Analisis Yuridis Kedudukan Hukum Penanggung Dalam Pengikatan Jaminan Perorangan Pada BPR Duta Adiarta

(1)

ANALISIS YURIDIS KEDUDUKAN HUKUM PENANGGUNG

DALAM PENGIKATAN JAMINAN PERORANGAN

PADA BPR DUTA ADIARTA

TESIS

Oleh

FAHRIAL RAMADHANI

087011043/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS YURIDIS KEDUDUKAN HUKUM PENANGGUNG

DALAM PENGIKATAN JAMINAN PERORANGAN

PADA BPR DUTA ADIARTA

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

FAHRIAL RAMADHANI

087011043/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul : ANALISIS YURIDIS KEDUDUKAN HUKUM

PENANGGUNG DALAM PENGIKATAN JAMINAN

PERORANGAN PADA BPR DUTA ADIARTA

Nama : Fahrial Ramadhani

NIM : 087011043

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn) Ketua

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) Anggota

(Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum) Anggota

Mengetahui:

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

Telah Diuji Pada

Tanggal : 19 Januari 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn

Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum

3. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum


(5)

ABSTRAK

Tujuan Hukum Jaminan adalah untuk melindungi kedudukan kreditur dalam menjalankan aktifitasnya. Begitu pula pada Jaminan Perorangan, hadirnya penjamin (personal guarantor) semata-mata untuk kepentingan kreditur dan Undang-Undang telah tegas mengatur perlindungan hukum kepada Kreditur sebagai pemberi kredit yang biasanya dalam skala yang cukup besar dan penuh resiko . Oleh karenanya, seseorang yang dengan sadar meletakkan dirinya dalam posisi penanggung harus benar-benar mengetahui apa saja yang menjadi akibat hukum serta kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan timbul terhadap dirinya termasuk menjadi pailit sehubungan dengan kedudukanya menjadi personal guarantor.

Jenis penelitian Penelitian yang dilakukan adalah yuridis normatif, dengan mempertimbangkan titik tolak penelitian terhadap peraturan perundang-undangan dengan mengaitkan dengan “Analisis Yuridis Kedudukan Hukum Penanggung dalam Pengikatan Jaminan Perorangan Pada BPR Duta Adiarta”. Pendekatan yuridis digunakan dengan maksud untuk mengetahui hal-hal yang mempengaruhi proses bekerjanya hukum dalam pelaksanaan perjanjian perorangan (borgtocht) mengadakan pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku, dokumen-dokumen dan berbagai teori. Pendekatan yuridis normatif dalam penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan tema penelitian, yang meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, peraturan-peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah yang dapat menganalisa permasalahan.

Semangkin berkembangnya penggunaan personal guarantor dalam dunia perbankan juga membuat kedudukan personal guarantor semakin dituntut kehadirannya untuk pencairan dana pinjaman khususnya bagi debitur yang mempunyai kredibilitas tinggi dan menjadikan kedudukan personal guarantor sejajar denganjaminan lainnya sehingga perlunya lembaga publisitas dalam jaminan ini.


(6)

ABSTRACT

The purpose of Law of Guarantee is to protect the position in carrying out his activities. Like what occurs in individual guarantee, the involvement of personal guarantor is simply to meet the interest of creditor and the legislation has clearly regulated a legal protection for creditor as someone providing big and risky credits. Therefore, someone who consciously puts himself in the position of personal guarantor must realize what legal consequence and worst possibilities may occur to himself including bankruptcy.

This normative juridical study was conducted by considering the regulation of legislation and related it to Juridical Analysis of the Legal Position of Guarantor in a Binding Individual Guarantee at BPR Duta Adiarta. This study Employed juridical approach to find out the things influencing the legal working process in the implementation of individual agreement (borgtocht) by studying the existing regulations of legislation, documents, theories, related literatures, legal principles, legal resources that could be used in scientifically analyzing the problems studied.

The more increasing the involvement of personal guarantors in the banking world, the more demanding their presence in credit extension especially for the debtor with high credibility that makes the position of personal guarantor equal to the other guarantee that it is necessary to establish a public institution for this guarantee.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Subhana Wata’ala yang telah memberikan Rahmat dan HidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini, dengan judul : Analisis Yuridis Kedudukan Hukum Penanggung dalam Pengikatan Jaminan Perorangan pada BPR Duta Adiarta.

Pada kesempatan ini saya sampaikan penghargaan dan terima kasih yang sedalam-dalamnya, kepada yang amat terhormat dan terpelajar, Bapak Syahril Sofyan, SH, MKn Selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, Ibu Dr. T. Keizerina Devi. A, SH, CN, MHum, masing-masing selaku anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan pengarahan, nasehat serta bimbingan kepada saya dalam penulisan tesis ini.

Akhirnya saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulisan tesis ini, serta tidak lupa kepada rekan-rekan peserta seminar yang memberikan kritik dan saran guna kepentingan penyempurnaan penulisan tesis ini.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. DR. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA (K), selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(8)

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 4. Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Studi Magister

Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis sampai kepada tingkat Magister Kenotariatan (M.Kn).

Medan, Januari 2011 Penulis,


(9)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Fahrial Ramadhani Tempat / Tanggal Lahir : Medan/ 13 Juli 1982

II. ORANG TUA

Nama Ayah : (Alm) Amiruddin Bs Nama Ibu : Hj. Syarifah M

Nama Suami : Zulchairi Pahlawan, SH Nama Anak : Zeid Fachri Pahlawan

III.PENDIDIKAN

SD SWASTA TUNAS KARTIKA I SMP NEGERI 18 MEDAN

SMA NEGERI 15 MEDAN

SI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

S2 MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian ... 10

F. Kerangka Teori ... 11

1. Kerangka Teori ... 11

2. Konsepsi ... 13

G. Metode Penelitian ... 15

BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN ... 20

A. Penanggungan Adalah Perjanjian... 20

B. Bila Penanggung Kehilangan Kecakapan Bertindak Dalam Perjanjian Penanggungan ... 82

C. Hubungan Antara Kepailitan dan Guarantor... 87

D. Dapatkah Seorang Borg/ Penjamin / Guarantor Dipailitkan... 88

BAB III MENGAPA ASAS PUBLISITAS ITU PERLU ... 92


(11)

B. Asas Publisitas Dalam Borgtocht ... 94

BAB IV AKIBAT PENANGGUNGAN HUTANG PADA BPR DUTA ADIARTA ... 107

A. BPR Duta Adiarta ... 107

B. Terhadap Kreditur, Debitur dan Penjamin ... 107

C. Jaminan Perorangan pada BPR Duta Adiarta ... 116

D. Hambatan-Hambatan yang Muncul Dalam Praktek Perjanjian Penanggungan dan Upaya Penyelesaiannya ... 131

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 138

A. Kesimpulan ... 138

B. Saran ... 139


(12)

ABSTRAK

Tujuan Hukum Jaminan adalah untuk melindungi kedudukan kreditur dalam menjalankan aktifitasnya. Begitu pula pada Jaminan Perorangan, hadirnya penjamin (personal guarantor) semata-mata untuk kepentingan kreditur dan Undang-Undang telah tegas mengatur perlindungan hukum kepada Kreditur sebagai pemberi kredit yang biasanya dalam skala yang cukup besar dan penuh resiko . Oleh karenanya, seseorang yang dengan sadar meletakkan dirinya dalam posisi penanggung harus benar-benar mengetahui apa saja yang menjadi akibat hukum serta kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan timbul terhadap dirinya termasuk menjadi pailit sehubungan dengan kedudukanya menjadi personal guarantor.

Jenis penelitian Penelitian yang dilakukan adalah yuridis normatif, dengan mempertimbangkan titik tolak penelitian terhadap peraturan perundang-undangan dengan mengaitkan dengan “Analisis Yuridis Kedudukan Hukum Penanggung dalam Pengikatan Jaminan Perorangan Pada BPR Duta Adiarta”. Pendekatan yuridis digunakan dengan maksud untuk mengetahui hal-hal yang mempengaruhi proses bekerjanya hukum dalam pelaksanaan perjanjian perorangan (borgtocht) mengadakan pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku, dokumen-dokumen dan berbagai teori. Pendekatan yuridis normatif dalam penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan tema penelitian, yang meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, peraturan-peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah yang dapat menganalisa permasalahan.

Semangkin berkembangnya penggunaan personal guarantor dalam dunia perbankan juga membuat kedudukan personal guarantor semakin dituntut kehadirannya untuk pencairan dana pinjaman khususnya bagi debitur yang mempunyai kredibilitas tinggi dan menjadikan kedudukan personal guarantor sejajar denganjaminan lainnya sehingga perlunya lembaga publisitas dalam jaminan ini.


(13)

ABSTRACT

The purpose of Law of Guarantee is to protect the position in carrying out his activities. Like what occurs in individual guarantee, the involvement of personal guarantor is simply to meet the interest of creditor and the legislation has clearly regulated a legal protection for creditor as someone providing big and risky credits. Therefore, someone who consciously puts himself in the position of personal guarantor must realize what legal consequence and worst possibilities may occur to himself including bankruptcy.

This normative juridical study was conducted by considering the regulation of legislation and related it to Juridical Analysis of the Legal Position of Guarantor in a Binding Individual Guarantee at BPR Duta Adiarta. This study Employed juridical approach to find out the things influencing the legal working process in the implementation of individual agreement (borgtocht) by studying the existing regulations of legislation, documents, theories, related literatures, legal principles, legal resources that could be used in scientifically analyzing the problems studied.

The more increasing the involvement of personal guarantors in the banking world, the more demanding their presence in credit extension especially for the debtor with high credibility that makes the position of personal guarantor equal to the other guarantee that it is necessary to establish a public institution for this guarantee.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bank sebagai lembaga keuangan disamping menjalankan fungsi pengarahan (memobilisasi) dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, bank juga menjalankan fungsi sebagai lembaga kredit sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan pasal 6 huruf b dan huruf m Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 10 tahun 19981.

