Misrepresentation Dalam Kontrak : Analisis Terjadinya Perbedaan Informasi pada Fase Pra Kontraktual dengan Kontrak Chapter III V

65

BAB III
ITIKAD BAIK DALAM PENYELESAIAN SENGKETA
DALAM MISREPRESENTATION

A. Itikad Baik
1. Pengertian
KUH Perdata hanya mengatur prinsip itikad baik pada saat pelaksanaan
kontrak seperti yang tertuang dalam pasal 1338 (3) KUH Perdata. Dalam
prakteknya apabila terdapat kasus maka para hakim akan menggunakan teori yang
dikemukakan oleh para ahli.
Beberapa negara dengan sistem Civil Law seperti Italia telah memiliki
ketentuan legislasi yang mewajibkan negosiasi dan penyusunan kontrak haruslah
dilaksanakan dengan itikad baik. Sehubungan dengan hal ini, pasal 1337 Civil
Code Italia menentukan bahwa :“parties must behave in good faith during the
pre-contractual bargaining and contract drafting”. 79
Secara tradisional hukum kontrak Common Law tidak mengakui
keberadaan kewajiban suatu kewajiban kontraktual hingga proses negosiasi telah
menjadi sebuah kontrak nyata. Robert S. Summer masih menemukan fakta bahwa
pengadilan di Ameika Serikat menghalangi penerapan itikad baik dalam proses

pembentukan kontrak. Section 1-203 UCC ”menyatakan “every contract or duty
within this Act imposes an obligation of good faith in its performance or
79

Alberto M. Musy, The good faith principle in contract law and the precontractual duty
disclose:
comparative
analysis
of
new
differences
in
legal
cultures
http://www.icer.it/docs/wp2000/Musy192000.pdf , dikunjungi terakhir pada 12 September 2015,
pukul 19:05 Wib.

52
Universitas Sumatera Utara


66

enforcement … the good faith is a basic principle running through this Act”. Hal
ini berarti bahwa UCC sendiri hanya mengatur persyaratan umum itikad baik
dalam pelaksanaan dan penegakan hukum kontrak dan mengakui tidak adanya
itikad baik dalam proses negosiasi dan prakontrak. 80
Indonesia sendiri pada dasarnya telah memberlakukan teori modern, yakni
dengan

diberlakukannya

Undang-Undang

No.

8

Tahun

1999 Tentang


Perlindungan Konsumen, dimana secara implisit menurut Pasal 9 ayat (1) bahwa :
"Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu
barang dan/atau jasa secara tidak benar, ...", dan selanjutnya pada Pasal 62 ayat
(1) disebutkan bahwa: "... yang melanggar ketentuan Pasal 9, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.
2.000.000,00 (dua juta rupiah)". 81
Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen ini, dapat disimpulkan bahwa asas itikad baik harus sudah ada sejak
prakontraktual dan janji-janji prakontraktual akan berdampak hukum.
Itikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum
perjanjian. 82 Dalam mengadakan dan melaksanakan perjanjian, setiap orang
dituntut untuk tidak meninggalkan norma-norma keadilan dan kepatutan. 83 Pada

80

Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak (Jakarta: Fakultas
Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004), hal. 254.
81
Perhatikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 62 ayat (1).
82
Rosa Agustina T. Pangaribuan, Asas Kebebasan Berkontrak Dan Batas-Batasnya
Dalam Hukum Perjanjian http://pusatpenunjangprofesihukum.com/4k.htm , dikunjungi terakhir
pada 16 Oktober 2015, pukul 21:11 Wib.
83
Ahmadi Miru, Op. Cit, hal. 6.

