keadilan (Jakarta: DPP Partai Keadilan, 2000).

47


(55)

membentuk konteks sosial baru yakni perilaku lazim yang berterima atau yang disebut dengan perilaku normatif di rapat DPRD.

Ketidaksantunan tidak dikaji di dalam penelitian ini karena memiliki arah penelitian yang tidak sama dengan kajian kesantunan. Secara teoritis, menurut Mills48

ketidaksantunan terdiri dari 2 yakni: a) mock impoliteness yang bermakna secara

linguistik tidak santun namun bertujuan untuk menciptakan keakraban; b) pushy

impoliteness, yakni secara linguistik santun namun sebetulnya tidak jujur sehingga tidak santun; Selain itu Sibarani49 memperkenalkan taboo impoliteness, yakni yang secara linguistik tidak santun yang ditandai dengan penggunaan kata-kata yang tabu, tidak disukai, dan tidak dianjurkan dan tujuannya memang untuk menunjukkan pertentangan.

Keterbatasan lain adalah kesantunan linguistik yang ditemukan dalam

masyarakat praktisi rapat DPRD tidak dilanjutkan dengan penelitian yang sama di

dalam masyarakat praktisi yang lain sebagai perbandingan juga karena keterbatasan waktu dan tenaga. Harapannya peneliti-peneliti berikutnya dapat melanjutkan kajian terhadap kesantunan linguistik yang dimiliki masyarakat praktisi lainnya sebagai bandingan.

48

Sara Mills, op. cit, p. 3

49


(56)

1.6 Klarifikasi Istilah

politic behavior : perilaku normatif

polite behavior : perilaku santun

socially-stricted utterances : tuturan yang mengikat secara sosial

strategically-chosen utterances: tuturan yang dipilih secara strategis


(57)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kesantunan linguistik dalam Berbagai Dimensi

Disertasi ini merupakan kajian transdisiplin yang melibatkan perspektif dari berbagai bidang ilmu ke dalam kajian linguistik. Oleh sebab itu dalam kajian pustaka ini kesantunan linguistik ditelaah dari berbagai bidang seperti pragmatik, sosiolinguistik, dan analisis wacana. Di sana sini perspektif sosiologis, antropologis,

maupun psikologi sosial juga akan mewarnai kajian pustaka ini karena pragmatik, sosiolinguistik, dan analisis wacana juga tidak terlepas dari perspektif tersebut.

Sedikitnya ada empat dimensi yang digunakan dalam memandang dan mengkaji kesantunan linguistik berdasarkan beragam perspektif yang disebutkan di atas. Keempat dimensi ini merupakan prinsip-prinsip yang menjadi fondasi bagi pendekatan kesantunan linguistik yang digunakan di dalam penelitian ini. Dimensi dimaksud adalah dimensi: 1) motivasi. 2) fungsi, 3) realisasi, dan 4) konteks situasi.

Dimensi pertama adalah dimensi motivasi. Berdasarkan telaah pustaka yang dilakukan ditemukan bahwa apa yang dimaksud dengan kesantunan linguistik hampir tidak berbeda antara satu peneliti dengan peneliti lainnya. Demikian juga halnya dengan motivasi kesantunan linguistik. Merujuk kepada beberapa kepustakaan yang tersedia, definisi dan motivasi kesantunan linguistik dapat disarikan sebagai berikut.


(58)

Geertz 50 mendefinisikan kesantunan linguistik sebagai strategi menyesuaikan bentuk bahasa dengan status sosial. Ia merumuskan definisi ini berdasarkan temuan penelitian yang dilakukannya terhadap masyarakat Jawa yang memiliki strata sosial. Motivasi kesantunan linguistik menurutnya adalah untuk mencapai harmoni. Hal ini

sejalan dengan temuan Matsumoto (1988) dan Gu (1990) di dalam Reiter51 yang

menunjukkan bahwa motivasi kesantunan linguistik yang paling utama di dalam masyarakat non-barat adalah kearifan (discernment). Dapat dikatakan bahwa motivasi kesantunan linguistik menurut kedua ahli adalah untuk mencapai harmoni dan kearifan.

