Sastra Cina - Pemahaman Realisme dalam Ajaran Konfusius (Xiao) Melalui Media Komik Filial Piety

Pemahaman Realisme dalam Ajaran Konfusius (Xiao)
Melalui Media Komik Filial Piety
PENDAHULUAN
Ada beberapa bentuk komunikasi yang dapat kita lakukan untuk saling berinteraksi
tentang informasi, salah satunya adalah media komunikasi secara visual. Melalui sebuah
gambar sederhana, tuntu banyak orang yang lebih mudah menangkap maksud pesan
yang terdapat pada gambar tersebut. Gambar sebagai salah satu media komunikasi
visual memiliki banyak definisi. Begitupun gambar yang direalisasikan dalam bentuk
komik. Dewasa ini bacaan komik banyak digemari oleh anak-anak usia dasar hingga
mahasiswa, tak hanya karena rupanya yang memiliki sedikit tulisan tetapi juga bacaan
komik ini dapat diperoleh dengan mudah mulai dari toko-toko buku, tempat persewaan
buku, hingga perpustakaan sekolah/universitas. Pada masa yang sudah modern ini,
komik bukanlah sekedar buku hiburan yang biasa dibaca. Secara bahasa gambar, komik
dapat dimanfaatkan sebagai sarana mengajak orang-orang untuk berfikir imaginatif.
Oleh karena itu, dalam perkembangannya beberapa orang kemudian membuat komik
dengan melibatkan topik politik, human interest, suspens, adventure, hingga menjadi
bahan ajar yang lebih serius. Dan banyak juga komik kini yang menjelaskan tentang
realita perjalanan hidup seseorang.
Pengertian Komik
Menurut Franz & Meier (1994 : 55) “Komik adalah cerita yang bertekankan pada
geraj da tindakan yang ditampilkan lewat urutan gambar yanng dibuat secara khas

dengan panduan kata-kata.” Begitu pula dengan ajaran Konfusius yang ilustrasikan
dalam bentuk buku komik berjudul “Filial Piety”. Salah satu komik ilustrasi terkenal
yang dikemas dalam buku seri “values for success”, dimana dalam komik tersebut
memiliki prinsip yang berpusat pada salah satu dari delapan nilai yaitu kesetiaan,
integritas, kesopanan, kebenaran moral, kehormatan, kebajikan, kasih sayang, dan bakti
kepada orang tua. Penulis yang bentindak sebagai penikmat komik pun merasa makna
pesan yang ingin disampaikan pada pembaca dapat dengan mudah dimengerti. Tentunya

melalui tindakan ini pula guna membantu menghidupkan terus semangat bakti kepada
orangtua dari generasi ke generasi. Dimana ajaran untuk berbakti pada orangtua
merupakan suatu kewajiban mutlak bagi seorang anak. Nilai integral Konfusius
tersebutlah yang diterapkan dalam komik yang berisi kumpulan alur cerita yang
menyentuh.
Prinsip Xiào Menurut Konfusius
Dalam tema pemikirannya, Konfusius menyuguhkan lima pokok penting ajarannya.
Pertama, penegakan nama (Zhèngmíng). Pokok pemikiran ini mengandaikan bahwa
seseorang mengetahui peran dalam hubungannya dengan orang lain dalam suatu
masyarakat. Kedua, manusia unggul (Jūnzǐ). Jūnzǐ dipahami sebagai suatu sikap
seseorang yang dapat mengolah dirinya dengan menguasai nilai-nilai moral dan etika,
terpelajar, memiliki pengetahuan sejati, dan hidup sesuai dengan ajaran Dao. Ketiga,