Universitas Sumatera Utara

67

prinsipnya, itikad baik harus tercermin dalam setiap tahapan perjanjian, mulai dari
pembentukan, pelaksanaan, hingga pengakhiran perjanjian.
Dalam setiap perundingan (negosiasi) dan perjanjian, kedua belah pihak
akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh itikad
baik. Hubungan khusus ini akan membawa konsekwensi bahwa para pihak harus
bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak
lainnya. Setiap pihak yang hendak membuat perjanjian berkewajiban untuk
mengadakan penyelidikan dalam batas-batas yang wajar terhadap pihak lawannya

sebelum mereka menandatangani perjanjian. Di sisi lain, para pihak harus pula
melaksanakan perjanjian dengan itikad baik. 84
Itikad baik dalam dalam hukum perjanjian merupakan doktrin atau asas
yang berasal dari ajaran bona fides dalam hukum Romawi. 85 Inilah yang
menyebabkan asas itikad baik lebih memiliki kedekatan dengan sistem Civil Law
daripada dengan sistem Common Law. Fides berarti sumber yang bersifat religius,
yang bermakna kepercayaan yang diberikan kepada seseorang kepada orang
lainnya, atau suatu kepercayaan atas kehormatan dan kejujuran seseorang kepada
orang lainnya. Bona fides mensyaratkan adanya itikad baik dalam perjanjian yang
dibuat oleh orang-orang Romawi. 86
Selain itu, asas itikad baik sebenarnya merupakan gagasan yang dipakai
untuk menghindari tindakan beritikad buruk dan ketidakjujuran yang mungkin
dilakukan oleh salah satu pihak, baik dalam perbuatan maupun dalam pelaksanaan

84

Ibid
Reinhard Zimmermann and Simon Whittaker, Good Faith in European Contract Law
(Cambridge: Cambridge University Press, 2000), hal. 16.
86

Ridwan Khairandy, Op. Cit, hal. 133.
85

Universitas Sumatera Utara

68

perjanjian.

87

Pada akhirnya, asas ini sebenarnya hendak mengajarkan bahwa

dalam pergaulan hidup di tengah-tengah masyarakat, pihak yang jujur atau
beritikad baik patut dilindungi, dan sebaliknya, pihak yang tidak jujur, patut
menerima hukuman yang sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang mengatur
atasnya akibat ketidakjujuran tersebut.
Walaupun asas itikad baik ini dipahami sebagai salah satu asa yang
penting dan berpengaruh dalam hukum perjanjian, namun tidak ada deinisi yang
komprehensif yang dapat menjelaskan pengertian itikad baik itu sendiri. Ridwan

Khairandy berpendapat bahwa salah satu permasalahan dalam kajian itikad baik
adalah keabstrakan maknanya, sehingga timbul pengertian itikad baik yang
berbeda-beda. Itikad baik tidak memiliki makna tunggal, dan hingga sekarang
masih terjadi perdebatan mengenai bagaimana sebenarnya makna atau arti dari
itikad baik. 88 Dalam Black’s Law Dictionary menjelaskan bahwa itikad baik
(good faith) adalah :
“ A state of mind consisting in (1) honesty in belief or purpose, (2)
faithfulness to one’s duty or obligation, (3) observance of
reasonable commercial standards of fair dealing in a given trade
or business, or (4) absence of intent to defraud or to seek
unconscionable advantage” 89

Kesulitan untuk memberikan batasan itikad baik bukan hanya merupakan
permasalahan dalam hukum perjanjian di Indonesia. Di Amerika Serikat,
keharusan untuk bertindak dengan itikad baik dalam the Uniform Commercial
Code juga tidak dijelaskan secara luas. Hakim disana pun tidak memberikan
87

Charles Fried, Contract as Promise (Cambridge: Harvard University Press, 1981), hal.


74.
88
89

Ibid, hal. 129.
Bryan A. Garner, Op. Cit, hal. 713.

Universitas Sumatera Utara

69

definisi yang jelas ketika mereka mendasarkan putusannya pada itikad baik.
Robert S. Summers berpendapat bahwa itikad baik adalah “excluder”
(pengecualian) karena biasanya hakim menggunakan istilah itikad baik untuk
mengesampingkan perilaku tertentu. Itikad baik memiliki makna yang khusus dan
bervariasi dengan jalan membedakannya dengan berbagai makna itikad buruk,
yang oleh hakim dilarang. 90 Sehingga Summers alhasil memberikan pengertian
itikad baik dengan cara sebagai berikut : 91
No.
1.


