Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Optimisme terhadap Kehidupan Pernikahan pada Pasangan Menikah dengan Tingkat Pendidikan Istri Lebih Tinggi T1 132010108 BAB II

(1)

11

2.1 Optimisme

2.1.1 Pengertian Optimisme

Seligman (1991) menyatakan optimisme adalah suatu pandangan secara menyeluruh, melihat hal yang baik, berpikir positif dan mudah memberikan makna bagi diri. Individu yang optimis mampu menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari yang telah lalu, tidak takut pada kegagalan, dan berusaha untuk tetap bangkit mencoba lagi bila kembali gagal.

Carr (2004) menyebutkan bahwa optimisme adalah sebuah ekspektasi menyeluruh bahwa akan ada lebih banyak hal yang lebih baik daripada hal yang buruk terjadi pada masa yang akan datang. Individu yang berpandangan optimis merupakan individu yang mengira akan terjadi hal-hal yang baik terhadap sesuatu hal.

Menurut Ubaedy (2007), optimisme memiliki dua pengertian. Pertama, optimisme merupakan doktrin hidup yang mengajarkan individu untuk meyakini adanya kehidupan yang lebih bagus (punya harapan). Orang yang optimis adalah orang yang yakin (dengan alasan-alasan yang dimiliki) bahwa ada kehidupan yang lebih bagus di hari esok. Kedua, optimisme berarti kecendrungan batin untuk


(2)

merencanakan aksi peristiwa atau hasil yang lebih bagus. Optimisme berarti menjalankan apa yang diyakini atau apa yang dibutuhkan oleh harapannya.

Dari pengertian tersebut dapat dinyatakan bahwa optimisme berarti meyakini adanya kehidupan yang lebih bagus dan keyakinan itu digunakan untuk menjalankan usaha yang lebih bagus guna meraih hasil yang lebih bagus.

2.1.2 Aspek-aspek Optimisme

Seligman (1991), mendeskripsikan individu-individu yang memiliki sifat optimisme akan terlihat pada aspek-aspek tertentu. 1) Permanence yaitu membahas tentang bagaimana seseorang

menyikapi kejadian-kejadian yang menimpanya apakah akan berlangsung lama atau sementara. Orang yang optimis yakin bahwa kejadian negatif yang menimpanya bersifat sementara, sedangkan kejadian positif yang menimpanya bersifat lama atau permanen. Contohnya adalah:

Hal positif : saya beruntung Optimis : Saya selalu beruntung

Pesimis : Saya sedang beruntung hari ini Hal negatif : saya sial

Optimis : Saya sedang sial / kali ini saya sedang tidak beruntung


(3)

Pesimis : Saya selalu sial / tidak pernah ada hal baik yang saya kerjakan

2) Pervasiveness membahas tentang bagaimana seseorang memandang kegagalan dan kesuksesan yang terjadi pada dirinya, apakah ia berpandangan secara universal atau secara spesifik. Orang yang optimis yakin bahwa kegagalan yang terjadi karena sesuatu yang bersifat spesifik, sedangkan kesuksesan disebabkan oleh sesuatu yang bersifat universal. Contohnya:

Hal positif

Optimis : Saya pandai

Pesimis : Saya pandai dalam menggambar Hal negatif

Optimis : dia tidak mau menari dengan saya karena saya bukan penari yang baik

Pesimis : dia tidak suka menari dengan saya

3) Personalization membahas tentang bagaimana seseorang memandang kegagalan dan kesuksesan yang terjadi apakah karena faktor internal atau eksternal. Orang yang optimis yakin bahwa kesalahan itu dari faktor eksternal, dan kesuksesan berasal dari faktor internal. Contoh:

Hal positif

Optimis : saya bisa mengerjakannya


(4)

Hal negatif

Optimis : team saya kurang beruntung Pesimis : team saya gagal karena saya

2.2 Pernikahan

Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, yang dimaksud dengan pernikahan yaitu: Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Walgito, 2004).