Seiring dengan perkembangan ekonomi, kebutuhan akan kredit meningkat, untuk itu perlu adanya jaminan bagi pemberi kredit tersebut, demi keamanan modal dan kepastian hukum2. Sebagaimana yang diketahui bahwa unsur esesnsial dari kredit bank adalah adanya kepercayaan dari bank sebagai kreditur terhadap nasabah peminjam sebagai debitur. Prinsip kepercayaan atau disebut juga fiduciary relationship. Prinsip tersebut diperlukan dalam hubungan timbal balik3. Kepercayaan tersebut timbul karena dipenuhinya segala ketentuan dan persyaratan untuk memperoleh kredit bank oleh debitur antara lain : jelasnya peruntukan kredit, adanya benda jaminan atau agunan, dan lain-lain4.

1

Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, (Jakarta: Gramedia Pusaka Utama, 2008) halaman ix

2

Thomas Soebroto, Tanya Jawab Hukum jaminan Hipotek fiducia Penanggungan dan Lain-lain, (Semarang: Dahara Prize, 1994), halaman 1.

3

Try Widiyono, Aspek Hukum Oprasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia,

(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2006), halaman 13 4

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2005 ) halaman 56


(15)

Makna dari kepercayaan tersebut adalah adanya keyakinan dari bank sebagai kreditur bahwa kredit yang diberikan akan sungguh-sungguh akan diterima kembali dalam jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan5. Oleh karena itu bank dalam memberikan kredit harus melaksanakannya berdasarkan analisis pemberian kredit yang memadai, agar kredit yang diberikan oleh bank itu tidak mudah menjadi kredit macet. Apabila kredit yang diberikan suatu bank banyak mengalami kemacetan, sudah barang tentu akan melumpuhkan kemampuan bank dalam melaksanakan kewajibannya terhadap para penyimpan dana. Kemampuan bank untuk dapat membayar kembali simpanan dana masyarakat banyak tergantung pula dari kemampuan bank untuk memperoleh pembayaran kredit yang diberikan oleh bank tersebut kepada para nasabah debiturnya6. Disisi lain, pada saat masyarakat menyimpan dananya atau meminta layanan jasa-jasa perbankan harus percaya bahwa dana yang disimpan pada bank tidak hilang atau pemanfaatan jasa-jasa perbankan oleh masyarakat dapat terlaksana dengan baik dan menguntungkan7.

Adanya kemudahan dalam jaminan kredit ini merupakan realisasi dari perbankan yang berasaskan demokrasi ekonomi dengan fungsi utamanya sebagai penghimpun, dan penyalur dana masyarakat. Seiring dengan itu, karena kredit yang diberikan bank mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanannya bank harus

5

Hermansyah, Loc cit . 6

Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, (Jakarta: Gramedia Pusaka Utama, 2008), halaman x

7

Try Widiyono, Aspek Hukum Oprasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia,


(16)

memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat8. Maka dalam rangka pemberian kredit bank menuntut nasabah debitur untuk memberikan jaminan (agunan). Jaminan (warranties) merupakan penegasan dari debitur untuk melaksanakan kewajiban untuk melakukan (tindakan positif) atau tidak melakukan (tindakan negatif) yang sudah ditentukan dalam perjanjian9.

Dalam kata lain bahwa, jaminan ini juga merupakan semacam “pelindung” kerugian10. Pada umumnya jaminan yang digunakan merupakan jaminan yang bersifat kebendaan yaitu adanya benda tertentu yang dijadikan jaminan (zakelijk). Pada prinsipnya, ilmu hukum tidak membatasi kebendaan yang dijadikan jaminan, hanya saja kebendaan tersebut haruslah merupakan milik dari pihak yang memberikan jaminan kebendaan tersebut11. Menurut Soebekti, jaminan yang ideal (baik) tersebut terlihat dari 12:

1. Dapat secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang memerlukan.

2. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) sipenerima kerdit untuk melakukan (meneruskan) usahanya.

8

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, ( Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), halaman 246

9

Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, (Jakarta: Alfabeta, 2003) halaman 122

10

Jopie Jusuf, Kiat Jitu Memperoleh kredit Bank, (Jakarta: Elex Media Komputerindo, 2003) , halaman 95

11

Gunawan Widjaya & Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta: Rajawali Pers , 2000) halaman 80.

12

Soebekti, Jaminan-jaminan Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, ( Bandung: Alumni,1986) halaman 29.


(17)

3. Memberikan kepastian kepada kreditur dalam arti bahwa yaitu bila perlu mudah diuangkan untuk melunasi hutangnya sidebitur. Jaminan kebendaan (agunan) pemberian kredit bank tersebut pada hakikatnya berfungsi untuk menjamin kepastian akan pelunasan hutang debitur jika debitur cidera janji atau dinyatakan pailit.

Dalam suatu perjanjian kredit, pihak kreditur perlu untuk mengantisipasi kemungkinan debitur tidak dapat membayar utangnya sehingga pihak kreditur, misalnya bank dalam memberikan kredit atau utang selalu mensyaratkan adanya jaminan. Hal ini perlu untuk mencegah atau mengurangi resiko kerugian yang mungkin akan dialami kreditur13.

Definisi tentang jaminan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ternyata tidak dirumuskan secara tegas, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya memberikan perumusan jaminan secara umum yang diatur dalam pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu segala kebendaan seseorang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Namun jaminan secara umum ini masih dirasakan kurang memadai oleh kreditur sehingga seringkali kreditur meminta diberikan jaminan khusus. Jaminan khusus dapat berupa jaminan kebendaan dan jaminan perorangan (borgtocht).

13


(18)

Pada jaminan kebendaan, si debitur/yang berhutang memberi jaminan benda kepada kreditur, sebagai jaminan atas hutang yang dipinjam debitur14. Jadi apabila debitur tidak membayar hutangnya pada saat jatuh tempo maka pihak kreditur dapat menuntut eksekusi atas benda yang telah dijaminkan oleh debitur tersebut untuk melunasi hutangnya. Sedangkan dalam jaminan perorangan atau borgtocht ini jaminan yang diberikan oleh debitur bukan berupa benda melainkan berupa pernyataan oleh seorang pihak ketiga (penjamin/guarantor) yang tak mempunyai kepentingan apa-apa baik terhadap debitur maupun terhadap kreditur, bahwa debitur dapat dipercaya akan melaksanakan kewajiban yang diperjanjikan; dengan syarat bahwa apabila debitur tidak melaksanakan kewajibannya maka pihak ketiga itu bersedia untuk melaksanakan kewajiban debitur tersebut15.

Dengan adanya jaminan perorangan maka pihak kreditur dapat menuntut kepada penjamin untuk membayar hutang debitur bila debitur lalai atau tidak mampu untuk membayar hutangnya tersebut. Dalam kenyataannya adanya penjamin dalam perjanjian kredit tidak merupakan jaminan bahwa perjanjian kredit tersebut terhindar dari kemungkinan wanprestasi dari pihak debitur.

Kecendrungan adanya lembaga jaminan dan hukum jaminan moderen ditandai dengan adanya konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit dengan jaminan, atau pun dengan jaminan benda yang akan dibeli adalah hal yang saat ini sedang berkembang pesat, tetapi untuk pinjaman yang bersekala besar yaitu

14

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Alumni 1982), halaman 315.


(19)

diangka ratusan juta perlu adanya jaminan perorangan yang melengkapi jaminan atas benda 16.

Jaminan perorangan merupakan jaminan yang pelaksanannya didasarkan atas faktor psikologis dan bonafiditas yaitu persoonlijke borg atau jaminan orang lain. Sifat jaminan ini mempunyai latar belakang kepercayaan dan bonafiditas, baik dari peminjam ataupun pihak penjamin sendiri17.

Jaminan Penanggungan adalah jaminan yang bersifat perorangan yang menimbulkan hubungan langsung dengan orang tertentu. Jaminan yang bersifat perorangan ini hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu. Disisi lain ada peraturan hukum yang mempunyai kedudukan setaraf antara perjanjian borgtocht yang diatur dalam KUHDagang yang merupakan lex specialist,diatur dalam pasal 131 KUHDagang yang menyebutkan bahwa perikatan Avalist berrdiri sendiri lepas dari perikatan pokoknya. Disitulah letak perbedaan Avalist dengan Borgtocht yang akan tetap asessoir dengan perikatan pokoknya

Setelah tahun 1998 tanggung jawab para personal guarantor sudah semakin dikenal di pengadilan, karena dalam beberapa kasus pengadilan niaga ada personal guarantor yang dinyatakan pailit, jadi artinya pertanggung jawaban seorang personal

16

Kasus Grup Djajanti dan Bank Mandiri Terkait Personal Guarantee?, http://www.wartaekonomi.com diakses tanggal 6 Mei 2010.

17

R. Tjiptoadinugroho, Perbankan Masalah Perkreditan (Penghayatan, Analisis dan Penuntutan),(Jakarta: Pradnya Paramita, 1971) halaman 66


(20)

guarantor terhadap kegagalan debitur utama melunasi hutang ke bank membuat bank cukup beralasan untuk mengejar personal guarantor18.

Ketentuan mengenai jaminan pribadi/perorangan termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Buku III, Bab XVII Pasal 1820 sampai dengan pasal 1850, mengenai penanggungan hutang. Penanggungan adalah suatu perjanjian dimana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berhutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perutangan siberhutang, manakala siberhutang itu cidera janji. Pasal 1820 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa suatu penanggungan hutang adalah suatu persetujuan dimana pihak ketiga, untuk kepentingn kreditur , jika debitur tersebut tidak memenuhinya. Penanggungan dapat timbul untuk menjamin perutangan yang timbul dari segala macam hubungan hukum yang lazimnya bersifat keperdataan, namun dapat pula untuk menjamin pemenuhan prestasi yang dapat dinilai dengan uang, yang lahir dari hubungan hukum publik19.

