NEO-RESOLUSI JIHAD : JIHAD KONTEKSTUAL KH. SALAHUDDIN WAHID.
NEO-RESOLUSI JIHAD
(JIHAD KONTEKSTUAL KH. SALAHUDDIN WAHID)
SKRIPSI
Disusun untuk memenuhi tugas akhir guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Pemikiran Islam
Oleh:
ERISTA NUR AMALIYANTI NIM : E81211043
PRODI FILSAFAT AGAMA
JURUSAN PEMIKIRAN ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2015
(2)
NEO-RESOLUSI JIHAD
(JIHAD KONTEKSTUAL KH. SALAHUDDIN WAHID)
SKRIPSI Diajukan Kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Guna Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Pemikiran Islam
Oleh:
ERISTA NUR AMALIYANTI NIM : E81211043
PRODI FILSAFAT AGAMA
JURUSAN PEMIKIRAN ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2015
(3)
(4)
(5)
(6)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan KH. Salahuddin Wahid tentang konsep jihad dalam Islam serta untuk mengetahui konsep jihad kontekstual KH. Salahuddin Wahid serta relevansinya dengan keindonesiaan saat ini. Teknik pengumpulan datanya dengan dokumentasi, wawancara, dan observasi lapangan. Untuk analisis data, digunakan teknik analisis deduktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Jihad dalam pandangan KH.Salahuddin Wahid tidak jauh dari karakter, latar belakang pendidikan, hubungan social, serta kepandaiannya dalam berpolitik sehingga tidak heran jika lantas pemikiran yang ia sumbang dan tawarkan kepada masyarakat Indonesia ialah tak lain untuk mencerdaskan bangsa, mengejar ketertinggalan
ekonomi dengan membantu kaum mustadz’afin, melawan musuh Islam berdasarkan
ukhuwah insaniyah, serta menegakkan keadilan. Kata Kunci : Neo-Resolusi, Jihad, dan Kontekstual.
(7)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Balakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 6
C. Rumusan Masalah ... 7
D. Tujuan Masalah ... 7
E. Manfaat Penelitian ... 8
F. Kerangka Teoritik ... 8
G. Telaah Pustaka ... 11
H. Metode Penelitian ... 15
I. Sistematika Pembahasan ... 18
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JIHAD ... 20
(8)
B. Jihad Dalam Al Qur’an ... 26
C. Historitas Jihad ... 32
1. Jihad Pada Periode Makkah ... 32
2. Jihad Pada Periode Madinah ... 35
3. Historitas Jihad di Indonesia ... 37
D. Jihad Dalam Islam Menurut KH. Salahuddin Wahid ... 45
BAB III LATAR BELAKANG KH. SALAHUDDIN WAHID DENGAN KONDISI INDONESIA SAAT INI ... 52
A. Biografi KH. Salahuddin Wahid. ... 52
B. Perkembangan Akademik KH. Salahuddin Wahid. ... 53
C. Latar Belakang Pemikiran KH. Salahuddin Wahid ... 57
D. Kondisi Indonesia Saat Ini ... 61
E. Transformasi Jihad dari KH. Hasyim Asy’ari ke KH. Salahuddin Wahid ... 68
BAB IV NEO-RESOLUSI JIHAD KH. SALAHUDDIN WAHID ... 71
A. Pendidikan Karakter Berbasis Pesantren. ... 71
B. Mengejar Ketertinggalan Ekonomi. ... 80
C. Melawan Musuh Islam yang Kapitalis dan Komunis dengan Persatuan ... 88
D. Menegakkan Keadilan dalam Pemerintahan ... 94
BAB V PENUTUP... 96
(9)
B. Saran ... 97
(10)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara majemuk yang masyarakatnya terdiri atas berbagai suku, ras, agama, adat istiadat dan aliran kepercayaan. Berdasarkan analisis dari hasil pengamatan yang tampak, dapat diketahui bahwa dengan adanya kemajemukan menjadikan Indonesia negara yang kaya. Kaya akan budaya, seni, serta bahasa yang seharusnya dari kekayaan tersebut menjadikan Negara lebih indah, adil dan beradab. Namun kenyataannya, di samping bernilai positif, kemajemukan juga mempunyai nilai negatif yang dapat menimbulkan konflik, perpecahan dan disintegrasi.1
Salah satu konflik yang akhir-akhir ini kembali meresahkan adalah konflik akibat gesekan beragama. Bagi Islam, faktor pemicu konflik ini, salah satunya adalah adanya pemahaman jihad yang diambil hanya secara tekstual dan tanpa mempertimbangkan tempat dan waktu tertentu. Hampir bisa dipastikan, istilah jihad merupakan salah satu konsep Islam yang paling sering disalahpahami, khususnya dikalangan para ahli dan pengamat Barat.2 Pemahaman jihad sebagai perang melawan orang-orang non muslim sangat dominan dan melekat dalam pemahaman masyarakat.
1
Sulastomo, Cita-cita Negara Pancasila (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2014), vii
2Abul ‗Ala Maududi, Hasan Al Banna, dan Sayyid Quthb,
Jihad(Perang Suci Islam)
(11)
Ketika istilah ini disebutkan, maka citra yang muncul di kalangan masyarakat Barat adalah laskar muslim yang menyerbu ke berbagai wilayah Timur Tengah, memaksa mereka orang-orang non muslim memeluk Islam. Begitu melekatnya citra ini, sehingga fakta dan argumen apapun yang dikemukakan oleh pihak muslim, sulit diterima oleh mayoritas masyarakat Barat. Mereka sudah appriori terhadap konsep jihad dalam Islam.3 Kekeliruan pandangan ini, seperti argumen Jansen dalam militan Islam,4 yang terus menerus menyesatkan masyarakat dengan menggaung-gaungkan bahwa Islam merupakan agama damai, sementara rata-rata muslim menganggap
Barat sebagai ―rumah perang‖. Dari sini dapat diketahui bahwa Jansen ―bukan teman Islam‖. Dan semua ini tentu saja bertentangan dengan kenyataan, bahwa tidak ada laskar muslim dalam masa modern yang dapat atau yang melakukan jihad.
Akibat pemahaman tekstual ini, Islam semakin dikesankan berparadigma kacamata kuda, tidak sensitif konteks dan kini seolah-olah menjadi agama yang lekat dengan kekerasan. Nilai-nilai Islam yang pemberi rahmat bagi seluruh alam, hewan, tumbuhan, jin dan sesama manusia, kini semakin tidak tampak dari luar. Persoalan semakin krusial tatkala trend kekerasan yang diakibatkan oleh pemahaman Islam tekstual ini mulai menggoyahkan sendi-sendi kebangsaan yang Bhinneka Tunggal Ika.
Kondisi konflik horizontal yang semakin meluas ini perlu segera diatasi. Konsep kerahmatan dan keramah-tamahan Islam harus kembali dikuatkan. Bahwa
3
Ubaidillah Nafi‘, ‖Jihad Dalam Perspektif Al Qur‘an‖, Majalah Aula, No.11, XXIII (November, 2001), 11
4
(12)
Islam adalah ―Rahmatan Lil „Alamin” dan tidak hanya ―Rahmatan Lil Muslimin”
perlu dibuktikan kembali sesegera mungkin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti Firman Allah dalam Surat al-Anbiya ayat 107: 5
Artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi semesta alam”.
Melihat Indonesia yang kondisinya seperti ini, banyak ulama dan pemikir muslim lainnya terlibat dalam pembicaraan tentang jihad. Baik dengan kaitannya dengan doktrin fiqih maupun dengan konsep politik Islam. Dan konsep-konsep jihad yang mereka kemukakan sedikit banyak mengalami pergeseran dan perubahan sesuai dengan konteks sosio-historis masing-masing pemikir muslim. Seperti yang telah disimpulkan oleh Abdul Aziz Schedina, Situasi-situasi politik kongkrit membuat para ulama dan pemikir muslim bersikap pragmatis dan realistis dalam perumusan-perumusan mereka tentang justifikasi untuk melakukan jihad.6
Bahkan KH. Hasyim Asy‘ari sendiri pernah memfatwakan sebuah konsep tentang perlunya resolusi jihad pada masanya. Di mana kondisi lingkungan sudah dapat dikatakan jauh dari perikemanusiaan. Namun perbincangan mengenai topik tersebut hingga kini masih banyak dilakukan oleh pakar dari berbagai bidang. Makna jihad sedikit banyaknya telah mengalami pergeseran dan perubahan seiring dengan
5Al Qur‘an, 21: 107
6
Abdul Aziz Schedina, The Development of Jihad in Islamic Relevation and History, Islamic Council of Europe (London, 1990), 37-38
(13)
konteks dan lingkungan masing-masing pemikir.7 Lebih-lebih dalam konteks Indonesia, sejak terjadinya banyak kasus pengeboman di berbagai hotel tempat wisatawan mancanegara, serta serentetan teror lainnya dari gerakan Islam lain seperti gerakan ISIS yang sedang merebak akhir-akhir ini. Sejak saat itulah kata jihad menjadi sangat familiar terutama di lingkungan masyarakat Indonesia, dan dari sini jugalah yang lantas membuat KH. Salahuddin Wahid merasa terpanggil untuk turut menyuarakan makna jihad tersebut.
Tokoh yang terkenal dengan panggilan Gus Sholah ini tertarik mendalami fenomena konflik, terutama konflik yang berkaitan dengan pemahaman jihad dengan label Islam. Satu dari pikiran beliau yang menarik tentang ini adalah perlunya Resolusi Jihad jilid II. Alasan KH. Salahuddin Wahid mencetuskan istilah ini dikarenakan pemaknaan jihad yang sebelumnya pernah ditawarkan oleh KH. Hasyim
Asy‘ari mengenai kewajiban berperang melawan penjajah demi kembalinya hak-hak
progresif yang dimiliki bangsa sehingga dapat menciptakan kembali masyarakat yang sejahtera, kini menurut KH. Salahuddin wahid jihad yang seperti itu tidak lagi sesuai dengan kondisi masyarakat yang ada. Sebab itulah yang menjadi faktor utama dicetuskannya Neo-Resolusi Jihad oleh KH. Salahuddin Wahid.
Tidak lepas dari latar belakang keluarga dan organisasi NU yang membesarkannya. KH. Salahudddin Wahid mencetuskan beberapa pernyataan dalam sebuah artikel kecil yang berjudul ―Menggagas NU Masa Depan‖, bahwasannya
7 Fitrul Huda, ―Studi Analisis Tentang Jihad Menurut Pemikiran Politik Hasan Al
(14)
organisasi NU saat ini sudah mulai melencengkan dari jalur fitrahnya. fitrah sebagai organisasi yang berpotensi dalam meningkatkan kinerja untuk menghadapi tantangan-tantagan ke depan bangsa dan umat agar bisa memberikan sumbangsih seperti sekian tahun yang lalu. Khususnya tantangan yang sedang mengurangi Aqidah umat Islam yang berada di seluruh Indonesia sehingga menyalahartikan makna jihad yang sesungguhnya. Pernyataan ini tidak hanya ia pertegas melalui surat kabar dan media elektronik, tetapi juga melalui ceramah dan khutbah langsungnya di berbagai pertemuan.8
Melihat perlunya sumbangsih pemikiran dari anak bangsa untuk Indonesia sehingga dapat menjadi Negara yang maju tanpa adanya serangan dari kaum kapitalis. Mengingat beberapa dekade sebelumnya bumi Indonesia secara habis-habisan dibumi hanguskan oleh mereka, baik dari sektor politik, ekonomi, budaya, pendidikan, hingga sistem pemerintahan. Di mana lantas semua itu menjadikan Indonesia menjadi Negara terbelakang bahkan jauh dari kemajuan. Maka untuk mengantisipasi datangnya kembali serangan dari kaum kapitalis tersebut KH. Salahuddin Wahid menegaskan perlunya membentuk gerakan Neo-Resolusi Jihad. Maka inilah yang menjadi dasar dari adanya ketertarikan peneliti untuk turut mengkaji pemikiran KH. Salahuddin Wahid mengenai Neo-Resolusi Jihad.