Bad Faith
Good Faith
(Itikad Buruk)
(Itikad Baik)
Seller concealing a defect in what he Fully disclosing material facts
is selling.
(penjual

(sepenuhnya
menyembunyikan

mengungkapkan

cacat fakta material)

barang yang ia jual)
2.

Builder willfully failing to perform in Substantially performing without

full though otherwise substantially knowingly
performing

deviating

from

specifications

(pembangun dengan sengaja tidak (secara substansial melakukan
melakukan

pekerjaan

secara pekerjaan

maksimal)

telah


tanpa

mengetahui

menyimpang

dari

spesifikasi)
3.

Contractor openly abusing bargaining Refraining

from

abuse

of

power to coerce an increase in the bargaining power

90
91

Ridwan Khairandy, Op. Cit, hal. 181.
Ibid, hal. 172.

Universitas Sumatera Utara

70

contract price

(menahan

diri

untuk

(kontraktor menyalahgunakan posisi menyalahgunakan posisi tawar)
tawar untuk memaksa kenaikan harga
kontrak)
4.

Hiring a broker and then deliberately Acting cooperatively
preventing him from consummating (Bertindak kooperatif)
the deal
(mempekerjakan broker dan kemudian
sengaja

mencegahnya

mencapai

kesepakatan
5.

Conscious

lack

of

diligence

in Acting diligently

mitigating the other’s party damages

(Bertindak tekun)

(Kurangnya kesadaran untuk tekun
mencegah kerugian pihak lain)
6.

Arbitarily and capriciously exercising Acting with some reason
a power terminate a contract
(sewenang-wenang
plin-plan

dan

dalam

kekuasaannya

untuk

(Bertindak dengan alasan)
bertindak

melaksanakan
mengakhiri

perjanjian)
7.

Adopting

an

overreaching Interpreting contract language

interpretation of contract language
(Mengadopsi

penafsiran

fairly

yang (Menafsirkan bahasa perjanjian

Universitas Sumatera Utara

71

melampaui

batas

dari

bahasa secara wajar)

perjanjian)
8.

Harrasing

the

other

party

for Accepting adequate assurances

repeated assurances of performance
(Melecehkan
kepastian

pihak

lain

pelaksanaan

(menerima

kepastian

untuk pelaksanaan perjanjian secara

perjanjian wajar)

berulang-ulang)

2. Kegunaan Itikad Baik Dalam Berkontrak
Ada terdapat 3 fungsi utama dari itikad baik dalam pelaksanaan suatu
kontrak , yaitu : 92
1. Fungsi yang mengajarkan bahwa perjanjian harus ditafsirkan dengan
itikad baik (itikad baik sebagai asas hukum umum).
Ini berarti, perjanjian harus ditafsirkan secara patut dan wajar
(fair);
2. Fungsi menambah atau melengkapi (aanvullende werking van de
geode trouw).
Berdasarkan fungsi ini, itikad baik dapat menambah isi atau katakata perjanjian apabila terdapat hak dan kewajiban yang timbul di
antara para pihak yang tidak secara tegas dinyatakan dalam
perjanjian;

92

Hernoko, Op. Cit, hal. 122.

Universitas Sumatera Utara

72

3. Fungsi membatasi atau meniadakan (beperkende en derogerende
werking van de geode trouw). Fungsi ini hanya dapat diterapkan
apabila terdapat alasan-alasan yang amat penting (alleen in
spreekende gevallen).
Kebanyakan ahli hukum mendasarkan kajian itikad baik dalam Pasal 1338
ayat (3) KUH Perdata, namun demikian, pasal dan ayat ini bukan merupakan satusatunya ketentuan dalam KUH Perdata yang mengatur perihal itikad baik. KUH
Perdata memahami itikad baik dalam berbagai bentuk. Itikad baik memiliki
peranan yang sangat penting dalam hukum perdata, baik terkait dengan hak
kebendaan (zakenrecht) sebagaimana diatur dalam Buku II KUH Perdata, maupun
hak perorangan (persoonlijkrecht) sebagaimana diatur dalam Buku III KUH
Perdata. Bahkan, tidak dapat pula diabaikan arti pentingnya dalam bidang hukum
perorangan dalam keluarga dalam Buku I KUH Perdata. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa itikad baik tidak hanya ada dalam ranah Buku III KUH
Perdata semata, melainkan terkandung pula dalam buku II dan buku IV serta
secara implisit juga pada Buku I KUH Perdata. 93
Itikad baik dalam KUH Perdata diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut :
1. Buku II Pasal 530;
2. Buku II Pasal 531;
3. Buku II Pasal 548;
4. Buku III Pasal 1338 ayat (3);
5. Buku IV Pasal 1965;
93