Sedangkan Kartono (1992) mengungkapkan bahwa pernikahan merupakan ikatan pria dan wanita dalam relasi suami istri yang sebenarnya merupakan ikatan janji kesetiaan cinta kasih yang diikrarkan dengan jalan menikah. Jadi pernikahan adalah manifestasi memberikan batasan dan tanggung jawab tertentu baik pada suami maupun istri.

Berdasarkan uraian diatas, dapat dinyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dengan melakukan peran dan tanggung jawabnya masing-masing.

2.3 Optimisme Terhadap Pernikahan

Dari kedua pengertian tentang optimisme dan pernikahan diatas, dapat diketahui bahwa optimisme terhadap pernikahan adalah keyakinan akan


(5)

adanya kehidupan yang lebih bagus pada ikatan yang dijalani oleh seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tetap menjalankan usaha yang bagus guna membentuk keluarga bahagia pada masa yang akan datang.

2.4 Tingkat Pendidikan

2.4.1 Pengertian

Tingkat adalah jenjang, strata atau tata urut (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008), sedangkan menurut Driyarkara (dalam Wiji Suwarno, 2006), inti pendidikan adalah pemanusiaan manusia muda. Pada dasarnya pendidikan adalah pengembangan manusia muda ke taraf insani. Tingkat pendidikan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jenjang pendidikan atau pelatihan yang diperoleh melalui lembaga pendidikan formal.

2.4.2 Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan di Indonesia meliputi (Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional) :

a. Pendidikan Anak Usia Dini

Mengacu Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 1 Butir 14 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu


(6)

pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lanjut.

b. Tingkat Dasar

Pendidikan dasar merupakan tingkat pendidikan awal selama 9 tahun pertama masa sekolah anak-anak yang melandasi tingkat pendidikan menengah. Pendidikan dasar mencakup Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).

c. Pendidikan Menengah

Pendidikan menengah merupakan tingkat pendidikan lanjutan pendidikan dasar yang harus dilaksanakan minimal 9 tahun. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajad.

d. Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi adalah tingkat pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, doktor dan spesialis yang diselenggarakan perguruan tinggi. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai berbagai macam program pendidikan di perguruan tinggi (Pasal 19) :

a) Sarjana adalah gelar akademik yang diberikan kepada lulusan program pendidikan sarjana (S-1) atau undergraduate


(7)

b) Magister adalah gelar akademik yang diberikan kepada lulusan program pendidikian magister (S-2) atau graduate

c) Doktor adalah gelar akademik tingkat tertinggi yang diberikan kepada lulusan program pendidikan doktor (S-3) atau postgraduate

Pada tahapan selanjutnya adalah bagaimana tingkat pendidikan yang telah diraih itu dapat diimplementasikan dalam kehidupan nyata untuk menyikapi berbagai problema yang ada dalam hubungan pacaran maupun menikah.

Sehubungan dengan tingkat pendidikan seseorang akan memberikan pengaruh terhadap pola berpikir dan orientasi mengenai berbagai permasalahan dalam kehidupan. Maka semakin tinggi tingkat pendidikan yang dimiliki oleh seseorang akan semakin memperluas dan melengkapi pola berpikirnya dalam menghadapi sesuatu hal, termasuk diantaranya dalam menghadapi permasalahan dalam suatu hubungan pernikahan (Sri Harini, 1994).

2.5 Optimisme Terhadap Kehidupan Pernikahan pada Pasangan Menikah

dengan Tingkat Pendidikan Istri Lebih Tinggi

Tahap akhir dalam proses sosialisasi banyak diwujudkan dalam bentuk cinta kasih kepada lawan jenis, suatu hubungan akan didasari oleh berbagai pertimbangan moral, emosi, spiritual dan intelektual. Muara dari hubungan yang terjalin dalam bentuk cinta kasih ini adalah pernikahan atau


(8)

kehidupan berumah tangga untuk melanjutkan eksistensinya dalam masyarakat (David, 2008).

