D 902006002 BAB VIII

BAB 8
KONFLIK SABDA RAJA DAN SULTAN
PEREMPUAN
Mekanisme paugeran yang bisa melebur ke dalam
pemerintahan, khususnya seputar Undang-undang Keistimewaan
tampaknya menjadi kemajuan tersendiri mengingat proses panjang
tentang tarik-ulur seputar masalah penetapan atau pemilihan
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Jika paugeran yang
menjadi ciri khas Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat bisa masuk ke
sistem perundang-undangan, maka hal ini menjadi titik tengah yang
sesuai untuk mengakomodir dua kepentingan, Kraton dan pemerintah.
Sikap Sultan HB X ini dinilai merupakan wujud perpaduan
antara dimensi kultural dan dimensi demokrasi. Dimensi kultural
menyebutkan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur DIY merupakan
hak Sultan dan Paku Alam berdasarkan asal usul terbentuknya DIY.
Sedangkan dimensi demokrasi menyebutkan bahwa pemerintah
menetapkan seseorang yang menjabat sebagai Gubernur harus
memenuhi syarat dan kecakapan sebagai kepala daerah. Titik tengah
dari dua dimensi ini terletak pada Sultan dan Paku Alam dalam
menyiapkan kepala daerah yang memenuhi syarat dan kecakapan
sebagaimana telah ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini merupakan titik

temu antara paugeran tentang suksesi yang dimasukkan ke dalam
Undang-Undang.Titik tengah ini secara jelas menyebutkan bahwa
Sultan yang bertahta sebagai Gubernur DIY juga harus memiliki
kecakapan sebagaimana syarat dari pemerintah untuk menjadi seorang
kepala daerah. Perubahan suksesi yang tidak serta-merta menetapkan
Sultan otomatis menjadi Gubernur DIY ini sangat berimbas pada
perubahan internal di lingkup Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Oleh karena itu, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dituntut harus
siap menghadapi perubahan tersebut. Jika hal ini terjadi, maka
203

Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat benar-benar telah mengalami
perubahan yang sangat mendasar seputar praktek peralihan atau
pergantian kekuasaan. Perubahan tersebut menurut Sri Sultan
merupakan kenyataan dan tuntutan bagi setiap pemimpin di
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang mengalami perubahan
dan tantangan di zaman yang berbeda.
Diawali polemik alot mengenai masuknya paugeran ke dalam
sistem perundang-undangan (UU) merupakan suatu cara bagaimana
tradisi kultural bisa masuk dan menyatu dalam tradisi pemerintahan

kota Yogyakarta. Sehingga hal tersebut tentunya akan berdampak pada
polemik baru ketika paugeran yang di laksanakan tidak sesuai dengan
UUK (Undang-undang Keistimewaan). Polemik tersebut muncul
ketika Sri Sultan mengeluarkan Sabda Raja dan banyak kalangan
termasuk sentana dalem tidak setuju karena tidak sesuai dengan
peugeran dan tentunya tidak sesuai dengan apa yang ada dalam UUK
(Undang-undang Keistimewaan). Polemik tersebut didasari oleh
beberapa kepentingan dari banyak kalangan sehingga sesuai dengan
apa yang dikatakan Dahrendorf bahwa untuk menggambarkan setiap
keteraturan tidak didasarkan pada kebebasan personal, tetapi
kesepakatan bebas dari semua yang terlibat karena dipaksa, seperti
didasarkan pada otoritas dan subordinasi. Dapat dilihat bahwa sabda
raja merupakan otoritas yang dimiliki oleh Sultan sehingga mau tidak
mau sabda raja harus sejalan dengan paugeran yang sudah disepakati
bersama. Namun berbeda kondisi dengan sabda raja yang di ungkapkan
oleh Sultan karena dianggap melanggar peugeran yang ada. sehingga
polemik menimbulkan pro kontra dari beberapa pihak dengan berbagai
penyebab dan alasan yang melatarbelakangi.
Pengageng II tepas Tandha Yekti, KPH Yudohadiningrat atau
Romo Noer menyebutkan kata-kata yang dirangkai dalam gelar Sultan

Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan wujud kewenangan, tanggung
jawab, serta wujud legitimasi kekuatan politik, kekuatan spiritual dan
kekuatan kultural. Makna gelar dimaksud Ngarsa dalem bermakna
yang dijadikan pemimpin, sampean dalem bermakna yang tindakannya
selalu menjadi teladan bagi rakyat, ingkang sinuwun bermakna yang
204

dimuliakan dan diminta kebaikannya, kanjeng bermakna yang
dihormati, sultan bermakna yang menjadi penguasa, hamengku
buwono memuat tiga makna yakni Hamangku: pengabdian tanpa
pamrih, dengan lebih banyak memberi daripada menerima(hakekat
dari berbudi bawa leksana), Hamengku: merengkuh(ngemong),
melindungi dan mengayomi tanpa membedakan golongan, keyakinan
dan agama (hakekat dari ambeg adil paramarta), Hamengkoni: yang
menjadi tumpuan semua orang, pengayom, yang menjadi teladan, yang
selalu siap berdiri paling depan untuk melindungi rakyatnya(hakekat
dari gung binathara). Sedangkan Senopati ing Ngalogo bermakna yang
menjadi Panglima Perang melawan kemiskinan, kebodohan, dan
kezaliman. Ngabdurrahman bermakna yang tetap menyadari sebagai
hamba Allah, Sayidin Pranatagomo bermakna yang menjadi pemimpin

dan menata kehidupan menurut agama. Khalifatullah bermakna yang
mengemban amanat Allah di dunia. Ingkang jumeneng bermakna yang
bertahta. Ing Ngayogyakarta bermakna di Negara Yogyakarta yang
suci, dihormati, serta makmur sejahtera. Hadiningrat bermakna yang
indah, berwibawa serta mulia.
Pergulatan wacana yang bergulir selama penyusunan Perdais
No 1 tahun 2015 adalah perihal kemungkinan Gubernur Perempuan.
Pasal 3 ayat 1 huruf m, yang berbunyi : calon gubernur dan wakil
gubernur harus menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat,
antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri dan
anak. Ayat 1 huruf m mengenai pencantuman istri, jelas menutup
peluang Yogyakarta memiliki Gubernur Perempuan.
Sultan bertahta Sultan Hamengku Buwono X menyikapinya
dengan mengeluarkan Sabda Raja pada 6 Maret 2015 dalam bahasa
Jawa yang terjemahannya berbunyi:
1. Tak seorang pun bisa mendahului wewenang Kraton (Raja).
2. Tak seorang pun bisa memutuskan atau membicarakan ihwal
Mataram. Terlebih aturan mengenai Raja, termasuk aturan
pemerintahannya. Yang bisa memutuskan hanya Raja.
205


