Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Optimisme terhadap Kehidupan Pernikahan pada Pasangan Menikah dengan Tingkat Pendidikan Istri Lebih Tinggi T1 132010108 BAB IV

(1)

29 4.1 Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian

4.1.1 Persiapan

Persiapan merupakan hal penting yang harus dilakukan untuk mendukung proses penelitian agar sesuai dengan tujuan penelitian. Persiapan yang dilakukan diantaranya: menyediakan alat perekam, pedoman wawancara, surat keterangan penelitian, pulpen dan alat pendukung lain. Alat perekam yang digunakan adalah handphone yang memiliki kemampuan merekam dengan baik. Selain itu pedoman wawancara juga merupakan salah satu hal penting yang harus dipersiapkan agar wawancara dapat terarah pada informasi yang diperlukan bagi penelitian.

Penulis juga perlu mempersiapkan diri dengan baik, karena penulis merupakan instrument kunci dalam penelitian ini. Dalam penelitian kualitatif penulis merupakan instrument penelitian/alat pengumpul data utama.

4.1.2 Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian diawali dengan menentukan calon-calon subjek penelitian. Kegiatan ini penulis lakukan dengan cara


(2)

mengumpulkan informasi melalui wawancara informal dengan beberapa teman penulis mengenai siapa saja kira-kira yang akan menjadi calon subjek penelitian. Setelah menemukan beberapa orang yang sesuai, peneliti menyeleksi lagi menjadi 2 orang yang paling sesuai dengan karakteristik subjek penelitian yang telah ditentukan.

Setelah terpilih 2 orang calon subjek, penulis mengkonfirmasi kesediaan calon subjek untuk melakukan wawancara, penulis menjelaskan bahwa hasil wawancara akan digunakan untuk kepentingan penelitian. Namun salah seorang calon subjek menolak untuk wawancara dengan suatu alasan, sehingga penulis mencari seorang calon subjek kembali yang bersedia diwawancara. Setelah ditemukan 2 orang subjek, penulis memberitahukan tentang tujuan penelitian yang sedang dilakukan agar subjek dapat memberikan informasi yang sesuai dengan kebutuhan penulis. Faktor yang ditekankan dalam wawancara adalah keterbukaan dan kepercayaan subjek pada penulis sehingga perlu dipahami bahwa tujuan dari wawancara ini semata-mata adalah untuk kepentingan penelitian.

Tempat dan waktu wawancara disesuaikan dengan kesediaan subjek dan diatur sedemikian rupa agar tidak mengganggu aktivitas subjek dan juga agar hal-hal yang berkaitan dengan sikap subjek dapat bersifat alami tanpa dibuat-buat. Sebelum memulai wawancara penulis melakukan pengamatan tidak langsung terhadap subjek, terutama


(3)

mengamati kehidupan keluarga subjek dan hubungan subjek dengan suami dan orang-orang disekitar subjek.

4.1.3 Wawancara

Setelah mengamati kehidupan keluarga subjek, selanjutnya dilakukan wawancara dengan kedua subjek pada waktu dan tempat yang telah disetujui, sebelum memulai wawancara peneliti terlebih dahulu menginformasikan kepada subjek bahwa dalam proses wawancara akan menggunakan alat perekam berupa handphone guna merekam informasi. Penulis juga meminta ijin kepada subjek untuk bisa mengambil beberapa gambar dalam proses wawancara sebagai dokumentasi.

Wawancara dilaksanakan pada hari yang berbeda antara 2 subjek sesuai dengan kesepakatan subjek dengan penulis yang disesuaikan dengan kesibukan masing-masing subjek. Dalam proses wawancara penulis menggunakan pedoman wawancara yang telah disiapkan sebelumnya, hal ini bertujuan agar setiap pertanyaan yang diajukan kepada subjek lebih terarah pada pokok permasalahan yang ingin digali. Kedua subjek penelitian ini telah dikenal oleh peneliti sebelumnya, untuk memudahkan dalam penulisan peneliti memberikan nama masing-masing subjek, yaitu subjek A dan subjek B. Subjek pertama (subjek A) adalah teman yang pernah dikenalkan


(4)

oleh teman penulis sedangkan subjek kedua (subjek B) adalah kakak kandung dari teman penulis.

