Analisis Yuridis Terhadap Addendum Dalam Akad Perjanjian Pada Pembiayaan Bermasalah (Studi Pada Perusahaan Daerah Bpr Syari’ah Mustaqim Sukamakmur Aceh Besar) Chapter III V

77

BAB III
MEKANISME PEMBUATAN ADDENDUM TERHADAP AKAD
PEMBIAYAAN PADA BPR MUSTAQIM SUKAMAKMUR
A. Pengertian Addendum dan Dasar Hukum Addendum Akad
Addendum adalah istilah hukum yang lazim disebut dalam suatu pembuatan
perjanjian. Apabila ditelaah dari

dari arti katanya, addendum adalah lampiran,

suplemen, tambahan.85 Dari pengertian tersebut jelas bahwa addendum merupakan
suatu istilah dalam suatu kontrak atau suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis
yang berarti tambahan klausula atau pasal yang secara fisik terpisah dari perjanjian
pokoknya namun secara hukum melekat pada perjanjian pokoknya.
Menurut Frans Satriyo Wicaksono, dalam buku “Panduan Lengkap Membuat
Surat-Surat Kontrak” menyebutkan bahwa “jika pada saat kontrak berlangsung
ternyata terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam kontrak tersebut, dapat
dilakukan musyawarah untuk suatu mufakat akan hal yang belum diatur tersebut”.86
Jadi dalam hal ini perubahan terhadap kontrak


atau perjanjian dapat dilakukan

setelah adanya musyawarah antara para pihak82dalam perjanjiajn.
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa ketentuan atau hal-hal yang belum
diatur tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertulis sama seperti kontrak yang telah
dibuat. Pengaturan ini umum ini umum disebut dengan addendum atau amandemen.
Biasanya klausula yang mengatur tentang addendum dicantumkan pada bagian akhir
85

John M. Echols dan Hassan Shadily, Op.Cit., hal.11
Frans Satriyo Wicaksono, Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kontrak, Visi Media,
Jakarta, 2008, hal 5.
86

77

Universitas Sumatera Utara

78


dari suatu perjanjian pokok. Namun apabila hal tersebut tidak dicantumkan dalam
perjanjian, addendum tetap dapat dilakukan sepanjang ada kesepakatan diantara para
pihak, dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata. Belum ada
alasan yang pasti mengapa cara addendum lebih dipilih digunakan daripada membuat
perjanjian baru untuk perubahan dan atau penambahan isi dari suatu perjanjian.
Namun patut diduga bahwa hal tersebut semata karena alasan kepraktisan serta lebih
menghemat waktu dan biaya.
Selanjutnya apabila ditelaah mengenai dasar hukum addendum akad, maka
dapat dijelaskan bahwa yang menjadi dasar dilakukan penyelesaian sengketa akibat
adanya pembiayaan bermasalah melalui restrukturisasi dengan menggunakan
addendum adalah

Peraturan Bank Indonesia Nomor

10/18/PBI/2008 Tentang

Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah Dan Unit Usaha Syariah. Dalam
ketentuan menimbang Peraturan Bank Indonesia tersebut disebutkan bahwa salah
satu upaya untuk menjaga kelangsungan usaha nasabah pembiayaan, Bank Syariah
dan Unit Usaha Syariah dapat melakukan restrukturisasi pembiayaan atas nasabah

yang memiliki prospek usaha dan/atau kemampuan membayar. Restrukturisasi
pembiayaan harus memperhatikan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian.
Tidak terlaksananya kewajiban nasabah dalam membayar kembali angsuran
pembiayaan tentunya berakibat pada permasalahan tunggakan pembiayaan yang
disalurkan oleh pihak bank. Oleh karena itu, terhadap adanya tunggakan pembiayaan
tersebut pihak bank sebagai pemberi pembiayaan akan melakukan upaya

Universitas Sumatera Utara

79

penyelesaian tunggakan tersebut. Adapun tatacara yang ditempuh oleh pihak bank
adalah dengan menawarkan restruktur pembiayaan melalui pembuatan addendum.
Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa istilah “addendum” merupakan
istilah

hukum

yang


lazim

disebut

dalam

suatu

pembuatan

perubahan

perjanjian Pengertian Addendum adalah istilah dalam kontrak atau surat perjanjian
yang berarti tambahan klausula atau pasal yang secara fisik terpisah dari perjanjian
pokoknya namun secara hukum melekat pada perjanjian pokok itu.87
Jadi pembuatan adendum termasuk dalam suatu akad pembiayaan merupakan
suatu perbuatan para pihak dalam suatu hubungan hukum yang berbentuk
perjanjian/akad yang dilakukan untuk memperbaiki atau merubah perjanjian awal
dengan menambah, menghilangkan atau mengganti dengan yang baru, baik dengan
menambah lampiran, suplemen, tambahan.88 Addendum dalam sebuah surat

perjanjian atau akad termasuk dalam hal ini akan pembiayaan dilakukan dengan
menambah klausula atau pasal yang secara fisik terpisah dari perjanjian pokoknya
namun secara hukum melekat pada perjanjian pokok itu.89
Pengertian adendum menjelaskan bahwa pada saat kontrak atau perjanjian
yang dalam prinsip syariah disebut akad berlangsung ternyata terdapat hal-hal yang
belum cukup diatur atau dalam pelaksanaannya mengalami hambatan, dapat
dilakukan musyawarah untuk suatu mufakat terhadap hal yang belum diatur tersebut
maupun terhadap hambatan yang dihadapi. Hambatan dalam pelaksanaan maupun
hal-hal yang belum diatur tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertulis sama
88

John M. Echols dan Hassan Shadily, Op.Cit., hal.11

Universitas Sumatera Utara

80

seperti halnya perjanjian awal atau melakukan penambahan terhadap perjanjian yang
telah dibuat sebelumnya.
Biasanya pembuatan addendum muncul atau dilakukan karena adanya

perubahan dari isi perjanjian, atau karena adanya hal-hal yang belum diatur
atau belum cukup diatur dalam perjanjian pokoknya. Misalnya, kebutuhan
untuk merinci lebih lanjut nilai belanja proyek pada sebuah perjanjian pembangunan
jalan tol. Terhadap hal-hal tersebut, para pihak dapat merundingkannya lebih lanjut
dalam suatu musyawarah, dan hasil kesepakatannya itulah yang dituangkan ke dalam
addendum.
Pembuatan addendum semacam ini lebih praktis dari pada harus membuat
perjanjian baru yang dapat memakan waktu dan biaya tambahan. Meskipun ketika
membuat surat perjanjian tidak dimasukan klausul mengenai addendum, hal tersebut
tidak menyebabkan para pihak tidak dapat membuat addendum di kemudian hari saat
perjanjian tersebut dilaksanakan. Para pihak dalam suatu perjanjian, setiap waktu
dapat melakukan atau masih dapat melakukan perubahan atau penambahan isi
perjanjian melalui addendum sepanjang para pihak menyepakatinya. Secara fisik
pembuatan addendum dalam suatu perjanjian terpisah dari perjanjian pokok, namun
secara hukum suatu addendum melekat dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
perjanjian utama.
Berdasarkan

pengertian


adendum

tersebut

dapat

dijelaskan

bahwa

pada saat kontrak berlangsung ternyata terdapat hal-hal yang belum cukup
diatur dalam kontrak tersebut, maka untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan
musyawarah

antara

para

pihak


yang

terkait

didalam

perjanjian

tersebut

untuk membuata suatu mufakat terhadap hal yang belum diatur tersebut. Ketentuan

Universitas Sumatera Utara

81

atau hal-hal yang belum diatur tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertulis sama
seperti kontrak yang

telah dibuat atau disebut dengan addendum atau amandemen.