3. Siapa pun yang sudah diberi jabatan harus mengikuti perintah
Raja yang memberikan jabatan.
4. Siapa saja yang merasa bagian dari alam dan mau menjadi satu
dengan alam, dialah yang layak diberi dan diperbolehkan
melaksanakan perintah dan bisa dipercaya. Ucapannya harus
bisa dipercaya,tahu siapa jati dirinya, dan menghayati asalusulnya. Bagian ini sudah ada yang mengatur. Bila ada
pergantian, tidak boleh diganggu.
5. Siapa saja yang menjadi keturunan Kraton, laki-laki atau
perempuan, belum tentu diperbolehkan melaksanakan
wewenang Kraton. Yang diberi wewenang sudah ditunjuk. Jadi
tidak ada yang diperbolehkan membahas atau membicarakan
takhta Mataram, terlebih para pejabat Kraton, khawatir terjadi
kekeliruan.
6. Sabdatama ini dimunculkan sebagai patokan untuk membahas
apa saja, termasuk aturan Kraton dan negara.
7. Sabdatama yang lalu terkait dengan perda istimewa dan dana
istimewa
8. Jika Undang-Undang Keistimewaan butuh direvisi, dasarnya
Sabdatama. Itulah perintah yang harus dimengerti dan

dilaksanakan.
Poin-poin Sabda Raja 6 Maret 2015 merupakan peringatan
Sultan yang melarang pihak pihak diluar kraton mencampuri urusan
suksesi. Poin kedelapan Sabda Raja menyiratkan poisisi Perdais dan
Undang Undang Keistimewaan DIY No 13 tahun 2012 berada dibawah
Sabda Raja, jika revisi akan dilaksanakan. Rangkaian sabda raja berikut
menegaskan atas kekuasaan Sultan pada dua sisi dimensi kulturalnya
dan dimensi modernitasnya. Disatu sisi Sultan adalah penentu dan
pembuat kebijakan tertinggi di dimensi kulturalnya melalui sabda raja,
disisi dimensi modernitasnya Sultan menyuarakan kesetaraan hak
perempuan dan laki laki, terlepas dari fakta Sultan bertahta tidak
memiliki putra laki-laki. Kelima putra Sultan bertahta adalah
perempuan.
206

Sabda Raja berikutnya diumumkan pada tanggal 30 April 2015,
dalam terjemahan bahasa Indonesia berikut:
Menerima perintah dari Allah SWT dan ayah saya, kakekkakek saya, dan para leluhur Mataram.Saat ini saya
menerima anugerah dari Allah SWT dengan gelar Ngarso
Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan

Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng ka Sepuluh
Suryaning Mataram lan senopati ing ngalogo lanngengin
bawono langgeng langgengin toto panotogomo.Sabda Raja ini
perlu dimengerti dilaksanakan dan diamalkan demikianlah
Sabda Saya.

Dawuh Raja berikutnya diumumkan pada 5 Mei 2015 dalam
terjemahan bahasa Indonesia berikut:
Saudara semua, saksikanlah saya Sampean Dalem Ingkang
Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng
Kesepuluh Surya ning Mataram, Senopati ing Kalogo,
Langenging Bawono Langgeng, Langgeng ing Toto
Panotogomo mendapat perintah untuk menetapkan Putri
saya Gusti Kanjeng Ratu Pembayun menjadi Gusti Kanjeng
Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng
ing Mataram. Mengertilah, begitulah perintah saya.

Kekuasaan Sultan atas Abdi Dalem kraton tergambar pada
Dawuh Raja yang diumumkan pada tanggal 31 Desember 2015.
“Dawuh ini tadi, diperuntukan kepada abdi dalem,” kata Pengageng

Kabupaten Puralaya Imogiri dan Kotagede, Kanjeng Raden
Tumenggung (KRT) Hastono Ningrat. Dawuh tersebut sama sekali
tidak terkait dengan konflik internal Kraton yang sedang terjadi,
karena Sabda Raja sebelumnya. “Enggak ada soal itu. Bukan soal tahta.
Ini tadi hanya ditujukan untuk abdi dalem, poin dari dawuh raja
tersebut yaitu meminta para abdi dalem loyal kepada Kraton
Yogyakarta dan juga Sultan HB X sebagai Raja Kraton Yogyakarta.
Abdi dalem diminta untuk loyal, menurut kami ini hal yang biasa,”
tandasnya 1 . Ditelisik dari fenomena yang berkembang di internal

https://www.merdeka.com/peristiwa/sultan-hb-x-keluarkan-dawuh-raja-minta-abdidalem-lebih-loyal.html

1

207

maupun eksternal kraton penulis coba menggambarkan konflik dari
sudut pandang Dahrendorf dan strukturasi Giddens berikut:

Jenis Konflik

Konflik Agama
Sultan Bertahta melanggar paugeran
Kerajaan Mataram Islam

Gelar khalifatullahdihapuskan diganti dengan
suryaning mataram
Bagan 8.1. Konflik Agama di Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat

Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat memposisikan seorang
Sultan adalah sebagai wakil Allah di dunia (Khalîfat Allâh). Pada
periode Hindu-Budha, kedudukan raja adalah sebagai raja-dewata,
yakni raja dianggap sebagai perwujudan dewa. Ketika masa hidupnya,
seorang raja ini dianggap sebagai reinkarnasi dari para dewa, sehingga
raja sangat dikultuskan. Bahkan sampai kematian raja dianggap sebagai
proses pemuliaan atau pendewaan. Namun, islamisasi di Jawa telah
membawa perubahan besar pada konsep ini. Semenjak awal
didirikannya Kraton Yogyakarta hingga saat ini raja-raja Yogyakarta
memakai gelar Senopati Ing Alaga Abdurrahman Sayidin Panatagama
Khalîfatullah. Pada dasarnya, gelar raja ini merupakan simbol
kedudukan seorang raja. Pemaknaan terhadap gelar tersebut adalah

Sultan, secara lahiriah, merupakan panglima bagi setiap manusia untuk
mengalahkan musuh yang ada pada dirinya. Ia merupakan gambaran
batiniah hamba Allah yang mendapat kasih sayang-Nya, dan menjadi
pengelola agama yang berorientasi surgawi, dan juga sebagai cermin
penguasa yang mendapat nur ilahi yang memerintah sebagai walî
Allâh.

208

Ada tiga simbol kunci di sini. Pertama, Sultan adalah
Abdurrahman; kedua, sebagai Sayidin Panatagama; dan ketiga, Sultan
adalah Khalîfat Allâh. Pertama, seorang raja merupakan seorang hamba
Allah yang mendapat kasih sayang dari Tuhan. Di sini memberikan
ketegasan bahwa seorang Sultan adalah seorang hamba Allah, bukan
penjelmaan dari dewa atau Tuhan, sehingga konsep ini jelas berbeda
dengan konsep raja-dewata pada periode Hindu-Budha. Kedua, seorang
raja merupakan pengelola agama yang berorientasi surgawi. Dan
ketiga, raja adalah seorang penguasa yang mendapat Nur Ilahi yang
memerintah sebagai walî Allâh. Dari dua poin terakhir dapat diketahui
bahwa seorang raja selain sebagai pemimpin agama, juga sebagai kepala

pemerintahan. Konsep ini sama dengan konsep kekhalifaan pada
zaman Nabi Muhammad dan para sahabat. Ketika masa Nabi
Muhammad memerintah, selain beliau sebagai pemimpin agama,
beliau juga kepala pemerintahan. Yang perlu diperhatikan juga adalah
seorang raja haruslah mendapatkan wahyu atau dalam hal ini adalah
Nur Ilahi.
Dari ketiga analisis atas simbol kunci di atas, dapat diketahui
bahwa tidak ada sama sekali corak ke-Hindu-Budha-an dalam konsep
kosmologinya yang berkaitan dengan kedudukan raja dalam kosmos.
Bahkan, yang terlihat jelas adalah kosmologi yang bercorak Islam, di
mana seorang raja adalah orang yang mendapatkan wahyu yang
berkedudukan sebagai Panatagama dan Khalîfat Allâh. Wacana tentang
Khalîfat Allâh, merujuk pada sebuah pengertian bahwa seorang
khalîfah merupakan pengganti Nabi Muhammad. Melalui wahyu yang
didapatkan pula yang menjadikan seorang raja sebagai pusat (poros)
kosmis dan mistis yang dapat menjadi penghubung antara
mikrokosmos dengan makrokosmos. Jadi, dapat dikatakan bahwa teori
kerajawian Yogyakarta didasarkan pada interpretasi mistik terhadap
doktrin khalîfah dalam Islam.
Sesuai dengan apa yang di kodratkan dan sudah menjadi
sesuatu yang turun temuruh bahwa Sultan adalah Khalifah Allah Swt
maka menjadi sebuah kontroversi ketika nama khalifatullah diganti
dengan suryaning mataram. Hal itulah yang menjadi perdebatan
209

panjang baik oleh para sentana dalem maupun para pejuang mataram
islam karena pergantian itu dianggap sudah menyalahi kodrat Sultan
sebagai khalifah Allah SWT.
Konflik Budaya