Wawancara dengan subjek A dilakukan pada hari Minggu tanggal 2 Februari 2014 bertempat di rumah subjek. Wawancara dengan subjek B dilakukan pada hari Minggu tanggal 16 Februari 2014 bertempat di rumah subjek. Observasi dilakukan sebelum wawancara dimulai dengan mengamati lingkungan sekitar tempat tinggal subjek beserta hubungan subjek dengan orang-orang sekitar subjek terutama suami subjek.

4.2 Pengumpulan Data 4.2.1 Catatan Lapangan

Catatan lapangan yang dibuat penulis berbentuk verbatim wawancara. Verbatim wawancara merupakan data mentah yang sudah diproses sebagiannya dalam bentuk transkripsi wawancara, atau dapat dikatakan memberi catatan pada orang yang diwawancarai dalam bentuk transkrip (Poerwandari, 2005).

4.2.2 Reduksi Data

Reduksi data merupakan proses meringkas data, analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik.


(5)

4.2.3 Kategorisasi

Dari hasil wawancara dilakukan proses pengkategorisasian, penulis melakukan coding, yaitu usaha untuk memaknai data melalui simbol atau kode dalam rangka mempermudah proses kategorisasi, berupa angka-angka latin (1, 2, 3, ...) yang menunjukkan baris, dan abjad (A, B, C, ...) merupakan kode untuk menunjukkan subjek. Kode abjad yang menunjukkan subjek akan diikuti kode angka latin yang akan menunjukkan baris disamping deskripsi wawancara.

4.3 Interpretasi Data 4.3.1 Subjek A

a. Gambaran Umum Subjek Nama Subjek : WK Usia Subjek : 22 tahun Pendidikan : SMA Pekerjaan : Swasta

Subjek merupakan seorang istri yang bekerja sebagai buruh pabrik, suami subjek adalah seorang pedagang jajanan keliling di sekolah-sekolah bernama DM yang berusia 25 tahun dan memiliki pendidikan terakhir SMP. Pernikahan subjek sudah berjalan lebih kurang 2 tahun dan memiliki seorang anak perempuan berusia 1 tahun. Subjek berpacaran dengan Dwi


(6)

Maulana sejak subjek masih duduk di bangku SMA sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah.

Subjek tinggal di daerah Ambarawa dekat dengan saudara dan kerabatnya. Setiap harinya subjek bekerja dari pagi hingga petang dan hanya hari minggu saja subjek bisa berada di rumah bersama dengan anaknya, selama subjek dan suaminya bekerja anaknya selalu dititipkan pada orang tua subjek yang rumahnya tidak jauh dari rumah subjek. Pada saat bertemu dengan penulis subjek sempat mengeluhkan tentang pekerjaannya yang tidak memberikan waktu lebih bersama keluarga, namun subjek tetap berusaha untuk meluangkan waktu untuk bersama anak meskipun hanya sebentar setiap harinya.

b. Observasi

Observasi dilakukan selama proses wawancara berlangsung, dari hasil observasi dapat diketahui bahwa subjek merupakan seorang perempuan muda berumur 22 tahun. Dari segi fisik subjek berbadan kurus, berkulit sawo matang, tinggi subjek kurang lebih 162 cm. Subjek terlihat aktif dan cekatan dalam melakukan pekerjaan rumah tangga serta mengurus anak perempuannya.

Hubungan subjek dengan suami terlihat sangat baik, hal ini tampak ketika keduanya sering bertukar gurauan saat bermain


(7)

bersama dengan anaknya dan berbincang dengan penulis. Subjek juga tampak akrab dengan para tetangga di sekitar rumahnya.

