KH. Abdul Wahid Hasjim : studi analisis tentang pemikiran, kiprah, dan perjuangan

(1)

KH. ABDUL WAHID HASJIM;

STUDI ANALISIS TENTANG PEMIKIRAN, KIPRAH DAN PERJUANGAN

Oleh:

RIKY HARYANTO NIM: 9933216595

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul KH. ABDUL WAHID HASJIM; STUDI ANALISIS TENTANG PEMIKIRAN, KIPRAH DAN PERJUANGAN telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 24 2007. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S1) pada jurusan Pemikiran Politik Islam.

Jakarta, 7 Maret 2007

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Agus darmadji Dra. Wiwi Siti Sajaroh

NIP:150 241 817 NIP: 150 270 808

Anggota,

Penguji I Penguji II

Idris Thoha, MA Haniah Hanafi, MSi

NIP:150 317 723 NIP:150 299 932

Pembimbing

Dr. Sya’ban Muhammad NIP:150 316 239


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Ilahi, yang telah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua, sehingga kita diberikan nikmat yang tak terhingga. Atas sifat pemurah-Nya pula, penulis dapat merampungkan penulisan skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk memnuhi gelar kesarjanaan Strata Satu (S-1) di Universitas Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam tak lupa tetap tercurahkan kepada sang revolusioner dunia, Nabi Muhammad saw, yang telah merekonstruksi umat dari zaman kejumudan menuju era pencerahan.

Selanjutnya, perkenankanlah penulis untuk dapat mencurahkan terima kasih yang terkira kepada segenap pihak, seperti penulis paparkan di bawah ini, yang telah banyak membantu dalam upaya penyelesaian skripsi ini. Sebab penulis menyadari, tanpa bimbingan dan motivasi dari semua pihak, terasa sangatlah penulis mampu melewati rintangan ini.

Dengan penuh hormat, penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Amsal Bachtiar, MA., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Juga kepada Bapak Agus Darmadji, M. Fils., dan Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag., Ketua dan Sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam, yang selalu memberi motivasi dan semangat. Juga kepada Bapak Dadi Darmadi, MA., selaku pembimbing akademik.


(4)

Dengan penuh hormat, penulis haturkan terima kasih kepada Bapak Dr. Sya’ban Muhammad, yang masih menyempatkan waktunya membimbing penulis ditengah kesibukannya yang begitu padat.

Untaian terima kasih yang tak terhingga dan setulus hati penulis haturkan kepada Ayahanda Sutarwo dan Ibunda Endah Suarni. Kasih sayang, ketabahan dan kesabaran beliau selalu menyertai penulis di setiap waktu, yang tak henti-hentinya untuk selalu mendorong dan memberi semangat hidup. Juga kepada kakak-kakakku yang penulis cintai dan sayangi: Hendra Wijaya, Nanang Hindarto dan Cahyo Agus Purnomo. Keluarga adalah pemberi semangat dan inspirator bagi penulis.

Dengan penuh khidmat penulis ucapkan terima kasih kepada sahabat-sahabat seperjuangan di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Ciputat. Tak lupa penulis ucapkan banyak terima kasih kepada kawan-kawan PPI selama menempuh studi di kampus ini: Singgih, Arief, Akom, Ambon, Helmi, Toriq, Rifqi, Iqoh, Ayuk, dll. Juga kepada kawan-kawan di “Istana Kerinduan”: Dzay, Dicky, Abi, Ika, Heru, Tanjung, Dede, Aziz, Lulu, Uncle Sam, Anhoy, dll. Khususon penulis haturkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Wawan Saepul Bahri, Iis Supriyatna, Sayyid Nur Fattah, Doni Sinaro dan Rifki Ulfah, yang telah banyak berkorban dan memberi semangat serta dukungan, demi kemajuan penulis. Jasa kalian takkan pernah sirna oleh masa. Tak lupa penulis sampaikan kepada si Manis Rika Afsari yang telah memberi warna dalam hidup penulis, melalui semangat dan kasih sayangnya.


(5)

Tak lupa penulis haturkan terima kasih yang teramat dalam kepada para dosen beserta staf di Fakultas Ushuluddin, yang telah memberikan pencerahan pikiran kepada penulis sebagai jalan untuk menatap masa depan yang lebih baik. Juga tak lupa kepada Pimpinan dan Pegawai Perpustakaan Pusat dan Ushuluddin dan Filsafat.

Demikian secercah pengantar skripsi ini penulis sampaikan. Penulis berharap, gerak dan langkah kita dalam “mengais” ilmu tak pernah lekang oleh zaman. Amin….

Ciputat, 29 Januari 2007 M


(6)

KH. ABDUL WAHID HASJIM;

STUDI ALANILITIS TENTANG PEMIKIRAN, KIPRAH DAN PERJUANGAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 7

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ... 8

E. Sistematika Penyusunan ... 9

BAB II BIOGRAFI KH. ABDUL WAHID HASJIM ... 10

A. Riwayat Hidup ... 10

B. Pengalaman Pendidikan dan Keintelektualan ... 11

C. Pengalaman Berorganisasi ... 15

1. Wahid Hasjim dan Ikatan Pelajar Islam (IKPI) ... 15

2. Wahid Hasjim dan Nahdlatul Ulama (NU) ... 16

3. Wahid Hasjim dan al-Majlis al-Islam al-A’la al-Indonesia (MIAI) ... 18

4. Wahid Hasjim dan Masyumi ... 19


(7)

D. Wahid Hasjim Wafat ... 21

BAB III PEMIKIRAN, KIPRAH DAN PERJUANGAN KH. ABDUL WAHID HASJIM ... 22

A. Pemikiran KH. Abdul Wahid Hasjim ... 22

1. Aspek Pendidikan ... 23

2. Aspek Agama ... 28

3. Aspek Politik ... 31

B. Kiprah dan Perjuangan KH. Abdul Wahid Hasjim ... 41

1. Masa Pra Kemerdekaan ... 41

2. Masa Menjelang Kemerdekaan ... 48

3. Masa Sesudah Kemerdekaan ... 49

BAB IV PENUTUP ... 57


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Selama kurang lebih tiga ratus lima puluh tahun bangsa Indonesia dijajah oleh Kolonial Belanda disusul dengan tiga setengah tahun oleh Jepang telah meninggalkan banyak kenangan pahit bagi bangsa Indonesia. Perjuangan yang sangat berat telah dilalui oleh bangsa Indonesia dalam memperoleh kemerdekaan. Kemerdekaan dari berbagai bentuk penindasan dalam bentuk fisik maupun mental terutama penindasan yang dilakukan oleh para penjajah.

Penjajah yang begitu lama dialami oleh bangsa ini membuat lahirnya tunas-tunas bangsa yang berusaha memperjuangkan kemerdekaan negeri ini. Diskursus yang dikenal dengan nasionalisme ini, membangkitkan semangat masyarakat untuk membangun negara dengan harapan dapat dipimpin oleh orang pribumi sendiri. Bangkitnya semangat nasionalisme ini tidak terlepas dari peran Islam. Dengan kata lain, Islam secara tidak langsung memberi warna tersendiri dalam pergerakan nasional.1

Fenomena ini muncul seiring dengan berdirinya organisasi politik Islam pertama yang dikenal dengan Sarikat Islam (SI) pada tahun 1905. Gerakan ini berorientasi pada upaya melepaskan diri dari kungkungan penjajahan Belanda.

1

Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta : Paramadian, 1998), h. 62


(9)

Walau perjuangan dititikberatkan pada wilayah perdagangan, hal ini dikarenakan penjajah ketika itu mulai memonopoli perdagangan, hingga membuat kewalahan para pedagang pribumi. Di saat yang sama juga muncul gerakan Islam yang lebih bersifat kultural, namun memiliki orientasi yang sama seperti: Muhammadiyah, al-Irsyad, Persisi, Nahdlatul Ulama, dll.

Cita-cita agar negeri ini dipimpin oleh kalangan pribumi tidaklah menjadi hal yang mustahil. Berbagai gerakan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh pribumi ternyata mampu mengantarkan bangsa Indonesia menuju kemerdekaannya. Dengan memunculkan ide Islamisasi ataupun nasionalisasi mambuat rakyat bangkit dan berjuang untuk kemerdekaan negeri ini. Walaupun kemudian ide Islamisasi dan nasionalisasi ini menjadi polemik dalam mempersatukan negeri ini seperti perumusan dasar negara oleh BPUPKI (Badan Pelaksana Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), kemudia dikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter), yang disahkan pada tanggal 22 Juni 1945 oleh panitia yang terdiri dari 9 anggota, yaitu: Sukarno, Muhammad Hatta, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Achmad Subardjo, Kahar Muzakir, Muhammad Yamin, KH. Abdul Wahid Hasjim, Agus Salim dan A.A. Maramis.

Piagam Jakarta, yang hingga kini masih menjadi polemik, tetap menjadi suatu supremasi hukum terhadap tegaknya syari’at Islam bagi sebagian golongan. Namun bagi sebagian golongan, Piagam Jakarta merupakan bukti awal bahwa politik Islam terlihat sebagai ancaman ideologis.2 Pasca dihapusnya Piagam Jakarta, perseteruan mengenai dasar negara semakin meruncing. Terlihat dari

2

M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 25


(10)

pergolakan politik yang terjadi di masa orde lama, seperti pemberontakan yang terjadi di beberapa wilayah. Pergolakan yang hampir mengancam disintegrasi bangsa ini telah menjadi polemik yang berkepanjangan. Namun polemik ini tidak sampai membuat Indonesia gagal dalam mempertahankan kemerdekaan.

Sosok Bung Karno dan Hatta sebagai tokoh Proklamator memang sangat membanggakan bagi tercapainya cita-cita bangsa Indonesia. Namun tidak untuk mendiskreditkan kedua tokoh ini, perjuangan bangsa ini menuju kemerdekaannya tak telepas pula dari banyak sekali tokoh-tokoh lainnya yang telah memberikan sumbangsih demi tercapainya cita-cita bangsa ini yaitu kemerdekaan dari segala bentuk penjajahan.

Salah satu tokoh yang tak kalah pentingnya yaitu KH. Abdul Wahid Hasjim (selanjutnya disebut Wahid Hasjim). Beliau adalah tokoh yang sangat cerdas, tegas dan berani.

Sebagai tokoh yang ikut dalam perumusan Pancasila, Wahid Hasjim memandang bahwa Pancasila merupakan dasar negara yang perlu dipertahankan. Dengan kata lain, Hukum Islam tidak mesti harus diterapkan dalam suatu dasar negara, karena itu hukum Islam sudah termaktub dalam Pancasila.3 Menurutnya, hal itu bisa dilihat pada Ketuhanan Yang Maha Esa yang sesuai dengan tauhid dalam Islam.4

3

Andree Feilard, NU vis-avis Negara; Pencarian isi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta: LkiS, 1999), h. 40-41

4

Deliar Noer, Partai Islam Dipentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987), h. 41


(11)

Dalam perjalanan sejarahnya, Wahid Hasjim memang termasuk salah satu tokoh yang mengusulkan agar negara Indonesia harus berdasarkan Islam. Juga diusulkan agar negara Indonesia harus berdasarkan Islam. Juga diusulkan agar Presiden harus beragama Islam di samping asli bangsa Indonesia. Selain itu juga diusulkan bahwa agama negara adalah Islam. Tawaran yang diusulkan oleh kalangan Islam diterima oleh Soekarno saat itu. Namun karena kondisi saat itu tidak menguntungkan bagi upaya mempersatukan bangsa Indonesia yang baru saja merdeka, beberapa persoalanan yang berkaitan dengan wacana Islam diperbincangkan kembali.

Dari kontek ini, terlihat bahwa Wahid Hasjim termasuk orang yang gigih memperjuangkan dasar negara yang berlandaskan pada syari’at Islam. Namun, bagi beliau Islam bukan harga mati.5 Hal itu terlihat ketika Piagam Jakarta ternyata tidak digunakan, beliau dengan lapang dada menerima usulan yang ditawarkan Mohamad Hatta.6

Pada masa sebelum kemerdekaan beliau betul-betul mampu tampil sebagai politisi yang handal dengan berhasil mengelabui pemerintahan Jepang. Walaupun beliau wafat pada usia yang masih muda nanum beliau adalah tokoh yang sempat mencicipi tiga jaman, yaitu jaman pergerakan nasional, jaman revolusi hingga jaman pemulihan kedaulatan.