PEMIMPIN

Pemikiran

Sultan bertahta

Sederek dalem, sentana dan
Kelompok Masyarakat
Penentang Sultan bertahta

PEMIKIRAN
TERBUKA

PEMIKIRAN
TERTUTUP

Modernitas, Pro Gender

Terkungkung dalam
Budaya Patriarkat

Bagan 8.2. Konflik Budaya di Kraton Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat

Sejarah Raja perempuan sudah ada sejak pada abad VII ketika
Ratu Shima yang bergelar Sri Maharani Satyaputikeswara, yang
memimpin Kerajaan Kalingga. Inggris juga pernah merasakan
kepimpinan perempuan pada abad XVI ketika dipimpin oleh Elizabeth
I 2. Indonesia yang merupakan negara demokrasi untuk kali pertama
dipimpin oleh seorang perempuan yaitu Megawati Soekarno Putri
dengan masa jabatan 2000-2004. Tampilnya perempuan sebagai
Lihat dalam SKH Kedaulatan Rakyat. Kolom Analisis. Perempuan Raja. 27 Mei
2010.Hlm 27
2

210

pemimpin bukanlah suatu hal yang tidak mungkin. Posisi raja atau
pemimpin tidak selamanya disandang oleh laki-laki. Perempuan dan
laki-laki memiliki kedudukan yang sama, bebas untuk mengutarakan
pendapat, bekerja maupun berkecimpung dalam pemerintahan.
Meskipun ada beberapa mitos tentang perempuan yang membedakan
peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Perempuan itu
“surgo nunut neraka katut”, perempuan itu konco wingking (teman
di belakang) yang berfungsi 3 M (masak, macak, manak) sehingga
perempuan ditempatkan dalam ranah domestik. Umumnya hal ini
terjadi pada masyarakat yang menganut patriarki di mana terdapat
hegemoni patriarki yaitu yang berkuasa adalah bapak3.
Patriarki dalam budaya jawa sistem budaya patriarki adalah
sistem budaya masyarakat yang seringnya menempatkan laki-laki pada
posisi dan kekuasaan yang lebih dominan bila dibandingkan dengan
perempuan. Laki-laki dipandang lebih superior, sedangkan perempuan
lebih inferior. Hal itulah yang membentuk karakter dari budaya
patriarki, yang menempatkan laki-laki di sektor publik, dan
perempuan di sektor domestik. Masyarakat Jawa adalah salah satu
masyarakat yang menganut sistem tersebut. Kaum perempuan
ditempatkan sebagai kelompok yang dipingit di dalam rumah, tidak
boleh bekerja di luar rumah. Pandangan tersebut sedikit banyak masih
tersisa dalam nilai-nilai sosial masyarakat Jawa saat ini.
Sistem patriarki tersebut masih terlihat dalam sistem
kepemimpinan Jawa di Kraton Yogjakarta. Aturan paugeran hanya
memperbolehkan laki-laki menjadi Sultan. Gelar yang disandang
Sultan, yakni Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun
Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga
Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah, mengonotasikan
suatu rentetan kata-kata yang bersifat maskulin. Terdapat bias gender
dalam gelar tersebut, yang berarti gelar semacam itu hanya pantas

Trisakti Handayani dan Sugiarti..2001. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang:
Pusat Studi Wanita dan Kemasyarakatan Universitas Muhammadiyah Malang.Hlm: 10

3

211

disandang oleh seorang laki-laki. Penetapan gelar tersebut
dalam paugeran berarti secara struktural menutup peluang perempuan
untuk menjadi pemimpin Kraton Yogjakarta. Di sinilah sistem budaya
patriarki bekerja, di mana sistem itu cenderung menempatkan laki-laki
pada sektor publik.
Secara
sosiologis,
struktur
sosial
masyarakat
bisa
diklasifikasikan berdasar stratifikasi sosial. Yakni, masyarakat
diklasifikasikan secara vertikal. Seperti jabatan dan pendidikan.
Kemudian, juga bisa secara diferensiasi sosial. Yakni, masyarakat
diklasifikasikan secara horizontal. Artinya, masyarakat terklasifikasi ke
dalam kelompok-kelompok sosial yang bersifat setara dan sederajat.
Wujud diferensiasi sosial tersebut antara lain ras, etnis, agama, dan
jenis kelamin. Dari konsep kedua itu, kita tidak bisa menilai mana
kelompok yang tinggi dan mana yang rendah (vertikal). Jenis kelamin
termasuk dalam konsep diferensiasi sosial. Namun, sering dalam
masyarakat yang menganut budaya patriarki, jenis kelamin dipandang
secara vertikal. Laki-laki dianggap berkedudukan lebih tinggi jika
dibandingkan dengan perempuan.
Kepemimpinan merupakan sesuatu yang bersifat gender, peran
yang dikonstruksi secara sosial, dan bukan takdir atau kodrat dari
Tuhan yang tidak dapat diubah. Artinya, peran sosial sebagai
pemimpin bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Sejarah
mencatat, Kerajaan Majapahit pernah dipimpin oleh ratu yang
bernama Tri bhuwana tungga dewi. Pada masa Indonesia modern, kita
juga pernah memiliki presiden perempuan pertama, yakni Megawati
Soekarnoputri.
Kepemimpinan perempuan memang menjadi polemik
tersendiri dalam masyarakat kita yang masih mewarisi budaya
patriarki. Seperti yang terjadi saat ini di Kraton Yogyakarta, yang
menobatkan Gusti Pembayun sebagai putri mahkota. Penobatan
tersebut ditentang sebagian masyarakat dan kerabat Kraton karena
dirasa melanggar aturan adat paugeran. Di satu sisi, kita memang harus
menghormati adat istiadat leluhur kita. Namun, di sisi lain, kita tidak
212

dapat menghindar dari proses perubahan sosial. Sebab, sifat masyarakat
tidak statis, melainkan dinamis –yang akan berubah mengikuti
perkembangan zaman. Cepat atau lambat, nilai-nilai sosial adat
tradisional dalam masyarakat akan mengalami proses sosial tersebut.
Karena itu, agar ”eksistensi Kraton” sebagai bagian dari pranata sosial
masyarakat Jawa, khususnya masyarakat Yogya, tetap ada, ia juga harus
peka terhadap zaman. Termasuk peka terhadap isu gender yang sedang
berkembang di era demokrasi saat ini4.
Dari fenomena diatas dapat kita pahami bersama bahwa konflik
budaya yang terjadi di Kraton Yogyakarta Hadiningrat adalah konflik
budaya patriarki. Pemahaman Sultan bertahta tentang kesetaraan
gender dengan menobatkan Gusti Pembayun ternyata mendapatkan
beraneka ragam pendapat sehingga menimbulkan konflik baik antar
pihak internal kraton maupun pihak eksternal. Menurut Dahrendorf
konflik ini dilandasi oleh dua aspek pemikiran satu diantaranya
berfikiran terbuka yakni pihak Sultan bertahtaberpandangan visioner,
dalam menjawab kebutuhan jaman, beradaptasi pada tata aturan dunia
(globalisasi) akan pengakuan kesetaraan antara pria dan wanita pada
berbagai aspek dan hak sosial, ekonomi, budaya termasuk hak politik,
dengan mengakui kesetaraan gender. Sementara di pihak lainnya,
pihak sederek dalem dan pihak eksternal (kelompok Pejuang Mataram
Islam) berparadigma terkungkung dalam budaya patriarki. Konflik
yang terjadi inipun juga di dasari oleh kepentingan yang berbeda yakni
kepentingan Sultan bertahta yang menginginkan posisinya digantikan
oleh keturunannya, disisi pihak penentangnya menganggap bahwa
keputusan Sultan bertahta melanggar peugeran dan akan memutus
silsilah Sultan Hamengku Buwono. Konflik kepentingan ini perlu
diselesaikan dengan cara kompromi agar masalah terselesaikan
sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.