rasa kemanusiaan (Rén). Rén adalah pusat dan dasar etika Konfusius dalam
pembentukan manusia. Bagi Konfusius, menyadari rén adalah menyadari keseluruhan
kesadaran manusia sehingga dapat menjadi manusia yang sejati. Keempat, kesetiaan
zhōng dan shù . Zhōng itu memiliki sifat yang positif, tegas dan aktif. Ia dapat bertindak
sesuai dengan cinta dan kebaikan, tanpa pamrih dan dengan tulus melakukan sesuatu.
Sedangkan Shù mengandung nuansa larangan. Hal ini ditunjukkan dalam ungkapan ini,
jangan lakukan sesuatu apa yang tidak ingin dilakukan orang lain kepada kita. Kelima,
bakti kepada Orang Tua (Xiào) atau filial piety. Prinsip ini ditujukan kepada anak untuk
menghormati orang tua. Ini mengandaikan di dalamnya terdapat prinsip pembetulan
nama, kualitas rén yang sudah dimiliki seseorang, dan perwujudannya. Selain itu,
kesadaran diri sebagai seorang junzi juga mempengaruhi. Konfusius menuliskan
pentingnya xiào dalam Kitab Xiào Jing (470 SM).
Kelima pokok ajaran Konfusius itu saling berkaitan dalam mencapai suatu tujuan.
Oleh karena itu, kelima pokok ajaran ini tidak dapat dipisahkan. Ajaran yang satu
muncul disebabkan oleh ajaran yang lain dan ajaran yang lain itu ada tanpa ketiadaan
yang lainnya. Semua ajaran itu memiliki tujuan yang sama, yaitu kehidupan yang
dilandasi oleh moral yang baik sehingga dapat tercipta dunia yang damai. Tujuan ini
dapat dilihat dalam hubungan antarmanusia yang hendak dicapai melalui penegakan

nama. Hubungan ini akan menjadi jelas jika diuraikan dalam suatu prinsip yang disebut

dengan Xiào. Prinsip ini dimengerti sebagai suatu sikap hidup yang hormat pada orang
tua, melalui cara berbakti kepada mereka. Menurut Konfusius, orang yang hormat pada
orang tua itu memiliki rasa kemanusiaan (rén) karena menjalankan hati nurani (zhōng)
dan melawan egoisme (shu). Dari sini dapat diketahui bahwa lima pokok pemikirannya
itu tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Konfusius berkata bahwa orang yang mengasihi orang tuanya tidak berani
melakukan yang jahat kepada orang lain. Keluarga yang baik merupakan dasar bagi
masyarakat yang baik dan keluarga yang baik didasarkan pada kasih sayang orangtua
kepada anak-anak mereka, dan kesetiaan serta kepatuhan anak-anak terhadap orangtua
mereka. Demikian pula orang yang menghormati orang tuanya tidak berani untuk
bersikap sombong kepada orang lain. Dengan bersikap baik terhadap orang lain, itu
akan membawa nama baik pada keluarga, khususnya pada orang tua. Menurut
pemikiran Konfusius ketaatan terhadap orang tua yang terwujud dalam ikatan-ikatan
keluarga bersifat unilateral (satu pihak). Ikatan itu berlaku tanpa syarat. Dengan
demikian Konfusius menterjemahkan prinsip ini sebagai suatu sumber keutamaan yang
dapat membangun dunia yang damai.
Realisme dalam Sastra
Menurut KBBI, realisme adalah paham atau ajaran yang selalu bertolak dari
kenyataan; aliran kesenian yang berusaha melukiskan (menceritakan sesuatu
sebagaimana kenyataannya). Realisme dalam sastra dapat dipahami bahwa cerita yang

dikisahkan itu mungkin saja ada dan terjadi walau tidak harus bahwa ia memang benarbenar ada dan terjadi. Peristiwa dan jalinan peristiwa yang dikisahkan masuk akal, logis.
Cerita pun mempresentasikan berbagai peristiwa, aksi dan interaksi, yang seolah-olah
memang benar, dan penyelesaian pun masuk akal dan dapat dipercaya (plausibel).
Penyelesaian cerita tidak harus simplisistik sentimeental dan kurang realistik dan adil.
Dalam cerita anak, cerita lebih banyak diselesaikan, tetapi harus tetap memoertahankan
logika cerita. Jadi, karakteristik cerita realisme adalah narasi diksional yang
menampilikan tokoh dengan karakter yang menarik yang dikemas dalam latar tempat

dan waktu yang dimungkinkan, seperti realisme historis —mengisahkan peristiwa yang
terjadi di masa lampau.
Kisah Realisme Ajaran Konfisius (Xiao) yang Terdapat Dalam Komik Ilustrasi
Filial Piety
1.

