Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepuasan Pernikahan pada Wanita yang Menikah Melalui Proses Ta’aruf T1 802009147 BAB II

(1)

17

Pada Bab I telah dikemukakan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat kepuasan pernikahan pada pasangan yang menikah melalui proses ta’aruf.

Bagian ini memaparkan deskripsi umum tentang istilah pernikahan, alasan menikah, fase pernikahan, definisi kepuasan pernikahan, faktor-faktor pendukung kepuasan pernikahan serta aspek kepuasan pernikahan dan dilanjutkan dengan definisi mengenai ta’aruf.

A. Pernikahan

1. Definisi Pernikahan

Pernikahan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang. Hampir setiap orang mempunyai keinginan untuk menjalani hal tersebut. Menurut Dariyo (2003) pernikahan merupakan ikatan kudus antara pasangan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah menginjak atau dianggap telah memiliki umur cukup dewasa. Pernikahan dianggap sebagai ikatan kudus (holly relationship) karena hubungan pasangan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan telah diakui secara sah dalam hukum agama.

Dalam Undang-Undang pernikahan yang dikenal dengan UU No. 1 tahun 1974, pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan YME (Walgito, 2004).


(2)

Pernikahan merupakan suatu bentuk komunitas sosial yang melibatkan suami isteri sebagai pelaku utamanya. Sebagaimana komunitas sosial lainnya maka dalam pernikahan pun terjadi interaksi sosial pada pelaku yang terlibat didalamnya. Sebenarnya interaksi sosial sudah terjadi sejak awal pertemuan hingga dilakukan dalam ikatan pernikahan. Suatu interaksi sosial akan berhasil dengan baik bila masing-masing individu yang terlibat dapat saling menyesuaikan. Pada dasarnya manusia itu berbeda antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, dalam interaksi sosial individu-individu yang terlibat didalamnya akan membawa keterbatasan, kelebihan dan kebutuhan masing-masing sebagai konsekuensi dari perbedaan tersebut. kemudian faktor-faktor tersebut akan bertemu dan berinteraksi dengan situasi. Bila individu akan saling memperoleh pemenuhan yang kemudian menghasilkan kepuasan pada masing-masing pihak. Sebaliknya bila masing masing individu tidak bisa menyesuaikan diri maka yang terjadi adalah ketegangan dan ketidakpuasan karena masing-masing pihak tidak bisa mencapai pemenuhan untuk kebutuhannya.

Olson & DeFrain (2006) mengatakan pernikahan adalah komitmen emosional dan legal dari dua orang untuk berbagi keintiman fisik dan emosional, berbagi tugas, dan sumber ekonomi. Gardiner & Myers (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009) menambahkan bahwa pernikahan menyediakan keintiman, komitmen, persahabatan, cinta dan kasih sayang, pemenuhan seksual, pertemanan dan kesempatan untuk


(3)

pengembangan emosional seperti sumber baru bagi identitas dan harga diri.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah ikatan lahir dan batin yang suci antara pria dan wanita yang melibatkan hubungan seksual, hak pengasuhan anak dan adanya pembagian peran suami-istri serta adanya keintiman, komitmen, persahabatan, cinta dan kasih sayang, pemenuhan seksual, pertemanan dan kesempatan untuk pengembangan emosional antara suami dan istri.

2. Fungsi Pernikahan

Menurut Duvall dan Miller (1985) menyatakan bahwa ada beberapa fungsi pernikahan :

a. Menghasilkan kasih sayang

Menimbulkan kasih sayang antara suami-istri, orang tua dan anak, antara satu generasi dengan generasi selanjutnya. Kasih sayang merupakan hasil dari kehidupan berkeluarga. Pria dan wanita dalam masyarakat barat biasanya melakukan pernikahan karena perasaan kasih sayang dan anak merupakan ekspresi perasaan kasih sayang diantara pasangan.

b. Memberikan keamanan secara personal dan penerimaan Keamanan dan penerimaan yang mereka perlukan untuk hidup dapat terpenuhi dalam keluarga. Di dalam keluarga, individu dapat melakukan kesalahan-kesalahan dan belajar dari kesalahan yang mereka lakukan dalam lingkungan yang aman dan terlindungi. Benokraitis (1996) menyatakan


(4)

bahwa keluarga merupakan kelompok yang di dalamnya ada perasaaan yang saling mencintai, memahami, memberikan rasa aman, menerima, dan kebersamaan melalui hubungan yang intim, jangka panjang.

c. Memberikan kepuasan dan tujuan

Rasa kepuasan dan berharga yang ada pada manusia dapat diperoleh dalam keluarga. Di dalam sebuah keluarga, orang dewasa dan anak-anak menikmati kehidupan satu sama lain dalam pertemuan dan perayaan-perayaan keluarga, acara keluarga, jalan-jalan keluarga dan aktifitas lain dimana anggota keluarga menemukan kepuasan. Di dalam sebuah keluarga, orang tua juga merasa bahagia mereka hidup untuk pasangan dan untuk anak-anak menjadi tanggung jawabnya.

d. Adanya kepastian kebersamaan

Hanya dalam keluarga kepastian akan kesinambungan kebersamaan (companionship) didapati. Teman-teman, para tetangga, kolega dan yang lainnya mungkin akan menjadi dekat hanya beberapa tahun saja. Adanya kebersamaan yang didasarkan rasa simpati mendorong anggota keluarga menceritakan yang terjadi pada hari itu dan untuk saling berbagi tentang kehidupan yang mereka jalani.

e. Sarana sosialisasi kehidupan sosial

Dalam setiap masyarakat individu belajar apa yang diharapkan dari mereka dan dimana mereka berada dalam hirarki sosial melalui keluarganya. Pada saat lahir anak secara otomatis memperoleh status keluarga secara genetis,


(5)

fisik, etnik, kebangsaan, agama, kebudayaan, ekonomi, politik, dan pendidikan yang diwariskan dari keluarga dan sanak keluarganya. Keluarga merupakan role model bagi generasi selanjutnya dalam kehidupan sosial seseorang. 3. Motivasi melakukan pernikahan