Biasanya klausula yang mengatur tentang addendum dicantumkan pada bagian akhir
dari suatu perjanjian pokok. Namun apabila hal tersebut tidak dicantumkan dalam
perjanjian, addendum tetap dapat dilakukan sepanjang ada kesepakatan diantara para
pihak, dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata.
Pembuatan addendum ini juga dilakukan dalam bidang pelayanan jasa
perbankan sebagaimana dilakukan oleh Bank BPR Mustaqim Suka Makmur dalam
upaya menyelesaikan tunggakan pembiayaan atau pembiayaan bermasalah.
Upaya penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui restrukturisasi dengan
pembuatan addendum ini sebagai salah satu upaya penyelesaian atau restrukturisasi
terhadap pembiayaan yang bermasalah sesuai dengan

ketentuan Peraturan Bank

Indonesia Nomor 10/18/PBI/2008 Tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank
Syariah dan Unit Usaha Syariah. Namun demikian belum ada alasan yang pasti
mengapa cara addendum lebih dipilih digunakan daripada membuat perjanjian baru
untuk perubahan dan atau penambahan isi dari suatu perjanjian atau akad yang baru.
Namun patut diduga bahwa hal tersebut semata karena alasan kepraktisan serta lebih
menghemat waktu dan biaya.

B. Kaitan antara Addendum dengan Upaya Penyelesaian Pembiayaan
Bermasalah
Pada dasarnya pengelolaan usaha atau bisnis di bidang perbankan merupakan
bisnis kepercayaan.90 Nasabah menyimpan dananya pada bank, karena nasabah
percaya bahwa dana tersebut akan aman dan dikelola sebaik-baiknya oleh bank.
90

Danang Wahyu Muhammad, “Penerapan Prudential Banking Pada Bank Syariah”, Jurnal
Media Hukum, Vol. 14 No.1 Juni 2007, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah,
hlm. 48.

Universitas Sumatera Utara

82

Begitu pula sebaliknya, bank menyalurkan dananya kepada nasabah karena bank
percaya bahwa dana tersebut akan dikelola dengan baik sehingga akan kembali lagi
kepada bank. Bisnis kepercayaan yang mendasari bank, khususnya bank syariah
karena bank syariah tidak hanya berfungsi sebagai intermediary tetapi juga posisi
bank syariah adalah sebagai mitra bagi nasabahnya. Hal ini sebagaimana dikuatkan

oleh Vogel & Hayes yang menyatakan bahwa pembiayaan Islam merupakan suatu
bentuk "partnership"91 antara pengusaha dan pemodal saling membagi keuntungan
dan kerugian. Disana tidak mengenal kreditur dan debitur sebagai-mana dalam bank
konvensional, dan inilah yang menjadikan salah satu pembeda antara bank Islam
dengan bank konvensional.
Partnership dapat dimaknai sebagai bentuk kesetaraan, artinya sebagai mitra,
bank syariah dan nasabah mempunyai fungsi dan kedudukan yang sama dalam
mencapai tujuannya sesuai dengan kompetensi masing-masing. Apabila terjadi
kegagalan dalam pembiayaan, sebagai mitra akan melakukan cek and balance,
sehingga pembiayaan tersebut dapat berjalan kembali.
Penyelesaian tunggakan pembiayaan atau pembiayaan bermasalah melalui
restrukturisasi yang dilakukan dengan membuat addendum akad merupakan salah
satu bentuk upaya bank terhadap nasabah yang belum mampu lagi mengembalikan
kewajibannya, dengan kata lain, nasabah pembiayaan belum mampu melunasi

91

Vogel & Hayes, dalam Faisal, Op.Cit., hal 458.

Universitas Sumatera Utara

83

hutangnya pada saat jatuh tempo kepada bank, sedangkan nasabah tersebut
diyakinkan dapat melunasi hutangnya apabila diberikan kesempatan.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (7) PBI No. 10/18/PBI/2008, lihat juga pada Butir I,
angka (3) SEBI No. 10/34/DPBS/ 2008, Restrukturisasi pembiayaan tersebut dapat
dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu
perubahan jadwal pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya; Kedua,
persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh
persyaratan Pembiayaan, antara lain perubahan jadwal pembayaran, jumlah angsuran,
jangka waktu dan/atau pemberian potongan sepanjang tidak menambah sisa
kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada Bank. Ketiga, penataan kembali
(restructuring), yaitu perubahan persyaratan Pembiayaan tidak terbatas pada
rescheduling atau reconditioning, antara lain meliputi: penambahan dana fasilitas
pembiayaan bank, konversi akad pembiayaan, konversi Pembiayaan menjadi surat
berharga syariah berjangka waktu menengah dan konversi pembiayaan menjadi
penyertaan modal sementara pada perusahaan nasabah.
Sebagai contoh mengenai pelaksanaan penjadwalan kembali ini dapat dilihat
dalam pembiayaan murabahah berikut. Pembiayaan murabahah merupakan bentuk
jual beli barang antara bank dan nasabah dengan menambahkan harga jual sebagai
keuntungan bank. Oleh karena itu, Murabahah yang diterapkan dalam perbankan
syariah biasanya banyak digunakan dalam pembiayaan jangka waktu pendek

Universitas Sumatera Utara

84

(shortterm financing),92 dan penandatangan akad jual beli dan murabahah
berlangsung pada hari dan tempat yang sama, hanya saja akad jual beli bank dengan
pemasok telah terlaksana sebelum akad murabahah antara bank dan nasabah
ditandatangani.93
Pembiayaan jangka pendek dan penandatangan akad jual beli dan murabahah
berlangsung pada hari dan tempat yang sama tersebut, akan berpengaruh pada tingkat
risiko bank. Namun demikian, kerugian dapat saja terjadi sehingga perlu dilakukan
dilakukan upaya penyelesaian melalui restrukturisasi. Penyelesaian tunggakan
pembiayaan atau restrukturisasi pembiayaan yang dilakukan melalui pembuataan
addendum adalah upaya yang dilakukan oleh bank syariah untuk meminimalkan
potensi kerugian yang disebabkan oleh pembiayaan.
Penyelesaian tunggakan atau pembiayan bermasalah melalui restrukturisasi
pembiayaan dan pembuataan addendum dengan penerapkan prudential principle
dapat diterapkan dalam bentuk-bentuk restrukturisasi pembiayaan. Restrukturisasi
pembiayaan tersebut disesuaikan dengan karakteristik pembiayaan masing-masing.
Hal ini dikarenakan setiap pembiayaan mempunyai perbedaan akad dan tujuannya.
Restrukturisasi pembiayaan diatur dalam bagian tersendiri, termasuk didalamnya
mengenai pembiayaan
92