Bakti Anak Menggerakkan Dewa
Ibu Shun sudah meninggal sejak ia masih sangat muda. Kemudian ayahnya
menikah lagi dan memiliki seorang anak bernama Xiang. Shun selalau
menghormati ibu tirinya dan menunjukkan cinta persaudaraan terhadap saudaranya.
Namun ibu tiri Shun tak menyukainya sementara ayahnya memperlakukannya
dengan acuh tak acuh.

“Cepat, ambil air, lalu bersihkan halaman belakang”, kata Ibu.
“Ya bu”
“Cepatlah! Kalau lambat saya usir kamu!”, kata Ayah.
“Ya, ayah.”
Walaupun sering dicaci-maki, ketika mereka sedang sakit Shun selalu merawat
mereka dan tak pernah menaruh dendam. Setahun kemudian, sikap bakti dan
kesetiaannya terhadap orangtua banyak didengar dan dipuji orang. Sehingga Raja
Yao tergerak untuk menikahkan kedua putrinya dengan Shun. Shun bergelimpangan
harta, namun tetap membagi kebahagiaannya dengan keluarganya. Tetapi perlakuan
saudara dan ayahnya tak berubah, mereka menjebak Shun kedalam sumur.
Kemudian Shun dapat keluar dari sumur dan mengagetkan Xiang dan keluarganya.
“Ayah, Shun jatuh kedalam sumur”, Xiang.
Kejadian yang dialami Shun pun tidak mengubah sikap Shun terhadap orangtua dan
saudara tirinya. Dan akhirnya orangtua dan saudara tiri Shun menyadari kekeliruan
mereka selama ini. Setelah kematian Raja Yao, Shun naik tahta dan memberi nama
Yu untuk kerajaannya. Orang menyebutnya Raja Shun.
Makna : Walaupun seseorang tersebut bukanlah ibu kandung ataupun saudara
kandung kita, kita tidak boleh menganggap mereka orang asing. Dan tetap
harus berbakti pada mereka, dan siapapun mereka, mereka tetaplah


orangtua yang selalu membimbing kita. Sikap Shun yang tak pernah
menyimpan dendam adalah bukti kesetiaan dan bentuk kasih sayangnya
terhadap keluarganya. Dan ia tak pernah membenci atas sikap yang
ditujukan pada dirinya oleh keluarganya.
2.

Membawa Padi untuk Makan Orangtua
Selama Musim Semi dan Gugur, hiduplah seorang bernama Zi Lu. Ayahnya seorang
petani dan keluarga ia sangat miskin. Pada saat itu daerah mereka mengalami
kekeringan dan sulit mendapatkan beras di pasar, sehingga keluarganya hanya
makan berbekal tanaman liar.
“Saya tidak punya nafsu makan kalau tiap hari makan tanaman liar seperti ini”,
kata Ayah.
“Kekeringan telah menyebabkan hilangnya beras di pasaran. Lebih baik kamu
jangan cerewet!”, kata Ibu.
Zi Lu merasa cemas dengan keadaan orangtuanya yang tidak makan makanan yang
memadai sedang mereka harus terus bekerja. Esoknya Zi Lu memutuskan untuk
pergi bekerja ke Kota dan membawa pulang kantong beras untuk keluarganya. Ia
menempuh jalan selama 2 hari dan harus menahan lapar untuk dapat pulang ke
rumah.

“Tuan, bolehkah saya mengunjungi orangtua saya beberapa hari? Saya ingin
mengganti upah saya dengan beras dan akan saya bawa pulang”,
Sesampainya dirumah, saat diberikannya kantong beras pada ibunya, ia merasa
bahagia melhat orangtuanya memakan nasi yang ia bawa pulang. Dengan cara
tersebutlah Zi Lu merawat orangtuanya sampai mereka mati. Setelah itu, Zi Lu
diangkat menjadi perdana menteri Negara Chu. Dan ia memikirkan orangtuanya di
masa lalu yang serba kekurangan sedang kini ia memiliki banyak makan lezat di
rumahnya.
Makna : Keadaan keluarga yang menuntut Zi Lu untuk bekerja keras tak
menyurutkan semangatnya untuk melihat orangtuanya bahagia. Zi Lu
dengan ikhlas mencari beras demi ibu dan ayahnya makan nasi walaupun

dirinya harus menggantikan mereka memakan makanan yang seadanya.
Sikap tabahnya memberikan ia kekuatan dan selalu melindungi setiap
perjalanannya.
3.