Motivasi untuk menikah mungkin berbeda-beda pada setiap individu. Menurut Olson dan DeFrain (2006), dari berbagai alasan orang menikah, ada yang menikah dengan alasan positif dan ada juga dengan alasan yang negatif. Orang yang menikah karena alasan positif cenderung memiliki hubungan pernikahan yang lebih baik. Turner dan Helms (1995) menyatakan bahwa ada beberapa motivasi orang untuk memasuki kehidupan perkawinan, yaitu :

a. Cinta

Cinta dan komitmen diantara pasangan seringkali menjadi alasan utama dilakukannya perkawinan. Pasangan ingin selalu saling berbagi dalam hidup dan membina hubungan yang dekat (intimate relationship) dalam lembaga perkawinan. Cinta merupakan hal yang paling utama pasangan melakukan perkawinan dan hanya sedikit pasangan yang melakukan perkawinan tidak didasari adanya perasaan cinta (Simpson, Campbell, Berscheld, dalam Feldman, 1989).

b. Kebersamaan

Perkawinan merupakan lembaga dimana pasangan dapat menghabiskan waktunya hidup bersama secara permanen. Kebersamaan dapat menimbuklan kesejahateraan (well


(6)

being) emosional dan psikologis diantara pasangan, yang akan berdampak tumbuhnya rasa aman dan nyaman. Kebersamaan tersebut juga dapat memberikan rasa aman da kesempatan untuk saling berbagi diantara pasangan. Sejalan dengan pernyataan tersebut Campbell (dalam Duvall dan Miller, 1985) menyatakan bahwa pernikahan memberikan sumbangan penting yang unik bagi perasaan well being pada kebanyakan pria dan wanita.

c. Konfomitas

Bagi beberapa pasangan, perkawinan merupakan hal yang memang harus dilakukan atau perkembangan dari suatu hubungan antara pria dan wanita. Pernikahan tampaknya merupakan proses pemilihan. Motif sosial juga turut terpengaruh yaitu tekanan dari keluarga dan teman-teman. d. Legitimasi hubungan seks

Setiap masyarakat mempunyai norma-norma yang berkenaan dengan siapa seseorang yang dapat melakukan hubungan sosial dan dalam keadaan (circumstance) seperti apa (Benokratis, 1996) status pernikahan memberikan legistimasi hubungan seksual. Status pernikahan membuat pasangan suami-istri dapat melakukan hubungan seksual secara sah dan dilindungi secara hukum.

e. Legitimasi anak

Anak yang lahir dalam suatu keluarga mempunyai status identitas. Turner dan Helms (1995) menyatakan bahwa pasangan yang melakukan pernikahan dengan alasan untuk memiliki dan mengasuh anak.


(7)

f. Perasaan siap

Pasangan memutuskan untuk melakukan pernikahan karena mereka merasa telah siap. Perasaan siap ini merupakan hasil proses sosialisasi di lingkungan (Blood dalam Donna,2008). g. Mendapatkan keuntungan

Hal ini bukanlah alasan yang kuat mengapa seseorang melakukan pernikahan. Akan tetapi, bagi pasangan yang memperhatikan kesejahteraan ekonomi, alasan ini mungkin menjadi alasan utama pasangan melakukan pernikahan. h. Engagement

Tahap ini pasangan memberitahukan kepada orang banyak bahwa mereka menikah dan secara tradisional biasanya ditandai dengan cincin berlian atau penggantinya sebagai pasangan tunangan dan pasangan yang akan dinikahi pada masa yang akan datang.

4. Tahap-tahap pernikahan

Duval dan Miller (1985) menyatakan ada tujuh tahap pernikahan yang dikaitkan dengan usia anak, sebagai berikut:

1) Pasangan baru

2) Keluarga memiliki anak

3) Keluarga dengan anak usia pra sekolah 4) Keluarga dengan anak usia sekolah 5) Keluarga dengan anak usia remaja 6) Keluarga dengan anak usia dewasa muda 7) Keluarga dewasa madya


(8)

8) Keluarga lanjut usia B. Kepuasan Pernikahan

1. Definisi Kepuasan Penikahan

Pernikahan yang memuaskan merupakan dambaan setiap pasangan suami istri. Berbagai upaya dilakukan agar pasangan mencapai kepuasan dalam perkawinan.Menurut Bahr, Chapell, dan Leigh (dalam Burpee & Langer 2005), Kepuasan pernikahan merupakan suatu hal yang dihasilkan dari penyesuaian antara yang terjadi dengan yang diharapkan, atau dibandingkan dari hubungan yang aktual dengan pilihan jika hubungan yang dijalani akan berakhir. Kepuasan dalam pernikahan dipengaruhi oleh harapan pasangan itu sendiri terhadap pernikahannya, yaitu harapan terhadap nilai-nilai pernikahan, harapan yang tidak jelas, tidak adanya harapan yang cukup. dan harapan yang berbeda.

DeGenova & Rice (2005) memberikan definisi tentang kepuasan perkawinan yaitu “…the extent to which couple are content and fulfilled in their relationship”. Berdasarkan definisi tersebut, memungkinkan terjadinya perbedaan individu mengenai harapan dan kebutuhan antara pasangan. Menurut Olson dan Defrain (2006), kepuasan pernikahan adalah perasaan yang bersifat sujektif dari pasangan suami istri mengenai perasaan bahagia, puas, dan menyenangkan terhadap pernikahannya secara menyeluruh.

Duvall dan Miller (1986) menyebutkan bahwa masa awal-awal dari pernikahan adalah puncak dari kepuasan pernikahan.


(9)

Disisi lain Hurlock (1999) mengatakan bahwa pada masa awal pernikahan setiap pasangan memasuki tahap dimana mereka dituntut menyatukan banyak aspek yang berbeda dalam diri masing-masing. Kemampuan pasangan untuk menyatukan aspek yang berbeda ini akan menentukan tingkat harmonisasi suatu keluarga. Situasi yang dialami suami isteri sehari-hari dijadikan dasar penilaian tentang kepuasan pernikahan mereka.

