Efektivitas Antioksidan Daun Psidium Guajava Linn Terhadap Antioksidan Saliva dan Penyembuhan Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Tipe Minor

26

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Tanaman Psidium guajava Linn.

Beragam tanaman tumbuh subur di Indonesia. Sebagian besar tanaman tersebut
dapat digunakan sebagai sumber bahan obat alam dan telah banyak digunakan oleh
masyarakat secara turun temurun untuk keperluan pengobatan. Salah satunya adalah
Psidium guajava L atau yang biasa disebut jambu biji. Psidium guajava L. merupakan
tanaman yang banyak ditemukan di wilayah Indonesia, walaupun sebenarnya berasal
dari Amerika Tropik. Buah, kulit pohon dan daun dapat digunakan sebagai obat
herbal (BPOM, 2008).

2.1.1 Sistematika Tanaman Psidium gujava L.
Secara botani, sistematika tanaman P. guajava L. adalah :
Divisio


: Spermatophyta

Sub divisio

: Angiospermae

Klass

: Dicotyledonae

Ordo

: Myrtales

Famili

: Myrtaceae

Genus


: Psidium

Spesies

: Psidium guajava Linn. (Van Steenis, 1947)

Sering dikenal dengan nama guava dan di Indonesia disebut juga jambu batu,
jambu klutuk atau jambu siki (BPOM ,2008).

2.1.2 Deskripsi Tanaman
Pohon P. guajava L sering tumbuh liar dan dapat ditemukan pada ketinggian 1
m sampai 1.200 m dari permukaan laut. Batangnya berkayu, keras, kulit batang licin,
berwarna coklat kehijauan. Daun tunggal, bertangkai pendek, letak berhadapan, daun
muda berambut halus, permukaan atas daun tua licin.

Universitas Sumatera Utara

27

Helaian daun berbentuk bulat telur agak jorong, ujung tumpul, pangkal

membulat, tepi rata agak melekuk ke atas, pertulangan menyirip, panjang 6 sampai 12
cm, lebar 3 cm sampai 6 cm. Bunga tunggal, bertangkai, keluar dari ketiak daun,
berkumpul 1 sampai 3 bunga, berwarna putih. Buahnya buah buni, berbentuk bulat
sampai bulat telur, berwarna hijau sampai hijau kekuningan. Daging buah tebal, buah
yang masak bertekstur lunak, berwarna putih kekuningan atau merah jambu. Biji
buah banyak mengumpul ditengah, kecil-kecil, keras, berwarna kuning kecoklatan
(BPOM, 2008).

B

A

C

Gambar 2.1 (A). Pohon P. guajava L; (B). Buah P. guajava L.; (C). Daun P.
guajava L. (BPOM, 2008)

2.1.3 Kandungan
Buah mengandung vitamin C, vitamin A, zat besi, kalsium dan fosfor.
Kandungan vitamin C buah jambu biji lima kali lebih banyak dibandingkan jeruk.

Buah jambu biji mengandung saponin dengan

oleanolic, Morin-3-O-α-L-

lyxopyranoside dan morin-3-O-α-L-arabopyraoside dan flavonoid, guaijavarin dan

Universitas Sumatera Utara

28

quercetin. Kulit buah terutama mengandung 56-600 mg asam askorbat. (Kumar,
2012).
Sedangkan daun P. guajava L. mengandung flavonoid, tanin, ellagic acid,
triterpenoid, guiajaverin, quercetin dan senyawa kimia lainnya. Kulit pohon
mengandung 12-30% tanin atau polifenol, resin dan kristal kalsium oksalat (Kumar,
2012). Akar juga kaya akan tanin. Selain tanin, akar juga mengandung
leukocyanidins, sterol dan asam galat. Ranting mengandung kalsium, magnesium,
fosfor, kalium dan natrium. Konsentrasi fluoride berkisar 0,02-0,11 ppm, tembaga
(0,02-0,14 ppm), besi(2,86-5,14 ppm), seng(0,31-0,57 ppm), mangan(0,00-0,26 ppm)
dan timbal (0,00-0,11 ppm) (Kumar, 2012).


2.1.4

Manfaat

Penelitian tentang tanaman jambu biji baik buah dan daunnya telah banyak
dilakukan baik pada hewan coba maupun manusia dan menunjukkan tanaman ini
aman untuk dikosumsi dan tidak menunjukkan toksisitas.
a. Antimikroba
Ekstrak P. guajava L. efektif terhadap Escherichia coli, Salmonella typhi,
Staphylococcus aureus, Preteus mirabiis dan Shigella dysenteria secara invivo. Hal
ini karena P. guajava L. kaya akan tanin dan memiliki kandungan antiseptik (Kumar,
2012).
b. Antiinflamasi
Ekstrak etanol P. guajava L. juga efektif terhadap edema pada tikus yang
diinduksi karaginin. Kandungan minyak esensial pada P. guajava L. efektif terhadap
fase eksudatif dan proliferatif pada reaksi inflamasi (Kumar, 2012). Aktivitas
antiinflamasi juga efektif dilaporkan beberapa penelitian lainnya.
c. Antispasmodik
Tanaman ini juga memiliki khasiat spasmodik aromatik dengan rebusan daun

yang muda. Masyarakat India dan Ghana sering menggunakannya sebagai
pengobatan kejang otot (spasmus) dan demam. (Kumar, 2012).