Istilah jaminan perseorangan ini disebut juga jaminan imateriil, yaitu jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya20. Dengan adanya jaminan perorangan ini memberikan kesempatan yang begitu luas terhadap pelaku bisnis untuk mendapatkan pinjaman bersekala besar demi terwujudnya pembangunan ekonomi, tetapi banyak sekali hal-hal yang perlu

18

Kasus Grup Djajanti dan Bank Mandiri Terkait Personal Guarantee?, diakses dari http://www.wartaekonomi.com tanggal 6 Mei 2010.

19

R. Tjiptoadinugroho,Op cit, halaman 167 20


(21)

diperhatikan dalam pemberian jaminan pribadi ini, karena berkaitan dengan pihak ketiga yang pada prinsipnya tidak memiliki kaitan secara kausalitas jika dilihat secara kasat mata.

Disisi lain adanya penanggungan itu dikaitkan dengan perjanjian pokok , mengabdi pada perjanjian pokok. Maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian penanggungan ini bersifat accessoir21. Dalam kedudukannya sebagai perjanjian yang bersifat accessoir maka perjanjian penanggungan, seperti halnya perjanjian-perjanjian

accessoir yang lain fidusia, gadai dan lain-lain, akan memperoleh akibat hukum tertentu :

1. Adanya perjanjian penanggungan tergantung pada perjanjian pokok.

2. Jika perjanjian pokok itu batal maka perjanjian penanggungannya ikut batal. 3. Jika perjanjian pokok itu hapus, perjanjian penanggungan ikut hapus

4. Dengan diperlihatkannya piutang pada perjanjian pokok maka semua perjanjian-perjanjian accesoir yang melekat pada piutang tersebut akan ikut beralih.

Dengan melihat defenisi diatas artinya borgtocht mengikuti perjanjian pokok, Dengan begitu menimbulkan pertanyaan terhadap asas publisitas perjanjian tersebut. Dan penanggung dalam borgtocht biasanya adalah orang yang dikenal baik dan dianggap mampu menanggung, sejauh apa kewajiban yang diberikan kepada

21

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok hukum Jaminan dan Jamin Perorangan, (Yogyakarta: , Badan Pembinaan Nasional Departemen Kehakiman, 1980), halaman 81


(22)

penanggung dalam menanggung hutang-hutang tertanggung. Bisa jadi secara keseluruhan atau sebahagian.

Seiring dengan perkembangan perekonomian di Indonesia, sejak krisis ekonomi tahun 1997, konsentrasi pemerintah mulai kepada sektor perekonomian mikro, yang lebih menyentuh kepada mayoritas perekonomian masyarakat Indonesia. Oleh karena itu pula saat ini eksistensi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) semangkin berkembang. Sejalan dengan itu pula banyak bermunculan BPR baru yang sangat diterima dengan baik oleh masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah BPR Duta Adiarta. Yang selanjutnya keterangan tentang BPR Duta Adiarta akan diuraikan pada BAB berikutnya. Hal inilah yang melatar belakangi tulisan ini dengan Judul “Analisis Yuridis Kedudukan Hukum Penanggung dalam Pengikatan Jaminan Perorangan Pada BPR Duta Adiarta”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut diatas, titik sentra yang penulis coba untuk dibahas adalah :

1. Bagaimana kedudukan hukum bila penanggung kehilangan kecakapan bertindak dalam perjanjian borgtocht ?

2. Mengapa azas publisitas perlu diterapkan dalam perjanjian borgtocht? 3. Bagaimana tanggung jawab penanggung terhadap tertanggung pada


(23)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penulisan tesis ini adalah, agar dapat memberikan penjelasan dan jawaban yang terperinci mengenai masalah yang dituangkan dalam rumusan masalah di atas, antara lain :

1. Untuk mengetahui implikasi hukum bila penanggung kehilangan kecakapan bertindak dalam perjanjian borgtocht

2. Untuk mengetahui, mengapa diperlukan publisitas pada perjanjian borgtocht.

3. Untuk mengetahui, batas-batas pertanggung jawaban dari penanggung dalam perjanjian borgtocht.

D. Manfaat Penelitian

Dengan penulis melakukan penelitian ilmiah ini diharapkan kelak :

1. Dapat menjawab apa saja implikasi hukum bila penanggung kehilangan kecakapan bertindak dalam perjanjian borgtocht

2. Dapat menjelaskan mengapa diperlukan publisitas pada perjanjian borgtocht.

3. Dapat mengetahui, batas-batas pertanggung jawaban dari penanggung dalam perjanjian borgtocht.

E. Keaslian Penelitian

Setelah melakukan penelusuran kepustakaan, maka diketahui belum ada tulisan yang mengangkat mengenai “Analisis Yuridis Kedudukan Hukum Penanggung dalam Pengikatan Jaminan Perorangan Pada BPR Duta Adiarta”.


(24)

Penulisan ini dilakukan berdasarkan literatur-literatur yang berkaitan dengan penanggungan perseorangan, hukum kepailitan dan pengikatan jaminan. Adapun penulisan yang mendekati penulisan ini dibuat oleh TEDDY TAUFIK, NIM 027011063, Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul “ Tanggung Jawab Penanggung Hutang (Borgtocht) terhadap Debitur Yang Ingkar Janji (wanprestasi) kepada P.T.Bank Danamon, Tbk. Permasalahan yang dibahas adalah :

1. Bagaimana Persyaratan Penanggung Hutang disetujui Bank Danamon

2. Apakah hak istimewa dari penanggung hutang masih dapat diterapkan atau berlaku dalam perjanjian penanggungan hutang pribadi.

3. Apakah setelah penaggunng hutang membayar hutang debitur dengan dieksekusi hartanya oleh pengadilan negeri atau dilelang dapat meminta pengembalian?

Jika dibandingkan dengan masalah yang diteliti sebelumnya sebagaimana yang disebutkan diatas dengan penelitian yang dilakukan ini adalah berbeda. Oleh karena itu penulisan ini adalah sebuah karya asli dan sesuai dengan azas-azas keilmuan yang jujur, rasional, objektif, dan terbuka. Semua ini merupakan implementasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah dengan demikian penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah, keilmuan dan terbuka untuk kritisi yang sifatnya membangung.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori


(25)

Teori berasal dari kata “theoria” dalam bahasa latin yang berarti “perenungan”, menurut Soetandyo Wigjosubroto dikatakan teori adalah suatu konstruksi dialam cita atau ide manusia dibangun dengan maksud untuk menggambarkan secara reflektif fenomena yang dijumpai dialam pengalaman.22

Sedangkan kerangka teori maksudnya adalah batas-batas pengetahuan yang dapat ditelusuri dari kepustakaan terkait dengan ide/masalah penelitian.

Teori yang digunakan dalam tesis ini adalah teori keadilan. Hal tersebut sebagaimana teori etis yag dikemukakan oleh Aristoteles tentang tujuan hukum, yang dikutip dari Van Apeldoorn bahwa hukum semata-mata bertujuan untuk mewujudkan keadilan. Tujuannya adalah memberikan tiap-tiap orang apa yang patut diterimanya. Keadilan tidak boleh dipandang penyamarataan. Keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama23.

Hal ini berkaitan terhadap status penjamin / personal guarantor serta kedudukan kreditur yang harus mendapatkan kepastian hukum atas hak dan kewajibannya manakala timbulnya hal-hal diluar kesepakatan atau perjanjian yang sudah ditentukan di awal perjanjian borgtocht tersebut. Serta berkaitan dengan kedudukan para debitur yang baik secara sendiri-sendiri ataupun bersama-sama meminta haknya atas apa yang sudah diperjanjikan .

Salah satu ciri utama dalam perjanjian peorangan adalah azas prioriteit atau

azas kesamaan sesuai dengan ketentuan pada pasal 1131 dan 1132 Kitab

22

. Soetandyo Wigjosoebroto, Hukum ; Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya

23

. Van Apeldoorn,L.J Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramitha,2001) halaman 53.


(26)

Undang Hukum Perdata. Dalam artian semua orang mempunyai kedudukan yang sama terhadap pemenuhan prestasi dari debitur berkaitan dengan harta kekayaan debitur24.

2. Konsepsi

Dalam Rangka Penulisan Tesis Hukum ini, ada beberapa istilah-istilah berikut yang bermakna :

1. Borgtocht : Jaminan pribadi/jaminan perseorangan

2. Jaminan Penanggungan : Jaminan yang bersifat perorangan yang menimbulkan hubungan langsung dengan orang tertentu. Jaminan yang bersifat perorangan ini hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu. Jaminan yang bersifat perorangan ini mempunyai asas kesamaan artinya tidak membedakan piutang mana yang lebih dahulu terjadi dan piutang yang terjadi kemudian.

3. Penanggungan : Suatu perjanjian dimana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berhutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perutangan si berhutang, manakala siberhutang itu cidera janji. Pasal 1820 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa suatu pennggungan hutang adalah suatu persetujuan dimana pihak ketiga, untuk kepentingan kreditur,

24Ibid


(27)

mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, jika debitur itu tidak memenuhinya25.

Kata penanggung mempunyai kaitan dengan soal menanggung dan hal itu juga menonjolkan ciri penting yang lain yaitu bahwa disana ada sesuatu yang ditanggung akan terjadi dan ini selanjutnya menimbulkan ciri accessoir dari pada perjanjian penanggungan yang merupakan ciri khas perjanjian seperti itu 4. Kehendak : Perjanjian sebagai suatu tindakan hukum mensyaratkan adanya kehendak dan pernyataan kehendak yang ditujukan timbulnya akibat hukum tertentu, hukum mengenal beberapa cara untuk menyatakan kehendak mulai dari yang dinyatakan secara tegas-tegas sampai yang diberikan diam-diam26. Tetapi menurut pasal 1824 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan tegas menyatakan bahwa “Penanggung tidak dipersangkakan tetapi harus diadakan dengan pernyataan yang tegas”.

