Analisis Yuridis Terhadap Addendum Dalam Akad Perjanjian Pada Pembiayaan Bermasalah (Studi Pada Perusahaan Daerah Bpr Syari’ah Mustaqim Sukamakmur Aceh Besar)

33

BAB II
FAKTOR-FAKTOR YANG MELATAR BELAKANGI PEMBUATAN
ADDENDUM DALAM PENYELESAIAN PEMBIAYAAN BERMASALAH
BPR MUSTAQIM SUKAMAKMUR
A. Pengaturan Akad Dalam Hukum Perjanjian Islam
Tata hukum perbankan di Indonesia dikenal dua sistem perbankan nasional,
yaitu Bank yang berdasarkan Prinsip Konvensional dan Bank yang berdasarkan
Prinsip Syariah. Salah satu kegiatan usaha Bank Umum yaitu pemberian atau
penyaluran kredit pada Bank Konvensional dan pembiayaan pada Bank Syariah.
Bank syariah seperti halnya bank konvensional, berfungsi juga sebagai lembaga
intermediasi (intermediary institution), yaitu berfungsi menghimpun dana dari
masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat yang
membutuhkannya dalam bentuk pembiayaan. Pembiayaan atau financing, yaitu
pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain untuk mendukung
investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun lembaga.
Secara umum konsep perbankan syariah menawarkan sistem perekonomian
khususnya kepada lembaga perbankan, yaitu suatu sistem yang sesuai dengan syariat
Islam/prinsip syariah. Pemberian pembiayaan tersebut tentu saja tidak terlepas dari
adanya kepercayaan pihak bank terhadap nasabahnya. Apabila bank merasa bahwa

nasabah layak untuk mendapat pembiayaan dimaksud, maka antara bank dengan
peminjam membuat suatu akad pembiayaan masing-masing pihak, yaitu bank dan

33

Universitas Sumatera Utara

34

nasabah peminjam harus menyetujui dan menandatangani akad yang mengandung
konsekuensi untuk dipatuhi oleh kedua belah pihak.
Menurut Kamus Hukum arti kata akad adalah perjanjian.32 Ditinjau dari
Hukum Islam, perjanjian yang sering disebut dengan akad merupakan suatu
perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan persetujuan
masing-masing. Dengan kata lain akad adalah perikatan antara ijab dan kabul secara
yang dibenarkan syara’, yang menetapkan persetujuan kedua belah pihak.33
Dalam Al Quran sendiri setidaknya ada 2 (dua) istilah yang berkaitan dengan
perjanjian, yaitu kata akad (al aqdu) dan kata ahd (al- ahdu) Al Quran memakai kata
pertama dalam perikatan atau perjanjian.34 Sedangkan kata yang kedua dalam berarti
masa, pesan penyempurnaan dan janji atau perjanjian. Oleh karenanya kata akad

disamakan dengan perikatan atau verbintenis sedangkan kata al’ahdu dengan istilah
perjanjian atau overenkomst yang diartikan sebagai suatu pernyataan dari seseorang
untuk mengerjakan atau mengerjakan sesuatu.35
Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa dalam menjalankan operasional
perbankan, seperti halnya bank konvensional

bank syariah juga terikat dengan

adanya perjanjian dengan nasabahnya atau dengan pihak lainnya yang menyangkut
hubungan perbankan. Perjanjian atau persetujuan antar dua atau berbagai pihak dalam

32

J.C.T Simorangkir et.al., Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta, 1997, hal.6.
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqi, Pengantar Fiqih Muamalat, Cetakan Pertama
Edisi Kedua, Pustaka Rizki Putra, Semarang: 1997, hal. 28.
34
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bhakti, Bandung ,
2001, hal 247.
35

Abdul Ghofur Anshori, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, Citra Media,
Jogjakarta, 2006, hal. 19
33

Universitas Sumatera Utara

35

Hukum Islam dinamakan dengan transaksi (akad). Akad yang berasal dari kata al‘Aqd jamaknya al-‘Uqud menurut bahasa mengandung arti al-Rabtb. al-Rabtb yang
berarti, ikatan, mengikat.36 Aiyub Ahmad juga mengatakan bahwa Aqad menurut
bahasa berarti ikatan (al-rabthu), kaitan (al-‘aqdah), atau janji (al-‘ahdu).37

Jadi,

aqad merupakan suatu hal yang sangat penting, oleh karena itu setiap pelaku dalam
industri perbankan syariah, termasuk pengelola bank/pemilik dana/ pengguna dana,
serta otoritas pengawas harus memiliki kesamaan cara pandang terhadap aqad-aqad
produk penghimpunan dan penyaluran dana bank syariah.
Akad juga mengandung arti al-Rabthu wa al syaddu yakni ikatan yang
bersifat indrawi (hissi) seperti mengikat sesuatu dengan tali atau ikatan yang bersifat

ma’nawi seperti ikatan dalam jual beli.38 Apabila ditelaah berbagai sumber di atas
jelaslah bahwa bahwa pengertian akad menurut bahasa intinya sama yakni akad
secara bahasa adalah pertalian antara dua ujung sesuatu.
Guna terbentuknya akad, maka diperlukan unsur pembentuk akad,
hanya saja, di kalangan fuqaha terdapat perbedaan pandangan berkenaan
dengan unsur pembentuk tersebut (rukun dan syarat akad). Menurut jumhur fuqaha,
rukun akad terdiri atas:
1. Al-‘Aqidain, yakni para pihak yang terlibat langsung dengan akad
2. Mahallul Akad, yakni objek akad, yakni sesuatu yang hendak diakadkan
36

Abd. Bin Nuh dan Oemar Bakry, Kamus Arab, Indonesia, Inggris, Mutiara, Jakarta, 1964,

hal. 112
37

Aiyub Ahmad, Transaksi Ekonomi Perspektif Hukum Perdata dan Hukum Islam, Cetakan I,
Kiswah, Banda Aceh, 2004, hal. xxix
38
Abd. Ar-Rahman bin ‘Aid, ‘Aqad al-Muqawalah, Maktabah al-Mulk, Riyad, 2004,

hal. 25.