5

Azyumardi Azra dan Umam Saiful, ed., Menteri-menteri Agama RI; Biografi Sosial Politik, (Jakarta : PPIM, 1998), h. 111

6

Hatta mengusulkan agar rumusan yang memuat Islam secara eksplisit supaya dihapus dari pembukaan dan batang tubuh UUD. Hal ini dikhawatirkan dapat memecah kesatuan negara yang baru berdiri, khususnya bagi penduduk Indonesia bagian timur yang tidak ingin bergabung jika Indonesia berdasarkan Islam. Lih. Deliar Noer, Muhammad Hatta: Biografi Politik, (jakarta: LP3ES, 1990), h. 256-257


(12)

Sosok Wahid Hasjim yang merupakan tokoh kelahiran pesantren akan tetapi memiliki pemikiran yang moderat. Beliau melakukan pembaharuan dalam berbagai bidang, baik dari bidang pendidikan yang dapat dibuktikan dengan perombakan sistim pendidikan pesantren Tebuireng yang didirikan oleh ayahnya KH. Hasjim Asy’ari yang semula hanya mempelajari ilmu agama dengan memasukkan pendidikan umum ditambah dengan pengetahuan bahasa yaitu Arab, Inggris dan Belanda, maupun bidang politik dengan menunjukkan sikap terbuka dalam menerima Pancasila sebagai idiologi negara ini, meskipun pada dasarnya ia sangat menginginkan negara Islam, karena beliau adalah salah satu perumus Piagam Jakara. Penerimaan ini juga dikarenakan dalam kacamata beliau di dalam Pancasila terdapat nilai-nilai Islam yang sangat kental ditambah lagi harus berhadapan dengan realitas bahwa negara Islam tidak dapat direalisasikan di negara yang baru merdeka ini.

Sikap moderat beliau dapat juga dilihat, ketika Bung Karno mengangkat beliau yang berlatar belakang pesantren menjadi meteri Agama pertama, padahal Bung Karno adalah tokoh nasionalis yang sangat kental terlihat dari Partai Nasionalis (PNI) yang beliau jadikan sebagai kendaraan politiknya.

Kembali ke masa Wahid Hasjim di era Pergerakan Nasional. Sebelum beliau terjun ke dunia politik beliau memulai pergerakannya dari jalur pendidikan, barulah setelah merasa mapan dalam memilih dan memilah partai yang akan ia masuki, ia memulai karir politiknya dengan membawa Nahdlatul Ulama (NU) ke dunia Politik. Beliau menjadikan NU sebagai wadah pengepakan sayap politiknya


(13)

dengan berbagai alasan dan penegasan seperti ucapan beliau dalam sebuah ceramah:

Terus terang, saya uraikan di sini; bahwa perhimpunan-perhimpunan atau partai-partai di waktu itu saya pandang tidak memuaskan. Perhimpunan A. kurang radikal, Partai B. kurang pengaruh, Partai C. kurang banyak kaum terpelajarnya, Partai D. kurang jujur pimpinannya. 1001 kukurangan-kekurangannya di dalam pandangan saya.7

Pada masa karirnya di dunia politik inilah beliau banyak mendapatkan rintangan, terutama dengan berhasilnya Jepang menduduki Indonesia secara keseluruhan pada tahun 1942. Jepang pada tanggal 8 Maret 1942 memberikan larangan untuk mengadakan berbagai bentuk rapat pergerakan disusul dengan keputusan pada tahun 20 Maret 1942 yang berisikan pembatasan setiap bentuk pergerakan. Semua partai politik serta segala bentuk dan alirannya dilarang berdiri bahkan yang telah berdiripun dibubarkan. Pada masa ini kehidupan berpolitik dan beragama mengalami penurunan drastis karena Jepang dengan sistem pemerintahan militer bersikap diktatator dengan tidak memberi ruang sama sekali bagi tokoh pergerakan bangsa ini untuk bergerak. Meskipun pada tanggal 15 Juli 1942 larangan ini diperlunak dengan meberikan ruang untuk mendirikan perkumpulan dan melakukan berbagai rapat tetapi tetap tidak diperkenankan mendirikan perkumpulan dan melakukan rapat-rapat yang berkenaan dengan pergerakan politik.8 Namun pada masa ini Jepang masih berusaha mengambil hati umat Islam, dengan cara menghidupkan kembali Majlis Islam A’la Indonesia,

7

Sebagaimana dinukil dari mukaddimah dari salah satu ceramah almarhum Wahid Hasjim oleh H. Aboe Bakar dalam buku Sedjarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar, (Jakarta : Panitia Buku Peringatan alm. K.H.A. Wahid Hasjim, 1957). H. 739

8

Susanto Tirtoprodjo, Sedjarah Pergerakan Nasional Indonesia, (Jakarta : PT. Pembangunan, 1984), h. 56


(14)

yang pada tanggal 24 Oktober 1943 namanya diganti menjadi Majlis Syuro Muslimin Indonesia yang disingkat menjadi Masyumi9 yang diketuai oleh KH. Hasjim Asy’ari, sedangkan putra beliau Wahid Hasjim ditugaskan untuk mengasuh pesantren Tebuireng. Akan tetapi meskipun beliau mengasuh pesantren bukan berarti membuat ruang gerak beliau dalam dunia politik menjadi terhambat. Bahkan kemampuan berpolitik beliau lebih terlihat jelas. Hal ini dapat dilihat dengan berhasilnya beliau menggalkan upaya Jepang untuk menjadikan Masyumi sebagai senjata untuk kemenangan Asia Timur Raya. Wahid Hasjim malah mengarahkan Masyumi untuk melakukan aktivitas-aktivitas pergerakan Islam di Indonesia.

Dari wacana yang telah dipaparkan di atas, penulis tertarik untuk menganalisa lebih jauh mengenai perjuangan KH. Abdul Wahid Hasjim. Karenanya penulis mencoba membuat skripsi ini dengan judul: “KH. Abdul Wahid Hasjim; Studi Analisis Tentang Pemikiran, Kiprah dan Perjuangan”.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian skripsi ini adalah:

1. Memperoleh pemahaman utuh mengenai perjuangan politik Wahid Hasjim.

2. Untuk mengetahui lebih dalam pemikiran Wahid Hasjim

9


(15)

3. Untuk memenuhi tugas akademik yang merupakan syarat dan kewajiban bagi setiap mahasiswa dalam rangka menyelesaikan studi tingkat Sarjana Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dikarenakan pembahasan mengenai Wahid Hasjim sangatlah luas dan tidak memungkinkan untuk membahasnya dalam skripsi ini, maka penulis mencoba membatasi persoalan ini pada pemikiran dan perjuangan Wahid Hasjim pada masa pra kemerdekaan atau masa Pergerakan Nasional.

Adapun perumusan masalah ini, penulis merangkumnya dalam dua pertanyaan:

1. Bagaimana Pemikiran Wahid Hasjim?

2. Bagaimana Kiprah dan Perjuangan Wahid Hasjim?

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

Dalam membahas permasalahan di atas, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research), dengan jalan mencari dan mengumpulkan data-data tertulis melalui buku-buku maupun literatur lain yang terkait dengan pemikiran Wahid Hasjim.

Dari penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif analitis. Deskriptif digunakan agar mampu memahami dan memberikan gambaran yang


(16)

obyektif mengenai perjuangan dan pemikiran Wahid Hasjim. Analitis dipakai agar penulis dapat menyusun skripsi ini dalam bentuk yang sistematis sehingga mengena sasaran.

Dari segi teknis penulisan, skripsi ini merujuk pada buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Logos tahun 2004 cetakan ke-2.

E. Sistematika Penyusunan

Untuk mempermudah pembahasan, skripsi ini disusun secara sistematis melalui bab dan sub bab dengan membagi pembahasan menjadi lima bab yang secara garis besar diuraikan sebagai berikut:

Bab pertama, berisikan Latar belakang masalah, Tujuan Penelitian, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Metode Penelitian dan Teknik Penulisan sera Sistematika Penulisan.

Bab kedua, membahas tentang biografi singkat KH. Abdul Wahid Hasjim dengan sub bab: riwayat hidup, pengalaman pendidikan, pengalaman intelektual, Pengalaman Berorganisasi dan Wafatnya Wahid Hasjim

Bab ketiga, membahas tentang Pemikiran, Kiprah dan Perjuangan KH. Abdul Wahid Hasjim dengan sub bab: Pemikiran KH. Abdul Wahid Hasjim yang meliputi aspek pendidikan, agama dan politik. Kiprah dan Perjuangan KH. Abdul Wahid Hasjim yang meliputi masa pra kemerdekaan, masa menjelang kemerdekaan dan masa sesudah kemerdekaan.


(17)

Bab keempat adalah Penutup yang berisikan kesimpulan yang diambil berdasarkan perumusan masalah dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya serta daftar pustaka.


(18)

BAB II

BIOGRAGI KH. ABDUL WAHID HASJIM

Wahid Hasjim lahir dan dibesarkan di lingkungan yang berlatar belakang pesantren tradisional. Namun latar belakang pendidikan tradisional ini tidak membuat ia larut dalam kehidupan yang membesarkannya ini. Beliau melakukan perubahan baik dari segi pendidikan maupun politik. Baik dalam dunia pendidikan maupun politik beliau tampil sebagai sosok pembaharu. Segala sikap, perjuangan dan pemikiran beliau menjadi perhatian publik yang pada akhirnya membuat nama beliau tercatat dalam sejarah sebagai salah seorang tokoh penting di negeri ini. Dalam bab ini akan dipaparkan biografi beliau mulai dari lahir hingga wafatnya.

A. Riwayat Hidup

Nama lengkap beliau adalah Abdul Wahid Hasjim. Beliau lahir di desa Tebuireng Jombang, Jawa Timur pada tanggal 1 Juni 1914 M. bertepatan dengan 5 Rabiul Awal 1333 H. buah perkawinan dari KH. Hasjim Asy’ari dengan Nayi Nafiqah.

Kalau ditelusuri, garis keturunan baik dari ayah maupun ibunya masih memiliki hubungan kekeluargaan. Keduanya bertebu pada Lembu Peteng (Brawijaya VI). Dari pihak ayahnya melalui Joko Tingkir sedangkan dari pihak ibu melalui Kiayi Tarub I.


(19)

Pada awalnya Hasjim Asy’ari berniat memberikan nama buat putranya ini dengan mengambil nama dari neneknya yaitu Muhammad Asy’ari, akan tetapi konon nama itu tidak serasi dikarenakan bayi tersebut dianggap tidak tahan memikul nama itu. Oleh karena itu nama bayi ini diganti dengan Abdul Wahid, pengambilan dari nama datuknya. Sungguhpun demikian ibunya kerap memanggilnya dengan nama Mudin, sedangkan kemenakannya yang masih kecil menyebutnya Pak It.10

Beliau menikah pada tahun 1938 dalam usia kurang lebih 25 tahun dengan Solehah buah dari perjodohan oleh orang tua mereka. Sama seperti kedua orang tuanya, istrinya pun masih memiliki hubungan kekeluargaan dengannya. Sholehah adalah putri KHM. Bisri11 dengan istrinya bernama Siti Nur Chadjijah adik kandung dari KH. Abdul Wahab Chasbullah dan suadara sepupu dari KH. Hasjim Asy’ari. Pada awal perikahan mereka menetap selama kurang lebih 10 hari di Denajar lalu pindah ke Tebu Ireng hingga tahun 1942 pada masa pendudukan Jepang.

B. Pengalaman Pendidikan dan Keintelektualan

Ketika Wahid Hasjim masih dalam kandungan, ibunya Nyai Nafiqah merasa sangat lemah. Badannya tak berdaya dan tak bertenaga. Hingga pada suatu hari ibunya mengeluarkan kata-kata nazar: “Bila bayi dalam kandunganku ini

10

Aboe Bakar, Sejarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar, (Jakarta : Panitia Buku Peringatan alm. K.H.A. Wahid Hasjim, 1957), h. 139

11

KHM. Bisri adalah salah seorang ulama besar yang terkenal di Jawa Timur, pimpinan Pesantren Denajar di Jombang.


(20)

nanti lahir dengan selamat tiada kurang suatu apa, setelah badanku segar dan kuat kembali, akan bubawa ia menghadap kepada bekas guru ayahnya di Madura, yaitu KH. M. Cholil Bangkalan”. KH. M. Cholil adalah seorang ulama besar pada jamanya, seorang yang sangat salih dan zahid, sehingga oleh murid-muridnya sangat dicintai dan namanya disebut dengan Waliyullah KH. M. Cholil, dengan maksud hendak menunjukkan kehormatan dan ketaatannya.