Nicolas C. Jensen, dalam Faisal, Ibid., hal 469
Mia Septiana Zaeni, “Penerapan Prinsip Kehati-hatian dan Penyelesaian Sengketa Dalam
Pemberian Pembiayaan Murabahah Pada Bank Muamalat Indonesia Cabang Yogyakarta, Jurnal
Penelitian Hukum Gadjah Mada, Vol. I, Februari 2010, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 2010 hlm. 105.
93

Universitas Sumatera Utara

85

Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) PBI No.10/18/PBI/2008, lihat juga Butir VI
angka (1) SEBI No.10/34/DPBS/2008, Restrukturisasi pembiayaan murabahah dapat
dilakukan dengan cara pembuatan addendum akad yang melakukan perubahan berupa
penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning), dan
penataan kembali (restructuring). Penjadwalan kembali (rescheduling) dapat
dilakukan dengan memperpanjang jangka waktu jatuh tempo pembiayaan tanpa
mengubah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada bank syariah.
Dengan memperpanjang jangka waktu jatuh tempo tersebut, nasabah secara langsung
sudah menerima keringanan dalam menunaikan kewajibannya, sehingga secara
berangsur-angsur nasabah akan mampu membayarkan kepada bank syariah. Dengan
demikian, kewajiban nasabah akan terlunasi.
Persyaratan

kembali

(reconditioning)

dapat

dilakukan

dengan

cara,

bank syariah menetapkan kembali syarat-syarat pembiayaan sesuai dengan yang
disepakati, baik itu dilakukan dengan perubahan jadwal pembayaran, jumlah
angsuran,

pemberian

potongan,

maupun

dengan

perubahan

jangka

waktu

pembayaran. Persyaratan kembali ini dapat dilakukan dengan tidak menambah sisa
kewajiban nasabah pembiayaan yang harus dibayarkan kepada bank syariah.
Selain dengan cara penjadwalan dan persyaratan kembali, restrukturisasi
terhadap pembiayaan dapat dilakukan dengan cara penataan kembali (restructuring).
Penataan kembali dapat dilakukan dengan cara melakukan konversi pembiayaan

Universitas Sumatera Utara

86

sebesar sisa kewajiban nasabah menjadi ijarah muntahiyyah bittamlik atau
mudharabah atau musyarakah.
Berdasarkan Butir VI angka (1) huruf (c) SEBI No. 10/34/DPBS/2008, Bank
syariah dapat melakukan penataan kembali dengan mengkonversi piutang
pembiayaan dengan beberapa cara. Pertama, menghentikan pembiayaan dengan
memperhatikan nilai wajar objek yang dijadikan jaminan. Kedua, objek pembiayaan
sebelumnya menjadi dasar untuk pembuatan akad pembiayaan baru. Ketiga,
melakukan akad pembiayaan baru dengan mempertimbangkan kondisi nasabah,
antara lain golongan nasabah, jenis kegiatan usaha, dan kemampuan (cash flow)
nasabah. Keempat, mencantumkan kronologis akad pembiayaan sebelumnya dalam
akad pembiayaan baru.
Bank syariah dapat juga melakukan konversi menjadi Surat Berharga Syariah
Berjangka Waktu Menengah (SBSBWM), dan menjadi penyertaan modal sementara.
Berdasar (Butir VI angka (1) huruf (d) SEBI No. 10/34/DPBS/2008) hal ini dilakukan
dengan beberapa cara. Pertama, bank syariah menghentikan pembiayaan dalam
bentuk pembiayaan murabahah. Kedua, bank syariah membuat akad mudharabaha
atau musyarakah dengan nasabah atas Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu
Menengah yang diterbitkan oleh nasabah atas proyek yang dibiayai.
Ketiga, memiliki Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah paling
tinggi sebesar kewajiban nasabah. Selain penataan kembali dengan cara yang telah

Universitas Sumatera Utara

87

diuraikan di atas, bank syariah dapat juga melakukan penataan kembali dengan
melakukan konversi menjadi Penyer-taan Modal Sementara. Berdasar Butir VI angka
(1) huruf (e) SEBI No. 10/34/DPBS/2008 hal ini dilakukan dengan beberapa cara.
Pertama, pada badan usaha nasabah yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas (PT).
Kedua, bank syariah akan menghentikan akan pembiayaan murabahah. Ketiga, bank
syariah akan membuat akad musyarakah dengan nasabah untuk Penyertaan Modal
Sementara terhadap kegiatan usaha yang disepakati.
Keempat, bank syariah akan melakukan Penyertaan Modal Sementara paling
tinggi sebesar sisa kewajiban nasabah. Penataan kembali (restructuring) terhadap
pembiayaan murabahah dengan memperhatikan prudential principle. Hal ini
dikarenakan terjadinya perubahan bentuk akad murabahah menjadi akad yang lain,
dengan perubahan tersebut akan mengakibat-kan perubahan pula pada hak dan
kewajiban masing-masing pihak, sehingga diperlukan kehati-hatian penyesuaiannya
dengan akad yang baru.
Lebih lanjut, menurut Butir VI angka (4) SEBI No. 10/34/DPBS/2008, selain
mempertimbangkan

prudential

principle,

restrukturisasi

pembiayaan

mempertimbangkan juga prinsip syariah dan prinsip akuntansi yang berlaku.
Restrukturisasi pembiayaan dengan mempertimbangkan prinsip syariah, artinya bank
syariah dalam melakukan restrukturisasi dengan memperhatikan beberapa Fatwa
Majelis Ulama Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

88

Pertama, Fatwa DSN No. 46/DSN/MUI/II/2005 tentang Potongan Tagihan
Murabahah

(Al-Khasm

Fi

al-

Murabahah).

Kedua,

Fatwa

DSN

No.

47/DSN/MUI/II/2005 tentang Penyelesaian Piutang Murabahah Bagi Nasabah Tidak
Mampu Bayar. Ketiga, Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia
No: 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadwalan Kembali Tagihan Murabahah
(rescheduling). Keempat, Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia
No: 49/DSNMUI/ II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah.
Berdasarkan pada fatwa DSN tersebut di atas, filosofi restrukturisasi
pembiayaan dengan cara menkonversi maupun penjadwalan kembali tagihan
pembiayaan murabahah dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari kedua belah
pihak, dengan memperhatikan risiko dan tidak merugikan bank syariah dan nasabah
pembiayaan.
Selain itu, bank syariah juga harus memperhatikan prinsip dasar ekonomi
Islam yaitu: riba, gharar sebagai bentuk kehati-hatian dalam hukum Islam. Prinsip
akuntansi yang dimaksudkan dalam melakukan restrukturisasi pembiayaan adalah
restrukturisasi dilaksanakan dengan menerapkan perlakuan akuntansi sesuai dengan
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dan Pedoman Akuntansi Perbankan
Syariah (PAPS). PSAK yang digunakan oleh bank syariah sekarang adalah PSAK
No. 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah. Secara lebih khusus, untuk pembiayaan
murabahah diterapkan PSAK No. 102 tentang Akuntansi Murabahah.