Seseorang dapat menyatu dalam suatu ikatan pernikahan dengan dapat memberikan batasan dan tanggung jawab tertentu baik pada suami maupun istri (Kartono, 1992). Dalam hal ini suatu pernikahan perlu adanya kecocokan antara suami dan istri dalam berbagai hal, termasuk diantaranya adalah kecocokan intelektual.

Individu yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, memiliki intelektual yang lebih luas mengenai pengetahuan formal sehingga mampu untuk memahami dan memilih stimulus secara logika, berbeda dengan individu yang memiliki tingkat pendidikan rendah. Hal ini juga berlaku dalam pernikahan, seseorang berpendidikan tinggi lebih memiliki pandangan optimis pada kehidupan, sementara seseorang berpendidikan rendah memiliki pandangan yang berbeda.

Pada masyarakat Indonesia laki-laki dipandang memiliki otoritas yang lebih dibandingkan perempuan, hal ini menggambarkan bahwa laki-laki memiliki segalanya lebih banyak atau tinggi, namun tidak dalam segala hal laki-laki berada di atas perempuan, dalam beberapa kasus seorang perempuan dalam keluarga memiliki pendidikan formal lebih tinggi dibandingkan pasangannya. Dengan dasar inilah, penelitian ini dilakukan yaitu untuk mengetahui pandangan optimisme seorang istri yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi dari suami terhadap kehidupan pernikahan.


(9)

2.6 Hasil Penelitian yang Relevan

Wahyu Setiyono (2011) dalam penelitian Undang-undang Perkawinan Tahun 1974 Pasal 34 dilihat Dalam Perspektif Kesetaraan Gender. Hasil analisis dari penelitian tersebut adalah Undang-undang Perkawinan Tahun 1974 dipengaruhi oleh Agama Islam dan budaya Jawa, ada unsur ketidaksetaraan gender pada Undang-undang Tahun 1974, Ketidaksetaraan dan bias gender ini mencakup peran, kedudukan, dan hak suami istri, suami pada wilayah publik dan istri pada wilayah domestik. Ini membuat istri mempunyai stereotip sebagai makhluk lemah. Efek lainnya adalah ketika seorang istri mampu bekerja pada wilayah publik, maka ia tetap harus bertanggung jawab pada wilayah domestik, sehingga beban kerjanya lebih berat. Efek yang paling parah ketika ada dominasi terhadap kekerasan perempuan, hal ini karena perempuan dianggap tidak menghasilkan dan dianggap sebagai makhluk yang lebih rendah, dengan demikian maka laki-laki dapat bertindak dengan semaunya terhadap perempuan.

Rita Suwartiningsih (1997) dalam penelitian Perbedaan Tingkat Pendidikan Istri Hubungannya dengan Peranan Istri dalam Rumah Tangga, hasil analisis dari penelitian tersebut adalah tidak ada perbedaan peranan istri dalam mendampingi suami, mengatur rumah, menjaga kesehatan keluarga dan dalam mengikuti organisasi masyarakat antara istri berpendidikan tinggi dengan istri berpendidikan rendah. Namun ada perbedaan peranan istri dalam mengasuh dan mendidik anak serta dalam


(10)

mencari tambahan pendapatan dan mengatur keuangan antara istri berpendidikan tinggi dengan istri berpendidikan rendah.

Kedua penelitian tersebut meneliti tentang peran dan kedudukan istri dalam rumah tangga yang relevan dengan penelitian penulis. Hanya saja dalam kedua penelitian tersebut tidak menganalisis tentang bagaimana optimisme istri dalam kehidupan rumah tangga.


(1)

adanya kehidupan yang lebih bagus pada ikatan yang dijalani oleh seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tetap menjalankan usaha yang bagus guna membentuk keluarga bahagia pada masa yang akan datang.