5. Penanggung hutang wajib : Pengertian penanggung hutang wajib adalah dimana dalam suatu perjanjian kredit diperlukan kehadiran seorang penanggung hutang dan kalau tidak ada penanggung hutang maka perjanjian kredit tersebut tidak dapat dilaksanakan.

6. Penanggung hutang sebagai pihak ketiga : Ditinjau dari perikatan yang hendak ditanggung pemenuhannya yaitu perikatan pokok antara Kreditur

25

Thomas Soebroto, Tanya Jawab Hukum jaminan Hipotek fiducia Penanggungan dan Lain-lain,( Semarang: Dahara Prize, 1994), halaman 167.

26


(28)

dengan Debitur, penjamin merupakan orang yang ada diluar perikatan tersebut oleh karenanya disebut sebagai pihak ketiga dalam perjanjian penanggungan. Dengan demikian penjamin dalam perjanjian penanggungan mempunyai kewajiban perikatan tersendiri diluar kewajiban perikatan Debitur hanya saja dengan sengaja disepakati, bahwa isi dan luasnya perikatan ditentukan oleh “ketidak mampuan debitur” dalam memenuhi prestasinya. Maka penjamin berkewajiban untuk memenuhi prestasi yang seharusnya dipenuhi oleh debitur, bahkan sampai kepada pemberian ganti kerugian.

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Metode adalah Proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecah suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia, maka metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan melakukan penelitian27. Menurut Soetrisno Hadi penelitian atau research adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah28.

27

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, halaman 6. 28


(29)

Penelitian yang dilakukan adalah yuridis normatif, dengan mempertimbangkan titik tolak penelitian terhadap peraturan perundang-undangan29 dengan mengaitkan dengan “Analisis Yuridis Kedudukan Hukum Penanggung dalam Pengikatan Jaminan Perorangan Pada BPR Duta Adiarta”.

Pendekatan yuridis digunakan dengan maksud untuk mengetahui hal-hal yang mempengaruhi proses bekerjanya hukum dalam pelaksanaan perjanjian perorangan (borgtocht) mengadakan pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku, dokumen-dokumen dan berbagai teori30. Pendekatan yuridis normatif dalam penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan tema penelitian, yang meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum31, sumber-sumber hukum32, peraturan-peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah yang dapat menganalisa permasalahan yang akan dibahas. Spesifikasi yang digunakan bersifat deskriptif analitis yaitu dimaksud untuk memberi data yang seteliti mungkin tentang suatu keadaan atau gejala-gejala lainnya33

29

Ibrahim Jonny, Teori dan Metodologi Penelitian Normatif, cetakan ketiga (Malang : Bayu media Publishing,2007) hal 39.

30

Ronny Hantijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta : Ghalia Indonesia,1990) Hal 11.

31

M.Solly Lubis, Pembahasan Undang-Undang Dasar 1945, (Bandung: Alumni,1997), halaman 89, menyatakan asas-asas hukum adalah dasar kehidupan yang merupakan pengembangan nilai-nilai yang dimasyarakatkan menjadi landasan hubungan-hubungan sesama anggota masyarakat.

32

Amiruddin a. Wahab,dkk, “Pengantar Hukum Indonesia” bahan bacaan untuk kalangan sendiri , (Banda Aceh,FH,Unsiyah) tahun 2007

33


(30)

2. Sumber data

Dalam penelitian hukum normatif, data yang diperlukan adalah data sekunder34, oleh karena itu alat pengumpulan data yang digunakan didalam penelitian ini adalah Library Research 35.

Metode deskriptif analitis dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, menafsirkan dan mentransfer dari sumber atau bahan-bahan tertulis sebagai berikut :

a. Bahan hukum primer

Yaitu bahan hukum yang merupakan peraturan perundang-undangan seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Pailit, dan peraturan-peraturan lain.

b. Bahan hukum Sekunder

Yaitu berupa buku-buku teks yang ditulis oleh para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, hasil seminar dan symposium maupun situs diinternet yang berkaitan dengan pokok pembahasan dalam tesis ini.

c. Bahan hukum tersier

Yaitu berupa petunjuk ataupun penjelasan terhadap bahan hukum permier dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum dan ensiklopedia.

34

Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum¸(Bandung : Citra Aditya Bakti,2004), halaman 21

35

Studi Kepustakaan merupakan suatu alat pengumpulan data tertulis dengan menggunakan

content analysis . Selanjutnya Lihat Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum , (Jakarta: Universitas Indonesia , UI-Perss,1986), halaman 21


(31)

Wawancara (interview),yaitu melakukan wawancara dengan informan atau nara sumber dengan menggunakan pedoman wawancara bebas agar data diperoleh langsung dari sumbernya dan lebih mendalam. Para informan yang akan diwawancarai adalah bagian hukum (Legal) di Bank khususnya pada bank Duta Adiarta.

3. Alat Pengumpulan data

Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti dilaksanakan dua tahap penelitian:

a. Studi Kepustakaan.

Studi ini untuk mencari konsep-konsep, teori-teori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan erat dengan permasalahan b. Studi Lapangan

Studi lapangan adalah cara memperoleh data yang bersifat primer.

Bahan hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas, dipaparkan, disistematisasikan, kemudian dianalisis untuk menginterpretasikan hukum yang berlaku. Akhirnya dari analisis tersebut kemudian ditarik sebuah kesimpulan yang pada dasarnya merupakan jawaban atas permasalahan pada tesisi ini.

4. Analisis data

Setelah pengumpulan data dilakukan, baik dengan studi kepustakaann dan dengan wawancara maka data tersebut dianalisa secara kualitatif36 yaitu dengan pengamatan data-data yang diperoleh dan menghubungkannya dengan

36


(32)

ketentuan maupun asas-asas hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti dengan logika induktif37 yaitu berfikir dari hal yang khusus menuju hal yang umum, dengan menggunakan perangkat normatif, yakni interpretasi dan konstruksi hukum yang selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif sehingga dapat ditarik kesimpulan dengan cara metode deduktif yang menghasilkan suatu kesimpulan yang bersifat umum terhadap permasalahan dan tujuan penelitian.

37 Ibid


(33)

BAB II

KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN A. PENANGGUNGAN ADALAH PERJANJIAN

Sesuai defenisinya, suatu “Penanggungan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya debitur, manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya”, demikianlah rumusan pasal 1820 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dari rumusan yang diberikan tersebut, bahwa dapat disimpulkan bahwa penanggungan utang memiliki beberapa unsur, yaitu :

1. Penanggungan hutang adalah suatu perjanjian, berarti sahnya suatu penanggungan utang tidak terlepas dari sahnya perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

2. Penanggung hutang melibatkan keberadaan suatu hutang yang terlebih dahulu ada. Hal ini berarti tanpa keberadaan hutang yang ditanggung tersebut, maka penanggung hutang tidak pernah ada;

3. Penanggung hutang dibuat semata-mata untuk kepentingan kreditur, dan bukan untuk kepentingan debitur;

4. Penanggung hutang hanya mewajibkan penanggung mana kala jika debitur telah terbukti tidak memenuhi kewajibannya atau prestasinya38.

38

Gunawan Widjaja & Kartini Mulyadi, Penanggungan hutang dan perikatan tanggung menanggung, (Jakarta: Rajawali Pers, tahun 2002), halaman 13.


(34)

Sebagaimana telah disebutkan bahwa penanggunga hutang merupakan perjanjian, yaitu perjanjian yang dibuat dengan seorang pihak ketiga ( jadi bukan debitur yang berkewajiban untuk memenuhi suatu perikatan yang telah ada) dengan kreditur (yang berhak untuk memenuhi perikatan oleh debitur). Sebagai suatu perjanjian, maka penanggung hutang harus dibuat sesuai dengan ketentuan pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa;

Untuk sahnya suatu perjanjian, diperlukan empat syarat ; 1. Kecakapan mereka yang mengikatkan dirinya

2. Kecakapan untuk memenuhi suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang tidak terlarang

Keempat unsur tersebut, dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam doktrin ilmu hukum digolongkan ke dalam :

1. Unsur subjektif, yang meliputi dua unsur pertama berhubungan dengan subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian, dan

2. Unsur objektif, terhadap dua unsur yang disebutkan terakhir dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berkaitan langsung dengan objek perjanjian yang dibuat.

Artinya unsur subjektif menyangkut adanya unsur kesepakatan secara bebas dari pihak-pihak yang membuat perjanjian, sedangkan unsur objektif meliputi keberadaan dari pokok-pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan causa dari obyek yang berupa kewajiban atau prestasi yang disepakati untuk


(35)

dilaksanakan tersebut, yang harus merupakan sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Tidak dipenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan (dalam hal terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif), maupun batal demi hukum, dengan pengertian bahwa perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh kreditur (jika unsur obyektif tidak dipenuhi)39. 1. Syarat subyektif

Seperti telah dikatakan diatas bahwa syarat subyektif sahnya perjanjian, digantungkan kepada dua macam keadaan:

a. Terbentuknya kesepakatan secara bebas antara para pihak yang mengadakan atau melangsungkan perjanjian

b. Adanya kecakapan dari pihak-pihak yang berjanji.

Maka berarti sah atau tidaknya penanggungan utang juga bergantung pada terpenuhi atau tidaknya dua unsur subjektif tersebut.