Universitas Sumatera Utara

89

Restrukturisasi pembiayaan dengan cara penjadwalan kembali (rescheduling),
persyaratan kembali (reconditioning), dan penataan kembali (restructuring) seperti
yang telah diuraikan di atas, dapat dilakukan dengan mempertimbangkan prudential
principle. Artinya, bank syariah dalam melakukan restrukturisasi pembiayaan sudah
mempertimbangkan terlebih dahulu dalam berbagai aspek, termasuk didalamnya
memperhatikan prinsip dasar ekonomi Islam yaitu: riba, gharar sebagai bentuk
kehati-hatian dalam hukum Islam. Selain itu, sistem pengawasan internal yang
optimal perlu dilaksanakan dengan efektif, sehingga risiko bank syariah dan nasabah
pembiayaan tidak dirugikan, bahkan diupayakan keduanya sama-sama diuntungkan
sebagai filosofi tujuan restrukturisasi pembiayaan pembentuknya.
Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa pihak bank dalam
melakukan penyelesaian tunggakan pembiayaan melalui restrukturisasi akad
pembiayaan dengan pembuatan addendum merupakan upaya bank dalam rangka
memperbaiki keadaan nasabah dalam pelaksanaan kewajiban yang timbul dari akad
pembiayaan yang dibuat sebelumnya. Restrukturisasi akad pembiayaan murabahah
ini dilakukan dengan penjadwalan kembali terhadap kewajiban nasabah dalam
melaksanakan pembayaran angsuran pembiayaan, memberikan kesempatan atau
persyaratan baru kepada nasabah baik sebagian atau seluruh persyaratan dalam akad
pembiayaan dan melakukan

penataan kembali melalui upaya memberikan

penambahan fasilitas pembiayaan bank, penggabungan akad, maupun perubahan

Universitas Sumatera Utara

90

jenis akad bahkan atas persetujuan nasabah dapat mengambil alih pengelolaan usaha
nasabah yang dibiayai bank dengan melakukan pembinaan.
Adanya tindakan penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui retrukturisasi
dengan melakukan pembuatan addendum ini dapat dilakukan atas inisiatif pihak bank
sebagai upaya pengawasan terhadap pembiayaan yang disalurkan dan dapat pula
dilakukan atas permintaan atau permohonan dari nasabah bank yang mengalami
hambatan dalam menjalankan kewajibannya atas pembiayaan yang diterimanya
C. Mekanisme Pembuatan Adendum Akad Pembiayaan Pada BPR Mustaqim
Sukamakmur
Dalam pembuatan addendum akad pembiayaan akibat tidak terlaksananya
kewajiban pihak nasabah, maka dalam pembuatan addendum sebagai bentuk upaya
restrukturisasi ini adalah bagian dari upaya bank menjalankan dan mempertahankan
kesinambungan usaha. Dalam rangka memelihara kesinambungan usahanya, Bank
harus mengelola risiko kredit dari aktivitas Pembiayaan (credit risk), sehingga dapat
meminimalkan potensi kerugian yang akan terjadi. Penurunan kegiatan usaha
dan/atau kemampuan pembayaran nasabah dapat mempengaruhi kelancaran
pemenuhan kewajiban nasabah yang pada akhirnya akan meningkatkan risiko kredit
bagi Bank. Oleh karena itu, guna menurunkan risiko kredit dalam aktivitas
Pembiayaan, Bank dapat melakukan langkah-langkah antisipatif untuk menjaga
kelangsungan usaha nasabah pembiayaan.

Universitas Sumatera Utara

91

Langkah-langkah tersebut antara lain dengan melakukan restrukturisasi
pembiayaan terhadap nasabah yang masih memiliki prospek usaha dan/atau
kemampuan membayar. Kebutuhan dan penggunaan dana nasabah pada prinsipnya
berbeda-beda sehingga Bank menyediakan fasilitas Pembiayaan kepada nasabah
dalam beragam akad yang sesuai dengan prinsip syariah. Masing-masing akad
Pembiayaan memiliki karakteristik khusus yang harus dipertimbangkan Bank dalam
pengelolaan Pembiayaan.
Restrukturisasi

dimaksud

adalah

restrukturisasi

hutang

nasabah

yang timbul akibat adanya akad pembiayaan. Restrukturisasi hutang secara umum
dapat diartikan sebagai penataan kembali hutang suatu perusahaan yang telah jatuh
tempo, sesuai dengan kemampuan keuangan perusahaan tersebut dalam periode
waktu yang telah disepakati antara debitur dengan kreditur.94
Program restrukturisasi perbankan pada dasarnya dapat dipilah dalam dua
besaran pokok, yaitu program pemulihan perbankan (recovery program) dan
pemantapan ketahanan sistem perbankan (strengthen the banking system).95 Recovery
program diarahkan pada upaya mengatasi dampak krisis, karena secara faktual
pekerjaan rumah yang sudah di depan mata memang bagaimana pemulihan tersebut
dapat segera dilakukan sekurang-kurangnya untuk meminimalisasikan timbulnya
resiko sistemik yang lebih parah. Adapun program pemantapan ketahanan sistem
94
Sutan Remy Sjahdeini, Restrukturisasi Hutang dan Penyehatan Perseroan, Makalah, MM
Universitas Sriwijaya. 1999, hlm 11
95
Wahyudi Santoso, Restrukturisasi Kredit Sebagai Bagian Integral Restrukturisasi
Perbankan, Buletin Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan Volume 6, Nomor 14 1, April 2008,
hlm 15.

Universitas Sumatera Utara

92

perbankan diperlukan atau diarahkan agar perbankan nasional tidak terperosok lagi
dalam segala bentuk krisis serta lebih kuat dan sehat dibanding sebelumnya.
Restrukturisasi kredit oleh bank termasuk pula restrukturrisasi pembiayaan
oleh bank syariah adalah upaya yang dilakukan oleh bank dalam kegiatan usaha
perkreditan agar debitur dapat memenuhi kewajibannya, yang dilakukan antara lain
melalui :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Penurunan suku bunga;
Pengurangan tunggakan bunga kredit;
Pengurangan tunggakan pokok kredit;
Perpanjangan jangka waktu kredit;
Penambahan fasilitas kredit;
Pengambilalihan aset debitur sesuai ketentuan yang berlaku;
Konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan
debitur.96
Dari batasan tersebut tampak jelas bahwa arah dari restrukturisasi kredit pada

prinsipnya untuk memperbaiki kualitas kredit. Namun demikian untuk melakukan hal
tersebut terdapat kaidah-kaidah yang harus diperhatikan oleh bank, karena upaya ini
juga mengandung kerawanan penyalahgunaan oleh manajemen.
Oleh sebab itu, secara prinsip ditetapkan bahwa restrukturisasi kredit hanya
boleh dilakukan terhadap debitur yang masih memiliki prospek usaha yang
baik, dan telah atau diperkirakan akan mengalami kesulitan pembayaran pokok dan
atau bunga.97
Dalam

pelaksanaan

penyelesaian

tunggakan

pembiayaan

melalui

restrukturisasi pembiayaan dengan pembuatan addendum Pasal 2 PBI No.
10/18/PBI/2008 ditentukan pula bahwa :
96
97