Adapun alasan lain dari penelitian ini adalah menariknya pemikiran beliau di
tengah-tengah masyarakat sehingga kemungkinan besar dapat mempengaruhi mindset
8
Salahuddin Wahid, Menggagas NU Masa Depan (Jombang: Pustaka Tebuireng, 2010), 1
(15)
serta aplikasi masyarakat Indonesia untuk mewujudkan makna Pancasila dalam Sila yang kedua, yakni kemanusiaan yang adil dan beradab. Berdasarkan latar belakang inilah peneliti memberikan penegasan ulang akan perlunya penelitian dari pemikiran KH. Salahuddin Wahid.
B. Identifikasi Masalah.
Agar permasalahan yang akan diteliti ini lebih jelas, maka penulis akan memfokuskan pembahasan pada konsep jihad dalam pemikiran KH. Salahuddin Wahid yang sedikit banyaknya pemikiran tersebut dipengaruhi oleh KH. Hasyim Asyari, KH. Wahid Hasyim, dan KH. Abdurrahman Wahid. Tiga tokoh Pemikir Muslim besar di zamannya masing-masing yang juga merupakan keluarga besar NU yang sedarah dengannya.
Permasalahan yang ada mengenai jihad, dikarenakan banyaknya kelompok garis besar Islam di Indonesia yang hingga kini salah dalam memahami jihad. Seperti kelompok ISIS (the Islamic State of Iraq and Syria) yang akhir-akhir ini menggelisahkan masyarakat sekitar. Dimana ISIS dikenal karena memiliki interpretasi yang keras pada Islam seperti bom bunuh diri hingga menjarah Bank. Hal tersebut mereka lakukan tak lain adalah sebagai upayanya dalam berjihad. Sedangkan menurut Prof. Haidar Bagir, Jihad yang demikian bukanlah jihad yang benar karena jihad baginya merupakan sebuah usaha yang didasarkan pada seluruh kemampuan yang ada untuk selalu berada di jalan Allah serta tidak bermaksiat kepadaNya (Melanggar hukum-hukumNya). Artinya, selalu menjalankan perintah-perintahNya,
(16)
baik dalam menggunakan waktu, energi, dan harta untuk kebaikan. Salah satunya dengan melawan penindasan.9
Adapun resolusi jihad yang pernah di fatwakan oleh Hadratus Syekh Hasyim
Asy‘ari pada tahun 1945-1949, yang saat ini memiliki perbedaan sangat jelas dari segi situasi dan kondisi. Menelisik lebih dalam dengan memahami kondisi masyarakat pada saat ini maka dari sinilah perlu adanya pandangan seorang tokoh seperti KH. Salahuddin Wahid dalam Neo-Resolusi Jihadnya untuk masyarakat Indonesia khususnya kaum intelektual.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian latar belakang di atas. Mengenai beberapa masalah yang akan dikaji dalam studi ini maka ada beberapa pertanyaan yang kompleks dan berkaitan antara satu dengan yang lain, diantaranya:
1. Bagaimana pandangan KH. Salahuddin Wahid tentang konsep jihad
dalam Islam?
2. Bagaimana konsep Neo-Resolusi Jihad KH. Salahuddin Wahid serta
relevansinya dengan konteks keindonesiaan saat ini?
D. Tujuan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas dapat diketahui beberapa tujuan dari penelitian ini. Di antaranya sebagai berikut:
9
(17)
1. Untuk mengetahui pandangan KH. Salahuddin Wahid tentang konsep
jihad dalam Islam.
2. Untuk mengetahui konsep Neo-Resolusi Jihad KH. Salahuddin Wahid serta relevansinya dengan keindonesiaan saat ini.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini sangat penting dilakukan, karena akan menghasilkan informasi yang secara rinci, akurat dan aktual, yang akan memberikan jawaban dari permasalahan penelitian baik secara teoritis maupun praktis. Beberapa manfaat dari diadakannya penelitian ini, yaitu:
1.
Memberikan sumbangsih pengetahuan baru tentang Neo-Resolusi Jihad dalam pandangan KH. Salahuddin Wahid di dunia akademi.2.
Memberikan pemahaman yang benar mengenai makna jihad dalam Islam.3.
Mengubah mindset masyarakat dalam memaknai jihad.4.
Memberikan dorongan perubahan untuk menjadi masyarakat, pemerintah,serta Negara yang lebih baik.
F. Kerangka Teoritik
Penelitian ilmiah ini berusaha untuk menemukan teori baru dalam konsep jihad baru. Yaitu sebuah langkah awal dalam usaha untuk memecahkan suatu masalah yang dihadapi Indonesia saat ini. Dengan berpedoman konsep teori yang
(18)
informatif, peneliti dapat mencari data lapangan yang tepat sehingga tujuan dari penelitian dapat berhasil dengan baik karena hal tersebut mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap kesimpulan akhir. Oleh karena itu kerangka berpikir dari dasar teori penelitian ilmiah ini harus disusun dan direncanakan sesuai dengan arah dan sasaran yang diinginkan.
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil sudut pandang sosial kebangsaan dalam konsep jihad menurut KH. Salahuddin Wahid. Mengingat ia merupakan salah satu tokoh yang bergelut didunia politik pemerintahan. Jika beberapa golongan fundamental menganggap bahwa jihad merupakan salah satu upaya dalam mempertahankan Islam secara tekstual, maka berbeda dengan konsep jihad yang ditawarkan oleh KH. Salahuddin Wahid dalam wawancara pertama peneliti dengan narasumber. Menurut KH. Salahuddin Wahid, jihad yang qital (perang) hanya sesuai dengan kondisi Indonesia pada tahun 1945-1949 yakni Resolusi Jihad yang
ditawarkan oleh KH. Hasyim Asy‘ari.10
Sedangkan mengenai cara jihad saat ini lebih ditekankan pada upaya dalam mempersatukan NKRI yang telah final hampir setengah abad ini dengan pencapaian hasil yang masih jauh dari harapan masyarakat. Mengenai deskripsi pembahasan yang ada maka perlu adanya sitematika penelitian lebih lanjut.
Berikut peta konsep jihad pada masa KH. Hasyim Asyari dengan ―Jihad Baru‖
yang akan ditawarkan oleh KH. Salahuddin Wahid :
10
Salahuddin Wahid, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, wawancara, Jombang, 05 Oktober 2014
(19)
Dalam melancarkan penelitian ini diperlukan suatu tempat untuk memperoleh data sebagai pendukung untuk tercapainya tujuan penelitian. Sebab itu, Penelitian ini berlangsung di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Yang merupakan Salah satu Pondok Pesantren unggulan dari zaman ke zaman, mengingat dari segi pendirinya
yang merupakan tokoh utama penggagas Organisasi NU, KH. Hasyim Asy‘ari hingga KH. Salahuddin Wahid, yang merupakan cucu dari KH. Hasyim Asy‘ari serta adik
JIHAD
Keagamaan
Kebangsaan
Pesantren
Pemerintahan
Masa
Penjajahan
Otoriter
Penguasa
Perang Fisik
a. Mencerdaskan bangsab. Mengejar ketertinggalan ekonomi dan Membantu kaum mustad‘afin c. Melawan Musuh Islam.
d. Menegakkan Keadilan
KH. Salahuddin Wahid
(20)
kandung KH. Abdurrahman Wahid yang juga merupakan salah satu tokoh ternama di era kontemporer ini. Dimana keempatnya tentu memiliki latar belakang pendidikan, karakter, serta lingkungan yang berbeda-beda. Maka dapat dipastikan bahwa pemikiran dari setiap tokohnya juga berbeda meskipun dasar yang dipegang adalah sama. Sebab itu obyek penelitian ini adalah konsep ―Jihad Baru‖ atau jihad kontekstual menurut KH. Salahudiddin Wahid. Penelitian ini berlangsung empat bulan setelah proposal disetujui oleh dosen pembimbing setelah mendapat ijin dari pihak-pihak yang berwenang.
G. Telaah Pustaka
Sejauh ini ada beberapa telaah pustaka yang berupa skripsi, buku, teks/artikel yang kemungkinan belum ada yang mengupas secara detail mengenai pemikiran KH. Salahuddin Wahid mengenai jihad kontekstual. Namun meski begitu seluruh telaah pustaka ini mampu untuk dijadikan teori dasar dalam perumusan masalah yang akan diteliti. Meskipun dengan spesifikasi pembahasan yang berbeda-beda namun tetap memiliki relasi yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain.
Pembahasan pertama mengenai Jihad menurut Gunaji dalam skripsinya
tentang Resolusi Jihad NU 1945; Peran politik dan militer NU dalam
Mempertahankan Kedaulatan NKRI bahwa resolusi jihad NU memiliki peran yang sangat vital dalam mempertahankan kedaulatan NKRI yang selama berabad-abad dijajah oleh Bangsa Barat. Hal ini terbukti dengan adanya sejarah tentang resolusi jihad yang benar-benar menjadi faktor penentu berlanjut atau tidaknya kemerdekaan
(21)
Indonesia. Sedangkan dewasa ini, nyatanya resolusi jihad sudah tidak berarti karena penguasa negeri yang melupakan sejarah resolusi jihad tersebut dari sejarah Indonesia. Sehingga di medan politik, NU disingkirkan dan dalam hal pendidikan juga selalu di nomor duakan.11
Pembahasan kedua menurut Achmad Muafi dalam skripsinya yang berjudul
Resolusi Jihad NU dalam pembentukan Nasionalisme Indonesia Perspektif Kajian Fiqh Siyasah. Skripsi ini membahas tujuan resolusi jihad, yang dilakukan tidak lain atas dasar inspirasi nasionalisme rakyat di berbagai daerah Indonesia untuk mengusir penjajah. Bentuk gagasan dari substansinya lebih mementingkan iman dan amal dari pada bentuknya.12
Pembahasan skripsi yang ketiga oleh Mahir dengan judulnya Pengaruh Resolusi Jihad pada masa KH. Hasyim Asy‟ari terhadap penetapan hukum fiqh politik NU di Indonesia. Arah pembahasan dalam skripsi ini lebih difokuskan pada penetapan hukum politik NU, dengan obyek pembahasannya adalah pengaruh Resolusi Jihad pada masa KH. Hasyim Asy‘ari terhadap penetapan hukum politik NU.13
11 Gunaji, ―Resolusi Jihad NU 1945; Peran Politik dan
Militer NU dalam Mempertahankan Kedaulatan NKRI”, (Skripsi tidak diterbitkan, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009)
12 Achmad Muafi, ―Resolusi Jihad NU dalam pembentukan Nasionalisme Indonesia
Perspektif Kajian Fiqh Siyasah‖, (Skripsi tidak diterbitkan, IAIN Sunan Ampel Surabaya,
2013)
13 Mahir, ―Pengaruh Resolusi Jihad pada masa KH. Hasyim Asy‘ari terhadap
penetapan hukum fiqh politik NU di Indonesia‖, (Skripsi tdk diterbitkan, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1997)
(22)
Mengenai pembahasan ke-empat, dalam skripsi yang diangkat oleh Muzakki
dengan judul Resolusi Jihad NU sebuah Konstribusi Spiritual NU dalam
Memperjuangkan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Arah pembahasan
dalam skripsi ini lebih difokuskan pada konstibusi spiritual NU dengan obyek pembahasannya adalah sejarah dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia. 14
Sekian banyaknya pembahasan jihad yang dijelaskan oleh sebagian kaum akademisi menunjukkan akan keorisinilan penelitian ini. Banyaknya pembahasan mengenai Resolusi Jihad, tidak lebih arah pembahasannya mengenai jihad yang
difatwakan oleh KH. Hasyim Asy‘ari. Sedangkan penelitian lain yang membahas tentang tokoh KH. Salahuddin Wahid hingga saat ini belum ditemui.