Teori pertukaran sosial (Thibaut dan Kelly, 1978) menekankan bahwa tiap individu akan menyeleksi aktivitas dan interaksi ataupun relasi yang dilakukannya agar dapat memperoleh keuntungan semaksimal mungkin. Jadi seseorang dalam melakukan hubungan interpersonal akan selalu mempertimbangkan kerugian dan keuntungan yang didapatkannya (West dan Turner 2005). Berdasarkan teori tersebut dapat diasumsikan bahwa orang yang merasa menerima keuntungan yang besar (hal-hal yang menyenangkan atau membahagiakan) dalam kehidupan pernikahan akan merasa kepuasan. Adapun besarnya tingkat kepuasan tersebut tergantung dari besar atau kualitas dari keuntungan yang didapatkan. Adapun keuntungan itu sendiri tergantung dari sifat hubungan yang dijalani. Jika kehidupan pernikahan yang dijalani seseorang dirasa membahagiakan hingga sebagian besar bahkan seluruh kebutuhan, keinginan, dan harapan yang sebelumnya telah dicita-citakan terpenuhi, maka orang akan merasa puas terhadap pernikahannya.

Dari pemaparan beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli tersebut, penulis mengacu pendapat Olson dan Defrain


(10)

(2006) yang mendefinisikan kepuasan pernikahan sebagai sebuah evaluasi menyeluruh mengenai hubungan pernikahan yang dijalani.

2. Kriteria kepuasan Pernikahan

Menurut Skolnick (dalam Lemme, 1995), ada beberapa kriteria dari pernikahan yang memiliki kepuasan yang tinggi, antara lain:

a. Adanya relasi personal yang penuh kasih sayang dan menyenangkan dimana dalam keluarga terdapat hubungan yang hangat, saling berbagi dan menerima antar sesama anggota dalam keluarga.

b. Kebersamaan, adanya rasa kebersamaan dan bersatu dalam keluarga. Setiap anggota keluarga menyatu dan menjadi bagian dalam keluarga.

c. Model parental role yang baik

Pola orang tua yang baik akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anak mereka. Hal ini bisa membentuk keharmonisan dalam keluarga.

d. Penerimaan terhadap konflik-konflik

Konflik yang muncul dalam keluarga dapat diterima secara normatif, tidak dihindari melainkan berusaha untuk menyelesaikan dengan baik dan menguntungkan bagi semua anggota keluarga.

e. Kepribadian yang sesuai

Dimana pasangan memiliki kecocokan dan saling memahami satu sama lain. Hal yang penting juga yaitu adanya kelebihan yang satu dapat menutupi kekurangan


(11)

yang lainnya sehingga pasangan dapat saling melengkapi satu sama lain.

f. Mampu memecahkan konflik

Levenson (dalam Lemme, 1995) mengatakan bahwa kemampuan pasangan untuk memecahkan masalah serta strategi yang digunakan oleh pasangan untuk menyelesaikan konflik yang ada dapat mendukung kepuasan pernikahan pasangan tersebut.

3. Aspek-Aspek Kepuasan Penikahan

Menurut Olson dan Fowers (1993) komponen-komponen yang menentukan kepuasan pernikahan, yaitu: a. Komunikasi

Komunikasi sangat penting pada setiap tahapan hubungan karena komunikasi adalah inti dari sebuah hubungan (Robinson & Blanton dalam Olson 2006). Area ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu dalam berkomunikasi dengan pasangannya. Menurut Duvall dan Miller (1985) pasangan yang memiliki komunikasi yang efektif apabila: mereka dapat membicarakan segala hal, mampu membicarakan segala permasalahan yang dimiliki, mereka mampu berbagi mengenai perasaannya, berusaha mendengarkan satu sama lain ketika berbicara, dan saling memahami satu sama lain.

b. Penggunaan waktu luang

Area ini menilai pilihan kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu senggang yang merefleksikan aktivitas yang dilakukan secara personal atau bersama. Area ini juga


(12)

melihat apakah suatu kegiatan dilakukan sebagai pilihan individu atau pilihan bersama serta harapan-harapan dalam mengisi waktu luang bersama pasangan.

c. Orientasi Agama

Area ini menilai makna keyakinan beragama serta bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika seseorang memiliki keyakinan beragama, dapat dilihat dari sikapnya yang peduli terhadap hal hal keagamaan dan mau beribadah. Umumnya, setelah menikah individu akan lebih memperhatikan kehidupan beragama. Orang tua akan mengajarkan dasar-dasar dan nilai-nilai agama yang dianut kepada anaknya. Mereka juga akan menjadi teladan yang baik dengan membiasakan diri beribadah dan melaksanakan ajaran agama yang mereka anut.

d. Penyelesaian Konflik

Area ini berfokus untuk menilai persepsi suami istri teradap suatu masalah serta bagaimana pemecahannya. Diperlukan adanya keterbukaan pasangan untuk mengenal dan memecahkan masalah yang muncul serta strategi yang digunakan untuk mendapatkan solusi terbaik. Area ini juga menilai bagaimana anggota keluarga saling mendukung dalam mengatasi masalah bersama-sama serta membangun kepercayaan satu sama lain.

e. Pengaturan keuangan

Area ini menilai sikap dan cara pasangan mengatur keuangan, bentuk-bentuk pengeluaran dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Konsep yang tidak realistis,


(13)

yaitu harapan-harapan yang melebihi kemampuan keuangan, harapan untuk memiliki barang yang diinginkan, serta ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dapat menjadi masalah dalam pernikahan (Hurlock, 1999). Disisi lain, pasangan yang memiliki kesepakatan dalam mengatur keuangan akan mempunyai kepuasan pernikahan yang lebih tinggi (Berry & Williams dalam DeGenova & Rice, 2005).