Wahyudi Santoso, Op.Cit., hlm 19.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

93

1) Bank dapat melaksanakan Restrukturisasi Pembiayaan dengan menerapkan
prinsip kehati-hatian.
2) Bank wajib menjaga dan mengambil langkah-langkah agar kualitas
Pembiayaan setelah direstrukturisasi dalam keadaan Lancar.
Bank dilarang melakukan restrukturisasi pembiayaan dengan tujuan untuk
menghindari (a) penurunan penggolongan kualitas Pembiayaan, (b) pembentukan
penyisihan penghapusan aktiva (PPA) yang lebih besar; atau (c). penghentian
pengakuan pendapatan margin atau ujrah secara aktual. Restrukturisasi Pembiayaan
hanya dapat dilakukan atas dasar permohonan secara tertulis dari nasabah (Pasal 3
dan Pasal 4 PBI No. 10/18/PBI/2008).
Selanjutnya dalam Pasal 5 PBI No. 10/18/PBI/2008, juga dinyatakan bahwa :
1) Restrukturisasi Pembiayaan hanya dapat dilakukan untuk nasabah yang
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. nasabah mengalami penurunan kemampuan pembayaran; dan
b. nasabah memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi
kewajiban setelah restrukturisasi.
2) Restrukturisasi Pembiayaan hanya dapat dilakukan untuk Pembiayaan
dengan kualitas Kurang Lancar, Diragukan dan Macet.
3) Restrukturisasi Pembiayaan wajib didukung dengan analisis dan buktibukti yang memadai serta terdokumentasi dengan baik.
Kemudian dalam

Pasal 6 PBI No. 10/18/PBI/2008, dinyatakan bahwa

Restrukturisasi Pembiayaan dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) kali dalam jangka
waktu akad Pembiayaan awal. Restrukturisasi Pembiayaan kedua dan ketiga dapat
dilakukan paling cepat 6 (enam) bulan setelah Restrukturisasi Pembiayaan
sebelumnya. Sedangkan Pasal 7 menentukan bahwa

Restrukturisasi Pembiayaan

Universitas Sumatera Utara

94

terhadap nasabah yang memiliki beberapa fasilitas Pembiayaan dari Bank, dapat
dilakukan terhadap masing-masing Pembiayaan.
Pembatasan frekuensi restrukturisasi dimaksudkan agar Bank tidak melakukan
restrukturisasi dalam rangka menghindari penurunan penggolongan kualitas
Pembiayaan. Yang dimaksud dengan “jangka waktu akad Pembiayaan awal” adalah
jangka waktu yang disepakati oleh Bank dan nasabah dalam akad Pembiayaan
sebelum dilakukan restrukturisasi.98
Mengenai tata cara Restrukturisasi Pembiayaan Pasal 15 PBI No.
10/18/PBI/2008, yang menentukan bahwa :
1) Pembiayaan dalam bentuk piutang murabahah atau piutang istishna’ dapat
direstrukturisasi dengan cara:
a. penjadualan kembali (rescheduling);
b. persyaratan kembali (reconditioning); dan
c. penataan kembali (restructuring).
2) Pembiayaan dalam bentuk piutang qardh direstrukturisasi dengan cara:
a. penjadualan kembali (rescheduling); dan
b. persyaratan kembali (reconditioning).
3) Pembiayaan dalam bentuk mudharabah atau musyarakah dapat
direstrukturisasi dengan cara:
a. penjadualan kembali (rescheduling);
b. persyaratan kembali (reconditioning); dan
c. penataan kembali (restructuring).
4) Pembiayaan dalam bentuk ijarah atau ijarah muntahiyyah bittamlik dapat
direstrukturisasi dengan cara:
a. penjadualan kembali (rescheduling);
b. persyaratan kembali (reconditioning); dan
c. penataan kembali (restructuring).
5) Pembiayaan multijasa dalam bentuk ijarah dapat direstrukturisasi dengan
cara:
a. penjadualan kembali (rescheduling); dan
b. persyaratan kembali (reconditioning).
98

Penjelasan Pasal 6 Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/18/PBI/2008 Tentang
Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.

Universitas Sumatera Utara

95

6) Pembiayaan dalam bentuk piutang salam dapat direstrukturisasi dengan cara:
a. penjadualan kembali (rescheduling);
b. persyaratan kembali (reconditioning); dan
c. penataan kembali (restructuring).
7) Tata cara Restrukturisasi Pembiayaan akan diatur lebih lanjut dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Lebih lanjut dalam upaya penyelesaian pembiayaan bermasalah melalui
restrukturisasi pembiayaan adalah upaya yang dilakukan Bank dalam rangka
membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya, adapun mekanisme yang
sering dilakukan antara lain :99
a. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal pembayaran
kewajiban nasabah atau jangka waktunya;
b. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh
persyaratan Pembiayaan, antara lain perubahan jadwal pembayaran,
jumlah angsuran, jangka waktu dan/atau pemberian potongan sepanjang
tidak menambah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada
Bank;
c. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan Pembiayaan
tidak terbatas pada rescheduling atau reconditioning, antara lain meliputi:
1) Penambahan dana fasilitas Pembiayaan Bank;
2) Konversi akad Pembiayaan;
3) Konversi Pembiayaan menjadi surat berharga syariah berjangka waktu
menengah;

99

Poin 3 Bagian Umum Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/ 35 / DPbS, 2008

Universitas Sumatera Utara

96

4) Konversi Pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada
perusahaan nasabah.
Dalam pelaksanaannya sebagaimana diketahui pada salah satu bank
perkreditan rakyat di Aceh yaitu BPR Mustaqim Sukamakmur KPO Lampeneurut
diketahui bahwa dalam pelaksanaan kebijakan dan prosedur penyelesaian tunggakan
melalui restrukturisasi mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Penetapan pejabat atau pegawai khusus untuk menangani Restrukturisasi
Pembiayaan.
2. Penetapan limit wewenang memutus Pembiayaan yang direstrukturisasi.
3. Kriteria Pembiayaan yang dapat direstrukturisasi.
4. Sistem dan Standard Operating Procedure Restrukturisasi Pembiayaan,
termasuk penetapan penyerahan Pembiayaan yang akan direstrukturisasi
kepada pejabat atau pegawai khusus yang ditunjuk dan penyerahan kembali
Pembiayaan yang telah berhasil direstrukturisasi kepada pejabat atau pegawai
yang ditunjuk sebagai pengelola Pembiayaan.
5. Sistem informasi manajemen Restrukturisasi Pembiayaan, antara lain berupa
laporan berkala mengenai perkembangan penanganan Pembiayaan yang
direstrukturisasi.100
Pihak bank selanjutnya menunjuk petugas atau staf khusus yang berwenang
mendata dan menyelesaikan perselisihan akibat tidak terlaksananya kewajiban yang
100