Djaja S. Meliala, Masalah Itikad Baik Dalam KUH Perdata (Bandung: Binacipta,
1987), hal. 6.

Universitas Sumatera Utara

73

6. Buku IV Pasal 1966;
7. Buku IV Pasal 1977 ayat (1).

3. Tujuan Itikad Baik Dalam Fase Pra-Kontrak
Menurut Syahril Sofyan, perihal itikad baik dalam memasuki suatu
kontrak memang merupakan hal yang sangat menarik, karena itikad baik dalam
fase prakontraktual secara normatif senantiasa dianggap ada menurut ketentuan
pasal di dalam KUH Perdata, namun akan tetapi, sangat disayangkan kenyataan
yang ada (das Sollen) bahwa rumusan KUH Perdata Indonesia masih mengenal
Pasal 1338 ayat (3) yang mewajibkan keberadaan itikad baik tersebut hanya
dalam fase pelaksanaan kontrak. 94
1. Itikad Baik Yang Bersifat Subjektif
Terminologi pemegang barang (Bezitter) yang beritikad baik, pemilik
barang yang beritikad baik atau lainnya, sebagai lawan dari orang-orang yang
beritikad buruk adalah itikad baik dengan anasir (unsur) subjektif. Seseorang
pembeli barang dengan itikad yang baik adalah orang yang membeli barang
dengan penuh kepercayaan bahwa si penjual sungguh-sungguh pemilik barang
dari barang yang dibelinya tersebut. Ia sama sekali tidak mengetahui jika
seandainya ia membeli dari orang yang tidak berhak. Hal inilah mengapa yang
disebut sebagai seorang pembeli yang jujur. Dalam anasir ini, itikad baik memliki
arti kejujuran atau bersih. 95

94

Syahril Sofyan, Standar Perjanjian Misrepresentasi Dalam Transaksi Bisnis (Medan,
Disertasi, 2011), hal. 498.
95
Subekti, Op. Cit, hal. 41.

Universitas Sumatera Utara

74

Dalam konsep yang hampir sama, memahami itikad baik dalam anasir
subjektif ini sebagai itikad baik yang ada pada waktu mulai berlakunya suatu
hubungan hukum. Itikad baik pada waktu mulai berlakunya hubungan hukum
biasanya merupakan pengiraan dalam hati sanubari yang bersangkutan, bahwa
syarat-syarat yang diperlukan bagi mulai berlakunya hubungan hukum itu sudah
dipernuhi semua. Jika kemudian ternyata bahwa sebenarnya ada syarat yang tidak
terpenuhi, maka pihak yang beritikad baik ini dianggap seolah-olah syarat tersebut
telah dipenuhi semua. Dengan kata lain, pihak yang beritikad baik ini tidak boleh
dirugikan sebagai akibat dari tidak dipenuhinya syarat tersebut. 96
Perwujudan itikad baik pada waktu mulai berlakunya perjanjian dapat
ditafsirkan dari berbagai putusan hakim. Salah satunya terdapat pada
yurisprudensi pada tahun 1950-an. 97 Kasus ini bermula ketika Nyonya V.J. Briet
Baumgarten, seorang istri yang memperoleh warisan berupa sebuah bangunan
rumah yang terletak di Jalan Saidan No. 8, Yogyakarta, mengadakan kesepakatan
dengan A. F. F. Verboorn untuk mengadakan jual beli rumah tersebut. Akan
tetapi, kemudian rumah tersebut oleh Nyonya Briet Baumgarten justru dijual
kepada Mohammad Hasan. Oleh karena merasa dirugikan, A. F. F. Verboorn
menggugat Nyonya Briet Baumgarten dan Mohammad Hasan, dan meminta
pengadilan untuk membatalkan perjanjian jual beli rumah antara Nyonya Briet
Baumgarten dan Mohammad Hasan tersebut.
Pengadilan Negeri kemudia melakukan pembatalan atas jual beli tersebut.
Hakim berpendapat bahwa tanah sengketa tersebut telah dijual dengan sah oleh
96