Puji Laksono. 2015. Pascasarjana UNS. Kepemimpinan Perempuan dalam Monarki
Jawa. https://www.pressreader.com/indonesia/jawa-pos/20150509/281509339753086 .
diakses 5/9/2017 pukul 14.44
4

213

Konflik Kepentingan
Awal
Yogyakarta belum memiliki UU
Keistimewaan No 13 tahun 2012

Pejuang UU 13 TAHUN 2012
1.Sultan bertahta
2.Semar Sembogo
3.Berbagai Asosiasi Masyarakat DIY

Ketika proses RUU Keistimewaan Sultan bertahta menjanjikan
untuk memembagi Kue Keistimewaan (Danais) untuk
kesejahteraan rakyat

Realita pasca berlakunya UU No 13 tahun 2012, Masyarakat yg
diwakili Paguyuban Dukuh se DIY(Semar Sembogo) belum terlibat
pelaksanaan Keistimewaan DIY

Penolakan Sultan Bertahta

1.
2.
3.

Ingin diajak menyusun RPJM DIY
Agar diberi bagian dari Danais untuk kesejahteraan rakyat di
masing-masing dukuh se-DIY
Diajak diskusi dalam kebijakan terkait UU 13 tahun 2013

Bagan 8.3. Konflik Kepentingan
214

Efek dari (Sabda Raja yang disampaikan Sultan bertahta pada 6
Maret 2015 belum berakhir. Pro dan kontra terhadap isi perintah raja
tersebut terus bermunculan. Materi Sabda Raja itu bertolak belakang
dengan semangat perjuangan penetapa beberapa tahun lalu disuarakan
elemen pendukung keistimewaan DIY. Paguyuban dukuh dan lurah seDIY “ Semar Sembogo” serta kelompok massa lainnya pernah aktif
sebagai Sekjen Gerakan Semesta untuk Rakyat Jogja (Genta-raja) yang
kemudian berubah menjadi Koordinator Keistimewaan Jogjakarta
Sejati atau Kerisjati, sejak 2008 hingga RUUK ditetapkan menjadi UUK
aktif menyuarakan dukungan penetapan Sultan Hamengku Buwono X
dan Adipati Paku Alam IX sebagai gubernur dan wakil gubernur DIY.
Potensi masalah yang timbul di kemudian hari terkait
suksesi di KratonYogyakarta. Ini dipicu karena Sultan bertahta tidak
memiliki keturunan anak laki-laki sebagai penerus takhta. Ketua
Paguyuban Dukuh “Semar Sembogo” meyakini di balik sabda Raja ada
kepentingan terselubung. Bila masyarakat tidak bergerak untuk
mengingatkan, keistimewaan DIY yang diperjuangkan selama beberapa
tahun bisa terancam. Hal itulah yang membuat Semar Sembogo
memperjuangkan UU No 12 Tahun 2013 di meja Mahkamah
Konstitusi, mengingat perjuangan untuk mencetuskanya lebih sulit.
Semar Sembogo merasa tidak di hargai lagi pihak Sultan bertahta.
Mereka tidak lagi diajak diskusi terkait rancangan kebijakan
pemerintah padahal pada proses perjuangan pembuatan UUK mereka
bersatu berjuang bersama. Semar Sembogo hanya meminta untuk
diajak diskusi atau dilibatkan dalam berbagai kebijakan dan
implementasi UU No 13 tahun 2012.Selain itu Semar Sembogo ingin
Sultan menepati janjinya dengan memberikan sebagian danais untuk
kesejahteraan rakyat. Supaya bukan hanya rajanya yang kaya namun
juga rakyatnya ikut makmur.
Semangat keberihakan pada akar rumput terlihat pada jawaban
ber api-apinya Sukiman Hadi Wiyono dalam wawancara di Kantor
Kadin Kabupaten Sleman pk 14.00 WIB. Sukiman membawahi 4.539
pedukuhan se-DIY, ia merupakan Pejuang Penetapan, Pejuang
terbentuknya UU Keistimewaan DIY No 13 tahun 2012 selama hampir
215

9 tahun. Sukiman mengibaratkan, ketika DIY berjuang memperoleh
Undang Undang Keistimewaan No 13 tahun 2012 sejak 2003, Semar
Sembogo berjuang
“Ibarate Nyurung Mobil Mogok, Basan Mobil Iso Mlaku, Bablas
Ora Noleh” (Rakyat berjuang memperoleh legitimasi keistimewaan,
namun setelah legitimasi diperoleh, penguasa melupakan rakyatnya).
Ia sebagai representasi akar rumput (pedukuhan) se-DIY,
menghendaki adanya pembangunan model partisipatif. Ia
menghendaki ada forum dimana akar rumput bisa terlibat dalam
Penyusunan Grand Desain Pembangunan DIY. Saat ini Sukiman
menjadi representasi Paguyuban Dukuh se-DIY bernama “Semar
Sembogo” masuk dalam kelompok Kontra Kraton/Sultan bertahta.
Namun bukan memperjuangkan kembalinya Kraton pada Paugeran,
namun memperjuangkan keterlibatan rakyat pada Proses
Pembangunan Pasca Berlakunya UU No 13 tahun 2012.

Pelaku Konflik
Pihak Internal Kraton
Pelaku internal yang mengusung terjadinya konflik terjadi pada
keluarga inti kraton yaitu istri, anak dan kelompok kasebul. Dengan
15 Sederek Dalem Sultan bertahta. Adapun tokoh penolakan 15
Sederek Dalemmerupakan putra dan putridari empat Istri Sultan
Hamengku Buwono IX dari keturunan KRAy Ciptamurti: GBPH
Pakuningrat, GBPH Cakraningrat, GBPH Suryodiningrat, GBPH
Suryomataram, GBPH Hadinegoro, GBPH Suryonegoro.

216

Pelaku Internal Konflik
di Kraton Yogyakarta Hadiningrat
Pendukung Sultan
Bertahta

Penolak Sultan Bertahta

1. Permaisuri Sultan HB
X
2. 5 Putri dan 4 Menantu
Sultan bertahta
3. Kelompok Kasebul

15 Sederek Dalem Sultan
bertahta
Beberapa Abdi Dalem
Kraton

Bagan 8.4. Bagan Pihak Internal Konflik Kraton Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat

Keturunan KRAy Hastungkara yaitu GBPH Condrodiningrat,
GBPH Yudhaningrat dan GBPH Prabukusumo. Keturunan KRAy
Pintoku Purnomo yaitu GBPH Hadisuryo. Dan keturunan KRAy
Windaningrum yaitu KGPH Hadiwinoto.