Sumber penting mengenai sekilas pandang pemikiran KH. Salahuddin Wahid mengenai jihad tertuang dalam sebuah artikel di Majalah Mimbar yang bertemakan
―Kemerdekaan di Tengah Lintas Perbedaan‖ yang di dalamnya tertuang pandangan
KH. Salahuddin Wahid mengenai Resolusi Jihad pada tahun 1945. bahwasannya Resolusi jihad tersebut terjadi karena di awali tentara Belanda yang ikut dalam tentara sekutu menyerbu Surabaya. Hal ini dikarenakan Jepang yang sudah kalah dengan sekutu, sebab itu menurut sekutu Indonesia harus kembali ke tangan Belanda. Melihat Indonesia yang saat itu sudah menyatakan kemerdekaannya, maka para Ulama
14 Muzakki, ―Resolusi Jihad NU sebuah Konstribusi
Spiritual NU dalam Memperjuangkan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia‖, (Skripsi tidak diterbitkan, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1998)
(23)
bersama-sama bertemu di Surabaya dan membicarakan masalah itu. dari latar belakang inilah yang kemudian tercetus Resolusi Jihad.
Diantara yang tertuang dalam Resolusi Jihad saat itu menyatakan bahwa wajib hukumnya bagi umat Islam mempertahankan kemerdekaan. Kedua, memberi fatwa agar rakyat membantu tentara Indonesia melawan Belanda. Yang ketiga, semua orang dewasa yang berada dalam radius 90 km (daerah sekitar Surabaya), wajib untuk
berperang membantu TNI melawan Belanda. ―Siapa yang gugur di perang itu akan
memperoleh predikat mati syahid. Fatwa inilah yang mendorong masyarakat bejuang melawan Belanda.15 Demikian sekilas pemikiran KH. Salahuddin Wahid dalam memaknai Jihad pada masa 1945. Hal tersebut berbeda dengan saat ini. KH. Salahuddin Wahid menyarankan masyarakat untuk lebih memprioritaskan kondisi pemerintahan yang cenderung kurang tegas dalam menyikapi kondisi yang ada. Baik dari segi pendidikan, ekonomi, social, maupun hukum. Seperti tawarannya untuk mencerdaskan anak bangsa dengan pendidikan karakter, mengejar ketertinggalan ekonomi dengan memanfaatkan SDM (Sumber Daya Manusia) yang ada agar menjadi lebih berkualitas serta upayanya untuk membantu kaum mustadz‘afin, melawan musuh Islam yang dengan tegas merebut hak-hak progresif masyarakat, dan tawarannya untuk menegakkan keadilan.
15
Salahuddin Wahid, ―Kunci Meredam Perbedaan itu Keadilan‖, dalam media Informasi, Komunikasi, dan Edukasi: Majalah Mimbar. ed. Choirul Mustofa (Provinsi Jawa Timur: Kantor Kementrian Agama, Agustus 2014), 9
(24)
H. Metode Penelitian
Seperti yang tersirat dalam rumusan masalah bahwa penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu sebuah penelitian untuk mencari kebenaran secara ilmiah dengan melakukan analisis terhadap dinamika hubungan antar fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah. Serta menggambarkan secara sistematik dan akuratnya fakta mengenai jihad. Tidak hanya itu penelitian ini juga berupaya menganalisis perkembangan pola dan urutan suatu perubahan negeri dari waktu ke waktu, sejalan dengan adanya perubahan konsep jihad dari tempat ke tempat.
Pendekatan yang ditempuh yakni menggunakan pendekatan historis-sosiologis. Tujuan menggunakan pendekatan historis adalah untuk mengetahui jihad dari tahun ke tahun yang dilakukan masyarakat Indonesia. khususnya pada masa terbesar Islam dalam jihadnya melawan G 30 S/PKI pada tahun 1945-1949 dengan gerakan terkenalnya yakni resolusi jihad. serta menggunakan pendekatan sosiologis dengan tujuan agar terdapat hubungan yang relevan antara peristiwa dengan masyarakat sekitar, baik secara internal maupun eksternal.
Sehubungan dengan kelancaran penelitian, maka diperlukan adanya beberapa sumber data. Sependapat dengan H.B. Sutopo (2006:2) ―sumber data penelitian kualitatif dapat berupa manusia, peristiwa dan tingkah laku, dokumen dan arsip serta
berbagai benda lain.‖
Adapun sumber data dalam penelitian ini sebagai berikut:
(25)
2. Arsip : Data peneliti yang diperoleh selama penelitian
berlangsung, baik berupa artikel atau paper.
3. Dokumen : Data yang disimpan oleh narasumber.
Ada beberapa teknik pengumpulan data diantaranya dengan memecahkan suatu masalah untuk dapat diselesaikan secara tuntas dengan suatu data yang validitas. Selain itu peneliti harus memperhatikan cara atau teknik pengumpulan data yang digunakan sebagai alat pengumpulan data. Sesuai dengan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah:
1. Wawancara
Sebuah teknik, di mana peneliti diharuskan mengumpulkan data dengan cara mengajukan pertanyaan kepada narasumber, kemudian dilanjutkan kepada informan lain yang ditunjuk oleh key informan karena dipandang lebih menguasai masalah. Dan sebelumnya peneliti telah mempersiapkan paduan wawancara yang berupa daftar pertanyaan dan kemudian pertanyaan itu akan dapat berkembang sesuai dengan data dan informasi yang dibutuhkan.
2. Observasi
Observasi merupakan teknik pengumpulan data dengan menggunakan pengamatan langsung ke lokasi dan melakukan pencatatan secara sistematis mengenai fenomena yang diamati. Di sini peneliti terjun
(26)
langsung ke lokasi penelitian untuk memperoleh data yang mendukung melalui pengamatan langsung.
3. Arsip dan Dokumentasi
Analisis dokumentasi ini dilakukan dengan menganalisis buku-buku, laporan, serta dokumentasi yang berkaitan dengan jihad yang terjadi di Indonesia dari era klasik hingga kontemporer, serta pemikiran beberapa tokoh yang berbeda-beda sudut pandang, asal usul, hingga pemikirannya yang radikal. Bisa berupa catatan, transkrip, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda, dan lain sebagainya. Namun dari sekian banyaknya sumber data, tetap yang menjadi focus dalam riset ini adalah arsip dan dokumen dari peneliti ketika melakukan penelitian di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.
Untuk mempermudah penulisan laporan penelitian ini, maka diperlukan suatu prosedur penelitian, yang merupakan tahap-tahap yang harus ditempuh dalam suatu penelitian. Adapun dalam prosedur penelitian ini, peneliti menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Tahap Pra-lapangan
Pada tahap pra-lapangan ini dilakukan mulai dari pembuatan usulan penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, pengesahan judul, pembuatan proposal, sampai dengan mencari berkas perijinan untuk lokasi penelitian.
(27)
2. Tahap Lapangan
Pada tahap lapangan ini dilakukan untuk menggali data yang relevan dengan tujuan penelitian. Dan peneliti sudah mulai terjun ke lokasi penelitian sejak dari analisis data ini, dan dilakukan setelah penggalian data dianggap cukup mendukung maksud dan tujuan penelitian.
3. Analisis
Pada tahap ini peneliti melaksanaan analisis awal, kemudian dilanjutkan dengan melakukan analisis akhir yang dalam hal ini peneliti menggunakan teknik analisa data dengan model interaktif. Pada proses analisis akhir, di dalamnya langsung bisa menghasilkan kesimpulan sementara dan apabila kesimpulan dirasa kurang mantap, maka peneliti dapat mengulang lagi untuk kegiatan analisis awal. Setelah merasa data sudah cukup kuat kebenarannya dan keakuratannya, data disimpulkan secara keseluruhan.
I. Sistematika Pembahasan
Sistematika dalam pembahasan ini dapat di jelaskan dalam lima bab. Di antaranya, Bab I yang berisi tentang pendahuluan dengan beberapa sub bab pengantar permasalahan yang terbentuk dalam beberapa bagian yaitu: latar belakang masalah, rumusan masalah, telaah pustaka, manfaat penelitian, metodologi penelitian dan yang terakhir yaitu sistematika pembahasan.
(28)
Bab II, berisi tentang tinjauan umum tentang jihad berdasarkan pandangan dari beberapa tokoh cendekiawan dan ulama serta beberapa ayat-ayat yang mendukung akan konsep jihad, historisistas jihad pada masa Nabi Muhammad SAW serta historisitas jihad di Indonesia, dan penjelasan dari pemikiran total KH. Salahuddin Wahid terhadap jihad dalam Islam.
Bab III, berisi tentang tentang biografi serta perkembangan akademik KH. Salahuddin Wahid, Kondisi Indonesia saat ini, serta transformasi tentang resolusi
jihad pada masa KH. Hasyim Asy‘ari dengan KH. Salahuddin Wahid.
Bab IV, berisi tentang sumbangsih serta tawaran KH. Salahuddin Wahid terhadap perlunya Resolusi Jihad jilid II atau bisa diistilahkan dengan gerakan jihad baru (Neo-Resolusi Jihad).
Dan yang terakhir adalah Bab V, yang berisi tentang kesimpulan berupa penjelasan manfaat dari penulisan penelitian ini serta kritik dan saran.
(29)
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG JIHAD
A. Pengertian Jihad
Secara etimologis jihad berasal dari kata juhd yang berarti kekuatan atau kemampuan, sedangkan makna jihad sendiri adalah perjuangan.16Apabila kata jihad tersebut digabungkan dengan kalimat fi sabilillah atau menjadi jihad fi sabilillah
maka bermakna perjuangan atau berperang di jalan Allah. Dari kata yang sama, jihad juga dapat diartikan sebagai ujian, hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al
Qur‘an Surat Ali Imran ayat 14217
. Dimana Allah bersabda :
Artinya : ―Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar.”