Selama wawancara berlangsung subjek cukup kooperatif dan menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh peneliti meskipun sebelumnya subjek mengungkapkan bahwa subjek sedikit malu jika wawancara harus direkam. Pada saat menjawab pertanyaan subjek terlihat agak gugup dan malu-malu, reaksinya cenderung datar dan sesekali subjek tertawa kecil karna kebingungan menemukan kata-kata untuk mengungkapkan jawabannya.

Walaupun subjek sudah lama tidak bertemu dengan penulis namun subjek langsung bisa akrab dengan penulis ketika penulis datang untuk meminta kesediaannya menjadi subjek penelitian dan selama proses wawancara.

c. Reduksi Data

Dari hasil wawancara dengan subjek A dapat diketahui bahwa optimisme subjek pada pernikahannya adalah sebagai berikut:

1) Permanence yaitu membahas tentang bagaimana seseorang menyikapi kejadian-kejadian yang menimpanya apakah akan berlangsung lama atau sementara. Hal ini tampak dalam pernyataan subjek:


(8)

Ya yang diharapkan bisa menjadi keluarga yang bahagia,

bisa nyenengin anak, ya pokok’e seng bahagia-bahagia

(A6)

“Ya optimis, sudah menjadi pilihan sejak menikah, optimis kalau dia bisa membahagiakan” (A11)

2) Pervasiveness membahas tentang bagaimana seseorang memandang kebaikan dan keburukan yang terjadi pada dirinya, apakah ia berpandangan secara universal atau secara spesifik. Hal ini tampak dalam pernyataan subjek:

Ya ndak papa, kalau pendidikan tu nggak masalah, yang penting.. opo yo jenenge yo.. yang penting kan saling ngerti, walaupun pendidikan berbeda kan nggak jadi masalah” (A7) “Cukup puas sih, yang penting kan nggak.. opo yo.. cari kerjaan tu halal, nggak yang neko-neko” (A8)

3) Personalization membahas tentang bagaimana seseorang memandang kebaikan dan keburukan yang terjadi apakah karena faktor internal atau eksternal. Hal ini tampak dalam pernyataan subjek:

Yo kalau orang tua nggak papa soale udah pilihan saya sendiri, kalau saya seneng berarti orang tua juga ikut seneng” (A10)


(9)

Enggak ada masalah, yang penting kalau.. aku sebagai istri selalu menghargai suami walaupun opo tingkat pendidikannya lebih tinggi aku tapi kan tetep suami aku, jadi tetep lebih menghargai” (A9)

4.3.2 Subjek B

a. Gambaran Umum Subjek Nama Subjek : ER Usia Subjek : 28 tahun Pendidikan : S1

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Subjek merupakan seorang ibu rumah tangga berusia 28 tahun dan berpendidikan S1 Ilmu Keperawatan, subjek telah menikah selama lebih kurang 1 tahun dengan suaminya yang berpendidikan SMK/STM bernama BW yang berusia jauh dibawah subjek, yaitu 23 tahun. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa selain memiliki perbedaan tingkat pendidikan, subjek juga memiliki perbedaan usia yang relatif jauh dengan suami.

Hingga saat ini subjek belum mendapatkan momongan dari pernikahannya. Subjek berdomisili di Ambarawa namun saat ini sedang merencanakan kepindahannya ke Jakarta mengikuti suami mengingat belum lama ini suaminya mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan di Jakarta. Untuk sementara subjek lebih


(10)

memilih untuk menjadi seorang ibu rumah tangga saja dibandingkan bekerja, alasannya adalah subjek ingin mengabdi sepenuhnya kepada sang suami selagi masih memungkinkan untuk tidak bekerja.

b. Observasi

Observasi dilakukan selama proses wawancara berlangsung. Subjek merupakan seorang perempuan yang bertubuh agak gemuk, berkulit sawo matang, dengan tinggi badan kurang lebih 156 cm. Subjek sangat baik dan ramah kepada penulis, pada saat penulis datang subjek baru saja selesai membereskan rumah, subjek tampak sangat rajin dan teliti dalam berbenah rumah.

