3 SM Publish MEWASPADAI BAHAYA METAFORA
SELASA, 28 OKTOBER 2014
Beri Kesempatan Kabinet Bekerja
Presiden Joko Widodo diamdiam memberi pesan simbolik mulai
dari saat menyusun, ketika mengumumkan Kabinet Kerja, dan setelah
melantiknya. Sikap agar anggota
kabinetnya benar-benar bersih lewat
catatan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan
& Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) merupakan start yang menjanjikan untuk membentuk penyelenggara negara dan pemerintahan
yang transparan dan akuntabel.
Terdapat sejumlah nama yang
menyebabkan kabinet Jokowi dinilai
tidak istimewa. Gambaran tentang
koordinasi tugas dan kewenangan
dengan nomenklatur kementerian
yang baru juga diperkirakan butuh
adaptasi waktu, sehingga pekerjaan
kementerian akan banyak diribetkan
oleh urusan-urusan teknis organisasi.
Kritik-kritik itu tetap harus diterima
sebagai bagian dari ekspektasi, yang
diharapkan justru mendorong produk
pembuktian kinerja.
Sikap kabinet bersih itu diperkuat
dengan simbolisasi baju warna putih,
dengan lengan digulung, yang tentu
tak sekadar ”pakaian” ekstrinsik,
melainkan lebih ke warna hati sebagai
substansi tujuan yang intrinsik. Lalu
bagaimana Presiden Jokowi meminta
agar nama-nama yang diumumkan
berjalan cepat, berlari ke barisan
menteri, menggambarkan kehendak
agar kabinetnya biasa bekerja cepat
dan cekatan dalam merespons tuntutan kebutuhan pekerjaan.
Gaya kepemimpinan Jokowi
yang sederhana untuk langsung ke
fokus persoalan, akan mendekonstruksi model presiden-presiden
sebelumnya yang lebih taat alur
birokrasi. Kemembumian untuk
”melawan” cencangan kultur normatif
harus ditangkap oleh para menteri
sebagai semacam tipe pengawasan
langsung. Presiden akan selalu mengontrol dengan menagih kepada para
menterinya setiap masalah masyarakat yang membutuhkan solusi.
Rapat pertama kabinet Senin
kemarin setelah pelantikan juga
menunjukkan Jokowi dan Jusuf Kalla
ingin segera berjalan dengan meminimalkan seremoni. Respons terhadap
pengumuman menteri-menteri, yang
oleh sejumlah pengamat disebut
kurang ”wow!” patut kita pahami sebagai ungkapan pengharapan yang
sebenarnya tinggi, namun ada sejumlah nama yang boleh jadi ”andai tidak
dipilih akan lebih memperkuat
kredibiIitas Kabinet Kerja”.
Kita akan menghadapi gaya penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang kasual. Di tengah harapan tinggi rakyat, tantangan awal untuk
penyesuaian subsidi harga bahan
bakar minyak misalnya, bakal menguji ”saraf” kabinet terutama menghadapi logika peta politik parlemen.
Juga bagaimana nasib Kurikulum
2013 yang penuh komplikasi, akan
memperlihatkan seberapa cekatan
para pendekar dalam Kabinet Kerja
memainkan jurusnya.
Pengerdilan Semangat Pergerakan Pemuda
Hari ini, 28 Oktober 2014, Indonesia
memperingati Hari Sumpah Pemuda.
Dikumandangkan dalam Kongres
Pemuda 28 Oktober 1928, Sumpah
Pemuda merupakan pembenihan
menuju kelahiran Indonesia sebagai
sebuah bangsa. Mengutip Ben
Anderson dalam bukunya A Time of
Revolution:
Occupation
and
Resistance (1944-1946), sejarah
Indonesia adalah sejarah pergerakan
pemuda. Tidak ada Indonesia apabila
tidak ada Kongres Pemuda.
Tidak adil kalau membandingkan
sosok-sosok pemuda saat ini dengan
pemuda pada era perjuangan, ketika
Kartini berusia 20-an tahun, Soekarno
berusia 26 tahun, Tan Malaka berusia
16 tahun. Mohammad Hatta berusia 25
tahun, dan pemuda-pemuda lain yang
menorehkan sejarah pergerakan pada
usia muda. Cukup banyak pemudapemuda masa kini yang menorehkan
prestasi yang tidak kalah dengan pendahulunya, meski tidak selalu torehan
sejarah di bidang politik.
Sumpah Pemuda tidak menyodorkan hasil instan. Semangat keindonesiaan dan jiwa korsa nasionalisme itu
baru mewujud 17 tahun kemudian
dengan proklamasi kemerdekaan. Jika
tidak dimulai dengan deklarasi ‘’satu
bangsa, satu tanah air, satu bahasa:
Indonesia’’, Indonesia bakal sulit menjadi negara kesatuan yang berdaulat.
Persoalan dan kolonialisme yang
mendera bukan soal ringan bagi bangsa yang sedang mnenegakkan identitas.
Keprihatinan kita lebih terfokus
pada keadaan umum generasi muda
saat ini yang terlalu lama menikmati
masa kemudaan, dalam arti, masa
kehidupan yang bergantung pada
orang tua atau pihak penyandang
dana. Rata-rata, warga muda Indonesia sudah berusia 25 tahun ketika
menginjakkan kaki ke dalam kehidupan
nyata sebagai insan yang mandiri. Pola
hubungan kekerabatan bahkan masih
memperpanjang kesempatan untuk
tetap sebagai insan tidak mandiri.
Meski demikian, menggali relevansi nilai Sumpah Pemuda untuk kehidupan berbangsa saat ini juga bukan
perkara mudah. Musuh yang dihadapi
bukanlah musuh berwajah kolonialisme yang kejam. Sebaliknya, musuh
yang dihadapi adalah tawaran-tawaran
yang menggiurkan untuk dikonsumsi,
yang berwajah seolah-olah bukan
musuh tetapi sesungguhnya menggerus kesadaran kebangsaan. Nilainilai hegemonik tanpa disadari menjauhkan identitas Indonesia dari
kesadaran.
Sistem mekanisme regenerasi
kehidupan sosial-ekonomi-politik yang
tercipta masih sangat minim memberikan semangat kemandirian.
Akibatnya, semangat pergerakan
pemuda terbelenggu oleh sistem yang
kita ciptakan sendiri. Tidak mengagetkan ketika muncul keluhan soal
etos generasi muda yang terkesan
tidak serius terhadap persoalan-persoalan kehidupan. Sumpah Pemuda
akan relevan apabila sistem yang
mengerdilkan manusia segera kita
bongkar.
DPRD tantang Sekda Jateng akhiri blok-blokan.