f. Hubungan seksual

Area ini berfokus pada refleksi sikap yang berhubungan dengan masalah seksual, tingkah laku seksual, serta kesetiaan terhadap pasangan. Penyesuaian seksual dapat menjadi penyebab pertengkaran dan ketidakbahagiaan apabila tidak dicapai kesepakatan yang memuaskan (Hurlock, 1999). Kepuasan seksual dapat terus meningkat seiring berjalannya waktu. Hal ini bisa terjadi karena kedua pasangan telah memahami dan mengetahui kebutuhan mereka satu sama lain, mampu mengungkapkan hasrat dan cinta mereka, juga membaca tanda-tanda yang diberikan pasangan sehingga dapat tercipta kepuasan bagi pasanga suami istri.

g. Keluarga dan teman

Area ini dapat melihat bagaimana perasaan dan perhatian pasangan terhadap hubungan kerabat, mertua serta teman-teman. Area ini merefleksikan harapan dan perasaan senang menghabiskan waktu bersama keluarga besar dan teman-teman. Pernikahan akan cenderung lebih


(14)

sulit jika salah satu pasangan menggunakan sebagian waktunya bersama keluarganya sendiri, jika ia juga mudah dipengaruhi oleh keluarganya dan jika ada keluarga yang datang dan tinggal dalam waktu lama (Hurlock,1999). h. Anak dan pengasuhan anak

Harapan akan kehadiran anak juga akan turut mempengaruhi kepuasan pernikahan (Hendrick & Hendrick, 1992). Area ini menilai sikap dan perasaan tentang memiliki dan membesarkan anak. Fokusnya adalah bagaimana orang tua menerapkan keputusan mengenai disiplin anak, cita-cita terhadap anak serta bagaimana pengaruh kehadiran anak terhadap hubungan dengan pasangan. Kesepakatan antara pasangan dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting halnya dalam pernikahan. Orang tua biasanya memiliki cita-cita pribadi terhadap anaknya yang dapat menimbulkan kepuasan bila itu dapat terwujud.

i. Kepribadian

Area ini melihat penyesuaian diri dengan tingkah laku, kebiasaan-kebiasaan serta kepribadian pasangan. Biasanya sebelum menikah individu berusaha menjadi pribadi yang menarik untuk mencari perhatian pasangannya bahkan dengan berpura-pura menjadi orang lain. Setelah menikah, kepribadian yang sebenarnya akan muncul. Setelah menikah perbedaan ini dapat memunculkan masalah. Persoalan tingkah laku pasangan yang tidak sesuai harapan dapat menimbulkan kekecewaan, sebaliknya jika tingkah


(15)

laku pasangan sesuai yang diinginkan maka akan menimbulkan perasaan senang dan bahagia.

j. Pembagian peran

Area ini menilai perasaan dan sikap individu terhadap peran yang beragam dalam kehidupan pernikahan. Fokusnya adalah pada pekerjaan, tugas rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin dan peran sebagai orangtua. Suatu peran harus mendatangkan kepuasan pribadi. Pria dapat bekerjasama dengan wanita sebagai rekan baik di dalam maupun di luar rumah. Suami tidak merasa malu jika penghasilan istri lebih besar juga memiliki jabatan yang lebih tinggi. Wanita mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya serta memanfaatkan kemampuan dan pendidikan yang dimiliki untuk mendapatkan kepuasan pribadi. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Yoger dan Brecht (dalam Hidayah & Hadjam, 2006), kepuasan perkawinan pada isteri dipengaruhi oleh keterlibatan suami dalam membantu tugas-tugas rumah tangga. Sementara kepuasan perkawinan pada suami dihubungkan dengan kesadaran isteri untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang lebih banyak dibandingkan suami

4. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kepuasan Pernikahan Terdapat beberapa tokoh yang mengemukakan tentang faktor-faktor yang memengaruhi kepuasan pernikahan. Salah satu diantaranya adalah Duvall dan Miller (1985). Duvall dan Miller mengatakan bahwa kepuasan pernikahan dipengaruhi


(16)

oleh dua faktor, yaitu latar belakang (background characteristic) dan keadaan saat ini (current characteristic). Yang dimaksud dengan faktor latar belakang adalah karakteristik yang dimiliki oleh pasangan sebelum menikah yaitu kondisi pernikahan orang tua, kehidupan masa kanak-kanak, penerapan disiplin orang tua, pendidikan seks, tingkat pendidikan, dan masa perkenalan sebelum menikah.

Pernikahan orang tua akan menjadi role model bagi pasangan suami istri dalam menjalani pernikahannya sendiri. Seorang yang memiliki orang tua bercerai, memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami perceraian (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Masa kanak-kanak juga dapat memengaruhi kepuasan pernikahan. Duvall dan Miller (1986) mengatakan bahwa penerapan disiplin sejak kecil dengan cara yang sesuai dapat juga membantu proses penyesuaian diri dalam kehidupan pernikahan. Selain itu, seseorang yang mendapatkan pendidikan seks dengan cara yang baik cenderung memiliki kepuasan pernikahan yang tinggi.

Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam pemilihan pasangan dan dapat memengaruhi hubungan dalam pernikahan. Jika terdapat kesenjangan tingkat pendidikan yang besar diantara pasangan, maka hubungan pernikahan sangat rentan untuk mengalami ketegangan (Khana & Varghese dalam Vaijayanthimala, 2004). Masa perkenalan sebelum menikah merupakan masa untuk melakukan adaptasi dengan pasangan. Hal tersebut memungkinkan pasangan untuk saling mengenal


(17)

sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah (Duvall dan Miller, 1985).

Sementara itu, yang dimaksud dengan faktor keadaan saat ini adalah karakteristik yang dimiliki pasangan selama menjalani pernikahan meliputi ekspresi kasih sayang, kepercayaan, kesetaraan, hubungan seksual, komunikasi, kehidupan sosial, pendapatan dan tempat tinggal. Menurut Duvall dan Miller (1985), faktor latar belakang merupakan suatu hal yang sudah terjadi di masa lalu dan tidak dapat diubah, sedangkan faktor masa kini lebih mendasari tingkat kepuasan pernikahan.

