Analisis Yuridis Terhadap Addendum Dalam Akad Perjanjian Pada Pembiayaan Bermasalah (Studi Pada Perusahaan Daerah Bpr Syari’ah Mustaqim Sukamakmur Aceh Besar)

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap sektor usaha baik usaha perorangan maupun badan hukum pasti terjadi
hubungan hukum, artinya suatu hubungan subjek hukum, yang akibat dari hubungan
itu diatur oleh hukum. Di bidang dunia usaha, termasuk di dunia perbankan hubungan
hukum itu kebanyakan terjadi karena perjanjian. Perjanjian sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 1313 Kitab Undnag-undang Hukum Perdata adalah suatu hubungan
hukum antara 2 (dua) pihak atau lebih, dimana para pihak dengan sengaja
mengikatkan diri atau saling mengikatkan diri, yang mana satu pihak mempunyai hak
(kreditor), sedangkan pihak lain mempunyai kewajiban.
Perkembangan dunia usaha selanjutnya masyarakat dalam menghadapi
masalah dana dan permodalan untuk suatu kegiatan usaha selalu berhubungan dengan
lembaga perbankan. Dalam hal ini pihak perbankan juga memerlukan nasabah dalam
memasarkan memasarkan produk perbankan baik dalam menghimpun dana maupun
menyalurkan dana kepada masyarakat yang membutuhkan melalui kredit. UndangUndang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan (UU Perbankan), terbuka kesempatan bagi perbankan
Indonesia untuk menyelenggarakan kegiatan operasionalnya penyaluran kredit dan
pembiayaan termasuk dalam hal ini yang dijalankan oleh Bank Perkreditan Rakyat.

Dilihat dari sisi penanaman, fungsi menyalurkan dana kepada masyarakat

1

Universitas Sumatera Utara

2

yang paling dominan dilakukan bank adalah melalui usaha perkreditan atau
pembiayaan. Walaupun disadari bahwa disamping menjanjikan keuntungan sebagai
sumber utama pendapatan bank, pemberian kredit dan pembiayaan juga mempunyai
sisi risiko yang tinggi bagi bank. Oleh sebab itu terdapat pokok-pokok kaidah yang
harus diperhatikan atau dilakukan bank sebelum mengucurkan kreditnya yaitu prinsip
kehati-hatian, seperti yang tertuang dalam Pasal 8 ayat (1) UU Perbankan yang
menyatakan “dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah,
bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas
itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya
atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”.
Berdasarkan Surat Keputusan Direksi BI No.27/162/ KTP/DIR tanggal 31
Maret 1995 kepada bank diwajibkan untuk :

Memiliki kebijakan perkreditan secara tertulis, yang sekurang-kurangnya
memuat atau mengatur prinsip kehati-hatian dalam perkreditan, organisasi dan
manajemen perkreditan, kebijakan persetujuan kredit, dokumentasi dan
administrasi kredit, pengawasan dan penyelesaian kredit bermasalah. Melalui
ketentuan tersebut diharapkan bank mempunyai panduan yang jelas sebagai
pedoman pelaksanaan perkreditannya, sehingga risiko yang mungkin timbul
sedini mungkin dapat dideteksi dan dikendalikan, sekaligus dapat
menghindari kemungkinan penyalahgunaan wewenang dalam pemberian
kredit.1
Berdasarkan ketentuan tersebut kredit yang disalurkan bank kepada pihak
penerima kredit (debitur) yang dibuat dalam suatu bentuk perjanjian, menimbulkan

1

Wahyudi Santoso, Restrukturisasi Kredit, Sebagai Bagian Integral Restrukturisasi
Perbankan, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 6, Nomor 14 1, April
2008, hal 18.

Universitas Sumatera Utara


3

hak dan kewajiban pada masing-masing pihak, bank sebagai pemberi atau penyalur
kredit berkewajiban untuk menyediakan uang, dan pihak debitur juga berkewajiban
untuk mengembalikan kreditnya sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati
bersama.
Praktik pembankan dewasa ini juga diwarnai dengan

pesatnya laju

perkembangan lembaga keuangan seperti halnya Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip
syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) juga merupakan salah satu jenis bank yang dikenal
melayani golongan pengusaha mikro, kecil dan menengah. BPR merupakan lembaga
perbankan resmi yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan yang berfungsi tidak
hanya sekedar menyalurkan kredit dalam bentuk kredit modal kerja, investasi maupun
konsumsi tetapi juga melakukan penghimpunan dana masyarakat dalam bentuk
deposito berjangka, tabungan dan bentuk lain yang dipersamakan dengan itu.
Berawal dari tahun 1998 itulah perekonomian Islam di Indonesia mencapai

kemajuan pesat dan penting (signifikan). Perbankan sebagai lembaga keuangan
terpenting, memiliki posisi strategis dalam perekonomian nasioanal. Dengan
demikian, upaya pengembangan perbankan syariah perlu dilakukan secara
berkesinambungan untuk meningkatkan kontribusinya terhadap pembangunan
ekonomi.2

2

Rahmani Timorita Yulianti, Sengketa Ekonomi Syari’ah (Antara Kompetensi Pengadilan
Agama dan Badan Arbitrase Syari’ah), Al-Mawarid Edisi XVII Tahun 2007 hlm. 47

Universitas Sumatera Utara

4

Demikian pula halnya dengan kehadiran Bank Perkreditan Rakyat, yang
berawal dari rasa keinginan untuk membantu dan mensejaterakan para petani,
pegawai, dan buruh untuk melepaskan diri dari jerat para pelepas uang (rentenir) yang
selalu memberikan kredit dengan bunga tinggi,maka dengan itu lembaga perkreditan
rakyat mulai didirikan. Sekilas ini dapat dipaparkan runtutan sejarah pendirian BPR

di Indonesia:3
1) Abad ke-19 : dibentuklah Lumbung Desa, Bank Desa, Bank Tani, serta Bank
Dagang Desa. Pasca kemerdekaan Indonesia: didirikan Bank Pasar, Bank
Karya Produksi Desa (BKPD)
2) Awal 1970an : Kemudian didirikan Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP)
oleh Pemerintah Daerah.
3) Tahun 1988 : Kemudian pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober
1988 yaitu (PAKTO 1988) melalui adanya Keputusan Presiden RI No.38 yang
telah menjadi momentum awal pendirian BPR-BPR baru. Kebijakan tersebut
telah memberikan kejelasan mengenai keberadaan dan kegiatan usaha “Bank
Perkreditan Rakyat” atau BPR
4) Tahun 1992 : Undang-Undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan, BPR telah
diberikan landasan hukum yang jelas sebagai salah satu jenis bank selain
Bank Umum yang ada di indonesia.