Menurut Al Raghib Al Ashfahani, sebagaimana dikutib oleh Rohimin kata al
Jihad dan mujahadah berarti mencurahkan kemampuan dalam menghadapi musuh.18
Tidak hanya itu, Ibnu Faris dalam bukunya Mu‟jam al Maqayis fi al Lughah, seperti
yang terkutip dalam buku wawasan Qur‘an karya Quraish Shihab, menyatakan bahwa
16
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Bahasa Arab-Indonesia (Yogyakarta: Al Munawwir, 1984), 234
17Al Qur‘an, 3:142
18
(30)
semua kata yang terdiri dari hurup jim, ha‟, dan dal pada awalnya mengandung sebuah arti kesulitan, kesukaran, atau yang mirip dengannya.19 Dalam kamus besar Indonesia, jihad memiliki tiga makna yaitu:
1. Usaha dalam upaya untuk memperoleh kebaikan.
2. Usaha sungguh-sungguh dalam upaya membela agama Allah (Islam)
dengan mengorbankan harta benda, jiwa dan raga.
3. Perang suci melawan kekafiran untuk mempertahankan keimanan.
Sedangkan menurut istilah syara‟ (terminologi) jihad adalah mencurahkan kemampuan untuk membela dan mengalahkan musuh demi menyebarkan agama Islam.20 Yusuf Qardhawi juga membagi jihad menjadi tiga tingkatan. Pertama, jihad terhadap musuh yang tampak. Kedua, Jihad terhadap godaan setan. Dan yang ketiga, jihad melawan hawa nafsu.21 Untuk mencapai semua ini, Sultan Mansur memberikan arti khusus dalam upaya pencapaian jihad tersebut. Adapun beberapa tahapan-tahapan di antaranya:
1. Adanya roh suci untuk menghubungkan makhluk dengan Khaliknya.
2. Roh suci yang menimbulkan tenaga dinamis aktif yang tahu berbuat sesuai dengan tempat, waktu dan keadaan.
19
M. Quraish Shihab, Wawasan Al Qur‟an: Tafsir Maudu‟I atas Berbagai Persoalan
Umat. Vol.I (Bandung: Mizan, 2005), 501 20
Yusuf Qardhawi, Fiqih Jihad: Sebuah KArya Monumental Terlengkap Tentang
Jihad Menurut Al Qur‟an dan Sunnah (Bandung: Mizan,2010), 3
21
(31)
3. Dimulai dengan ilmul yakin, yang dengan peningkatan iman sampai kepada haqqul yakin.22
Menurut Sutan, perintah jihad (perang) sangat terbatas. Adapun pada waktu damai berarti membangun, menegakkan dan menyusun. Maka pada waktu damai inilah sebenarnya jihad yang besar, karena jihad ini menghendaki kepada kekuatan otak, keikhlasan berkorban dengan harta dan benda dalam mendidik jiwa umat.
Berbeda dengan Quraish Shihab yang mendefinisikan jihad sebagai cara untuk mencapai tujuan. Menurutnya, Jihad tidak mengenal putus asa, menyerah, kelesuan dan berjuang tanpa pamrih. Namun begitu, jihad tidak dapat dilakukan tanpa modal, karena itu jihad selalu disesuaikan dengan modal yang dimiliki berdasarkan tujuan yang ingin dicapai. Selama tujuan tercapai dan selama masih memiliki modal, maka selama itu juga jihad dituntut untuk tetap dilaksanakan. Jihad merupakan puncak segala aktifitas. Jihad bermula dari kesadaran, sedangkan kesadaran harus berdasarkan pengetahuan dan tidak ada paksaan, karena seorang mujahid harus bersedia berkorban tanpa adanya paksaan dari pihak lain.23
Menurut Salih Ibn Abdullah al Fauzan, sebagaimana dikutip oleh Kasjim Salendra. Ia mengemukakan bahwa terdapat lima sasaran dalam jihad. Pertama, jihad melawan hawa nafsu, meliputi pengendalian diri dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Jihad melawan hawa nafsu merupakan perjuangan yang amat berat (jihad akbar), meski jihad ini berat dilakukan, namun sangat diperlukan
22
Sutan Mansur, Jihad (Sumatra: Panji Masyarakat,1982), 9
23
(32)
sepanjang kehidupan manusia.24 Sebab jika seseorang tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya maka sangat mustahil ia akan mampu berjihad untuk orang lain. Karena jihad ini adalah akar dari bentuk jihad-jihad yang lain.
Kedua, Jihad melawan setan merupakan musuh nyata manusia. Setan
mempunyai tekad untuk senantiasa menggoda manusia dan memalingkannya agar selalu durhaka kepada Allah serta menjauhi segala yang telah diperintahkan Allah kepadanya.25 Hal ini dikarenakan setan telah berjanji pada Allah untuk senantiasa menggoda umat manusia hingga akan datangnya hari kiamat, waktu di mana pintu taubat telah ditutup selamanya.
Ketiga, Jihad dalam menghadapi orang yang berbuat maksiat (orang-orang durhaka) dan orang-orang yang menyimpang dari kalangan mukmin.26 Dalam hal ini metode yang digunakan adalah Amar Ma‟ruf Nahi Mungkar. Jihad dalam bentuk ini memerlukan kesabaran dan ketabahan serta hendaknya disesuaikan dengan kemampuan orang yang berjihad (mujahid) dan kondisi objek dakwah. Dengan maksud agar aplikasi jihad dapat bermanfaat kepada umat. Jihad model ini dapat dilakukan oleh siapa saja, sebab jihad yang dimaksud dapat menjadi sangat familiar di tengah-tengah umat manusia ketika jihad dengan ini telah dilakukan dengan perbuatan, namun nyatanya jauh dari harapan, maka langkah selanjutnya adalah dengan lisan. Namun demikian, jika dengan lisan kemungkaran tersebut belum dapat
24
Kasjim Salendra, Jihad dan Terorisme Dalam Perspektif Hukum Islam (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), 133
25
Kasjim Salendra, Jihad dan Terorisme…, 133 26
(33)
dihindarkan maka cukup jihad dengan menggunakan hati. Sebab hati merupakan selemah-lemahnya iman. Model yang seperti inilah yang selalu menjadi pegangan Rosulullah dalam upaya mengislamkan umat Islam jauh pada abad ke-7 silam.
Keempat, jihad melawan orang-orang munafik, yaitu mereka yang berpura-pura Islam dan beriman tetapi hati mereka sebenarnya masih mengingkari keesaan Allah SWT dan kerasulan nabi Muhammad SAW.27 berjihad dalam menghadapi orang munafik lebih sulit dibandingkan dengan macam jihad yang lain karena mereka sangat pandai menyembunyikan kebusukan yang terdapat pada dirinya.
Kelima, jihad melawan orang-orang kafir.28Model jihad ini yang sering dipahami sebagai jihad perang. Dalam menafsirkan jihad perang ini para ulama berbeda pendapat. Sebagimana dikutip Zulfi Mubarraq, Imam Syafi‘I dalam kitab Al Umm nya adalah orang pertama yang merumuskan doktrin jihad melawan orang kafir karena kekufurannya. Atas dasar ini jihad kemudian ditransformasikan sebagai kewajiban kolektif bagi kaum muslim untuk memerangi orang kafir.29 Berbeda dengan pandangan Al Sarakhsi, pengarang kitab al Mabsut menerima doktrin Imam
Syafi‘I bahwa memerangi kaum kafir adalah tugas yang tetap sampai akhir zaman.
dan pendapat ini yang kemudian dijadikan dasar oleh sebagian umat Islam untuk memerangi orang yang mereka anggap kafir.
27
Kasjim Salendra, Jihad dan Terorisme…, 134
28
Ibid., 135 29
Zulfi Mubarraq, Tafsir Jihad: Menyikap Tabir Fenomena Terorisme Global
(34)
Gamal Al Banna, menyatakan bahwa istilah jihad adalah menunjukkan suatu kandungan tertentu yang memiliki pengertian sebagai sebuah alat atau tujuan yang bisa mengantar kepada tujuan. Jihad yang dilakukan tidak harus menggunakan perang, walaupun tidak dipungkiri bahwa ada juga jihad yang mengharuskan perang.30 Menurutnya perang qital adalah jihad dalam pilihan terakhir. Al Qur‘an
tidak menjadikan perang qital sebagai prinsip, akan tetapi jihadlah yang disahkan sebagai prinsip dasar. Perang qital hanyalah sarana yang digunakan untuk mempertahankan prinsip tersebut ketika kondisi benar-benar terdesak.
Akhir-akhir ini pengertian jihad sering kali dikonotasikan dengan peperangan, padahal jika melihat asal kata dari jihad maka tentunya kurang tepat. Hal ini diperparah dengan kesalahan sebagian ilmuan yang menerjemahkan jihad dengan perang suci. Padahal perang dalam bahasa Arab adalah al Harb sedangkan peperangan adalah al qital, namun kata sucinya dalam bahasa Arab adalah al
Muqaddas. Dari sini dapat diketahui bahwa seharusnya perang suci jika
diterjemahkan menjadi qital Muqaddas atau Harbu al Muqaddas bukan jihad. Dilihat dari konteks ini, sudah dapat dipastikan akan perlunya kajian secara mendalam mengenai pengertian jihad secara tepat.31
Perintah jihad pada dasarnya merupakan bentuk untuk melindungi, membela diri dari ancaman dan tantangan kaum kafir serta menyebarkan dakwah Islam. Hal ini dapat dipahami secara historis bahwa perintah jihad pada periode Makkah tidak ada
30
Gamal Al Banna, al Jihad (Jakarta: Mata Air Publishing, 2006), xxiv
31 Muhammad Rahmatullah, ―Pemikiran Jihad KH. Hasyim Asy‘ari dan Imam
(35)
ayat Al Qur‘an yang mengarah pada perang akan tetapi lebih kepada jihad dalam
bentuk pengendalian diri, berdakwah dan bersikap sabar terhadap tantangan yang dilancarkan oleh orang-orang kafir Quraish. Sebagaimana dikatakan Rohimin bahwa perintah jihad pada periode Makkah lebih dipahami sebagai jihad persuasif.32 Hal ini menunjukkan bahwa jihad dalam arti upaya perang dalam melawan orang kafir baru dianjurkan setelah mendapat tantangan yang serius dari Madinah.
Dari berbagai pengertian yang telah dipaparkan di atas, dapat diketahui bahwa pengertian jihad sebenarnya terbagi menjadi menjadi dua, yaitu pengertian umum dan pengertian khusus. Secara umum, jihad merupakan usaha sungguh-sungguh untuk melaksanakan Amar Ma‟ruf Nahi Mungkar dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah serta berusaha memperoleh Ridha dari-Nya. Sedangkan dalam pengertian khusus jihad adalah memerangi orang-orang kafir yang menghalang-halangi dakwah demi tegaknya agama Islam.
B. Jihad dalam Al Qur’an
Menurut Muhammad Solikin, kata jihad dengan berbagai perkembangannya
disebutkan sebanyak 41 kali dalam Al Qur‘an. Dari 41 kali penyebutan tersebut,
Solikin membaginya menjadi dua kelompok. Pertama, Kelompok penyebutan
setingkat kata yang terdapat dalam 5 ayat. Kedua, ditambah dengan 1 ayat yang berawalan dan berakhiran. Dari keenam ayat tersebut dapat diperoleh makna jihad. Di antaranya sebagai berikut:
32Rohimin, Jihad: Makna dan Hikmah…, 20
(36)
1. Sikap bersungguh-sungguh dalam mewujudkan kehidupan bersama
mukmin lainnya (Q.S. Al Maidah ayat 53).
2. Kesungguhan bersumpah demi nama Allah (Q.S. Al An‘am ayat 109). 3. Pengutan sumpah mentaati Rosulullah (Q.S. Al Fatir ayat 42).
