Profil Pelayanan Swamedikasi oleh Petugas Apotek Terhadap Penderita Batuk di Apotek pada Sepuluh Kecamatan di Kota Medan Chapter III V

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu penelitian
yang dilakukan terhadap sekumpulan objek yang bertujuan untuk melihat
gambaran fenomena (termasuk kesehatan) yang terjadi didalam suatu populasi
tertentu (Notoatmodjo, 2010). Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan
deskripsi tentang pelayanan swamedikasi yang dilakukan oleh petugas apotek
pada sepuluh kecamatan di kota Medan terhadap pasien penderita batuk.
Penelitian ini menggunakan metode simulasi pasien dimana seseorang dilatih
untuk mengunjungi apotek dan memerankan skenario yang telah dibuat (Watson,
2006).

3.2 Populasi dan Sampel Penelitian
3.2.1 Populasi penelitian
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah apotek yang berada
pada sepuluh kecamatan di kota Medan.
3.2.2 Sampel penelitian
Sampel penelitian adalah sebagian objek yang diambil dari keseluruhan
objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010).


24
Universitas Sumatera Utara

Apotek-apotek pada sepuluh kecamatan di kota Medan yang dijadikan sampel
adalah Medan Johor, Medan Tuntungan, Medan Helvetia, Medan Sunggal, Medan
Area, Medan Kota, Medan Barat, Medan Timur, Medan Baru, Medan Petisah.
Pemilihan kecamatan tersebut yaitu berdasarkan jumlah apotek terbanyak.
Berdasarkan data Menkes RI (2015), diketahui jumlah apotek pada sepuluh
kecamatan di kota Medan adalah 334 apotek. Selanjutnya dilakukan perhitungan
besar sampel dengan rumus Slovin (Umar, 2004) sebagai berikut:
n

N

1  N e 

2

Keterangan :

n

= jumlah sampel

N

= besarnya populasi

e

= nilai kritis atau batas ketelitian yang diinginkan (persen kelonggaran
ketidaktelitian karena kesalahan penarikan sampel)

n

334
2
1  3340,1

n


334
1  3340,01

n

334
1  3,34

n

334
4,34

n  76,95
Berdasarkan perhitungan tersebut didapatkan jumlah sampel sebanyak
76,95 apotek atau dibulatkan menjadi 77 apotek.

25
Universitas Sumatera Utara


3.2.3 Kriteria inklusi dan eksklusi
Kriteria inklusi dalam sampel penelitian ini adalah apotek-apotek yang
berada di sepuluh kecamatan di kota Medan, sedangkan kriteria eksklusi dalam
penelitian ini adalah apotek-apotek yang berada di dalam lokasi klinik dan rumah
sakit pada sepuluh kecamatan di kota Medan.

3.3 Waktu dan Tempat Pengambilan Data Penelitian
Pengambilan data penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2016
sampai dengan Februari 2017 di 77 apotek sampel yang berada pada sepuluh
kecamatan di kota Medan.

3.4 Metode Pengambilan Sampel
3.4.1 Teknik sampling
Teknik sampling dalam penentuan sampel adalah kombinasi antara area
sampling dan simple random sampling. Teknik area sampling yaitu teknik
sampling yang dilakukan dengan cara mengelompokkan wakil sampel dari setiap
wilayah yang diteliti (Sugiyono, 2012).
Pemilihan penggunaan teknik ini adalah karena perbedaan jumlah populasi
pada 10 kecamatan di kota medan. Agar semua kecamatan dapat terwakili, maka

distribusi pengambilan sampel dilakukan pada setiap kecamatan secara
proporsional. Pengambilan sampel pada setiap kecamatan dilakukan dengan
teknik simple random sampling. Teknik simple random sampling yaitu

26
Universitas Sumatera Utara

pengambilan sampel yang dilakukan secara acak tanpa memperhatikan adanya
strata (Notoatmodjo, 2010). (Tabel 3.1).
Tabel 3.1 Distribusi apotek pada sepululuh kecamatan di Kota Medan
No
Nama Kecamatan
Populasi
Sampel
1 Medan Johor
33
8
2 Medan Tuntungan
22
5