Universitas Sumatera Utara

36

3. Sighat Akad, pernyataan kalimat akad yang lazimnya dilaksanakan melalui
pernyataan ijab dan qabul.39
Dalam Al-Qur’an kata al-aqdu terdapat pada surat Al-Maidah ayat (1) bahwa
manusia diminta untuk memenuhi akadnya. Menurut Gemala Dewi beliau mengutip
pendapat Fathurrahman Djamil, istilah al-aqdu dapat disamakan dengan istilah
verbentenis dalam KUH Perdata.40 Menurut fiqh Islam, kata “akad” berarti perikatan,
perjanjian dan permufakatan (ittifaq). Dalam kaitan ini peranan Ijab (pernyataan
melakukan ikatan) dan Qabul (pernyataan menerima ikatan) sangat berpengaruh pada
objek perikatannya, apabila ijab dan qabul sesuai dengan ketentuan syari’ah, maka
munculah segala akibat hukum dari akad yang disepakati tersebut.41
Menurut Musthafa Az-Zarka yang dikutip H.M.Azhari bahwa :
Suatu akad merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau
beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan mengikatkan dirinya. Kehendak
tersebut sifatnya tersembunyi dalam hati, oleh karena itu menyatakannya

masing-masing harus mengungkapkan dalam suatu pernyataan yang disebut
Ijab dan Qabul.42
Syarat umum yang harus dipenuhi suatu akad menurut ulama fiqh antara lain,
pihak-pihak yang melakukan akad telah cakap bertindak hukum, objek akad harus
ada dan dapat diserahkan ketika akad berlangsung, akad dan objek akadnya tidak
dilarang syara’, ada manfaatnya, ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis dan
39

Afdawaiza, Terbentuknya Akad dalam Hukum Perjanjian Islam, Al-Mawarid Edisi
XVIII Tahun 2008, hal 182, dalam Wahbah Az-Zuhaili. 1989. A l-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu. Damaskus: Dar al-Fikr. IV. 92.
40
Gemala Dewi, Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam di
Indonesia, Prenada Media, Jakarta 2005, hal 43.
41
H.M. Azhari, Jenis-Jenis Akad Dalam Perbankan Syari’ah (tabarru dan tijari),
http://www.pa-tanahgrogot.net/ Diakses April 2010.
42
Ibid.


Universitas Sumatera Utara

37

tujuan akad harus jelas dan diakui syara’. Kemudian Hasbalah Thaib mengatakan
bahwa suatu perjanjian menurut jumhur ulama dikatakan dengan akad, dan secara
umum dari arti kata akad didefinisikan dengan pertalian ijab (pernyataan melakukan
ikatan) dan qabul (pernyataan penerima) sesuai dengan kehendak syari’at yang
mempengaruhi pada objek perikatan.43
Dalam hukum Islam telah menetapkan beberapa asas akad yang berpengaruh
kepada pelaksanaan akad yang dilaksanakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan
adalah sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
e.
f.

asas kebebasan berkontrak

asas perjanjian itu mengikat
asas konsensualisme
asas ibadah
asas keadilan dan keseimbangan prestasi.
asas kejujuran (amanah).44
Dalam rangka membahas akad sebagai perbuatan hukum termasuk dalam

hubungan hukum penyaluran pembiayaan pada perbankan syaiah, sah dan batalnya
akad, cacat dalam akad dengan uraian sebagai berikut ;
1.

Akad Sebagai Perbuatan Hukum
Akad sebagai perbuatan hukum atau tindakan hukum dapat dilihat dari definisidefinisi akad atau kontrak, diantaranya salam Ensiklopedi hukum Islam
dikemukakan bahwa akad adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan)
dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang

43
M. Hasballah Thaib, Hukum Aqad (Kontrak) dalam Fiqh Islam dan Praktek di
Bank Sistem Syari’ah, PPS, USU, Medan, 2005, hal. 1.
44

Syamsul Anwar, “Hukum Perjanjian Syariah”, Makalah disampaikan dalam rangka
Stadium General Pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
diselenggarakan F.H. UMY, Yogyakarta tanggal 14 Maret 2006.

Universitas Sumatera Utara

38

berpengaruh pada obyek perikatan.45

Tindakan berupa perkataan yang bersifat

akad terjadi bila dua atau beberapa pihak mengikatkan diri untuk melakukan
suatu perjanjian. Sedangkan tindakan berupa perkataan yang tidak bersifat akad
terbagi dua macam yakni :
a) Yang mengandung kehendak pemilik untuk menetapkan atau melimpahkan
hak, membatalkannya atau menggugurkannya seperti wakaf, hibah dan talak.
Akad seperti ini tidak memerlukan qabul.
b) Yang tidak mengandung kehendak pihak yang menetapkan atau yang
menggugurkan suatu hak, tetapi perkataan itu memunculkan tindakan hukum

seperti gugatan di pengadilan, pengakuan di depan sidang. 46
Berdasarkan pembagian tindakan hukum tersebut di atas, maka dapat
dikemukakan bahwa suatu tindakan hukum lebih umum dari akad dan oleh karena itu
setiap akad dikatakan sebagai tindakan hukum dari dua atau beberapa pihak, tetapi
sebaliknya setiap tindakan hukum tidak dapat disebut sebagai akad. 47
2.

Sah dan Batalnya Akad
Akad menjadi sah jika rukun-rukun dan syarat-syarat tersebut dipenuhi dan

tidak sah apabila rukun dan syarat tersebut tidak dipenuhi. Namun berhubung syaratsyarat akad itu bermacam-macam jenisnya. Maka keabsahan dan kebatalan akad,
menjadi bertingkat-tingkat, hanya sejauh mana rukun dan syarat-syarat itu dipenuhi.
3.

Cacat Dalam Akad
Tidak setiap akad (kontrak) mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk

terus dilaksanakan. Namun ada kontrak tertentu yang mungkin menerima pembatalan,
45


Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996,

46

Ibid.
Abdul Aziz Dahlan (ed), Op.Cit., hal. 63

hal 63.
47

Universitas Sumatera Utara

39

hal ini karena disebabkan adanya beberapa cacat yang dapat menghilangkan
keridhaan (kerelaan) atau kehendak sebagian pihak.
Adapun faktor-faktor yang merusak ketulusan atau keridaan seseorang adalah
sebagai berikut :
a. Paksaan/Intimidasi (Ikrah)
Nur Kholis mengatakan bahwa :
Paksaan/intimidasi (Ikrah), yakni memaksa pihak lain secara melanggar
hukum untuk melakukan atau tidak melakukan suatu ucapan atau perbuatan
yang tidak disukainya dengan gertakan atau ancaman sehingga menyebabkan
terhalangnya hak seseorang untuk bebas berbuat dan hilangnya kerelaan.48
Menurut Ahmad Azhar Basyir, bila akad dilaksanakan ada unsur paksaan,
mengakibatkan akad yang dilakukan menjadi tidak sah dan menurut Abdul
Manan yang dikutip Ahmad Azhar Basyir, bila kontrak atau akad dibuat
dengan cara paksa dianggap cacat hukum dan dapat dimintakan pembatalan
kepada pengadilan.49
b. Kekeliruan atau kesalahan
Kekeliruan (ghalath) yang dimaksud adalah kekeliruan pada obyek akad
atau kontrak. Kekeliruan bisa terjadi pada dua hal :
1) Pada zat (jenis) obyek, seperti orang membeli cincin emas tetapi ternyata
cincin itu terbuat dari tembaga.
2) Pada sifat obyek kontrak, seperti orang membeli baju warna ungu, tetapi
ternyata warna abu-abu.
48

Nur Kholis, “Modul Transaksi Dalam Ekonomi Islam”, Tanpa Penerbit, Yogyakarta, 2006, hal. 27.