4. Kesanggupan untuk beramal secara individual (Q.S. At Taubah ayat 79). 5. Sumpah untuk berjuang dan perang, dalam keadaan tertentu ( Q.S. An Nur
ayat 53).33
Kelima komponen tersebut dapat disimpulkan bahwa jihad adalah bersungguh-sungguh dalam mengimplementasikan keimanan serta ketundukkan kepada Allah dan Rosul dalam menjalankan perintah-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya.
Adapun beberapa ayat pendukung lainnya mengenai ketentuan dalam berjihad di antaranya, Q.S. Al Hajj Ayat 39:34
Artinya : “Diizinkan (Berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah Maha Kuasa menolong mereka itu.”
Ayat berikutnya, masih di Surah yang sama yakni Surah Al Hajj ayat 40.35 Allah berfirman :
33
Muhamةad Solikin, The Power of Sabar (Jakarta: Tiga Serangkai,2009), 93
(37)
Artinya : “yaitu orang-orang yang telah diusir dari rumah-rumah mereka tanpa hak,
hanya karena mereka berkata “Tuhan kami adalah Allah”. dan sekiranya tidak ada tangisan Allah terhadap sebagian manusia oleh sebagian yang lain, maka akan hancurlah biara-biara serta gereja-gereja Nasrani dan rumah-rumah ibadah Yahudi serta masjid-masjid yang banyak disebut nama Allah di dalamnya. Dan pasti Allah akan menolong siapa yang
menolongNya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa dan Maha Perkasa.36
Dari beberapa ayat tersebut para Ulama sepakat bahwa ayat ini adalah ayat pertama yang memberi izin kepada umat muslim untuk mengangkat senjata demi melindungi diri mereka.
Melihat faktor minimnya pendidikan masyarakat Indonesia yang ada, pada umumnya tidak sedikit yang mengonsumsi pengertian jihad secara mentah-mentah tanpa melihat unsur latar belakang sebelumnya. Sehingga dampak dari hal itu melahirkan istilah serta pemahaman jihad yang berbeda. Dewasa ini jihad lebih sering dimaknai oleh banyak orang untuk merujuk pada arti perang, meskipun sebenarnya di
dalam Al Qur‘an kata itu digunakan tidak hanya dalam arti tersebut. Dalam hal ini
35Al Qur‘an
, 22:40
36
Salahuddin Wahid, Diskursus Pesantren dalam Pemaknaan Jihad Kebangsaan
(38)
Harun Ibn Musa (2 Hijriyah), Misalnya menyebutkan bahwa kata jihad ini memiliki tiga kemungkinan makna. Di antaranya :
1. Bermakna al Jihad bi aL Qaul, seperti dalam Q.S. Al Furqan Ayat 52 :37
Artinya : “Maka janganlah engkau taati (keinginan) orang-orang kafir, dan berjuanglah terhadap mereka dengannya (Al Quran) dengan (semangat) perjuangan yang besar”
dan Q.S. At Taubah Ayat 73 :38
Artinya : ―Wahai Nabi berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka jahannam dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.‖
2. Bermakna al Qital bi al Silah(Perang), seperti dalam Q. S. An Nisa‘ Ayat
95 :39
37Al Qur‘an, 25: 52
38Al Qur‘an, 9:73
39
(39)
Artinya : “Tidalah sama antara orang beriman yang duduk (yang tidak
turut berperang) dan tidak mempunyai udzur (halangan) dengan orang yang berjihad dijalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan derajat orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk (tidak ikut berperang tanpa halangan). Kepada masing-masing, Allah menjanjikan (pahala) yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan
pahala yang besar.”
3. Bermakna al „Amal (Kerja keras), seperti dalam Q.S. Al Ankabut Ayat 6:40
Artinya : “Dan barang siapa berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu
untuk dirinya sendiri. Sungguh, Allah Maha Kaya (tidak
memerlukan sesuatu) dari seluruh alam. ”
dan Q.S. Al Hajj Ayat 78 :41
Artinya : “Dan berjihadlah kamu dijalan Allah dengan jihad yang
sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu, dan dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. (Ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamakan kamu orang-orang muslim sejak dahulu, dan
40Al Qur‘an, 29:6
41
(40)
(Begitu pula) dalam (Al Qur‟an), agar Rosul (Muhammad) itu
menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka laksanakanlah sholat dan tunaikanlah Zakat, dan berpegang teguhlah kepada Allah. Dialah pelindungmu, Dia sebaik-baik pelindung dan
sebagik-baik penolong.”
Dari beberapa ayat diatas dapat diketahui bahwa Jihad merupakan perintah Allah untuk orang-orang muslim dalam memerangi kaum mmunafik dan kafir. Di dalamnya terdapat Janji Allah akan pahala surga bagi orang-orang muslim yang berjuang dengan tulus atas nama Allah. Mengenai cara berjihad, beberapa Ulama mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Ada yang memaknainya sebagai jihad dengan menggunakan diri dalam mengendalikan hawa nafsu, Namun ada yang berjihad dengan cukup menggunakan harta, tapi lebih dari itu, ada yang beranggapan bahwa jihad yang sesungguhnya adalah dengan menggunakan nyawa (Perang).
Berdasarkan keterangan sebelumnya, di mana ayat Al Qur‘an yang dijadikan Ulama sebagai dasar adanya Jihad Qital adalah Surah Al Hajj ayat 39-40,42 maka tindakan perang yang seperti inilah yang selama ini telah dimaksudkan oleh Allah, akan sebuah kondisi di mana saat itu umat muslim telah terpojokkan pada satu posisi yang benar-benar darurat, seperti pengusiran tempat tinggal tanpa alasan tertentu (penjajahan). Hal ini sudah merupakan kewajiban bagi umat muslim untuk ikut serta dalam pengangkatan senjata dan turun kedalam medan perang. Jika tidak demikian maka dikhawatirkan generasi umat Islam akan hilang sehingga tidak ada lagi nama Allah di muka bumi ini. Sebab itulah yang dinamakan Jihad fi Sabilillah yakni jihad
42
(41)
yang tujuannya hanya atas nama Allah. Seperti yang pernah dilakukan Nabi Muhammad pada masa periode dakwah di Makkah dan Madinah serta beberapa tokoh-tokoh Islam lainnya.
C. Historisitas Jihad
1. Jihad pada Periode Makkah
Pada usia empat puluh tahun lebih enam bulan dua belas hari, dengan wahyu pertamanya, Muhammad telah diangkat menjadi Nabi, namun saat itu ia belum mendapatkan perintah untuk menyerukan apa yang diwahyukan Allah kepadanya.43 Setelah turun wahyu kedua yaitu surat Al Muddassir ayat 1-7, Nabi Muhammad diangkat menjadi Rosul sehingga mendapat amanah untuk menyampaikan apa yang diwahyukan Allah kepadanya. Dengan turunnya ayat tersebut Nabi Muhammad selalu bangkit untuk berdakwah kepada Allah, tidak mengeluh dalam menyampaikan amanat besar ini, meskipun dalam proses ini ia harus bertaruh nyawa dalam berbagai medan perang melawan kam kafir Quraish.
Sejarahwan membagi jihad pada masa Nabi Muhammad menjadi dua bagian. Pertama periode Makkah, yang dilakukan kurang lebih selama tiga belas tahun. Kedua, periode Madinah yang berjalan selama sepuluh tahun
43Ali Mufrodi, ―Islam di Kawasan Kebudayaan Arab‖.
Edisi Revisi (Surabaya: Anika Bahagia, 2010), 16
(42)
penuh.44 Awalnya Nabi Muhammad menyampaikan risalah tersebut secara
Mutawwatir (Sembunyi-sembunyi). Dan lebih memprioritaskan dakwahnya
untuk seluruh keluarga, kerabat serta para sahabat-sahabatnya dan berhasil mengislamkan mereka. Di antaranya Khadijah (Istri Nabi), Zaid bin Haritsah (Sepupu Nabi), Ali Bin Abi Thalib (Pemuda yang menjadi menantu Nabi setelah menikah dengan Fatimah Az Zahra, Putri Nabi), dan Abu Bakar As-Shidiq (Sahabat dekatnya). Mereka merupakan golongan orang-orang yang mempercayai kenabian Muhammad serta orang-orang yang pertama kali masuk Islam.
Dalam dakwahnya yang sembunyi-sembunyi ini, Abu Bakar juga berhasil mengislamkan beberapa teman dekatnya, seperti Ustman Bin Affan,
Zubair Bin Awwam, Abdurrahman Bin Auf, Sa‘ad Bin Abi Waqqash, dan Thalhah Bin Zubair.45 Dan masih banyak lagi sahabat yang masuk Islam.
Setelah tiga tahun berdakwah secara Mutawwatir, turunlah perintah agar Muhammad berdakwah secara terang-terangan. Baik dari golongan bangsawan, maupun hamba sahaya. Dengan dilakukannya dakwah secara terang-terangan ini jumlah pengikut Muhammad semakin meningkat, terutama dari kaum wanita, budak pekerja, dan orang-orang yang tidak punya. Namun jauh dari harapan yang ada justru para penentang Muhammad terletak pada
44
Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Ar—Rahiqul Makhtum, Bahtsun fi al Sirah al Nabawiyah ala Shahibiha afdhali al-Shalati Wassalam. ter. Kathur Suhardi kedalam bahasa Indonesia menjadi Sirah Nabawiyah (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,2010), Hal 69
45
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2006), 19
(43)
sekelompok golongan aristokrat, seperti keluarga Umayyah bahkan paman Muhammad (Abu Lahab yang berasal dari Bani Hasyim) sekalipun.
Tekanan dan ancaman yang didapat Muhammad dari kaum kafir Quraish tidak ada henti-hentinya, baik dari penyiksaan, hinaan, cemohan, pemboikotan, hingga upaya untuk membunuh-Nya juga dilakukan untuk menghentikan dakwah Nabi Muhammad saat itu. Dari kondisi yang kurang nyaman seperti inilah yang kemudian mendorong Nabi Muhammad untuk hijrah ke Madinah (Yastrib).
Jadi, jihad yang dilakukan Nabi pada periode Makkah merupakan perintah untuk menegakkan kebajikan serta menjauhi keburukan. Menurut
Rohimin, keadaan umat Islam di Makkah dalam Al Qur‘an dapat digambarkan
sebagai berikut :
a. Bersikap apa adanya sebagai penerima amanat yang harus
disampaikan.
b. Memberi maaf dan bersikap tidak peduli.
c. Melakukan pembantahan setelah dilakukan cara hikmah dan
mau‟izhah.
d. Mengucapkan kata-kata yang baik.
e. Menolak dengan cara yang sopan.
(44)
g. Tidak bersikap sebagai penguasa.46
Uraian di atas, menunjukkan bahwa ayat-ayat jihad yang diturunkan pada periode Makkah tidak menggambarkan kontak fisik dengan musuh. Hal ini dibuktikan dengan ayat-ayat Makkiyah, seperti Surat An Nahl ayat 82, An Nur ayat 54, Yasin ayat 17, Al Maidah ayat 13, dan lain-lain.
Pelaksanaan jihad pada periode ini Makkah ini lebih ditekankan pada pengendalian diri agar tidak mudah terpancing oleh tindakan-tindakan yang mengusik emosi dan harus bersikap sabar dalam menghadapi semua cobaan. Jihad dalam mendakwahkan Islam di Makkah saat itu belum dilakukan dengan fisik melalui perang, hal ini mungkin dikarenakan minimnya jumlah umat muslim sehingga belum sanggup untuk menghadapi ancaman orang-orang kafir secara terang-terangan.