Universitas Sumatera Utara

29

d. Antioksidan
Kemampuan antioksidan sering dikaitkan dengan kandungan flavonoid dan
quercetin (Kumar, 2012). Kandungan flavonoid pada tanaman ini berfungsi sebagai
antioksidan sehingga mampu menangkap radikal bebas (Atmaja cit Oktiarni, 2012).
Ekstrak daunnya merupakan sumber antioksidan alami yang potensial (He, 2004).
e. Kegunaan lainnya
Pengobatan disentri, diare, penyakit jantung dan aritmia, antitusif, analgesik,
radang tenggorokan, batuk pilek dan obat- obatan topikal untuk infeksi telinga dan
mata (Kumar, 2012).

2.2

Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR)


Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) merupakan salah satu penyakit mulut yang
paling umum ditemukan pada masyarakat. Masyarakat umum mengenal SAR sebagai
sariawan. SAR dikenal juga dengan ulser aftosa rekuren, cold rore, dan canker sore.

2.2.1 Defenisi SAR
Istilah “apthous” berasal dari kata Yunani, “aptha” yang berarti ulserasi (Jurge
dkk, 2006). Istilah ini pertama sekali disebut oleh Hippocrates (460-370 SM) sebagai
„aphthai‟ untuk menggambarkan penyakit pada rongga mulut (Woo dan Greenberg,
2008). Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) adalah ulserasi pada mukosa rongga mulut
yang berulang minimal 2-3 episode kambuhan dalam satu tahun (M Kumar dkk, 2014
& Langlais, 2014).

2.2.2 Epidemiologi
Kejadian SAR mencapai

5-50% pada populasi umum dengan studi

epidemiologi yang berbeda-beda. Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR, aphthae, canker
sores) umumnya menyerang remaja dan dewasa dengan rentang usia 10-40 tahun

(Guallar, 2014). Ulser muncul pertama sekali di bawah usia 30 tahun pada 80% kasus
dengan frekuensi kambuhan bervariasi dari tahun ke tahun (Akintoye dkk, 2005).
Beberapa penelitian melaporkan SAR lebih sering ditemukan pada wanita.

Universitas Sumatera Utara

30

Sedangkan pada penelitian Nassaji dkk. (2012) tidak ada perbedaan bermakna
pengaruh jenis kelamin terhadap SAR, baik wanita maupun pria mempunyai
kesempatan yang sama menderita SAR.

2.2.3 Etiologi
Berbagai faktor resiko telah dilaporkan menjadi pemicu terjadinya SAR.
Faktor- faktor tersebut disimpulkan menjadi dua bagian besar yaitu faktor sistemik
dan faktor lokal. SAR pernah disalahartikan dengan infeksi virus Herpes Simpleks.
Namun, penelitian telah membuktikan bahwa tidak ada efek yang signifikan pada
penyembuhan SAR dengan pemberian antivirus. (Greenberg dkk, 2008). Faktor lokal
seperti trauma fisik dan alergi (Scully, dkk., 2003). Faktor sistemik yang berperan
terhadap terjadinya SAR seperti faktor defisiensi nutrisi, gangguan gastrointestinal,

imunologi, genetik, malnutrisi, dan obat-obatan telah diidentifikasi sebagai faktor
pemicu kemungkinan SAR. Keadaan sistemik juga merupakan pemicu penyebab
rekurensi SAR. Namun para ahli mengemukakan beberapa faktor yang dapat memicu
terjadinya SAR antara lain genetik, hormonal, imunologi, psikologis dan defisiensi
hematologi (Scully, dkk., 2003 & Greenberg, dkk., 2008)
a. Genetik
SAR cenderung dipengaruhi oleh faktorgenetik. Lebih dari 40% individu yang
mengalami SAR memiliki orang tua yang pernah mengalami SAR (Preeti, 2011).
Miller, dkk. melaporkan bahwa dari 1303 anak dari 530 keluarga didapati mengalami
SAR dengan riwayat orang tua yang juga positif mengalami SAR. Suatu penelitian
yang dilakukan oleh Ship dan asosiasinya melaporkan bahwa pasien yang orang
tuanya positif mengalami SAR memiliki kesempatan 90% untuk mengalami SAR
dibandingkan dengan anak-anak yang orang tuanya tidak mengalami SAR hanya
memiliki kesempatan 20%. Hal ini berhubungan dengan genetik khusus HLAs yang
teridentifikasi pada pasien RAS khususnya pada etnik tertentu.
b. Gangguan sistem imun
Sebagain besar penelitian menitikberatkan etiologi SAR pada ganggunan
imunitas tubuh. Peneliti awalnya menghubungkan penyakit autoimun atau