3

Adi Susanto, Sejarah Singkat Bank Perkreditan
wordpress.com. Diakses 17 Juli 2016 Pukul 13.30 WIB


Rakyat

(BPR), http://nofrianus.

Universitas Sumatera Utara

5

5) PP No.71/1992 Sebagai lembaga Keuangan bukan bank yang telah
memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan serta lembaga-lembaga
keuangan kecil seperti Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank
Pegawai, LPN, LPD, BKD, BKK, KURK, LPK, BKPD, dan lembagalembaga lainnya yang telah dipersamakan dengan itu dapat diberikan status
sebagai BPR dengan memenuhi persyaratan serta tata cara yang telah
ditetapkan untuk menjadi BPR dalam jangka waktu hingga dengan 31 Oktober
1997.
Landasan Hukum BPR ialah UU No.7/1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan membuat UU No.10/1998. Dalam UU tersebut secara tegas telah
disebutkan bahwa BPR adalah Bank yang melaksanakan segala kegiatan usaha secara
konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Kegiatan usaha BPR terutama

ditujukan untuk melayani usaha-usaha kecil serta masyarakat di daerah pedesaan
pada dasarnya. Bentuk hukum BPR dapat berupa Perseroan Terbatas maupun
Perusahaan Daerah, atau Koperasi.
Sebagaimana halnya dengan Bank Umum, masyarakat yang menyimpan dana
di BPR juga dijamin Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), selama penempatan yang
dilakukan tersebut memenuhi kriteria yang telah ditentukan LPS. Sebagai
perbandingan, dari bulan Oktober 2012 hingga Maret 2013, jika LPS menjamin
simpanan dalam rupiah pada Bank Umum dengan tingkat bunga 5,5% maka untuk
BPR, LPS menjamin hingga tingkat bunga 8%. Hal ini membuat deposito berjangka

Universitas Sumatera Utara

6

yang ditawarkan BPR memiliki tingkat bunga yang lebih menarik dibanding Bank
Umum.
Secara umum, dalam tata hukum perbankan Indonesia dikenal dua sistem
perbankan nasional yaitu Bank yang berdasarkan Prinsip Konvensional dan Bank
yang berdasarkan Prinsip Syariah. Salah satu kegiatan usaha Bank Umum yaitu
pemberian atau penyaluran kredit pada Bank Konvensional dan pembiayaan pada

Bank Syariah.
Pasal 1 angka 12 UU No. 10 Tahun 1998 menerangkan pengertian
pembiayaan sebagai berikut:
“Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang
dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka
waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil”.
Ketentuan di atas menjelaskan bahwa

pembiayaan adalah sama halnya

dengan kredit pada bank konvensional berupa uang atau tagihan yang nilainya diukur
dengan uang dan adanya kesepakatan antara bank dengan nasabah penerima
pembiayaan. Hal yang membedakan adalah kredit yang diberikan oleh Bank
konvensional dengan prinsip bunga sedangkan pembiayaan oleh disalurkan Bank
Syariah dengan prinsip bagi hasil dari keuntungan yang diperoleh nasabah. Kedua hal
ini juga dilankan oleh Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Dalam praktek perbankan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menjalankan
operasional sama dengan lembaga perbankan konvensional dan syariah. Namun

demikian dalam penulisan ini lebih menfokuskan pada penyaluran pembiayaan yang

Universitas Sumatera Utara

7

dilakukan oleh salah satu Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Syari’ah yang beroperasi di
Provinsi Aceh khususnya yaitu Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Syari’ah Mustaqim Sukamakmur.
Pembiayaan sebagaimana dijelaskan di atas merupakan penyediaan dana atau
tagihan yang disamakan dengan itu berupa :
Transaksi bagi hasil dalam bentuk Mudharabah dan musyarakah, transaksi
sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah
muntahiya bittamlik, transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah,
salam, dan istishna, transaksi pinjam-meminjam dalam bentuk piutang qardh,
dan transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi
multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah
dan/atau unit usaha syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihakyang
dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut
setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi

hasil.4
Pemberian pembiayaan tersebut tentu saja tidak terlepas dari adanya
kepercayaan pihak bank terhadap nasabahnya. Apabila bank merasa bahwa nasabah
cukup layak untuk mendapat pembiayaan dimaksud, maka antara bank dengan
peminjam membuat suatu akad pembiayaan masing-masing pihak, yaitu bank dan
nasabah peminjam harus menyetujui dan menandatangani akad yang mengandung
konsekuensi untuk dipatuhi oleh kedua belah pihak. Para pihak terkait dengan
ketentuan Pasal 1338 ayat (1), (2) dan (3) KUH Perdata yang menentukan bahwa :
(1) Setiap persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya
(2) Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain atas kesepakatan kedua
belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang
4

Pasal 1 Angka 25 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah

Universitas Sumatera Utara

8


(3) Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Seperti halnya perjanjian akad pada prinsipnya menganut asas kebebasan
berkontrak artinya setiap orang bebas mengadakan perjanjian serta bebas untuk
menentukan bentuk isi dari perjanjian dimaksud menurut yang dikehendaki dalam
batas-batas tidak bertentangan dengan undang-undang kesusilaan dan ketertiban
umum dan selalu setiap perjanjian itu diikuti dengan iktikad baik. Ketentuan Pasal
1338 KUHP tidak dapat berjalan sendiri akan tetapi selalu berdampingan dengan
Pasal 1320 KUHP mengenal syarat sahnya perjanjian.
Pelaksanaan penyaluran pembiayaan oleh Bank Perkreditan Rakyat (BPR) ini
juga tidak terlepas dari adanya permasalahan dimana ditemukannya nasabah yang
dalam pelaksanaan kewajiban pembayaran kembali angsuran sesuai dengan
kesepakatan dalam akad.