2. Jihad pada Periode Madinah
Berbeda dengan kondisi saat di Makkah, Nabi Muhammad mendapatkan banyak dukungan di Madinah bahkan tidak sedikit penduduk yang tidak sabar dalam menunggu kedatangannya. Sebelum sampai di
Madinah, Nabi Muhammad singgah di Quba‘ selama tiga hari dan mendirikan
masjid yang pertama kali dibangun dalam Islam, yang kemudian di dikenal
dengan nama masjid Quba‘.
46
(45)
Hijrahnya umat Islam ke Madinah merupakan titik balik dari penderitaannya ketika di Makkah, Nabi Muhammad juga berhasil menjadikan kota Madinah menjadi kota yang jauh lebih bagus. Tidak hanya itu di sana ia jauh lebih disegani dan dihormati banyak orang.
Setelah Islam memperoleh perlindungan serta jumlahnya bertambah, orang-orang Makkah semakin marah. berbagai ancaman dan pengiriman pasukan dilakukan untuk memerangi umat Islam di Madinah. Dalam situasi yang rawan seperti ini, Allah mengizinkan umat muslim untuk berperang namun belum bersifat wajib. Hal ini dibuktikan dengan turunnya surat Al Hajj ayat 39 tentang perintah perang dalam kondisi memang benar-benar teraniaya. Mengingat golongan kaum kafir Quraish merupakan sekumpulan orang-orang yang diketahui selalu berupaya menghentikan dakwah Nabi Muhammad bahkan membunuh dan menghancurkan umat muslim maka pada bulan Rajab 2 Hijriyah, Nabi Muhammad mengirimkan Abdullah bin Jahsy al Asadi ke Nahlah bersama dua belas Muhajirin untuk menyelidiki rombongan dagang kaum kafir Quraish. Sesampainya di sana Abdullah bin Jahsy memergoki dan menghadang rombongan dagang Quraish yang mana saat itu membawa kismis, kulit, dan berbagai macam dagangan. Dalam peristiwa ini, golongan Quraish meninggal karena terkena panah, sedangkan Ustman dan al Hakam di tawan ke Madinah sebagai rampasan perang.47
47
Syaikh Shafiyyurrahman al Mubarakfuri, Ar Rahiqul Makhtum, Bahtssun fi al
(46)
Setelah mereka sampai di Madinah, Nabi Muhammad tidak sependapat dengan apa yang dilakukan Abdullah bin Jahsy. Nabi Muhammad
bersabda : ―aku tidak memerintahkan kalian untuk berperang pada bulan suci‖.48
Berawal dari perang kecil inilah yang kemudian menjadikan kaum kafir Quraish ketakutan. Dan sebaliknya ketakutan kaum yang terjadi saat itu menjadi motivasi tersendiri bagi para pembesar dan pemimpin mereka. Akhirnya merekapun bertekad untuk berperang secara besar-besaran. Hingga lahirlah perang Badr, perang Uhud serta perang-perang lainnya.
Berdasarkan historitas jihad periode Madinah di atas, pengertian jihad cenderung pada peperangan. Hal ini terbukti dengan banyaknya peperangan umat Islam dengan orang-orang kafir Makkah yang telah menganiaya dan mengusirnya dari kampung halaman mereka.
3. Historisitas Jihad di Indonesia
Istilah jihad dalam kacamata sejarahwan Indonesia sudah mulai terdeteksi sejak akhir abad ke-17, ketika kerajaan Banten dan Mataram jatuh ke tangan Belanda.49 Menurut Maria Vekle, sebenarnya konsep ini sudah ada sejak lama dan dikenal oleh umat Islam Indonesia, namun penjabaran secara pastinya masih tidak begitu jelas. Mengenai apa itu makna jihad dan bagaimana penerapannya. Baru setelah mereka berhadapan secara nyata
48
Ibid., 222 49
Luthfi Assyaukanie, ―Pengantar dalam Bernard Hubertus Maria Vekle‖,
(47)
dengan orang-orang kafir londo, maka saat itu juga arti jihad menjadi jelas, sebagaimana pernyataan Vekle:
―Kejatuhan Mataram, lebih-lebih Banten telah menyebabkan reaksi besar dalam dunia muslim Indonesia. Orang mulai berbicara tentang jihad melawan orang kafir. Laut Jawa dibuat tidak aman oleh sekelompok perompak Melayu Minangkabau yang menyebut dirinya Ibn Iskander (Keturunan Iskandar Agung) dan seorang Nabi
Islam‖.50
Wacana jihad ini dengan segera mengobarkan semangat juang penduduk pribumi, umat Islam yang merasa tidak puas juga turut terpancing untuk terlibat dalam gerakan-gerakan jihad. Belanda harus benar-benar bekerja keras untuk membasmi gerakan Jihad pribumi yang sudah terlanjur berkobar.
Di abad selanjutnya, di tahun 1880 an perang Jawa (Diponegoro) lagi-lagi membuat trauma wong-wong londo. Hingga akhirnya mereka berupaya untuk mengundang Christian Snouck Horgronje, seorang profesor studi Islam di universitas Leiden, untuk melakukan studi menyeluruh tentang Islam di Indonesia.51 berkat jasa Christian Snouck dalam mengkaji Islam mampu
meluluhkan ketakutan wong-wong Londo terhadap orang-orang Islam, namun
demikian taktik yang digunakan semakin menggelisahkan warga pribumi karena strategi yang digunakan bukan lagi secara terang-terangan melainkan menggerogoti kesatuan Indonesia dari dalam.
50
Ibid., xxi
51
(48)
Berlanjut hingga pada abad ke-19, pada akhirnya jihad kembali
diserukan pada masa KH. Hasyim Asy‘ari. Di mana saat itu kondisi pribumi masih tetap sama seperti abad-abad sebelumnya. Belanda tidak pernah lelah melumpuhkan sistem pemerintahan Indonesia baik dari segi sektor ekonomi, industri, pendidikan, sosial bahkan dalam tatanan pemerintahan.
Peristiwa bermula dari kegelisahan Presiden Soekarno, yang melihat kedatangan tentara sekutu di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di tanah air, yang hendak merebut kedaulatan NKRI. Di mana saat itu Indonesia belum genap berusia satu bulan. Sebagai Negara baru, harga tawar Indonesia sangat lemah. Mengingat infrastruktur pemerintahan termasuk badan kemiliteran sangat terbatas. Kemungkinan terburuknya adalah dengan perlawanan dari rakyat dari seluruh sudut kota di Indonesia. Namun untuk menggerakkan rakyat agar mengangkat senjata, Bung Karno masih merasa kebingungan.52
Pergerakan ini bukan hanya sekedar hentakkan kaki dengan teriakan emosi namun sejatinya juga didasari dengan adanya beban mental untuk berani berkorban dan rela mati. Yang menjadi pertanyaan saat itu adalah siapa yang mampu secara sukarela menyerahkan nyawa demi Bangsa dan Negara, mengingat di satu sisi Indonesia juga miskin senjata. Berharap pada politisi tentu pengaruhnya sangat kecil. yang bisa berjuang tanpa pamrih itu tidak lain adalah para Kiai. Bung Karno sempat ragu, perang dalam Islam hanya
52
Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad; Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949) (Tangerang: Pustaka Compass,2014), 156
(49)
dimungkinkan untuk membela agama bukan membela Negara. Terutama negara yang tidak berasaskan Islam. Namun atas seruan dari Panglima Soedirman, Bung Karno mengirimkan utusan khusus kepada Hadratus Syekh
KH. Hasyim Asy‘ari, Roisul Akbar NU di Tebuireng Jombang untuk meminta
KH. Hasyim Asy‘ari mengeluarkan fatwa mengenai hukum berjihad dalam membela Negara yang jelas bukan berasaskan Islam seperti NKRI.53
Awalnya ia menolak untuk diadakannya peperangan, namun setelah melihat banyaknya propaganda, hinaan, kekejaman, serta perampokan yang dilakukan gerakan ini menjadikan Indonesia kesusahan dalam bersatu untuk bersama mengusir penjajah. Bagaimana tidak, jauh dari harapan yang terjadi PKI tidak hanya berusaha untuk membinasakan kaum beragama melainkan justru bekerjasama dengan Belanda untuk menindas masyarakat Indonesia, khususnya para Kyai dan santri. Setelah diusut lebih dalam, PKI tidak hanya ingin memberantas Pondok Pesantren yang ada, melainkan juga untuk merebut kekuasaan negara sebagai upayanya dalam merubah negara agar menjadi Negara Komunis yang liberal dan imperialis.
Mengetahui akal bulus itu, KH. Hasyim Asy‘ari percaya penuh dengan
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sebab Ir. Soekarno sendiri bukanlah bagian dari PKI meskipun ia mendukung dan memberi peluang kepada gerakan ini untuk bersaing dalam pemilu tahun 1957. Namun jauh dari apa yang dipikirkan oleh masyarakat Indonesia, tujuan dari Ir. Soekarno
53
(50)
memberikan peluang tersebut adalah tak lebih hanya sekedar untuk menempatkan dirinya sebagai kepala negara sedangkan mereka adalah salah satu bagian dari negara meskipun memiliki pandangan yang berbeda.
Kebijakan itu ternyata dimanfaatkan oleh PKI untuk dapat dengan mudah menguasai Indonesia. Mengingat watak dan kebiasaan golongan PKI adalah melakukan pembantaian, perampokan, pembunuhan, serta perampasan hak milik warga dengan semenah-menah.54 Maka dengan alasan seperti itulah, KH. Hasyim Asyari mengumpulkan seluruh cabang NU Jawa-Madura di kantor pusat Ansor di Jl. Bubutan Surabaya, untuk membahas jihad melawan penjajah. Rapat dipimpin oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah, setelah KH. Hasyim Asyari memberikan amanat dalam rapat tersebut. Ia menyerukan kepada seluruh warga Indonesia khususnya warga NU apabila dengan adanya kebijakan dari Ir. Sukarno itu, masyarakat masih tetap mendapatkan perlakuan yang semenah-mena dari PKI maka wajib hukumnya umat Islam untuk bertindak tegas melakukan pembelaan terhadap hak-hak hidup mereka. Hampir semua tulisan NU menyebutkan bahwa perang melawan PKI merupakan bagian dari Jihad. Melalui diskusi yang panjang esok harinya, pada tanggal 22 Oktober 1954 berhasil dirumuskan keputusan yang dikenal
dengan ―Resolusi Jihad‖.