Gambar 8.1 Spanduk Kelompok Pro Kraton

Konflik tanpa menggunakan kekerasan, namun perdebatan
argumen antara satu dengan yang lain melalui mas media dan jalur
hukum. Para pelaku melakukan dukungan maupun penolakan
217

dilandasi oleh berbagai hal yang melatarbelakangi. Adapun latar
belakang keluarga yaitu istri dan anak-anak serta kelompok kasebul
dikarenakan mereka menganggap apa yang dilakukan oleh Sultan
bertahta adalah benar karena menjalankan sabda raja sesuai dengan
bisikan Allah SWT dan para leluhur serta berpandangan kedepan
menyesuaikan kebutuhan jaman, adaptif terhadap kesetaraan pria dan
wanita yang telah tertuang dalam UUD 1945 serta HAM.
Berbeda pendapat membuat 15 Sederek Dalem Sultan bertahta
melakukan penolakan atas apa yang dicetuskan dan di utarakan oleh
Sultan karena dianggap tidak melakukan musyawarah sebelum
mengeluarkan sabda raja dan dianggap melanggar paugeran.
Perdebatan yang memanas antara pelaku internal kraton menimbulkan
terjadinya konflik yang berkepanjangan apabila tidak segera di
selesaikan melalui forum pihak pihak yang berkonflik untuk
menyelesaikan secara musyawarah mencapai permufakatan.
Pihak Eksternal Kraton

Konflik Sabda Raja
PIHAK KONFLIK EKSTERNAL

Pejuang Mataram Islam

Kelompok Akademisi

Semar Sembogo
(paguyuban kepala Dukuh se-DIY)
Bagan 8.4. Bagan Pihak Eksternal Kraton

Dari kesekian masyarakat yang apatis mengenai perseteruan
sabda raja di kraton Yogyakarta hadiningrat membuat sebagaian
masyarakat ikut berpartisipasi dalam melakukan penolakan pertama
218

yaitu penolakan dari pejuang Mataram Islam, dalam sejarahnya kraton
Yogyakarta Hadiningrat merupakan bekas perjuangan mataram islam
sehingga dengan adanya persoalan mengenai sabda raja yang
menghapus Gelar khalifatullah serta menambah frasa suryaning
matarammembuat para pejuang mataram geram karena warisan
khalifatullah dari para leluhur diganti begitu saja oleh Sultan
Hamengku Buwono X.

Gambar 8.2 Pihak kontra Kraton dan spanduk

Semar Sambodo, merupakan paguyuban perangkat dukuh seDIY yang memperjuangkan UUK Yogyakarta hal tersebut dibuktikan
dengan 19 orang perwakilan Semar Sembogomenghadiri sidang
gugatan uji materi Undang-Undang Keistimewaan (UUK) Yogyakarta.
Sidang tersebut dihadiri oleh Semar Sembogo ke Jakarta sehubungan
dengan polemik di Kraton Yogyakarta atas di keluarkannya Sabda
Tama, Sabda Raja, dan Dhawuh Raja oleh Sultan bertahta tentang
Gumantosing Asma atau merubah nama Buwono menjadi Bawono
ataupun menghilangkan gelar Khalifatullah. Maka segenap keturunan
darah atau yang sering di sebut Trah melakukan penolakan demi
tegaknya UU no 13 tahun 2012 tentang keistimewaan DIY. polemik
dari keputusan baru dari Sultan bertahta ini kalau tidak segera di
selesaikan akan berimplikasi dan menggantu ketenteraman kehidupan
masyarakat DIY.
219

Selain Pejuang Mataram Islam dan Semar Sembogo, para
akademisi (UGM, UII, UIN) ikut serta dalam membahas polemik sabda
raja yang terjadi di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Upaya yang
mereka lakukan yakni dengan mengadakan seminar dengan topik
polemik sabda raja, diharapkan mengadakan seminar polemik sabda
raja sebagai forum sosialisasi dan menemukan jalan atau solusimasalah
tersebut.

Variabel Penyebab Konflik
Masalah Konflik
No

1
2

3
4

5

Awal Munculnya Konflik
30 April 2015
“Sabda Raja Pertama”
Perubahan
gelar
buwono
menjadi bawono
Gelar khalifatullah dihapuskan,
serta
menambah
frasa
suryaning mataram
Kaping sadasa diubah menjadi
kasepuluh
Pengubahan perjanjian antara
Ki Ageng Giring dengan
pendiri Mataram, Ki Ageng
Pamanahan
Keris
Kyai
Kopek
disempurnakan menjadi Keris
Kyai Jaka Piturun

Masalah Konflik
No

1

Awal Munculnya Konflik
5 Mei 2015
“Sabda Raja Kedua”
Pengangkatan Putri Pertama
Sultan HB X, GKR Pembayun
menjadi GKR Mangkubumi
Hamemayu Hayaning Bawono
Langgeng di Mataram

Bagan 8.5. Bagan Faktor Penyebab Konflik dan Faktor Internal Konflik

Penyebab dari adanya konflik Kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat diawali dari pencetusan sabda raja pada 30 April 2015
sabda raja pertama yang berisikan:
"Gusti Allah Gusti Agung Kuasa cipta paringana sira kabeh
adiningsun sederek dalem sentolo dalem lan Abdi dalem."
"Nampa welinge dhawuh Gusti Allah Gusti Agung Kuasa
Cipta lan rama ningsun eyang eyang ingsun, para leluhur
Mataram Wiwit waktu iki ingsun Nampa dhawuh
kanugrahan Dhawuh Gusti Allah Gusti agung, Kuasa Cipta
220

Asma kelenggahan Ingsun Ngarso Dalem Sampean Dalem
Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang
Jumeneng Kasepuluh Surya Ning Mataram Senopati ing
Ngalaga Langgenging Bawono langgeng ing tata
Panatagama."

Yang menjadikan masalah adalah perseteruan membahas
perubahan gelar buwono menjadi bawono, Gelar khalifatullah
dihapuskan, serta menambah frasa suryaning mataram, Kaping sadasa
diubah menjadi kasepuluh, Pengubahan perjanjian antara Ki Ageng
Giring dengan pendiri Mataram, Ki Ageng Pamanahan, Keris Kyai
Kopek disempurnakan menjadi Keris Kyai Jaka Piturun. Hal itulah
yang menyebabkan banyak perseteruan baik pihak internal maupun
eksternal karena dianggap perubahan yang termuat dalam sabda raja
melanggar paugeran yang ada dalam Kraton Hadiningrat Yogyakarta.
Konflik pertama belum selesai Sultan Hamengku Buwono X
mengemukakan Sabda Raja yang kedua yaitu pada 5 Mei 2015. Dawuh
Raja yang dikeluarkan Sultan yaitu :
“Siro adi ingsun, sekseono ingsun Sampean Dalem Ingkang
Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng
Kasepuluh Surya ning Mataram, Senopati ing Kalogo,
Langenging Bawono Langgeng, Langgeng ing Toto
Panotogomo Kadawuhan netepake Putri Ingsun Gusti
Kanjeng Ratu Pembayun tak tetepake Gusti Kanjeng Ratu
GKR Mangkubumi. Mangertenono yo mengkono dawuh
ingsun.”

Pengangkatan Putri Pertama Sultan bertahta, GKR Pembayun
menjadi GKR Mangkubumi Hamemayu Hayaning Bawono Langgeng
ing Mataram menjadi perdebatan serius baik kalangan interna kraton
maupun eksternal kraton. Dari pihak internal berpendapat bahwa
Sultan bertahta menginginkan GKR pembayun menjadi penerus Sultan
dan akan menjadi Ratu Mataram, sesuai adat Jawa, penerus keturunan
adalah pancer lanang (keturunan laki-laki). Sehingga penobatan GKR
Pembayun menjadi Ratu Mataram dianggap menghilangkan silsilah
Sultan Hamengku Buwono. Pihak eksternal masyarakat sebenarnya
tidak mempermasalahkan Sultan berikut laki-laki maupun perempuan.
221

Konflik Sabda Raja

KONFLIK INTERNAL: 15 Sederek Dalem/saudara se ayah
Menyatakan sikap
menentang sabda raja
dan dhawuh raja

Sultan bertahta
mengingkari Paugeran

Tidak menyetujui
penobatan
GKRPembayun sebagai
Putri Mahkota cacat dan
batal demi hukum
karena tidak sesuai
dengan paugeran

KONFLIK EKSTERNAL
Asosiasi Pejuang
Mataram Islam
Koordinator:
Kyai Tas’an
Aksi yang dilakukan:
 Aksi Tapa Pepe
 Menolak sabda raja
melalui WA Group
 Melakukan Sarese-han
Safari Jumatan di
Masjid Pathok Negoro
dan Masjid milik
Kraton se DIY: 54
masjid). Sarese-han
dilakukan setelah
Sholat Jumat kepada
Jemaah sekitar 100-150
umat Islam membahas
Sabda Raja dan
Kembalinya Kraton
Mataram sesuai
Paugeran

Kelompok Dukuh SeDIY

Kelompok Akademisi

Koordinator

Koordinator

Paguyuban Dukuh Semar
Sembogo:
Jumlah anggota
4.357 Kepala Dukuh
Aksi
damai
yang
dilakukan:
19
org
perwakilan
mengikuti
sidang tolak gugatan
Undang-undang Nomor
13 Tahun 2012 Tentang
Keistimewaan
(UUK)
Daerah
Istimewa
Yogyakarta (DIY) di MK
Jakarta.