Ketika bayi ini lahir dan ibunya sudah merasa sehat, maka ia menjalankan nazarnya untuk menemui KH. M. Cholil, namun konon kabarnya KH. M. Cholil menolaknya.

Selanjutnya pendidikan Wahid Hasjim langsung ditangani oleh ayahnya yaitu Hasjim Asy’ari. Pada usia 5 tahun beliau belajar membaca al-Qur’an, sambil bersekolah di waktu pagi di Madrasah Salafiah di Tebuireng. Pada usia 7 tahun ia belajar kitab Fath al-Qarib, Minhaj al-Qawim dan Mutammimah kepada ayahnya juga. Pada usia 12 tahun ia telah tamat dari madrasah dan mulai mengajar adiknya (A. Karim Hasjim). Pada masa itu ia giat mempelajari bahasa Arab dan sastra Arab. Akan tetapi pelajaran lebih banyak dengan cara muthala’ah dan membaca sendiri.

Pada usia 13 tahun ia pergi belajar ke Pondok Siwalan Pandji, Sidoarjo, di Pondok Kiyai Hasjim bekas mertuanya. Di sana ia mempelajari kitab-kitab Bidayah, Sulan al-Taufiq, Taqrib dan Tafsir Jalalain. Akan tetapi beliau belajar di sana tidak lama, hanya sekitar 25 hari. Pada tahun berikutnya ia mondok di Lirboyo Kediri, akan tetapi mondok yang kedua kali inipun hanya beberapa hari saja.


(21)

Umur 15 tahun ia baru mengenal huruf latin, dan dengan bersungguh-sungguh ia belajar bermacam-macam ilmu pengetahuan secara belajar sendiri. Sejak itu ia berlangganan “Penebar Semangat”, Daulat Rakyat, dan Pandji Pustaka”, sedang di luar negeri belangganan “Ummul Qura, Shaut Hijaza, al-Lathaif al-Musawwarah, Kullu Syaiin wa al-Dunya, dan al-Istnain”. Sejak itu pula ia belajar bahasa Belanda dan Arab dengan belangganan majalah Tiga Bahasa. Lalu setelah ia tamat mempelajari bahasa Arab dan Belanda lalu beliau belajar bahasa Inggris. Pada usia 15 tahun ini beliau benar-benar menjadi penggemar bacaan yang sesungguhnya dengan meluangkan waktu 5 jam seharinya.

Sebelum berangkat haji selama setelah bulan ia bekeliling untuk meninjau pondok-pondok pesantren. Di antara pondok-pondok pesantren yang didatanginya adalah Pondok Termas dan Jamsaren di Solo. Dan di antara kedua pondok ini yang paling banyak mendapat perhatian beliau adalah Pondok Jamsaren, terutama persatuan palajar-pelajarnya dan cara mereka menghargai tamu.

Pada tahun 1932 Wahid Hasjim berangkat ke Makah untuk menunaikan ibadah haji. Di tempat ini beliau tidak hanya sekedar menuaikan ibadah haji, namun kesempatan ini dipergunakan untuk memperlancar bahasa Arabnya, karena Makah memiliki dialek Quraisy yang merupakan bahasa al-Qur’an, hingga bahasa Arab tersebut sebagai bahasa al-Qur’an.

Pengalaman intelektual beliau yang pertama adalah mengajar adiknya sendiri yaitu A. Karim pada usia 12 tahun. Pada tahun 1930 bertepatan usia beliau 26 tahun beliau mengajar kitab al-Dur al-Bahiyahdan Kafrawi di muka


(22)

pelajar-pelajar pada malam hari, dan kadang-kadang beliau diminta untuk berpidato kalau kebetulan ada rapat umum.

Sepulang dari Makah tepatnya 1933, Wahid Hasjim mulai memasuki masyarakat dan mulai memimpin serta mendidik. Pekerjaan ini dimulainya dari dalam Pondok Pesantren Tebuireng. Dari ratusan pelajar yang ada di pesantren ini beliau memilih empat orang pelajar yang diasuhnya secara khusus. Keempat pemuda itu adalah: A. Wahab Turham dari Surabaya, A. Moghni Rais dari Cirebon, Meidari dari Pekalongan dan Faqih Hassan dari Sepanjang.

Wahid Hasjim merombak sistim pendidikan dan pengajaran pesantren dari semula berbentuk salafi belaka yang hanya mempelajari ilmu-ilmu agama dan dengan metode tradisional dengan memasukkan pelajaran umum serta bahasa yaitu Arab, Belanda dan Inggris dan dengan sistem pendidikan modern. Hal ini ia lakukan dikarenakan kenyataan di tengah masyarakat yang menganggap rendah para pelajar pesantren di banding pelajar Barat.

Pada tahun 1935 Wahid Hasjim membuka besar-besaran sekolah baru yang modern yang bernama Madrasah Nizhamiyah, suatu perguruan hasil ciptaan Wahid Hasjim sendiri, dengan cara dan daftar pelajaran yang belum pernah terjadi dan belum pernah orang berani menciptakan sebagai salah satu cabang pesantren Islam. Di samping pengajaran agama Islam, di dalam madrasah itu diadakan bidang-bidang pengetahuan umum, yang masih asing bagi dunia alim ulama ketika itu, di samping pengajaran dalam bahasa Arab, bahasa agama yang dianggap suci, diadakan pengajaran bahasa Belanda dan Inggris. Terobosan yang dilakukan oleh Wahid Hasjim membuat orang-orang tua masa itu menjadi


(23)

kebingungan karena bahasa-bahasa yang dipelajari adalah bahasa penjajah yang kerap menyulitkan dunia Islam, akan tetapi Wahid Hasjim berpegang teguh kepada sebuah hadis yang menyatakan: “barang siapa mengetahui bahasa suatu

golongan, ia akan aman dari perkosaan golongan itu”, dan pepatah bahwa,

bahasa itu adalah kunci ilmu pengetahuan.

Banyak kritik dan serangan yang diterima oleh Wahid Hasjim berkenaan dengan pembaharuannya, akan tetapi tidak dihiraukannya. Semua disambut dengan tenang dan ia berjalan dengan keyakinannya sebagai seorang idealis.

C. Pengalaman Berorganisasi

Pada tahun 1934, Wahid Hasjim pulang dari luar negeri. Pada masa ini banyak sekali permintaan dari berbagai perhimpunan-perhimpunan dan partai-partai Islam agar beliau masuk ke dalamnya, akan tetapi beliau tidak segera menerima permintaan tersebut.

Ada dua kemungkinan mengapa beliau tidak segera menerima permintaan dari berbagai perhimpunan dan partai politik, kemungkinan pertama adalah mendirikan partai sendiri sedang kemungkinan kedua adalah memasuki salah satu partai-partai Islam atau perhimpunan-perhimpunan yang telah ada.

1. Wahid Hasjim dan Ikatan Pelajar Islam (IKPI)

Setelah beliau menyelidiki partai-partai ataupun perhimpunan yang telah ada, tidak satupun yang dapat memuaskan beliau hingga 100%, semua partai dan perhimpunan yang ada terdapat kekurangannya, maka untuk tahap pertama pada tahun 1936 beliau


(24)

mendirikan perhimpunan kecil yang bernama Ikatan Pelajar-pelajar Islam (IKPI).12 Dalam perhimpunan ini beliau langsung bertindak sebagai ketua.

Dalam waktu singkat organisasi ini telah beranggotakan lebih dari 300 orang. Lalu ia mendirikan taman bacaan atau bibliotheek, yang menyediakan tidak kurang dari 500 buah buku bacaan untuk anak-anak dan pemuda. Kitab-kitab bacaan ini terdiri dari bahasa Indonesia, Arab, Jawa, Madura, Sunda, Belanda dan Inggris yang menjadi prestasi tersendiri bagi pesantren ini pada masa itu. Pada masa awal pergerakannya ini Wahid Hasjim telah menunjukkan langkah positif untuk memajukan pendidikan bagi pemuda-pemuda Islam. Terjunnya Wahid Hasjim dalam dunia pendidikan menunjukkan kepeduliannya terhadap ilmu pengetahuan.

2. Wahid Hasjim dan Nahdlatul Ulama (NU)

Setelah Jepang mengalahkan Sekutu lalu menduduki Indonesia, ketika itu Jepang melarang semua organisasi yang ada, baik yang bersifat politik maupun tidak. Dua organisasi yang diizinkan tetap beroperasi adalah NU dan Muhammadiyah. Perbedaan antara Jepang dengan penjajah sebelumnya yaitu Jepang memilih bekerjasama dengan tokoh-tokoh Islam untuk memperkuat posisinya dalam peperangan Asia Timur Raya. Sebab itu Jepang banyak memberikan

12


(25)

konsesi dan menggantikan posisi kalangan bangsawan dan priyai pada masa Belanda. Hal ini sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat Jepang yang menerapkan kebijakan memilih bekerjasama dengan kalangan agama di daerah-daerah yang didudukinya.13

Pada tahun 1938, Wahid Hasjim bergabung dengan Nahdlatul Ulama. Alasan yang dikemukakan beliau adalah tidak ada satupun pehimpunan-perhimpunan yang dapat memuaskan 100%, masing-masing ada kekurangannya, maka harus dipilih yang paling ringan kekurangannya. Pada awalnya beliau memakai ukuran keradikalan (ketangkasan dan kecepatan), namun ukuran ini tidak terdapat di dalam NU, karena NU menurut beliau adalah perhimpunan orang-orang tua yang geraknya lambat, tidak terasa, tidak revoluioner. Akan tetapi beberapa kenyataan tidak dapat dibantah, yaitu bahwa berbagai perhimpunan-perhimpunan selain NU selama kurang waktu 10 tahun baru memiliki 20 cabang yang letaknya berdekatan, sedangkan NU sudah menjalani hampir 60% wilayah Indonesia. Melihat kenyataan ini beliau mengenyampingkan ukuran radikalisme, beliau memandang bahwa yang terpenting bukanlah kegagahan di dalam berjuang, melainkan hasil dari perjuangan itu sendiri.14 Dari sini dapat dilihat gaya berpikir Wahid Hasjim, yang di satu sisi ia terlihat sebagai sosok yang tradisionalis yang tentuanya jalur perjuangan radikal adalah jalan

13

Azyumardi Azra dan Saiful Umam (e.d), Menteri Agama; Biografi Politik, (Jakarta : PPIM, 1998), h. 18

14


(26)

yang mungkin cocok buatnya, namun lebih condong kepada NU, dikarenakan ia melihat bahwa NU lebih memiliki prospek ke depan ketimbang organisasi lainnya.

Beliau memulai karirnya di NU dengan aktif sebagai penulis ranting Nahdlatul Ulama Cukir, lalu beliau diangkat menjadi ketua NU di Jombang, akhirnya padatahun 1940 beliau dipilih sebagai anggota Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bagian Ma’arif.

3. Wahid Hasjim dan al-Majlis al-Islam al-A’la al-Indonesia (MIAI)

MIAI merupakan gabungan dari perhimpunan-perhimpunan Islam yang berdiri atas prakarsa dari KH. Abdul Wahab, KHM. Mansur, KH. Ahmad Dahlan dan Wondoamiseno pada tahun 1937 M. MIAI dikenal dalam bahasa Indonesia dengan sebutan Majlis Islam Tinggi.15

Wahid Hasjim menjabat sebagai ketua Dewan MIAI hasil dari kongres kedua di Solo pada bulan Mei 1939 dan dalam sidang Pleno bulan September 1940. Beliau di sini merupakan utusan dari Nahdlatul Ulama. Pada masa Wahid Hasjimlah diadakan hubungan umat Islam Indonesia dengan umat Islam yang ada di Jepang. Lalu Wahid Hasjim mengadakan hubungan dengan GAPPI dengan tujuan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.

15


(27)

Pada tahun 1942 bertepatan dengan berakhirnya penajajah Belanda di Indonesia Wahid Hasjim melepaskan jabatan sebagai ketua MIAI dan PBNU dengan alasan disuruh membantu ayahnya yang sudah lanjut usia untuk mengurus pesantren yang santrinya tidak kurang dari 1500 orang anak. Dengan demikian beliau hany menjadi anggota biasa MIAI.