Padahal banyak blok: blok Pak Sri, Mas Pur, Bang Yon, dan blok Pak No...
***
Menteri Kelautan Susi , lulus SMP mampu beli 50 pesawat.
Coba kalau lulus SMA, bisa 100 pesawat...
(Lebih suka sewa pesawat ramai-ramai)
Terbit sejak 11 Februari 1950
PT Suara Merdeka Press
Pendiri : H Hetami
Komisaris Utama : Ir Budi Santoso
Pemimpin Umum: Kukrit Suryo Wicaksono
Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab :
Amir Machmud NS
Direktur Operasional : Hendro Basuki
Direktur Pemberitaan : Sasongko Tedjo
Direktur SDM : Sara Ariana Fiestri
Mewaspadai Bahaya Metafora
Oleh Jumanto
BAHASA sebagai salah satu sarana
berpikir (ilmiah) —di samping logika,
matematika, dan statistika— memang
unik karena memiliki dua tataran. Bahasa
objek, dalam tataran pertama adalah denotasi, yakni bahasa apa adanya. Adapun
metabahasa, tataran kedua adalah konotasi, yang mencakupi imajinasi manusia:
improvisasi dan kreativitas bahasa yang
tidak terbatas.
Kamar kecil dalam bahasa objek adalah kamar berukuran kecil, sementara
dalam metabahasa bisa berarti toilet dan
sejenisnya. Dalam tataran metabahasa inilah, metafora terlahir dan terjadi, dan kita
gunakan untuk berkomunikasi sehari-hari,
yakni menyebut sesuatu dengan meminjam properti semantik sesuatu lainnya.
Santun atau berbahayakah metafora?
Mari cermati di sekitar kita. Dalam
kehidupan sehari-hari kita tidak pernah
menyadari menggunakan metafora.
Mengingat metafora bersifat tidak langsung (nonliteral), di sana kita melihat
kesantunan. Menyebut kamar kecil misalnya, lebih santun ketimbang toilet, dan
minta ’’izin ke belakang’’ terdengar lebih
sopan daripada kata apa pun yang mengacu aktivitas di kamar mandi/ WC.
Namun ada bahaya yang perlu dicermati andai berkait media massa dan dunia
politik. Pasalnya hal itu melibatkan massa
yang membaca, bertanya-tanya, dan
mungkin tidak berterima. Mengapa
metafora, yang bersifat tak langsung itu,
bisa berbahaya?
Sebagian pemirsa televisi tentu ingat
ketika salah satu tayangan televisi mempertontonkan ada orang takut anjing lalu
dihipnotis dan disugesti supaya sewaktu
melihat binatang itu, sama dengan melihat
wajah Benyamin Sueb. Tayangan itu langsung membuat marah budayawan yang
concern budaya Betawi, termasuk warga
Betawi. Akibatnya, program tayangan itu
harus ditutup.
Salah satu kandidat Pilpres 2014 pun
disebut kucing kampung oleh lawan politiknya. Ahok, Wagub DKI Jakarta, disebut
kutu loncat. Metafora semacam itu menjadi berbahaya karena mencoreng nama baik
seseorang atau melukai perasaannya.
Apalagi bila nama baik dan perasaan itu
milik masyarakat atau massa yang mendukungnya.
Menjadi berbahaya bila reputasi dan
kehormatan seseorang begitu saja ditempeli properti semantik dari entitas
’’binatang’’, terlebih bila properti semantik
dari entitas tersebut negatif. Bagi muslim,
anjing tetap ’’negatif’’meskipun ada yang
benar-benar lucu. Kucing bisa positif atau
negatif namun tambahan kata kampung
membuatnya negatif.
Adapun kutu tetap negatif, apalagi
ditambah loncat. Ketidaklangsungan
dalam metafora memang demi menjaga
kesantunan namun properti semantik dari
binatang ’’tertentu’’ mengempaskan
kesantunan itu jadi ketidaksantunan
(penghinaan, sindiran, menyakiti perasaan, ketidakpercayaan, dan sebagainya).
Kata Tabu
Hal itu berlaku untuk metafora semisal
tikus berdasi, buaya darat, lintah darat,
kumpul kebo, sapi perah, kupu-kupu
malam dan sebagainya. Sifat ontologis
metafora yang tidak langsung juga membuat dunia hukum tak berkutik, tidak bisa
memprosesnya meskipun ada pencemaran
nama baik pihak tertentu. Belum lagi andai
dibalut kemelut proses persaingan politik.
Namun ada metafora ’’binatang’’yang
masih positif sehingga tetap mengarah
pada kesantunan karena lebih mendasarkan ’’reputasi’’ positif dari binatang
tersebut, kendati kita harus hati-hati menerapkannya. Semisal mata elang, napas
kuda, sepasang merpati, garuda di dada,
dan singa perkasa.
Metafora lain yang juga berbahaya
adalah ancaman melalui teks ’’Peringatan:
Merokok Membunuhmu!’’ Saya menganggap berbahaya karena membunuh adalah kata tabu yang seharusnya ’’tidak santun’’ disebarluaskan. Apalagi dalam
jangkauan bacaan, pikiran, dan penalaran
anak-anak. Memang peringatan tersebut
metafora mengingat ’’pembunuhan’’ itu
tidak terjadi secara langsung.
Anak-anak hanya akan melihat dan
memahami kata ’’membunuh’’bukan dari
proses panjang berpuluh-puluh tahun terpengaruh asap dan racun rokok yang
merugikan kesehatan pengisapnya (buruk
bagi kesehatan dan bisa mengakibatkan
kematian). Hal itu berbeda dari teks ’’penjahat (bisa) membunuhmu’’ atau
’’binatang buas (dapat) membunuhmu’’.
Sebelumnya, bahasa objek yang
dipakai adalah ’’Merokok Dapat Menyebabkan Kanker, Serangan Jantung,
Impotensi, dan Gangguan Kehamilan dan
Janin’’, yang terdengar lebih santun.
Pasalnya, bersifat tak langsung dan pengiriman pesannya lebih efektif mengingat
dipahami oleh perokok dewasa, jauh dari
jangkauan pemahaman anak-anak.
Konteks yang seharusnya ditabukan
dan dikuburkan, sebaiknya jangan dipublikasikan dan disebarluaskan. Peringatan
tersebut memang ideologi kesehatan dari
pemerintah guna melawan ideologi ajakan
merokok dari produsen. Namun berkait
konflik ideologi (paradoks), siapa pun
yang memasang atau memerintah memasang teks itu, harus mempertimbangkan
pemahaman anak-anak.
Artinya, pencantuman teks itu pada
kemasan rokok jangan semata-mata bertujuan menakut-nakuti (memperingatkan)
orang dewasa supaya tidak merokok.