49

Ahmad Azhar Basyir, Op.Cit., hal. 101.

Universitas Sumatera Utara

40

c. Penyamaran Harga Barang
Penyamaran harga barang (Ghubun) secara bahasa artinya pengurangan.
Dalam istilah ilmu fiqh, artinya tidak wujudnya keseimbangan antara obyek
akad (barang) dan harganya, seperti lebih tinggi atau lebih rendah dari harga
sesungguhnya.50 Di kalangan ahli fiqh ghubn ada dua macam yakni :
1) Penyamaran ringan. Penyamaran ringan ini tidak berpengaruh pada akad.
2) Penyamaran berat yakni penyamaran harga yang berat, bukan saja
mengurangi keridaan tapi bahkan melenyapkan keridaan. Maka kontrak
penyamaran berat ini adalah batil.
d. Penipuan
Penipuan (al-Khilabah), yaitu menyembunyikan cacat pada obyek akad
agar tampil tidak seperti yang sebenarnya. Oleh karena itu, maka pihak yang
merasa tertipu berhak fasakh.
e. Penyesatan
Penyesatan
mendorong

(al-Taqrir) atau

seseorang

untuk

menggunakan
melakukan

rekayasa

akad

yang

yang dapat
disangkanya

menguntungkannya tetapi sebenarnya tidak menguntungkannya. Taqrir tidak
mengakibatkan tidak sahnya akad, tetapi pihak korban dapat mengajukan
fasakh.
Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa akad dalam hukum
Islam merupakan suatu tindakan hukum yang berdasarkan kehendak murni
50

Nur Kholis, Op.Cit., hal. 28

Universitas Sumatera Utara

41

dan bebas dari paksaan. Hanya saja akad haruslah merupakan tindakan hukum
berdasarkan kehendak dari dua pihak yang saling bertemu. Tindakan berupa
perbuatan dan tindakan berupa perkataan kemudian tindakan yang
berupa perkataan pun terbagi dua yaitu yang bersifat akad dan yang tidak
bersifat akad.
B. Akad Pembiayaan Pada Bank Syariah
Syariah Islam merupakan pandangan hidup yang seimbang dan terpadu,
diciptakan untuk mengantarkan manusia menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat
(falah) melalui penegakan berbagai seruan yang telah kodifikasikan dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah. Aturan yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah
tersebut mengatur manusia dalam berbagai aspek. Dengan kata lain secara
Komprehensif syariat Islam dapat diartikan sebagai syariat yang mengatur umat
manusia dalam bidang ibadah ‘ubudiyah dan muamalah.51
Muamalah dalam arti sempit adalah ekonomi Islam yang mengatur manusia
dalam menjalankan aktivitasnya supaya sesuai dengan prinsip syariah. Prinsip-prinsip
syariah antara lain prinsip perbankan non riba; prinsip perniagaan halal dan tidak
haram; prinsip keredhaan para pihak dalam berkontrak; prinsip pengurusan dana yang
amanah, jujur dan bertanggung jawab.52 Prinsip tersebut kemudian dikenal dengan
istilah prinsip ekonomi syariah.

51
Faisal, Restrukturisasi Pembiayaan Murabahah Dalam Mendukung Manajemen Risiko
Sebagai Implementasi Prudential Principle Pada Bank Syariah Di Indonesia, Jurnal Dinamika
Hukum, Vol. 11 No. 3 September 2011, hal.464
52
Jafril Khalil, “Prinsip Syari’ah Dalam Perbankan,” Jurnal Hukum Bisnis, Vol 20, AgustusSeptember, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, hal. 47.

Universitas Sumatera Utara

42

Selain prinsip-prinsip ekonomi syariah sebagaimana disebutkan di atas, dalam
Hukum Islam mempunyai juga moral ekonomi, yang dikenal dengan “Golden Five”
yaitu

keadilan

(justice),

kebebasan

(freedom),

persamaan

(equality),

konsultasi/partisipasi (consultation/participation) dan pertanggungjawaban/tanggung
jawab (accountability /responsibi-lity).53 Golden Five ini dijadikan sebagai prinsipprinsip umum yang mendasari prinsip-prinsip ekonomi syariah.
Bank syariah adalah badan usaha yang menjalankan kegiatan usaha
berdasarkan pada prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam
lalu lintas pembayaran. Prinsip syariah menurut Pasal 1 butir (12), Undang-undang
No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang dimaksud dengan prinsip
syariah adalah prinsip hukum Islam da lam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa
yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di
bidang syariah. Dengan prinsip tersebut, perbankan

syariah dapat menjalankan

kegiatan usaha dengan berpedoman pada fatwa yang telah ditetapkan oleh DSN-MUI.
Kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dalam operasionalnya diwujudkan
dalam berbagai macam produk pembiayaan perbankan syariah. Menurut Pasal 1 butir
(25) Undang-undang Perbankan Syariah, yang dimaksud dengan pembiayaan adalah
penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, berupa transaksi bagi
hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah, sewa menyewa dalam bentuk
ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik, jual beli dalam bentuk

53

Muhammad Fadel, “Shari’a: Islamic Law in Contemporary Context” Edited by Abbas
Amanat and Frank Griffel, Journal of Law & Religion, Vol. XXIV, 2009, hal. 102.

Universitas Sumatera Utara

43

piutang murabahah, salam dan istisna, pinjam meminjam dalam bentuk piutang
qardh, dan sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa.
Berbagai macam produk pembiayaan perbankan syariah seperti diuraikan di
atas, murabahah merupakan salah satu bentuk pembiayaan yang paling dominan
diterapkan dalam praktik perbankan syariah. Dominasi tersebut hampir mencapai 8095% dari setiap pembiayaan dalam lembaga pembiayaan Islam yang menggunakan
transaksi pembiayaan murabahah.54
Perbankan syariah merupakan suatu sistem perbankan yang dikembangkan
berdasarkan hukum Islam. Dimana usaha ini didasari oleh larangan Islam untuk
memungut maupun meminjam dengan perhitungan bunga (riba) dan larangan
berinvestasi dalam usaha-usaha yang berkaitan dengan media dan barang yang tidak
Islami (haram).
Pradjoto yang menguraikan tentang pembiayaan syariah dengan menyatakan
bahwa:
Sumber pendapatan suatu perbankan syariah berasal dari distribusi
pembiayaan (debt financing) yang dilakukan oleh perbankan syariah yang
terdiri dari:
(l) Bagi hasil atas kontrak mudharabah dan kontrak musyarakah;
(2) Keuntungan atas kontrak jual beli (al bai ' murabahah);
(3) Hasil sewa atas kontrak ijarah dan ijarah wal iqtina,; dan
(4) Fee dan biaya administrasi atas jasa-jasa syariah lain.55

54
Haider Ala Hamoudi, “Muhammad's Social Justice or Muslim Cant?: Langdelleanism and
The Failures of Islamic Finance”, Cornell International Law Journal, 40 Cornell Int'l L.J. 89, Winter
2007, hal. 119.
55
Pradjoto and Associates, Pembiayaan dalam Perbankan Syariah, Makalah, Undip
Semarang, Desember 2007.