Salah satu harapan sebagian orang yang telah menikah adalah memiliki pasangan yang dapat memenuhi kebutuhan akan cinta dan kasih sayang. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Bell, Daly, dan Gonzales ( dalam DeGenova & Rice, 2005) ditemukan bahwa ekspresi kasih sayang secara fisik maupun verbal sangat penting untuk mewujudkan pernikahan yang bahagia. Selain itu adanya rasa saling percaya dari suami kepada istri dan juga sebaliknya merupakan hal yang penting karena kecurigaan yang timbul diantara pasangan dapat memicu konflik dalam kehidupan pernikahan. Pasangan yang saling mempercayai dalam menjaga komitmen akan memiliki kehidupan pernikahan yang bahagia (DeGenova & Rice, 2005)

Suatu pernikahan sebaiknya tidak ada dominasi dari salah satu pasangan, baik dari suami maupun istri. Setiap keputusan yang diambil dalam kehidupan pernikahan harus dilakukan melalui kesepakatan antara suami dan istri. Pernikahan yang


(18)

bahagia dapat tercipta jika pasangan memiliki keinginan untuk saling membantu dan memenuhi kebutuhan (Bell, Daly, & Gonzales, 1987 dalam DeGenova & Rice, 2005).

Pihak suami maupun istri harus saling menikmati kehidupan seksual yang mereka jalani. Menurut Komarovsky (dalam Phelan,1979), kepuasan hubungan seksual merupakan barometer dari kebahagiaan pernikahan. Dengan kata lain, hubungan seksual sangat berpengaruh terhadap kepuasan pernikahan. Begitupula dengan komunikasi diantara pasangan suami istri. Komunikasi yang efektif dapat memengaruhi kepuasan pernikahan. Masalah yang terjadi dalam suatu pernikahan seringkali disebabkan oleh komunikasi yang buruk antar pasangan. Komunikasi dapat dikatakan efektif jika pasangan memiliki kemampuan untuk bertukar ide, perasaan, sikap, dan informasi sehingga pesan yang disampaikan dapat didengar dan dipahami dengan baik. Perkataan yang mengkritik, menyakitkan, dan menyingung perasaan dapat merusak hubungan pernikahan (DeGenova & Rice, 2005)

Keluarga yang bahagia seharusnya memiliki kehidupan sosial yang menyenangkan. Dukungan sosial berhubungan signifikan dengan kepuasan pernikahan. Dukungan sosial berhubungan signifikan dengan kepuasan pernikahan (Acitelli dalam Polk, 2008) mengatakan bahwa hubungan dengan masyarakat dan tetangga dapat meningkatkan kepuasan pernikahan karena mereka dapat membantu pasangan dalam beradaptasi dengan tuntutan dan tekanan hidup, seperti membantu jika ada anggota keluarga yang meninggal atau sakit,


(19)

menitipkan rumah ketika semua anggota keluarga sedang pergi, memberikan nasehat ketika istri memiliki masalah dengan suami, membantu menjaga anak ketika ibu bekerja di luar rumah, dsb.

Pasangan yang telah menikah harus memiliki pendapatan yang dapat mencukupi kebutuhan keluarga, sehingga dapat meminimalisasi timbulnya konflik dalam kehidupan pernikahan. Beberapa penelitian menemukan bahwa pasangan yang sepakat dalam mengatur keuangan akan memiliki kepuasan pernikahan yang lebih tinggi ( Berry & Williams dalam DeGenova & Rice, 2005). Ditemukan pula bahwa kepuasan lingkungan tempat tinggal berpengaruh positif terhadap kepuasan hidup dalam berkeluarga (Toth dalam Minnotte, 2008). Tempat tinggal yang menetap dan memberikan rasa aman serta nyaman berkontribusi positif terhadap kepuasan pernikahan karena pasangan tidak harus selalu menghadapi situasi baru yang membutuhkan proses adaptasi.

C. Ta’aruf

1. Definisi Ta”aruf

Ta’aruf berasal dari Bahasa Arab, yang artinya saling mengenal. Berkenalan bisa dengan siapa saja, laki-laki atau perempuan. Namun, makna ta’aruf menjadi lebih spesifik ketika ditujukan untuk orang yang sedang mencari pasangan hidup, tanpa melalui proses pacaran. Jadi, ta’aruf diartikan sebagai berkenalan dalam rangka mengetahui lebih dalam tentang calon suami atau istri. Atau untuk lebih jelasnya lagi, ta’aruf adalah


(20)

proses pendekatan antara laki-laki dan perempuan yang akan menikah (pra khitbah atau lamaran) (Imtichanah, 2006). Takariawan (2006) menambahkan bahwa ta’aruf pada asasnya, adalah proses yang dijalani seseorang yang telah mantap hati dan memastikan diri sehingga siap untuk melangkah kejenjang pernikahan. Hal tersebut sesuai dengan surat Al-Hujarat: 13 yang berbunyi :

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. (QS. Al-Hujurat: 13)

Ta’aruf adalah media syar`i yang dapat digunakan untuk melakukan pengenalan terhadap calon pasangan. Sisi yang dijadikan pengenalan tak hanya terkait dengan data global, melainkan juga termasuk hal-hal kecil yang menurut masing-masing pihak cukup penting, misalnya masalah kecantikan calon istri, dibolehkan untuk melihat langsung wajahnya dengan cara yang saksama, bukan cuma sekadar curi-curi pandang atau melihat fotonya. Islam telah memerintahkan seorang calon suami untuk mendatangi calon istrinya secara langsung, bukan melalui media foto, lukisan, atau video. Karena pada hakikatnya wajah seorang wanita itu bukan aurat (Imtichanah, 2012).