Mengapa dampak dari sisi bahasa tidak terpikirkan sebelumnya? Padahal metafora
yang dianggap biasa dan tidak berbahaya
ternyata berisiko menebar bencana budaya. (10)
— Dr Jumanto, PhD in Linguistics
(Pragmatics) Universitas Indonesia,
dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB)
Universitas Dian Nuswantoro Semarang
Meniti dari Sumpah ke Sumpah
SEJARAH manusia pada dasarnya satu, namun
karena letak, bangsa yang jadi pelaku, serta situasi
dan kondisi yang dihadapi berbeda, seolah-olah kita
hanya mengenal sejarah kebangsaan. Bahkan ketika
di antara manusia atau di antara kita saling berbenturan. Sejarah Indonesia sebagai perjalanan dan perjuangan kita pada dasarnya juga satu kesatuan.
Namun karena sebagai kita memiliki penggalanpenggalan atau periode-periode, seolah-olah sejarah
bangsa kita pun terpenggal-penggal.
Lebih-lebih dalam lingkup warga mengingat
bangsa kita terdiri atas berbagai kelompok usia,
kepentingan, dan budaya, sehingga menjadi tidak
mulus dalam proses menuju kesatuan bangsa. Ada
sejarah masa Majapahit, masa Islam, masa penjajahan, masa orde demi orde setelah menjadi bangsa
merdeka. Padahal kalau kita perhatikan, semua penggalan sejarah itu memiliki kesinambungan dan ada
benang merah yang menautkan.
Demikian juga di antara kelompok yang berbeda,
selalu terjadi proses menepis perbedaan. Caranya
yakni dengan kebulatan tekad. Bisa lewat pembangunan monumen kebulatan tekad, mengucap sumpah, ikatan perkawinan, atau berikrar prasetya. Bisa
pula dengan mendeklarasikan kebulatan tekad.
Borobudur adalah monumen tengara bagi tekad
untuk bersatu dari dua kekuatan sosial yang bernama
dinasti Syailendra di Jawa dan di Sumatera. Menurut
Moh Yamin, tidak ada penjajahan Jawa atas Sumatra,
atau sebaliknya. Yang ada proses persatuan dengan
kembalinya Balaputradewa dari Sumatera, yang berasal dari dinasti Syailendra, ke Jawa. Demikian pula
ìmudiknyaî Airlangga dari Bali menyeberangi Selat
Bali ke Jawa, lalu mengawini putri Raja Jawa,
menandakan tekad mempersatukan Jawa-Bali dalam
keprabuan Mataram Hindu.
Pada masa Majapahit muncul pula anak zaman
untuk menyatakan Sumpah Palapa, sebuah tekad
untuk tidak mengikuti arus perpecahan. Sumpah itu
merupakan manifestasi dari konsep Bhinneka
Tunggal Ika. Bisa berbeda kelompok dan kepentingan, namun lebih mengutamakan kepentingan untuk
bersatu. Lalu tampillah tokoh Gadjah Mada, yang
sebenarnya bukan sosok yang disenangi semua
pihak.
Gadjah Mada justru tokoh yang berani bertindak
salah guna mengatasi perpecahan. Dia juga sosok
kontroversial dan berisiko bisa ìmenyakiti hatiî prajurit Sunda demi mencapai cita-cita persatuan
Nusantara di bawah Majapahit. Secara simbolis
Gadjah Mada mengucap sumpah ìtidak akan makan
Oleh Abu Su’ud
Patut kita duga bahwa
penyelenggara Kongres Pemoeda II
tak menghendaki keterlibatan
Soekarno-Hatta
buah palapaî sebelum persatuan nasional tercapai.
Pada masa terakhir penjajahan Belanda, tepatnya
tanggal 28 Oktober 1928, sejumlah pemuda yang tergabung dalam Perhimpoenan Peladjar-Peladjar
Indonesia (PPPI) menggelar Kongres Pemoeda (KP)
II di Jakarta. Mereka menyatakan kebulatan tekad
untuk mengakui ikatan kesatuan Tanah Air, bangsa
dan bahasa bernama Indonesia, serta mengesampingkan berbagai perbedaan yang bersifat primordial,
Peran Soekarno-Hatta
Memperhatikan perjalanan sejarah, kita akan
melihat sejumlah tonggak kebulatan tekad anakanak bangsa untuk mencapai tujuan sama, yaitu
kesatuan bangsa demi kesatuan nasional. Demikian
juga pelantikan presiden-wakil presiden terpilih:
Jokowi-JK tanggal 20 Oktober 2014 menjelang
peringatan Hari Sumpah Pemuda, merupakan tonggak tekad bangsa ini menghargai hasil Pilpres 2014
demi kesatuan bangsa. Itulah benang merah yang
menembus batas waktu penggalan-penggalan
sejarah.
Bukan mencari-cari, namun fakta menunjukkan
dari 71 anggota panitia Kongres Pemoeda II yang
menghasilkan Sumpah Pemoeda 1928 tidak ada
nama Soekarno-Moh Hatta. Mengapa tokoh nasionalis sekaliber mereka seperti tidak terlibat dalam
gerakan KP II yang menghasilkan Soempah
Pemuda? Usia mereka masih muda. Tahun 1926 saat
berusia 26 tahun Bung Karno mendirikan Partai
Nasional Indonesia. Pada tahun itu pastilah dia dan
Bung Hatta belum menjalani masa pembuangan
karena sidang pengadilan baru digelar tahun 1933.
Apalagi dua tokoh itu nantinya menjadi presidenwakil presiden pertama dengan sebutan Dwi
Tunggal. Pastilah bukan karena keduanya tak sepakat dengan gagasan besar Soempah Pemoeda 1928
sehingga tidak mau bergabung. Bahkan banyak
tokoh yang menjadi peserta kongres nantinya jadi
kolega perjuangan ataupun pasangan kerja dalam
menjalankan pemerintahan.
Kita bisa menyebut Moh Yamin, Wilopo, Amir
Sjarifuddin, Arnold Mononutu, Sartono, Kasman
Singodimedjo, Moh Roem, Johannes Leimena dan
sebagainya.
Penyelenggara KP II adalah PPPI, sementara
organisasi itu dibentuk dengan latar belakang tak
sejalannya dengan penampilan dan kinerja partaipartai politik yang dianggapnya keras, lebih-lebih
terhadap partai komunis. Lebih dari itu, ternyata
kongres dihadiri oleh utusan penjajah, yaitu van der
Plaas, yang anticita-cita persatuan nasional
Indonesia. Patut kita duga pula bahwa penyelenggara
kongres itu tak menghendaki keterlibatan SoekarnoHatta. Karena itu, perlu ada kajian yang lebih mapan.