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu,
(Bandung: Sumur Bandung, 1964), hal. 56.
97
Putusan Mahkamah Agung RI No. 251K/Sip/1958 tanggal 26 Desember 1958.

Universitas Sumatera Utara

75

Nyonya Briet Baumgarten terlebih dahulu kepad A. F. F. Verboorn, maka dengan
sendirinya perjanjian jual beli antara Nyonya Briet Baumgarten dengan
Mohammad Hasan tidak sah dan harus dibatalkan. Putusan Pengadilan Negeri ini
pun akhirnya dikuatkan kembali oleh Putusan Pengadilan Tinggi pada tingkat
banding. Akan tetapi, karena merasa dirugikan, Mohammad Hasan kemudian
mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung RI.
Dalam Putusan Mahkamah Agung RI, menyatakan bahwa hak eigendom
dari tanah sengketa tersebut telah selai dibalik nama, yaitu atas nama Mohammad
Hasan, berdasarkan Akta Kantor Pendaftaran Tanah Yogyakarta tanggal 30 Juli
1952 No. 23. Dengan demikian teranglah bahwa jual beli tanah tersebut adalah
sah dan dilaksanakan dengan itikad baik (te goeder trouw).
Mahkamah Agung RI lebih lanjut berpendapat bahwa dalam jual beli
tersebut Mohammad Hasan telah bertindak dengan itikad baik, dan ia tidak tahu
menahu tentang hubungan antara Nyonya Briet Baumgarten dengan Verboorn
sebelumnya. Tidak adil apabila atas kesalahan dan kelalaian Nyonya Briet
Baumgarten, Mohammad Hasan, selaku pembeli beritikad baik, dihukum untuk
membatalkan perjanjian jual beli tanah tersebut, yang segala sesuatunya telah
diselesaikan dengan semestinya, bahkan telah dibalik nama. Oleh karenanya, hakhak pembeli harus dilindungi dan jual beli tersebut harus dianggap sah.
Mahkamah Agung RI memutuskan bahwa jual beli tanah antara Nyonya
Briet Baumgarten dengan Mohammad Hasan adalah sah. Dan menghukum
Nyonya Briet Baumgarten untuk membayar ganti rugi kepada Verboorn.

Universitas Sumatera Utara

76

2. Itikad Baik Yang Bersifat Objektif
Anasir yang bersifat subjektif bukanlah sebagaiamana yang dimaksud oleh
itikad baik yang sebagaimana tertulis pada Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata.
Subekti berpendapat, pasal ini hendak memberi pesan bahwa pelaksanaan
perjanjian haruslah berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan
kesusilaan. Ukuran objektif dipakai untuk menilai pelaksanaan perjanjian tersebut.
Subekti mengatakan bahwa pelaksanaan perjanjian harus berjalan di “rel” yang
benar. 98
Pasal 1338 KUH Perdata dapat dipandang sebagai syarat atau tuntutan
kepastian hukum bahwa janji itu mengikat, maka ayat ketiga ini harus dipandang
sebagai suatu tuntutan keadilan. Sebagaimana tujuan hukum itu sendiri, dimana
hukum selalu berupaya mencapai dua tujuan, yaitu menjamin kepastian hukum
dan memenuhi tuntutan keadilan. Kepastian hukum menghendaki supaya apa
yang dijanjikan harus dipenuhi (ditepati). Namun demikian, dalam menuntut
dipenuhinya janji itu, KUH Perdata menggariskan bahwa janganlah orang lantas
meninggalkan norma-norma keadilan atau kepatutan. Dengan kata lain, dalam
menuntut pemenuhan janji, seseorang hendaknya tetap berlaku adil. 99
Dalam konteks ini, tidak semua janji dapat dipenuhi atau tidak semua janji
memunculkan tanggung jawab hukum. Hanya ketika suatu janji menimbulkan
ketergantungan yang wajar, maka hakim dapat menyatakan bahwa janji tersebut
dapat dipegang. 100