Universitas Sumatera Utara

44

Berdasarkan Pasal 1 angka (12) UU No. 10 Tahun l998 tentang perbankan,
dijelaskan bahwa pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang
atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk
mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan
imbalan atau bagi hasil.
Guna memperjelas mengenai produk pembiayaan pada bank syari’ah berikut
dijelaskan satu persatu masing-masing pembiayaan dimaksud.
a. Pembiayaan dengan prinsip jual beli (ba`i)
Prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan
kepemilikan barang atau benda. Tingkat keuntungan bank ditentukan di
depan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual beli
dapat dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan
barangnya, adalah:
1) Pembiayaan Murabahah, adalah transaksi jual beli di mana bank
menyebut jumlah keuntungannya. Bank bertindak sebagai penjual,
sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank
dari pemasok ditambah keuntungan (marjin). Kedua belah pihak harus
menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual
dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat
berubah selama berlakunya akad.56

56

Dahlan Siamat, Op.Cit., hal. 192.

Universitas Sumatera Utara

45

2) Pembiayaan Salam, adalah transaksi jual beli di mana barang yang
diperjualbelikan belum ada. Oleh karena itu barang diserahkan secara
tangguh sedangkan pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai
pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Dalam transaksi ini
kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penyerahan barang harus ditentukan
secara pasti. Dalam praktik perbankan, ketika barang telah diserahkan
kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah
atau kepada nasabah itu sendiri secara tunai atau secara cicilan. Harga
jual yang ditetapkan oleh bank adalah harga beli bank dari nasabah
ditambah keuntungan.57
3) Pembiayaan Istishna’. Produk istishna’ menyerupai produk salam, tapi
dalam istishna’ pembayarannya dapat dilakukan bank dalam beberapa
kali (termin) pembayaran. Skim Istishna` dalam Bank Syariah umumnya
diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi. Pelaksanaan
istishna’ dapat dilakukan melalui dua macam cara, yaitu pihak
produsen ditentukan oleh bank, atau pihak produsen ditentukan
oleh nasabah. Pelaksanaan salah satu dari kedua cara tersebut harus
ditentukan di muka dalam akad, berdasarkan kesepakatan ke dua belah
pihak.58
b. Pembiayaan dengan prinsip sewa (Ijarah).

57
58

Ibid., hal. 193
Ibid., hal. 194.

Universitas Sumatera Utara

46

Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Pada dasarnya prinsip
ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, tapi perbedaannya terletak pada
obyek transaksinya. Bila pada jual beli obyek transaksinya adalah barang,
pada ijarah obyek transaksinya adalah jasa. Pada akhir masa sewa, bank dapat
menjual barang yang disewakan kepada nasabah. Karena itu dalam perbankan
syariah dikenal ijarah muntahhiyah bittamlik (sewa yang diikuti dengan
berpindahnya kepemilikan). Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal
perjanjian.59
c. Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil (Syirkah). Produk pembiayaan syariah
yang didasarkan atas prinsip bagi hasil sebagai berikut:
1) Pembiayaan Musyarakah. Transaksi musyarakah dilandasi adanya
keinginan para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan nilai aset
yang mereka miliki secara bersama-sama. Semua bentuk usaha yang
melibatkan dua pihak atau lebih di mana mereka secara bersama-sama
memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun
tidak berwujud. Secara spesifik bentuk kontribusi dari pihak yang bekerja
sama dapat

berupa dana, barang perdagangan

(trading

asset),

kewiraswastaan (entrepeneurship), kepandaian (skill), kepemilikan
(property), peralatan (equipment), atau intangible asset (seperti hak paten
atau goodwill), kepercayaan atau reputasi (credit worthiness) dan barangbarang lainnya yang dapat dinilai dengan uang.60

59
60

Ibid., hal. 195.
Ibid., hal. 196.

Universitas Sumatera Utara

47

2) Pembiayaan Mudharabah, adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih
pihak di mana pemilik modal (shahib al-maal) mempercayakan sejumlah
modal kepada pengelola (mudarib) dengan suatu perjanjian pembagian
keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerja sama dalam paduan
kontribusi 100% modal kas dari shahib al-maal dan keahlian dari
mudarib. Transaksi jenis ini tidak mensyaratkan adanya wakil shahib almaal dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudarib
harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab untuk setiap kerugian
yang terjadi akibat kelalaian. Sedangkan sebagai wakil shahib al-maal,
diharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk
menciptakan laba optimal. Dalam Mudharabah, modal hanya berasal dari
satu pihak, sedangkan dalam musyarakah, modal berasal dari dua
pihak/lebih.61
d. Pembiayaan dengan akad pelengkap. Akad pelengkap ini tidak ditujukan
untuk mencari keuntungan, tetapi ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan
pembiayaan. Dalam akad pelengkap ini bank diperbolehkan untuk meminta
pengganti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini.
Besarnya pengganti biaya ini sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar
timbul. Akad pelengkap ini terdiri dari:
1) Rahn (gadai). Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jaminan
pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan.
61

Ibid., hal. 197.

Universitas Sumatera Utara

48

Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria: milik nasabah sendiri,
jelas ukuran, sifat dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar,
dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank.62
2) Hawalah (alih hutang-piutang). Tujuan fasilitas hawalah adalah untuk
membantu pemasok mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan
produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan
piutang. Untuk mengantisipasi risiko kerugian yang akan timbul, bank
perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berhutang dan
kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang
berhutang.63
3) Qard, adalah pinjaman uang. Aplikasi qard dalam perbankan biasanya
dalam empat hal, adalah:
a)

Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan
pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya
perjalanan haji. Nasabah akan melunasinya sebelum keberangkatan
haji.

b) Sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit
syariah, di mana nasabah diberi keleluasan untuk menarik uang tunai
milik bank melalui ATM. Nasabah akan mengembalikannya sesuai
waktu yang ditentukan.

62
63

Adiwarman A. Karim, Op.Cit., hal. 106.
Ibid., hal. 105.