Dalil perlunya melihat calon istri/suami antara lain hadits berikut ini:

a. “Apabila salah seorang di antara kamu hendak meminang seorang perempuan, kemudian dia dapat melihat sebahagian apa yang kiranya dapat menarik untuk mengawininya, maka kerjakanlah”. (HR Ahmad dan Abu Daud)


(21)

b. “Dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bertanya kepada seseorang yang hendak menikahi wanita, “Apakah kamu sudah pernah melihatnya?” “Belum,” jawabnya. Nabi SAW bersabda, ‘Pergilah melihatnya dahulu.’” (HR. Muslim)

c. Mughirah bin Syu’bah RA berkata, “Aku meminang seorang wanita. Dan Rasulullah SAW bertanya padaku, “Apakah kamu sudah melihatnya?” Aku menjawab ‘Tidak.” Lalu beliau berkata, “Lihatlah dia karena melihat itu lebih dapat menjamin untuk mengekalkan kamu berdua.” (HR. Ibnu Majah)

Didalam proses ta’aruf ada aturan main yang melindungi kedua belah pihak dari pelanggaran atau bermaksiat. Setiap pertemuan dalam ta’aruf, pria dan wanita tidak bertemu berdua saja melainkan harus selalu didampingi mediator. Mediator adalah orang yang menjadi pembina selama proses ta’aruf berlangsung. Mediator dalam proses ta’aruf adalah orang yang paling dekat dan mengenal kepribadian calon pasangan yang akan melakukan ta’aruf, bisa orang tua atau wali laki-laki dan perempuan yang akan berta’aruf, guru ngaji dari kedua belah pihak atau sahabat karib yang dipercayai, sehingga diharapkan mereka dapat memberikan informasi yang benar, akurat serta menyeluruh mengenai diri calon tersebut (Imtichanah, 2012).

Menurut Ajaran Islam, hal ini sesuai dengan Hadist Rasulullah Saw yang berbunyi:

“Janganlah seorang laki-laki bertemu sendirian (bersepi-sepian)dengan seorang perempuan yang tidak halal baginya, karena yang ketiganya adalah setan. ”(HR Imam Ahmad dari Amir bin Robi’ah ra).


(22)

Hal yang biasanya menjadi pertimbangan untuk diketahui calon pasangan dalam ta’aruf meliputi kepribadian, pandangan hidup, pola pikir dan cara penyelesaian terhadap suatu masalah. Namun proses ta’aruf juga memungkinkan seseorang untuk menolak ketika ia tidak berkenan dengan calon yang akan dijodohkan. Selama pelaksanaan proses ta’aruf calon yang akan berta’aruf tidak diperbolehkan membuka kontak fisik dalam bentuk apapun sehingga para calon tidak dapat bebas melakukan apa saja. Hal ini bertujuan agar pasangan yang melakukan ta’aruf tidak mengembangkan rasa cinta sebelum menikah (imtichanah, 2012).

Dalam pernikahan Islami ta’aruf adalah anak tangga pertama agar pernikahan itu mencapai barakah. Dengan ta’aruf kita membuka pintu pertama untuk mengenal dan mengetahui calon pasangan, mencoba mencari kecocokan, mencoba meneliti keinginan hati masing–masing pihak, serta menggali harapan-harapan dalam menyusun pernikahan. Pernikahan dalam ajaran Islam bertujuan untuk ibadah, maka Islam menghendaki bahwa perkawinan antara laki-laki dan perempuan hendaknya sesuai dengan tuntutan yang telah diajarkan sesuai dengan syariat dalam agama sehingga pernikahan itu tidak hanya sebagai penyalur keinginan manusiawi tetapi juga bernilai ibadah. Dalam kehidupan beragama Islam ta’aruf merupakan tuntutan agama bagaimana mencari pasangan hidup yang baik sesuai dengan anjuran Rosulullah dalam sebuah hadist yang artinya :


(23)

“Seorang wanita dinikahi karena empat hal, karena hartanya, kecantikannya, keturunannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah yang memiliki agama, niscaya beruntung kedua tanganmu. “ ( H.R. Ahmad ).

Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih

Dengan adanya kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang bercermin dalam agama yang dianut, maka akan menuntun ataupun membimbing kepada orang yang memeluknya. Agama akan menuntun ataupun hal yang baik ke hal-hal yang tidak tercela, demikian pula bila dikaitkan dalam perkawinan, maka agama yang dianut akan memberikan tuntunan atau bimbingan bagaimana bertindak secara baik. Banyak tindakan yang dapat dicegah karena dilatarbelakangi oleh kuatnya agama yang dianutnya (Walgito, 2004)

2. Ketentuan Ta’aruf

Berikut ini adalah kaidah sesuai syariah yang harus dipatuhi saat ta’aruf :

a. Niat ingin menikahi

Hanya pria yang benar-benar berniat menikahi sang perempuan saja yang dibolehkan melihat. Sedangkan mereka yang cuma sekadar iseng-iseng atau coba-coba, padahal di dalam hati belum berniat menikahi, tentu tidak dibenarkan melihat.


(24)

b. Tidak harus seizin wanita

Mughirah menemui calon istrinya spontan, tanpa pemberitahuan lebih dahulu. Dari sini jumhur ulama berpendapat, tak ada ketentuan bahwa wanita mesti tahu sejak awal bahwa dia akan dilihat. Sebagian ulama berpandangan sebaiknya sang wanita memang tidak diberitahu, agar dia tampil alami di mata yang melihat, sehingga tidak perlu menutupi apa yang ingin ditutupi. Sebab kalau wanita itu mengetahui bahwa dirinya sedang dilihat, secara naluri dia akan berdandan sedemikian rupa untuk menutupi aib-aib yang mungkin ada pada dirinya. Maka dengan begitu, tujuan inti dari melihat malah tidak akan tercapai. Namun mazhab Maliki berpendapat kalau pun bukan izin dari wanita yang bersangkutan, setidaknya harus ada izin dari pihak walinya. Hal itu agar jangan sampai tiap orang merasa bebas memandang wanita mana saja dengan alasan ingin melamar

c. Sebatas wajah dan kedua tangan hingga pergelangan

Jumhur ulama sepakat bahwa batasan yang boleh dilihat dalam ta’aruf adalah bagian tubuh yang bukan aurat. Bila calon suami ingin melihat calon istrinya, maka dia hanya boleh melihat wajah dan kedua tangannya hingga pergelangan. Sedangkan bila calon istri ingin melihat calon suaminya, maka batasan auratnya adalah antara pusar dan lututnya.