UIN JOGYA
UGM
Anggota
Akademisi Yogyakarta
Kegiatan
Menyelenggarakan
seminar membahas sabda
raja yang bertentangan
dengan UU No 13 tahun
2012
Sejarah Mataram Islam
Gelar Budaya Mataram
Islam

Bagan 8.6 Bagan Rangkuman Konflik Sabda Raja
222

Puncak terjadinya sebuah konflik ditandai dengan aksi-aksi yang
dilakukan berbagai pihak:
Pihak internal melakukan musyawarah bersama membahas
sabda raja yang dikemukakan oleh Sultan bertahta. Mereka ingin
mencari titik temu mereka menganggap Sultan bertahta salah jalan,
melukai perasaan sederek dalem, menggelar sabda raja tanpa
melakukan musyawarah dengan sederek dalem. Menobatkan GKR
Pembayun menjadi GKR Mangkubumi memiliki makna ia akan
menjadi penerus Sultan dan akan menjadi Ratu Mataram berikut, akan
menghilangkan silsilah Sultan Hamengku Buwono, karena ia bukan
pancer lanang, dalam adat Jawa penerus trah adalah keturunan laki
laki. Perdebatan itu mereka diskusikan dalam forum musyawarah di
kalangan keluarga kraton Ngayogyakarta Hadiningrat di Yogyakarta
dan di Jakarta.

Gambar 8.3 Demonstrasi Kelompok Pejuang Mataram Islam(PMI) melalui
laku Tapa Pepe di Alun Alun Utara Kraton

Salah satu bentuk kontestasi dengan melakukan aksi Tapa Pepe.
Tapa pepe merupakan aksi yang dilakukan dengan cara berdiam diri di
depan Kraton dengan membawa foto-foto Sultan-sultan terdahulu. Hal
tersebut bertujuan untuk membuat Sultan bertahta menyadari yang
dilakukan merupakan pelanggaran paugeran. Saresehan Jumatan
berkeliling di 54 masjid kagungan dalem (masjid milik kraton) upaya
upaya Pejuang Mataram Islam mempertahankan Kraton tetap
konsisten pada Ajaran ajaran dan Norma Islam.
223

Gambar 8.4 Rapat Pejuang Mataram Islam di ndalem/rumah Gusti
Yudhaningrat

Aksi damai dilakukan Paguyuban Dukuh se-DIY Semar
Sembodo, melalui advokasi ke DPRD DIY sebagai bentuk penolakan
dikeluarkannya Sabda Raja oleh Sultan bertahta, kunjungan ke
Mahkamah Konstitusi Jakarta, mengikuti jalannya Sidang gugatan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan (UUK)
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY),

Gambar 8.5 Ketua Paguyuban Semar Sembogo pak Sukiman dan peneliti

Aksi damai dilakukan pihak akademisi melalui forum seminar
dengan stakeholder pemerintahan dan akademisi di DIY dari UGM,
224

UNY, dan UIN. Hal tersebut merupakan bentuk aksi dari respon
penolakan dikeluarkannya Sabda Raja oleh Sultan bertahta. Aksi-aksi
tersebut merupakan bentuk penolakan dan upaya mencari solusi
konflik. Penjelasan ini tidak dilihat dari segi integrasi, melainkan
bagaimana struktur penggunaan kekuasaan digunakan dan paksaan
yang terkoordinasi dimanfaatkan. Ia bukanlah sistem yang rapi,
bergantung timbal balik, yang bersifat teratur. Hubungan wewenang
ada dimana saja terdapat orang-orang yang perilaku mereka
ditundukkan kepada ketentuan-ketentuan yang sah dan mempunyai
sanksi yang berasal dari luar diri mereka sendiri tetapi didalam struktur
sosial (Dahrendorf: 205). Konflik kekuasaan di mana dalam proses
pelaksanaannya ada sanksi yang mucul dari pihak internal maupun
eksternal baik pendukung maupun penolak. Posisi Sultan ditilik dari
gelarnya: Senopati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama
Khalîfatullah. Sultan adalah seorang raja atau pemimpin masyarakat
dan pemerintahan. Senopati Ing Ngalaga menunjukkan bahwa sultan
secara lahiriah adalah seorang panglima bagi setiap diri manusia untuk
mengalahkan musuh.
Wacana tentang raja sebagai poros kekuasaan tidak terlepas
dari konstruksi teoretis tentang faham kekuasaan Jawa yang meliputi,
antara lain: raja sebagai pusat kekuasaan kosmis dan mistis, peranan
wahyu dan ngelmu kasampurnaan, dan sumber-sumber simbolik yang
mendukung. Dari sini terlihat bahwa Blau menyatakan bahwa kontrol
atas ketidakpastian merupakan sumber penting dari kekuasaan dalam
organisasi. Hal yang masih berhubungan dengan kekuasaan, kalau
seorang pemimpin muncul maka terdapat stabilisasi struktur
kepemimpinan. Proses-proses ini sesungguhnya merupakan perkembangan norma-norma dan nilai-nilai bersama yang memberikan
legitimasi pada struktur kepemimpinan itu. Hasilnya, pemimpin tidak
dilihat memperjuangkan kekuasaan, tetapi cenderung memiliki hak
untuk mengatur. Ideologi yang disosialisasikan pemimpin tidak akan
menggambarkan secara langsung bagaimana reward harus diberikan.
Berkaitan dengan faham kekuasaan Jawa tersebut, terdapat perbedaan
antara faham kekuasaan Jawa dengan faham kekuasaan Barat modern.
225