A. Kesepakatan Bebas

Kesepakatan bebas di antara para pihak merupakan perwujud asas konsensualitas, yang berarti bahwa segera setelah para pihak mencapai kesepakatan tentang apa yang menjadi pokok perjanjian, yang menjadi unsur esensialia dari penanggungan utang, maka sudah terbentuklah perjanjian diantara para pihak yang berjanji tersebut40. 1. Unsur Esensialia dalam Penanggungan Utang

39

Gunawan Widjaja & Kartini Mulyadi ,Op.cit halaman 14 40


(36)

2. Jika kita baca pengertian atau defenisi yang diberikan oleh Pasal 1820 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang penanggungan utang yang menyatakan, “Penanggungan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan kreditur, mengikatkan diri guna untuk memenuhi perikatannya debitur manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya”.

Akan dapat kita ketahui bahwa unsur esensialia dari suatu penanggungan utang meliputi tiga hal berikut dibawah ini41 :

a. Penanggungan utang diberikan untuk kepentingan kreditur;

b. Utang yang ditanggung tersebut haruslah suatu kewajiban, prestasi, atau perikatan yang sah demi hukum

c. Kewajiban penanggung untuk memenuhi atau melaksanakan kewajiban debitur baru ada segera setelah debitur wanprestasi;

Unsur esensial dari untuk kepentingan kreditur disini adalah mutlak untuk membedakannya dari kepentingan debitur itu sendiri. Dalam suatu perikatan yang melibatkan lebih dari satu debitur, jadi untuk melindungi kepentingan diantara para debitur, yang terjadi adalah perikatan tanggung menanggung pasif, yang diatur dalam pasal 1280 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa, ”Adalah terjadi suatu perikatan tanggung menanggung di pihaknya debitur, manakala mereka semuanya diwajibkan melakukan suatu hal yang sama, demikian bahwa salah satu dapat dituntut untuk seluruhnya, dan pemenuhan oleh salah satu membebaskan para kreditur yang lainnya terhadap kreditur”.

41


(37)

Menurut rumusan yang diberikan dalam ketentuan tersebut, para debitur secara bersama-sama mengikatkan dirinya untuk memenuhi suatu kewajiban yang sama, dengan demikian berarti siapapun yang memenuhi perikatan tersebut adalah berarti pemenuhan perikatan oleh para debitur dalam perikatan tanggung menanggung pasif tersebut42.

Esensi penanggungan utang untuk kepentingan kreditur dipertegas kembali oleh ketentuan pasal 1823 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa, ”Seorang dapat memajukan diri sebagai penanggung dengan tidak telah diminta untuk itu oleh orang untuk siapa ia mengikatkan dirinya, bahkan diluar pengetahuan orang itu”, bahkan dalam rumusan selanjutnya dalam pasal 1823 ayat (2) Kitab undang-undang Hukum Perdata dinyatakan lebih lanjut bahwa, “Adalah diperbolehkan juga untuk menjadi penanggung tidak saja untuk debitur utama tetapi juga untuk seorang penanggung orang itu”.

Dengan melihat isi pasal tersebut penulis sependapat bahwa penanggung tidak musti dan tidak harus menanggung kewajiban dari seorang debitur semata-mata, melainkan juga seorang penanggung hutang lainnya, selama penanggung tersebut diberikan untuk kepentingan dari kreditur43.

Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa , penanggung hutang hanya dapat diberikan jika telah ada terlebih dahulu suatu hutang yang harus dijamin pelunasan atau pemenuhannya oleh penanggung. Dengan demikian jelaslah bahwa unsur

42

Gunawan Widjaja & Kartini Mulyadi Op cit halaman 17. 43 Ibid,


(38)

esensialia kedua dari penanggug utang adalah bahwa utang yang ditanggung tersebut haruslah suatu kewajiban, prestasi, atau perikatan yang sah demi hukum . ketentuan pasal 1821 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata menentukan lebih jauh bahwa,” Tidak ada penanggung jika tidak ada suatu perikatan pokok yang sah”. Unsur ini membedakan dari perikatan tanggung menanggung (pasif) yang esistensinya tidak bergantung pada keabsaan suatu perikatan lain.

Perikatan tanggung menanggung sebagaimana defenisi yang diberikan adalah suatu perikatan yang berdiri sendiri dan tidak besifat assesoir sebagaimana halnya penanggung hutang yang diatur dalam pasal 1820 Kitab Undang-undang Hukum Perdata44.

Dalam hal ini perlu pula diperhatikan ketentuan pasal 1316 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa, ”Meskipun demikian adalah diperbolehkan untuk menanggung atau menjamin seorang pihak ketiga, dengan menjanjikan bahwa orang ini akan berbuat sesuatu, dengan tidak mengurangi ketentuan pembayaran ganti rugi terhadap siapa yang telah menanggung pihak ketiga tersebut atau yang telah berjanji, untuk menuruh pihak ketiga tersebut menguatkan sesuatu, jika pihak ketiga tersebut menolak untuk memenuhi perikatan itu”.

Dalam hal ini demikian berlakulah ketentuan mengenai tanggung renteng yang bersifat pasif sebagaimana diatur dalam pasal 1280 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut, ”Di pihak para debitur terjadi suatu perikatan tanggung menanggung, manakala mereka semua wajib melaksanakan suatu

44


(39)

hal yang sama, sedemikian rupa sehingga salah satu dapat dituntut untuk seluruhnya, dan pelunasan oleh salah satu dapat membebaskan debitur lainnya terhadap kreditur”.

Unsur esensialia ketiga, yang menyatakan bahwa penanggung hanya diwajibkan untuk memenuhi perikatan atau kewajiban atau prestasinya kepada kreditur berdasarkan perjanjian penanggungan utang, jika telah terbukti debitur tidak memenuhi kewajiban, prestasi atau perikatannya terhadap kreditur.

1. Unsur Naturalia dalam Penanggungan Hutang.

Unsur naturalia dalam penanggungan hutang meliputi45 :

a) Besarnya jumlah hutang yang ditanggung. Sehubungan dengan besarnya hutang yang ditanggung oleh penanggung ini, ketentuan pasal 1822 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa, ”Seorang penanggung tidak dapat mengikatkan diri untuk lebih, maupun dengan syarat-syarat yang lebih berat, dari pada perikatan debitur. Adapun penanggungan boleh diadakan untuk hanya sebagian saja dari utangnya atau dengan syarat-syarat yang kurang. Jika penanggung diadakan untuk lebih dari utangnya, atau dengan syarat-syarat yang lebih berat, maka perikatan ini tidak sama sekali batal, melainkan ia adalah sah hanya untuk apa yang diliputi oleh perikatan pokok”.

Dengan yang demikian jelaslah bahwa besarnya nilai pertanggungan dapat ditentukan secara bebas oleh para pihak, selama dan sepanjang ketentuan

45Ibid,


(40)

penangagungan tidak lebih besar dari utangnya debitur pokok46. Hal ini adalah konsekuensi dari sifat ikutan penanggungan hutang terhadap perikatan pokok. Tidak mungkin seorang penanggung dapat menanggung hutang yang tidak pernah ada, ataupun untuk sesuatu yang debitur pokok sendiri tidak telah diperjanjikan47. Walaupun demikian oleh karena ketentuan ini bukanlah unsur esensialia, maka pelanggaran terhadap ketentuan ini hanyalah dibatasi pada jumlah atau menurut ketentuan yang diperkenankan oleh undang-undang. Dengan demikian berarti penanggungan hutang tidaklah batal demi hukum, melainkan hanya sebatas tidak berlakunya ketentuan yang lebih berat tersebut48. Oleh karenanya dapat ditafsirkan bahwa penanggung hutang tetap dimintai pertanggung jawaban hanya saja dapat dibatasi.

b) Tempat pemenuhan perikatan mana kala debitur cidera janji.

Dalam hal demikian berlakulah ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 1393 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa, ”Pembayaran harus dilakukan ditempat yang ditetapkan dalam persetujuan, jika dalam persetujuan tidak di tetapkan suatu tempat, maka pembayaran mengenai suatu barang yang sudah ditentukan, harus terjadi ditempat dimana barang itu berada sewaktu persetujuan dibuat. Diluar kedua hal tersebut, pembayaran harus dilakukan ditempat tinggal kreditur, selama orang ini terus

46

Gunawan Widjaja & Kartini Mulyadi, Loc cit

47Ibid 48 Ibid


(41)

menerus berdiam dalam kersidenan, dimana dia berada sewaktu persetujuan dibuat, dan dalam hal lainnya ditempat tinggal debitur”.

c) Biaya-biaya yang harus dipenuhi sehubungan dengan pemenuhan perikatan oleh penanggung tersebut, yang dalam hal ini harus diperhatikan ketentuan pasal 1395 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi ” Biaya yang harus dikeluarkan untuk menyelenggarakan pembayaran, ditanggung oleh debitur”49.

d) Saat penanggung mulai diwajibkan untuk memenuhi perikatan berdasarkan perjanjian penanggungan hutang50. Menurut pengertian dan defenisi yang diberikan dalam pasal 1820 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa, ”Penanggung adalah suatu persetujuan dengan mana pihak ketiga, guna kepentingan kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya debitur manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya”.

Tampak bahwa kewajiban penanggung telah lahir manakala debitur cidera janji untuk tidak memenuhi kewajibannya, namun demikian jika kita perhatikan lebih lanjut ketentuan Pasal 1831 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi, ”Penanggung tidaklah diwajibkan membayar kepada kreditur, selain jika debitur lalai, sedangkan benda debitur harus terlebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi hutang”.