Universitas Sumatera Utara

49

c)

Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, di mana menurut
perhitungan bank akan memberatkan pengusaha bila diberikan
pembiayaan dengan skema jual beli, ijarah, atau bagi hasil.

d) Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, di mana bank menyediakan
fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus
bank. Pengurus bank akan mengembalikan dana pinjaman itu secara
cicilan melalui pemotongan gajinya.64
4) Wakalah (perwakilan). Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila
nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya
melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C, inkaso dan
transfer uang. Bank dan nasabah yang dicantumkan dalam akad
pemberian kuasa harus cakap hukum. Khusus untuk pembukaan L/C,
apabila dana nasabah ternyata tidak cukup, maka penyelesaian L/C
(settlement L/C) dapat dilakukan dengan pembiayaan murabahah, salam,
ijarah, Mudharabah, atau musyarakah.65
5) Kafalah (garansi bank), dapat diberikan dengan tujuan untuk menjamin
pembayaran suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat mensyaratkan
nasabah untuk menempatkan sejumlah dana untuk fasilitas ini sebagai
rahn. Bank dapat pula menerima dana tersebut dengan prinsip wadiah.
Untuk ini, bank mendapatkan pengganti biaya atas jasa yang diberikan.66

64

Ibid., hal. 106
Dahlan Siamat, Op.Cit., hal. 192.
66
Adiwarman A. Karim, Op.Cit., hal. 107.
65

Universitas Sumatera Utara

50

Selain berbagai produk di atas, bank syariah menjalankan fungsinya sebagai
penghubung antara pihak yang membutuhkan dana dengan pihak yang kelebihan
dana berupa pelayanan nasabah. Jasa perbankan itu antara lain:
a. Sharf
Sharf adalah transaksi pertukaran antara uang dengan uang. Pengertian
pertukaran uang yang dimaksud disini adalah pertukaran valuta asing,
dimana mata uang asing dipertukarkan dengan mata uang domestik atau mata
uang lainnya.67
b. Ijarah
Jenis kegiatan ijarah antara lain penyewaan kotak simpanan (safe deposit
box) dan jasa tata letak laksana administrasi dokumen (custodian). Bank
mendapat imbalan sewa dari jasa tersebut.68
Uraian di atas jelaslah bahwa bank syariah merupakan penghubung antara
pemilik dana dengan pihak yang membutuhkan dana. Hubungan tersebut dilakukan
melalui jsa bidang perbankan berupa pelayanan nasabah.
C. Akad Pembiayaan dan Prinsip Kehati-hatian Pada Bank Syariah
Akad pembiayaan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya adalah suatu
bentuk perjanjian penyediaan dana yang didasarkan pada ekonomi Islam (prinsip
syariah), yang salah satu prinsipnya melarang/mengharamkan adanya riba (bunga)
apa pun bentuknya. Menurut Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
67
68

Gemala Dewi, Op.Cit., hal.96.
Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah, Ekonisia, Yogyakarta, 2005, hal.101.

Universitas Sumatera Utara

51

Syariah, pembiayaan adalah suatu bentuk perjanjian penyediaan dana atau tagihan
yang dipersamakan dengan itu berupa :
1. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
2. Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk
ijarah muntahiya bittamlik;
3. Transaksi dalam bentuk piutang murabahah, salam dan istishna;
4. Transaksi pinjam-meminjam dalam bentuk piutang qard;
5. Transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa
berdasarkan persetujuan antara Bank Syariah dan/atau unjit usaha syari’ah dan
pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana
untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan
imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.
Dalam bank syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan
ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasar hukum Islam. Seringkali nasabah
melanggar kesepakatan/perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya
berdasarkan pada hukum positif saja, tapi tidak demikian bila perjanjian tersebut
memiliki pertanggungjawaban hingga yaumil qiyamah nanti.69
Setiap akad dalam perbankan syariah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi,
maupun ketentuan lainnya, dalam pelaksanaannya harus memenuhi ketentuan akad,
seperti hal-hal berikut.70
1.

Rukun, seperti berikut ini :
69

Muhammad Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Gema
Insani bekerja Press, Jakarta, 2001, hlm. 29-30
70
Ibid., hlm 29 - 30

Universitas Sumatera Utara

52

a.

Penjual,

b.

Pembeli,

c.

Barang,

d.

Harga,

e.

Akad/ijab-qabul.

2. Syarat, seperti syarat berikut :
a.

Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang
haram menjadi batal demi hukum syariah.

b.

Harga barang dan jasa harus jelas.

c.

Tempat penyerahan (delivery) harus jelas karena akan berdampak pada
biaya transportasi.

d.

Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan.

e.

Tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti
yang terjadi pada transaksi short sale dalam pasar modal.

Apabila Produk-produk pembiayaan pada bank syariah dibedakan dari
tujuannya, jika ditujukan untuk menyalurkan investasi dan simpanan
masyarakat ke sektor riil dengan tujuan produktif dalam bentuk investasi
bersama (investment financing) yang dilakukan bersama mitra usaha
(kreditur) menggunakan pola bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) dan
dalam bentuk investasi sendiri (trade financing) kepada yang membutuhkan

Universitas Sumatera Utara

53

pembiayaan dengan pola jual beli (murabahah, salam, dan istishna) dan pola
sewa (ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik ).71
Jadi, dapat disimpulkan bahwa produk-produk pembiayaan bank syariah dapat
menggunakan empat pola akad yang berbeda, yaitu :
a. Pola bagi hasil, untuk investment financing : Musyarakah dan Mudharabah.
b. Pola jual beli, untuk trade financing : Murabahah, Salam, dan Istishna.
c. Pola sewa, untuk trade financing : Ijarah, dan Ijarah Muntahiya bittamlik.
d. Pola pinjaman, untuk dana talangan : Qard.72
Dari sekian banyak produk pembiayaan bank syariah, tiga produk pembiayaan
utama yang mendominasi portofolio pembiayaan bank syariah adalah pembiayaan
modal kerja, pembiayaan investasi, dan pembiayaan aneka barang dan properti.
Akad-akad yang digunakan dalam aplikasi pembiayaan itu sangat bervariasi dari pola
bagi hasil, pola jual beli, ataupun pola sewa.
Dalam penyaluran pembiayaan pihak bank syariah dilaksanakan melalui suatu
bentuk pengikatan akad pembiayaan setelah sebelumnya diawali dengan permohonan
nasabah, penelitian data yang diajukan termasuk rencana penggunaan dana dan
persetujuan pembiayaan. Setelah adanya persetujuan pembiayaan, maka terhadap
nasabah dilakukan penandatangan akad pembiayaan yang sesuai dengan permohonan
yang diajukan.