Tidak terlaksananya kewajiban nasabah ini tentunya

berakibat pada permasalahan tunggakan pembiayaan yang disalurkan oleh pihak
bank. Terhadap adanya tunggakan pembiayaan tersebut pihak bank sebagai pemberi
pembiayaan akan menglakukan upaya penyelesaian tunggakan tersebut. Adapun
tatacara yang ditempuh oleh pihak bank adalah dengan menawarkan restruktur
pembiayaan melalui pembuatan addendum berupa perubahan isi perjanjian atau akad
pembiayaan.
Addendum ada yang menyebutkan sebagai suatu bentuk perubahan kontrak
atau perjanjian. Kata “addendum” merupakan istilah hukum yang lazim disebut
dalam suatu pembuatan perubahan perjanjian. Dilihat dari arti katanya, addendum

Universitas Sumatera Utara

9

adalah lampiran, suplemen, tambahan.5
Pengertian adendum tersebut dapat dijelaskan bahwa

pada saat kontrak

berlangsung ternyata terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam kontrak
tersebut, dapat dilakukan musyawarah untuk suatu mufakat akan hal yang belum
diatur tersebut. Ketentuan atau hal-hal yang belum diatur tersebut harus dituangkan
dalam bentuk tertulis sama seperti kontrak yang telah dibuat atau disebut dengan
addendum atau amandemen. Biasanya klausula yang mengatur tentang addendum
dicantumkan pada bagian akhir dari suatu perjanjian pokok. Namun apabila hal
tersebut tidak dicantumkan dalam perjanjian, addendum tetap dapat dilakukan
sepanjang ada kesepakatan diantara para pihak, dengan tetap memperhatikan
ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata.
Pembuatan addendum dimaksud dapat dilakukan berbagai hal yang
menyangkut dengan akad pembiayaan seperti penambahan jangka waktu,
penambahan nilai pinjaman maupun pemberian keringanan dalam hal bunga atau bagi
hasil

dari tunggakan kredit yang berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia.

Adapun ketentuan tersebut adalah Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/34/DPbS
Tahun 2008 Perihal Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Umum Syariah Dan Unit
Usaha Syariah, dengan cara sebagai berikut:
a. Penjadwalan kembali (rescheduling)
b. Persyaratan kembali (reconditioning)
5

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2005,

hal.11

Universitas Sumatera Utara

10

c. Penataan kembali (restructuring), antara lain meliputi:
1. Penambahan dana
2. Konversi akad pembiayaan
3. Konversi pembiayaan menjadi Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu
Menengah
4. Konversi Pembiayaan menjadi Penyertaan Modal Sementara
Ketentuan tersebut jelaslah bahwa dalam hal terkait dengan kredit atau
pembiayaan bermasalah bank dapat melakukan upaya tersebut melalui pembuatan
addendum terhadap akad pembiayaan yang telah dibuat pada saat penyaluran kredit
atau pembiayaan. Pembuatan addendum melalui berbagai tindakan bank setelah
adanya mediasi atau negoisasi dengan nasabah ini juga dilakukan oleh Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) Mustaqim Sukamakmur dalam penyelesaian sengketa
akibat nasabah yang tidak melaksanakan kewajiban dalam pelunasan pembiayaan.
Sebagai salah satu upaya penyelesaian atau restrukturisasi terhadap pembiayaan yang
bermasalah sesuai dengan

petunjuk Surat Edaran Bank Indonesia Nomor

10/34/DPbS tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Umum Syariah Dan Unit
Usaha Syariah. Dalam praktik upaya melakukan addendum dengan melakukan
penambahan isi perjanjian ini dilakukan sebagai bentuk praktis dalam mengatasi
pembiayaan yang bermasalah.
Hal ini yang melatar belakangi penelitian dengan judul “ANALISIS
YURIDIS TERHADAP ADDENDUM DALAM AKAD PERJANJIAN PADA
PEMBIAYAAN BERMASALAH” (Studi pada Perusahaan Daerah BPR Syari’ah
Mustaqim Sukamakmur).

Universitas Sumatera Utara

11

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dikemukakan beberapa
permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut antara lain sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apakah yang melatarbelakangi pembuatan addendum dalam
penyelesaian

pembiayaan bermasalah pada BPR Syari’ah Mustaqim

Sukamakmur ?
2. Bagaimanakah mekanisme penambahan isi dalam akad pembiayan yang
dilakukan pada BPR Syari’ah Mustaqim Sukamakmur ?
3. Apakah akibat hukum addendum terhadap akad pembiayaan yang sudah di
addendum terkait dengan penyelesaian pembiayaan bermasalah pada BPR
Syari’ah Mustaqim Sukamakmur ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang diharapkan
dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan faktor yang melatarbelakangi pembuatan
addendum

pembiayaan

bermasalah

pada

BPR

Syariah

Mustaqim

Sukamakmur
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan mekanisme penambahan isi dalam akad
pembiayan yang dilakukan pada BPR Syariah Mustaqim Sukamakmur.
3. Untuk mengetahui dan menjelaskan akibat hukum terhadap akad pembiayaan
yang sudah di addendum terkait dengan penyelesaian pembiayaan bermasalah
pada BPR Syariah Mustaqim Sukamakmur.

Universitas Sumatera Utara

12

D. Manfaat Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara
teoritis maupun secara praktis, seperti yang dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:
1.

Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu

pengetahuan hukum pada umumnya, dan hukum perbankan yang dijalankan Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) pada khususnya, terutama mengenai masalah pembuatan
addendum melalui penambahan isi perjanjian atau akad pembiayaan dalam
penyelesaian tunggakan atau permasalahan dalam pembiayaan bermasalah.
2.

Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat,

khususnya kepada nasabah penerima pembiayaan yang mengalami permasalahan
khususnya nasabah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Mustaqim Sukamakmur, agar
lebih mengetahui tentang hak dan kewajibannya terhadap pembiayaan yang
diperolehnya dan upaya restruktirisasi yang dapat dilakukan apabila mengalami
permasalahan dalam pembiayaan yang diterimanya.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah penulis
lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di
Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, ditemukan

Universitas Sumatera Utara

13

beberapa beberapa penelitian yang menyangkut produk bank, penyelesaian sengketa
akibat kredit bermasalah pada bank syariah maupun bank perkreditan rakyat, yaitu :
1. Tesis berjudul “Dualisme Kewenangan Penyelesaian Sengketa Perbankan
Syari’ah Antara Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Negeri di Kota Banda
Aceh” Oleh Syahrizal Nim 107011005.
a) Bagaimanakah mekanisme penyelesaian sengketa dalam akad perjanjian
syari’ah oleh para pihak di Kota Banda Aceh ?
b) Mengapa akad pada bank syari’ah dan lembaga keuangan syari’ah lainnya
di Kota Banda Aceh menetapkan Klausul penyelesaian melalui
pengadilan negeri ?
c) Apakah faktor penyebab terjadinya dualism dalam penyelesaian sengketa
perbankan syari’ah dan akibat hukumnya ?
2. Tesis berjudul Pelaksanaan Akad Pembiayaan Murabahah Al-Wakalah Pada

Pembiayaan Warung Mikro Di PT. Bank Syari’ah Mandiri CabangMedan
Oleh Dessy Wulandari Wijaya 117011051.
a) Mengapa akad pembiayaan murabahah al-wakalah menjadi keharusan
dalam proses pemberian pembiayaan Warung Mikro di PT.Bank Syari’ah
Mandiri cabang Medan ?

Universitas Sumatera Utara

14

b) Bagaimana pelaksanaan akad pembiayaan murabahah al-wakalah pada
pembiayaan Warung Mikro di PT. Bank Syari’ah Mandiri cabang
Medan?
c) Apakah hambatan yang dihadapi dalam pelakasanaan akad pembiayaan
murabahah al-wakalah pada pembiayaan Warung Mikro di PT. Bank
Syari’ah Mandiri cabang Medan ?
Namun kedua tesis tersebut tidak membahas mengenai penambahan isi akad
pembiayaan termasuk melalui pembuatan addendum akad. Oleh karena itu, penelitian
ini

yang berjudul “ANALISIS YURIDIS TERHADAP ADDENDUM DALAM

AKAD PERJANJIAN PADA PEMBIAYAAN BERMASALAH” (Studi pada
Perusahaan Daerah BPR Syari’ah Mustaqim Sukamakmur Aceh Besar)” adalah asli
adanya. Artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan
kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul
penelitian ini.
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Kerangka teori yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu kerangka

yang menjadi dasar pemikiran penulis guna menerangkan atau menjelaskan
permasalahan penelitian. Kerangka teori ini kemudian dijadikan sebagai pisau
analisis objek penelitian dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang ada
sehingga hasil penelitian mengenai pembuatan addendum akad dengan penambahan
isi akad pembiayaan dalam rangka penyelesaian pembiayaan bermasalah yang

Universitas Sumatera Utara

15

menjadi objek penelitian atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan
perbandingan dan pegangan teoritis.
Perlunya pegangan teoritis ini mengingat teori merupakan alur penalaran atau
logika (flow of reasoning/logic), terdiri dari seperangkat konsep atau variabel,
defenisi dan proposisi yang disusun secara sistematis.6 Dalam melakukan suatu
penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis sebagaimana yang dikemukakan oleh
Ronny H. Soemitro, bahwa untuk memberikan landasan yang mantap pada umumnya
setiap penelitian harus selalu disertai dengan pemikiran teoritis.7
Adanya kerangka pemikiran ini merupakan hal yang esensial pada kegiatan
penelitian yang memberikan landasan argumentasi dan dukungan dasar teoritis
(konsepsional) dalam rangka pendekatan pemecahan masalah yang dihadapi atau
yang menjadi objek penelitian. Hans Kelsen mengemukakan :
Satu konsep yang berhubungan dengan konsep kewajiban hukum adalah
konsep tanggung jawab hukum. Bahwa seseorang bertanggung jawab secara
hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab
hukum berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal
perbuatan yang bertentangan. Biasanya yakni dalam hal sanksi ditujukan
kepada pelaku langsung, seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya
sendiri. Dalam kasus ini subjek dari tanggung jawab hukum dan subjek dari
kewajiban hukum tertentu.8
M. Solly Lubis juga mengatakan bahwa “Kerangka pemikiran atau

butir-

butir pendapat, mengenai suatu kasus ataupun permasalahan (problem) yang bagi

6
7

J.Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hal.194
Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1992,

hal. 37.
8

Hans Kelsen, Teori Hukum Murni dengan buku asli General Theory of Law and State, alih
bahasa Somardi, Rimdi Press, Jakarta, 1995, hal. 65.

Universitas Sumatera Utara

16

sipembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teori, yang mungkin ia setuju
ataupun tidak disetujuinya, ini merupakan masukan eksternal bagi peneliti”.9
Apabila dikaitkan dengan objek penelitian ini tentang penggunaan upaya
restrukturisasi dalam penyelesaian pembiayaan

bermasalah

yang diteliti dalam

penelitian tesis ini, yaitu mengenai restrukturisasi merupakan upaya perbaikan yang
dilakukan bank dalam kegiatan penyaluran pembiayaan

terhadap debitur yang

mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya, yang didalamnya terdapat
beberapa jenis alternatif yang dapat dipilih.
Salah satu teori yang menjadi dasar dalam suatu perjanjian adalah teori yang
terkait dengan tanggung jawab. Tanggung jawab merupakan suatu konsep yang
terkait dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggungjawab hukum
(liability). Seseorang yang bertanggungjawab secara hukum atas perbuatan tertentu
bahwa

dia

dapat

dikenakan

suatu

sanksi

dalam

kasus

perbuatannya

bertentangan/berlawanan hukum. Sanksi dikenakan deliquet, karena perbuatannya
sendiri yang membuat orang tersebut bertanggungjawab. Subyek responsibility dan
subyek kewajiban hukum adalah sama. Dalam teori tradisional, ada dua jenis
tanggung jawab: pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (based on fault) dan
pertanggungjawaban mutlak (absolut responsibility).10
Teori lainnya adalah teori keseimbangan antara debitur (nasabah) dan kreditur
(bank) dalam penyaluran pembiayaan maupun dalam pelaksanaan penyelesaian
9

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal 80.
Jimly Asshiddiqie, Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Jakarta, Konstitusi
Press, 2006. hal. 61
10