4. Wahid Hasjim dan Masyumi

Pada tahun 1942 terjadi perang Pasifik yang mengakibatkan Indonesia dikuasai oleh Jepang. Pada masa ini keadaan berubah drastis. Hal ini dikarenakan pemerintahan Jepang memakai sistem diktator dalam bentuk pemerintahan militer. Kebijakan yang diterapkan oleh Jepang adalah mematikan langkah para tokoh-tokoh pergerakan dengan cara melarang berdiri dan berkembangnya berbagai bentuk perhimpunan politik dan keagamaan. Larangan ini dikeluarkan pada tanggal 8 Maret 1942 kemudian dilanjutkan dengan peraturan tanggal 20 Maret 1942 yang membubarkan segala bentuk perkumpulan.

Namun pada tanggal 15 Juli 1942 Jepang memperlunak larangan tersebut namun kebijakan ini hanya berlaku untuk kegiatan non gerakan politik.

Untuk menarik perhatian umat Islam di Indonesia, Jepang pada tanggal 13 Juli 1942 menghidupkan kembali MIAI yang pada tanggal


(28)

24 Oktober namanya diganti menjadi Masyumi yang diketuai oleh Muhammad Hasjim Asy’ari, namun beliau tidak bisa aktif dikarenakan mengurus pesantren hingga akhirnya tugas-tugas beliau diserahkan kepada Wahid Hasjim.16

5. Wahid Hasjim dan Liga Muslim

Pada tanggal 5/6 April 1952 NU menyatakan memisahkan diri secara organisatoris dengan Masyumi. Hal ini dikarenakan perubahan yang dilakukan oleh Masyumi, yaitu kedudukan alim ulama di dalam Majlis Syuro yang semula memiliki peranan yang sangat penting di samping sebagai Dewan Partai serta mempunyai kedudukan sebagai badan legislatif, sejak kongres Masyumi di Yogyakarta pada tahun 1949 akhirnya posisi ulama hanya sebagai penasehat yang kian hari kian tergeser.

Maka pada tanggal 30 Agustus 1952 atas prakarsa dari Wahid Hasjim dibentuklah sebuah federasi yang bernama Liga Muslimin Indonesia yang beranggotakan Nahdlatul Ulama, PSII, Perti dan Darud Da’wah wal Irsjad.17 Dalam perhimpunan ini Wahid Hasjim diangkat sebagai ketua.

16

Abdul Aziz Masyhuri, Al Maghfullah KHM. Bisri Saymsuri Cita-cita dan Pengabdiannya, (Surabaya: Al Ikhlas, 1983), h. 158

17


(29)

D. Wahid Hasjim Wafat

Dalam tulisan Aboe Bakar dijelaskan bahwa pada hari minggu tanggal 19 April 1953, Wahid Hasjim melakukan perjalanan ke Sumedang karena hendak menghadiri acara rapat NU. Dalam perjalanan terjadi kecelakaan yang pada akhirnya merenggut nyawa beliau. Kejadian ini tentulah membuat bangsa Indonesia ketika itu terkejut. Sebuah berita yang tersiar melalui radio yang berbunyi: “K.H.A. Wahid Hasjim bekas Menteri Agama telah meninggal dunia dalam suatu kecelakan mobil di antara Cimahi dan Bandung. Jenazahnya sedang diusahakan untuk diangkut ke Jakarta dengan ambulance”.18 Kemudian keesokan harinya berita lengkap mengenai kejadian kecelakaan ini disiarkan di berbagai media masa ibu kota yang selengkapnya sebagaimana dikutip oleh Aboe Bakar:

…kemarin jam 10.30 pagi Kiai Wahid Hasjim telah meninggal dunia di Bandung sebagai akibat kecelakaan mobil yang terjadi kemarin dulunya, hari Sabtu siang di Cimindi antara Cimahi dan Bandung. Jenazahnya kemarin siang dibawa dengan ambulance kerumahnya di Taman Matraman Barat No. 8. Jakarta. Dan hari ini dengna pesawat terbang jenazahnya akan diangkut ke Surabaya untuk kemudian dimakamkan di kampung halamanya di Tebuireng, Djombang. Di antara yang turut mengantarkan jenazahnya dari Jakarta, di samping keluarganya, ikut pula Menteri Agama Fakih Usman, Kiai Masykur, Kiai Bisri dan Kiai Dachlan dari Pimpinan Nahdlatul Ulama”.19

18

Ibid., h. 291

19


(30)

BAB III

PEMIKIRAN, KIPRAH DAN PERJUANGAN KH. WAHID HASJIM

Untuk mengungkapkan aspek-aspek pemikiran Wahid Hasjim secara keseluruhan tidaklah mudah. Hal ini dikarenakan pemikiran-pemikiran Wahid Hasjim tidak tertuang dalam bentuk buku melainkan tersebar dalam tulisan-tulisan pendek yang terdapat di berbagai media masa, majalah dan ceramah-ceramah beliau. Akan tetapi kalau ditelusuri berbagai tulisan beliau yang tersebar, serta ceramah-ceramah beliau yang dikumpulkan oleh Aboe Bakar, secara garis besar dapat dilihat bahwa pemikiran beliau mencakup berbagai aspek, baik pendidikan, agama dan politik. Dalam bab ini penulis akan memaparkan mengenai pemikiran beliau tentang pendidikan, agama dan politik.

Sedangkan mengenai kiprah dan perjuangan beliau, dapat diikuti hingga tiga masa yang sangat bersejarah dalam proses berdirinya Republik Indonesia. Yaitu masa Pergerakan Nasional, masa memperbutkan kemerdekaan atau masa revolusi hingga masa pemulihan kedaulatan.

A. Pemikiran KH. Abdul Wahid Hasjim

Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa pemikiran Wahid Hasjim mencakup aspek pendidikan, agama dan politik. Ciri yang mungkin cukup langka


(31)

pada jamannya, karena banyak pada masa beliau hidup, tokoh-tokoh yang hanya terfokus pada salah satu aspek.

1. Aspek Pendidikan

Dari segi aspek pendidikan, Wahid Hasjim merupakan sosok yang tak luput dari pro dan kontra. Beliau memiliki cara pandang yang berbeda dengan orang tua beliau dan para mubaligh di jamannya. Padahal beliau sendiri adalah sosok yang berlatar belakang pesantren tradisional dan hidup di lingkungan yang sangat mempertahankan tradisi. Wahid Hasjim mengadakan perubahan yang signifikan di lembaga pendidikan pesantren salafi. Dan hal yang paling mengejutkan orang ketika itu ialah ketika ia memasukkan pelajaran umum dan merubah sistem pendidikan yang semula tradisionalis menjadi modern. Hal yang tidak berani dilakukan oleh para kiyai ketika itu.

Wahid Hasjim berpendapat bahwa selama di kalangan rakyat masih banyak yang buta huruf atau tidak bisa membaca dan menulis, maka rakyat akan tetap bodoh dan rusak seperti pada masa penjajah.20

Pendapat yang dikumukakan oleh Wahid Hasjim adalah sebagai pernyataan keprihatinan atas kenyataan yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia. Di mana beliau melihat dari segi sejarah yang dialami oleh bangsa ini yang begitu mudahnya dijajah oleh kolonialis disebabkan kebodohan bangsa ini sendiri.

20

K.H.A. Wahid Hasjim, “Perbaikan Perdjalanan Hadji, (Mimbar Agama, Agustus 1950), h. 16


(32)

Pada masa penjajahan belanda di Indonesia terdapat dua sistem pendidikan yaitu:

a. Sistem pesantren atau sistem lama yang hanya diberikan pelajaran-pelajaran agama semata.

b. Sistem Barat yang sekuler, yang tidak mengenal ajaran agama.

Dari kedua sistem yang ada ini tak dapat disangkal bahwa sistem pendidikan Barat ternyata lebih efisien.21

Perbedaan yang mencolok ini bukan membuat umat Islam ketika itu sadar dengan melakukan reformasi di bidang pendidikan, malah sebaliknya memusuhi sistem pendidikan ala Barat. Terdapat perbedaan yang mencolok antara kaum santri dan terpelajar. Santri yang hanya mengetahui ilmu-ilmu agama dan buta sama sekali mengenai ilmu pengetahuan umum, hingga para santri hidup seperti layaknya katak dalam tempurung.

Pendidikan Barat dicurigai karena berasal dari penjajah, sehingga dimusuhi dan akhirnya umat Islam semakin larut dalam kebodohan.

Wahid Hasjim memang bukanlah orang pertama yang memasukkan pelajaran umum di pesantren Tebuireng. Sebelumnya pejalaran umum telah diperkenalkan oleh menantu KH. Hasjim Asy’ari yang bernama Kyai Ma’sum yang dilakukan pada tahun 1916.

21


(33)

Kemudian pada tahun 1919 beliau memasukkan pelajaran ilmu bumi dan matematika. Selanjutnya pada tahun 1926 KH. Ilyas memasukkan pelajaran sejarah dan bahasa Belanda.22

Namun Wahid Hasjim belum melihat perubahan yang signifikan dalam pesantren Tebuireng. Beliau yang banyak dikenal memiliki ilmu pengetahuan agama dan umum serta mengetahui sistem pengajaran baik di dalam maupun di luar negeri masih melihat kekurangan dari segi pengetahuan umum di pesantren Tebuireng. Ia tidak ingin melihat para santri kedudukannya lebih rendah dalam masyarakat daripada golongan terpelajar Barat.23

Keprihatinan ini membuat ia mengusulkan kepada ayahnya untuk merubah sistem pengajaran di pesantren. Sistem yang pengajaran yang selama ini monoton diubah menjadi sistem tutorial yang sistematis dengan tujuan untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian para santri. Pada tahun 1950, Wahid Hasjim menjelaskan usul itu sebagai berikut: kebanyakan santri yang belajar di lembaga-lembaga pesantren bukan bertujuan untuk menjadi ulama. Mereka tidak perlu mempelajari kitab-kitab klasik dalam bahasa Arab, tetapi cukup mempelajari Islam yang ditulis dalam bahasa Indonesia, sedangkan waktunya yang lain lebih baik dipergunakan untuk mempelajari berbagai pengetahuan dan keterampilan praktis. Ia

22

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta : LP3ES, 1983), h. 104

23


(34)

berpendapat bahwa pengajaran kitab-kitab Islam klasik dalam bahasa Arab itu hendaknya terbatas kepada para santri yang memang akan dicetak menjadi ulama.24

Wahid Hasjim seakan menilai bahwa pengajaran kitab-kitab klasik yang berbahasa Arab memakan waktu yang cukup lama. Karena, dalam mempelajari kitab tersebut para santri harus terlebih dahulu mempelajari bahasa Arab yang meliputi Nahwu dan Sharaf serta Balaghah. Padahal ilmu-ilmu tersebut bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.25

Namun usul perubahan yang sangat radikal itu tidak diterima oleh ayahnya. Hal ini membuat ia mengambil inisiatif mengambil empat orang santri yang akan didiknya secara khusus mengenai pengetahuan agama dan umum. Dari percobaan itu hanya dua orang santri yang berhasil, yang satu menjadi anggota Pengurus Besar Nahdlatul Ulama bagian Ma’arif dan yang lain menjadi guru dalam salah satu sekolah Muhammadiyah, sedangkan yang dua lagi gagal karena tidak mampu memahami maksud dari Wahid Hasjim.26

Usulah pertaama yang ia ajukan kepada ayahnya untuk melakukan perubahan radikal di pesantren Tebuireng memang tidak diterima oleh ayahnya, namun tidak membuat niatnya untuk melakukan reformasi di bidang pendidikan menjadi surut. Pada tahun

24

Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren…, h. 105-106

25

Ibid.h. 106

26


(35)

1934 ia mengusulkan kepada ayahnya untuk mendirikan madrasah modern yang bernama “Nizhomiyah” di mana pelajaran umum diberikan sebanyak 70 persen termasuk bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Usul yang kedua ini ternyata diterima ayahnya.27

Mungkin inilah masa di mana Wahid Hasjim mendapat kritik tajam dari para kiyai ketika itu. Namun semua kritik yang dilontarkan ia terima dengan tenang.