Brown dan Levinson52 mendefinisikan kesantunan linguistik sebagai strategi menghindari mengancam muka orang lain. Mereka menyatakan bahwa kesantunan linguistik merupakan upaya memenuhi wajah positif dan wajah negatif individu peserta berkomunikasi. Wajah positif adalah keinginan seseorang untuk diterima dan dihargai. Wajah negatif adalah keinginan seseorang untuk tidak diganggu. Tidak berbeda dengan Brown dan Levinson, Yule 53 mendefinisikan kesantunan linguistik sebagai cara untuk merealisasikan kesadaran akan wajah orang lain. Bentuk realisasinya menurutnya adalah melalui penghormatan (deference) maupun keakraban.

50

Clifford Geertz, “The Background and General Dimensions of Prijaji Belief and Etiquette” The Religion of Java (Chicago: The University of Chicago Press, 1960), pp. 243 -248.

51 Rosina Márquez Reiter, op.cit p. xv

52

Penelope Brown dan Stephen C. Levinson, op.cit pp.10-11


(1)

Fukushima, Saeko. 2004. “Evaluation of politeness: The case of attentiveness. Multilingua – journal of Cross-Cultural and Interlanguage Communication. Volume: 23, Issue: 4, Cover Date: December 2004, Page start: 365 – 387. Berlin/New York : Walter de Gruyter.

Garnham, A. (1989). Inference in language understanding: What, when, why and how. In R. Dietrich, & C. F. Graumann (Eds.), Language processing in social context (North-Holland Linguistic Series 54 ed., pp. 153-172). Amsterdam: North Holland.

Geertz, Clifford. 1960. “The Background and General Dimensions of Prijaji Belief and Etiquette.” The Religion of Java. Chicago: The University of Chicago Press.

Goody, Esther N (ed.). (1978). Questions and politeness : Strategies in social interaction. Cambridge: Cambridge University Press.

Goodwin, C., & Goodwin, M. H. (2004). Participation . In A. Duranti (Ed.), A companion to linguistic antrhopology (Blackwell companion to antrhopology ed., pp. 223-224). Masachutets: Blackwell Publishing.

Gunarwan, Asim. 1994. Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta: Kajian Sosiopragmatik. PELLBA 7 Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atmajaya: Kelima. Bahasa Budaya. Penyunting Bambang Kaswanti Purwo. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya.

Hadiati, Sri, SH, MBA, dkk. 2005. Kompetensi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Jakarta: Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur Lembaga Administrasi Negara.

Haris, Syamsuddin. 1999. “Partai Politik dan Demokratisasi di Indonesia: Perjuangan Panjang Menegakkan Kedaulatan rakyat.” Pergulatan Partai Politik dan Demokratisasi di Masa Krisis Perspektif perbandingan. R Siti Zuhro (Koordinator). Jakarta: PPW LIPI Zuhro, R. siti (Kord)

Held, Gudrun. 2005. ”Politeness in linguistic research” Politeness in Language. Richard Watts, Sachiko Ide, Konrad Ehlich (ed). New York: Mouton de Gruyter.

Holmes, Janet. 1995. “Women, men and politeness.” Singapore: Longman Singapore Publisher.


(2)

Holtgraves, T. (2002). Language as social action : Social psychology and language use. Mahwah, N.J.: Erlbaum.

House, Juliane. 1989. Politeness in English and German: the Functions of Please and Bitte. Cross cultural pragmatics: Requests and apologies.” Volume XXXI in the series advances in Discourse Processes (Roy O. Freedle, editor). New Jersey: Ablex Publishing Corporation.

Hoza, J. (2007). It's not what you sign, it's how you sign it : Politeness in american sign language. Washington, D.C.: Gallaudet University Press.

Jahandarie, K. (1999). Spoken and written discourse : A multi-disciplinary perspective. Stamford, Conn.: Ablex Pub.

Janney, Richard W. Dan Horst Arndt. 2005. ”Intracultural tact versus intercultural tact” Politeness in Language. Richard Watts, Sachiko Ide, Konrad Ehlich (ed). New York: Mouton de Gruyter.

Kallia, A. (2005). Directness as a source of misunderstanding: The case of requests and suggestions . In R. T. Lakoff, & S. Ide (Eds.), Broadening the horizon of linguistic politeness (pp. 235-244). Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.