Mencicipi Kotoran Ayah untuk Menyelamatkan Nyawanya.
Selama masa pemerintahan Dinasti Qi, hidup seorang bernama Yu Qianlou yang
lahir dari keluarga miskin. Ibu Yu meninggal saat ia masih kecil, Yu dibesarkan oleh

ayahnya sendirian. Yu diangkat sebagai pegawai saat ia masih sangat muda karena
kepintarannya. Saat perasaannya merasa akan sesuatu yang ganjal, Yu mendatangi
ayahnya dan mendapati beliau sendang sakit. Dan tabib menyarankan jika ingin
mengetahui parah atau tidaknya penyakit ayah Yu, ia harus mencicipi kotoran
ayahnya. Bila terasa manis, penyit itu parah, bila terasa pahit maka penyakit itu
tidaklah serius.
“Jika Tuan ingin tahu apakah penyakit ayah tuan serius atau tidak, Tuan harus
mencicipi kotorannya”, kata Tabib.
Kemudian Saat Yu mencicipi kotoran ayahnya, ia merasakan rasa manis yang
menandakan pertanda buruk dan membuatnya khawatir. Maka tak lama penyakit
ayahnya pun sembuh. Dan karena pengabdiannya pada orangtua, Kaisar kemudian
mengangkat Yu menjadi prefektor.
Makna : Rasa cinta terhadap orangtua tak membuat Yu Qianlou merasa jijik ataupun
susah terhadap penyakit ayahnya. Bahkan Qianlou merasa terhormat dan
senang dapat membantu memeriksa penyakit ayahnya. Kecintaan dan rasa
sayang terhadap ayahnyalah yang mendorongnya untuk ingin melakukan
apa saja demi kesembuhan orangtuanya.

4.


Berhenti Jadi Pejabat untuk Merawat Ibu
Zhu Shouchang adalah seorang pejabat selama pemerintahan Dinasti Song. Ia
memiliki bakat seni dan kemampuan administratif. Ibu Shouchang adalah seorang
selir yang kemudian diusir oleh istri pertama ayahnya lalu pergi menjauh dan
menikah kembali. Zhu Shaochang sangat merindukan sosok ibunya. Untuk

mengalihkan rasa rindunya, Zhu berkonsentrasi pada pelajarannya dan membuatnya
menjadi berpengetahuan sangat luas. Selama masa pemerintahan Kaisar Shenzong,
Zhu Shaozhang diangkat pada posisi yang tinggi di daerah Guangde. Karena masih
memikirkan ibunya, kemudian ia memutuskan mencari ibunya dan berhenti dari
jabatannya.
“Saya telah memutuskan pergi ke Shanxi, saya dengar Ibu tinggal disana.
Walaupun menemukan ibu sangat susah, saya tidak akan kembali sebelum
menemukannya.”
Ibu Zhu sudah berumur 70 tahun saat Zhu Shaochang bertemu dengannya.
Kemudian Zhu membawa ibu dan anak-anaknya, kakak tirinya untuk hidup
bersamanya.
Makna : Keadaan yang memisahkan Zhu terhadap ibunya tak menyurutkan rasa
sayangnya dan rindu terhadap ibunya. Namun itupun tak mengurangi rasa
hirmatnya terhadap istri pertama ayahnya. Setelah menunggu sangat lama

untuk dapat memutuskan menjumpai ibunya. Zhu tidak mempermasalahkan
jabatan ataupun harta yang ia miliki saat itu. Karena baginya semua itu
dapat didapatkannya kembali, namu sosok ibu hanya kita miliki sekali
seumur hidup. Itulah harta sesungguhnya dalam hidup.
5.