71
72

Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 123.
Ibid, hlm 123

Universitas Sumatera Utara

54

Dalam praktek isi atau materi suatu perjanjian adalah berbeda, tetapi dalam
menentukan isi perjanjian pembiayaan para pihak harus mengadakan kesepakatan
yang nantinya tertuang dalam perjanjian. Berikut ini dijelaskan mengenai isi
perjanjian, dalam hal ini diambil sampel perjanjian pembiayaan Murabahah dalam hal
penyediaan seluruh modal untuk membiayai jual beli

perumahan yang di buat

dihadapan Notaris. Namun pada dasarnya isinya sama dengan jenis pembiayaan yang
lain. Hal-hal yang tertera dalam klausul-klausul akad pembiayaan tersebut diatas
adalah sebagai berikut :
1. Klausul mengenai pengertian.
Klausul ini berisikan mengenai definisi dari istilah-istilah yang akan
digunakan dalam perjanjian ini.
2. Klausul mengenai jumlah pembiayaan dan penggunaannya
Klausul ini menerangkan secara jelas mengenai jumlah fasilitas pembiayaan
dan penggunaan dana tersebut oleh pihak kedua.
3. Klausul mengenai penarikan pembiayaan Penarikan pembiayaan dapat
dilakukan apabila semua persyaratan yang diajukan oleh pihak bank telah
dipenuhi oleh pihak kedua.
4. Klausul mengenai jangka waktu. Klausul ini menerangkan bahwa fasilitas
pembiayaan tersebut haruslah dilunasi dalam jangka waktu yang telah
dituangkan dalam akad, apabila mundur dari tanggal jatuh tempo maka akan
dikenakan denda.

Universitas Sumatera Utara

55

5. Klausul mengenai pembayaran angsuran dan denda Tata cara pembayaran
yaitu menurut angsuran tetap, yaitu jumlah angsuran pokok pembiayaan dan
nisbah/bagi hasilnya dibayar dalam beberapa kali tiap bulan berturut-turut
dengan jumlah tertentu. Batas pembayaran angsuran maksimal sampai akhir
bulan angsuran. Adapun sanksi dari keterlambatan pembayaran angsuran
dikenakan denda.
6. Klausul mengenai force majeure. Klausul ini mengenai pembebasan denda
untuk pihak kedua jika keterlambatan pembayaran angsuran itu disebabkan
oleh kejadian diluar kekuasaan dan kemampuan pihak kedua.
7.

Klausul mengenai pengakuan hutang.

Klausul ini berisikan tentang

pernyataan dari pihak kedua yang mengaku secara sah dan sebenar-benarnya
berhutang dan karenanya berkewajiban untuk melunasi hutang tersebut
8.

Klausul mengenai jaminan. Dalam jaminan harus dijelaskan secara terperinci,
mengenai jenis jaminan, dan pengikatan jaminannya.

9.

Klausul mengenai asuransi. Di dalam klausul ini pihak bank mengasuransikan
barang dan jaminan lainnya dan jiwa pihak kedua agar tidak terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan.

10. Klausul mengenai syarat-syarat yang harus diperhatikan pihak kedua Klausul
ini berisikan tentang :
a.

Pernyataan menjamin dari pihak kedua bahwa dalam melakukan
perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan dan peraturan

Universitas Sumatera Utara

56

yang berlaku di Indonesia serta tidak ada sengketa yang sedang terjadi,
yang dapat berpengaruh merugikan akad pembiayaan;
b.

Hal-hal yang harus dilakukan pihak kedua terkait dengan pembiayaannya;

c.

Hal-hal yang tidak boleh dilakukan pihak kedua terkait dengan
pembiayaannya.

11. Klausul mengenai kewajiban tambahan debitur. Kewajiban debitur untuk
menandatangani akad pembiayaan dan/atau menyerahkan dokumen-dokumen
lainnya yang terkait dengan pembiayaan ini.
12. Klausul pernyataan mengenai Tata cara eksekusi seluruh jaminan apabila
pembiayaan tidak dilunasi pada waktu yang telah ditentukan.
13. Klausul mengenai biaya tambahan
Biaya tersebut meliputi : bea materai, biaya percetakan, biaya notaris, biaya
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan biaya lainnya.
14. Klausul mengenai penyelesaian perselisihan
Klausula ini menerangkan cara penyelesaian sengketa, bila suatu hari nanti
pemberian pembiayaan ini bermasalah.
15. Klausul mengenai domisili
Klausula ini menerangkan tempat kedudukan hukum yang tetap. Penentuan
domisili sebagai bentuk kepastian hukum apabila di kemudian hari pemberian
pembiayaan bermasalah.
16. Klausul mengenai pemberitahuan

Universitas Sumatera Utara

57

Klausul ini menerangkan bahwa semua pemberitahuan mengenai akad ini
dianggap disampaikan secara baik dan sah, bila dikirim dengan surat tercatat.
17. Klausul mengenai ketentuan tambahan
a.

Mengatur hak-hak terhadap kuasa debitur;

b.

Segala sesuatu yang belum diatur dalam perjanjian tunduk pada hukum
positif yang berlaku di Indonesia;

c.

Ketentuan

pemberlakuan

akad

perjanjian

sejak

penandatanganan

perjanjian pembiayaan.
Selanjutnya dalam penyelenggaraan operasional perbankan khususnya dalam
penyaluran pembiayaan, bank syariah juga terikat untuk melaksanakan prinsip kehatihatian (prudent banking). Prinsip Kehati-hatian (prudent banking) adalah prinsip
yang dianut pihak bank dalam memberikan pembiayaannya dengan cara lebih hatihati dalam menentukan nasabahnya yang layak diberi pinjaman. Sedangkan menurut
Munir Fuady Prinsip Kehati-hatian adalah suatu konkretisasi dari prinsip kepercayaan
dalam suatu pemberian kredit/pembiayaan disamping sebagai perwujudan dari prinsip
prudential banking dari seluruh kegiatan perbankan.73
Guna mewujudkan prinsip kehati-hatian ini, maka pihak bank harus
melakukan penilaian yang seksama dan hati-hati terhadap calon debitur untuk
memperoleh keyakinan atas kemampuan dan kesanggupannya dalam melaksanakan
prestasinya sesuai dengan yang diperjanjikan. Penilaian ini meliputi watak,
kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari calon debitur.
73

Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung,1996,

hlm. 20.

Universitas Sumatera Utara

58

Mengapa Prinsip Kehati-hatian ini sangat penting dan perlu mendapat
perhatian khusus, hal ini dapat dijelaskan dengan terlebih dahulu menjelaskan
mengenai definisi dari Bank itu sendiri. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, yaitu : “Bank adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat.”
Bank

sebagai

kreditur

yang

memberikan

kredit/pembiayaan

kepada

masyarakat harus bertindak dengan prinsip kehati-hatian karena dana yang disalurkan
dalam bentuk kredit/pembiayaan tersebut pada dasarnya adalah dana yang berasal
dari dana masyarakat yang dihimpun bank dalam bentuk simpanan, sehingga dana
yang

disalurkan

dalam

bentuk

kredit/pembiayaan

tersebut

harus

dapat

dipertanggungjawabkan kepada nasabah penyimpan.
Bentuk pertanggungjawaban tersebut adalah bank harus berhati-hati dalam
memberikan kredit/pembiayaan selain itu bank juga harus melakukan pengelolaan,
pembinaan, dan pengawasan secara teliti dan hati-hati, sehingga dana dalam bentuk
kredit/pembiayaan tersebut dapat dilunasi dan pada akhirnya dana tersebut dapat
kembali kepada nasabah penyimpan. Monitoring dan pengawasan kredit diperlukan
sebagai upaya peringatan dini (early warning) yang mampu mengantisipasi tandatanda penyimpangan dari syarat-syarat yang telah disepakati antara debitur dengan