Beliau memulai kelas baru dengan satu kelas dengan murid berjumlah 29 orang. Namun jumlah ini kian bertambah karena masyarakat mulai merasakan manfaat dari sistem pengajaran baru ini. Tujuan Wahid Hasjim tak lain adalah ingin mencetak kiyai intelek yang pandai agama dan ilmu pengetahuan umum.28

Pembaharuan yang paling mendapat perhatian utama adalah bahasa. Karena menurut beliau bahasa itu adalah kunci ilmu pengetahuan, ditambah lagi beliau berpegang kepada hadis nabi yang berbunyi: “barang siapa mengetahui bahasa suatu golongan, ia akan aman dari perkosaan golongan itu”.29

Kemudian untuk menunjang kemajuan di bidang pendidikan di madrasah Nidhomiyah, pada tahun 1934 Wahid Hasjim mendirikan perpustakaan yang di dalamnya terdapat 1000 judul buku yang sebagian besar buku-buku agama Islam ditambah dengan berbagai

27

Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren..., h. 106

28

Aboe Bakar, Riwayat Hidup..., h. 153

29


(36)

majalah yang diterbitkan oleh organisasi Islam modern, tradisional dan kelompok nasional.30 Pada generasi sesudahnya perpustakaan ini diberi nama dengan “Perpustakaan Wahid Hasjim”.

Pada tahun 1938, Madrasah Nidhomiyah ditutup, karena ia aktif dalam organisasi Nahdlatul Ulama. Namun, bukan berarti ini menjadi akhir dari keikutsertaan beliau dalam bidang pendidikan, beliau tetap melakukan pembaharuan di berbagai sekolah-sekolah Nahdlatul Ulama di seluruh Indonesia.

2. Aspek Agama

Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa Wahid Hasjim adalah seorang yang berlatarbelakang NU. Sebuah organisasi keagamaan yang berpaham Ahlussunnah wal Jama’ah (Sunny). Hidup di lingkungan keluarga yang mempertahankan tradisi pesantren salaf. Namun latarbelakang ini tidak sertamerta membuat beliau terkungkung dalam kejumudan berpikir.

Memang tidak mudah untuk mengungkap pemikiran beliau dari segi agama, karena sebagaimana dijelaskan bahwa pemikiran beliau tidak semua tersusun dalam sebuah buku, namun tersebar di berbagai media masa, ceramah-ceramah dan cerita yang berkembang. Dalam sub bab ini penulis hanya akan memaparkan sedikit tentang pemikiran

30


(37)

beliau mengenai keagamaan dikarenakan alasan yang penulis telah sampaikan.

Menurut Wahid Hasjim bahwa manusia itu pada dasarnya beragama. Dikatakannya bahwa manusia menurut pembawaannya tidak mungkin tidak beragama atau mempunyai kepercayaan.31 Dalam tulisan beliau yang lain juga terdapat kalimat senada yaitu:

“… achirnya harus diingat oleh manusia Indonesia, bahwa menurut pembawaannja, manusia tidak mungkin hidup dengan tidak mempunjai agama atau kepertjajaan”.32

Merujuk dari pendapat beliau di atas jelaslah bahwa manusia pada dasarnya beragama. Fitrahnya manusia tentulah beragama, sudah ada ikatan berupa ikrar yang diucapkan oleh manusia ketika ia masih di dalam kandungan berupa pengakuan terhadap ketuhanan Allah. Lebih lanjut lagi Wahid Hasjim menjelaskan:

“… sebenarnya orang yang anti Tuhan, yang menamakan dirinja materialisme tulen 24 karatpun, pada waktu lebaran Sjawal masih pergi membersihkan kuburan orang tuanya, atau di waktu dirinja merasa terantjam bahaja, masih djuga menjebut nama Allah.33

Lebih lanjut Wahid Hasjim menjelaskan:

…njatalah dari ini, bahwa orang jang telah meninggalkan (membuangkan) agama dan lalu menamakan dirinja tidak beragama itu pada hakikatnja bukanlah membuangkan agama,

31

K.H.A. Wahid Hasjim, Beragamalah dengan Sungguh-sungguh dan Ingatlah Kebesaran Tuhan, (Jakarta : Pertjetakan Kita, 1951), h. 6

32

K.H.A. Wahid Hasjim, Tidak Mudah Memenuhi Tuntunan Otak Jaitu dengan Meninggalkan Hawa Nafsu atau Mendjauhi Kebenaran”, (Mimbar Agama, VI dan VII, Djuni-Djuli, 1951), h. 4

33


(38)

melainkan mengganti agamanja jang lama dengan jang baru, jang namanja agama – tidak beragama.34

Jadi agama bagi beliau adalah sesuatu yang mutlak harus ada pada manusia, karena manusia itu pada dasarnya membutuhkan agama.

Namun Wahid Hasjim menjelaskan dalam beragama haruslah mengunakan akal, agar manusia yang beragama itu menjadi sempurna. Dalam hal ini beliau mengatakan bahwa Islam itu bagaikan bibit yang kuat yang bisa tumbuh dengan subur di tempat yang kering apalagi di tempat yang subur, karena Islam diturunkan berdasarkan wahyu Allah yang selaras dengan akal pikiran.35 Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa agama Islam tidak saja menghargai atau menghormati akal pikiran yang sehat, tetapi juga memerintahkan agar manusia itu berpikir, menyelidiki dan mengupas semua ajaran Islam.36

Dari uraian di atas jelaslah bahwa bagi Wahid Hasjim antara akal dan agama memiliki hubungan yang sangat kuat, akan tetapi dengan akal semata tidak cukup, karena kalau semata-mata akal saja hanya akan membuat manusia menjadi sombong, sebagaimana beliau menjelaskan:

Allah Maha Besar, manusia adalah makhluk jang dibuat Dia dalam keadaan lemah; dahulu mereka merasai kelemahanja itu, dan kini mengimbangi kelemahanja itu dengan kekuatan bautan

(kusmatig), lalu timbul pembalikan djiwa (konpensasi) dengan

perasaan sombong. Allah Maha Besar: Dia lalu menghukum manusia jang sombong itu dengan mentjabut ketentraman batinnja; dan karena itu timbul tjuriga mentjurigai antara sesama

34

Ibid.

35

K.H.A. Wahid Hasjim, Kebangkitan Dunia Islam, Mimbar Agama, III dan IV, (Maret – Aprilm 1951), h. 24

36


(39)

manusia, kemudian timbul persaingan dan perebutan hidup; dan setelah masing-masing tidak mau menjelesaikan perebutannja itu dengan dama, maka sepakatlah mereka untuk mentjari hakim jang dapat memberikan keputusan; sajang sekali hakim itu setelah datang untuk mengadili, ternjata ia tidak lain daripada Malaikat Maut, Izrail. Allah Maha Besar; marilah kita ingati kebesaranNja, agar dapat kembalilah ketentraman batin kita.37 Dari uraian ringkas di atas dapatlah ditarik kesimpulah bahwa pemikiran Wahid Hasjim mengenai agama merupakan pemikiran yang berdasarkan pada ilmu dan nalar yang sangat tajam. Pendapat beliau mengenai keharusan manusia beragama bukanlah sekedar pendapat yang tidak memiliki alasan karena beliau memberikan penjelasan dengan sangat jelas.

3. Aspek Politik

Aspek politik adalah aspek yang paling menonjol pada diri beliau, karena beliau sendiri di samping seorang tokoh agama beliau adalah seorang politisi yang handal. Dalam dunia politik beliau tidak hanya sekedar berbicara melainkan ikut terlibat dalam proses kemerdekaan RI hingga sesudah kemerdekaan.

Pemikiran beliau mengenai politik tercermin dari jiwa dan sikap beliau yang tegas. Karena latar belakang beliau adalah seorang agamawan, maka pemikiran beliau selalu berdasarkan kepada ajaran agama yang beliau pahami. Beliau adalah sosok yang sangat gigih ingin memperjuangkan Indonesia menjadi negara Islam.

37


(40)

Beliau adalah sosok yang kuat dalam pendiriannya. Jika ia telah menetapkan sesuatu pendirian maka ia akan bela pendirian itu mati-matian. Meskipun pendirian yang ia tetapkan itu menimbulkan reaksi berupa kritik dari lawan politiknya, namun tidak membuat ia mundur dalam pendiriannya. Jadi tak heran meskipun ia memiliki banyak pendukung akan tetapi tidak sedikit pula yang menentangnya.38

Namun demikian meskipun beliau adalah sosok yang keras dalam pendirian, segala bentuk pemikiran yang ia sampaikan serta bantahan yang ia lontarkan disampaikan dengan cara yang sportif, hingga orang-orang yang menentangnya hanya sebatas wacana tidak sampai menimbulkan benturan fisik.39

Sepintas Wahid Hasjim terlihat sebagai sosok yang konservatif, mungkin penilaian sementara ini dapat dilihat dari latarbelakang beliau sebagai seorang NU yang bepaham tradisionalis. Namun kalau diperhatikan lebih jauh lagi beliau adalah sosok yang sangat moderat, bahkan lebih jauh lagi oleh putra beliau Gusdur disebut sebagai sosok yang liberal.40 Pernyataan yang pada pada akhirnya membuat Gus Dur mendapat kritik tajam dari adik kandungnya yaitu Gus Sholah.41

38

Aboe Bakar, Riwayat Hidup., h. 209

39

Ibid.

40

Gus Dur dan Gus Sholah, K.H.A. Wahid Hasjim Dalam Pandangan Dua Putranya, (Jakarta : FNKS, 1998), h. 6

41

Mengenai perdebatan antara Gus Dur dan Gus Sholah, baca: K.H.A. Wahid Hasjim Dalam Pandangan Dua Putranya, (Jakarta : FNKS, cet. I November 1998


(41)

Salah satu ide beliau mengenai politik adalah lahirnya Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Untuk lebih jelasnya perlu kiranya penulis menjelaskan persoalan mengenai Piagam Jakarta, karena dari Piagam Jakarta inilah akan terlihat pemikiran politik Wahid Hasjim.

Piagam Jakarta lahir atas usulan Wahid Hasjim dan Kahar Mudzakir. Permasalah berawal dari persoalan ideologi negara. Terdapat dua kelompok yang sangat bersebrangan dalam melihat masalah ini. Kelompok pertama datang dari dari golongan kebangsaan yang disebut sebagai kelompok nasionalis sekuler yang menginginkan negara ini terlepas dari idioliogi agama. Sedangkan kelompok yang kedua yang dimotori oleh golongan agamawan muslim (nasionalis islami) menghendaki Islam sebagai dasar negara.42

Masing-masing kelompok ini memiliki argumen dengan latar belakang sejarah yang panjang. Kelompok pertama yang merupakan kelompok nasionalis berargumen bahwa perjuangan pergerakan bangsa dimulai oleh golongan nasionalis dengan berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 yang menurut golongan nasionalis sebagai organisasi modern pertama di tanah air ini.43 Budi Utomo merupakan akar sejarah yang melahirkan gerakan-gerakan nasionalis sekuler lainnya, seperti: Partai Nasionalis Indonesia (PNI) 4 Juli 1927, Partai

42

Endang Sefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Jakarta : CV. Rajawli, 1986), h. 3

43

A.K. Paringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta : Dian Rakyat, 1967), h. 1


(42)

Indonesia (Partindo) 26 Desember 1931, Partai Indonesia Raya (Parindra) 26 Desember 1935, Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) 24 Mei 1937.44 Sementara kelompok kedua yang diwakili golongan agamawan muslim mengajukan argumen dengan menjadikan Sarekat Islam yang berdiri pada tanggal 16 Oktober 1905 sebagai titik tolak pergerakan nasional, bahkan pergerakan telah dimulai pada awal abad ke-20 dalam bentuk pembelaan diri terhadap kekuasaan asing. KH. M. Isa Ansyary, seorang tokoh Masyumi, menekankan bahwa perjuangan dan peperangan untuk kemerdekaan Indonesia itu bukanlah dimulai pada generasinya; bukan juga hanya menyangkut pahlawan-pahlwan 10 November 1945, melainkan merupakan riwayat perlawanan ratusan tahun, yakni pada masa-masa Abdul Hamid Diponegoro, Imam Bonjol, Sultan Babullah Ternate, Teuku Tjik Di tiro, dan masih banyak lagi pahawan lain yang mana jihad dan perjuangan menjadi benang merah dalam sulaman sejarah di tanah air.45

Dari argumen yang dipaparkan oleh kelompok nasionalis sekuler dan nasionalis Islam di atas terlihat perbedaan dari sudut pandang menilai cikal-bakal lahirnya pergerakan nasional walaupun kedua kelmpok tersebut sama-sama mengemukakan argumen sejarah. Walau pada dasarnya terlihat golongan nasionalis di sini mengenyampingkan begitu saja peranan umat Islam sebelum lahirnya Budi Utomo. Padahal