Jika di Barat, untuk mendapatkan kekuasaan, haruslah dengan
melakukan interaksi dengan manusia dalam masyarakatnya. Lain
halnya dengan di Jawa yang sumber kekuasaannya berasal dari Tuhan.
Kekuasaan raja Jawa lebih bersifat transendental dan adikodrati yang
secara otomatis kekuasaan raja tersebut juga bersifat gaib atau
adiduniawi dan spiritual.
Bagi seorang penguasa, wahyu merupakan sesuatu yang sangat
penting, karena melalui perantara wahyu seorang penguasa
mendapatkan legitimasi kekuasaannya. Kekuasaan seorang penguasa
tidak akan memiliki arti apapun tanpa otoritas wahyu. Seperti halnya
sabda raja yang dikeluarkan oleh Sultan bertahta. Menurut
kepercayaan penguasa Jawa, kesempurnaan tugas utama dari seorang
penguasa untuk mengaktualisir keselarasan, keseimbangan, dan
keharmonisan antara mikrokosmos dengan makrokosmos dapat dicapai
jika penguasa tersebut memperoleh wahyu.
Raja merupakan poros kekuatan spiritual bagi seluruh
kerajaannya, hal ini dipercaya karena hanya seorang raja yang mampu
menyedot kekuatan-kekuatan kosmis dari alam yang ada di
sekelilingnya. Hal yang paling penting bagi seorang raja adalah
menciptakan harmoni antara manusia dengan alam. Kemampuan raja
menciptakan harmoni antara dirinya, masyarakat, dan Tuhan
merupakan keberhasilan bagi raja dan menciptakan kekuatan spiritual
yang dapat mengendalikan hal-hal adiduniawi yang metafisik, dan
mempunyai kekuatan yang dinamis. Bila kesemuanya itu tercapai,
seorang raja dikatakan mempunyai kekuasaan atau kasekten untuk
mengendalikan sekelilingnya dengan baik.
Karena kekuasaan raja yang bersifat adiduniawi yang melekat
pada dirinya, maka kekuasaan raja bersifat mutlak. Itu sebabnya
otoritas raja tidak dapat diprotes oleh rakyat. Paham kekuasaan Jawa
yang bersifat religius membenarkan dirinya sendiri. Raja tidak dapat
diganggu gugat karena ia merupakan wahana atau Khalîfat Allâh.
Rakyat tidak berhak meminta pertanggungjawaban raja. Ini berarti
seorang raja harus bisa mengontrol dirinya sendiri agar amanat
226

kekuasaan tidak berpindah ke penguasa yang lainnya. Kemampuan
seorang raja untuk menciptakan kekuasaan yang unggul akan
melahirkan seorang raja yang besar, sehingga kerajaan di sekelilingnya
akan menundukkan diri terhadap raja yang sangat berkuasa. Sabda
yang dikeluarkan harus dilaksanakan meski mendapat penentangan
dari berbagai pihak karena dianggap melanggar paugeran

Cost dan Reward Bagi Pihak Kontra Kraton
Kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat

Pihak Kontra

Sultan Bertahta

Tidak
mendapatkan
cost and reward

Mengabdikan Diri

Menghormati
Bagan 8.7. Bagan Cost Kelompok Kontra Kraton

Raja atau Sultan memiliki Otoritas tinggi dalam mengatur
Kraton dan Pemerintahan. Melalui wahyu Allah Sultan dipercaya
sebagai khalifah dalam segala hal termasuk dalam pencetusan sabda
raja yang bertentangan dengan paugeran dan UU No 13 Tahun 2012.
Sehingga penolakan terjadi dari berbagai pihak yakni pihak internal 15
Sederek Dalem dan beberapa Abdi Dalem. Mereka menganggap apa
yang dilakukan sultan bertahta adalah keliru dan melukai perasaan
sederek dalem. Point terpenting ketersinggungan kelompok sederek
dalem adalah tidak adanya musyawarah sebelum Sultan bertahta
mengeluarkan Sabda Raja. Ini merupakan habitus/tradisi yang

227

menyimpang dari habitus/tradisi yang telah berlangsung ratusan tahun
di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Musyawarah untuk mufakat secara bersama dalam satu forum
agar menemukan titik temu sebagai penyelesaian masalah sangat
dibutuhkan. Tidak ada cost yang didapatkan dari para pihak internal
yang menentang. Secara teoritis kelompok penentang Sultan bertahta
harus tunduk terhadap otoritas Sultan bertahta.
Kelompok Pejuang Mataram Islam, Kelompok Paguyuban
Dukuh Se-DIY dan Kelompok Akademisi sebagai kelompok Penentang
Sultan bertahta melakukan penolakan khas Jogya, kelompok
paguyuban dukuh sebagai saksi ahli pada sidang uji materi di
Mahkamah Konstitusi, Jakarta, kelompok Pejuang Mataram Islam
konsisten membangun kesadaran umat Islam melalui jejaring
Organisasi Keagamaan dan Saresehan Safari Jumatan di 54 Masjid milik
Kraton. Sebagai penceramah Saresehan Safari Jumatan di 54 Masjid
milik Kraton adalah para Sederek Dalem, Abdi Dalem Kraton serta
Pemuka Agama Islam dari Kelompok PMI (Pejuang Mataram Islam).
Pelaksanaan saresehan bahasa yang digunakanpun menggunakan
Bahasa Jawa Kromo Inggil (Jawa Halus) dicampur bahasa Indonesia,
dan dilakukan dengan santun, tertib dan acara ini selalu diikuti dengan
jamuan snack atau makan siang. Adapun sumber dana penyelenggaraan
berasal dari Kas Masjid, Asosiasi PMI, Pribadi-pribadi Asosiasi PMI
maupun pihak Sederek Dalem.
Bentuk penolakan terhadap Sabda Raja, Asosiasi PMI
melakukan tapa pepe dimaksud agar Sultan meresponnya. Sedang
pihak Akademisi yang berseberangan dengan Sultan berkuasa
menyangkut Sabda Raja, mereka secara parsial melakukan Seminar,
Pentas Budaya yang dimaksud sebagai bentuk sosialisai kepada
masyarakat akan permasalahan yang tengah melingkupi Kraton. Tidak
ada cost dari pihak kraton baik hukuman maupun ancaman atas
tindakan yang dilakukan kelompok kontra Sultan bertahta, Sebuah ciri
yang unik, khas Jogya, yang disinyalir menjadi manifestasi budaya
adiluhung Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.Walau berseteru, namun
228

tetap menjaga kesantunan, Sultan dan jajaran sentana,abdi, dan
pemerintah daerah berusaha menahan diri, demi menjaga kharisma
Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Pihak kelompok Penentang Sultan
berkuasa ingin menyelesaikan masalah secara Musyawarah untuk
Mufakat, tidak menggunakanemosi dan kekerasan.
Keistimewaan ini merupakan keistimewaan yang dimilikiDIY
dengan Kraton sebagai pusat budaya adiluhungnya. Penolakan tidak
melalui cara cara kekerasan dan demonstratif, mereka tetap
menghormati Sultan bertahta. Seperti terlihat pada Sidang Uji Materi
di Mahkamah Konstitusi seperti dinyatakan Gusti Murdho satu
diantara 15 Sederek Dalem. Kami tidak melakukan tidak kekerasan
dalam bentuk pembicaraan, ataupun sikap dan tindakan. Selama
mengikuti Sidang Uji Materi kami tetap saling menyapa secara terbatas.
Reward bagi pihak kontra Kraton berupa pengakuan atas
loyalitas mereka dalam memperjuangkan Islam secara murni untuk
ditegakkan di Kraton. Pengakuan berasal dari Elemen Majelis Takmir
Masjid se DIY, Elemen Dukuh se DIY,15 sederek Dalem, MUI DIY, PP
Muhammadiyah, Paguyuban Warga Yogya Istmewa. Para tokoh pihak
kontra Kraton pun dapat memiliki akses kepada DPR DIY, yang ini
tidak mereka miliki jika saja mereka tidak menjadi motor penggerak
aksi damai perjuangan mengembalikan Kraton pada Paugeran.
Fenomena ini terlihat saat peneliti mengikuti aksi damai berupa
Audiensi Pejuang Mataram Islam ke DPR DIY tanggal 9 Agustus 2017.
Kiai Tasan dan pak Sriyadi terlihat sangat leluasa menguasai ruang
Sidang DPR DIY melalui orasinya, dengan dukungan sekitar 50
pengikut audiensi dari pihak Pejuang Mataram Islam. Terlihat wakil
Ketua DPR DIY Dharma Setyawan secara sabar mengingatkan waktu
yang disediakan telah lewat. Dan pak Dharma telah menjawab semua
pertanyaan dan kegundahan kelompok Pejuang Mataram Islam seputar
Pergantian gelar nama Sultan yang tidak sesuai dengan tertera pada UU
K DIY No 13 tahun 2012 menjadikan tidak dipenuhinya syarat yang
diajukan calon Gubernur DIY (Sultan Bertahta).