Universitas Sumatera Utara

59

bank yang mengakibatkan menurunnya kualitas kredit serta untuk menentukan
tingkat kualitas/kolektibilitas kredit yang bersangkutan.74
Jadi tahap pertama pengawasan pembiayaan ini merupakan upaya dalam
penjagaan dan pengamanan harta bank dalam bentuk pembiayaan, pengertian
penjagaan (Safe guards) disini tentu lebih bersifat preventif. Sedangkan pengertian
dari pengamanan disini bersifat represif, untuk menghindari kemungkinankemungkinan kerugian yang potensial akan timbul. Atau usaha represif ini kalau
mampu untuk mencegah kerugian tersebut sama sekali, minimal harus mampu
meminimalisir kerugian yang akan timbul.
Pengawasan bank dapat bersifat aktif dan dapat bersifat pasif. Pengawasan
aktif, dilakukan dengan pengawasan on the spot, yaitu di tempat usaha para debitur
(nasabah), sehingga secara langsung akan dapat diketahui segala masalah yang
timbul. Sedangkan pengawasan pasif, dilakukan melalui penelitian laporan-laporan
tertulis yang dilakukan debitur (nasabah), seperti laporan keuangan (dari neraca
laba/rugi), laporan aktivitas (perkembangan usaha) dan sebagainya.
Secara yuridis formil prinsip kehati-hatian telah dicantumkan dalam UndangUndang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dapat kita temukan halhal yang merupakan penjabaran dari prinsip-prinsip kehati-hatian. Pasal-pasal
tersebut meliputi pasal 2, 23, 37, 5 sampai 17, dan 50 sampai 54 UU No. 21 Tahun
2008.

74

Firdaus, Rachmat & Aryanti, Maya. Manajemen Perkreditan Bank Umum, Alfabeta,
Bandung, 2004, hlm. 52.

Universitas Sumatera Utara

60

Pertama, pasal 2 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 yang berisi :
“Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah,
demokrasi ekonomi, dan prinsip-prinsip kehati-hatian.” Karena merupakan asas
perbankan syariah, maka prinsip-prinsip kehatihatian tersebut harus dilaksanakan
oleh seluruh perbankan syariah di Indonesia.
Kedua, pasal 23 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 yang menentukan
bahwa :
1) Bank Syariah dan/atau UUS harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan
kemampuan calon Nasabah Penerima Fasilitas untuk melunasi seluruh
kewajiban pada waktunya, sebelum Bank Syariah dan/atau UUS menyalurkan
dana kepada Nasabah Penerima Fasilitas.
2) Untuk memperoleh keyakinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
Syariah dan/atau UUS wajib melakukan penilaian yang seksama terhadap
watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari calon Nasabah
Penerima Fasilitas.”
Dari isi pasal 23 (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syari’ah menyatakan bahwa dalam pemberian pembiayaan, maka jaminannya adalah
keyakinan atas kemauan dan kemampuan debitur untuk melunasi seluruh
kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan. Kemauan dalam pasal ini berkaitan
dengan iktikad baik dari Nasabah Penerima Fasilitas untuk membayar kembali
penggunaan dana yang disalurkan oleh Bank Syariah/UUS, sedangkan kemampuan
berkaitan dengan keadaan dan/atau aset calon Nasabah Penerima Fasilitas sehingga
mampu untuk membayar kembali penggunaan dan yang disalurkan oleh Bank
Syariah/UUS.

Universitas Sumatera Utara

61

Selain itu dalam pasal 23 (2) Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syari’ah menjelaskan, bahwa bank syariah dalam memberikan
pembiayaan harus melakukan penilaian yang seksama terlebih dahulu terhadap
watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Penerima
Fasilitas (Debitur). Hal ini lazim disebut 5 C (Character, Capital, Capacity, Conditon
of Economy, Collateral).
Untuk melakukan penilaian atas hal-hal tersebut, diperlukan keahlian atau
profesionalisme yang handal dari pejabat bank di bidang pembiayaan. Dengan
demikian, untuk memutuskan suatu pemberian pembiayaan, diperlukan analisis yang
seksama agar dicapai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan calon Nasabah
Penerima Fasilitas untuk melunasi semua kewajibannya sesuai dengan yang
diperjanjikan. Dengan demikian, dalam pemberian pembiayaan saat ini, bank syariah
harus menerapkan prinsip kehati-hatian.
Ketiga, Pasal 37 yang menjelaskan ketentuan mengenai batas maksimum
pemberian dana.
Keempat, Pasal 5 sampai 17. Pasal-pasal tersebut mengenai perizinan, bentuk
badan hukum, anggaran dasar, dan kepemilikan bank.
Kelima, Pasal 50 sampai 54 yang berisi tentang pembinaan dan pengawasan
Bank Syariah/Unit Usaha Syariah oleh Bank Indonesia, serta kewajiban Bank Syariah
dalam memelihara tingkat kesehatan bank dan wajib melakukan kegiatan usaha
sesuai dengan prinsip syariah dan prinsip manajemen Islami, serta aspek lainnya yang
berhubungan dengan usaha Bank Syariah/ Unit Usaha Syariah

Universitas Sumatera Utara

62

Selanjutnya mengenai jaminan juga merupakan perlindungan bagi para
kreditur, dan kreditur ini secara umum telah mendapatkan perlindungan
dalam Pasal 1131 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa “Segala kebendaan
si berutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun
yang akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan
perorangan”. Di dalam pembiayaan syariah tidak mengenal adanya jaminan akan
tetapi hal ini dapat disimpangi oleh Fatwa DSN MUI No: 07/DSN-MUI/IV/2000
tentang Mudharabah, yang menyatakan bahwa pada prinsipnya dalam pembiayaan
mudharabah

tidak

ada

jaminan,

namun

agar

mudharib

tidak

melakukan

penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan kepada mudharib atau pihak ketiga.
Jaminan ini dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran
terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad. Bentuk jaminan dalam
pembiayaan pada bank syariah di

biasanya berbentuk Hak Tanggungan untuk

pembiayaan melebihi Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), Surat Kuasa
Memegang Hak Tanggungan untuk pembiayaan di bawah Rp.50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan Jaminan Fidusia apabila berbentuk jaminan benda bergerak.
Pada pembiayaan bank syariah termasuk pada objek penelitian khususnya
dalam bentuk musyarakah pada dasarnya juga sama dengan bank syariah lainnya,
dalam hal ini juga disimpangi dengan adanya Fatwa DSN MUI No: 08/DSNMUI/IV/2000 tentang Musyarakah, yang memperbolehkan adanya jaminan untuk
menghindari terjadinya penyimpangan. Jaminan dalam pembiayaan biasanya berupa
Hak Tanggungan, Surat Kuasa Memegang Hak Tanggungan dan jaminan fidusia.