Koirudin. 2004. Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kompas, Kesantunan Berbahasa Cenderung Turun, 2003 (http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0307/28/dikbud/456905.htm)

Kuipers, Joel C. 1999. Elections and Conflict Resolution in Indonesia: Perspectives on Culture, Language and History. Special Report Ethnic and Religious Conflict in Indonesia: A Crisis of Nationhood?. Washington DC: The Woodrow Wilson Center Asia Program.

Kurzon, Dennis. 2001. “The Politeness of judges: American and English judicial behaviour”. Journal of Pragmatics 33: 61-85.

Lakoff, Robin Tolmach. 1990. “Talking About Language”. Talking Power. USA: Basic Book


(3)

Leech, G. N. (1983). Principles of pragmatics. London ; New York: Longman.

Locher, M. A. (2004). Power and politeness in action : Disagreements in oral communication. Berlin ; New York: M. de Gruyter.

Manurung, Ria. 2000. Keberadaan partai Politik di Indonesia (Studi Kasus Persepsi Mahasiswa Kotamadya Medan terhadap Kehidupan Politik. Medan: Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara

Mills, Sara. (2003). Gender and Politeness. Cambridge: Cambridge University Press. Mühlhäusler, P., & Harré, R. (1990). Pronouns and people : The linguistic

construction of social and personal identity. Oxford, UK ; Cambridge, Mass., USA: B. Blackwell.

Murni, Sri Minda dan Mutsyuhito Solin. 2005. Kesantunan Berbahasa dan Penelitian Kebahasaan di Universitas Negeri Medan. Pelangi Pendidikan. Vol. 12 Juni 2005.

Murni, Sri Minda. 2005. Menyiasati Tuturan: Strategi Kesantunan Positif dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Sumatera Utara. Murni, Sri Minda dan Deborah JAH. 2006. Strategies of Politeness in Short Message

Language. Medan: Kumpulan Makalah Pertemuan Linguistik Utara 5 (4-5 Desember 2006)

Murni, Sri Minda dan Juniati. 2006. Language Politeness in Karo Language. Medan: Kumpulan Makalah Pertemuan Linguistik Utara 5 (4-5 Desember 2006)

Murni, Sri Minda. 2007a. Bald-On Record: Strategi Bertutur Tanpa Basa-Basi dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Sumatera Utara. Seminar Internasional Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Murni, Sri Minda. 2007b. Mengurangi Tekanan pada Lawan Bicara: Strategi Kesantunan Negatif dalam Ranah Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Sumatera Utara. Kesinambungan dan Pemantapan Bahasa di Asia Tenggara. Paitoon M. Chaiyanara (ed.). Rancangan Penubuhan Persatuan Linguis ASEAN.


(4)

Murni, Sri Minda. 2007c. Situasi Berbahasa Kompetitif Dalam Ranah Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Sumatera Utara. Linguistik Terapan. Jurnal Linguistik Terapan Pascasarjana UNIMED Vol. 4 No. 2 Mei 2007.

Omoniyi, T., & White, G. (2006). The sociolinguistics of identity. London ; New York, NY: Continuum.

Paramasivam, S. (July 2007). Managing disagreement while managing not to disagree" polite disagreement in negotiation discourse. Journal of Interculural Communication Research, 36, No.2, 91-116.

Pikiran Rakyat, 2005 (http://www. pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0305/18/02.htm) Reiter, Rosina Márquez Reiter. (2000.). Linguistic politeness in britain and uruguay

:A contrastive study of requests and apologies . Philadelphia: John Benjamins Pub. Co.,.

Saeed, J. I. (2003). Semantics (2nd ed.). Malden, MA: Blackwell Pub.

Salzmann, Zdenek. 1998. Language, Culture, and Society. An Introduction to Lisnguistics Anthropology. 2nd ed. Colorado. Westview Press.

Sauri, Dr. H. Sofyan. 2004. Ingin Mabrur Berbicaralah dengan Santun. Gema Haji 2004/2005. Pikiran Rakyat Cyber Media.

Schegloff, E. A. (2007). Sequence organization in interaction : A primer in conversation analysis I. Cambridge, UK ; New York: Cambridge University Press.

Scollon, R., & Scollon, S. W. (1994). Face parameters in east-west discourse. In S. Ting-Toomey (Ed.), The challenge of facework cross-cultura; and interpersonal issues (pp. 133-158). New York: State Univeersiy of New York Press.

Sibarani, Robert. (2004). Kesantunan Bahasa. Antropolinguistik. Medan: Penerbit Poda.