54 Abdul Mun‘im,
Benturan NU & PKI 1948-1965 (Depok: Langgar Swadaya Nusantara, 2013), 58
(51)
Tujuan dari dibentuknya fatwa ini adalah untuk membela Islam dan membela Negara serta melawan tentara sekutu yang hendak menjajah Indonesia kembali. Keputusan itu begitu tinggi dan mengikat. Bung Tomo melalui radio pemberontakannya, terus mengobarkan semangat juang yang
tinggi. Dengan diikuti Takbir ―Allahu Akbar‖, ia kobarkan semangat juang tersebut hingga api dan ruh fatwa jihad NU itu semakin terbakar. Bersama dengan para Laskar Hizbullah dan Laskar Sabilillah, serta laskar rakyat yang lainnya untuk menyerang dan mengusir para penjajah (tentara sekutu) dari tanah air Indonesia.55
Esensi ―Resolusi jihad‖ tidak pada tataran normatifitas agama, tetapi
lebih pada spirit jihad untuk membebaskan bangsa Indonesia dari cengkeraman kaki tangan penjajah. Hal itu senafas dengan pemikiran Farid Esack, menjadikan agama sebagai elan pembebasan.56
Sampai kini Resolusi Jihad yang dicetuskan pada tanggal 22 Oktober 1945 belum diakui keberadaannya dan tidak ditemukan naskah atau catatan tentang Resolusi Jihad NU dalam perspektif sejarah nasional Indonesia, padahal pemicu meletusnya peristiwa 10 November di Surabaya dan kota-kota lainnya, tidak lepas dari adanya Resolusi Jihad NU tersebut. Kenyataan tragis itu terjadi karena pada beberapa dasawarsa awal kemerdekaan kalangan santri
55
PCNU Surabaya, Kebangkitan Umat Islam dan Peranan NU di Indonesia
(Surabaya: Bina Ilmu,1980), 60-62
(52)
tidak punya ahli sejarah.57 Mengingat begitu bersejarah dan heroiknya resolusi jihad NU, para kader NU yang bergabung dalam keluarga besar NU, seperti GP Ansor, Muslimat, Fatayat, IPNU, dan IPPNU bermaksud menghidupkan kembali spirit ruh dari resolusi jihad NU dengan melalui beberapa kegiatan
yang bertajuk ―Kirab Resolusi Jihad‖.
Melalui kirab ini, para kader ingin memberikan seruan agar resolusi jihad harus diperingati setiap tahun untuk mengenang sejarah dan meneladani perjuangan ulama dan kiai NU dalam mempertahankan bangsa, negara dan agama dari ancaman musuh. Memberikan pesan kepada generasi muda agar mentransformasikan jihad di era globalisasi dengan berjihad membangun negeri, menghadirkan kesejahteraan, menebarkan rasa aman dan kedamaian serta kesatuan di bumi nusantara, dan meneguhkan kembali komitmen kebangsaan umat Islam di Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan NKRI serta pancasila sebagai sebuah kewajiban yang tidak boleh diabaikan.58
Pada abad ini, jihad juga dianjurkan oleh beberapa kalangan ulama seperti al Fatani. Ajaran al Fatani tentang jihad sepertinya mempunyai hubungan dengan gagasannya mengenai Negara Islam. Menurutnya Negara
Islam harus di dasarkan pada Al Qur‘an dan Hadist. Jika tidak maka ia akan
57
Salahuddin Wahid, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Wawancara, Jombang, 26 November 2014
58
Zainal Munasichin, Resolusi Jihad NU sejarah yang dilupakan (Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa, 2011), 57-59
(53)
dinamakan dengan negara kafir. Ia menyatakan bahwa jihad melawan orang kafir hukumnya fardu „ain dan jika suatu negara dijajah oleh orang kafir maka umat Islam wajib memerangi hingga memperoleh kemerdekaan kembali. Sedangkan jihad merupakan sarana untuk memperluas wilayah Islam yang berarti menundukkan orang kafir hanyalah fardhu kifayah.59
Lagipula di abad ke-20 ini, sistem politik jajahan Belanda mulai berubah. Pemerintah mendapat kecaman-kecaman dari ilmuwan Belanda sendiri, salah satu kritik yang dilontarkan melalui novel Max Havelaar pada tahun 1860, selain itu C. Th. Van Deventer pada 1899 menulis artikel dalam de Gids, sebuah jurnal Belanda dengan judul Een Eereschuld (suatu utang kehormatan). Dia menyatakan bahwa Belanda berhutang kepada bangsa Indonesia karena semua kekayaan yang telah diperas oleh mereka. Menurutnya, hutang ini seharusnya dibayarkan dengan cara memberi prioritas utama kepada kepentingan rakyat Indonesia dalam kebijakan kolonial.60
Politik etis tersebut membawa arah perubahan bagi masyarakat pribumi, hal ini terbukti dengan menjamurnya perkumpulan-perkumpulan, lembaga pendidikan bahkan media massa yang telah diterbitkan sendiri oleh masyarakat pribumi seperti SDI (Serikat Dagang Islam), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Sekolah Adabiyah, Sekolah Diniyah, dll
59
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara XVII-XVIII, 366
60
(54)
D. Jihad dalam Islam Menurut KH. Salahuddin Wahid.
1. Definisi Jihad menurut KH. Salahuddin Wahid.
Di tengah-tengah gemuru jihad yang ada di Indonesia saat ini. KH. Salahuddin Wahid kembali berusaha menguak Resolusi Jihad pertama (Pada
Masa KH. Hasyim Asy‘ari) dan megembangkannya dengan istilah Resolusi
Jihad Jilid II. Dimana serangan yang ditawarkan oleh KH. Salahuddin Wahid
berbeda dengan Resolusi Jihad KH. Hasyim Asy‘ari. Namun jika dipahami
dari segi akademik, apa yang dipahami KH. Salahuddin Wahid tak ubahnya
seperti apa yang telah dipahami KH. Hasyim Asy‘ari.
KH. Salahuddin Wahid berikut dengan KH. Hasyim Asy‘ari
memahami jihad adalah sebagai bentuk upaya pertahanan masyarakat terhadap serangan orang lain yang telah mendholiminya dengan cara merebut hak kemerdekaan yang dimilikinya dalam jarak radius 94 km. Jihad di Indonesia, menurut KH. Salahuddin Wahid dalam pengertian perang hanya terjadi pada masa perjuangan kemerdekaan yaitu perang melawan tentara Belanda yang dibantu Inggris pada tahun 1945 sampai 1949.61 Ulama NU yang waktu itu dibawah komando Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy‘ari mengeluarkan fatwa yang disebut Resolusi Jihad itu. Dengan isi dari Resolusi Jihad itu adalah :
1. Kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 wajib kita pertahankan.
61Salahuddin Wahid, Diskursus Pesantren …..
(55)
2. Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan, meskipun meminta pengorbanan harta dan jiwa.
3. Musuh-musuh Republik Indonesia, terutama Belanda yang datang dengan membonceng tugas-tugas tentara sekutu (Amerika-Inggris) dalam hal tawaran perang bangsa Jepang, tentu akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia. 4. Umat Islam terutama warga NU, wajib mengangkat senjata melawan
Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia.
5. Kewajiban tersebut adalah ―Jihad‖ yang menjadi kewajiban bagi tiap orang Islam (Fardhu Ain) yang berada dalam jarak radius 94 km (jarak
dimana umat Islam berhak melakukan sholat jama‘ dan qashar).
Adapun bagi mereka yang berada diluar jarak tersebut, wajib membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak 94 km tersebut. 62
Fatwa tersebut menggugah semangat pemuda muslim di seluruh Indonesia khususnya di Surabaya dalam perang melawan sekutu pada tanggal 10 Nopember 1945. Sebuah peristiwa yang kemudian dikenal dan diperingati sebagai Hari pahlawan. Sejarahwan Universitas Agustus Surabaya, Sam Abede Pareno, mengatakan bahwa perang 10 November 1945 lebih besar dari
(56)
perang Normandia dalam operasi Copras antara pasukan Hitler melawan sekutu pada tahun 1944.63
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa secara real Resolusi Jihad jilid I hingga kini kurang mendapatkan perhatian dari para sejarahwan, namun pada tahun 2012 Pesantren Tebuireng berhasil menerbitkan buku hasil penelitian tentang keabsahan peristiwa Resolusi Jihad itu. Sebuah buku yang mendapatkan sorotan positif dari dunia perfilman yang selanjutnya melahirkan film Resolusi Jihad dengan judul ―Sang Kyai‖.
Merujuk pada kondisi Indonesia saat ini, memberikan gambaran bagi KH. Salahuddin Wahid untuk tetap selayaknya berjihad. Ia berpandangan bahwa Indonesia hingga saat ini masih di jajah oleh kelompok kapitalis dan komunis yang berkedok kebangsaan. Hal ini terbukti dengan banyaknya kemiskinan pangan, sandang, dan moral bangsa. Padahal dari segi masa hampir 70 tahun Indonesia dinyatakan merdeka. Sebab itulah yang menjadikan KH. Salahuddin Wahid menawarkan beberapa pemikirannya mengenai jihad dewasa ini.
Berdasarkan situasi dalam kondisi masyarakat Indonesia saat ini, KH. Salahuddin Wahid mengupayakan masyarakat untuk tidak bertindak seperti ketika pada tahun 1945-1949. Menurutnya, Jihad di Indonesia masa kini harus dimaknai bukan jihad qital. Jihad adalah perjuangan yang sungguh-sungguh di
63
Nurul Arifin, ―Resolusi Jihad bentuk Komitmen Ulama atas NKRI‖, http://okezone.wordpress.com/2013/11/07/Resolusi-Jihad-bentuk-komitmen-ulama-atas-NKRI/ (Sabtu,24 September 2014,12:35)
(57)
jalan Allah dengan seluruh kemampuan, baik dengan harta, jiwa, lisan maupun yang lainnya. Jihad itu terutama ditujukan untuk membela kaum yang lemah, mustadh‘afin. Sebab baginya ketika suatu Negara tidak mampu membangun bangsanya seperti yang dicita-citakan bersama maka yang perlu dipertanyakan adalah susunan serta sistem kepemerintahannya. Bisa jadi dikarenakan kondisi personalnya yang serakah terhadap kedudukan dan komisi yang didapat. Demikian alasan KH. Salahuddin Wahid menawarkan beberapa tawaran jihadnya. Dengan berdasarkan pada firman Allah Q.S. An
Nisa‘ Ayat 75 :64
Artinya : “Dan mengapa kamu tidak mau berperang di Jalan Allah dan (membela) orang yang lemah,baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak yang berdo‟a, “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang penduduknya zalim. Berilah kami pelindung dari sisiMu dan berilah kami penolong dari sisiMu.””.
Sekali lagi, alasan utama KH. Salahuddin Wahid tidak mendukung adanya Jihad Qital saat ini adalah karena kondisi Indonesia yang tidak sedang dalam tawanan orang-orang kafir. Namun dari banyaknya fenomena yang ada tidak memungkinkan dia untuk tidak melakukan jihad seperti apa yang telah
(58)
diperintahkan Allah dalam Firman-Nya. Dia berupaya untuk tetap berjihad, yakni dengan melihat sudut pandang pemerintahan saat ini dengan tanpa menggunakan senjata atau turun ke medan perang, melainkan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). termasuk dalam hal memerangi korupsi, penegakan hukum, mencerdaskan bangsa dan keluar dari kemiskinan.