(10)
— Abu Su’ud, guru besar emeritus Unnes, Guru
Besar Universitas PGRI Semarang (UPGRIS)
Email Baru
Berhubung email lama mengalami
gangguan, kini kirimkan artikel
wacana nasional (hal 6) ke:
[email protected].
dan: [email protected].
Panjang maksimal 7.000 karakter with
space, sertakan pasfoto pose santai. (Red)
Wakil Pemimpin Redaksi : Gunawan Permadi. Redaktur Senior: Sri Mulyadi, AZaini Bisri, Heryanto Bagas Pratomo. Redaktur Pelaksana : Ananto Pradono, Murdiyat Moko, Triyanto Triwikromo. Koordinator Liputan: Hartono, Edy Muspriyanto. Sekretaris Redaksi : Eko
Hari MudjihartoStaf Redaksi :Soesetyowati, Cocong Arief Priyono, Zaenal Abidin, Eko Riyono, Darjo Soyat , Ghufron Hasyim, Muhammad Ali, Bambang Tri Subeno, Simon Dodit, Budi Surono, Renny Martini, Diah Irawati, Agustadi,Gunarso, Ahmad Muhaimin, Bina Septriono, Edi
Indarto, Nasrudin, M.Asmu’i, Ali Arifin, Sri Syamsiyah LS, Gunawan Budi Susanto, Imam Nuryanto, Arwan Pursidi, Arie Widiarto, Zulkifli Masruch, Agus Fathudin Yusuf, Petrus Heru Subono, Tavif Rudiyanto, M Jokomono, Saroni Asikin, Purwoko Adi Seno, Karyadi, Arswinda Ayu
Rusmaladewi, Mohammad Saronji, Maratun Nashihah, Sarby SB Wietha, Mohamad Annas, Kunadi Ahmad, Ida Nursanti, Aris Mulyawan, Setyo Sri Mardiko, Budi Winarto, Sasi Pujiati, Hasan Hamid, Rony Yuwono, Sumaryono HS, M Norman Wijaya, Noviar Yudho P, Yunantyo Adi
S, Fahmi Z Mardizansyah, Saptono Joko S, Dian Chandra TB, Roosalina, Dicky Priyanto, Hasan Fikri, Tri Budianto, Wahyu Wijayanto, Leonardo Agung Budi Prasetya. Litbang :Djurianto Prabowo ( Kepala ),Dadang Aribowo. Pusat Data, Analisa dan Produksi: Dwi Ani Retnowulan
(Kepala). Personalia: Sri Mulyadi (Kepala), Dyah Anggarini. RedakturArtistik: Toto Tri Nugroho (Koordinator), Joko Sunarto, Djoko Susilo, Sigit Anugroho. Kepala Pracetak: Putut Wahyu Widodo. Reporter Biro Semarang : Nugroho DwiAdiseno ( Kepala), Surya Yuli Purwariyanto
(wakil), Sutomo, Irawan Aryanto, Moh. Kundori, Adhitia Armitrianto, Rosyid Ridho, Yuniarto Hari Santosa, Maulana M Fahmi, Fani Ayudea, Hartatik, Modesta Fiska Diana, Royce Wijaya Setya Putra. Biro Jakarta : Hartono Harimurti, ( Kepala), Wahyu Atmadji, Fauzan Djazadi, Budi
Yuwono, Sumardi, Tresnawati, Budi Nugraha, RM Yunus Bina Santosa, Saktia Andri Susilo, Kartika Runiasari, Mahendra Bungalan Dharmabrata, Wisnu Wijarnako. Biro Surakarta : Widodo Prasetyo (Kepala), Won Poerwono, SubaktiASidik, Joko Dwi Hastanto, Bambang Purnomo,
Anindito, Sri Wahyudi, Setyo Wiyono, Merawati Sunantri, Sri Hartanto, Wisnu Kisawa, Achmad Husain, Djoko Murdowo, Langgeng Widodo, Yusuf Gunawan, Evi Kusnindya, Budi Santoso, Irfan Salafudin, Heru Susilowibowo, Basuni Hariwoto, Khalid Yogi Putranto, Budi Santoso. Biro
Banyumas :Sigit Oediarto (Kepala), Khoerudin Islam, Budi Hartono, Agus Sukaryanto, RPArief Nugroho, Agus Wahyudi, M Syarif SW, Mohammad Sobirin, Bahar Ibnu Hajar, Budi Setyawan. Biro Pantura :Trias Purwadi (Kepala), Wahidin Soedja, Saiful Bachri, Nuryanto Aji, Arif Suryoto, Riyono Toepra, Dwi Ariadi, M Achid Nugroho, Wawan Hudiyanto, Cessna Sari, Bayu Setiawan, Teguh Inpras Tribowo, Nur Khoerudin. Biro Muria :Muhammadun Sanomae (Kepala), Prayitno Alman Eko Darmo, Djamal AG, Urip Daryanto, Sukardi, Abdul Muiz, Anton Wahyu
Hartono, Mulyanto Ari Wibowo, Ruli Aditio, Moch Noor Efendi, A Adib. Biro Kedu/DIY : Komper Wardopo (Kepala), Doddy Ardjono, Tuhu Prihantoro, Sudarman, Eko Priyono, Henry Sofyan, Nur Kholiq, Amelia Hapsari, Supriyanto, Sony Wibisono. Daerah Istimewa Yogyakarta:
Sugiarto, Asril Sutan Marajo, Agung Priyo Wicaksono, Juili Nugroho. Bandung :Dwi Setiadi. Koresponden : Ainur Rohim (Surabaya). Alamat Redaksi : Jl Raya Kaligawe KM 5 Semarang 50118.Telepon : (024) 6580900 ( 3 saluran ), 6581925. Faks : (024) 6580605. Alamat Redaksi
Kota : Jl Pandanaran No 30 Semarang 50241. Telepon : (024) 8412600. Manajer Iklan : Bambang Pulunggono. Manajer Pemasaran: Berkah Yuliarto, Manajer Markom: Yoyok Gumulyo. Manajer Riset dan Pengembangan : Adi Ekopriyono. Manajer TU :Amir AR. Manajer
Keuangan : Dimas Satrio W. Manajer Pembukuan : Kemad Suyadi. Manajer Logistik/Umum : Adi P. Manajer HRD: Budi Susanto. Alamat Iklan/Sirkulasi/Tata Usaha:Jl Pandanaran No 30 Semarang 50241. Telepon: (024) 8412600. Faks : (024) 8411116, 8447858. ■HOT LINE
24 JAM024-8454333 ■REDAKSI:(024) 6580900 Faks (024) 6580605 ■EMAILREDAKSI: redaksi _ [email protected] Dicetak oleh PTMasscom Graphy, isi di luar tanggung jawab percetakan.