(25)

d. Tidak boleh menyentuh

Yang dibolehkan hanya melihat bagian tubuh yang bukan aurat, sedangkan menyentuh, apalagi dengan nafsu justru dilarang.

e. Melihat berulang-ulang

Pria boleh melihat calon pasangan lebih dari sekali, sebab bisa saja penglihatan yang pertama akan berbeda hasilnya dengan penglihatan kedua, ketiga dan seterusnya. Oleh karena itu, pada prinsipnya asalkan bertujuan mulia dan terjaga dari fitnah, dibolehkan melihat calon istri beberapa kali, hingga si pria betul merasa mantap dengan pilihan.

f. Tidak boleh berduaan

Sebagian kalangan ada yang dengan sangat ketat melarang calon pasangan untuk saling bertemu muka langsung. Alasannya karena takut nanti menimbulkan gejolak di dalam hati. Padahal sebenarnya pertemuan langsung itu tidak dilarang secara mutlak. Apabila ada ayah kandung, atau laki-laki mahram yang ikut mendampingi, maka pertemuan yang bersifat langsung boleh saja dilakukan. Pasangan itu bisa saja berjalan-jalan sambil bercakap-cakap, misalnya sambil berbelanja, berekreasi, atau melakukan perjalanan bersama. Yang penting tidak berduaan, dan pihak calon istri didampingi oleh laki-laki yang menjadi mahramnya. Yang dilarang adalah posisi berduaan dan bersepi-sepi di tempat yang tidak ada orang tahu.


(26)

g. Mengirim utusan untuk melihat

Untuk hal-hal yang lebih dalam, terkait dengan aib dan cacat, apabila dirasa kurang etis untuk dibicarakan secara langsung, maka masing-masing pihak baik suami atau istri boleh mengirim utusan untuk melihat secara langsung. Pihak calon suami boleh mengirim kakak atau adik perempuannya kepada pihak calon istri, untuk melihat hal-hal yang sekiranya masih haram dilihat langsung oleh calon suami sehingga detail keadaan fisik calon istri bisa diketahui oleh sang utusan. Demikian pula sebaliknya, calon istri boleh mengirim kakak atau adiknya yang laki-laki untuk mendapatkan informasi lebih detail tentang sang calon suami.

3. Model-Model Ta’aruf

Menurut Imtichanah (2012) ada beberapa model ta’aruf yaitu :

a. Otoritas Pembina

Pembina disini adalah guru ngaji atau ustadz. Proses ta’aruf pada model pertama ini berjalan sangat ketat. Interaksi antara kedua pasangan yang akan ta’aruf mendapat pengawasan intensif. Pertemuan-pertemuan harus dengan sepengetahuan pembina.

b. Rekomendasi teman

Pada model ta’aruf ini calon pendamping direkomendasikan oleh teman. Jika orang tersebut setuju maka proses dilanjutkan dengan memeberitahukan kepada Pembina. Apabila Pembina setuju maka proses ta’aruf


(27)

dilanjutkan dengan mempertemukan kedua pasangan tersebut dengan didampingi Pembina atau teman yang merekomendasikan tersebut.

c. Pilihan pribadi

Model ini tidak jauh beda dengan model kedua. Dimana orang yang akan ta’aruf tersebut sudah pernah melihat calon yang akan berproses dalam ta’aruf kemudian meminta bantuan Pembina atau orang lain.


(1)

Hal yang biasanya menjadi pertimbangan untuk diketahui calon pasangan dalam ta’aruf meliputi kepribadian, pandangan hidup, pola pikir dan cara penyelesaian terhadap suatu masalah. Namun proses ta’aruf juga memungkinkan seseorang untuk menolak ketika ia tidak berkenan dengan calon yang akan dijodohkan. Selama pelaksanaan proses ta’aruf calon yang akan berta’aruf tidak diperbolehkan membuka kontak fisik dalam bentuk apapun sehingga para calon tidak dapat bebas melakukan apa saja. Hal ini bertujuan agar pasangan yang melakukan ta’aruf tidak mengembangkan rasa cinta sebelum menikah (imtichanah, 2012).

Dalam pernikahan Islami ta’aruf adalah anak tangga pertama agar pernikahan itu mencapai barakah. Dengan ta’aruf kita membuka pintu pertama untuk mengenal dan mengetahui calon pasangan, mencoba mencari kecocokan, mencoba meneliti keinginan hati masing–masing pihak, serta menggali harapan-harapan dalam menyusun pernikahan. Pernikahan dalam ajaran Islam bertujuan untuk ibadah, maka Islam menghendaki bahwa perkawinan antara laki-laki dan perempuan hendaknya sesuai dengan tuntutan yang telah diajarkan sesuai dengan syariat dalam agama sehingga pernikahan itu tidak hanya sebagai penyalur keinginan manusiawi tetapi juga bernilai ibadah. Dalam kehidupan beragama Islam ta’aruf merupakan tuntutan agama bagaimana mencari pasangan hidup yang baik sesuai dengan anjuran Rosulullah dalam sebuah hadist yang artinya :


(2)

“Seorang wanita dinikahi karena empat hal, karena hartanya, kecantikannya, keturunannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah yang memiliki agama, niscaya beruntung kedua tanganmu. “ ( H.R. Ahmad ).

Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih

Dengan adanya kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang bercermin dalam agama yang dianut, maka akan menuntun ataupun membimbing kepada orang yang memeluknya. Agama akan menuntun ataupun hal yang baik ke hal-hal yang tidak tercela, demikian pula bila dikaitkan dalam perkawinan, maka agama yang dianut akan memberikan tuntunan atau bimbingan bagaimana bertindak secara baik. Banyak tindakan yang dapat dicegah karena dilatarbelakangi oleh kuatnya agama yang dianutnya (Walgito, 2004)

2. Ketentuan Ta’aruf

Berikut ini adalah kaidah sesuai syariah yang harus dipatuhi saat ta’aruf :

a. Niat ingin menikahi

Hanya pria yang benar-benar berniat menikahi sang perempuan saja yang dibolehkan melihat. Sedangkan mereka yang cuma sekadar iseng-iseng atau coba-coba, padahal di dalam hati belum berniat menikahi, tentu tidak dibenarkan melihat.