Universitas Sumatera Utara

17

terhadap tunggakan pembiayaan atau pembiayaan bermasalah. Dalam akad
pembiayaan maupun pelaksanaan restrukturisai antara debitur dengan bank, bank
mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut
pelunasan prestasi, sedangkan debitur atau nasabah memikul pula kewajiban untuk
melaksanakan perjanjian atau akad itu dengan itikad baik.
Teori keseimbangan ini dipelopori oleh Aristoteles yang dikutip Satjipto
Raharjo, dimana ia menyatakan bahwa hukum harus diluruskan penegakannya
sehingga memberi keseimbangan yang adil terhadap orang-orang yang mencari
keadilan. Dalam teori keseimbangan semua orang mempunyai kedudukan yang sama
dan diperlakukan sama pula (seimbang) di hadapan hukum.11
Teori keseimbangan tersebut di atas didukung pula dengan teori keadilan yang
mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara
adil bagi para pihak yang terkait dalam perjanjian. Oleh karenanya suatu konsep
keadilan yang baik haruslah bersifat kontraktual, konsekuensinya setiap konsep
keadilan yang tidak berbasis kontraktual harus dikesampingkan demi kepentingan
keadilan itu sendiri.
Tugas teori hukum adalah untuk menjelaskan hubungan antar norma-norma
dasar dan semua norma dibawahnya, akan tetapi tidak untuk mengatakan apakah
norma dasar sendiri baik atau buruk.12 Dalam persepsi Karl Raimund Popper, suatu
teori harus bersifat praktis dan berguna dalam pemecahan masalah kehidupan. Sejalan

11
12

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1985, hal. 87.
Iman jauhari, Teori Hukum, Pustaka Bangsa Press. Medan, 2008, hal. 10

Universitas Sumatera Utara

18

dengan sifat fungsionalnya itu, perkembangan suatu teori harus didasarkan pada uji
kritis yang ketat. Setiap teori memiliki sifat objektif, karena dapat diuji oleh siapapun.
Hukum dalam hal ini berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat dan
pengayom masyarakat, sehingga hukum perlu dibangun secara terencana agar hukum
sebagai sarana pembaharuan masyarakat dapat berjalan secara serasi, seimbang,
selaras dan pada gilirannya kehidupan hukum mencerminkan keadilan, kemanfaatan
sosial dan kepastian hukum.13
M. Solly Lubis menyatakan bahwa melalui pendekatan kultur, pembinaan
hukum dilihat bukan sekedar pergeseran waktu dari zaman kolonial ke zaman
kemerdekaan lalu perlunya perubahan hukum, tetapi adalah juga pergeseran nilai
yang ingin menjabarkan sistem nilai yang dianut ke dalam konstruksi hukum
nasional.14
Wiener yang dikutip Lili Rasjidi mendefinisikan hukum sebagai suatu sistem
pengawasan perilaku (ethical control) yang diterapkan terhadap sistem komunikasi.
Wujud hukum adalah norma dan norma itu merupakan produk dari suatu pusat
kekuasaan yang memiliki kewenangan untuk menciptakan dan menerapkan hukum. 15
Selama ini orang memandang hukum itu identik dengan peraturan perundangundangan, padahal peraturan perundang-undangan itu merupakan salah satu unsur
dari keseluruhan sistem hukum. Sistem adalah keseluruhan bangunan hukum yang

13

R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia, Suatu Penjelasan, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1993, hal. 1
14
M. Solly Lubis, Serba Serbi Politik dan Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1998, hal 49.
15
Lili Rasjidi, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 94.

Universitas Sumatera Utara

19

didukung oleh sejumlah asas. Asas-asas tersebut

bertingkat-tingkat mulai dari

grundnorm yaitu pancasila sebagai asas filosofis kemudian Undang-Undang Dasar
1945 sebagai asas konstitusional, dan akhirnya Undang-Undang sebagai asas
operasional.16
Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas tersebut jelaslah bahwa hukum
sebagai suatu sistem harus berjalan seimbang dari ke tujuh unsur tersebut dan tidak
bisa dijalankan secara parsial, karena jika dijalankan secara parsial maka sistem tidak
jalan dengan baik. Sistem dapat berjalan dengan baik jika ketujuh unsur itu berjalan
secara seimbang.
Selain itu, apabila dikaitkan dengan identifikasi masalah yang diteliti dalam
penelitian tesis ini, maka penelitian ini menggunakan landasan teori, yaitu teori
hukum Islam dan teori akad. Di dalam hukum Islam terkandung nilai-nilai fitriyah
yang abadi dan bertumpu pada prinsip-prinsip, tidak akan berubah dan tidak akan
diubah. Bidang ini meliputi segala tatanan yang qat’iyah dan merupakan jati diri
hukum Islam. Dalam kelompok ini termasuk segala ketentuan yang berasal dari nilainilai fundamental. Di antara nilai-nilai dalam dimensi ini adalah apa yang telah
dirumuskan dalam tujuan hukum Islam (maqashid al-syariah), yaitu mewujudkan
kemaslahatan bagi hidup manusia di dunia dan akhirat.17
Di samping nilai-nilai fundamental tersebut, terdapat pula nilai-nilai
instrumental. Makna nilai instrumental terkandung dalam proses pengamalan ajaran
16

Bismar Nasution, dkk, Perilaku Hukum Dan Moral Di Indonesia, USU Perss, Medan, 2004,

hal 29.
17

Yuslam Fauzi, Memaknai Kerja,Mizan Pustaka, Bandung, 2012, hal. 141

Universitas Sumatera Utara

20

Islam di bidang hukum yang pada hakikatnya merupakan transformasi nilai-nilai
hukum Islam in abstracto menuju nilai-nilai in concreto (Nilai-nilai kebahagiaan
dalam hukum Islam yang bersifat abstrak yang harus direalisasikan dengan bentuk
nyata).18 Proses transformasi ini sering disebut sebagai operasionalisasi atau
aktualisasi hukum Islam dalam kehidupan masyarakat. Pada tingkatan ini dibahas dan
dibicarakan dinamika hukum Islam. Dalam hukum Islam terkandung nilai-nilai yang
konstan dan sekaligus nilai-nilai dinamika sesuai dengan perkembangan dan
kebutuhan. Dalam dimensi ini, hukum Islam bersifat adaptif, artinya dapat menerima
nilai-nilai baru dan nilai-nilai dari luar yang berkembang sesuai dengan tuntutan
kebutuhan dan perubahan zaman.
Para ulama bersepakat bahwa sumber hukum Islam adalah wahyu (Alquran
dan Sunnah) yang disebut dalil naqli dan ra’yu (rasio, akal, daya pikir, nalar) disebut
dalil aqli. Dalam perkembangan hukum Islam, ternyata ra’yu memainkan peran yang
tidak dapat diabaikan. Akal merupakan sumber dan sekaligus alat untuk memahami
wahyu. Sebagai sumber hukum, akal dapat digunakan untuk mengalirkan hukum dari
masalah-masalah yang tidak dinyatakan oleh wahyu atau yang tidak secara tegas
dinyatakan oleh wahyu. Dalam kaitan dengan dimensi instrumental, peran akal di sini
sangat strategis.
Dilihat dari teori akad, di mana menurut Kamus Hukum arti kata akad adalah
perjanjian.19 Ditinjau dari Hukum Islam, perjanjian yang sering disebut dengan akad