229

Reward Bagi Pihak Pro Kraton
Pihak pendukung Sultan bertahta tidak lain adalah keluarga
mereka sendiri serta komunitas yang didirikan oleh permaisuri Sultan.
Apakah mereka sekedar mendukung tanpa ada imbalan? Keluarga inti
Sultan yaitu Permaisuri, kelima putri an 4 menantunya. Namun untuk
kelompok Kasebul mereka tentunya mendapatkan reward. Reward
berupa kemudahan peningkatan jabatan dan kedudukan di Tata
Pemerintahan Kraton. Berbeda dengan Kelompok Kotra Sultan
bertahta, kemudahan peningkatan jabatan dan kedudukan di Tata
Pemerintahan Kraton akan sulit diperoleh.
KELOMPOK PRO SULTAN
BERTAHTA

1.
2.
3.

Istri Sultan bertahta
5 Putri dan 4 Menantu
Sultan bertahta
Beberapa Sentana

REWARD
Posisi, Jabatan,
Fasilitas

Bagan 8.8. Bagan Reward Kelompok Pro Kraton

Kekuasaan prerogatif Sultan bertahta pada pengangkatan dan
stagnannya jabatan dan kedudukan dalam Tata Pemerintahan Kraton
sepenuhnya pada Sultan bertahta.

230

Stuktur Kekuasaan: Signifikansi Antara Agen, Aktor dan
Struktur di Kraton
Sultan Bertahta

AGEN

Sentana Kraton
Kerabat Kraton
Abdi Dalem

AKTOR

Paugeran kraton
Tata nilai di kraton
Tata norma di kraton

STRUKTUR

Bagan 8.9 Signifikansi Antara Agen, Aktor Dan Struktur Di Dalam Kraton

Dalam dualitas antara struktur dan tindakan dalam konteks
kekuasaan kraton Yogyakarta melibatkan sarana-sarana. Gugus
signifikansi melibatkan sarana yang terwujud dalam bingkai
interpretasi tentang wacana penguasa kraton sebagai satu-satunya
pintu masuk untuk melakukan aktivitas kepemimpinan di kraton.
Sebelum kebijakan dibuat maka semuanya atas izin sultan dan sesuai
sabda raja. Penguasa kraton bertindak sebagai raja bagi para sentana,
abdi dalemmaupun masyarakat Yogyakarta. Wacana sultan atau raja
yang menguasai kraton Ngayogyakarta Hadiningrat terus diproduksi
bagi siapa saja yang berkepentingan terhadap kraton maupun
pemerintahan DIY. Tidak hanya pada masyarakat internal kraton
namun melingkupi stakeholder pemerintah DIY, mengingat Sultan
berada pada dua dimensi. Dimensi Kultur Sultan berkuasa sebagai Raja
di Kraton, dan Dimensi Modernitas Sultan Sebagai Gubernur .
Pada konteks praktek sosial Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat
dapat di identifikasi gugus prinsip struktural Giddens. Struktur
signifikansi dapat ditemukan dalam penguasa kratonNgayogyakarta
Hadiningrat, ia tidak saja menguasai Sumber-Sumber Budaya, Sultan
berkuasa, permaisuri, putri putri serta menantunya memiliki pula
kekuasaan pada Sumber Sumber Organisasi Sosial-Politik dan Sumber
231

Sumber Ekonomi melalui penguasaan seperti tergambarkan pada sub
bab sebelumnya Kekuasan lain yang dimiliki Sultan berkuasa adalah
pada politik praktisnya, ia bisa menciptakan struktur yang terbaharui
pada Pemerintahan DIY mengingat kekuasaannya melekat sebagai
Gubernur. Penyebutan penguasa DIY inilah yang menjadi kata yang
sangat disegani oleh pihak lain. Wacana penguasa Kraton Yogyakarta
bagi kalangan masyarakat telah terlembaga menjadi satu kesatuan yang
tak terpisahkan.
Struktur sebagai hasildari keterulangan praktek sosial dalam
konteks kekuasaan di Kraton Yogyakarta dalam gugus signifikasi dapat
diidentifikasi dari pembakuan signifikasi yang terbentuk melalui
pengulangan bahwa sentana, abdi dalem maupun masyarakat harus
menghormati Sultan selaku Raja dan Gubernur DIY. Wacana penguasa
Kraton terus direproduksi sehingga menjadikan semakin kokoh
membentuk sebuah struktur bahwa didalam kehidupan masyarakat
Yogyakarta tidak dapat melupakan apa yang di sebut Sabda Raja oleh
karena itu mereka harus patuh dengan Sabda Raja. Sultan adalah
gubernur, pada gilirannya menjadi semacam bagian dari struktur
praktek sosial yang terjadi di dalamnya. Keterulangan struktur ini
ditunjang dengan wadah-wadah koordinator yang memiliki tugas
masing-masing yaitu Sentana Kraton, Kerabat Kraton, Abdi Dalem
mereka memiliki tugas sebagai pekerja administrasi kasultanan dan
paugeran kraton, Tata nilai di kraton, Tata norma di kraton menjadi
pegangan bersama dalam kehidupan di kraton maupun di masyarakat
Yogyakarta.
Gugus signifikasi lain dapat diidentifikasi pada ranah
pemerintahan Sultan berkuasa. Pada konteks praktek sosial di kraton,
masyarakat dan jajaran kraton ini dapat diidentifikasi gugus prinsip
struktural Giddens. Siapapun yang berkeinginan mengusik atau
memiliki kepentingan yang berkaitan dengan kraton mau tidak mau
harus bersinggungan dengan aturan kraton yaitu paugeran dan UUK.
Wacana penguasa kraton harus terus direproduksi sehingga
menjadikan semakin kokoh membentuk sebuah struktur bahwa di
232

dalam kehidupan kraton dan masyarakat Yogyakarta tidak dapat
menghindar dari kekuasaan dari individu/sultan yang bertahta.

Legitimasi Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat

NORMA
SOSIAL
Norma
Hukum

PAUGERAN

Norma
budaya

Unggah
ungguh

Bagan 8.10 Bagan Legitimasi KratonNgayogyakarta Hadiningrat

Pada gilirannya gugus dominasi melibatkan legitimasi di
dalamnya. Gugus legitimasi pada tataran strukturnya, sementara pada
tataran interaksi atau praktek sosial berupa sanksi-sanksi. Antara
legitimasi pada tataran struktur dan praktek sosial terdapat sarana
berupa norma dibangun atau direproduksi melibatkan gugus dominasi
ini maka dalam praktek sosial terdapat sarana yang berupa norma dan
nilai. Norma-norma dibangun atau direproduksi melibatkan gugus
signifikasi dan dominasi. Berangkat dari gugus dominasi ini maka
dalam praktek sosial secara berulang-ulang antara Sultan berkuasa
dengan para sentana, abdi dan masyarakat DIY terbentuk seperangkat
norma. Seperangkat norma yang terbentuk melalui proses pengulangan
yang terus menerus dari praktek sosial ini merupakan hasilnya.
Sementara praktek sosial merupakan merupakan sarana praktek sosial
adalah realisasi norma yang terus menerus diberlakukan secara
berulang-ulang dalam tataran praktek sosial di dalamnya.
233

Sultan berkuasa memiliki kekuatan melegitimasi untuk
memberi sanksi jika ada sentana, abdi dan masyarakat yang tidak lagi
taat dengan aturan paugeran dan UU No 13 Tahun 2012. Disinilah
gugus legitimasi struktural akan nampak. Di sini nampak dualitas
antara struktur dan pelaku yang berlangsung sebagai sarana praktek
sosial. Sebagai Sultan berkuasa perangkat legitimasi tidak muncul
begitu saja tetapi melalui perangkat proses pengulangan yang terus
mener