Universitas Sumatera Utara


31

hipersensitivitas pada suatu organisme tertentu seperti Streptococcus sanguis. Peneliti
lebih lanjut menghubungkan dengan penilaian terhadap imunitas dan lebih
menyarankan terhadap kerja limfositoktoksisitas, antibodi yang berhubungan dengan
sel yang memediasi sitotoksisitas dan jumlah sel limfosit pada suatu populasi tertentu.
Thomas dan instansinya menunjukkan bahwa limfosit T dari pasien SAR meningkat
sehingga dihubungkan dengan sitotoksisitas pada epitel sel rongga mulut yang
menyebabkan ulserasi pada mukosa mulut (M Arun dkk, 2014).
c. Defisiensi Nutrisi
Defisiensi nutrisi juga memainkan peranan penting dalam episode terjadinya
SAR. Defisiensi nutrisi yang sering dikaitkan dalam etiologi SAR terdiri dari zat besi,
asam folat dan vitamin B12. Beberapa kasus lainnya juga telah dilaporkan yang
berhubungan dengan defisiensi nutrisi pada penderita penyakit Celiac yang
mengalami gangguan dalam penyerapan makanan yang dihubungkan dengan SAR
yang berulang (Scully, 2003 & M. Arun dkk, 2014).
d. Faktor- faktor lainnya
Faktor- faktor lainnya yang pernah dilaporkan antara lain:
1. Hormonal

2. Farida (2010) melaporkan adanya kasus-kasus SAR pada perempuan dengan
kista derrnoid ovariurn, infertilitas, dan karsinoma ovari. Setelah ovarium diangkat
SAR menghilang tanpa pernah karnbuh. Pada wanita insidensi SAR lebih besar
dibandingan

pria

yang

mungkin

dihubungkan

dengan

siklus

menstruasi.

Ketidakseimbangan hormonal menyebabkan imunitas tubuh berkurang sehingga
imunitas pada saliva di rongga mulut juga berkurang akibatnya memungkinkan
trauma lokal menyebabkan ulser di rongga mulut yang berulang hampir di setiap saat
menstruasi (Preeti L, 2011).
3. Psikologis
Stress dan ketidakseimbangan psikologi dihubungkan dengan SAR. Stres fisik
maupun psikologis memicu peningkatan kadar kortisol. Berdasarkan penelitian, kadar
kortisol meningkat seiring dengan meningkatnya stres menyebabkan berkurangnya
imunitas di dalam rongga mulut sehingga memicu terjadinya ulser (Gallo dkk, 2009).

Universitas Sumatera Utara

32

4. Alergi
Laporan kasus SAR yang dipicu oleh alergi terhadap bahan pasta gigi Sodium
Lauryl Sulfate (SLS). SLS dapat mengikis lapisan musin sehingga meningkatkan
kerentanan terjadinya SAR (Chavan, 2012).
5. Status antioksidan
Peranan antioksidan dalam SAR menarik perhatian karena didapati level
Superoxide Dismutase (SOD) dan katalase yang rendah pada pasien SAR (Beitollahi
dkk, 2010).

2.2.4

Patogenesis

Imunopatogenesis SAR diduga mencakup mekanisme respon imun yang
melibatkan produksi dari sel T, interleukin, dan tumor necrosis factor alpha (TNF-α),
yang merupakan sitokin proinflamantori dan berhubungan dengan perkembangan
SAR. Selain mekanisme kompleks imun, terlibat pula mekanisme yang dimediasi
limfosit dan reaktivitas silang antara streptokokus dan mukosa mulut. Perubahan
imun diawali dengan adanya rangsangan antigenik yang tidak diketahui dari
keratinosit dan mengakibatkan aktivasi limfosit T, sekresi sitokin (TNF termasuk-α),
dan kemotaksis leukosit. TNF-α diyakini memainkan peran penting dalam
perkembangan lesi SAR baru dan ditemukan meningkat dua sampai lima kali lipat
pada saliva pasien yang terkena. Perubahan juga dilaporkan terjadi pada elemen
sistem pertahanan saliva seperti enzim superoksida dismutase, yang berpartisipasi
dalam respon inflamasi ulser ini (JR Beguerie dan M Sabas, 2015).

2.2.5

Klasifikasi dan Gambaran Klinis

Gambaran klinis SAR penting untuk diketahui karena kasus SAR yang
sederhana tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium yang spesifik. Adapun fase
dari perjalanan penyakit SAR menurut Boras dan Savage (2007) yaitu:
a. Fase prodromal
Fase prodromal diawali dengan gejala rasa sakit dan terbakar selama 24-48 jam
sebelum terjadinya ulser.

Universitas Sumatera Utara

33

b. Fase pre-ulseratif
Fase preulseratif hampir bersamaan dengan fase prodromal. Fase singkat dan
bersifat sementara. Pada fase ini akan tampak respon vaskular lokal yang
menyebabkan perkembangan secara klinis dari kemerahan dan pembengkakan.
Secara histologis, limfosit akan masuk ke lapisan epitel basal dan menginisiasi proses
sitotoksis yang akan menyebabkan kematian sel epitel dan berlanjut ke fase ulseratif.
c. Fase ulseratif
Fase ulseratif merupakan fase dominan dan diketahui secara khusus oleh pasien
karena adanya nyeri lokal sehingga mengganggu aktivitas. Kerusakan dan
terputusnya epitel menyebabkan ulser kecil yang berkembang dengan cepat ke ukuran
maksimal pada lesi tertentu. Umumnya diameter SAR 0,3-0,5 cm. Periode ini terjadi
pada hari keempat hingga beberapa hari.
d. Fase penyembuhan
Fase penyembuhan diidentifikasi dengan hilangnya rasa nyeri. Ulser akan
ditutupi oleh eksudat fibrin kekuningan yang dapat bertahan 10-14 hari.
e. Fase remisi
Fase remisi ditandai dengan tidak ditemukannya lesi.
Menurut