Universitas Sumatera Utara

63

Sebaliknya, dalam pembiayaan murabahah memang dianjurkan untuk menggunakan
jaminan agar nasabah serius dengan pesanannya, ini didasarkan pada adanya Fatwa
DSN MUI No: 04/DSNMUI/ IV/2000 tentang Murabahah. Penggunaan lembaga
jaminan dalam penyaluran pembiayaan ini juga berlaku dalam pembiayaan pada
Bank BPR Mustaqim yang menjadi objek penelitian ini yaitu dengan menggunakan
lembaga jaminan Fidusia, SKMHT dan Hak Tanggungan.
D. Faktor yang Melatar belakangi Pembuatan Addendum dalam Penyelesaian
Pembiayaan Bermasalah BPR Mustaqim Sukamakmur
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa sebagaimana wilayah lain
di Indonesia di Provinsi Aceh juga banyak tumbuh dan berkembang Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) termasuk dalam hal ini Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) Syari’ah Mustaqim Sukamakmur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Pembentukan Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat milik pemerintah daerah
diawali dengan pembentukan Lembaga Kredit Kecamatan (LKK) di 19 (sembilan
belas) kecamatan yang tersebar di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
berdasarkan

Keputusan

Gubernur

Kepala

Daerah

Istimewa

Aceh

Nomor

412.21/22/1984 tanggal 24 Januari 1984 tentang Pembentukan Lembaga Kredit
Kecamatan (LKK) Provinsi Daerah Istimewa Aceh.75
Pada perkembangan selanjutnya, bentuk LKK ini diubah menjadi Perusahaan
Daerah Bank Perkreditan Rakyat (PD BPR) dengan Peraturan Daerah Provinsi
Daerah Istimewa Aceh Nomor 7 Tahun 1995 tentang Perusahaan Daerah Bank
75

Annonimous, Sejarah Bank Perkreditan Rakyat BPR Mustaqim Suka Makmur,
http://www.bprmustaqim.co.id/ html, Diakses 15 Juni 2016 Pukul 20.30 Wib.

Universitas Sumatera Utara

64

Perkreditan Rakyat (PD BPR) di Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Pembentukan PD
BPR dari LKK ini telah mendapat persetujuan dari Bank Indonesia dengan Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor 32/64/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999.
Dalam perjalanannya selama hampir 9 (sembilan) tahun perusahaan tidak
menunjukkan usaha yang maksimal dan berujung pada dihentikannya operasional dan
ditambah lagi dengan kondisi konflik dan bencana tsunami Aceh pada Desember
2004, sehingga pemegang saham memutuskan melakukan merger pada tahun 2008.
Dengan memperhatikan kondisi bank yang sangat tidak sehat, pemegang saham
pengendali memandang perlu untuk melakukan penggabungan (merger) terhadap
BPR yang ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam guna perbaikan kondisi
kesehatan PD BPR secara struktural dan menyeluruh agar mampu berperan secara
optimal dalam menunjang perekonomian daerah.
Kemudian dengan Peraturan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Nomor
62 Tahun 2007 (setara Perubahan Anggaran Dasar) dan Persetujuan Prinsip DPRD
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor: 580/4.034 tanggal 15 November 2006
serta Akta Notaris Teuku Irwansyah, SH Nomor 113 tanggal 31 Oktober 2007, maka
dilakukan merger terhadap 12 (dua belas) BPR di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam yang meliputi : PD BPRM Sukamakmur, PD BPRM Lhoong, PD BPRM
Kaway XVI, PD BPRM Seunagan, PD BPRM Kuala Batee, PD BPRM Kluet Utara,
PD BPRM Tangan-tangan, PD BPRM Blangkejeren, PD BPRM Lawe Alas, PD
BPRM Meuraxa, PD BPRM Seulimum dan PD BPRM Kuala menjadi PD BPR
Mustaqim Sukamakmur. Penggabungan (merger) ini telah mendapat persetujuan dari

Universitas Sumatera Utara

65

Bank Indonesia dengan Keputusan Deputi Gubernur Bank Indonesia Nomor
10/4/KEP.DpG/2008 tanggal 15 April 2008.
Dalam pelaksanaan penyaluran kredit dan pembiayaan oleh Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) Mustaqim ini juga tidak terlepas dari adanya permasalahan dimana
dalam praktik juga ditemukan adanya nasabah yang tidak melaksanakan kewajiban
sesuai dengan kesepakatan dalam akad. Tidak terlaksananya kewajiban nasabah ini
tentunya berakibat pada permasalahan tunggakan pembiayaan yang disalurkan oleh
pihak bank. Terhadap adanya tunggakan pembiayaan tersebut pihak bank sebagai
pemberi pembiayaan akan melakukan upaya penyelesaian tunggakan tersebut.
Dalam hal melakukan penyelamatan atau penyelesaian tunggakan, BPR
Mustaqim Sukamakmur pada tahun 2016 melakukan addendum pada 10 debitur,
secara lebi jelas dapat dilihat table dibawah ini :
Tabel 1
No
1
2

Akad Pembiayaan Bermasalah di PT. Bank BPR Mustaqim Sukamakmur
Tahun 2016
Jenis Pembiayaan
Cara Penyelesaian
Jumlah
Mudharabah
Rescheduling
5 Debitur
Murabahah
Reconditioning
5 Debitur
Total
10 Debitur

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tata cara yang ditempuh oleh
pihak bank guna penyelesaian tunggakan adalah dengan menawarkan restrukturisasi
pembiayaan melalui pembuatan addendum berupa perubahan isi perjanjian dalam
akad pembiayaan. Adapun mekanisme pembuatan adendum akad pembiayaan dalam
proses penyelesaian tunggakan apabila ditelaah dari penjelasan tersebut di atas,

Universitas Sumatera Utara

66

dilakukan dalam berbagai bentuk. Menurut Samsul Bahri bentuk yang paling sering
dilakukan bank BPR Mustaqim adalah :
a. BPR Mustaqim mengundang nasabah untuk menempuh upaya penjadwalan
kembali (rescheduling) terhadap kewajiban nasabah dalam melaksanakan
pembayaran angsuran pembiayaan;
b. Bank BPR Mustaqim mengupayakan pemberian kesempatan atau persyaratan
baru kepada nasabah dengan melihat kondisi nasabah (reconditioning). Hal ini
dilakukan dengan merubah sebagian atau seluruh persyaratan dalam akad
pembiayaan;
c. Bank BPR Mustaqim mengupayakan penataan kembali (restructuring)
melalui upaya memberikan penambahan

fasilitas pembiayaan bank,

penggabungan akad, maupun perubahan jeni