3 Medan Helvetia
30
6
4 Medan Sunggal
35
8
5 Medan Area
42
10
6 Medan Kota
43
10
8 Medan Barat
22
5
6 Medan Timur
44
10
9 Medan Baru
31

7
10 Medan Petisah
36
8
Jumlah
334
77

Dasar memilih teknik ini karena sampel dianggap sama/homogen yaitu
tidak ada kriteria-kriteria tertentu pada apotek yang digunakan sebagai sampel dan
apotek-apotek yang dijadikan sebagai sampel dipilih tanpa mempertimbangkan
apotek itu besar atau kecil, terkenal atau tidak, tempatnya di mana, dan yang
memberi informasi apoteker atau tenaga teknis farmasi. Prosedur pengambilan
sampel adalah dengan cara undian.
3.4.2 Variabel penelitian
Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang
maupun objek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang diterapkan
oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,
2012). Definisi lain mengatakan bahwa variabel adalah sesuatu yang digunakan
sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan peneltian

tentang sesuatu konsep pengertian tertentu, misalnya umur, jenis kelamin,
pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, pengetahuan, pendapatan, penyakit dan

27
Universitas Sumatera Utara

sebagainya (Notoadmojo, 2010). Variabel pengamatan pada penelitian meliputi
patient assessment, rekomendasi, dan informasi obat serta informasi non
farmakologi dapat di pada Tabel 3.2
Tabel 3.2 Variabel penelitian
Objek Pengamatan
Variabel Pengamatan
Patient assessment

Ada/ tidaknya diajukan pertanyaan:
1. Berapa usia yang batuk ?
2. Siapa yang batuk ?
3. Apa tindakan yang sudah diperbuat selama
mengalami gejala batuk ?
4. Apa obat-obat lain yang sedang digunakan ?

5. Berapa lama pasien batuk mengalami sakit ?
6. Apa faktor penyebab terjadinya batuk ?
7. Apa gejala yang dialami pasien ?

Rekomendasi

Ada/ tidaknya rekomendasi dan berupa apa:
8. Rujukan ke dokter?
9. Rekomendasi obat?
Ada/ tidaknya informasi obat meliputi:
10. Indikasi
11. Kontraindikasi
12. Efek samping
13. Cara pemakaian
14. Dosis
15. Waktu pemakaian
16. Lama pemakaian
17. Perhatian
18. Terlupa minum obat
19. Cara penyimpanan

20. Cara perlakuan sisa obat
21. Identifikasi obat yang rusak
Ada/ tidaknya Informasi non farmakologi:
22. Pola makan
23. Pola hidup

Informasi obat

Informasi non farmakologi

28
Universitas Sumatera Utara

3.4.3 Instrumen penelitian
Instrumen penelitian merupakan

alat-alat yang akan digunakan untuk

pengumpulan data (Notoatmodjo, 2010). Instrumen dalam penelitian ini adalah
skenario, lembar checklist penelitian dan alat perekam suara.

3.4.3.1 Skenario
Skenario yang digunakan berisi informasi mengenai pasien dan hal-hal
yang harus dilakukan pada saat simulasi pasien untuk memperlancar jalannya
pengamatan. Skenario disiapkan untuk menghindari kecurigaan dari petugas
apotek terhadap simulasi pasien yang dijalankan sehingga pengamatan yang
dilakukan dapat optimal.
Skenario kasus batuk yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. Peneliti datang ke apotek untuk membeli obat batuk.
2. Jika petugas apotek melakukan patient assessment, maka skenario yang
digunakan peneliti adalah :