Bagan,

Sanchis,

Milian

Penarrocha

dan

Silvester

(1991)

menyimpulkan terdapat 3 tipe SAR berdasarkan gambaran klinisnya yaitu :
1. SAR tipe Minor merupakan tipe paling umum dijumpai 70-85% dari
keseluruhan kasus. Gambarannya berupa lesi yang berbentuk oval atau bulat yang
ditutupi oleh pseudomembran yang berwarna putih keabuan dan dikelilingi halo
eritematosa. Setiap episode SAR dapat terjadi satu hingga lima buah ulser dengan
diameter kurang dari 1 cm yang umumnya mengenai mukosa yang tidak berkeratin
seperti mukosa labial, lateral lidah, mukosa bukal, dasar mulut dan dapat sembuh
dengan sendirinya dalam waktu 14 hari tanpa meninggalkan jaringan parut. (Gambar
2.2 (A))
2. SAR tipe Mayor merupakan tipe yang paling parah dari SAR dan ditemui
10% dari keseluruhan kasus. Tampilan lesi ini sama dengan tipe Minor hanya saja
ukuran diameternya yang lebih besar melebihi 1 cm dan mengenai daerah bibir,

Universitas Sumatera Utara

34

palatum mole, palatum durum dan faring (mukosa yang berkeratin). Lesi ini dapat
bertahan hingga 6 minggu dan dapat meninggalkan jaringan parut. (Gambar 2.2 (B))
3. SAR tipe Herpetiform merupakan subtipe SAR yang ditemui 1-10% dari
keseluruhan kasus dengan gambaran lesi ulser yang kecil, dalam, dan sakit. Ulser
dapat berjumlah hingga 100, diameter lesi 2-3 mm, ukuran lesi menjadi lebih besar
jika ulser tersebut bersatu membentuk ukuran ulser yang lebih besar dengan tepi yang
irregular. SAR tipe herpetiform berbeda dengan tipe lainnya karena lebih sering
dijumpai pada wanita dan usia tua. Lesi dapat sembuh dan hilang dalam waktu 15
hari. (Gambar 2.2 (C))

B

A

C

Gambar 2.2 (A) Stomatitis Aftosa Rekuren Minor; (B) Stomatitis Aftosa Rekuren
Mayor (Woo & Greenberg, 2008); (C) Stomatitis Aftosa Herpetiform (Boras, 2007)
2.2.6

Diagnosa
Diagnosis SAR dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis.

Berdasarkan anamnesis, operator akan mengetahui riwayat kambuhan, lokasi yang
berpindah-pindah, pemicu kambuhan, perawatan yang dilakukan, kebiasaan buruk,

Universitas Sumatera Utara

35

kondisi penderita dan sebagainya sebagai data untuk mencari faktor predisposisi yang
memicu terjadinya SAR pada individu tersebut (Woo dan Greenberg, 2008). Pada
pasien dengan ulser aftosa yang kompleks atau yang berhubungan dengan keadaan
sistemik sehingga harus memperhatikan keadaan sistemik yang melatarbelakangi
sebagai pemicu. Laporan 244 pasien yang mengalami ulser aftosa yang kompleks,
hampir 60% nya dihubungkan dengan faktor pemicu sistemik. Faktor tersebut antara
lain defisiensi nutrisi, penyakit gangguan gastrointestinal, defisiensi imun dan reaksi
obat-obatan. (Neville, 2016)

2.2.7 Perawatan
SAR merupakan kondisi inflamasi yang paling umum pada rongga mulut,
sehingga diagnosis dan perawatan lesi oral yang berulang merupakan masalah pada
praktisi umum dan spesialis.
Perawatan umum SAR bersifat simtomatik dengan tujuan untuk menghilangkan
nyeri, mempercepat penyembuhan dan mencegah infeksi sekunder. Beberapa obat
pilihan yang dapat digunakan untuk perawatan SAR yaitu (Cawson dan Odell, 2008):
a. Kortikosteroid
Kortikosteroid topikal menjadi andalan dalam pengobatan SAR. Kortikosteroid
memberikan efek sebagai anti inflamasi yang akan mereduksi ulser serta mengurangi
rasa sakit. Pasta triamconolone acetonid salah satu contohnya yaitu pasta
kortikosteroid. Pasta ini melekat pada mukosa yang lembab seperti mukosa labial.
Obat topikal ini berfungsi melindungi lesi dan mempercepat penyembuhan sehingga
penderita merasa nyaman ketika makan dan minum.
b. Antimikrobial
Klorheksidin 0,2% telah digunakan sebagai obat kumur untuk megobati ulser.
Larutan ini digunakan 3 kali sehari setelah makan dan dipertahankan dalam mulut
selama kurang lebih 1 menit. Hal ini telah terbukti dapat mengurangi durasi
penyembuhan pada ulser tersebut.

Universitas Sumatera Utara

36

c. Salisilat topikal
Olahan dari salisilat kolin dalam bentuk gel dapat diaplikasikan pada ulser
SAR.
d. Dan lain- lain
Obat golongan immunomudulator seperti dapsone, amlexanox dan thalidomide
dilaporkan dapat mengurangi ukuran ulser pada pasien yang memiliki SAR. Pada
kasus SAR yang ringan terapi umumnya menggunakan kostikosteroid topikal.
Kebanyakan pasien dengan minor atau herpetiformis memberikan respon yang baik
ketika diberikan obat kumur dexamethasone (0,5 mg/5 ml) atau gel 0,05% clobetasol
propionate.