98

R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, (Bandung: Alumni, 1976), hal.

99

Ibid
Hugh Collins, The Law of Contract, (London: LexisNexis, 2003), hal. 91.

41.
100

Universitas Sumatera Utara

77

Asas itikad baik hanya diterapkan dimana perjanjian telah mencapai
kesepakatan. Akibatnya, hal ini tidak melindungi pihak yang menderita kerugian
dalam tahap pra-kontrak atau tahap perundingan, karena pada tahap ini perjanjian
memang belum mencapai tahap kesepakatan. Permasalahan hukum sendiri akan
timbul jika sebelum perjanjian tersebut sah dan mengikat para pihak, yaitu dalam
proses perundingan atatu negosiasi (preliminary negotiation), salah satu pihak
telah melakukan perbuatan hukum seperti meminjam uang atau membeli sesuatu,
padahal diantara para pihak belum tercapai kesepakatan final mengenai isi
perjanjian bisnis yang tengah dirundingkan. Hal ini dapat terjadi karena salah satu
pihak begitu percaya dan menaruh pengharapan terhadap janji-janji yang
diberikan oleh rekan bisnisnya. Jika pada akhirnya perundingan mengalami jalan
buntu dan tidak mencapakai kesepakatan, misalnya tidak tercapai kesepakatan
mengenai fee, royalti, maka pihak yang telah melakukan perbuatan hukum
tersebut tidak dapat menuntut ganti rugi atas segala biaya dan investasi yang telah
dikeluarkannya untuk kepentingan bisnis tersebut. Demikian juga dengan janjijanji pelaku usaha yang tercantum dalam brosur-brosur yang diedarkan sebagai
iklan,

menurut

teori

klasik

hukum

perjanjian

tidak

dapat

dituntut

pertanggungjawabannya karena janji-janji tersebut adalah janji-janji pra-kontrak
yang tidak tercantum dalam pengikatan jual beli. 101 Pemahaman ini tentu saja
tidak mencerminkan keadilan dan perlindungan bagi salah satu pihak, yang
biasanya merupakan pihak yang berada dalam posisis tawar (bargaining power)
lebih lemah, seperti konsumen atau debitur dalam perjanjian utang piutang.

101

Suharnoko, Op. Cit, hal. 5

Universitas Sumatera Utara

78

Pada negara maju yag menganut paham Civil Law, seperti Perancis,
Belanda dan Jerman, pengadilan memberlakukan asas itikad baik bukan hanya
dalam tahap penandatanganan dan pelaksanaan perjanjian, tetapi juga dalam tahap
perundingan, sehingga janji-janji pra-kontrak memiliki akibat hukum dan dapat
dituntut ganti rugi jika janji tersebut diingkari. 102
J.M van Dunne berpendapat bahwa daya berlaku itikad baik meliputi
seluruh proses perjanjian atau diibaratkan dengan “the rise and fall of contract”.
Dengan demikian, itikad baik meliputi tiga fase proses perjanjian, yaitu : 103
1. pre contractual fase (fase pra-kontrak);
2. contractual fase (fase kontrak); dan
3. postcontractual fase (fase post-kontraktual).
Pemikiran bahwa itikad baik harus meliputi keseluruhan tahap perjanjian
juga nampak pada kesimpulan Simposium Hukum Perdata Nasional yang
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), dimana itikad
baik hendaknya diartikan sebagai : 104
1. Kejujuran pada waktu yang membuat perjanjian;
2. Pada tahap pembuatan ditekankan, apabila perjanjian dibuat di hadapan
pejabat, para pihak dianggap beritikad baik (meskipun atas pendapat ini
masih terdapat keberatan dari beberapa pihak);