49

Gunawan Widjaja & Kartini Mulyadi, Lo Cit

50 Ibid


(42)

Penanggung memiliki hak istimewa. Hak istimewa penanggung ini membawa akibat hukum bahwa penanggung tidak diwajibkan untuk melunasi kewajiban debitur kepada kreditur sebelum ternyata bahwa harta kekayaan debitur yang cidera janji tersebut, yang ditunjuk oleh penanggung, telah disita dan dijual, dan hasil penjualan harta kekayaan debitur yang telah disita tersebut tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban debitur kepada kreditur. Dalam hal yang demikian berarti penanggung hanya akan melunasi sisa kewajiban debitur yang belum dipenuhinya kepada kreditur. Selanjutnya jika kita perhatikan ketentuan pasal 1832 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang secara lengkap berbunyi, ”Penanggung tidak dapat menuntut supaya benda-benda debitur lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi hutangnya:

1. Apabila ia telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut supaya benda-benda debitur lebih dahulu disita dan dijual;

2. Apabila ia telah mengikatkan diri bersama-sama dengan debitur utama secara tanggung menanggung ; dalam hal mana akibat-akibat perikatannya diatur menurut asas-asas yang ditetapkan untuk hutang-hutang tanggung menanggung.

3. Jika debitur dapat memajukan suatu tangkisan yang hanya mengenai dirinya sendiri secara pribadi;

4. Jika debitur berada dalam keadaan pailit

5. Dalam halnya penanggungan yang diperintahkan oleh hakim.

Ternyata yang diberikan hak yang cukup seimbang51. Ketentuan tersebut memungkinkan kreditur untuk seketika menagih kepada penanggung untuk melunasi semua kewajiban, prestasi, atau perikatan debitur, tanpa ia perlu terlebih dahulu menyita dan menjual harta kekayaan debitur yang telah cidera janji atau wanprestasi,

51


(43)

yang ditunjuk oleh penanggung sebagai pelunasan kewajiban debitur kepada kreditur52.

2. Unsur Aksidentalia dalam Penanggungan hutang

Unsur aksidentalia adalah ketentuan yang diatur secara khusus oleh para pihak dalam perjanjian penanggungan, yang merupakan suatu bentuk kesepakatan yang dihasilkan oleh para pihak, yang bergantung pada sifat perjanjian sendiri53. Dalam praktek dunia usaha sehari-hari, unsur aksidentalia ini terwujud dalam pembentukan klausula-klausula warranty, indemnity, positive convenant dan negatif convenant54.

Dalam klausula-klausula tersebut biasanya diatur dan ditegaskan mengenai pernyataan-pernyataan kewenangan bertindak penanggung, mengenai tidak adanya wanprestasi atau kejadian-kejadian yang dapat menyebabkan wanprestasi pada sisi atau pihak penanggung, bahwa penanggung tidak berada pada suatu perkara perdata, bahwa penanggung tidak akan memasukkan permohonan kepailitan atau pembubaran (bagi suatu badan hukum), dan bahwa penanggung tidak akan melakukan tindakan yang merugikan harta kekayaannya55.

Dalam kaitannya antara kesepakatan antara penanggung dan kreditur, jika kita baca dan perhatikan dengan seksama ketentuan yang diatur dalam pasal 1321 hingga pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kita tidak akan menemukan

52

Gunawan Widjaja & Kartini Mulyadi, Op cit, halaman 26 53Ibid

halaman 28 54Ibid


(44)

pengertian, defenisi atau makna dari kesepakatan bebas56. Walau demikian dari pengertian rumusan Pasal 1321 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi ”Tiada suatu perjanjianpun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekihlafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”, dapat kita katakan bahwa pada dasarnya kesepakatan bebas terjadi pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan pada kesepakatan tersebut terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan maupun penipuan57.

3. Tentang kekhilafan dalam Penanggungan Hutang

Masalah kekhilafan diatur dalam Pasal 1322 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut, ”Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian, kecuali jika kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian. Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seseorang bermaksud untuk membuat perjanjian, kecuali jika perjanjian itu dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut”.

Dalam rumusan pasal 1322 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut dapat kita kemukakan dua hal pokok disini58 :

1. Kekhilafan bukanlah alasan untuk membatalkan perjanjian

2. Ada dua hal yang dapat menyebabkan alasan pembatalan perjanjian karena kekhilafan, yaitu mengenai :

56

Gunawan Widjaja & Kartini Mulyadi Loc cit

57Ibid

halaman 29 58Ibid


(45)

a. Hakikat kebendaan yang menjadi pokok perjanjian tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya.

b. Orang terhadap siapa suatu perjanjian hanya akan dibuat.

Bahwa yang berhubungan dengan hakikat kebendaan adalah objek yang merupakan hal tertentu yang ditentukan dalam Pasal 1320 angka 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata59. Jika kita uraikan yang berbunyi sebagai berikut, ”suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya”. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”

Sepintas, dengan rumusan “pokok perjanjian berupa barang yang telah ditentukan jenisnya”, orang akan berasumsi bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya menekankan pada perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu60. Namun demikian jika kita perhatikan lebih lanjut, rumusan tersebut hendak menegaskan kepada kita semua bahwa apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, semua jenis perikatan tersebut pasti melibatkan keberadaan atau eksistensi dari suatu kebendaan tertentu61. Dalam perjanjian penanggungan hutang seorang penanggung yang menanggung hutang seorang debitur harus mencantumkan secara jelas hutang mana yang ditanggung olehnya, berapa besarnya, serta sampai seberapa jauh ia dapat dan baru diwajibkan untuk memenuhi perikatannya kepada kreditur,

59

Gunawan Widjaja & Kartini Mulyadi Op.cit halaman 30 60Ibid


(46)

atas kelalaian atau wanprestasi dari pihak debitur62. Dalam pandangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kewajiban penanggung yang diberikan oleh penanggung adalah penanggungan hutang terhadap hak tagih kreditur kepada debitur, dimana penanggung akan memenuhi kewajiba debitur, yaitu untuk membayar hak tagih kreditur kepada debitur dimana penanggung akan memenuhi kewajiban debitur, yaitu untuk membayar hak tagih kreditur manakala debitur cidera janji63. Dalam hal yang demikian, berarti hak tagih kreditur adalah kebendaan yang menurut ketentuan Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, harus dapat ditentukan terlebih dahulu.

Jika kita perhatikan hakikat dari kebendaan yang menjadi persetujuan pada pokok persetujuan dalam suatu penanggungan hutang, yang merupakan unsur esensialia dan naturalia jelas kecil kemungkinnan terjadi kekhilafan dalam memberikan suatu penanggungan hutang64.

Hal kedua yang berhubungan dengan hakikat subjek dalam perjanjian, sebagaimana telah dijelaskan bahwa penanggung hutang telah memiliki unsur yang diperuntukkan bagi kepentingan kreditur, bahwa jelas tampaknya sulit untuk menyatakan bahwa suatu penangungan hutang telah dibuat dengan kekhilafan terhadap diri kreditur terhadap siapa penanggungan hutang telah diberikan65.

4. Tentang Paksaan dalam Penanggungan Hutang

62

Gunawan Widjaja & Kartini Mulyadi, Op. Cit, halaman 31 63Ibid

64Ibid 65Ibid


(47)

Paksaan sebagai alasan pembatalan perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur dalam 5 pasal, yang dimulai dari pasal 1323 hingga pasal 1327 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata66. Pasal 1323 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membuka paksaan sebagai alasan pembatalan perjanjian, dengan menyatakan bahwa, “ paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu perjanjian mengakibatkan batalnya perjanjian yang bersangkutan, jika bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga, untuk siapa kepentingan perjanjian tersebut tidak telah dibuat”.

Ketentuan pasal 1323 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut menunjukkan pada subjek yang melakukan pemaksaan, yang dalam hal ini tidak hanya dilakukan oleh orang yang merupakan pihak dalam perjanjian, melainkan juga merupakan orang yang bukan pihak dalam perjanjian tetapi mempunyai kepentingan terhadap perjanjian yang dibuat tersebut67. Selanjutnya ketentuan pasal 1325 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa, “ paksaan menjadikan suatu perjanjian batal, bukan hanya bila dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat perjanjian, melainkan juga bila dilakukan terhadap suami atau istri atau keluarganya dalam garis keatas ataupun kebawah”.

Dari rumusan tersebut dapat kita ketahui bahwa subjek terhadap siapa paksaan dilakukan ternyata tidak hanya meliputi orang yang merupakan pihak dalam perjanjian, melainkan juga termasuk didalamnya suami atau istri dan keluarga

66

Gunawan Widjaja & Kartini Mulyadi, Op. cit, halaman 33 67Ibid


(48)

mereka dalam garis keturunan keatas atau kebawah68. Dalam pandangan ini, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata melihat bahwa dalam keluarga kecil, termasuk garis keturunan keatas dan kebawah, masih memiliki ikatan psikologis yang sangat kuat. Dengan batasan yang demikian, maka meskipun paksaan atau ancaman dilakukan terhadap suatu orang lain yang mungkin juga memiliki keterkaitan hubungan psikologis yang kuat, namun jika tidak termasuk dalam rumusan pasal 1325 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka paksaan atau ancaman tersebut tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk membatalkan perjanjian yang telah dibuat dibawah paksaan atau ancaman tersebut69.

Jika ketentuan pasal 1323 dan pasal 1325 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbicara soal subjek yang dipaksa atau diancam, maka pasal 1324 dan 1326 berbicara mengenai akibat paksaan atau ancaman yang dilakukan, yang dapat menjadikan sebagai alasan pembatalan perjanjian yang telah dibuat (dibawah paksaan atau ancaman tersebut)70. Kedua pasal tersebut secara lengkap berbunyi sebagai berikut, “paksaan telah terjadi, bila perbuatan itu sedemikian rupa sehingga dapat menakutkan seseorang yang berfikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tesebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Dalam pertimbangan hal tersebut, harus diperhatikan usia, jenis kelamin dan kedudukan orang-orang yang bersangkutan”.

68

Gunawan Widjaja & Kartini Mulyadi Loc.cit

69Ibid 70 Ibid


(49)

Selanjutnya juga seperti diuraikan pada Pasal 1326, “Ketakutan saja karena hormat kepada Ayah, Ibu atau sanak kelurga lain dalam garis keatas, tanpa disertai kekerasan tidak cukup untuk membatalkan perjanjian”.