Pasien

: Prasetyo



Jenis kelamin

: Laki-laki



Usia

: 18 tahun



Hubungan dengan peneliti

: Adik



Alamat

: Jl. Bunga Cempaka



Gejala yang dikeluhkan

: Batuk, tenggorokan sakit,
gatal, dan disertai
pengeluaran dahak



Lama gejala yang dialami sampai sekarang : 1 hari

29
Universitas Sumatera Utara



Tindakan yang sudah dilakukan

: tidak ada



Obat lain yang sedang digunakan

: tidak ada

3.4.3.2 Checklist
Checklist adalah suatu daftar pengecek, berisi nama subjek dan beberapa
gejala/identitas lainnya dari sasaran pengamatan (Notoatmodjo, 2010). Pada
penelitian ini, pengumpulan data menggunakan observasi dalam bentuk checklist.
Dalam observasi, bentuk checklist data yang digunakan yaitu daftar variabel yang
akan dikumpulkan datanya. Dalam hal ini peneliti hanya akan memberikan tanda
check (√) jika kriteria yang dimaksud dalam format observasi ditunjukkan oleh
petugas apotek.
Lembar checklist yang digunakan dalam penelitian ini diadopsi dari
beberapa penelitian terdahulu (Khadijah, 2015). Isi lembar checklist adalah patient
assessment, rekomendasi, dan informasi terkait obat maupun non farmakologi
sebagai pelayanan yang diberikan apotek kepada pasien penderita batuk. Lembar
checklist dilengkapi oleh peneliti di luar apotek setelah mengunjungi apotek
sampel.
3.4.3.3 Alat perekam suara
Pelaksanaan observasi agar dengan cermat memperoleh data, diperlukan
beberapa alat bantu pendukung salah satunya adalah alat mekanik (electronic)
contohnya alat perekam. Alat tersebut setiap saat dapat diputar kembali untuk
memungkinkan mengadakan analisis secara teliti (Notoatmodjo, 2010). Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan alat perekam suara sebagai alat bantu dalam
pengisian lembar checlist.

30
Universitas Sumatera Utara

3.5 Definisi Operasional
3.5.1 Pelayanan swamedikasi
Pelayanan swamedikasi adalah pelayanan yang diberikan apoteker kepada
masyarakat dalam upaya mengobati penyakit yang umum diderita, dengan
menggunakan obat - bebas dan terbatas yang dijual bebas di pasaran yang bisa
didapat tanpa resep dokter dan diserahkan oleh apoteker di apotek (Asti dan
Widya, 2004). Dalam melakukan pelayanan swamedikasi terdapat beberapa profil
pelayanan yang dilakukan oleh petugas apotek kepada pasien swamedikasi yang
terdiri dari patient assessment, rekomendasi, informasi obat dan informasi non
farmakologi.
Penilaian variabel - variabel penelitian dilakukan berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan RI (2008) tentang Petunjuk Teknis Pelayanan Kefarmasian Di
Apotek, dimana penilaian terhadap pelayanan yang dilakukan di apotek memiliki
nilai 2 jika dilakukan dan memiliki nilai 0 jika tidak dilakukan.
3.5.1.1 Patient assessment
Patient assessment merupakan suatu penilaian terhadap keadaan pasien
yang penting dilakukan untuk pertimbangan apoteker dalam penentuan
identifikasi pasien sebelum membuat sebuah rekomendasi. Kemungkinan
pertanyaan yang bisa ditanyakan oleh apoteker diidentifikasi berdasarkan pada
WWHAM (Who the patient?, What are the symptoms?, How long have the
symptoms been presents?, Action taken?, Medication being taken?), ASMETHOD
(Age/appearance, Self/someone else, Medication, Extra medication, Time
symptoms, History, Other accompanying symptoms, Danger symptoms). Dalam
penelitian ini merujuk pada ASMETHOD (Blenkinsopp dan Paxton, 2005).

31
Universitas Sumatera Utara

Pertanyaan no. 1 sampai no. 7 pada variabel patient assessment dinilai 2 jika
petugas apotek melakukan tindakan patient assessment dan dinilai 0 jika petugas
apotek tidak melakukan tindakan patient assessment (Depkes RI, 2008).
3.5.1.2 Rekomendasi
Pada variabel rekomendasi terdapat dua komponen yaitu berupa rujukan
ke dokter dan rekomendasi obat. Rekomendasi yang tepat dapat diberikan sesuai
dengan patient assessment yang telah ditanyakan oleh petugas apotek, sehingga
patient assessment adalah komponen yang mendasari untuk memberikan
rekomendasi selanjutnya.
Penilaian pertanyaan no. 8 dalam variabel rekomendasi diberi nilai 0 jika
petugas apotek memberikan rekomendasi rujukan ke dokter dan nilai 2 jika
petugas apotek tidak memberikan rujukan ke dokter. Penilaian ini berdasarkan
skenario penelitian yang dibuat, bahwa pasien sedang menderita batuk ringan
yang belum memerlukan rujukan ke dokter. Pertanyaan no. 9 dalam variabel
rekomendasi diberi nilai 2 jika petugas apotek memberikan rekomendasi obat
dengan tepat yaitu memberi obat golongan bebas dan bebas terbatas (Depkes RI,
2008).
3.5.1.3 Informasi obat
Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak,
dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan
obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat (Menkes RI, 2016).
Informasi yang perlu disampaikan oleh Apoteker pada masyarakat dalam
penggunaan obat bebas atau obat bebas terbatas antara lain khasiat obat,