Ketika dilakukan wawancara subjek hanya di rumah bersama dengan adiknya saja, hal ini dikarenakan suami subjek telah berangkat ke Jakarta beberapa minggu sebelumnya untuk menerima panggilan kerja. Subjek juga terlihat telah bersiap untuk segera pindah menyusul sang suami ke Jakarta, hal ini tampak ketika selesai wawancara subjek menerima telepon dari sebuah agen bus di terminal berkaitan dengan pemesanan tiket yang telah dilakukan subjek sebelumnya.

Selama proses wawancara berlangsung subjek cukup kooperatif dan menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh peneliti dengan sangat baik, subjek tampak senang dan


(11)

bersemangat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penulis. Subjek selalu menjawab pertanyaan dari penulis tanpa ragu-ragu dan cukup aktif.

Dari awal hingga akhir proses wawancara subjek tampak santai dan cukup tenang dalam berinteraksi dengan penulis, subjek secara sukarela memberikan informasi secara jujur dan terbuka kepada peneliti.

c. Reduksi Data

Dari hasil wawancara dengan subjek A dapat diketahui bahwa optimisme subjek pada pernikahannya adalah sebagai berikut:

1) Permanence yaitu gaya penjelasan masalah yang berkaitan dengan waktu, yaitu temporer dan permanen. Hal ini tampak dalam pernyataan subjek:

“. . . nah semoga kedepannya nanti tu kita bisa jadi keluarga yang apa sakinah mawadah warohmah, tanpa apa harus ada apa ya emmm apa ya gangguan-gangguan gitu” (B4)

“. . . jadi kan kita udah ada niat ibadah, nah dari kata itu kita jadi berfikirnya positif, . . .” (B9)

“. . . kalau saya sih lebih optimis ya, karna semua itu kan kayak rizki juga yang ngatur yang diatas gitu, asalkan kita mau berusaha pasti semuanya ada jalannya, . . .” (B9)


(12)

2) Pervasiveness yaitu gaya penjelasan yang berkaitan dengan dimensi ruang lingkup, dibedakan menjadi spesifik dan universal. Hal ini tampak dalam pernyataan subjek:

Yang pertama kalau saya tidak melihat dari tingkat pendidikannya tapi dari tingkat kenyamanan saya terhadap pasangan saya . . . “ (B5)

“. . . jadi menurut saya kalau status pendidikan itu nggak terlalu berpengaruh, tapi kita dapat menilai dari orangnya dulu gimana gitu, kita udah nyaman, enak diajak ngomong, gitu” (B5)

3) Personalization yaitu gaya penjelasan yang berkaitan dengan sumber penyebab, internal dan eksternal. Hal ini tampak dalam pernyataan subjek:

”. . . apapun keputusan kamu orang tua tetep mendukung . . . Yang penting kamu seneng, kamu nyaman, gitu kamu tidak merasa terbebani atau gimana gitu” (B8)

“. . . memang kadang-kadang kan kalau namanya pemikiran tu perbedaan pasti ada kan, Cuma kan perbedaan itu pasti ada penyelesaiannya” (B7)


(13)

4.4 Pembahasan

Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masing-masing subjek memiliki optimisme dalam pernikahan. Subjek memiliki optimisme dalam setiap jawaban yang diberikan.