102

J.M. van Dunne dan Gr. Van der Burght, Perbuatan Melawan Hukum (Ujung
Pandang: Dewan Kerja Sama Ilmu Hukum Belanda Indonesia, 1998), hal. 15.
103
Hernoko, Op. Cit, hal. 118.
104
Badan Pembinaan Hukum Nasional dan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,
Simposium Hukum Perdata Nasional (Yogyakarta: 1981), sebagaimana disadur ulang dari kutipan
ibid, hal. 123.

Universitas Sumatera Utara

79

3. Sebagai kepatutan dalam tahap pelaksanaan, yaitu terkait suatu
penilaian terhadap perilaku para pihak dalam melaksanakan apa yang
telah disepakati dalam perjanjian, semata-mata bertujuan untuk
mencegah perilaku yang tidak patut dalam pelaksanaan perjanjian
tersebut.
Standar itikad baik dalam tahap pra-kontrak didasarkan pada kecermatan
dalam berkontrak. Dengan asas ini, para pihak masing-masing memiliki
kewajiban untuk menjelaskan dan meneliti fakta material yang berkaitan dengan
perjanjian tersebut. Dengan standar tersebut, perilaku para pihak dalam
melaksanakan perjanjian dan penilaian terhadap isi perjanjian harus didasarkan
pada prinsip kerasionalan dan kepatutan. 105
Dalam KUH Perdata diatur bahwa penjual berkewajiban menanggung
kenikmatan tentram dan cacat tersembunyi.

106

Kewajiban untuk menanggung

kenikmatan tentram merupakan konsekuensi atas jaminan yang diberikan penjual
kepada pembeli bahwa benda yang dijual+ dan dialihkan (lever) adalah sungguhsungguh miliknnya sendiri dan bebas dari beban atau tuntutan dari pihak lain.
Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, sebagaimana yang
tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 1816K/Pdt/1989 tanggal 22
Oktober 1992, mempertimbangkan bahwa : 107
“... pembeli tidak dapat dikualifikasikan sebagai yang beritikad baik,
karena pembelian dilakukan dengan ceroboh, ialah pada saat pembelian ia
sama sekali tidak meneliti hak dan status para penjual atas tanah
terperkara. Karena itu ia tidak pantas dilindungi dalam transaksi itu”.
105

Khairandy, Op. Cit, hal. 348.
Perhatikan Pasal 1474 jo. Pasal 1491 KUH Perdata
107
Himpunan Kaidah Hukum Putusan Perkara dalam Buku Yurisprudensi Mahkamah
Agung RI Tahun 1969 – 2001 (Jakarta: Mahkamah Agung Ri, 2002), hal. 127.
106

Universitas Sumatera Utara

80

Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, justru lebih sedikit berbeda. Pada
Perlindungan Konsumen, hubungan konsumen dan pelaku usaha diwarnai dengan
ketimpangan, dimana konsumen memiliki keterbatasan kemampuan dalam
membuktikan kesalahan pelaku usaha. Memberikan beban kepada konsumen
untuk membuktikan haknya tentu tidaklah mudah. 108 Dengan demikian, dapat
disebabkan dasar inilah sehingga lahir perspektif perihal hukum perlindungan
konsumen adalah memberikan perlindungan yang lebih besar kepada konsumen.
Hubungan konsumen dengan dengan pelaku usaha tidak dapat dipandang sebagai
suatu hubungan yang seimbang (equal).
Di Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara jelas
mewajibkan pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa, serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan atas barang atau jasa tersebut.109
Dengan demikian, pelaku usaha juga harus memberi kesempatan kepada
konsumen untuk menguji, mencoba barang atau jasa tersebut. 110
Terdapat hal-hal yang terkait dengan ketiadaan itikad baik dalam tahap
pra-kontrak, antara lain:
1. Representation dan Misrepresentation
Sebuah pernyataan (presentation) dari salah satu pihak pada saat tahap
pra-kontrak menjadi sebuah issue hukum yang signifikan ketika

108

Inosensius Samsul, Perlindungan Konsumen : Kemungkinan Penerapan Tanggung
Jawab Mutlak, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
2004), hal. 18.
109
Perhatikan Pasal 7 hurub (b) Undang-Undang Perlindungan Konsumen No 8 Tahun
1999.
110
Ibid, Pasal 7 huruf (e).