32
Universitas Sumatera Utara

kontraindikasi, efek samping, cara pemakaian, dosis, waktu pemakaian, lama
penggunaan obat, hal yang harus diperhatikan sewaktu minum obat tersebut, hal
apa yang harus dilakukan jika lupa memakai obat, cara penyimpanan obat yang
baik, cara memperlakukan obat yang masih tersisa, dan cara membedakan obat
yang masih baik dan sudah rusak (Depkes RI, 2006).
Pertanyaan no. 10 sampai no. 21 pada variabel informasi obat dinilai 2 jika
petugas apotek memberikan pelayanan informasi obat dan dinilai 0 jika petugas
apotek tidak memberikan pelayanan informasi obat (Depkes RI, 2008).
3.5.1.4 Informasi non farmakologi
Informasi non farmakologi dalam penelitian ini terdiri dari dua indikator
yaitu pola makanan dan pola hidup. Informasi non farmakologi berfungsi sebagai
penunjang akan keberhasilan terapi.
Pertanyaan no. 22 dan no. 23 pada variabel informasi non farmakologi
dinilai 2 jika petugas apotek memberikan pelayanan informasi non formakologi
dan dinilai 0 jika petugas apotek tidak memberikan pelayanan informasi non
farmakologi (Depkes RI, 2008).
3.5.1.5 Penilaian tingkat pelayanan swamedikasi
Tingkat pelayanan swamedikasi ditentukan berdasarkan hasil akumulasi
nilai dari variabel patient assessment, rekomendasi, informasi obat dan informasi
non-obat yang terdapat pada masing-masing lembar checklist penelitian. Hasil
nilai yang diperoleh akan diubah kedalam % skor dan di interprestasikan kedalam
kategori yang dapat di pada Tabel 3.3.

33
Universitas Sumatera Utara

Tabel 3.3 Penilaian pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan Depkes RI
tahun 2008
% Skor

Kategori

81-100

Baik

61-80

Cukup

300mg/hari pada gangguan hati ringan. Penggunaan
antibiotik seperti amoxicillin dan ciprofloxacin kepada pengguna yang memiliki
riwayat alergi antibiotika tersebut dapat menyebabkan syok anafilaksis sehingga
diharuskan melakukan assessment mengenai riwayat alergi pada pengobatan
pengguna tersebut sebelumya. Penggunaan ocuson dalam jangka lama dapat
menyebabkan osteoporosis (Anonim, 2016).
4.2.3 Harga obat yang direkomendasikan
Dalam upaya pelayanan kesehatan, ketersediaan obat yang terjamin
khasiatnya, aman, efektif, bermutu, dan dengan harga terjangkau adalah sasaran
yang harus dicapai (Menkes RI, 2012). Dari hasil penelitian yang dilakukan, data
harga obat yang direkomendasikan dapat dilihat pada Tabel 4.4.

45
Universitas Sumatera Utara

Tabel 4.4 Harga obat yang direkomendasikan oleh petugas apotek
Harga Obat

n (%)

< Rp 2.000,00
Rp 2.000,00 – Rp 10.000,00
Rp 10.500,00 – Rp 20.000,00
> Rp 20.000,00
Total

0 (0)
55 (71,43)
19 (24,67)
3 (3,90)
77 (100)