Aspek Permanence berhubungan dengan dimensi waktu, bagaimana seseorang menilai sebuah peristiwa atau hal yang terjadi pada dirinya berdasarkan pada waktu yang lama atau sementara, orang yang optimis akan memandang hal negatif yang terjadi pada dirinya akan bersifat sementara atau temporer dan hal positif yang terjadi pada dirinya akan bertahan lama. Sebaliknya, seseorang yang pesimis akan memandang suatu hal atau peristiwa negatif akan bertahan lama pada dirinya sedangkan hal positif yang terjadi akan dipandang sebagai hal yang tidak akan terjadi dalam waktu yang lama. Dari hasil penelitian ini telah ditemukan berbagai jawaban dari subjek yang menyatakan bahwa kedua subjek memiliki keyakinan akan masa depan keluarga yang dibina, kedua subjek yakin dan optimis akan memiliki kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang, hal ini tampak pada pernyataan kedua subjek: “Ya optimis, sudah menjadi pilihan

sejak menikah, optimis kalau dia bisa membahagiakan” dan “kalau saya sih

lebih optimis ya . . . asalkan kita mau berusaha pasti semuanya ada jalannya”.

Dari pernyataan tersebut jelas tampak perbedaan dimensi waktu antara orang yang optimis dan pesimis. Kata optimis yang digunakan oleh subjek


(14)

menunjukkan bahwa subjek memiliki keyakinan yang baik dalam dimensi waktu yang lama, dalam hal ini adalah masa depan.

Pendapat tersebut juga memperkuat pendapat Sri Harini (1994) tentang semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan semakin memperluas dan melengkapi pola berpikirnya dalam menghadapi sesuatu hal, dari jawaban subjek tersebut dapat diketahui bahwa subjek memandang perbedaan pendidikan ini dengan pola berpikir yang lebih baik dan tidak gegabah.

“sudah menjadi pilihan sejak menikah . . . “ pernyataan ini mendukung

pendapat Kartini Kartono (1992) tentang ikatan janji kesetiaan cinta kasih yang diikrarkan dengan jalan menikah. Subjek meyakini betul tentang janji yang telah diikrarkan lewat pernikahan sehingga subjek mampu menerima apapun yang telah menjadi pilihannya.

Aspek Pervasiveness merupakan aspek yang mengacu pada cakupan seseorang dalam melihat suatu hal atau peristiwa berdasarkan ruang lingkup spesifik atau universal. Seseorang yang optimis akan melihat suatu hal yang baik berasal dari keseluruhan/semua yang ada pada dirinya, sedangkan kegagalan berasal dari sebagian kecil dari dirinya. Lain dengan orang pesimis yang akan melihat hal-hal positif merupakan suatu hal yang spesifik, sedangkan hal negatif merupakan bagian universal. “... yang penting saling mengerti, walaupun pendidikan berbeda kan nggak jadi

masalah” , ”yang pertama saya lihat bukan dari tingkat pendidikannya tapi


(15)

subjek tidak memandang perbedaan tingkat pendidikan sebagai hal yang universal atau menyeluruh tapi masih banyak hal lain yang diperhatikan dalam menjalin suatu hubungan suami istri.

Jadi tampak bahwa aspek pervasif merupakan bagaimana seseorang memandang hal-hal yang terjadi menjadi bagian dari universal atau spesifik pada dirinya. Setiap subjek memberikan jawaban yang berbeda-beda, namun dari hasil analisis dapat diketahui bahwa setiap subjek memiliki sikap yang optimis dalam menyikapi setiap hal/peristiwa yang terjadi dalam kehidupan pernikahan beda pendidikan yang dijalani.

Jawaban subjek kembali mendukung pendapat Sri Harini (1994) bahwa tingkat pendidikan seseorang akan memperluas pola berpikir, subjek yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi memandang tingkat pendidikan suami bukan sebagai hal yang mutlak harus ada namun ada banyak hal yang lebih penting dibandingkan pendidikan, yaitu kenyamanan dan sikap saling mengerti.