Orang Terpelajar yang Membersihkan Tempat Kotoran Ibunya
Huang Tingjian adalah seorang penulis dan pelukis kaligrafi terkenal yang hidup
dalam pemerintahan Dinasti Song. Sebagai pemuda yang berbakat, ia menjadi
seorang akademikus di Perguruan Tinggi Kekaisaran. Posisi dan ketenarannya tidak
mengubah sikap hormat dan pengabdiannya terhadap orangtua. Dia tidak pernah
mengabaikan segala sesuatu dalam kehidupan Ibunya. Dari menyiapkan sarapan
hingga membereskan tempat tidur beliau, Huang selalu mengurus sendiri keperluan
ibunya dan tak ingin bergantung pada para pembantunya.
“Saya akan memberekan tempat tidurnya dulu”
“Ya, Tuan”, kata pelayan.

Kesibukkan di kantor tak membuatnya lupa untuk mengurus ibunya. Ia sendiri pula
yang membantu ibunya mandi dan menyiapkan barang yang digunakan ibunya
sehari-hari, termasuk untuk membersihkan tempat untuk membuang kotoran ibunya.

“Mengapa Tuan tidak membiarkan kami saja yang mengurus semuanya ini
Yang Mulia?”, kata pelayan.
“Apakah kewajiban saya untuk memperhatikan bahwa Ibu hidup dengan
nyaman. Saya sudah melakukannya sejak kecil. Mengapa saya harus
menghentikan pekerjaaan itu sekarang?”
Orang-orang banyak terheran, namun ia tahu bahwa kewajibannya lah
memperhatikan ibu hidup dengan nyaman dari sejak kecil, maka ketika dewasa pun
kewajiban tersebut tetaplah kewajibannya seuumur hidup.
Makna : Bagi Tingjian jabatan bukanlah suatu dinding untuk bersikap angkuh
terhadap oraangtua, karena berkat orangtualah Tingjian bisa dikenal oleh
banyak orang. Baginya sebuah kewajiban seorang anak untuk berbakti pada
orang tua tanpa kenal siapa dan apa jabatannya di dunia. Karena dimata
siapapun, kita tetaplah seorang anak yang kala kecil sudah dirawat orangtua
kita. Maka bagi Tingjian sampai kapanpun selagi ia masih bisa membalas
perlakuan ibunya sejak ia kecil ia lakukan sampai ia dewasa, bahkan
sampai ia mati.

KESIMPULAN
Dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan gaya hidup yang begitu cepat,
masih dapatkah nilai-nilai budaya tetap utuh dan diterapkan pada masyarakat modern
saat ini? Bila diterapkan dengan ajaran Confusius, tentang seperangkat prinsip moral
seperti kebajikan yang dianggap sebagai nilai tertinggi, mengandung arti kesetiaan,
tindakan memaafkan, bakti anak, penghormatan, kedermawanan, kesetiaan yang baik,
sikap banyak akal, dan kebaikan. Bakti anak terhadap orangtua, yaitu kewajiban
mengasihi kedua orang tua merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran
Konfusius. Keluarga yang baik merupakan dasar bagi masyarakat yang baik dan
keluarga yang baik didasarkan pada kasih sayang orangtua kepada anak-anak mereka,
dan kesetiaan serta kepatuhan anak-anak terhadap orangtua mereka. Prinsip bakti anak
terhadap orangtua sangat disarankan oleh Konfusius pada zaman sekarang sebab prinsip
ini tetap merupakan nilai dasar keluarga yang penting. Melalui ilustrasi komik inipun
banyak memberikan bukti realita yang mencerminkan dari kehidupan nyata, bahwa
turut dan berbakti pada orang tua adalah tugas sorang anak hingga ia mati.
DAFTAR RUJUKAN
Wai, Tan Choon. 2000. Filial Piety Bakti Kepada Orang Tua. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Chung, Tsai Chih. 2002. Pepatah Confucius. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Kusumohamidjojo, Budiono. 2010. Sejarah Filsafat Tiongkok: Sebuah Pengantar
Komprehensif, Yogyakarta: Jalasutra.
Nurgiyantotoro, Burhan. 2005. Sastra Anak Pengantar Pemahaman Dunia Anak,
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Setiawan, Ebta, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia, [Online],
(http://kbbi.web.id/realisme, diakses 10 Juni 2017)
Shadily, Tian Hadiansyah., 2013, Comic Learning, [Online],
(https://manusiapurbaa.wordpress.com/tag/komunikasi-visual/, diakses 10 Juni 2017)