Sinar, Tengku Silvana. 2008. Teori Analisis Wacana Pendekatan Sistemik-Fungsional. Medan: Pustaka Bangsa Press.


(5)

Sifianou, Maria. 2001. “Oh! How appropriate!” Linguistic Politeness Across Boundaries. The case of Greek and Turkish. Arin Bayraktaroglu and Maria Sifianou (ed). Philadelphia: John Benjamins North America.

Spolsky, Bernard. 1998. Sociolinguistics. Oxford: Oxford University Press

Spradley, James P. (1980). Doing Participants Observation. Participant Observation. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Suara Merdeka, Rapat Paripurna DPR Ricuh, 2004 (http://www. suaramerdeka-com/ harian/ 0411/10/nas03.htm)

Suara Merdeka, Raker DPR-Kejagung Ricuh, 2005 ((http://www. suaramerdeka-com/ harian/ 0502/18/nas01.htm)

Ting-Toomey, S. (1994)a. The challenge of facework : Cross-cultural and interpersonal issues. Albany: State University of New York Press.

Ting-Toomey, S. (1994)b. Face and facework : An introduction. In S. ing-Toomey (Ed.), The challenge of facework cross-cultural and interpersonal issues (pp. 1-14). New York: State University of New York Press.

Tsuzuki, Masako, et al. (2005). Selection of linguistic forms for requests and offers comparison between english and chinese. In R. T. Lakoff, & S. Ide (Eds.), Broadening the horizon of linguistic politeness. (pp. 283-300). Amsterdam: ohn Benjamins Publishing Company.

Uslaner, Eric M. 1993. The Decline of Comity in Congress. Ann Arbor: The University of Michigan.

Watts, Richard J. 2003. Politeness. Key topics in sociolinguistics. Cambridge: Cambridge University Press.

Watts, Richard J. 2005a. ”Linguistic politeness research: Quo Vadis?” Politeness in Language. Richard Watts, Sachiko Ide, Konrad Ehlich (ed). New York: Mouton de Gruyter.

Watts, Richard J. 2005b. ”Linguistic politeness and politic verbal behaviour: Reconsidering claims for universality” Politeness in Language. Richard Watts, Sachiko Ide, Konrad Ehlich (ed). New York: Mouton de Gruyter.


(6)

Watts, Richard J., Sachiko Ide, dan Konrad Ehlich. 2005. ”Introduction” Politeness in Language. Richard Watts, Sachiko Ide, Konrad Ehlich (ed). New York: Mouton de Gruyter.

Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press.

Zeyrek, Denis. 2001. “Politeness in Turkish and its manifestation: A socio-cultural perspective.” Linguistic Politeness Across Boundaries. The case of Greek and Turkish. Arin Bayraktaroglu and Maria Sifianou (ed). Philadelphia: John Benjamins North America.


Dokumen yang terkait

Peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Padang Lawas dalam penyelesaian sengketa lahan (studi kasus: sengketa lahan antara PT sumatera Riang Lestari dan PT Sumatera Sylva Lestari dengan Masyarakat Adat Kecamatan Aek Nabara Barumun)

1 100 105

Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Suatu Studi terhadap Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Simalungun Periode 2009-2014)

0 56 76

Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap Kinerja Eksekutif di Kota Medan

3 64 152

Persepsi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Medan Tentang Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Medan Tahun 2013

5 57 111

Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Suatu Studi Terhadap Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Simalungun Periode 2009-2014)

0 22 77

Hubungan Wakil dengan yang Diwakili (Studi Perbandingan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara Periode 1999-2004 dengan Periode 2004-2009)

1 45 101

Hak Recall Partai Politik Terhadap Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Dalam Korelasinya Dengan Pelaksanaan Teori Kedaulatan Rakyat.

8 114 110

Minat Menonton anggota Dewan Perwakilan Daerah Tapanuli Selatan terhadap Berita Politik Di Metro TV ( Studi Korelasi Tentang Tayangan Berita Politik Dan Minat Menonton Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tapanuli Selatan Terhadap Metro TV )

1 39 143

Studi Perwakilan Politik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara Periode 2004-2009

0 44 152

SITUASI BERBAHASA KOMPETITIF DALAM RANAH RAPAT PARIPURNA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PROPINSI SUMATERA UTARA.

0 1 8