Marlina dan Samsul Bahri, Kepala Kantor Pusat Operasional dan Kepala Bagian
Penyelesaian Sengketa BPR Mustaqim Sukamakmur di Lampeneurut, Wawancara Tanggal 13 dan 14
Juni 2016

Universitas Sumatera Utara

97

diatur dalam akad pembiayaan. Staf bagian penyelesaian tunggakan pembiayaan
tersebut kemudian akan melakukan pendataan terhadap pembiayaan yang bermasalah.
Adapun mekanisme yang dilakukan adalah :
1. Permohonan debitur, pemohonan pengajuan restrukturisasi diajukan oleh
debitur ke Bank BPR Mustaqima Sukamakmur.
2. Analisis permohonan dan verifikasi permohonan, Dalam tahapan ini pihak
bank melakukan pengumpulan data dan menganalisis data-data yang dimiliki
oleh debitur yang mengajukan permohonan. Tahapan ini juga meliputi
wawancara dengan debitur untuk mengetahui kondisi keuangan dari debitur
maupun kondisi usaha debitur yang sebenarnya serta untuk melakukan
perlakuan pendekatan debitur.
3. Negoisasi, Tahapan ini dilakukan untuk memperoleh kesepakatan antara
debitur dengan bank mengenai pola penyelesaian tunggakan melalui
restrukturisasi yang akan dilakukan serta menyampaikan penyelesaian analisis
yang telah dilakukan.
4. Putusan, dimana putusan ini untuk memberi kepastian apakah permohonan
yang diajukan disetujui atau ditolak. Setelah adanya putusan ini maka
restrukturisasi kredit yang akan diajukan dapat dilaksanakan.

Universitas Sumatera Utara

98

Restrukturisasi pembiayaan dituangkan dalam addendum akad pembiayaan
dan/atau melakukan pembiayaan yang baru mengikuti karateristik masingmasing bentuk pembiayaan.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud juga diterapkan dalam hal dilakukan
Restrukturisasi Pembiayaan yang kedua dan ketiga.101
Adapun bentuk atau tata cara penyelesaian tunggakan pembiayaan melalui
restrukturisasi yang selama ini dilaksanakan oleh Bank BPR Mustaqim Sukamur pada
dasarnya adalah sama pada keseluruhan jenis pembiayaan. Namun sebagai contoh
diuraikan mengenai retrukturisasi pembiayaan murabahah sebagai berikut.
Pembiayaan dalam bentuk piutang murabahah dilakukan penyelesaian
tunggakan melalui restrukturisasi dengan cara:
a. Penjadwalan kembali (rescheduling). Restrukturisasi dilakukan dengan
memperpanjang jangka waktu jatuh tempo Pembiayaan tanpa mengubah sisa
kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada bank.
b. Persyaratan kembali (reconditioning). Restrukturisasi dilakukan dengan
menetapkan kembali syarat–syarat Pembiayaan antara lain perubahan jadwal
pembayaran, jumlah angsuran, jangka waktu dan/atau pemberian potongan
sepanjang tidak tidak menambah sisa kewajiban nasabah yang harus
dibayarkan kepada bank.

101

Marlina dan Samsul Bahri, Kepala Kantor Pusat Operasional dan Kepala Bagian
Penyelesaian Sengketa BPR Mustaqim Sukamakmur di Lampeneurut, Wawancara Tanggal 13 dan 14
Juni 2016

Universitas Sumatera Utara

99

c. Penataan kembali (restructuring) dengan melakukan konversi piutang
murabahah atau piutang istishna’ sebesar sisa kewajiban nasabah menjadi
ijarah muntahiyyah bittamlik atau mudharabah atau musyarakah. Konversi
piutang dimaksud dilakukan sebagai berikut:
1) Bank menghentikan akad Pembiayaan dalam bentuk piutang murabahah
atau piutang istishna’ dengan memperhitungkan nilai wajar obyek
murabahah atau istishna’. Dalam hal terdapat perbedaan antara jumlah
kewajiban nasabah dengan nilai wajar obyek murabahah atau istishna’,
maka diakui sebagai berikut:
a)

apabila nilai wajar lebih kecil daripada jumlah kewajiban nasabah,
maka BPRS mengakui kerugian sebesar selisih tersebut;

b) apabila nilai wajar lebih besar daripada jumlah kewajiban nasabah,
maka selisih nilai tersebut diakui sebagai uang muka ijarah
muntahiyyah bittamlik atau menambah porsi modal nasabah untuk
musyarakah atau mengurangi porsi modal mudharabah dari BPRS.
2) Obyek murabahah atau istishna’ sebelumnya menjadi dasar untuk
pembuatan akad pembiayaan baru.
3) Bank melakukan akad Pembiayaan baru dengan mempertimbangkan
kondisi nasabah antara lain jenis usaha, dan kemampuan membayar (cash
flow) nasabah. Pembuatan akad Pembiayaan baru dalam rangka
restrukturisasi mengikuti ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur

Universitas Sumatera Utara

100

dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaksanaan
prinsip syariah.
4) BPRS mencantumkan kronologis akad Pembiayaan sebelumnya dalam
akad Pembiayaan baru.
Sisa kewajiban nasabah dalam restrukturisasi piutang murabahah atau piutang
istishna’ sebagaimana dimaksud dalam butir VI.1 huruf a, huruf b, dan huruf c
merupakan jumlah pokok dan margin yang belum dibayar oleh nasabah pada saat
dilakukan restrukturisasi.102
Dalam pelaksanaan restrukturisasi ini bank syariah dapat mengenakan ganti
rugi (ta’widh) kepada nasabah dalam rangka restrukturisasi pembiayaan. Ganti rugi
ditetapkan sebesar biaya riil yang dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang
seharusnya dibayarkan oleh nasabah dan bukan potensi kerugian yang diperkirakan
akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss/alfurshah al-dha-i’ah). Perubahan–perubahan yang disepakati antara bank dengan
nasabah dalam restrukturisasi pembiayaan, termasuk penetapan ganti rugi harus
dituangkan dalam addendum akad Pembiayaan.103
Lebih

lanjut

apabila

penyelesaian

pembiayaan

bermasalah

melalui

restrukturisasi pembiayaan dilakukan secara menyeluruh atau restrukturisasi
Pembiayaan dilakukan melalui konversi akad maka harus dibuat akad Pembiayaan

102

Marlina dan Samsul Bahri, Kepala Kantor Pusat Operasional dan Kepala Bagian
Penyelesaian Sengketa BPR Mustaqim Sukamakmur di Lampeneurut, Wawancara Tanggal 13 dan 14
Juni 2016.
103
Munzir, Staf Bagian Pembiayaan Bank BPR Mustaqim Sukamakmur Medan, 15 Juni 2016

Universitas Sumatera Utara

101

baru. Dalam hal ini, pihak nasabah juga dikenakan ketentuan dan pembiayaan
adminitrasi sebagaimana layaknya pembuatan akad pembiayaan baru. Hal ini
disebabkan karena restrukturisari yang dilakukan tidak sebatas klausul tertentu saja
seperti halnya addendum tetapi mengganti akad atau mengkonversi akad yang dibuat
sebelumnya dengan yang baru.104
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa mekanisme pembuatan adendum
akad pada restrukturisasi pembiayaan pada bank syariah dilakukan dengan cara
penjadwalan kembali (reschuduling) angsuran yang tertunggak dengan jangka waktu
maupun nilai angsuran yang baru. Pembuatan addendum yang dilakukan tidak
melalui pembuatan akad yang baru tetapi dengan melakukan perubahan dalam salah
satu klausul akat yang telah dibuat sebelumnya, seperti klausul tentang jangka waktu
berlakunya akad, klausul jumlah pembiayaan atau kewajiban pembayaran angsuran
maupun terhadap berbagai klausul lainnya yang sangat tergantung pada penyebab
terjadinya restrukturisasi.