18

Ali Ahmad al-Nadawi, al-Qawaid al-Fiqhiyyah:Mafhumuha,Nasyatuha, Tathawwuruha,
Dirasat Mualifatiha, Adillatuha, Muhimmatuha, Tathbiqatuha, Dar al-Qalam, Damaskus 1994,
hlm.158, dalam Tatang Sutardi, Hukum Uang Muka Dan Jaminan Dalam Pembiayaan Murabahah
19
J.C.T Simorangkir et.al., Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta, 1997, hal.6.

Universitas Sumatera Utara

21

merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih
berdasarkan persetujuan masing-masing. Dengan kata lain akad adalah perikatan
antara ijab dan kabul secara yang dibenarkan syara’, yang menetapkan persetujuan
kedua belah pihak.20
Dalam Al Quran sendiri setidaknya ada 2 (dua) istilah yang berkaitan dengan
perjanjian, yaitu kata akad (al aqdu) dan kata ahd (al- ahdu) Al Quran memakai kata
pertama dalam perikatan atau perjanjian.21 Sedangkan kata yang kedua dalam berarti
masa, pesan penyempurnaan dan janji atau perjanjian. Oleh karenanya kata akad
disamakan dengan perikatan atau verbintenis sedangkan kata al’ahdu dengan istilah
perjanjian atau overenkomst yang diartikan sebagai suatu pernyataan dari seseorang
untuk mengerjakan atau mengerjakan sesuatu.22
Akad atau kontrak berasal dari bahasa Arab yang berarti ikatan atau simpulan
baik ikatan yang nampak (hissyy) maupun tidak nampak (ma’nawy). Kamus alMawrid, menterjemahkan al-‘Aqd sebagai contract and agreement atau kontrak dan
perjanjian.23 M. Hasballah Thaib mengatakan secara terminologi fiqih akad
didefinisikan dengan pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul
(pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak yang berpengaruh pada

20

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqi, Pengantar Fiqih Muamalat, Cetakan Pertama
Edisi Kedua, Pustaka Rizki Putra, Semarang: 1997, hal. 28.
21
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bhakti, Bandung ,
2001, hal 247.
22
Abdul Ghofur Anshori, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, Citra Media,
Jogjakarta, 2006, hal. 19
23
Rahmani Timorita Yulianti, Asas-Asas Perjanjian (Akad) dalam Hukum Kontrak Syari’ah,
Jurnal Ekonomi Islam, Vol. 1. Juli 2009. Fayruz Abadyy Majd al-Din Muhammad Ibn Ya’qub. alQamus al-Muhit, jilid 1. Beirut : D Jayl, hal. 327.

Universitas Sumatera Utara

22

objek perikatan.24 Sedangkan akad atau kontrak menurut istilah adalah suatu
kesepakatan atau komitmen bersama baik lisan, isyarat, maupun tulisan antara dua
pihak atau lebih yang memiliki implikasi hukum yang mengikat untuk
melaksanakannya. Subhi Mahmasaniy mengartikan kontrak sebagai ikatan atau
hubungan di antara ijab dan qabul yang memiliki akibat hukum terhadap hal-hal yang
dikontrakkan.25
Dalam hukum Islam istilah kontrak tidak dibedakan dengan perjanjian,
keduanya identik dan disebut akad. Sehingga dalam hal ini akad didefinisikan sebagai
pertemuan ijab yang dinyatakan oleh salah satu pihak dengan kabul dari pihak lain
secara sah menurut syara’ yang tampak akibat hukumnya pada obyeknya. 26 Dari
beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kontrak merupakan
kesepakatan bersama baik lisan, isyarat, maupun tulisan antara dua pihak atau lebih
melalui ijab dan qabul yang memiliki ikatan hukum bagi semua pihak yang terlibat
untuk melaksanakan apa yang menjadi kesepakatan tersebut.
Sehubungan dengan pengertian Hukum Kontrak dalam literatur Ilmu Hukum,
terdapat berbagai istilah yang sering dipakai sebagai rujukan di samping istilah
”Hukum Perikatan” untuk menggambarkan ketentuan hukum

yang mengatur

transaksi dalam masyarakat. Ada yang menggunakan istilah ”Hukum Perutangan”,

24

M. Hasballah Thaib, Hukum Aqad (Kontrak) dalam Fiqih Islam dan Praktek di Bank Sistem
Syari’ah, PPS, USU, Medan, 2005, hal. 1.
25
Ibid.
26
Syamsul Anwar, Kontrak dalam Islam, makalah disampaikan pada Pelatihan Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syari’ah Di Pengadilan Agama. Kerjasama Mahkamah Agung RI Dan Program
Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2006, hal.7.