Dalam rumusan pasal 1324 hingga pasal 1326 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dapat kita ketahui bahwa paksaan yang dimaksud dapat terwujud dalam dua bentuk kegiatan atau perbuatan71. Perbuatan tersebut berupa :

1. Paksaan fisik dalam pengertian kekerasan

2. Paksaan psikologis, yang dilakukan dalam bentuk ancaman psikologis atau kejiwaan.

Selain itu, paksaan tersebut juga dapat mengenai dua hal, yaitu : 1. Jiwa.

2. Harta kekayaan.

Selanjutnya jika kita sandingkan rumusan pasal 1324 dengan pasal 1326 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dapat kita ketahui bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga membedakan paksaan kedalam:

1. Paksaan yang dilakukan oleh ayah, ibu dan sanak keluarga dalam garis lurus ke atas;

2. Paksaan yang dilakukan orang selain yang disebutkan dalam angka 1 tersebut di atas.

Terhadap paksaan yang dilakukan oleh ayah, ibu dan sanak keluarga dalam garis keturunan keatas, maka paksaan yang dirasakan hanya karena suatu rasa hormat

71


(50)

saja, yang tidak disertai dengan paksaan fisik tidak dapat dijadikan alasan bagi pembatalan perjanjian72. Dengan hal ini dimaksudkan bagi seseorang yang telah dewasa, telah mampu untuk bertindak dan seharusnya telah menyadari semua akibat dari perbuatannya, sehingga dengan demikian ia bertanggung jawab untuk seluruh tindakannya73. Memang tidak dapat dipungkiri secara psikologis, seseorang yang sudah dewasa dan cakap bertindak juga akan terus merasa hormat pada kedua orang tua dan sanak keluarganya dalam garis lurus keatas, walau demikian, dengan berangkat pada asas personalia suatu perjanjian, dalam akibat hukum dalam lapangan harta kekayaan yang merujuk pada pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka selayaknya jika ia dapat menentukan sendiri apa yang dianggap baik untuk dirinya sendiri74.

Dalam suatu penanggungan hutang, boleh dikatakan sangat jarang sekali terjadi paksaan, dalam hal suatu penanggungan dibuat karena suatu rasa hormat saja, maka hal tersebut, sebagaimana disebutkan dalam pasal 1326 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak cukup menjadi alasan bagi pembatalan penanggungan yang telah diberikan75.

5. Tentang Penipuan dalam Penanggunga Hutang

Penipuan sebagai alasan pembatalan perjanjian diatur dalam pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang terdiri dari dua ayat, yang berbunyi sebagai

72

Gunawan Widjaja & Kartini Mulyadi, Op.cit halaman35 73Ibid

74 Ibid 75Ibid


(51)

berikut, ” Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu perjanjian, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dibuat tipu muslihat tersebut.Penipuan tidak dipersangkakan, melainkan harus dibuktikan”.

Melalui rumusan yang diberikan tersebut diatas dapat kita lihat, bahwa berbeda dari kekhilafan, penipuan melibatkan unsur kesengajaan dari salah satu pihak dalam perjanjian, untuk mengelabui pihak lawannya, sehingga pihak terakhir ini memberikan kesepakatannya untuk tunduk pada perjanjian yang dibuat antar mereka. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa masalah penipuan yang berkaitan dengan kesengajaan ini harus dibuktikan dan tidak boleh hanya dipersangkakan saja76. Dalam hal ini, maka terhadap siapa penipuan itu telah terjadi wajib membuktikan bahwa lawan pihaknnya telah memberikan suatu informasi secara tidak benar, dan hal tersebut disengaja olehnya, yang tanpa adanya informasi yang tidak benar tersebut, pihak lawannya tidak mungkin akan memberikan kesepakatannya untuk tunduk pada perjanjian yang dibuat tersebut77.

Dalam hal ini tidak jauh beda dari kekhilafan yang pada pokoknya hanya berhubungan dengan ”hakikat kebendaan” dan subjek terhadap siapa perikatan dibuat, dalam penipuan pun, dengan memperhatikan persyaratan yang ditetepkan undang-undang (yaitu suatu keadaan, kondisi, peristiwa, perbuatan atau informasi

76

Gunawan Widjaja & Kartini Mulyadi, Op.cit halaman37 77Ibid


(52)

palsu yang tanpa adanya hal tersebut, pihak lawannya tersebut tidak mungkin akan memberikan kesepakatannya untuk tunduk pada perjanjian yang dibuat tersebut), pokok penipuan pasti berkaitan dengan hal-hal yang sangat pokok dalam perjanjian yang dibuat tersebut, yang juga merupakan ”hakikat perjanjian” atau suatu yang bersifat esensial dalam perjanjian tersebut78. Namun oleh karena penipuan berhubungan dengan kesengajaan untuk mengelabui, maka beban pembuktian ada tidaknya kesengajaan menjadi sangat penting bagi pihak dalam perjanjian yang merasa telah ditipu dengan menyatakan bahwa:

Tidak cakap untuk membuat perjanjian-perjanjian adalah: 1. Anak yang belum dewasa

2. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan

3. Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang-undang-undang dilarang untuk membuat perjanjian tertentu.

Dalam hal ini, sejalan dengan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, baik yang sudah menikah ataupun yang belum menikah, maka ketentuan angka 3 dari pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjadi tidak berarti lagi, walau demikian perlu diperhatikan ketentuan mengenai harta perkawinan79. Dalam konsep Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan dilangsungkannya perkawinan dapat terjadi tiga macam harta dalam perkawinan, yaitu harta campur suami dan istri (harta

78

Gunawan Widjaja & Kartini Mulyadi Loc.cit

79


(53)

bersama), harta kepunyaan istri (termasuk harta bawaan istri), dan harta kepunyaan suami (termasuk harta bawaan suami), harta-harta tersebut ada semenjak dilangsungkannya perkawinan, berarti semenjak perkawinan terjadilah80 :

1. Persatuan harta kekayaan, karena undang-undang. Dalam konsep yang demikian yang dikenal adalah harta campuran atau harta bersama suami dan istri, serta tidak dikenal adanya harta kepunyaan masing-masing suami atau istri. Semua harta bawaan, yang dibawa ataupun diperoleh suami atau istri, kedalam atau selama perkawinan akan menjadi harta bersama. Yang berhak atas harta campuran tersebut adalah suami atau istri, masing-masing adalah separuh bagian untuk harta bersama tersebut.

2. Dalam hal disepakati, dapat diperjanjikan peniadaan harta campur sama sekali. Dalam konstruksi ini, tidak dikenal harta campur atau harta bersama, yang ada adalah harta masing-masing suami atau istri, baik yang dibawa kedalam perkawinan ataupun yang diperoleh masing-masing suami atau istri selama perkawinan berlangsung.

3. Jika disetujui oleh calon suami-istri melalui perjanjian kawin, suatu percampuran harta secara terbatas. Yang suatu percampuran harta secara terbatas adalah suatu keadaan dimana antara suami dan istri disepakati bahwa selama perkawinan berlangsung, hanya harta benda-harta benda tertentu saja yang dimasukkan kedalam persatuan harta (harta bersama). Selebihnya akan tetap menjadi harta masing-masing suami atau istri.

80 Ibid


(54)

Dalam hal ini Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenal campur untung/rugi, dan harta campur hasil dan pendapatan.

Dalam kaitannya dengan percampuran harta secara terbatas ini, khusus bagi kebendaan bergerak, ada dua ketentuan yang perlu diperhatikan. Pertama adalah Pasal 150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai kewajiban pencantuman kebendaan bergerak dalam Perjanjian Kawin, sebagai satu-satunya alat bukti keberadaan harta bawaan suami istri kedalam perkawinan yang tidak masuk dalam persatuan harta. Kedua adalah pasal 166 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai pembuktian harta bawaan selama perkawinan berlangsung, dengan ketentuan yang berbeda bagi suami dan istri81.

Berdasarkan pada konsep yang demikian, maka setiap penanggungaan hutang yang diberikan oleh suami atau istri dalam perkawinan harus memperhatikan hal-hal tersebut diatas dengan demikian berarti82 :

1. Jika suami atau istri dalam perkawinan tidak membuat Perjanjian Kawin, dalam pengertian terjadi dalam percampuran harta seutuhnya, maka setiap pemberian penanggungan hutang oleh suami atau istri harus mendapat persetujuan dari istri atau suami yang berada dalam persatuan atau percampuran harta seutuhnya tersebut.

2. Jika istri dalam perkawinan membuat Perjanjian Kawin tanpa percampuran harta sama sekali, maka masing-masing adalah bebas untuk mengadakan

81

Gunawan Widjaja & Kartini Mulyadi, Loc cit

82Ibid


(55)

penanggungan hutang, secara terbatas dan hanya sebatas pada harta kekayaan mereka pribadi, dan tidak dapat membawa kerugian terhadap pasangannya, oleh karena masing-masing bertanggung jawab penuh atas harta kekayaan masing-masing. Dalam hal ini berlakulah ketentuan Pasal 1315 jo Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bagi suami atau istri yang memberikan penanggungan hutang tersebut.

3. Jika antara suami dan istri diadakan Perjanjian Kawin dengan percampuran harta secara terbatas, maka dalam hal suami atau istri yang membuat perjanjian penanggungan hutang tanpa persetujuan dari istri ataupun suaminya, maka penanggungan hanya berlaku sebatas dan terbatas terhadap harta kekayaan dari suami atau istri yang memberikan penanggungan hutang tersebut. Dalam hal kreditur bermaksud untuk mengikat seluruh harta kekayaan suami istri secara bersama-sama sebagai jaminan pemenuhan perjanjian penanggungan hutang yang dibuat oleh mereka, maka suami atau istri tersebut harus bertindak bersama-sama atau setidaknya salah satu telah memperoleh persetujuan (tertulis) dari yang lainnya83.