104

David Maulana, Staf Bagian Pembiayaan Bank BPR Mustaqim Sukamakmur di
Lampeneurut, 15 Juni 2016

Universitas Sumatera Utara

102

BAB IV
AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL DARI ADDENDUM TERHADAP
AKAD PEMBIAYAAN PADA BPR MUSTAQIM SUKAMAKMUR

A. Pengertian Tanggung Jawab dan Pengaturannya
Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan
yang disengaja maupun yang tidak di sengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat
sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Secara harafiah dapat diartikan
sebagai keadaan wajib menanggung segala sesuatunya jika terjadi apa-apa boleh
dituntut, dipersalahkan, diperkarakan atau juga berarti hak yang berfungsi menerima
pembebanan sebagai akibat sikapnya oleh pihak lain.105 Tanggung jawab menurut
kamus umum Bahasa Indonesia adalah, keadaan wajib menanggung segala
sesuatunya. Sehingga bertanggung jawab menurut kamus Bahasa Indonesia adalah
berkewajiban menanggung, memikul jawab, menanggung segala sesuatunya, atau
memberikan jawab dan menanggung akibatnya.
Sugeng Istanto mengartikan tanggung jawab sari sudut pandang pertanggung
jawaban, di mana ia menyatakan bahwa :
Pertanggungjawaban berarti kewajiban memberikan jawaban yang merupakan
perhitungan atas semua hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan
pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkannya. Menurut hukum
internasional pertanggungjawaban negara timbul dalam
hal negara itu
merugikan negara lain. Pertanggungjawaban negara dibatasi pada
pertanggungjawaban atas perbuatan yang melanggar hukum internasional saja.
Perbuatan suatu negara yang merugikan negara lain tetapi tidak melanggar
hukum internasional tidak menimbulkan pertanggungjawaban. Misalnya
105

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1992, hal. 1006.

102
9
Universitas Sumatera Utara

103

perbuatan negara menolak seorang warga negara asing yang masuk ke dalam
wilayah negaranya.106
Pertanggungjawaban negara dimaksud mengandung kewajiban dalam bagian
dari suatu negara untuk memperbaiki kerusakan yang dihasilkan dari sebuah serangan
yang dilakukan dalam wilayah yurisdiksinya dan melawan anggota lainnya dari
komunitas internasional. Jika dikaitkan dengan tanggung jawab dalam sebuah
perjanjian jelaslah bahwa pertanggung jawaban dimaksud mengandung arti bahwa
para pihak yang melahirkan perjanjian dimaksud bertanggung jawab atas berbagai
akibat hukum yang timbul akibat perjanjian yang dibuat tersebut. Para pihak terkait
memang diakui dan dilindungi oleh hukum terhadap hak dan kewajibannya dan
harus menghormati dan mengakui hak dan kewajiban pihak lainnya dan tidak tidak
menyalahgunakan hak dan kewajibannya tersebut.
Para pihak dapat dimintai pertanggungjawaban untuk tindakan-tindakannya
yang melawan hukum akibat kelalaian-kelalaiannya. Latar belakang timbulnya
tanggung jawab ini adalah bahwa tidak ada satu pihakpun yang dapat menikmati
hak-haknya tanpa menghormati hak dari pihak lainnya dalam suatu hubungan hukum.
Setiap perbuatan atau kelalaian terhadap hak bagi pihak lain menyebabkan pihak
tersebut tersebut wajib untuk memperbaikinya atau memenuhi hak tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa manusia adalah makhluk yang
selalu mengaktivisasikan dirinya untuk bertanggung jawab apa yang sudah
dilakukannya, baik kepada hal-hal yang positif maupun kepada hal-hal yang negatif.

106

F, Soegeng Istanto, Hukum Internasional, UAJ, Yogyakarta, 1994, hal.77

Universitas Sumatera Utara

104

Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan yang
disengaja maupun yang tidak di sengaja. Pelaksanaan tanggung jawab juga berarti
berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajiban diri seseorang. Dengan kata
lain tanggung jawab merupakan wujud akan kesadaran untuk mempertanggung
jawabkan perbuatannya sendiri, mengingat bagi setiap orang jika diminta untuk
melakukannya sesuai dengan definisi tanggung jawab, maka seringkali masih merasa
sulit, merasa keberatan, bahkan ada orang yang merasa tidak sanggup jika diberikan
kepadanya suatu tanggung jawab. Kebanyakan orang mengelak bertanggung jawab,
karena jauh lebih mudah untuk “menghindari” tanggung jawab, daripada “menerima”
tanggung jawab.
Apabila dikaitkan dengan tanggung jawab dalam bidang perbankan khususnya
perbankkan syariah jelaslah bahwa tanggung jawab dimaksud adalah dalam hal
pelaksanaan tanggung jawab antara pihak bank dan pihak nasabah dalam
penyelenggaraan jasa perbankan. Pengurus bank yaitu pihak yang bertindak mewakili
badan hukum bank tersebut berdasarkan ketentuan anggaran dasar perusahaan.
Tanggung jawab pengurus bank terhadap perbuatannya menjadi dua bentuk
yakni tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab perusahaan. Ketentuan pidana
yang tercantum dalam KUHP dapat pula dijadikan sandaran dalam rangka
perlindungan nasabah. Selain itu, juga

ketentuan pidana yang tersebar dalam

perundang-undangan khusus perbankan maupun yang berkaitan dengan materi
perbankan.