Beri Kesempatan Kabinet Bekerja
Presiden Joko Widodo diamdiam memberi pesan simbolik mulai
dari saat menyusun, ketika mengumumkan Kabinet Kerja, dan setelah
melantiknya. Sikap agar anggota
kabinetnya benar-benar bersih lewat
catatan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan
& Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) merupakan start yang menjanjikan untuk membentuk penyelenggara negara dan pemerintahan
yang transparan dan akuntabel.
Terdapat sejumlah nama yang
menyebabkan kabinet Jokowi dinilai
tidak istimewa. Gambaran tentang
koordinasi tugas dan kewenangan
dengan nomenklatur kementerian
yang baru juga diperkirakan butuh
adaptasi waktu, sehingga pekerjaan
kementerian akan banyak diribetkan
oleh urusan-urusan teknis organisasi.
Kritik-kritik itu tetap harus diterima
sebagai bagian dari ekspektasi, yang
diharapkan justru mendorong produk
pembuktian kinerja.
Sikap kabinet bersih itu diperkuat
dengan simbolisasi baju warna putih,
dengan lengan digulung, yang tentu
tak sekadar ”pakaian” ekstrinsik,
melainkan lebih ke warna hati sebagai
substansi tujuan yang intrinsik. Lalu
bagaimana Presiden Jokowi meminta
agar nama-nama yang diumumkan
berjalan cepat, berlari ke barisan
menteri, menggambarkan kehendak
agar kabinetnya biasa bekerja cepat
dan cekatan dalam merespons tuntutan kebutuhan pekerjaan.
Gaya kepemimpinan Jokowi
yang sederhana untuk langsung ke
fokus persoalan, akan mendekonstruksi model presiden-presiden
sebelumnya yang lebih taat alur
birokrasi. Kemembumian untuk
”melawan” cencangan kultur normatif
harus ditangkap oleh para menteri
sebagai semacam tipe pengawasan
langsung. Presiden akan selalu mengontrol dengan menagih kepada para
menterinya setiap masalah masyarakat yang membutuhkan solusi.
Rapat pertama kabinet Senin
kemarin setelah pelantikan juga
menunjukkan Jokowi dan Jusuf Kalla
ingin segera berjalan dengan meminimalkan seremoni. Respons terhadap
pengumuman menteri-menteri, yang
oleh sejumlah pengamat disebut
kurang ”wow!” patut kita pahami sebagai ungkapan pengharapan yang
sebenarnya tinggi, namun ada sejumlah nama yang boleh jadi ”andai tidak
dipilih akan lebih memperkuat
kredibiIitas Kabinet Kerja”.
Kita akan menghadapi gaya penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang kasual. Di tengah harapan tinggi rakyat, tantangan awal untuk
penyesuaian subsidi harga bahan
bakar minyak misalnya, bakal menguji ”saraf” kabinet terutama menghadapi logika peta politik parlemen.
Juga bagaimana nasib Kurikulum
2013 yang penuh komplikasi, akan
memperlihatkan seberapa cekatan
para pendekar dalam Kabinet Kerja
memainkan jurusnya.
Pengerdilan Semangat Pergerakan Pemuda
Hari ini, 28 Oktober 2014, Indonesia
memperingati Hari Sumpah Pemuda.
Dikumandangkan dalam Kongres
Pemuda 28 Oktober 1928, Sumpah
Pemuda merupakan pembenihan
menuju kelahiran Indonesia sebagai
sebuah bangsa. Mengutip Ben
Anderson dalam bukunya A Time of
Revolution:
Occupation
and
Resistance (1944-1946), sejarah
Indonesia adalah sejarah pergerakan
pemuda. Tidak ada Indonesia apabila
tidak ada Kongres Pemuda.
Tidak adil kalau membandingkan
sosok-sosok pemuda saat ini dengan
pemuda pada era perjuangan, ketika
Kartini berusia 20-an tahun, Soekarno
berusia 26 tahun, Tan Malaka berusia
16 tahun. Mohammad Hatta berusia 25
tahun, dan pemuda-pemuda lain yang
menorehkan sejarah pergerakan pada
usia muda. Cukup banyak pemudapemuda masa kini yang menorehkan
prestasi yang tidak kalah dengan pendahulunya, meski tidak selalu torehan
sejarah di bidang politik.
Sumpah Pemuda tidak menyodorkan hasil instan. Semangat keindonesiaan dan jiwa korsa nasionalisme itu
baru mewujud 17 tahun kemudian
dengan proklamasi kemerdekaan. Jika
tidak dimulai dengan deklarasi ‘’satu
bangsa, satu tanah air, satu bahasa:
Indonesia’’, Indonesia bakal sulit menjadi negara kesatuan yang berdaulat.
Persoalan dan kolonialisme yang
mendera bukan soal ringan bagi bangsa yang sedang mnenegakkan identitas.
Keprihatinan kita lebih terfokus
pada keadaan umum generasi muda
saat ini yang terlalu lama menikmati
masa kemudaan, dalam arti, masa
kehidupan yang bergantung pada
orang tua atau pihak penyandang
dana. Rata-rata, warga muda Indonesia sudah berusia 25 tahun ketika
menginjakkan kaki ke dalam kehidupan
nyata sebagai insan yang mandiri. Pola
hubungan kekerabatan bahkan masih
memperpanjang kesempatan untuk
tetap sebagai insan tidak mandiri.
Meski demikian, menggali relevansi nilai Sumpah Pemuda untuk kehidupan berbangsa saat ini juga bukan
perkara mudah. Musuh yang dihadapi
bukanlah musuh berwajah kolonialisme yang kejam. Sebaliknya, musuh
yang dihadapi adalah tawaran-tawaran
yang menggiurkan untuk dikonsumsi,
yang berwajah seolah-olah bukan
musuh tetapi sesungguhnya menggerus kesadaran kebangsaan. Nilainilai hegemonik tanpa disadari menjauhkan identitas Indonesia dari
kesadaran.
Sistem mekanisme regenerasi
kehidupan sosial-ekonomi-politik yang
tercipta masih sangat minim memberikan semangat kemandirian.
Akibatnya, semangat pergerakan
pemuda terbelenggu oleh sistem yang
kita ciptakan sendiri. Tidak mengagetkan ketika muncul keluhan soal
etos generasi muda yang terkesan
tidak serius terhadap persoalan-persoalan kehidupan. Sumpah Pemuda
akan relevan apabila sistem yang
mengerdilkan manusia segera kita
bongkar.
DPRD tantang Sekda Jateng akhiri blok-blokan.
Padahal banyak blok: blok Pak Sri, Mas Pur, Bang Yon, dan blok Pak No...