Selain mengunakan obat- obatan kimiawi, SAR juga dapat diobati

dengan obat- obatan herbal. Kelebihan obat herbal selain ramah lingkungan juga efek
toksik yang minimal. Beberapa obat-obatan yang pernah dilaporkan sebagai
perawatan SAR yaitu: kunyit, daun teh, mur( Commiphoramolmol), propolis, aloe
vera, echinacea, minyak lavender, juga P. guajava L. (Wadhawan dkk, 2014 dan
Guintu, 2013).

2.3

Oksidan dan Antioksidan
Tubuh menghasilkan partikel berenergi tinggi dalam jumlah kecil yang dikenal

radikal bebas pada saat proses metabolisme normal. Proses metabolisme sehari- hari
yang merupakan proses biokimia, menyebabkan terbentuknya radikal bebas yang
bersifat sementara karena dengan cepat diubah menjadi senyawa yang tidak
berbahaya bagi tubuh. Namun, jika terjadi reaksi dalam tubuh yang berlebihan maka
akan terjadi perampasan elektron oksigen tersebut sehingga menjadi tidak
berpasangan. Hal tersebut mengakibatkan atom oksigen menjadi radikal bebas yang
berusaha mengambil elektron dari senyawa lain menjadi senyawa oksigen reaktif
(SOR) (Kumalaningsih, 2006).

2.3.1 Senyawa Oksigen Reaktif (SOR)
Senyawa oksigen rekatif juga dikenal dengan radikal bebas. Radikal bebas
adalah atom atau gugus atom yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak

Universitas Sumatera Utara

37

berpasangan, sehingga senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan (Fessenden
dan Fessenden, 1986). Pada konsentrasi tinggi radikal bebas dan bahan sejenisnya
berbahaya bagi makhluk hidup dan dapat merusak semua bagian utama sel. Radikal
bebas juga mengganggu produksi normal DNA, dan merusak lipid pada membran sel.
Radikal bebas ditemukan pada lingkungan sekitar kita (F Ahmadi, 2010).
Sifat radikal bebas yang tidak stabil menyebabkan reaksi menerima atau
memberikan elektron sekitarnya. Kebanyakan molekul ini bukan radikal bebas
melainkan makromolekul biologi seperti lipid, protein, asam nukleat dan karbohidrat.
Dengan reaksi ini menghasilkan reaksi radikal bebas beruntun yaitu terbentuknya
radikal bebas baru yang beraksi lagi dengan makromolekul lain (Hanson, 2005).
Senyawa oksigen reaktif (SOR) memainkan peranan penting dalam pengenalan
sel dan proses metabolisme, tetapi juga berkontribusi pada proses inflamasi. Individu
yang sehat menjaga keseimbangan antara senyawa oksigen reaktif dan antioksidan
(Saral Y et al., 2005 dan Swapna LA et al., 2014 dan Shetti A et al., 2009). SOR
memberikan kontribusi terhadap patogenesis sebagian besar penyakit dan telah
banyak dilaporkan dalam 2 dekade dewasa ini. Radikal bebas yang sering dijumpai
merupakan turunan oksigen meliputi O2-, OH, OOH, RO, ROO, RCOO, RCOOO,
ArO, ArOO dan lainnya atau senyawa SOR yang ada seperti nitrit oxide dan nitrit
dioxide, thiol radicals dan carbon-centered radicals (F Ahmadi, 2010).

2.3.2

Stres Oksidatif dan Penyakit

Stress oksidatif adalah suatu keadaan ketidakseimbangan antara jumlah radikal
bebas dengan antioksidan, dimana jumlah radikal bebas lebih banyak dibandingkan
dengan antioksidan. Jika produksi radikal bebas melebihi kemampuan antioksidan
intra selular untuk menetralkannya maka kelebihan radikal bebas sangat potensial
menyebabkan kerusakan sel (Suarsana, 2013). Kerusakan sel ini disebut kerusakan
oksidatif yaitu kerusakan biomolekul penyusun sel. Adanya peningkatan stres
oksidatif berdampak pada kerusakan pada membran lipid, kerusakan DNA dan
protein, oksidasi enzim dan menstimulasi terlepasnya sitokin proinflamasi (Avci dkk,
2014). Berbagai penyakit yang telah dihubungkan dengan oksidatif stres dan SOR

Universitas Sumatera Utara

38

penyakit jantung, kanker, mepercepat penuaan, karies dan penyakit periodontal
(Swapna dkk, 2014).
Stres oksidatif berasal dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal berupa
aktivitas enzim, proses metabolisme sel dan sel yang dapat mengubah senyawa
oksigen menyadi sumber radikal bebas atau SOR. Sedangkan sumber eksternal yaitu
asap rokok, polusi udara, obat- obat tertentu, racun, makanan cepat saji, bahan
tambahan makanan, sinar ultraviolet dan radiasi (F Ahmadi, 2010).