(3)

b. Tidak harus seizin wanita

Mughirah menemui calon istrinya spontan, tanpa pemberitahuan lebih dahulu. Dari sini jumhur ulama berpendapat, tak ada ketentuan bahwa wanita mesti tahu sejak awal bahwa dia akan dilihat. Sebagian ulama berpandangan sebaiknya sang wanita memang tidak diberitahu, agar dia tampil alami di mata yang melihat, sehingga tidak perlu menutupi apa yang ingin ditutupi. Sebab kalau wanita itu mengetahui bahwa dirinya sedang dilihat, secara naluri dia akan berdandan sedemikian rupa untuk menutupi aib-aib yang mungkin ada pada dirinya. Maka dengan begitu, tujuan inti dari melihat malah tidak akan tercapai. Namun mazhab Maliki berpendapat kalau pun bukan izin dari wanita yang bersangkutan, setidaknya harus ada izin dari pihak walinya. Hal itu agar jangan sampai tiap orang merasa bebas memandang wanita mana saja dengan alasan ingin melamar

c. Sebatas wajah dan kedua tangan hingga pergelangan

Jumhur ulama sepakat bahwa batasan yang boleh dilihat dalam ta’aruf adalah bagian tubuh yang bukan aurat. Bila calon suami ingin melihat calon istrinya, maka dia hanya boleh melihat wajah dan kedua tangannya hingga pergelangan. Sedangkan bila calon istri ingin melihat calon suaminya, maka batasan auratnya adalah antara pusar dan lututnya.


(4)

d. Tidak boleh menyentuh

Yang dibolehkan hanya melihat bagian tubuh yang bukan aurat, sedangkan menyentuh, apalagi dengan nafsu justru dilarang.

e. Melihat berulang-ulang

Pria boleh melihat calon pasangan lebih dari sekali, sebab bisa saja penglihatan yang pertama akan berbeda hasilnya dengan penglihatan kedua, ketiga dan seterusnya. Oleh karena itu, pada prinsipnya asalkan bertujuan mulia dan terjaga dari fitnah, dibolehkan melihat calon istri beberapa kali, hingga si pria betul merasa mantap dengan pilihan.

f. Tidak boleh berduaan

Sebagian kalangan ada yang dengan sangat ketat melarang calon pasangan untuk saling bertemu muka langsung. Alasannya karena takut nanti menimbulkan gejolak di dalam hati. Padahal sebenarnya pertemuan langsung itu tidak dilarang secara mutlak. Apabila ada ayah kandung, atau laki-laki mahram yang ikut mendampingi, maka pertemuan yang bersifat langsung boleh saja dilakukan. Pasangan itu bisa saja berjalan-jalan sambil bercakap-cakap, misalnya sambil berbelanja, berekreasi, atau melakukan perjalanan bersama. Yang penting tidak berduaan, dan pihak calon istri didampingi oleh laki-laki yang menjadi mahramnya. Yang dilarang adalah posisi berduaan dan bersepi-sepi di tempat yang tidak ada orang tahu.


(5)

g. Mengirim utusan untuk melihat

Untuk hal-hal yang lebih dalam, terkait dengan aib dan cacat, apabila dirasa kurang etis untuk dibicarakan secara langsung, maka masing-masing pihak baik suami atau istri boleh mengirim utusan untuk melihat secara langsung. Pihak calon suami boleh mengirim kakak atau adik perempuannya kepada pihak calon istri, untuk melihat hal-hal yang sekiranya masih haram dilihat langsung oleh calon suami sehingga detail keadaan fisik calon istri bisa diketahui oleh sang utusan. Demikian pula sebaliknya, calon istri boleh mengirim kakak atau adiknya yang laki-laki untuk mendapatkan informasi lebih detail tentang sang calon suami.

3. Model-Model Ta’aruf

Menurut Imtichanah (2012) ada beberapa model ta’aruf yaitu :

a. Otoritas Pembina

Pembina disini adalah guru ngaji atau ustadz. Proses ta’aruf pada model pertama ini berjalan sangat ketat. Interaksi antara kedua pasangan yang akan ta’aruf mendapat pengawasan intensif. Pertemuan-pertemuan harus dengan sepengetahuan pembina.

b. Rekomendasi teman

Pada model ta’aruf ini calon pendamping direkomendasikan oleh teman. Jika orang tersebut setuju maka proses dilanjutkan dengan memeberitahukan kepada Pembina. Apabila Pembina setuju maka proses ta’aruf


(6)

dilanjutkan dengan mempertemukan kedua pasangan tersebut dengan didampingi Pembina atau teman yang merekomendasikan tersebut.

c. Pilihan pribadi

Model ini tidak jauh beda dengan model kedua. Dimana orang yang akan ta’aruf tersebut sudah pernah melihat calon yang akan berproses dalam ta’aruf kemudian meminta bantuan Pembina atau orang lain.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepuasan Pernikahan pada Wanita yang Menikah Melalui Proses Ta’aruf

0 0 79

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepuasan Pernikahan pada Wanita yang Menikah Melalui Proses Ta’aruf T1 802009147 BAB I

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepuasan Pernikahan pada Wanita yang Menikah Melalui Proses Ta’aruf T1 802009147 BAB IV

0 0 116

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepuasan Pernikahan pada Wanita yang Menikah Melalui Proses Ta’aruf T1 802009147 BAB V

0 1 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepuasan Pernikahan pada Wanita yang Menikah Melalui Proses Ta’aruf

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepuasan Pernikahan pada Wanita yang Menikah di Usia Remaja Awal

0 22 144

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepuasan Pernikahan pada Wanita yang Menikah di Usia Remaja Awal T1 802009081 BAB I

0 1 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepuasan Pernikahan pada Wanita yang Menikah di Usia Remaja Awal T1 802009081 BAB II

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepuasan Pernikahan pada Wanita yang Menikah di Usia Remaja Awal T1 802009081 BAB IV

0 3 154

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepuasan Pernikahan pada Wanita yang Menikah di Usia Remaja Awal T1 802009081 BAB V

0 0 4