44

Sebagaimana dikutip oleh Endang Saefuddin Anshari dalam Piagam Jakarta...h. 4

45


(43)

kenyataannya Budi Utomo lahir bukanlah atas dasar persatuan bangsa melainkah lebih pada perjuangan kesukuan seperti yang digambarkan oleh Harun Nasution:

Boedi Oetomo walaupun dianggap sebagai cikal-bakal gerakan nasionalis namun dalam perjuangannya gerakan ini tidak mengarahkan perhatiannya pada seluruh Indonesia, organisasi ini semata-mata merupakan suatu himpunan untuk seluruh Jawa, pandangan dan perhatiannya secara sosio-kultural hanya menarik penduduk Jawa Tengah, itupun terbatas pada orang-orang terpelajar dan ningrat.46

Sementara perjuangan umat Islam terdahulu yang perlu dicermati lebih mendalam lagi, yaitu pemersatuan berbagai suku. Menjawab argumen yang dikemukakan oleh kelompok Nasionalis M. Natsir memaparkan:

Pergerakan Islam pulalah yang pertama-tama merentas jalan di negeri ini bagi kegiatan poiltik yang mencita-citakan kemerdekaan, yang telah menebarkan benih kesatuan Indonesia, yang telah mengubah wajah-wajah isolasi pelbagai pulau dan juga roman muka provinsialis, yang juga pertama-tama menanamkan benih persaudaraan dengan orang-orang seiman sekeyakinan di luar batas-batas Indonesia.47

Lebih lanjut lagi Harun Nasution menjelaskan bahwa:

Islamlah terutama yang menciptakan pada diri mereka kesadaran berkelompok yang satu. Melalui Islamlah kelompok kesukuan yang berbeda-beda itu disatukan dalam satu masyarakat yang luas dan menyeluruh. Islam telah mampu mendobrak kekuatan nasionalisme lokal.48

Terlepas dari perselisihan mengenai cikal-bakal lahirnya pergerakan nasional, kenyataannya argumen tersebutlah yang pada akhirnya memunculkan konsep pemikiran mengenai Piagam Jakarta.

46

Sebagaimana dikutip oleh Endang Saefuddin Anshari dalam Piagam Jakarta...h.4-5

47

Ibid., h. 8

48


(44)

Piagam Jakarta lahir atas prakarsa panitia kecil yang dikenal dengan panitia sembilan. Panitia sembilan ini beranggotakan: Soekarnom Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Ahmad Soebardjo, Wahid Hasjim dan Muhammad Yamin. Panitia sembilan ini dibentuk setelah sidang Badang Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pertama berakhir pada tanggal 2 Juni 1945. Sidang BPUPKI beranggotakan sebanyak 62 orang yang termasuk delapan orang Jepang, seorang di antaranya menjadi wakil ketua.49 Selama persidangan terjadi perdebatan panjang hingga akhirnya setelah sidang berakhir 38 orang dari seluruh anggota mengadakan pertemuan, kemudian mereka membentuk panitia kecil yang terdiri dari sembilan orang.50

Selama sidang pertama BPUPKI pertentangan yang paling keras berasal dari pihak Soekarno sebagai pihak nasionalis sekuler sementara dari pihak nasionalis Islam adalah Kahar Muzakkir dan Wahid Hasjim.51

Soekarno adalah tokoh nasionalis yang menginginkan negara Indonesia berdasarkan kebangsaan dengan tidak memasukkan unsur agama, dengan kata lain memisahkan peranan agama dan negara yang lebih dikenal dengan istilah sekulerisme. Soekarno sebagaimana telah

49

Deliar Noor, Mohammad Hatta; Biografi Politik, (Jakarta : LP3ES, 1990), h. 219

50

Endang Saefuddin Anshari dalam Piagam Jakarta...h.30

51


(45)

diketahui bahwa yang menjadi idamannya adalah Indonesia bisa menjadi negara seperti Turki yang dipimpin Kemal Attaturk, sedangkan Kahar Muzakkir dan Wahid Hasjim adalah orang yang paling keras menginginkan Indonesia berasaskan Islam.52 Perdebatan mengenai arah negara ini yang pada akhirnya harus diselesaikan dengan pembentukan panitia kecil yang beranggotakan sembilan orang.

Panitia sembilan bertugas untuk mencari jalan tengah antara golongan nasionalis sekuler dan nasionalis Islam. Setelah melalui perdebatan panjang, maka diperolehlah hasil dari rapat panitia sembilan ini yang menyetujui sebulat-bulatnya rancangan naskah yang disusun oleh anggota-anggota panitia ini. Kesepakatan ini disampaikan oleh Soekarno dalam sidang paripurna Badan Penyelidik:

Allah Subhana wa Ta’ala memberkati kita.

Sebenarnya ada kesukaran mula-mula, antara golongan yang dinamakan Islam dan golongan yang dinamakan golongan kebangsaan. Mula-mula ada kesukaran mencari kecocokan faham antara kedua golongan ini, terutama yang mengenai soal agama dan negara, tetapi sebagaimana tadi saya katakan, Allah Subhana wa Ta’ala memberkati kita sekarang ini, kita sekarang sudah ada persetujuan.53

Selanjutnya Soekarno membacakan hasil rancangan panitia sembilan yang isinya:

“Pembukaan : Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan

52

Ibid.

53


(46)

Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka Rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemedekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia merdeka yang melindungin segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan negara republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan – perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.54

Dalam Piagam Jakarta di atas terdapat tuju kata “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang pada akhirnya menimbulkan pro dan kontra yang dapat berakibat disintegrasi bangsa. Tujuh kata ini adalah hasil kerja keras dari A. Kahar Muzakkir dan Wahid Hasjim.55 Dalam hal-hal yang bisa menjadi perbedaan pendapat ini kelihatan Hatta lebih memperlihatkan pendirian menengah agar tidak memperuncing keadaan.

Walaupun tujuh kata yang terdapat di dalam Piagam Jakarta telah disepakati oleh seluruh panitia kecil, namun sebagaimana disinggung di atas pada akhirnya tetap menimbulkan pro dan kontra,

54

Ibid., h. 31-32

55


(47)

alasannya karena tujuh kata tersebut dianggap menyakiti perasaan umat selain Islam.

Wacana ini muncul ketika Hatta didatangi seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang) yang mengatakan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam kawasan Kaigun sangat berkeberatan atas anak kalimat dalam Pembukaan UUD yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Walaupun pada dasarnya mereka tahu bahwa anak kalimat tersebut tidak mengikat mereka yang bukan beragama Islam. Untuk mengatasi permasalahan ini Hatta sebagai salah satu dari panitia kecil keesokan harinya pada tanggal 1 Agustus 1945 sebelum sidang Paniti Persiapan bermula mengajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasjim, Mr. Kasman Singodimendjo dan Mr. Teuku Hasan untuk mengadakan rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah pro dan kontra ini. Akhirnya diperolehlah kesepakatan untuk menghapus anak-kalimat tersebut dan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.56

Namun perlu dipaparkan bahwa mengenai kehadiran Wahid Hasjim dalam sidang mendadak yang diadakan oleh Hatta pada tanggal 18 Agustus 1945 ternyata menjadi tanda tanya. Hal ini karena pernyataan yang dilontarkan oleh Prawoto tentang kealpaan Wahid Hasjim, alasan yang dikemukakan oleh Prawoto adalah pada tanggal

56


(48)

18 Agustus 1945 Wahid Hasjim sedang dalam perjalanan ke Jawa Timur. Sementara Hatta dalam hal ini meyakini kehadiran Wahid Hasjim.57 Kalau memang Wahid Hasjim ketika itu tidak hadir, maka dalam hal ini perlu dipertanyakan posisi Wahid Hasjim, apakah beliau betul-betul menerima sepenuhnya hasil perubahan tersebut atau sebaliknya, mengingat sebelumnya beliau adalah orang yang paling keras memperjuangkan kalimat yang sarat nilai keislaman tersebut. Bahkan lebih jauh lagi Wahid Hasjim adalah orang yang memiliki cita-cita kuat agar Indonesia berdasarkan syari’at Islam. Atau penerimaan Wahid Hasjim terhadap perubahan pada Piagam Jakarta karena jiwa toleran beliau, apalagi dihubungkan dengan persatuan dan kesatuan bangsa.

Walau terdapat pro dan kontra mengenai kehadiran Wahid Hasjim dalam rapat tersebut namun jelaslah bahwa Wahid Hasjim adalah satu seorang tokoh muslim yang memiliki peranan penting dalam proses pembuatan Piagam Jakarta hingga perubahan yang terjadi dalam Piagam Jakarat tersebut.

Dari uraian mengenai perjalan Piagam Jakarta dapat dilihat bahwa Wahid Hasjim telah memberikan sumbangan sangat besar dalam pemikiran politik di Indonesia. Walau apa yang ia cita-citakan sebelumnya tidak sepenuhnya berhasil, namun Sila Ketuhanan Yang

57


(49)

Maha Esa merupakan hasil dari pengkajian terhadap Piagam Jakarta salah seorang pencetusnya adalah Wahid Hasjim.

B. Kiprah dan Perjuangan KH. Abdul Wahid Hasjim

Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa dalam perjalanan politiknya Wahid Hasjim walaupun tidak memiliki usia yang panjang, namun sempat melalui tiga masa paling bersejarah dalam negeri ini. Masa tersebut adalah masa Pergerakan Nasional yaitu masa sebelum kemerdekaan, kemudian masa memperbutkan kemerdekaan atau masa revolusi hingga masa pemulihan kedaulatan.

Dalam Sub bab ini akan dipaparkan mengenai perjuangan beliau pada tiga masa tersebut.

1. Masa Pra Kemerdekaan

Masa pra kemerdekaan adalah masa yang sangat sulit bangi umat Islam. Diskriminasi dan hegemoni datang dari pemerintahan kolonial baik Belanda maupun Jepang. Tidak heran kalau kondisi ini membuat bangkit putra-putri bangsa yang ingin segera melepaskan diri dari diskriminasi dan hegomoni tersebut.

Namun bangkitnya putra-putri bangsa bukanlah terjadi begitu saja. Karena keinginan untuk melakukan perjuangan tentulah tidak sekedar bebekal semangat dan keberanian, namun harus didukung dengan strategi matang. Di samping strategi yang matang, tokoh-tokoh bangsa juga memiliki peranan yang sangat penting, karena


(50)

tokoh-tokoh-tokoh inilah yang akan mengarahkan putra-putri bangsa dalam melakukan perjuangan melawan pemerintahan kolonial. Kita sebut saja Soekarno, Hatta serta sederetan nama yang begitu panjang yang menghiasi buku-buku sejarah perjuangan nasional. Salah seorang tokoh yang tak kalah penting dan yang menjadi perhatian khusus dalam tulisan ini adalah Wahid Hasjim. Beliau adalah sosok karismatik yang mampu mengantarkan putra-putri bangsa menuju kemerdekaan negeri ini. Meskipun kita tidak bisa melupakan begitu saja jasa-jasa yang diberikan tokoh-tokoh yang lain yang juga telah memberikan sumbangsih yang sangat berarti bagi negara ini.

Kiprah dan perjuangan Wahid Hasjim pra kemerdekaan sangatlah nyata, beliau memulai perjuangannya melalui dunia pendidikan yang berarti bagaimana bangsa ini terangkat derajatnya dari kebodohan hingga tidak lagi menjadi objek yang empuk bagi pemerintahan kolonialis.

Pendidikan yang direformasi oleh Wahid Hasjim, meskipun beranjak dari pesantren, namun sangatlah memberikan arti sangat besar, karena tidak dapat disangkal bahwa perjuangan kaum santri dalam pergerakan nasional sangat menonjol. Pendidikan politik diberikan oleh Wahid Hasjim supaya para santri tampil sebagai tokoh-tokoh yang tidak hanya pandai mengaji, melainkan tahu akan perkembangan jaman dan memahami politik serta pergerakannya.


(51)

Kemudian bergabungnya Wahid Hasjim di berbagai organisasi gerakan mungkin membuat mulus langkahnya dalam memperjuangkan kemerdekaan. Memulai gerakan dengan membentuk sebuah organisasi pelajar yaitu Ikatan Pelajar Islam (IKPI) yang dibentuk pada tahun 1936.58 dalam organisasi kecil ini beliau mulai mengajarkan dinamika pergerakan politik.