Pemberian rekomendasi obat dengan harga terjangkau merupakan salah
satu aspek penting dalam pengobatan rasional. Menurut WHO, disebutkan bahwa
penggunaan obat secara rasional oleh masyarakat didasarkan pada aspek klinik,
kebutuhan individu dan kecukupan period of time serta harga yang terjangkau.
Definisi tersebut fokus pada 4 aspek penting dalam pengobatan rasional yaitu
ketepatan obat, ketepatan dosis, ketepatan lama pengobatan dan ketepatan biaya
(WHO, 2006).
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, harga obat yang paling
banyak direkomendasikan oleh petugas apotek adalah berkisar antara Rp.2000 –
Rp.10.000 dengan 55 (71,43%) jumlah obat (Gambar 4.4). Hasil ini menunjukkan
bahwa harga obat yang direkomendasikan untuk penderita batuk oleh petugas
apotek masih dapat dijangkau oleh pasien ataupun masyarakat.
4.2.4

Golongan obat yang direkomendasikan
Dari

77

apotek

yang

dikunjungi,

data

golongan

obat

yang

direkomendasikan dapat dilihat pada Tabel 4.5.

46
Universitas Sumatera Utara

Tabel 4.5 Golongan obat yang direkomendasikan oleh petugas apotek
Golongan Obat

n (%)

Obat Bebas
Obat Bebas Terbatas
Obat Keras
Obat Herbal

0 (0,00)
47 (61,04)
30 (38,96)
0 (0,00)

Total

77 (100)

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat petugas apotek
yang memberikan obat keras yang tidak termasuk dalam daftar obat wajib apotek
seperti Epexol®, ethiros®, limoxin®, ocuson®, ramoxil® dan starquin 500®,
sedangkan obat yang aman digunakan untuk swamedikasi adalah obat-obat yang
termasuk dalam golongan obat bebas dan bebas terbatas (Depkes RI, 2006).

4.3 Profil Informasi Obat
Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak,
dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan
obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai
obat termasuk obat resep, obat bebas dan herbal (Menkes RI, 2016).
Informasi-informasi yang harus diberikan oleh tenaga kefarmasian yang
ada di apotek meliputi khasiat obat, efek samping obat, cara pemakaian obat, dosis
obat, waktu pemakaian obat, lama pemakaian obat, kontra indikasi obat, hal yang
harus diperhatikan sewaktu minum obat, hal yang harus dilakukan jika lupa
meminum obat, cara penyimpanan obat yang baik, cara memperlakukan obat yang

47
Universitas Sumatera Utara

masih tersisa dan cara membedakan obat yang masih baik dan yang sudah rusak
(Depkes RI, 2006).
Berdasarkan hasil dari penelitian yang diperoleh terkait obat yang banyak
diinformasikan oleh petugas apotek adalah dosis yaitu sebanyak 25 (32,47%)
apotek. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.6
Tabel 4.6 Distribusi data profil informasi obat yang diberikan oleh petugas apotek
Variabel
Ya (% )
Tidak (%)
Indikasi Obat
0 (0,00)
77 (100)
Kontraindikasi Obat
0 (0,00)
77 (100)
Efek Samping Obat
0 (0,00)
77 (100)
Cara Pemakaian Obat
1 (1,30)
76 (98,70)
Dosis Obat
25 (32,47)
52 (57,53)
Waktu Pemakaian Obat
4 (5,19)
73 (94,81)
Lama Pemakaian Obat
1 (1,30)
76 (98,70)
Perhatian mengenai Obat
0 (0,00)
77 (100)
Terlupa Minum Obat
0 (0,00)
77 (100)
Cara Penyimpanan Obat
0 (0,00)
77 (100)
Cara Perlakuan Sisa Obat
0 (0,00)
77 (100)
Identifikasi Obat Rusak
0 (0,00)
77 (100)

Informasi obat berupa dosis merupakan informasi yang sangat penting
untuk diberikan. Dosis yang tepat perlu diinformasikan dengan tujuan
keberhasilan terapi dan menghindari penggunaan obat yang salah.
Informasi lain tentang pelayanan informasi obat yang pernah diberikan
oleh petugas apotek adalah informasi cara pemakaian obat sebanyak 1 (1,30%)
apotek, informasi waktu pemakaian sebanyak 4 (5,19%) apotek dan yang
memberikan informasi lama pemakaian obat sebanyak 1 (1,30%). Hasil ini
menunjukkan apotek belum mengoptimalkan standar pelayanan kefarmasian
dalam hal pengobatan swamedikasi. Pemberian informasi adalah untuk
mendukung penggunaan obat yang benar dan rasional, monitoring pengggunaan