Universitas Sumatera Utara

23

”Hukum Perjanjian” ataupun ”Hukum Kontrak”. Masing-masing istilah tersebut
mempunyai artikulasi yang berbeda satu dengan lainnya.27
Di dalam Perma Tahun 2008 No. 2 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah, pengaturan tentang akad (kontrak) tercantum di dalam BUKU II. Dalam
Kompilasi ini, yang dimaksud dengan akad adalah

kesepakatan dalam suatu

perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan
perbuatan hukum tertentu (Bab I Ketentuan Umum Pasal 20 angka 1 PERMA RI).
Lebih lanjut mengenai pengaturan PERMA RI tersebut yang berkaitan dengan akad
terdapat di dalam Bab II yaitu mengenai Asas Akad dan yang terdapat di dalam Bab
III yaitu mengenai Rukun, Syarat, Kategori, ‘Aib, Akibat, dan Penafsiran Akad.
M. Hasballah Thaib mengatakan bahwa dalam pelaksanaannya aqad harus
dilaksanakan sesuai dengan kehendak yang artinya bahwa seluruh perikatan yang
dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan
hukum syara’ dan akibat dari akad tersebut terjadi perpindahan kepemilikan dari
suatu pihak (yang yang melakukan ijab) kepada pihak lain (yang menyatakan
qabul).28
Penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa dalam melaksanakan akad tersebut
tidak terlepas dari adanya rukun aqad yang terdiri atas (1) Pernyataan untuk
mengikatkan diri (sighat al ‘aqad), (2) Pihak-pihak yang beraqad (al-muta’aqidain)

27

Gemala Dewi dkk Hukum Perikatan Islam di Indonesia, cetakan ke-2. Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2006, hal. 1.
28
M. Hasballah Thaib, Op.Cit., hal.1.

Universitas Sumatera Utara

24

dan (3) Objek aqad (al-ma’qud ‘alaihi).29 Sighat al ‘aqad merupakan rukun akad
yang terpenting dan paling esensial, karena melalui pernyataan inilah diketahui suatu
maksud setiap pihak melakukan akad yang diwujudkan melalui ijab Kabul.
2.

Konsepsi
Pelaksanaan penelitian ini juga diperlukan adanya konsepsi merupakan

definisi operasional dari intisari objek penelitian yang akan dilaksanakan. Pentingnya
definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian dan
penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk
memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Dalam penelitian ini, dirumuskan
serangkaian kerangka konsepsi atau definisi operasional sebagai berikut :
1. Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan
itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau
tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
2. Pembiayaan bermasalah adalah suatu penyaluran dana yang dilakukan oleh
lembaga pembiayaan seperti bank syariah yang dalam pelaksanaan
pembayaran pembiayaan oleh nasabah itu terjdi hal-hal seperti pembiayaan
yang tidak lancer, pembiayaan yang debiturnya tidak memenuhi persyaratan
yang dijanjikan, serta pembiayaan tersebut tidak menepati jadwal angsuran.
Sehingga hal-hal tersebut memberikan dampak negative bagi kedua belah
pihak (debitur dan kreditur).
29

Ibid. hal 2

Universitas Sumatera Utara

25

3. Akad adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul
(pernyataan perimaan ikatan) sesuai dengan kehendak yang berpengaruh
pada objek perikatan termasuk dalam hal ini akad dalam penyaluran
pembiayaan.
4. Akad pembiayaan adalah suatu bentuk pertalian ijab (pernyataan melakukan
ikatan) dan qabul (pernyataan perimaan ikatan) sesuai dengan kehendak
membuat suatu kesepakatan dalam pembiayaan termasuk pada bank
syari’ah.
5. Tunggakan pembiayaan atau pembiayaan bermasalah adalah pembiayan yang
dalam

menjalankan

kewajiban

pengembalian

angsurannya

penerima

mengalami hambatan untuk memenuhi kewajiban tersebut.
6. Penyelesaian tunggakan pembiayaan adalah upaya yang dilakukan untuk
menyelesaikan tunggakan dalam penyaluran pembiayaan yang diikan dengan
akad pembiayaan.
7. Restrukturisasi adalah upaya penyehatan pembiayaan/piutang bermasalah
dan/atau yang berpotensi bermasalah melalui penjadwalan ulang, perubahan
kondisi atau perubahan struktur pembiayaan sehingga debitur dapat
melaksanakan kewajibannya.
8. Adendum adalah istilah hukum dalam suatu pembuatan perubahan perjanjian
berupa lampiran, suplemen, tambahan klausula tambahan atau pasal yang
secara fisik terpisah dari perjanjian pokoknya namun secara hukum melekat
pada perjanjian pokok

Universitas Sumatera Utara

26

9. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Syari’ah Mustaqim Sukamakmur adalah
Perusahaan Daerah Milik Pemerintah Aceh yang bergerak dan menjalankan
usaha perbankan dengan prinsip konvensional maupun syariah.
F. Metode Penelitian
1.

Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, karena menggambarkan gejala-

gejala, fakta, aspek-aspek serta upaya hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan
addendum penambahan isi akad pembiayaan pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Syari’ah

Mustaqim

pembentukan

hukum

Sukamakmur.

Penelitian

ini

untuk dalam menyelesaikan

menggunakan
permasalahan

pendekatan
tunggakan

pembiayaan pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Syari’ah Mustaqim Sukamakmur.
Adapun yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah pelaksanaan
penambahan isi akad pembiayaan dalam upaya penyelesaian tunggakan pembiayaan
pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Syari’ah Mustaqim Sukamakmur. Penelitian ini
bersifat yuridis empiris dengan melakukan inventarisasi hukum positif yang mengatur
dan berkaitan dengan restrukturisasi dalam penyelesaian tunggakan pembiayaan. Hal
ini dilakukan karena melalui penelitian ini diharapkan akan diperoleh gambaran yang
menyeluruh dan sistematis mengenai pelaksanaan retruktuisasi pada Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) Syari’ah Mustaqim Sukamakmur. Namun demikian, juga
tidak terlepas dari pendekatan yuridis empiris dengan mengambil objek penelitian
pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Mustaqim Sukamakmur Kantor Pusat

Universitas Sumatera Utara

27

Operasional (KPO) Lampeneurut Aceh Besar yang eksis menyelenggarakan
pembiayaan dengan prinsip konvensional maupun syariah.
Kemudian untuk memperoleh data yang diharapkan dalam penelitian maka
penelitian ini juga akan mengikuti pendekatan-pendekatan yang berlaku di dalam
penelitian ilmu hukum khususnya yang terkait dengan penelitian hukum normatif.
2.

Responden dan Informan

a.

Respoden
Respoden berasal dari kata respon (penanggap) yaitu orang yang menanggapi.

Dalam penelitian respoden adalah orang yang diminta memberika keterangan tentang
suatu fakta/pendapat. Keterangan tersebut dapat disampaikan dalam bentuk tulisan,
yaitu mengisi angket atau dalam bentuk lisan ketika menjawab wawancara.
Dalam penelitian ini respoden adalah :
1) Kepala Kantor Pusat Operasional BPR Mustaqim Sukamakmur
2) Marketing Manager dan Staf Pembiayaan 2 Orang
3) Staf Bidang Operasional Legal Officer 2 orang
4) Anggota Divisi Penyelesaian Sengketa BPR Mustaqim Sukamakmur

2

orang
b. Informan
Orang yang memberikan informasi dengan pengertian ini maka informan
dapat dikatakan sama dengan respoden apabila pemberian keterangannya karena
dipancing oleh pihak peneliti.