2.3.3

Antioksidan

Radikal bebas dinetralisir dengan aktivitas antioksidan. Antioksidan adalah
senyawa yang mempunyai strukstur molekul yang dapat memberikan elektronnya
kepada molekul radikal bebas dan dapat memutuskan reaksi berantai dari radikal
bebas (Kumalaningsih, 2006). Antioksidan atau reduktor berfungsi untuk mencegah
terjadinya reaksi oksidasi atau menetralkan senyawa yang telah teroksidasi dengan
cara menyumbangkan hidrogen dan atau elektronnya. Antioksidan merupakan
senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi, dengan mengikat radikal bebas dan
molekul yang sangat reaktif sehingga kerusakan sel dapat dihambat (F Ahmadi,
2010). Antioksidan dapat ditemukan pada sel hidup, dan seluruh spesis biologi.
Antioksidan yang terdapat didalam makanan, interseluler dan enzim bersama
melindungi manusia dari stres oksidatif dan mencegah terjadinya penyakit.
Antioksidan juga menjaga keutuhan struktur dan jaringan.

2.3.3.1

Klasifikasi Antioksidan

Antioksidan tubuh dikelompokkan menjadi 3 menurut Kumalaningsih (2006)
dan F Ahmadi (2010) yakni:
a. Antioksidan primer yang berfungsi untuk mencegah pembentukan senyawa
radikal baru karena dapat merubah radikal bebas yang ada menjadi molekul yang
berkurang dampak negatifnya, sebelum radikal bebas ini sempat bereaksi. Contohnya
adalah enzim SOD yang berfungsi sebagai pelindung hancurnya sel- sel dalam tubuh

Universitas Sumatera Utara

39

karena radikal bebas, CAT, GSHPx, s-transferase, carotenoids, transferin, albumin,
haptolubin, dan seruloplasmin.
b. Antioksidan sekunder merupakan senyawa yang berfungsi menangkap
senyawa serta mencegah terjadinya reaksi berantai. Contohnya adalah vitamin E,
vitamin C dan betakaroten yang dapat diperoleh dari buah- buahan, albumin,
bilirubin.
c. Antioksidan tersier merupakan senyawa yang memperbaiki kerusakan sel- sel
dan jaringan yang disebabkan radikal bebas. Contohnya enzim metionin sulfoksidan
reduktase untuk memperbaiki DNA pada inti sel.
Antioksidan alami banyak ditemukan pada tanaman seperti biji-bijian, buah,
dan sayur-sayuran yang mempunyai manfaat untuk kesehatan. Antioksidan alami
antara lain turunan fenol, kumarin, hidroksi sinamat, tokoferol, difenol, flavonoid,
dihidroflavon, katekhin dan asam askorbat (Prakash, 2001).
Senyawa antioksidan alami tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau
polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, kumarin, tokoferol dan asamasam organik. Senyawa polifenolik dapat bereaksi sebagai pereduksi, penangkap
radikal bebas. Antioksidan alami yaitu antioksidan yang dapat diperoleh dari tanaman
atau hewan berupa tokoferol, vitamin C, betakaroten, flavonoid dan senyawa fenolik
(Kumalaningsih, 2006).

2.3.3.2

Antioksidan Saliva

Saliva merupakan cairan rongga mulut kompleks yang berasal dari kelenjar
saliva mayor dan minor. Sekitar 99% saliva terdiri dari air dan 1% lainnya merupakan
molekul organik dan inorganik seperti elektrolit, musin, imunoglobulin dan berbagai
enzim. Saliva memiliki aksi pertahanan terhadap rongga mulut seperti imunoglobulin
dan mekanisme pertahanan enzimatik melawan bakteri, virus, jamur, melindungi
mukosa, dan membantu dalam proses penyembuhan.
Reaksi pertama antara makanan dengan jaringan tubuh terjadi pertama sekali di
rongga mulut. Saliva memodulasi ekosistem rongga mulut dan berperan
menyeimbangkannya sehingga saliva adalah pertahanan pertama melawan radikal

Universitas Sumatera Utara

40

bebas. Berbagai penelitian telah menghubungkan antioksidan saliva dengan penyakit
pada gigi, jaringan periodontal maupun jaringan lunak rongga mulut (F Ahmadi,
2010).
Antioksidan enzimatik dan nonenzimatik terdapat pada saliva dengan jumlah
yang bervariasi. Antioksidan pada saliva antara lain: urid acid (70 % dari kapasistas
total antioksidan), vitamin C (10% dari kapasistas total antioksidan), albumin dan
enzimatik antioksidan. Peroksidasi rongga mulut terjadi melalui dua mekanisme
enzim yaitu salivary peroxidase (SPO) dan myeloperoksidase (MPO). SPO
disekresikan oleh kelenjar saliva mayor yaitu kelenjar parotis yang berkontrbusi
terhadap 80% kinerja peroksidasi sedangkan MPO dihasilkan dari leukosit proses
inflamasi pada rongga mulut yang berkontribusi 20% kinerja peroksidasi. Meskipun
kinerja peroksidasi dalam saliva 0,01% dari total protein saliva, kinerja peroksidasi
memainkan peranan dalam dua cara yaitu: (1) mengurangi level hidrogen peroksida
(H2O2) yang diekskresikan oleh bakteri dan leukosit di dalam rongga mulut, dan (2)
meningkatkan aktivitas antibakteri spesifik dengan menghambat metabolisme dan
proliferasi berbagai bakteri di rongga mulut (F Ahmadi, 2010).