Sesuai dengan konsideran yang melatar belakangi pembentukan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan merupakan salah satu bentuk unifikasi hukum dalam lapangan perkawinan yang hendak diberlakukan bagi semua warga negara Indonesia. Menurut ketentuan pasal 66 Undang-Undang tersebut, tidak berlaku lagi ketentuan tentang perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang

83


(56)

Hukum Perdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen, Peraturan Perkawinan Campuran selama dan sepanjang hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang No 1 tahun 197484.

Dalam Undang-Undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan, ketentuan mengenai harta benda dalam perkawinan diatur dalam Pasal 35 ayat (1) yang menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing, sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah kekuasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain, demikian pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan85.

Dengan rumusan yang demikian, berarti Undang-Undang No 1 tahun 1974, mengakui percampuran harta secara terbatas, oleh karena harta kekayaan yang bersatu dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh suami atau istri dalam perkawinan, tidak termasuk harta pemberian berupa hadiah atau warisan yang diperoleh suami atau istri dalam perkawinan86. Sedangkan harta bawaan yang dibawa masing-masing suami istri kedalam perkawinan tidak dimasukkan sebagai harta bersama. Dengan konstruksi hukum yang demikian berarti tidak dikenal Perjanjian Kawin, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ini berarti setelah berlakunya Unang-Undang No 1 tahun 1974, jika kreditur bermaksud untuk mengikat suami istri secara bersama-sama dalam suatu perjanjian penanggungan

84

Gunawan Widjaja & Kartini Mulyadi, Loc.cit

85 Ibid 86


(57)

hutang dengan jaminan seluruh harta kekayaan yang dimiliki oleh suami isteri, maka suami istri tersebut harus bertindak bersama-sama, atau setidaknya salah satu telah memperoleh persetujuan (tertulis) dari yang lainnya. Dalam hal suami atau istri yang membuat perjanjian penanggungan hutang tanpa persetujuan dari suami atau istrinya maka penanggungan berlaku sebatas dan terbatas terhadap harta kekayaan dari suami atau istri yang memberikan penanggungan hutang tersebut87.

a) Tentang Kebelumdewasaan

Pada dasarnya setiap orang, sejak ia dilahirkan, adalah subjek hukum, suatu

persona standi in judicio, dengan pengertian setiap orang adalah pendukung hak dan kewajibannya sendiri88. Walaupun demikian tidaklah berarti setiap orang telah dilahirkan dianggap mampu mengetahui segala akibat dari suatu perbuatan hukum, khususnya dalam lapangan harta kekayaan. Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa,”Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu kawin. Apabila perkawinan dibubarkan sebelum usia mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana diatur dalam bagian tiga, bagian keempat, bagian lima dan bagian keenam Bab ini”.

87 Ibid

88Ibid


(1)

perjanjian pokok. Penanggungan tidak dipersangkakan dan penanggung merupakan target setelah debitur. Manakala debitur cidera janji maka Penjamin yang telah mengikatkan diri berkewajiban untuk membayar hutang debitur kepada Kreditur. Kreditur langsung menagih kepada Penjamin untuk memenuhi kewajiban sebagai seorang Penjamin. Kreditur dapat menagih langsung kepada Penjamin jika dalam perjanjian Penjaminan (borgtocht) Penjamin dengan tegas telah melepaskan hak istimewa yang berupa hak untuk menuntut agar harta kekayaan debitur di sita-lelang terlebih dahulu. Karena seperti disebutkan bahwa tujuan dari hukum jaminan adalah melindungi hak kreditur sebagai pemberi kredit, tetapi untuk mewujudkan asas keadilan, dalam borgtocht pelunasan yang dilakukan penanggung harus dilanjutkan dengan penggantian hutang untuk tetap mengikat tanggung jawab debitur melunasi hutang kepada kreditur baru yaitu penanggung.

B. SARAN

1. Untuk dapat terlaksananya perjanjian penanggungan dengan baik serta mampu memberikan upaya pengamanan kredit bagi pihak BPR Duta Adiarta selaku kreditur, maka oleh BPR Duta Adiarta selaku kreditur perlu diperhatikan proses dan tata cara pembuatan akta jaminan penanggungan sehingga dapat efektif dipergunakan sebagai agunan tambahan.

2. Mengingat banyaknya hambatan dalam eksekusinya maka pihak bank dalam menentukan seseorang bisa dijadikan penanggung bagi debiturnya, maka Bank


(2)

selaku kreditur harus benar-benar memperhatikan karakter dari penanggung termasuk reputasi dalam menanggung utang para debitur yang dijamin.

3. Karena besarnya resiko terhadap pemberian kredit, dan untuk menjamin kepastian hukum bagi para guarantor sudah selayaknya penjaminan hutang ini dilembagakan selayaknya jaminan kebendaan, dimana ada suatu lembaga khusus yang mengatur mengenai publisitas dari perjanjian borgtocht ini. Agar terbentuknya keadilan yang merata baik bagi kreditur semata-mata, debitur ataupun guarantor.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

Darus, Mariam ,Badrulzaman, S.H. Mencari Sistem Hukum Benda Nasional

Djumhana, Muhammad, Hukum Perbankan di Indonesia , Citra Aditya Bakti, Bandung, tahun 1996

Follmar, F. N, Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995)

Hadi,Sutrisno, Metodologi Reaserch Jilid I, ANDI, Yogyakart, 2000

Harahap,Yahya. “Masalah Pailit Dikaitkan dengan Guarantor”, makalah , Bukti T-3 dalam perkara No. 0T-37/Pailit/2001/PN.Niaga/JKT.PST.

Harahap, Yahya M. Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung:Alumni 1982 Haziniel, Harun Hukum Perjanjian Kredit Bank, Jakarta, Yayasan Trituran Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, tahun 2005

HS. Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, 2004

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cetakan ketiga Malang, Bayu media Publishing,2007

Jopie Jususf, Kiat Jitu Memperoleh kredit Bank, Elex Media Komputerindo, Jakarta, Tahun 2003

Kailimang ,Denny, “Problematik yang Dihadapi Debitur/Kreditur Berkaitan dengan Personal Guarantee atau Coorporate Guarantee Sehubungan dengan

Gugatan Kepailitan, Penyelesaian Utang-Piutang.

Kamello, Tan, Hukum Jaminan Fidusia Alumni, Bandung, 2006, hal. 21-22. L.J, Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramitha 2001


(4)

Muhammad, Abdulkadir, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti , 2004

Prodojhamidjojo,Martiman, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan, (Jakarta: CV. Mandar Maju, 1999), hal. Satrio, J, Hukum Perikatan yang lahir dari perjanjian, tahun 1995,

Satrio,J, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Pribadi, Tentang Perjanjian Penanggungan an Perikatan Tanggung Menanggung, Citra Aditya Bakti, Purwokerto 1996,

Satrio,J, Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Kebendaan, Bandung, Citra Aditya Bakti, Buku I, Cetakan Pertama, 1993.

S, Djaja, Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga. CV. Nuansa Aulia, Bandung 2006

S, Elijana, “Proses Mengajukan Permohonan Pailit Terhadap Guarantor dan Holding Company”, Penyelesaian Utang-Piutang.

S, Djaja, Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga. CV. Nuansa Aulia, Bandung 2006

Sjahdeini, Remy, Hak Tanggungan, asas-asas, ketentuan pokok dalam masalah yang dihadapi oleh perbankan, Alumni Bandung Tahun 1996

Soebekti, Jaminan-jaminan Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Bandung, Alumni,1986

Soebekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1987),

Soebroto, Thomas ,Tanya Jawab Hukum jaminan Hipotek fiducia Penanggungan dan Lain-lain, Tahun 1994, .

Soedewi, Sri, Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-pokok hukum jaminan dan jaminan perorangan

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986 Soekardono, Hukum Dagang Indonesia Jilid 1, (Jakarta: Soeroenga, 1960).


(5)

Soemitro, Ronny Hantjo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta : Ghalia Indonesia 1990

Sunggono, Bambang,SH, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada 2001

Supramono, Gatot, Perbankan dan Masalah Kredit, percetakan Karya Unipress, Tahun 1995

Sutarno,S.H.,MM, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta, Jakarta, Tahun 2003

Tjiptoadinugroho,R, Perbankan Masalah Perkreditan (Penghayatan, Analisis dan Penuntutan), Pradnya Paramita,Jakarta tahun 1971

Usman, Rachmadi, Hukum Jaminan Keperdataan, Tahun 2008

Wahab, Amiruddin A. dkk., Pengantar Hukum Indonesia, Bahan ajar untuk kalangan sendiri , Banda Aceh : F.H- Unsiyahc2007

Widjaya , Gunawan & Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Jakarta, Rajawali Pers, Tahun 2000

Widiyono, Try, Aspek Hukum Oprasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia, Ghalia Indonesia Tahun 2006

Wigjosoebroto, Soetandyo Hukum ; Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya

Wojowasito, S. Kamus Umum Belanda-Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1985),

WEB SITE :

Kepastian Hukum BLBI, diakses dari www.suaramerdeka.com edisi senin 30 Juli 2007 tanggal 6 Mei 2010.

Kasus Grup Djajanti dan Bank Mandiri Terkait Personal Guarantee?, diakses dari www.wartaekonomi.com tanggal 6 Mei 2010.

Publisitas, Fiksi Hukum dan Keadilan, diakses dari http://www.legalitas.org tanggal 20 November 2010.


(6)

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Diterjemahkan oleh R.Subekti dan R Tjiptosudibio, Cetakan 27,Jakarta : Pradnya Paramita,1994 Undang-Undang No.10 tahun 1998 Tentang Perbankan.

Kedudukan Guarantor dalam Kepailitan, Makalah oleh Disriani.latifah on June 9, 2009