Universitas Sumatera Utara

28

Informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1) Nasabah pada BPR Mustaqim Sukamakmur 5 orang
3.

Sumber Data
Sumber data utama dari penelitian ini adalah sumber data sekunder yang

terdiri dari bahan hukum sekunder, bahan hukum primer dan bahan hukum tersier.
Data-data hukum sekunder tersebut meliputi berbagai macam sumber baik sumber
data tertulis seperti Peraturan Perundang-Undangan, buku-buku ilmiah, dan berbagai
macam dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam hal seorang peneliti
diharapkan dapat mengumpulkan sebanyak mungkin bahan pustaka yang terkait
dengan objek penelitiannya sehingga dapat menambah khasanah dalam menganalisis
data dan menyajikan hasil penelitian.
a.

Data Primer
Data primer digunakan untuk melakukan konfrontir terhadap berbagai
macam data sekunder yang telah diperoleh dalam rangka melakukan
penegasan. Data-data primer dalam bentuk data lapangan yang diperoleh
melalui wawancara dan observasi lapangan pada Kantor Pusat Operasional
BPR Mustaqim Sukamakmur. Wawancara dilakukan dengan responden dan
informan yang terkait dengan objek penelitian.

b. Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mempelajari literatur
yang berkaitan dengan objek yang diteliti dan berbagai macam peraturan

Universitas Sumatera Utara

29

perundang-undangan yang ada kaitannya pembuatan adendum akad dalam
penyelesaian pembiayaan bermasalah pada BPR Mustaqim Sukamakmur.
Data sekunder tersebut meliputi beberapa hal yaitu:
1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan salah satu sumber hukum yang penting
bagi sebuah penelitian ilmiah hukum yang bersifat yuridis normatif.
Bahan hukum primer meliputi bahan-bahan hukum yang isinya mengikat
secara hukum karena dikeluarkan oleh instansi yang sah. Bahan hukum
primer dapat ditemukan melalui studi kepustakaan (library research) baik
di perpustakaan fakultas, universitas maupun perpustakaan umum
lainnya.
Bahan hukum primer yang dijadikan pedoman bagi penelitian terkait
pembuatan adendum dalam restrukturisasi pembiayaan ini adalah sebagai
berikut:
a)

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

b) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
c)

Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah

d) Perma No. 2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah
e)

Peraturan perundang-undangan yang terkait

pembuatan adendum

dalam restrukturisasi pembiayaan.

Universitas Sumatera Utara

30

f)

Akad Pembiayaan Syariah yang diterapkan pada Bank Syariah

2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang dimaksudkan
untuk menjelaskan bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder
biasanya berupa bacaan hukum, jurnal-jurnal yang memberikan
penjelasan mengenai bahan primer, berupa buku teks, konsideran, artikel
dan jurnal, sumber data elektronik berupa internet, majalah dan surat
kabar serta berbagai kajian yang menyangkut pembuatan adendum akad
dalam restrukturisasi pada pembiayaan.
3) Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang dijadikan pegangan atau
acuan bagi kelancaran proses penelitian. Bahan hukum tersier biasanya
memberikan informasi, petunjuk dan keterangan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder. Di perpustakaan biasanya bahan hukum tersier
berada pada ruangan khusus dan dalam penelitian ini bahan hukum tersier
yang digunakan hanyalah kamus.
Penelitian tentang restrukturisasi pada bank syariah ini berusaha untuk
menemukan jawaban yang kongkrit, jelas dan pasti terkait dengan objek
masalah yang diteliti. Sehingga peran data pendukung seperti kamus
sangat dibutuhkan untuk mencari kebenaran sejati dari istilah-istilah
hukum yang asing. Bahan hukum primer ini bukan hanya sekedar sebagai

Universitas Sumatera Utara

31

pelengkap informasi saja melainkan juga dapat memberikan petunjuk
awal terkait dengan masalah yang sedang diteliti.
Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kamus
hukum yang memuat informasi tentang arti beberapa istilah hukum yang
bersifat khusus.
4.

Metode Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini baik data sekunder maupun data primer diperoleh

dengan melakukan penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan
dilakukan untuk memperoleh data yang dilakukan dengan mempelajari dokumendokumen, buku-buku teks, teori-teori, peraturan perundang-undangan, artikel, tulisan
ilmiah yang ada hubungannya dengan pembuatan adendum dalam restrukturisasi
pembiayaan pada bank BPR Mustaqim Sukamakmur. Selain itu, guna mendukung
data primer yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut dilakukan pula
wawancara dengan beberapa informan sebagai narasumber.
5.

Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan untuk menarik kesimpulan dari hasil

penelitian yang sudah terkumpul digunakan metode normatif kualitatif. Normatif,
karena penelitian ini bertolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai normatif
hukum positif sedangkan kualitatif, dimaksudkan analisis data yang bertitik tolak
pada usaha penemuan asas-asas dan informasi-informasi.

Universitas Sumatera Utara

32

Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan selanjutnya akan dipilahpilah guna memperoleh pasal-pasal yang berisi kaedah-kaedah hukum yang mengatur
masalah pembuatan adendum dalam restrukturisasi pembiayaan pada BPR Mustaqim
Sukamakmur kemudian disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang
selaras dengan permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dijawab.30
Walaupun dalam penelitian ini nantinya akan bersinggungan dengan
perspektif disiplin ilmu lainnya, namun penelitian ini tetap merupakan penelitian
hukum, karena perspektif disiplin lain hanya sekedar alat bantu.31 Dengan demikian,
jelaslah bahwa data yang telah terkumpul akan dianalisis secara kualitatif yaitu
menafsirkan pembuatan adendum akad dalam restrukturisasi pembiayaan pada bank
syari’ah. Penarikan kesimpulan dilakukan secara induktif.

30

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002. hlm. 24.
Alvi Syahrin, Pengantar Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman
Berkelanjutan. Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003, hlm. 17.
31

Universitas Sumatera Utara