Aspek Personalization merupakan aspek yang memandang suatu hal dari faktor internal atau eksternal, seorang yang optimis akan memandang suatu hal yang baik asalnya adalah dari dirinya sendiri, sedangkan hal yang tidak baik berasal dari luar dirinya. Dan orang yang pesimis akan memandang kegagalan berasal dari dirinya dan keberhasilan berasal dari faktor luar dirinya. Dari hasil observasi dapat diketahui bahwa setiap subjek bersikap baik terhadap suami dan selalu bersikap hormat, hal ini dapat diartikan bahwa subjek melakukan hal yang baik mulai dari dirinya sendiri


(16)

terlebih dahulu, ini menunjukkan keyakinan subjek bahwa segalanya akan menjadi baik jika subjek bersikap baik.

Dari pernyataan “. . . kalau saya seneng berarti orang tua juga ikut

seneng” subjek memiliki keyakinan bahwa mereka akan membuat orang tua

mereka bahagia jika dirinya bahagia, hal ini menjadi indikator bahwa kedua subjek memiliki sikap yang optimis, karena subjek meyakini akan terjadi hal-hal baik yang bersumber atau berasal dari diri subjek sendiri, yaitu kebahagiaan orang tua subjek.

Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa hasil penelitian ini menjawab teori Seligman (1991) bahwa individu-individu yang memiliki sifat optimis akan terlihat pada aspek-aspek tertentu, yakni Permanence, Pervasiveness, dan Personalization. Hasil penelitian ini juga mendukung penelitian dari Rita Suwartiningsih (1997) bahwa tidak ada perbedaan peranan istri dalam rumah tangga dilihat dari tingkat pendidikan istri, serta penelitian Wahyu Setiyono yang menyatakan bahwa Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 menunjukkan adanya ketidaksetaraan gender yang sangat tampak pada suami dan istri dalam rumah tangga.


(1)

Subjek selalu menjawab pertanyaan dari penulis tanpa ragu-ragu dan cukup aktif.

Dari awal hingga akhir proses wawancara subjek tampak santai dan cukup tenang dalam berinteraksi dengan penulis, subjek secara sukarela memberikan informasi secara jujur dan terbuka kepada peneliti.

c. Reduksi Data

Dari hasil wawancara dengan subjek A dapat diketahui bahwa optimisme subjek pada pernikahannya adalah sebagai berikut:

1) Permanence yaitu gaya penjelasan masalah yang berkaitan dengan waktu, yaitu temporer dan permanen. Hal ini tampak dalam pernyataan subjek:

“. . . nah semoga kedepannya nanti tu kita bisa jadi keluarga

yang apa sakinah mawadah warohmah, tanpa apa harus ada apa ya emmm apa ya gangguan-gangguan gitu” (B4)

“. . . jadi kan kita udah ada niat ibadah, nah dari kata itu kita jadi berfikirnya positif, . . .” (B9)

“. . . kalau saya sih lebih optimis ya, karna semua itu kan kayak rizki juga yang ngatur yang diatas gitu, asalkan kita mau berusaha pasti semuanya ada jalannya, . . .” (B9)


(2)

2) Pervasiveness yaitu gaya penjelasan yang berkaitan dengan dimensi ruang lingkup, dibedakan menjadi spesifik dan universal. Hal ini tampak dalam pernyataan subjek:

Yang pertama kalau saya tidak melihat dari tingkat pendidikannya tapi dari tingkat kenyamanan saya terhadap pasangan saya . . . “ (B5)

“. . . jadi menurut saya kalau status pendidikan itu nggak terlalu berpengaruh, tapi kita dapat menilai dari orangnya dulu gimana gitu, kita udah nyaman, enak diajak ngomong,

gitu” (B5)

3) Personalization yaitu gaya penjelasan yang berkaitan dengan sumber penyebab, internal dan eksternal. Hal ini tampak dalam pernyataan subjek:

”. . . apapun keputusan kamu orang tua tetep mendukung . . . Yang penting kamu seneng, kamu nyaman, gitu kamu tidak merasa terbebani atau gimana gitu” (B8)

“. . . memang kadang-kadang kan kalau namanya pemikiran tu perbedaan pasti ada kan, Cuma kan perbedaan itu pasti ada penyelesaiannya” (B7)


(3)

Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masing-masing subjek memiliki optimisme dalam pernikahan. Subjek memiliki optimisme dalam setiap jawaban yang diberikan.