***
Menteri Kelautan Susi , lulus SMP mampu beli 50 pesawat.
Coba kalau lulus SMA, bisa 100 pesawat...
(Lebih suka sewa pesawat ramai-ramai)
Terbit sejak 11 Februari 1950
PT Suara Merdeka Press
Pendiri : H Hetami
Komisaris Utama : Ir Budi Santoso
Pemimpin Umum: Kukrit Suryo Wicaksono
Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab :
Amir Machmud NS
Direktur Operasional : Hendro Basuki
Direktur Pemberitaan : Sasongko Tedjo
Direktur SDM : Sara Ariana Fiestri
Mewaspadai Bahaya Metafora
Oleh Jumanto
BAHASA sebagai salah satu sarana
berpikir (ilmiah) —di samping logika,
matematika, dan statistika— memang
unik karena memiliki dua tataran. Bahasa
objek, dalam tataran pertama adalah denotasi, yakni bahasa apa adanya. Adapun
metabahasa, tataran kedua adalah konotasi, yang mencakupi imajinasi manusia:
improvisasi dan kreativitas bahasa yang
tidak terbatas.
Kamar kecil dalam bahasa objek adalah kamar berukuran kecil, sementara
dalam metabahasa bisa berarti toilet dan
sejenisnya. Dalam tataran metabahasa inilah, metafora terlahir dan terjadi, dan kita
gunakan untuk berkomunikasi sehari-hari,
yakni menyebut sesuatu dengan meminjam properti semantik sesuatu lainnya.
Santun atau berbahayakah metafora?
Mari cermati di sekitar kita. Dalam
kehidupan sehari-hari kita tidak pernah
menyadari menggunakan metafora.
Mengingat metafora bersifat tidak langsung (nonliteral), di sana kita melihat
kesantunan. Menyebut kamar kecil misalnya, lebih santun ketimbang toilet, dan
minta ’’izin ke belakang’’ terdengar lebih
sopan daripada kata apa pun yang mengacu aktivitas di kamar mandi/ WC.
Namun ada bahaya yang perlu dicermati andai berkait media massa dan dunia
politik. Pasalnya hal itu melibatkan massa
yang membaca, bertanya-tanya, dan
mungkin tidak berterima. Mengapa
metafora, yang bersifat tak langsung itu,
bisa berbahaya?
Sebagian pemirsa televisi tentu ingat
ketika salah satu tayangan televisi mempertontonkan ada orang takut anjing lalu
dihipnotis dan disugesti supaya sewaktu
melihat binatang itu, sama dengan melihat
wajah Benyamin Sueb. Tayangan itu langsung membuat marah budayawan yang
concern budaya Betawi, termasuk warga
Betawi. Akibatnya, program tayangan itu
harus ditutup.
Salah satu kandidat Pilpres 2014 pun
disebut kucing kampung oleh lawan politiknya. Ahok, Wagub DKI Jakarta, disebut
kutu loncat. Metafora semacam itu menjadi berbahaya karena mencoreng nama baik
seseorang atau melukai perasaannya.
Apalagi bila nama baik dan perasaan itu
milik masyarakat atau massa yang mendukungnya.
Menjadi berbahaya bila reputasi dan
kehormatan seseorang begitu saja ditempeli properti semantik dari entitas
’’binatang’’, terlebih bila properti semantik
dari entitas tersebut negatif. Bagi muslim,
anjing tetap ’’negatif’’meskipun ada yang
benar-benar lucu. Kucing bisa positif atau
negatif namun tambahan kata kampung
membuatnya negatif.
Adapun kutu tetap negatif, apalagi
ditambah loncat. Ketidaklangsungan
dalam metafora memang demi menjaga
kesantunan namun properti semantik dari
binatang ’’tertentu’’ mengempaskan
kesantunan itu jadi ketidaksantunan
(penghinaan, sindiran, menyakiti perasaan, ketidakpercayaan, dan sebagainya).
Kata Tabu
Hal itu berlaku untuk metafora semisal
tikus berdasi, buaya darat, lintah darat,
kumpul kebo, sapi perah, kupu-kupu
malam dan sebagainya. Sifat ontologis
metafora yang tidak langsung juga membuat dunia hukum tak berkutik, tidak bisa
memprosesnya meskipun ada pencemaran
nama baik pihak tertentu. Belum lagi andai
dibalut kemelut proses persaingan politik.
Namun ada metafora ’’binatang’’yang
masih positif sehingga tetap mengarah
pada kesantunan karena lebih mendasarkan ’’reputasi’’ positif dari binatang
tersebut, kendati kita harus hati-hati menerapkannya. Semisal mata elang, napas
kuda, sepasang merpati, garuda di dada,
dan singa perkasa.
Metafora lain yang juga berbahaya
adalah ancaman melalui teks ’’Peringatan:
Merokok Membunuhmu!’’ Saya menganggap berbahaya karena membunuh adalah kata tabu yang seharusnya ’’tidak santun’’ disebarluaskan. Apalagi dalam
jangkauan bacaan, pikiran, dan penalaran
anak-anak. Memang peringatan tersebut
metafora mengingat ’’pembunuhan’’ itu
tidak terjadi secara langsung.
Anak-anak hanya akan melihat dan
memahami kata ’’membunuh’’bukan dari
proses panjang berpuluh-puluh tahun terpengaruh asap dan racun rokok yang
merugikan kesehatan pengisapnya (buruk
bagi kesehatan dan bisa mengakibatkan
kematian). Hal itu berbeda dari teks ’’penjahat (bisa) membunuhmu’’ atau
’’binatang buas (dapat) membunuhmu’’.
Sebelumnya, bahasa objek yang
dipakai adalah ’’Merokok Dapat Menyebabkan Kanker, Serangan Jantung,
Impotensi, dan Gangguan Kehamilan dan
Janin’’, yang terdengar lebih santun.
Pasalnya, bersifat tak langsung dan pengiriman pesannya lebih efektif mengingat
dipahami oleh perokok dewasa, jauh dari
jangkauan pemahaman anak-anak.
Konteks yang seharusnya ditabukan
dan dikuburkan, sebaiknya jangan dipublikasikan dan disebarluaskan. Peringatan
tersebut memang ideologi kesehatan dari
pemerintah guna melawan ideologi ajakan
merokok dari produsen. Namun berkait
konflik ideologi (paradoks), siapa pun
yang memasang atau memerintah memasang teks itu, harus mempertimbangkan
pemahaman anak-anak.
Artinya, pencantuman teks itu pada
kemasan rokok jangan semata-mata bertujuan menakut-nakuti (memperingatkan)
orang dewasa supaya tidak merokok.