48
Universitas Sumatera Utara

obat untuk mengetahui tujuan akhir serta kemungkinan terjadinya kesalahan
pengobatan (medication error). Tujuan pemberian informasi kepada masyarakat
maupun pasien adalah bagian dari edukasi, supaya masyarakat atau pasien benarbenar memahami secara cermat dan cerdas obat yang hendak dikonsumsi
sekaligus cara penggunaan obat yang baik dan benar.
Informasi lain tentang pelayanan informasi obat yang sama sekali tidak
pernah disampaikan oleh petugas apotek saat melakukan pelayanan swamedikasi
adalah pemberian informasi mengenai indikasi obat, kontraindakasi obat, efek
samping obat, perhatian tentang obat, hal yang harus dilakukan jika terlupa
mengkonsumsi obat, cara penyimpanan obat, cara perlakuan sisa obat dan cara
identifikasi obat yang rusak.
Kontraindikasi sebenarnya juga harus diinformasikan kepada pasien agar
pasien dapat mengetahui apakah obat tersebut tidak berdampak buruk pada
penyakit lainnya atau dapat mengganggu kehamilan pada wanita hamil,
sedangkan pada informasi perhatian, cara penyimpanan, cara perlakuan sisa obat,
dan identifikasi obat yang rusak juga tidak diinformasikan oleh petugas apotek.
Apoteker sebagai salah satu profesi kesehatan sudah seharusnya berperan penting
sebagai pemberi informasi (drug informer) dalam pelayanaan swamedikasi
(Depkes RI, 2006).

4.4 Profil Informasi Non Farmakologi
Informasi non farmakologi dalam penelitian ini terdiri dari dua indikator
yaitu makanan dan minuman, serta pola hidup. Informasi

non

farmakologi

49
Universitas Sumatera Utara

merupakan informasi yang diberikan sebagai terapi
menggunakan

tambahan tanpa

obat guna meningkatkan keberhasilan suatu efek pengobatan

farmakologis yang lebih baik.
Dari 77 apotek yang dikunjungi, data lengkap profil informasi non
farmakologi yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Distribusi profil informasi non farmakologi yang diberikan oleh
petugas apotek.
Variabel

Ya, n (%)

Tidak, n (%)

Pola Makanan dan Minuman

3 (3,90)

74 (96,10)

Pola Hidup

2 (2,60)

75 (97,40)

Pada Tabel 4.7, informasi non farmakologi terdapat dua variabel yaitu pola
makan dan minuman, serta pola hidup. Berdasarkan hasil penelitian yang
diperoleh, hanya 3 (3,90%) petugas apotek yang memberikan informasi non
farmakologi mengenai pola makanan dan minuman, serta hanya 2 (2,60%)
petugas apotek yang memberikan informasi non farmakologi mengenai pola
hidup. Hasil ini menunjukkan bahwa petugas apotek kurang optimal dalam
melakukan pelayanan kefarmasian khususnya swamedikasi. Pola makanan dan
minuman, serta pola hidup seharusnya di informasikan oleh petugas apotek yaitu
berupa anjuran untuk mengurangi makanan yang bersifat minyak dan minuman
bersifat dingin serta mengurangi kebiasaan merokok.
Menurut Depkes RI (2006), hal yang dapat dilakukan dalam menangani
batuk adalah :
1. Minum banyak cairan (air atau sari buah) akan menolong membersihkan
tenggorokan, jangan minum soda atau kopi.

50
Universitas Sumatera Utara

2. Hentikan kebiasaan merokok.
3. Hindari makanan yang merangsang tenggorokan (makanan dingin atau
berminyak) dan udara malam.
4. Madu dan tablet hisap pelega tenggorokan dapat menolong meringankan iritasi
tenggorokan dan dapat membantu mencegah batuk kalau tenggorokan anda
kering atau pedih.
5. Hirup uap air panas (dari semangkuk air panas) untuk mencairkan sekresi
hidung yang kental supaya mudah dikeluarkan. Dapat juga ditambahkan
sesendok teh balsam/minyak atsiri untuk membuka sumbatan saluran
pernapasan.
6. Minum obat batuk yang sesuai.
7. Bila batuk lebih dari 3 hari belum sembuh segera ke dokter.
8. Pada bayi dan balita bila batuk disertai napas cepat atau sesak harus segera
dibawa ke dokter atau pelayanan kesehatan.