Aspek Permanence berhubungan dengan dimensi waktu, bagaimana seseorang menilai sebuah peristiwa atau hal yang terjadi pada dirinya berdasarkan pada waktu yang lama atau sementara, orang yang optimis akan memandang hal negatif yang terjadi pada dirinya akan bersifat sementara atau temporer dan hal positif yang terjadi pada dirinya akan bertahan lama. Sebaliknya, seseorang yang pesimis akan memandang suatu hal atau peristiwa negatif akan bertahan lama pada dirinya sedangkan hal positif yang terjadi akan dipandang sebagai hal yang tidak akan terjadi dalam waktu yang lama. Dari hasil penelitian ini telah ditemukan berbagai jawaban dari subjek yang menyatakan bahwa kedua subjek memiliki keyakinan akan masa depan keluarga yang dibina, kedua subjek yakin dan optimis akan memiliki kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang, hal ini tampak pada pernyataan kedua subjek: “Ya optimis, sudah menjadi pilihan sejak menikah, optimis kalau dia bisa membahagiakan” dan “kalau saya sih lebih optimis ya . . . asalkan kita mau berusaha pasti semuanya ada jalannya”.

Dari pernyataan tersebut jelas tampak perbedaan dimensi waktu antara orang yang optimis dan pesimis. Kata optimis yang digunakan oleh subjek


(4)

menunjukkan bahwa subjek memiliki keyakinan yang baik dalam dimensi waktu yang lama, dalam hal ini adalah masa depan.

Pendapat tersebut juga memperkuat pendapat Sri Harini (1994) tentang semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan semakin memperluas dan melengkapi pola berpikirnya dalam menghadapi sesuatu hal, dari jawaban subjek tersebut dapat diketahui bahwa subjek memandang perbedaan pendidikan ini dengan pola berpikir yang lebih baik dan tidak gegabah.

“sudah menjadi pilihan sejak menikah . . . “ pernyataan ini mendukung pendapat Kartini Kartono (1992) tentang ikatan janji kesetiaan cinta kasih yang diikrarkan dengan jalan menikah. Subjek meyakini betul tentang janji yang telah diikrarkan lewat pernikahan sehingga subjek mampu menerima apapun yang telah menjadi pilihannya.

Aspek Pervasiveness merupakan aspek yang mengacu pada cakupan seseorang dalam melihat suatu hal atau peristiwa berdasarkan ruang lingkup spesifik atau universal. Seseorang yang optimis akan melihat suatu hal yang baik berasal dari keseluruhan/semua yang ada pada dirinya, sedangkan kegagalan berasal dari sebagian kecil dari dirinya. Lain dengan orang pesimis yang akan melihat hal-hal positif merupakan suatu hal yang spesifik, sedangkan hal negatif merupakan bagian universal. “... yang penting saling mengerti, walaupun pendidikan berbeda kan nggak jadi masalah” , ”yang pertama saya lihat bukan dari tingkat pendidikannya tapi dari tingkat kenyamanan saya”. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa


(5)

universal atau menyeluruh tapi masih banyak hal lain yang diperhatikan dalam menjalin suatu hubungan suami istri.

Jadi tampak bahwa aspek pervasif merupakan bagaimana seseorang memandang hal-hal yang terjadi menjadi bagian dari universal atau spesifik pada dirinya. Setiap subjek memberikan jawaban yang berbeda-beda, namun dari hasil analisis dapat diketahui bahwa setiap subjek memiliki sikap yang optimis dalam menyikapi setiap hal/peristiwa yang terjadi dalam kehidupan pernikahan beda pendidikan yang dijalani.