NU yang menjadi tempat ia bernaung semakin jelas memperlihatkan kiprah dan perjuangannya. Ditambah lagi ketika Gabungan Politik Indonesia (GAPI) pada tahun 1939 atas dukungan NU yang diketuai oleh Wahid Hasjim sendiri. Pada thaun 1940 pengurus NU melayangkan surat yang berisi tuntutan pencabutan pembatasan bagi guru dan juru dakwah Islam.59 Tuntutan ini membuat marah pemerintah Belanda. Keluarnya tuntutan ini adalah salah satu bukti perjuangan NU yang tentu saja di dalamnya terdapat Wahid Hasjim.

Kiprah dan perjuangan Wahid Hasjim pra kemerdekaan pada dasarnya tak terlepas dari keiikutsertaannya dalam berbagai organisasi gerakan. Pengalaman berorganisasi dimulainya dalam gerakan NU pada tahun 1938 ia mulai mencurahkan tenaganya dalam pergerakan itu, mula-mula sebagai penulis Ranting NU Cukir, kemudian dipilih menjadi ketua NU di Jombang dan akhirnya pada tahun 1940 ia dipilih

58

Aboe Bakar, Sejarah Hidup…, h. 739

59

Greg Fealy, Ijtihad dan Politik Ulama; Sejarah NU 1952-1967, (Yogyakarta : LkiS, 2003), h. 49


(52)

menjadi anggota PBNU bagian Ma’arif. Dalam kedudukan ini ia mendapat kesempatan yang sebanyak-banyaknya untuk memperkembangkan cita-cita reorganisasi bukan saja dari kuantitas tetapi mencakup kualitas madrasah-madrasah NU di seluruh Indonesia, tidak saja mengenai bilangan-bilangan jumlah madrasah, bentuknya pemilihan gurunya, daftar pengajaran-pengajarannya dan pengetahuan baru, yang dianggapnya perlu sebagai senjata bagi perjuangan umat Islam di masa yang akan datang, dipilih dan dimasukkannya ke dalam madrasah-madrasah agama itu.60

Dalam dunia pendidikan Wahid Hasjim telah memberikan sumbangan yang sangat berarti. Kalau bukan karena jasa yang telah ia berikan dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren ada kemungkinan para santri pada waktu itu tidak akan mengenal dunia luar dan tidak mengerti arti dari perjuangan dan gerakan. Sedangkan kebutuhan akan gerakan pada masa itu amatlah mendesak, perlawanan terhadap pemerintahan kolonial tidak cukup hanya dengan bermodalkan semangat jihad tanpa tahu makna dari pergerakan.

Memang perjuangan ke arah ini tidaklah mudah pada masa setengah gelap gulita itu. Reaksi tidak saja datangnya dari golongan di luar NU yang tidak ingin melihat pengadilan-pengadilan agama bercampur soal duniawi, melainkan juga dari dalam tubuh NU sendiri, yang menyalurkan kritik-kritik dan serangan itu melalui

60


(53)

resolusi, rapat-rapat, majalah-majalah dan saluran-saluran administrasi yang lain. Tetapi Wahid Hasjim tidak saja pandai menampik dan menjawab serangan itu dalam segala kesempatan, tetapi juga sebagai seorang pengarang tulisan keagamaan, ia dapat menginsyafi ulama-ulama reaksioner itu dengan uraian-uraiannya dalam rapat-rapat dan tulisannya dalam majalah-majalah organisasi, bahkan banyak di antara ulama yang menentang itu kemudian menjadi teman seperjuangan dan teman sepaham dalam memperbaharui pendidikan Islam di pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah guna kemajuannya dan kemenangannya kaum muslimin di Indonesia.61

Ia menulis dalma majalah suara NU berhuruf pegon, sedangkan dalam harian Berita NU yang berhuruf latin, yang bertahun-tahun dipimpin oleh seorang temannya yang sangat dikaguminya dan disayanginya HM. Machfudz Shiddiq, dengan ia sendiri, K. Abdullah ubaid, KH. Ilyas sebagai redaktur tetap.62

Meskipun dalam NU Wahid Hasjim dan teman-temannya yang tersebut di atas ini termasuk golongan ulama muda, dengan paham-pahamnya yang disokong oleh ulama-ulama muda yang radikal itu, yang mau tidak mau merupakan golongan yang berjihad dan hendak melaksanakan pembaharuan kehidupan Islam (al-tajdid fi al-Islam) di Indonesia.

61

Ibid., h. 163

62


(54)

Pada tahun 1941 diterbitkan Majalah Suluh NU yang ia pimpin sendiri khusus untuk menyalurkan paham-paham baru dalam dunia pendidikan Islam. Pada halaman dari majalah tersebut tercatat sebgai tujuannya. “Bulanan membicarakan perkara-perkara kemadrasahan” dan majalah ini diterbitkan oleh Hoofdbestuur N.O Bagian Ma’arif dengan redaksi-Administrasi Tebuireng, Djombang.63

Memang pada waktu ia memegang pimpinan Bagian Ma’arif dari PBNU ia mempergunakan segala kesempatan untuk mengatur urusan pendidikan dan pengajaran dalam NU.

Di samping pertentangan-pertentangan yang ia alami baik dari kalangan Islam, maupun non Islam serta kolonialis Belanda. Pertentangan yang tak kalah hebatnya datang dari pihak pemerintah Jepang. Konfrontasi ini pada awalnya tidak begitu kelihatan, malah hubungan antara beliau dan Jepang terlihat harmonis, terbukti ketika beliau berhasil membebaskan ayahnya KH. Hasjim Asy’ari dari tahanan Jepang. Hal ini tentulah karena hubungan antara beliau dan Jepang yang baik.

Namun konfrontasi ini terlihat ketika ia berada di dalam barisan Masyumi. Masyumi yang pada awalnya dibentuk untuk kepentingan pemerintahan kolonial Jepang seperti mengumpulkan masyarakat untuk ikut kerja paksa atau romusha di tangan Wahid Hasjim berbalik menyerang Jepang. Sedikit demi sedikit tujuan Masyumi dibelokkan

63


(55)

hingga menjadi sebuah kelompok gerakan yang menentang Jepang. Pembentukan Pasukan Pembela Tanah Air (PETA) oleh Masyumi atas prakarsa Jepang yang semula bertujuan untuk membantu Jepang untuk memenangkan perang Asia Timur Raya malah berbalik menjadi kekuatan yang pada akhirnya menghantam Jepang sendiri.

Wahid Hasjim yang telihat lunak dan ramah tamah itu semakin lama semakin dicurigai para pembesar Jepang, terutama semenjak tembulnya pemberontakan atas Jepang di Singaparna, Blitar dan daerah lainnya yang terungkap ketika Wahid Hasjim berkeluh kesah kepada Saefuddin Zuhri di mana beliau menceritakan ada salah seorang ulama dari Jawa Timur yang berkeinginan menjumpai Wahid Hasjim di kamar kerjanya di rumah nomor 1 Jalan Taishoo Doori (kini Gedung Imigrasi Jalan Teuku Umar Jakarta), tamu itu tidak dapat mengutarakan maksudnya karena di situ ada seorang pembesar Jepang yang memang ditugaskan oleh Gunseireikanbu selalu harus mendampingi Wahid Hasjim. Tamu itu dengan sabarnya menantikan bila pembesar itu pulang. Rupanya pembesar Jepang itu telah mencium maksud kedatangan ulama dari Jawa Timur ini. Maka pembesar Jepang itu semalaman mendampingi Wahid Hasjim bahkan bermalam di sana. Sang tamu menunggu hingga subuh tetapi pembesar Jepang itu telah bangun terlebih dahulu sampai-sampai ketika Wahid Hasjim naik


(56)

bobil sang pembesar Jepang itu telah duduk di sampingnya hingga akhirnya niat ulama tadi untuk membicarakan hal penting gagal.64

Dari cerita Saefuddin Zuhri di atas jelas terlihat bias dari konfrontasi antara Wahid Hasjim dengan pemerintah Jepang. Tetapi walaupun kecurigaan terhadap Wahid Hasjim sangat besar tetapi sepertinya pemerintah Jepang tidak berniat untuk melenyapkan Wahid Hasjim. Hal ini mungkin dikarenakan sosok Wahid Hasjim yang memiliki pamor di tengah-tengah umat Islam yang dapat menimbulkan resiko kerugian besar bagi Pemerintah Jepang apabila melenyapkannya.

Dari berbagai konfrontasi yang dialami oleh Wahid Hasjim menunjukkan betapa gigihnya beliau melakukan perjuangan pada masa sebelum kemerdekaan RI. Semuanya beliau lakukan tak lain agar kedaulatan RI tercipta dan kesatuan dan persatuan bangsa tuwujud.

2. Masa Menjelang Kemerdekaan

Pada pembahasan sebelumnya telah diapaparkan mengenai perjuangan Wahid Hasjim. Perjuangan yang dilakukannya mencakup hampir seluruh aspek sosial, politik dan keagamaan.

Wahid Hasjim adalah seorang tokoh yang gigih berjuang. Sepertinya hidupnya telah diserahkan untuk perjuangan agama dan bangsa. Berbagai upaya telah ia lakukan demi terwujudnya Indonesia

64


(57)

menjadi negara yang berdaulat dan beradab hingga akhir hayat. Salah satu perjuangannya menjelang kemerdekaan adalah keiikutsertaan beliau dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 28 Mei 1945. Dalam sidang tersebut dihadiri oleh berbagai tokoh bangsa baik dari kalangan Islam maupun nasionalis dan salah satunya adalah beliau sendiri.

Kemudian peristiwa yang ikut mewarnai sejarah kemerdekaan Indonesia adalah lahirnya Piagam Jakarta sebagaimana telah dijelaskan di atas. Lahirnya Piagam Jakarta sebagai wujud pemberontakan terhadap imerialisme-imperialisme dan fasisme.65 Serta memuat dasar pembentukan Negara Republik Indonesia.

3. Masa Sesudah Kemerdekaan

Kemerdekaan yang diraih oleh Bangsa Indonesia ditandai dengan Prokalmasi Kemerdekaan RI. Namun kemerdekaan yang telah diraih ini bukan berarti sebagai titik akhir perjuangan Wahid Hasjim, akan tetapi perjuangan terus berlanjut untuk mempertahankan kemerdekaan karena masih banyak sisa-sia tentara penjajah yang menetap di Indonesia baik Jepang maupun Belanda serta yang lain yang berkeinginan mengembalikan Indonesia sebagai tanah jajahannya.

65


(58)

Pada masa revolusi 1945-1949 umumnya semua kelompok politik setuju untuk mempertahankan pemerintahan republik dengan masalah-masalah lain diselesaikan secara demokratis.66

Permulaan kemerdekaan RI, para pemimpin bangsa ini disibukkan oleh upaya melengkapi ketatanegaraan yang salah satu isunya adalah pemilihan presiden dan wakilnya lalu menyusun UUD, membentuk Lembaga Perwakilan Rakyat Darurat serta pembentukan kabinet pertama RI oleh Soekarno yang dibentuk pada bulan September 1945 di mana Wahid Hasjim diangkat menjadi Menteri Agama.67

Pada saat itu suasana diliputi ketegangan disebabkan bala tentara Jepang beserta senjatanya tetap berada di Indonesia, sebab sebagai pihak yang kalah perang mereka mengemban tugas atas nama negara-negara sekutu untuk memelihara status quo bagi wilayah Indonesia. Kenyataan ini menimbulkan kekhawatiran hingga pada bulan Oktober 1945 Pengurus NU mengundang konsul-konsul seluruh Jawa untuk berkumpul di Surabaya. Undangan ini bertujuan untuk membicarakan, merundingkan serta menyusun strategi dalam menghadapi bala tentara Jepang, Belanda dan Sekutu yang ingin menghancurkan kemerdekaan Indonesia. Dalam persidangan itu Wahid Hasjim termasuk salah satu seorang tokoh NU yang sangat besar perannya dalam menentukan

66

AH. Nasution, Pokok-pokok Gerilya, (Bandung : Angkasa, 1980), h. 4

67


(59)

sidang tersebut. Dalam sidang itu terdapat lima keputusan yang disebut dengan resolusi jihad yang isinya sebagai berikut:

1. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan.

2. Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah wajib dibela dan diselamatkan meskipun meminta pengorbanan harta dan jiwa.

3. Musuh-musuh RI terutama Belanda yang datang membonceng tugas-tugas tentara Sekutu (Inggris) dalam masalah tawanan perang bangsa Jepang tentulah menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah.