2.3.3.3

Superoksida Dismutase (SOD)

SOD adalah metaloenzim yang mengkatalisis dismutase radikal anion
superoksida (O2-) menjadi hidrogen peroksida (H2O2) dan Oksigen (O2).
Selanjutnya H2O2 di dalam mitokondria akan mengalami detoksifikasi oleh enzim
katalase menjadi senyawa H2) dan O2, sedangkan H2O2 yang berdifusi ke dalam
sitosol akan didetoksifikasi oleh enzim glutation peroksidase (Pandey dan Rizvi,
2010; Halliwell, 2006).
SOD yang merupakan antioksidan enzimatik primer, melindungi sel-sel tubuh
dan mencegah terjadinya peradangan yang diakibatkan oleh radikal bebas (Swapna
dkk, 2014). Enzim ini terdapat pada semua organisme aerob. Mekanisme kerja SOD
berikatan pada logam yang terdapat pada zat-zat gizi mineral seperti mangan (Mn),
seng (Zn) dan tembaga (Cu) (Winarsi, 2007).

Universitas Sumatera Utara

41

Produksi antioksidan tinggi pada saliva yang terstimulasi dibandingkan saliva
pada istirahat. Namun demikian dalam proses analisis level antioksidan pada saliva
tidak terstimulasi akan mewakili status antioksidan yang sebenarnya pada rongga
mulut (Edgar, 1992). Whole saliva juga lebih akurat dibandingkan cairan crevikular
gingiva, sel imun dan metabolisme jaringan dalam menggambarkan status
antioksidan di rongga mulut (Navazesh, 1993).

2.3.3.4

Faktor- Faktor yang Memengaruhi Level Antioksidan

Faktor-faktor yang memengaruhi efektivitas dan level antioksidan antara lain :
produksi dan jumlah radikal bebas baik secara eksogen maupun endogen, kerusakan
akibat radikal bebas, potensi dan konsentrasi antioksidan, asupan makanan, merokok,
penuaan, stres, aktivitas fisik, hormonal, antioksidan yang berasal dari makanan,
suplemen makanan (selenium, zinc, copper), dan faktor lainnya seperti kondisi
sistemik yang menurun (Vertuani dkk, 2004).

2.4

Penentuan Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH

Metode untuk menentukan aktivitas antioksidan ada beberapa cara, yaitu: 1.
BCB Methode (β- Caroten Bleaching Methode) atau Metode Pemutihan β- Karoten,
2. DPPH (1,1- difenil-2-picrylhydrazil) Radical Scavening Methode (Metode
Pemerangkapan Radikal Bebas DPPH), 3. Thiobarbituric Acid- Reactive Substance
(TBARS) Assay, 4. ORAC Assay (oxygen-Radical Absorbance Capacity), 5.
CUPRAC Assay (Cupric Reducing Antioxidant Capacity), 6. FRAP Assay (Ferric
Reducing Antioxidant Power), 7. Determination of Conjugated Dienes, 8.
Determination of Lipid Hydroperoxides (De la Rosa, 2010).
Metode DPPH merupakan suatu metode yang cepat, sederhana dan murah
untuk menguji kemampuan antioksidan yang terkandung dalam makanan. DPPH
berwarna sangat ungu seperti KMnO4 dan tidak larut air. Prinsip kerjanya adalah
kemampuan sampel uji dalam meredam proses oksidasi DPPH (1,1- difenil-2picrylhydrazil) sebagai radikal bebas dalam larutan metanol (sehingga terjadi
peredaman warna ungu DPPH) dengan nilai IC50 (konsentrasi sampel uji yang

Universitas Sumatera Utara

42

mampu meredam radikal bebas sebesar 50%) digunakan sebagai parameter untuk
menentukan aktivitas antioksidan sampel uji tersebut (Molyneux, 2004). Metode
DPPH dapat digunakan untuk sampel padat dan larutan dimana elektron ganjil pada
molekul DPPH memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang 517 nm
yang berwarna ungu. Warna ini akan berubah dari ungu menjadi kuning lemah
apabila elektron ganjil tersebut berpasangan dengan atom hidrogen yang
disumbangkan senyawa antioksidan. Perubahan warna ini berdasarkan reaksi
keseimbangan kimia (Prakash, 2011).
Parameter yang dipakai untuk menunjukkan aktivitas antioksidan adalah harga
konsentrasi efisien atau efficient concentration (EC50) atau inhibition concentration
(IC50) yaitu konsentrasi suatu zat antioksidan yang dapat menyebabkan 50% DPPH
kehilangan karakter radikal atau konsentrasi suatu zat antioksidan yang memberikan
% penghambatan 50%. Zat yang mempunyai aktivitas antioksidan tinggi, akan
mempunyai harga EC50 atau IC50 yang rendah (Molyneux, 2004).
Kemampuan suatu senyawa dalam meredam radikal bebas DPPH tergantung
pada transfer atom hidrogen dari senyawa tersebut (Bendary dkk, 2013). Senyawa
fenol lebih aktif sebagai antioksidan dibandingkan senyawa yang mengandung gugus
N-H karena energi disosiasi ikatan O-H lebih rendah dibandingkan N-H dan sifat
keelektronegatifannya H dengan O dalam ikatan O-HG lebih tinggi daripada N
dengan H dalam ikatan N-H sehingga ikatan O-H lebih mudah memutus atom H
daripada N-H. Energi disosiasi ikatan O-H merupakan parameter penting dalam
evaluasi aktivitas antioksidan karena semakin lemah ikatan O-H, atom H mudah
untuk dilepas dan semakin mudah bereaksi dengan radikal bebas sehingga radikal
bebas menjadi stabil (Bendary dkk, 2013).