Jika beberapa golongan menganggap bahwa jihad dengan perang itu masih perlu untuk dilakukan, yakni dengan upaya pemberantasan orang-orang kafir (berbeda agama). Namun sebaliknya, KH. Salahuddin Wahid mempunyai anggapan lain mengenai mereka. Sebagaimana dasar pancasila yang telah final, akan kemajemukan yang ada bahwa Indonesia tidak hanya milik orang Islam melainkan juga seluruh bangsa yang basicnya beragam suku, bahasa dan budaya. Hanya yang perlu disayangkan oleh Pria kelahiran Jombang ini adalah dengan karut marutnya sistem tata Negara, sebab hasil amandemen Undang-undang yang hingga kini tidak sesuai dengan harapan rakyat Indonesia. Meski demikian, ia tidak menganggap semua amandemen UUD 1945 itu jelek.65
Hal ini diperkuat dengan pernyatannya ketika berusaha untuk mengamandemenkan UUD saat ini, ―tapi saya kurang setuju jika MPR seperti sekarang dan otonomi daerah sebaiknya cukup di tingkat Provinsi, dan pemilukada langsung cukup di tingkat Provinsi supaya kemudharatan bisa
65
(59)
dikurangi.‖ Menurutnya, semangat resolusi jihad dan Hari Pahlawan
seharusnya dijadikan cambuk untuk memperbaiki Negara. Sebab, dinamika politik saat ini sudah dapat dikatakan keluar dari batas-batas fungsinya.
Dukungan KH. Salahuddin Wahid akan memperbaiki Negara NKRI agar menjadi Negara yang benar-benar sesuai dengan fungsi Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika ini sangat penuh. Namun demikian ia tidak sedikitpun berfikir untuk mengubah Negara yang sudah final tersebut menjadi Negara khilafah. Hal ini ia lakukan mengingat akan kekhawatirannya terhadap Indonesia yang berideologi Pancasila tersebut menuai banyak konflik seperti negara-negara di Timur Tengah.
2. Target dan Sasaran Jihad KH. Salahuddin Wahid.
Sebagaimana yang tertuang dalam beberapa artikel serta khutbah KH. Salahuddin Wahid mengenai target dan sasaran jihadnya adalah pemerintahan yang orientalis. Berdasarkan pernyataan KH. Salahuddin Wahid dalam wawancara dengannya, ia begitu menggaris bawahi kondisi politik serta pemerintahan saat ini. Menurutnya, hakikat negara yang dari, oleh, dan untuk masyarakat saat ini kurang di galakkan oleh pemerintahan. Fenomena yang tampak justru pemerintah seolah-oleh menjadi aparat yang paling berkuasa dan harus disegani.66
66
Salahuddin Wahid, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Wawancara, Jombang, 05 Oktober 2014
(60)
Dari banyaknya pernyataan dan ungkapan KH. Salahuddin Wahid yang sering ia lontarkan dalam berbagai pertemuan, dapat disimpulkan bahwa sasaran jihad yang paling utama menurutnya ialah sekumpulan aparat pemerintah yang kurang amanat dalam menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya.
(61)
BAB III
LATAR BELAKANG KH. SALAHUDDIN WAHID DENGAN
KONDISI INDONESIA SAAT INI
A. Biografi KH. Salahuddin Wahid.
KH. Salahuddin Wahid yang akrab disapa Gus Sholah ini merupakan salah satu tokoh masyarakat yang telah lama dikenal sebagai sosok yang idealis dan memiliki komitmen tinggi untuk memajukan Indonesia ke depan. Putra ketiga dari 6 bersaudara pasangan KH. Wahid Hasyim (Ayah) dengan Sholichah (Ibu) dan adik kandung dari mantan presiden KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini selain seorang ulama, ia juga merupakan seorang aktifis, politisi, dan tokoh HAM (Hak Asasi Manusia). Sebagai tokoh ulama kelahiran Jombang, 11 September 1942,67 Gus Sholah pernah menjabat sebagai anggota MPR (Majlis Permusyawaratan Rakyat) pada masa awal reformasi pada tahun 1998 dibawah pimpinan Suharto.
Di tahun 2004, Gus Sholah pernah mencalonkan diri sebagai kandidat wakil presiden pada panitia pemilu saat itu. Namun langkahnya terhenti pada babak pertama, karena menempati urutan ketiga.
Dan untuk saat ini, tokoh yang disebut-sebut sebagai salah satu calon kuat Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada Muktamar ke-32 di Makasar. Gus Sholah dipercaya sebagai pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng
67
(1)
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan Dari keseluruhan uraian dalam skripsi ini maka dapat diambil kesimpulan yang merupakan gambaran menyeluruh dari hasil pembahasan, yang dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Menurut KH. Salahuddin Wahid, konsep jihad dalam Islam merupakan Bentuk upaya pertahanan masyarakat terhadap serangan orang lain yang dholim terhadap dirinya dengan cara merebut hak kemerdekaan yang dimilikinya dalam jarak radius 94 km. Jihad di Indonesia dalam arti perang, menurutnya hanya terjadi pada masa perjuangan kemerdekaan yaitu perang melawan tentara Belanda yang dibantu Inggris pada tahun 1945-1949. Dan merujuk pada kondisi Indonesia saat ini, memberikan gambaran bagi KH. Salahuddin Wahid untuk tetap selayaknya berjihad. Ia berpandangan bahwa Indonesia merdeka sudah 70 tahun yang lalu, namun nyatanya hingga kini Negara belum mampu menghasilkan masyarakat yang dicita-citakan. Hal ini bukan dikarenakan pancasila, melainkan kesalahan dari pemerintahannya yang sebagian besar serakah dan tidak adil. Ini merupakan bukti bahwa hingga saat ini Negara Indonesia masih dijajah oleh kelompok kapitalis dan komunis yang berkedok kebangsaan.
(2)
2. Konsep Jihad KH. Salahuddin Wahid serta relevansinya dengan konteks keindonesiaan saat ini, ditawarkan oleh dalam empat macam tawaran. Pertama, Mencerdaskan bangsa dengan cara mengembangkan kualitas pendidikan berbasis pesantren. Kedua, Mengejar ketertinggalan ekonomi Indonesia dengan memanfaatkan Sumber Daya Manusia agar lebih berkualitas. Ketiga, Melawan musuh Islam yang berusaha merusak generasi Bangsa dari dalam, khususnya tubuh Islam. Serta keempat, Menegakkan keadilan di Indonesia atas keserakahan pemerintah.
B.
Saran
Setelah menelaah dan memahami isi tawaran jihad KH. Salahuddin Wahid, tidaklah berlebihan jika penulis menyarankan atau mengingatkan bahwa :
1. Bagi Masyarakat.
Hendaknya kita sebagai manusia sosial dapat memahami perkara/ masalah tidak hanya perpacu pada satu pokok kebenaran saja. Ada banyak kebenaran lainnya yang dapat memicu seseorang untuk berpikir kritis. Dan yang menjadi pertanyaan adalah hasil dari kekritisan tersebut. Apakah bersifat positif atau negative? yang jelas kita sebagai masyarakat harus benar-benar spesifik dalam memilah suatu pemikiran dengan kata lain kita tidak dapat mengonsumsi pendapat semua tokoh yang ada secara mentah-mentah.
(3)
2. Bagi kaum akademik.
Dari sekian banyaknya tawaran yang dilontarkan KH. Salahuddin Wahid masih terdapat beberapa kekurangan, salah satu diantaranya mengenai tawaran KH. Salahuddin Wahid untuk melancarkan pendidikan berbasis pesantren, namun demikian mengenai cara pembelajaran ala pesantren di sekolah-sekolah umum masih belum dijelaskan secara gamblang. Untuk itu, perlu kiranya bagi peneliti yang akan datang dapat melanjutkan penelitian tentang hal tersebut.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
KELOMPOK SUMBER BUKU:
‗Ala Maududi, Abul , Hasan Al Banna, dan Sayyid Quthb, 1984. Jihad (Perang Suci Islam). Bandung: Risalah Bandung
Yasir, Ali. 2005. Jihad Masa Kini. Jakarta pusat: Darul Kutubil Islamiyah Abidin, Zainal. 2011. Pengantar Filsafat Barat. Jakarta: Rajawali Pers Al Banna, Gamal . 2006. al Jihad. Jakarta: Mata Air Publishing
Arifin, Imron. 2010. Kepemimpinan Kyai Dalam Perubahan Managemen Pondok
Pesantren: Kasus Ponpes Tebuireng Jombang. Yogyakarta: CV. Aditya Media
Assyaukanie, Luthfi. 2008. ―Pengantar dalam Bernard Hubertus Maria Vekle”, Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: Gramedia
Aziz Schedina, Abdul. 1990. The Development of Jihad in Islamic Relevation and History, Islamic Council of Europe. London
Berry, David. 2003. Pokok-pokok Pikiran Dalam Sosiologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Dematra, Damien. 2011. Mahaguru; Kisah Hidup KH. Hasyim Asy‟ari . Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Gaus AF, Ahmad. 2010. Api Islam Nurcholis Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner. Jakarta: Kompas
(5)
Jansen, 1980. Militan Islam. London and New York
M. Noor, Rohinah. 2010. KH. Hasyim Asy‟ari Memoderisasi NU dan Pendidikan Islam Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu
Ma‘arif, Syamsul. 2005. Pendidikan Pluralisme di Indonesia. Jogjakarta: Logung Pustaka
Mansur, Sutan. 1982. Jihad. Sumatra: Panji Masyarakat
Milal Bizawie, Zainul. 2014. Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad; Garda Depan
Menegakkan Indonesia (1945-1949). Tangerang: Pustaka Compass
Mubarraq, Zulfi. 2011. Tafsir Jihad: Menyikap Tabir Fenomena Terorisme Global. Malang: UIN Maliki Press
Mufrodi, Ali . 2010. “Islam di Kawasan Kebudayaan Arab”. Edisi Revisi Surabaya: Anika Bahagia
Mun‘im, Abdul . 2013. Benturan NU & PKI 1948-1965. Depok: Langgar Swadaya Nusantara
Munasichin, Zainal. 2011. Resolusi Jihad NU sejarah yang dilupakan. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa
PCNU Surabaya, 1980. Kebangkitan Umat Islam dan Peranan NU di Indonesia Surabaya: Bina Ilmu
Qardhawi, Yusuf.2010. Fiqih Jihad: Sebuah KArya Monumental Terlengkap Tentang
Jihad Menurut Al Qur‟an dan Sunnah. Bandung: Mizan
(6)
Rohinah M. Noor, 2010. KH. Hasyim Asy‟ari Modernisasi NU dan Pendidikan Islam. Jakarta Selatan: Grafindo Khazanah Ilmu
Salendra, Kasjim. 2009. Jihad dan Terorisme Dalam Perspektif Hukum Islam. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI
Setiawan, Zudi. 2007. Nasionalisme NU. Semarang: CV. Aneka Ilmu
Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Ar—Rahiqul Makhtum, Syaik. 2010. Bahtsun fi al Sirah al Nabawiyah ala Shahibiha afdhali al-Shalati Wassalam. ter. Kathur Suhardi kedalam bahasa Indonesia menjadi Sirah Nabawiyah. Jakarta: Pustaka al-Kautsar
Shihab, M.Quraish. 2005. Wawasan Al Qur‟an: Tafsir Maudu‟I atas Berbagai Persoalan Umat. Vol.I. Bandung: Mizan
Solikin, Muhammad. 2009. The Power of Sabar. Jakarta: Tiga Serangkai
Sulastomo, 2014. Cita-cita Negara Pancasila. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara Wahid, Salahuddin. 2010. Menggagas NU Masa Depan. Jombang: Pustaka Tebuireng
Warson Munawwir, Ahmad. 1984. Kamus Bahasa Arab-Indonesia. Yogyakarta: Al Munawwir
Yatim, Badri. 2006. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Pitono, Djoko dan Kun Haryono. 2010. Profil Tokoh Kabupaten Jombang. Jombang: Pemerintah Kabupaten Jombang