Mengapa dampak dari sisi bahasa tidak terpikirkan sebelumnya? Padahal metafora
yang dianggap biasa dan tidak berbahaya
ternyata berisiko menebar bencana budaya. (10)
— Dr Jumanto, PhD in Linguistics
(Pragmatics) Universitas Indonesia,
dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB)
Universitas Dian Nuswantoro Semarang
Meniti dari Sumpah ke Sumpah
SEJARAH manusia pada dasarnya satu, namun
karena letak, bangsa yang jadi pelaku, serta situasi
dan kondisi yang dihadapi berbeda, seolah-olah kita
hanya mengenal sejarah kebangsaan. Bahkan ketika
di antara manusia atau di antara kita saling berbenturan. Sejarah Indonesia sebagai perjalanan dan perjuangan kita pada dasarnya juga satu kesatuan.
Namun karena sebagai kita memiliki penggalanpenggalan atau periode-periode, seolah-olah sejarah
bangsa kita pun terpenggal-penggal.
Lebih-lebih dalam lingkup warga mengingat
bangsa kita terdiri atas berbagai kelompok usia,
kepentingan, dan budaya, sehingga menjadi tidak
mulus dalam proses menuju kesatuan bangsa. Ada
sejarah masa Majapahit, masa Islam, masa penjajahan, masa orde demi orde setelah menjadi bangsa
merdeka. Padahal kalau kita perhatikan, semua penggalan sejarah itu memiliki kesinambungan dan ada
benang merah yang menautkan.
Demikian juga di antara kelompok yang berbeda,
selalu terjadi proses menepis perbedaan. Caranya
yakni dengan kebulatan tekad. Bisa lewat pembangunan monumen kebulatan tekad, mengucap sumpah, ikatan perkawinan, atau berikrar prasetya. Bisa
pula dengan mendeklarasikan kebulatan tekad.
Borobudur adalah monumen tengara bagi tekad
untuk bersatu dari dua kekuatan sosial yang bernama
dinasti Syailendra di Jawa dan di Sumatera. Menurut
Moh Yamin, tidak ada penjajahan Jawa atas Sumatra,
atau sebaliknya. Yang ada proses persatuan dengan
kembalinya Balaputradewa dari Sumatera, yang berasal dari dinasti Syailendra, ke Jawa. Demikian pula
ìmudiknyaî Airlangga dari Bali menyeberangi Selat
Bali ke Jawa, lalu mengawini putri Raja Jawa,
menandakan tekad mempersatukan Jawa-Bali dalam
keprabuan Mataram Hindu.
Pada masa Majapahit muncul pula anak zaman
untuk menyatakan Sumpah Palapa, sebuah tekad
untuk tidak mengikuti arus perpecahan. Sumpah itu
merupakan manifestasi dari konsep Bhinneka
Tunggal Ika. Bisa berbeda kelompok dan kepentingan, namun lebih mengutamakan kepentingan untuk
bersatu. Lalu tampillah tokoh Gadjah Mada, yang
sebenarnya bukan sosok yang disenangi semua
pihak.
Gadjah Mada justru tokoh yang berani bertindak
salah guna mengatasi perpecahan. Dia juga sosok
kontroversial dan berisiko bisa ìmenyakiti hatiî prajurit Sunda demi mencapai cita-cita persatuan
Nusantara di bawah Majapahit. Secara simbolis
Gadjah Mada mengucap sumpah ìtidak akan makan
Oleh Abu Su’ud
Patut kita duga bahwa
penyelenggara Kongres Pemoeda II
tak menghendaki keterlibatan
Soekarno-Hatta
buah palapaî sebelum persatuan nasional tercapai.
Pada masa terakhir penjajahan Belanda, tepatnya
tanggal 28 Oktober 1928, sejumlah pemuda yang tergabung dalam Perhimpoenan Peladjar-Peladjar
Indonesia (PPPI) menggelar Kongres Pemoeda (KP)
II di Jakarta. Mereka menyatakan kebulatan tekad
untuk mengakui ikatan kesatuan Tanah Air, bangsa
dan bahasa bernama Indonesia, serta mengesampingkan berbagai perbedaan yang bersifat primordial,
Peran Soekarno-Hatta
Memperhatikan perjalanan sejarah, kita akan
melihat sejumlah tonggak kebulatan tekad anakanak bangsa untuk mencapai tujuan sama, yaitu
kesatuan bangsa demi kesatuan nasional. Demikian
juga pelantikan presiden-wakil presiden terpilih:
Jokowi-JK tanggal 20 Oktober 2014 menjelang
peringatan Hari Sumpah Pemuda, merupakan tonggak tekad bangsa ini menghargai hasil Pilpres 2014
demi kesatuan bangsa. Itulah benang merah yang
menembus batas waktu penggalan-penggalan
sejarah.
Bukan mencari-cari, namun fakta menunjukkan
dari 71 anggota panitia Kongres Pemoeda II yang
menghasilkan Sumpah Pemoeda 1928 tidak ada
nama Soekarno-Moh Hatta. Mengapa tokoh nasionalis sekaliber mereka seperti tidak terlibat dalam
gerakan KP II yang menghasilkan Soempah
Pemuda? Usia mereka masih muda. Tahun 1926 saat
berusia 26 tahun Bung Karno mendirikan Partai
Nasional Indonesia. Pada tahun itu pastilah dia dan
Bung Hatta belum menjalani masa pembuangan
karena sidang pengadilan baru digelar tahun 1933.
Apalagi dua tokoh itu nantinya menjadi presidenwakil presiden pertama dengan sebutan Dwi
Tunggal. Pastilah bukan karena keduanya tak sepakat dengan gagasan besar Soempah Pemoeda 1928
sehingga tidak mau bergabung. Bahkan banyak
tokoh yang menjadi peserta kongres nantinya jadi
kolega perjuangan ataupun pasangan kerja dalam
menjalankan pemerintahan.
Kita bisa menyebut Moh Yamin, Wilopo, Amir
Sjarifuddin, Arnold Mononutu, Sartono, Kasman
Singodimedjo, Moh Roem, Johannes Leimena dan
sebagainya.
Penyelenggara KP II adalah PPPI, sementara
organisasi itu dibentuk dengan latar belakang tak
sejalannya dengan penampilan dan kinerja partaipartai politik yang dianggapnya keras, lebih-lebih
terhadap partai komunis. Lebih dari itu, ternyata
kongres dihadiri oleh utusan penjajah, yaitu van der
Plaas, yang anticita-cita persatuan nasional
Indonesia. Patut kita duga pula bahwa penyelenggara
kongres itu tak menghendaki keterlibatan SoekarnoHatta. Karena itu, perlu ada kajian yang lebih mapan.