2.4.1

Pelarut

Pelarut digunakan untuk memaksimalkan kandungan aktif kimia dalam suatu
senyawa. Pelarut yang sesuai dengan metode DPPH adalah metanol. Pelarut metanol
baik untuk menguji aktivitas antioksidan senyawa/ekstrak yang bersifat nonpolar
ataupun polar (Gandjar dan Rohman, 2012). Gavanji, dkk (2014) telah melaporkan

Universitas Sumatera Utara

43

bahwa ekstrak etanol mengandung lebih banyak jumlah fenol dibandingkan ekstrak
air yang mana jumlah fenol yang tinggi menandakan aktivitas antioksidan yang lebih
tinggi pula.

2.4.2

Spektofotometri UV-Visible

Spektrofotometer merupakan alat yang digunakan pada metode analisis
kuantitatif substansi kimia, fisik, biokimia melalui absorpsi cahaya dengan
pengukuran intensitas cahaya yang dihasilkan oleh larutan sampel. Setiap bahan
kimia

yang

diabsorpsi,

diteruskan

atau

direfleksikan

cahayanya

(radiasi

elektromagnetik) dengan panjang gelombang tertentu (Gore M, 2000). Nilai
absorbansi dari cahaya yang dilewatkan akan sebanding dengan konsentrasi larutan di
dalam kuvet. Alat ini menggunakan hukum Lambert Beer sebagai acuan (Ewing.
1985).
Ahli kimia yang lama menggunakan warna sebagai bantuan dalam mengenali
zat- zat kimia. Spektrofotometri dapat dianggap sebagai perluasan suatu pemeriksaan
visual yaitu dengan mengunakan alat untuk mengukur absorbansi energi radiasi
macam- macam zat kimia dan memungkinkan dilakukannya pengukuran kualitatif
dari suatu zat dengan ketelitian lebih besar (Day, 1994).
Prinsip kerja spektrofotometer dapat dilihat pada gambar 2.3. Collimator
mentransmisikan foton melalui monokromator (prisma) untuk dilewatkan pada
komponen spektrum panjang gelombang. Kemudian selektor panjang gelombang
(slit) hanya mentransmisikan panjang gelombang tertentu yang telah ditentukan,
panjang gelombang tersebut akan melewati kuvet (sampel). Fotometer (detector)
mendeteksi jumlah foton yang diabsorpsi dan mengirimkan sinyal ke galvanometer
atau layar digital (Gore M, 2000)

Universitas Sumatera Utara

44

Gambar 2.3 Struktur dasar spektrofotometer (Gore, 2000)

Universitas Sumatera Utara

45

2.5

Kerangka Teori

Stomatitis Aftosa Rekuren
(SAR) Tipe Minor

Etiologi tidak diketahui pasti

Genetik

Gangguan
sistem imun

Faktor Predisposisi

Defisiensi
nutrisi

Hormonal

Stres

Stres oksidatif
>>:
Ketidakseimbangan oksidan
dan antioksidan dalam tubuh

Respon inflamasi : rasa sakit,
halo eritema, ukuran ulser

Antioksidan endogen menurun:
Superoxide Dismutase (SOD)
saliva

Memiliki kandungan
flavonoid memberikan aksi
antioksidan eksogen

Ekstrak daun P. guajava
L.

Universitas Sumatera Utara

OH

29

2.6 Kerangka Konsep

Ekstrak etanol P. guajava L. :
Aktivitas Antioksidan Ekstrak

Stomatitis Aftosa Rekuren
(SAR) Tipe Minor:
a.
b.
c.
d.

Diameter ulser
Skor rasa sakit
Eritema halo
Superoksida
Dismutase (SOD)
saliva

2.7 Hipotesis Penelitian
1.

Aktivitas antioksidan ekstrak daun P. guajava L. sangat kuat

2.

Aktivitas antioksidan ekstrak daun P. guajava L. efektif mengurangi

diameter ulser pada penderita SAR tipe minor
3.

Aktivitas antioksidan ekstrak daun P. guajava L. efektif mengurangi rasa

sakit pada penderita SAR tipe minor
4.

Aktivitas antioksidan ekstrak daun P. guajava L. efektif mengurangi

eritema halo pada penderita SAR tipe minor
5.

Ada perbedaan rata-rata kadar SOD saliva sebelum perawatan antara

kelompok perlakuan dibandingakan kelompok plasebo
6.

Ada pengaruh ekstrak daun P. guajava L. sebagai antioksidan dalam

meningkatkan kadar SOD saliva penderita SAR tipe minor dibandingkan kelompok
plasebo pada hari keenam perawatan
7.

Ada pengaruh ekstrak daun P. guajava L. sebagai antioksidan dalam

meningkatkan bermakna kadar SOD saliva setelah pengobatan (hari ke-6)
dibandingkan sebelum pengobatan (base line) pada kelompok perlakuan.

Universitas Sumatera Utara

31

Universitas Sumatera Utara