2.4 Tingkat Pendidikan

2.4.1 Pengertian

Tingkat adalah jenjang, strata atau tata urut (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008), sedangkan menurut Driyarkara (dalam Wiji Suwarno, 2006), inti pendidikan adalah pemanusiaan manusia muda. Pada dasarnya pendidikan adalah pengembangan manusia muda ke taraf insani. Tingkat pendidikan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jenjang pendidikan atau pelatihan yang diperoleh melalui lembaga pendidikan formal.

2.4.2 Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan di Indonesia meliputi (Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional) :

a. Pendidikan Anak Usia Dini

Mengacu Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 1 Butir 14 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu


(2)

pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lanjut.

b. Tingkat Dasar

Pendidikan dasar merupakan tingkat pendidikan awal selama 9 tahun pertama masa sekolah anak-anak yang melandasi tingkat pendidikan menengah. Pendidikan dasar mencakup Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).

c. Pendidikan Menengah

Pendidikan menengah merupakan tingkat pendidikan lanjutan pendidikan dasar yang harus dilaksanakan minimal 9 tahun. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajad.

d. Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi adalah tingkat pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, doktor dan spesialis yang diselenggarakan perguruan tinggi. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai berbagai macam program pendidikan di perguruan tinggi (Pasal 19) :

a) Sarjana adalah gelar akademik yang diberikan kepada lulusan program pendidikan sarjana (S-1) atau undergraduate


(3)

b) Magister adalah gelar akademik yang diberikan kepada lulusan program pendidikian magister (S-2) atau graduate

c) Doktor adalah gelar akademik tingkat tertinggi yang diberikan kepada lulusan program pendidikan doktor (S-3) atau postgraduate

Pada tahapan selanjutnya adalah bagaimana tingkat pendidikan yang telah diraih itu dapat diimplementasikan dalam kehidupan nyata untuk menyikapi berbagai problema yang ada dalam hubungan pacaran maupun menikah.

Sehubungan dengan tingkat pendidikan seseorang akan memberikan pengaruh terhadap pola berpikir dan orientasi mengenai berbagai permasalahan dalam kehidupan. Maka semakin tinggi tingkat pendidikan yang dimiliki oleh seseorang akan semakin memperluas dan melengkapi pola berpikirnya dalam menghadapi sesuatu hal, termasuk diantaranya dalam menghadapi permasalahan dalam suatu hubungan pernikahan (Sri Harini, 1994).

2.5 Optimisme Terhadap Kehidupan Pernikahan pada Pasangan Menikah

dengan Tingkat Pendidikan Istri Lebih Tinggi

Tahap akhir dalam proses sosialisasi banyak diwujudkan dalam bentuk cinta kasih kepada lawan jenis, suatu hubungan akan didasari oleh berbagai pertimbangan moral, emosi, spiritual dan intelektual. Muara dari hubungan yang terjalin dalam bentuk cinta kasih ini adalah pernikahan atau


(4)

kehidupan berumah tangga untuk melanjutkan eksistensinya dalam masyarakat (David, 2008).

Seseorang dapat menyatu dalam suatu ikatan pernikahan dengan dapat memberikan batasan dan tanggung jawab tertentu baik pada suami maupun istri (Kartono, 1992). Dalam hal ini suatu pernikahan perlu adanya kecocokan antara suami dan istri dalam berbagai hal, termasuk diantaranya adalah kecocokan intelektual.

Individu yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, memiliki intelektual yang lebih luas mengenai pengetahuan formal sehingga mampu untuk memahami dan memilih stimulus secara logika, berbeda dengan individu yang memiliki tingkat pendidikan rendah. Hal ini juga berlaku dalam pernikahan, seseorang berpendidikan tinggi lebih memiliki pandangan optimis pada kehidupan, sementara seseorang berpendidikan rendah memiliki pandangan yang berbeda.