(10)
— Abu Su’ud, guru besar emeritus Unnes, Guru
Besar Universitas PGRI Semarang (UPGRIS)
Email Baru
Berhubung email lama mengalami
gangguan, kini kirimkan artikel
wacana nasional (hal 6) ke:
[email protected].
dan: [email protected].
Panjang maksimal 7.000 karakter with
space, sertakan pasfoto pose santai. (Red)
Wakil Pemimpin Redaksi : Gunawan Permadi. Redaktur Senior: Sri Mulyadi, AZaini Bisri, Heryanto Bagas Pratomo. Redaktur Pelaksana : Ananto Pradono, Murdiyat Moko, Triyanto Triwikromo. Koordinator Liputan: Hartono, Edy Muspriyanto. Sekretaris Redaksi : Eko
Hari MudjihartoStaf Redaksi :Soesetyowati, Cocong Arief Priyono, Zaenal Abidin, Eko Riyono, Darjo Soyat , Ghufron Hasyim, Muhammad Ali, Bambang Tri Subeno, Simon Dodit, Budi Surono, Renny Martini, Diah Irawati, Agustadi,Gunarso, Ahmad Muhaimin, Bina Septriono, Edi
Indarto, Nasrudin, M.Asmu’i, Ali Arifin, Sri Syamsiyah LS, Gunawan Budi Susanto, Imam Nuryanto, Arwan Pursidi, Arie Widiarto, Zulkifli Masruch, Agus Fathudin Yusuf, Petrus Heru Subono, Tavif Rudiyanto, M Jokomono, Saroni Asikin, Purwoko Adi Seno, Karyadi, Arswinda Ayu
Rusmaladewi, Mohammad Saronji, Maratun Nashihah, Sarby SB Wietha, Mohamad Annas, Kunadi Ahmad, Ida Nursanti, Aris Mulyawan, Setyo Sri Mardiko, Budi Winarto, Sasi Pujiati, Hasan Hamid, Rony Yuwono, Sumaryono HS, M Norman Wijaya, Noviar Yudho P, Yunantyo Adi
S, Fahmi Z Mardizansyah, Saptono Joko S, Dian Chandra TB, Roosalina, Dicky Priyanto, Hasan Fikri, Tri Budianto, Wahyu Wijayanto, Leonardo Agung Budi Prasetya. Litbang :Djurianto Prabowo ( Kepala ),Dadang Aribowo. Pusat Data, Analisa dan Produksi: Dwi Ani Retnowulan
(Kepala). Personalia: Sri Mulyadi (Kepala), Dyah Anggarini. RedakturArtistik: Toto Tri Nugroho (Koordinator), Joko Sunarto, Djoko Susilo, Sigit Anugroho. Kepala Pracetak: Putut Wahyu Widodo. Reporter Biro Semarang : Nugroho DwiAdiseno ( Kepala), Surya Yuli Purwariyanto
(wakil), Sutomo, Irawan Aryanto, Moh. Kundori, Adhitia Armitrianto, Rosyid Ridho, Yuniarto Hari Santosa, Maulana M Fahmi, Fani Ayudea, Hartatik, Modesta Fiska Diana, Royce Wijaya Setya Putra. Biro Jakarta : Hartono Harimurti, ( Kepala), Wahyu Atmadji, Fauzan Djazadi, Budi
Yuwono, Sumardi, Tresnawati, Budi Nugraha, RM Yunus Bina Santosa, Saktia Andri Susilo, Kartika Runiasari, Mahendra Bungalan Dharmabrata, Wisnu Wijarnako. Biro Surakarta : Widodo Prasetyo (Kepala), Won Poerwono, SubaktiASidik, Joko Dwi Hastanto, Bambang Purnomo,
Anindito, Sri Wahyudi, Setyo Wiyono, Merawati Sunantri, Sri Hartanto, Wisnu Kisawa, Achmad Husain, Djoko Murdowo, Langgeng Widodo, Yusuf Gunawan, Evi Kusnindya, Budi Santoso, Irfan Salafudin, Heru Susilowibowo, Basuni Hariwoto, Khalid Yogi Putranto, Budi Santoso. Biro
Banyumas :Sigit Oediarto (Kepala), Khoerudin Islam, Budi Hartono, Agus Sukaryanto, RPArief Nugroho, Agus Wahyudi, M Syarif SW, Mohammad Sobirin, Bahar Ibnu Hajar, Budi Setyawan. Biro Pantura :Trias Purwadi (Kepala), Wahidin Soedja, Saiful Bachri, Nuryanto Aji, Arif Suryoto, Riyono Toepra, Dwi Ariadi, M Achid Nugroho, Wawan Hudiyanto, Cessna Sari, Bayu Setiawan, Teguh Inpras Tribowo, Nur Khoerudin. Biro Muria :Muhammadun Sanomae (Kepala), Prayitno Alman Eko Darmo, Djamal AG, Urip Daryanto, Sukardi, Abdul Muiz, Anton Wahyu
Hartono, Mulyanto Ari Wibowo, Ruli Aditio, Moch Noor Efendi, A Adib. Biro Kedu/DIY : Komper Wardopo (Kepala), Doddy Ardjono, Tuhu Prihantoro, Sudarman, Eko Priyono, Henry Sofyan, Nur Kholiq, Amelia Hapsari, Supriyanto, Sony Wibisono. Daerah Istimewa Yogyakarta:
Sugiarto, Asril Sutan Marajo, Agung Priyo Wicaksono, Juili Nugroho. Bandung :Dwi Setiadi. Koresponden : Ainur Rohim (Surabaya). Alamat Redaksi : Jl Raya Kaligawe KM 5 Semarang 50118.Telepon : (024) 6580900 ( 3 saluran ), 6581925. Faks : (024) 6580605. Alamat Redaksi
Kota : Jl Pandanaran No 30 Semarang 50241. Telepon : (024) 8412600. Manajer Iklan : Bambang Pulunggono. Manajer Pemasaran: Berkah Yuliarto, Manajer Markom: Yoyok Gumulyo. Manajer Riset dan Pengembangan : Adi Ekopriyono. Manajer TU :Amir AR. Manajer
Keuangan : Dimas Satrio W. Manajer Pembukuan : Kemad Suyadi. Manajer Logistik/Umum : Adi P. Manajer HRD: Budi Susanto. Alamat Iklan/Sirkulasi/Tata Usaha:Jl Pandanaran No 30 Semarang 50241. Telepon: (024) 8412600. Faks : (024) 8411116, 8447858. ■HOT LINE
24 JAM024-8454333 ■REDAKSI:(024) 6580900 Faks (024) 6580605 ■EMAILREDAKSI: redaksi _ [email protected] Dicetak oleh PTMasscom Graphy, isi di luar tanggung jawab percetakan.