4.5 Tingkat Pelayanan Swamedikasi
Berdasarkan data yang di peroleh dari pelayanan swamedikasi kepada
pasien penderita batuk di apotek pada sepuluh kecamatan di kota Medan,
dilakukan perhitungan penilaian lembar checklist penelitian yang dapat dilihat
pada Lampiran 3 Halaman 64 hingga Halaman 67. Dari hasil penelitian yang
diperoleh, sebanyak 77 (100%) petugas apotek memberikan pelayanan
swamedikasi dengan kategori kurang dan 49 (63,63%)

petugas apotek yang

belum sama sekali melakukan tindakan pelayanan informasi obat dan informasi

51
Universitas Sumatera Utara

non farmakologi kepada pasien. Data lengkap tingkat pelayanan tentang
swamedikasi dapat dilihat pada Tabel 4.8
Tabel 4.8 Distribusi tingkat pelayanan tentang swamedikasi yang diberikan oleh
petugas apotek.
Kategori
Jumlah
Persentase
Baik
0
0%
Cukup
0
0%
Kurang
77
100%

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelayanan swamedikasi yang
diberikan oleh petugas apotek kepada pasien penderita batuk di apotek pada
sepuluh kecamatan di kota Medan masih belum menjalankan pelayanan
kefarmasian dengan optimal khususnya pelayanan swamedikasi. Hal ini
disebabkan petugas apotek kurang mengaplikasikan patient oriented, dan bisa saja
petugas apoteknya bukan merupakan tenaga kefarmasian. Tenaga kefarmasian
seharusnya memberikan informasi obat maupun informasi non farmakologi secara
jelas dan terpercaya demi meningkatkan kualitas hidup pasien.
Sesuai dengan Permenkes RI No. 73 tahun 2016, apoteker tidak saja
sebagai pengelola obat namun dalam pengertian yang lebih luas mencakup
pelaksanaan pemberian informasi untuk mendukung penggunaan obat yang benar
dan rasional, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhir, serta
kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan.

52
Universitas Sumatera Utara

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Hal yang dapat disimpulkan pada penelitian ini adalah:
a. Profil patient assessment yang paling banyak ditanyakan adalah mengenai apa
gejala yang dialami pasien (n=75; 97,40%). Penggalian profil patient
assessment yang dilakukan oleh petugas apotek tidak lengkap sehingga dapat
mempengaruhi pada pemberian rekomendasi, informasi obat dan non
farmakologi yang kurang lengkap pula.
b. Semua apotek merekomendasikan pemberian obat (100%). Jenis obat yang
paling banyak direkomendasikan adalah jenis mukolitik.
c. Pemberian informasi obat yang paling banyak diberikan adalah dosis (n=25;
32,47%). Pemberian informasi non farmakologi berupa makanan dan minuman
serta pola hidup masing-masing memiliki persentase yaitu 3,90% (n=3) dan
2,60% (n=2).
d. Tingkat pelayanan swamedikasi kepada pasien penderita batuk di apotek pada
sepuluh kecamatan di kota Medan belum memenuhi standar dengan 77 sampel
apotek masih dalam kategori kurang dan 49 (63,63%) petugas apotek yang
belum sama sekali melakukan tindakan pelayanan informasi obat dan informasi
non farmakologi kepada pasien.

53
Universitas Sumatera Utara

5.2 Saran
a. Apotek harus mengadakan evaluasi mutu pelayanan secara berkala dengan
mengadakan survei berupa angket agar mutu pelayanan di apotek dapat
ditingkatkan.
b. Sebaiknya pada penelitian selanjutnya dibandingkan pelayanan swamedikasi
pada apotek yang dilayani langsung oleh apoteker dengan apotek yang tidak
dilayani oleh apoteker.

54
Universitas Sumatera Utara