Universitas Sumatera Utara

105

Menyangkut usaha untuk melindungi nasabah bank sebenarnya tidak
bergantung pada penerapan hukum perdata semata sebagaimana diharapkan melalui
sanksi dan mekanisme gugatan ganti kerugian. Ketentuan hukum lainnya seperti
hukum pidana ataupun hukum administrasi negara juga memuat ketentuan aturan
yang dapat melindungi konsumen seperti mekanisme perizinan dan pengawasan yang
diperketat. Kondisi saat ini bahkan perlindungan nasabah telah mendapatkan
perhatian yang serius dengan ditetapkannya peraturan perundang-undangan yang
mengatur, yakni Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Namun demikian tetap diperlukan suatu kehati-hatian dalam menentukan siapa yang
bertanggung jawab atas kelalaian atau kesalahan yang telah terjadi pengelolaan atau
pengurusan bank sehingga terjadi suatu kerugian dialami oleh para nasabah.
Selanjutnya dalam kaitannya dengan penyaluran kredit dan pembiayaan
mengenai tanggung jawab para pihak dalam perjanjian kredit atau akad pembiayaan
secara khusus tertuang dalam perjanjian atau akad yang dibuat oleh bank selaku
kreditur dan pihak nasabah selaku debitur.
B. Tanggung Jawab dari Para Pihak Terkait Dengan Adanya Pembuatan
Addendum Akad Pembiayaan
Perjanjian merupakan salah satu cara untuk memperoleh sesuatu yang banyak
digunakan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam melakukan kegiatan
ekonomi. Perjanjian ini harus dibuat oleh kedua belah pihak yang bertransaksi dan
perjanjian inilah yang menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. Hukum
perjanjian merupakan aspek yang memegang peranan penting di dalam pelaksanaan

Universitas Sumatera Utara

106

hukum privat, oleh karena itu Hukum Perdata Islam mempunyai peluang sangat besar
untuk diterapkan di Negara Kesatuan Republik Indonesia.107
Penerapan Hukum Perdata Islam di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia ini, didukung pula dengan jaminan kebebasan yang diberikan oleh sistem
hukum nasional Indonesia kepada setiap individu untuk menentukan sendiri hukum
yang berlaku bagi dirinya dalam menjalankan aktivitas termasuk didalamnya bidang
keperdataan. Kebebasan ini mencakup kebebasan dalam menentukan isi/materi yang
disepakati para pihak yang melakukan hubungan hukum, cara-cara pelaksanaan, serta
penyelesaiannya jika terjadi sengketa.
Perjanjian, dalam sistem hukum Indonesia, diatur dalam Buku III
KUHPerdata. Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian
adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih. Perjanjian menurut Subekti yang dikutip Agus Prawoto
adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana
dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.108
Perjanjian dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah mu’ahadah ittifa’ atau
akad. Akad merupakan cara yang diridhai Allah dan harus ditegakkan isinya, dan di
dalam Al Quran setidaknya ada dua istilah yang berkaitan dengan perjanjian yaitu

107
Abdul Ghofur Anshori, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, Citra Media,
Yogyakarta, 2006, hal. 15
108
Agus Prawoto, Hukum Asuransi dan Kesehatan Perusahaan Asuransi : Guide Line untuk
Membeli Polis Asuransi yang Tepat dari Perusahaan Asuransi yang Benar, BPFE, Yogyakarta, 1995,
hal. 35

Universitas Sumatera Utara

107

kata akad (al-aqadu) yang berarti perikatan atau perjanjian, dan kata ‘ahd (al-ahdu)
yang berarti masa, pesan, penyempurnaan dan janji atau perjanjian.109
Akad merupakan perjanjian antara kedua belah pihak yang bertujuan untuk
saling mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal, yang
diwujudkan dalam ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan) yang menunjukkan
adanya kerelaan secara timbal balik antara kedua belah pihak dan harus sesuai dengan
kehendak syariat. Ini berarti Hukum Perikatan Islam pada prinsipnya juga menganut
asas kebebasan berkontrak yang dituangkan dalam antaradhin sebagaimana diatur
dalam QS. An-Nissa ayat 29 dan Hadits Nabi Muhammad SAW, yaitu suatu
perikatan atau perjanjian akan sah dan mengikat para pihak apabila ada kesepakatan
(antaradhin) yang terwujud dalam dua pilar yaitu ijab (penawaran) dan qabul
(penerimaan).110
Adanya suatu akad mengakibatkan para pihak terikat secara syariah berupa
hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak sesuai dengan
prinsip syariah. Sahnya suatu akad menurut Hukum Islam ditentukan dengan
terpenuhinya rukun dan syarat suatu akad. Rukun adalah unsur yang mutlak harus
dipenuhi dalam suatu hal, peristiwa dan tindakan, sedangkan syarat adalah unsur yang
harus ada untuk sesuatu hal, peristiwa dan tindakan tersebut. Rukun akad yang utama
dan merupakan unsur penting dalam suatu akad/perjanjian adalah ijab dan qabul.

109

Ibid., hal. 19
Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2006hal. 206
110

Universitas Sumatera Utara

108

Adapun yang menjadi syarat dalam akad berkaitan dengan subyek akad dan
obyek akad dimaksud. Subyek akad adalah subyek hukum pada umumnya yaitu
pribadi-pribadi baik manusia maupun badan hukum yang pada dirinya terdapat
pembebanan kewajiban dan perolehan hak. Adapun syarat yang harus dipenuhi
seseorang dalam suatu akad adalah :
1. aqil (berakal/dewasa)
2. tamyiz (dapat membedakan) sebagai tanda kesadaran
3. mukhtar (bebas melakukan transaksi/bebas memilih)
Syarat seseorang dalam berakad ini berkaitan dengan syarat sahnya perjanjian
dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu kecakapan dalam membuat perikatan. Adapun
syarat obyek akad termasuk dalam hal ini yang berkaitan dengan addendum akad
adalah :
1. Telah ada pada waktu akad diadakan, obyek perikatan disyaratkan telah ada
ketika akad dilangsungkan dan sesuatu yang belum berwujud tidak boleh
dijadikan obyek akad. Hal ini disebabkan karena sebab akibat hukum akad
tidak mungkin bergantung pada sesuatu yang belum ada.
2. Dapat menerima hukum akad/dibenarkan oleh syariah, obyek dari perikatan
merupakan barang/jasa yang dibenarkan oleh syariah untuk ditransaksikan,
dan sesuatu yang tidak dapat menerima hukum akad tidak dapat menjadi
obyek akad.
3. Dapat ditentukan dan diketahui, obyek akad harus diketahui dengan jelas
fungsi, bentuk dan keadaannya oleh para pihak.

Universitas Sumatera Utara

109

4. Dapat

diserahkan

diserahterimakan

pada
secara

waktu
nyata

akad
untuk

terjadi,
benda

obyek

harus

dapat

berwujud

atau

dapat

dirasakan manfaatnya untuk obyek berupa jasa, serta obyek tersebut
benar-benar di bawah kekuasaan yang sah dari pihak yang berakad.
Obyek ini telah wujud, jelas dan dapat diserahkan pada saat terjadinya
akad.
Apabila dikaitkan dengan syarat sahnya perjanjian secara syariah atau akad
pembiayaam adalah sebagai berikut :111

1. Tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati adanya, syarat ini
mengandung pengertian setiap orang pada prinsipnya bebas membuat
perjanjian tetapi kebebasan itu ada batasannya yaitu tidak boleh bertentangan
dengan syariah Islam baik yang terdapat dalam Alquran maupun Hadist.
Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka akan mempunyai konsekuensi yuridis
perjanjian yang dibuat batal demi hukum. Syarat sahnya perjanjian ini
menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam
Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan kausa halal.
2. Harus sama ridha dan ada pilihan, syarat ini men