Jawaban subjek kembali mendukung pendapat Sri Harini (1994) bahwa tingkat pendidikan seseorang akan memperluas pola berpikir, subjek yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi memandang tingkat pendidikan suami bukan sebagai hal yang mutlak harus ada namun ada banyak hal yang lebih penting dibandingkan pendidikan, yaitu kenyamanan dan sikap saling mengerti.

Aspek Personalization merupakan aspek yang memandang suatu hal dari faktor internal atau eksternal, seorang yang optimis akan memandang suatu hal yang baik asalnya adalah dari dirinya sendiri, sedangkan hal yang tidak baik berasal dari luar dirinya. Dan orang yang pesimis akan memandang kegagalan berasal dari dirinya dan keberhasilan berasal dari faktor luar dirinya. Dari hasil observasi dapat diketahui bahwa setiap subjek bersikap baik terhadap suami dan selalu bersikap hormat, hal ini dapat diartikan bahwa subjek melakukan hal yang baik mulai dari dirinya sendiri


(6)

terlebih dahulu, ini menunjukkan keyakinan subjek bahwa segalanya akan menjadi baik jika subjek bersikap baik.

Dari pernyataan “. . . kalau saya seneng berarti orang tua juga ikut

seneng” subjek memiliki keyakinan bahwa mereka akan membuat orang tua

mereka bahagia jika dirinya bahagia, hal ini menjadi indikator bahwa kedua subjek memiliki sikap yang optimis, karena subjek meyakini akan terjadi hal-hal baik yang bersumber atau berasal dari diri subjek sendiri, yaitu kebahagiaan orang tua subjek.

Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa hasil penelitian ini menjawab teori Seligman (1991) bahwa individu-individu yang memiliki sifat optimis akan terlihat pada aspek-aspek tertentu, yakni Permanence, Pervasiveness, dan Personalization. Hasil penelitian ini juga mendukung penelitian dari Rita Suwartiningsih (1997) bahwa tidak ada perbedaan peranan istri dalam rumah tangga dilihat dari tingkat pendidikan istri, serta penelitian Wahyu Setiyono yang menyatakan bahwa Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 menunjukkan adanya ketidaksetaraan gender yang sangat tampak pada suami dan istri dalam rumah tangga.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepuasan Pernikahan pada Wanita yang Menikah Melalui Proses Ta’aruf T1 802009147 BAB IV

0 0 116

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepuasan Pernikahan pada Wanita yang Menikah di Usia Remaja Awal T1 802009081 BAB IV

0 3 154

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Kepuasan Pernikahan pada Istri yang Menikah di Usia Remaja dan Dewasa

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penyesuaian Perkawinan pada Istri yang Menikah dengan Perbedaan Usia: usia istri lebih tua dari suami

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penyesuaian Perkawinan pada Istri yang Menikah dengan Perbedaan Usia: usia istri lebih tua dari suami

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Optimisme terhadap Kehidupan Pernikahan pada Pasangan Menikah dengan Tingkat Pendidikan Istri Lebih Tinggi

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Optimisme terhadap Kehidupan Pernikahan pada Pasangan Menikah dengan Tingkat Pendidikan Istri Lebih Tinggi T1 132010108 BAB I

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Optimisme terhadap Kehidupan Pernikahan pada Pasangan Menikah dengan Tingkat Pendidikan Istri Lebih Tinggi T1 132010108 BAB II

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Optimisme terhadap Kehidupan Pernikahan pada Pasangan Menikah dengan Tingkat Pendidikan Istri Lebih Tinggi T1 132010108 BAB V

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Optimisme terhadap Kehidupan Pernikahan pada Pasangan Menikah dengan Tingkat Pendidikan Istri Lebih Tinggi

0 0 12