Pada masyarakat Indonesia laki-laki dipandang memiliki otoritas yang lebih dibandingkan perempuan, hal ini menggambarkan bahwa laki-laki memiliki segalanya lebih banyak atau tinggi, namun tidak dalam segala hal laki-laki berada di atas perempuan, dalam beberapa kasus seorang perempuan dalam keluarga memiliki pendidikan formal lebih tinggi dibandingkan pasangannya. Dengan dasar inilah, penelitian ini dilakukan yaitu untuk mengetahui pandangan optimisme seorang istri yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi dari suami terhadap kehidupan pernikahan.


(5)

2.6 Hasil Penelitian yang Relevan

Wahyu Setiyono (2011) dalam penelitian Undang-undang Perkawinan Tahun 1974 Pasal 34 dilihat Dalam Perspektif Kesetaraan Gender. Hasil analisis dari penelitian tersebut adalah Undang-undang Perkawinan Tahun 1974 dipengaruhi oleh Agama Islam dan budaya Jawa, ada unsur ketidaksetaraan gender pada Undang-undang Tahun 1974, Ketidaksetaraan dan bias gender ini mencakup peran, kedudukan, dan hak suami istri, suami pada wilayah publik dan istri pada wilayah domestik. Ini membuat istri mempunyai stereotip sebagai makhluk lemah. Efek lainnya adalah ketika seorang istri mampu bekerja pada wilayah publik, maka ia tetap harus bertanggung jawab pada wilayah domestik, sehingga beban kerjanya lebih berat. Efek yang paling parah ketika ada dominasi terhadap kekerasan perempuan, hal ini karena perempuan dianggap tidak menghasilkan dan dianggap sebagai makhluk yang lebih rendah, dengan demikian maka laki-laki dapat bertindak dengan semaunya terhadap perempuan.

Rita Suwartiningsih (1997) dalam penelitian Perbedaan Tingkat Pendidikan Istri Hubungannya dengan Peranan Istri dalam Rumah Tangga, hasil analisis dari penelitian tersebut adalah tidak ada perbedaan peranan istri dalam mendampingi suami, mengatur rumah, menjaga kesehatan keluarga dan dalam mengikuti organisasi masyarakat antara istri berpendidikan tinggi dengan istri berpendidikan rendah. Namun ada perbedaan peranan istri dalam mengasuh dan mendidik anak serta dalam


(6)

mencari tambahan pendapatan dan mengatur keuangan antara istri berpendidikan tinggi dengan istri berpendidikan rendah.

Kedua penelitian tersebut meneliti tentang peran dan kedudukan istri dalam rumah tangga yang relevan dengan penelitian penulis. Hanya saja dalam kedua penelitian tersebut tidak menganalisis tentang bagaimana optimisme istri dalam kehidupan rumah tangga.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepuasan Pernikahan pada Wanita yang Menikah Melalui Proses Ta’aruf T1 802009147 BAB II

0 0 27

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepuasan Pernikahan pada Wanita yang Menikah di Usia Remaja Awal T1 802009081 BAB II

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Kepuasan Pernikahan pada Istri yang Menikah di Usia Remaja dan Dewasa

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penyesuaian Perkawinan pada Istri yang Menikah dengan Perbedaan Usia: usia istri lebih tua dari suami

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penyesuaian Perkawinan pada Istri yang Menikah dengan Perbedaan Usia: usia istri lebih tua dari suami

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Optimisme terhadap Kehidupan Pernikahan pada Pasangan Menikah dengan Tingkat Pendidikan Istri Lebih Tinggi

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Optimisme terhadap Kehidupan Pernikahan pada Pasangan Menikah dengan Tingkat Pendidikan Istri Lebih Tinggi T1 132010108 BAB I

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Optimisme terhadap Kehidupan Pernikahan pada Pasangan Menikah dengan Tingkat Pendidikan Istri Lebih Tinggi T1 132010108 BAB IV

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Optimisme terhadap Kehidupan Pernikahan pada Pasangan Menikah dengan Tingkat Pendidikan Istri Lebih Tinggi T1 132010108 BAB V

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Optimisme terhadap Kehidupan Pernikahan pada Pasangan Menikah dengan Tingkat Pendidikan Istri Lebih Tinggi

0 0 12