4. Umat Islam Indonesia terutama warga NU wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia.

5. Kewajiban tersebut adalah suatu jihad yang menjadi kewajiban tiap-tiap orang Islam (fardhu ‘ain) yang berada dalam jarak radius 94 km (jarak di mana umat Islam diperkenankan shalat jama’dan

qashar), adapun mereka yang berada di luar jarak tersebut

berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak radius 94 km tersebut.68

Bangsa Indonesia terutama umat Islam menanggapi resolusi jihad ini dengan penuh antusias yang terbukti dengan kobaran semangat yang menyala-nyala dalam mempertahankan kemerdekaan. Dalam perjuangan ini pemuda-pemuda Islam menggabungkan diri ke dalam pasukan Hizbullah yang dipimpin oleh Zainul Airifin sedangkan masyarakat kalangan awam bergabung dalam barisan Sabilillah yang dipimpin oleh KH. Masykur sementara KH. Wahab Chasbullah mengorganisir para kiyai di dalam barisan mujahidin untuk mendampingi Hizbullah dan Sabilillah.69

68

KH. Saefuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, (Bandung : PT. Al Ma’arif, 1981), h. 587

69


(60)

Salah satu bentuk perjuangan para pemimpin Islam adalah pendirian partai politik, walaupun ide pendirian partai ini keluar setelah adanya maklumat dari pemerintah tanggal 3 November 1945 yang menganjurkan pembentukan partai-partai politik.

Dalam hal ini pikiran dari pemimpin-pemimpin Islam di antaranya Wahid Hasjim dan Natsir sebagai pelopornya, berkeinginan untuk mengadakan muktamar umat Islam dari semua perhimpunan seluruh Indonesia. Setelah diadakan musyawarah dengan partai-partai Islam lainnya disepakatilah untuk mengadakan kongres umat Islam di Yogyakarta pada bulan November 1945 yang berlangsung dengan lancar. Dalam kongres tersebut diputuskan untuk membentuk partai politik baru dengan nama Masyumi dan penjadikan Masyumi sebagai satu-satunya partai politik Islam di Indonesia.

Pada periode pertama Partai Masyumi dipimpin oleh Dr. Soekiman sedangkan Wahid Hasjim menjabat sebagai Dewan Pertahanan Partai yang langsung ditugaskan untuk memimpin Markas Tertinggi Hizbullah yang dipimpin oleh Zainul Arifin dan Markas Tertinggi Barisan Sabilillah yang dipimpin oleh KH. Masykur. Sebagai tokoh teras dalam bidang politik maupun pertahanan (kemiliteran), maka Wahid Hasjim diangkat menjadi penasehat Panglima Besar Soedirman70 dam diangkat menjadi ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) semacam DPR sekarang.71

70

KH. Saefuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik di Indonesia, (Jakarta : Gunung Agung, 1982), jilid III, h. 211-212

71


(61)

Pada tahun 1946 Wahid Hasjim diangkat menjadi Meteri Negara dalam kabinet Syahrir ketiga, pada saat itu Ibu Kota Negara dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta dan pada tahun ini pula jabatan Wahid Hasjim sebagai anggota KNIP dinaikkan menjadi anggota BPKNIP.72

Perlu diingat, walaupun Wahid Hasjim menduduk jabatan Menteri Negara bukan berarti ia berpaling dari masyarakat atau melepaskan kedudukannya sebagai pimpinan masyarakat. Ia berpendirian bahwa : “tanpa masyarakat seorang meneri tidak ada artinya dalam arti perjuangan dan pengabdian masyarakat”.73 Ucapan ini dibuktikannya ketika ayahnya Hasjim Asy’ari wafat pada 25 Juni 1947 lalu ia mengambil alih pimpinan pesantren Tebuireng dan pada saat inilah namanya menjadi KH. Abdul Wahid Hasjim.74

Di bawah kepemimpinannya Pesantren Tebuireng dijadikan sebagai Markas Barisan Tentara Hizbullah pada jaman revolusi kemerdekaan.75 Selama pesantren Tebuireng di bawah pimpinan Wahid Hasjim, kegiatan pengajian diganti dengan kegiatan politik dan latihan-latihan kemiliteran dalam rangka menghadapi perlawanan Belanda.

72

Ibid.

73

KH. Saefuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik…, h. 211

74

M. Dawam Rahardjo, (e.d), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta : LP3ES, 1974), h. 10

75


(62)

Di samping menghadapi Belanda, Wahid Hasjim juga memiliki peran penting dalam penumpasan kelompok PKI pimpinan Muso dan Alimin yang mengadakan pemberontakan di Madiun terhadap kekuasaan RI di bawah pimpinan Soekarno-Hatta.76 Dalam kejadian ini Wahid Hasjim memerintahkan kepada Markas Besar untuk mempercepat penghancuran pemberontakan PKI di Madiun, karena khawatir kalau sewaktu bangsa Indonesia menghadapi Belanda orang-orang komunis menusuk belati dari belakang.77

Pada tanggal 28 Desember 1949 berdirilah negara RIS (Republik Indonesia Serikat) setelah adanya pengakuan dari Belanda yang merupakan KMB yang pada perkembangan selanjutnya negara federal tersebut menjelma kembali menjadi Republik Persatuan.78

Pada masa ini perjuangan Wahid Hasjim ditujukan pada dua bidang yaitu bidang sosial dan agama. Dalam bidang sosial misalnya, tentang perdagangan, ia senang membantu usaha-usaha dagang nasional yang dapat menguntungkan kemajuan perkembangan agama Islam.79 Dalam bidang agama, ia mewujudkannya pada masa kabinet Mohammad Hatta pada tanggal 29 Desember 1949 sampai 6 September 1960, Wahid Hasjim diangkat menjadi Menteri Agama,

76

KH. Saefuddin Zuhri, Guruku Orang-orang dari Pesantren, (Bandung : PT. Al Ma’arif, 1974), h. 239

77

Ibid., h. 243

78

Panitia Buku Peringata, Natsir dan Roem 70 Tahun, Mohammad Roem 70 Tahun Pejuang Perunding, (Jakarta : Bulan Bintang, 1978) h. 162

79


(1)

BAB IV PENUTUP

Kesimpulan

Wahid Hasjim adalah salah seorang tokoh pergerakan nasional yang menurut Harry J. Benda adalah sebagai salah satu pemimpin umat Islam yang paling berpengaruh selama dan setelah amsa penjajahan yang dalam usianya yang relatif pendek sependek jalan yang mengabadikan namanya di Jakarta, namun sempat mencicipi perjuangan hingga tiga jaman, yaitu, jaman pergerakan nasional, jaman revolusi hingga jaman pemulihan kedaulatan. Beliau memiliki andil besar bagi kemerdekaan Indonesia. Berbagai upaya telah ia lakukan dari memperjuangkan kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan hingga mengisi kemerdekaan. Di samping itu beliau adalah sosok pemikir yang memiliki keunikan tersendiri. Di samping itu beliau adalah sosok pemikir yang memiliki keunikan tersendiri. Hal ini dikarenakan perbedaan gaya berpikir beliau yang berlatar belakang tradisionalis. Dalam menyikapi isu-isu kenegaraan dan setiap permasalahan yang berkenaan dengan masyarakat Indonesia khususnya umat Islam ia mengambil keputusan yang moderat yang dapat meminimalisir pertiakain dan integritas bangsa. Walaupun pada dasarnya ia adalah sosok yang sangat menginginkan Indonesia berdasarkan syari’at Islam, namun beliau lebih toleran dengan mengorbankan cita-citanya demi keutuhan bangsa Indonesia. Bagi beliau kepentingan bersama dan persatuan adalah lebih utama ketimbang


(2)

memperjuangkan Islam sebagai idiologi negara yang malah berdampak perpecahan yang tentunya perpecahan ini tidak dibenarkan dalam Islam.

Ada hal yang sangat unik dari gaya berpikir Wahid Hasjim, yaitu ketika beliau mampu menjawab permasalahan yang sepintas terlihat bertentangan dengan idiologi NU seperti usulan agar diterimanya siswi untuk sekolah SGHAN yang tentunya ide ini sangat berlawanan dengan prinsip hukum yang dianut oleh para pemuka NU. Beliau mampu mengatasi permasalahan tersebut hingga membuat beliau luput dari kecaman para pemuka NU.

Wahid Hasjim makin mengukuhkan ide modernisasi ketika ia menjabat Menteri Agama RI, di mana ia mengadakan perombakan pada struktur organisasi ini.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, Islam dan Politik di Indonesia; Sebuah Tinjauan dari Pengalaman Historis, Jakarta : Proyek Studi Politik Dalam Negeri, LIPI, 1982.

Aboe Bakar, H., e.d Sedjarah Hidup KH. A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar, Jakarta : Panitia Buku Peringatan Alm. K.H.A. Wahid Hasjim, 1957.

Anshari, Endang Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Jakarta : CV. Rajawali, 1986.

Aziz, Abdul Ghaffar, Islam Politik; Pro dan Kontra, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1993.

Azra, Azyumardi, dan Saiful Umam, ed. Menteri-menteri Agama RI; Biografi Sosial Politik, Jakarta : PPIM, 1998.

Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai, Jakarta : LP3ES, 1983.

Effendi, Bahtiar, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta : Paramadian, 1998.

Fealy, Greg, Ijtihad dan Politik Ulama; Sejarah NU 1952-1967, Yogyakarta : LkiS, 2003.

_______, Tradisionalisme Radikal Persinggahan Nahdlatul Ulama-Negara, Yogyakarta : LKiS, 1999.

Feilard Andree, NU vis-à-vis Negara; Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, Yogyakarta : LKiS, 2000.

Gus Dur dan Gus Sholah, K.H.A. Wahid Hasjim Dalam Pandangan Dua Putranya, Jakarta : FNKS, 1998.

Hatta, Muhammad, Sekitar Porkalmasi 17 Agustus 1945, Jakarta : tintamas, 1969. Karim, A. Gaffar, Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia,

Yogyakarta : LkiS, 1995.

Hasjim, A. Wahid, Mengapa Memilih NU?; Konsepsi tentang Agama, Pendidikan dan Politik, Jakarta : Inti Sarana Aksara, 1985.


(4)

Leirissa, R.Z., Terwujud Suatu Gagasan Sejarah Indonesia 1900- 1950, Jakarta : Akademika Pressindo, 1985.

Ma’arif, Syafi’i, Islam dan Politik di Indonesia, Jakarta : IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988.

Ma’shum, Saifullah, ed., Karisma Ulama; Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, Bandung : Mizan, 1998.

Maksum, ed. Mencari Pemimpin Umat; Polemik tentang Kepemimpinan Islam di Tengah Pluralitas Masyarakat, Bandung : Mizan, 1999.

Nasution, Harun, Islam di Tinjau dari Berbagai Aspek, Jakarta : UI Press, 1986. Noer Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES,

1980.

_______, Mohammad Hatta; Biografi Politik, Jakarta : LP3ES, 1990.

_______, Partai Islam Dipentas Nasional 1945-1965, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1987

Paringgodigdo, A.K., Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Jakarta : Dian Rakyat, 1967.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Susanto, Nugroho Noto, Sejarah Nasional Indonesia V, Jakarta : Depdikbud dan Balai Pustaka, 1990.

Ricklefs, MC., Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta : Gadjah Mada University, 1981.

Ridwan, Paradigma Politik NU; Relasi Sunni-NU dalam Pemikiran Politik, Yogyakarta : STAINU Purwokerto dan Pustaka Pelajar, 2004.

Sitompul, Einar Martahan, NU dan Pancasilal; Sejarah dan Peran NU dalam Perjuangan Umat Islam di Indonesia dalam Rangka Penerimaan Pancasila Sebagai Satu-satunya Asas, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1989.

Suryanegara, Ahmad Mansur, Menemukan Sejarah; Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, Bandung : Mizan, 1981.

Syamsuddin, Din, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2001.


(5)

Yusuf, Slamet Effendi, Dinamika Kaum Santri; Menelusuri Jejak dan Pergolakan Internal NU, Jakarta : CV. Rajawali, 1983.

Zuhri Saefuddin, Agama Unsur Mutlak dalam Nation Building, Jakarta : Lembaga Penggali dan Penjebar, “Api Islam”, 1965.

_______, Berangkat dari Pesantren, Jakarta : Gunung Agung, 1987. _______, Guruku Orang-orang dari Pesantren, Yogyakarta : LKiS, 2001.


(6)