Universitas Sumatera Utara

81

pernyataan tersebut terbukti salah di masa mendatang. Dalam sistem
Common Law, dikenal sebuah doktrin yang erat dengan tanggung
jawab untuk mengungkapkan fakta material ini, yaitu doktrin
misrepresentation. Malcolm Leder dan Peter Shears menjelaskan
misrepresentation sebagai
“ ... a false statement of fact which induces the other party to enter
into the contract.” 111
Misrepresentation dapat terjadi dalam hal salah satu pihak, misalnya
penjual, membuat pernyataan yang tidak benar mengenai produk yang dijual atau
dalam hal yang bersangkutan gagal untuk mengungkapkan informasi yang
seharusnya disampaikan terkait produk tersebut.
Misrepresentation dalam pengertian yang lebih sempit dikenal pula
dengan istilah innocent misrepresentation karena dalam tindakan ini seseorang
yang melakukannya tidak memiliki maksud atau kesengajaan tertentu.
Misrepresentation sendiri memang dikategorikan menjadi beberapa bentuk sesuai
dengan tingkatan maksud dan kesengajaannya sebagai berikut : 112
1. Innocent misrepresentation, yaitu suatu pernyataan salah (false
statement) yang dibuat secara jujur, dimana pihak yang membuat
pernyataan tersebut dapat menyangkal bahwa ia telah melaukan
kelalaian.
2. Negligent misrepresentation, yaitu suatu pernyataan salah (false
statement) dimana pembuatnya dapat membuktikan bahwa pada saat
111

Malcolm Leder dan Peter Shears, Consumer Law, (London: Financial Times
Management, 1996), hal. 26.
112
Leder dan Shears, Op. Cit, hal. 26-27.

Universitas Sumatera Utara

82

melakukan negosiasi atau tahap pra-kontrak, yang bersangkutan
memiliki alasan yang wajar untuk meyakini bahwa fakta-fakta yang
diungkapkan adalah benar.
3. Fraudulent misrepresentation, yaitu pernyataan salah yang dibuat
dengan curang, dimana tindakan ini dilakukan secara sadar. Sengaja
melakukan misrepresentation adalah sebuah fraud, yang dalam sistem
Common Law dapat membuat pihak yang melakukannya harus
menanggung kerugian pihak lain dalam perjanjian tersebut.
2. Fraudulent Misrepresentation
Dalam fraudulent misrepresentation yang terjadi adalah salah satu
pihak memang berniat untuk mengungkapkan informasi yang salah
atau secara sadar mengetahui terdapat fakta material yang tidak ia
ungkapkan.

Pada

dasarnya,

misrepresentation

dan

fraudulent

misrepresentation adalah sama, kecuali pada lembaga yang terakhir ini
terdapat unsur tambahan. Yaitu adanya maksud atau pengetahuan
mengenai adanya kesalahan. 113
Jika dipaparkan lebih lanjut, maka unsur fraudulent misrepresentation
adalah :
1. Mengetahui adanya kebohongan dan secara sembrono tidak perduli
terhadap kebenarannya;
2. Adanya maksud agar pihak lain mempercayai kebohongan
tersebut;

113

Marianne M. Jennings, Op. Cit, hal. 551.

Universitas Sumatera Utara

83

3. Pihak yang lain mempercayai kebohongan tersebut;, dan
4. Pihak yang lain tersebut mengalami kerugian.
Misrepresentation yang dilakukan oleh salah satu pihak memungkinkan
pihak yang dirugikan menuntut pembatalan perjanjian, yang berarti perjanjian
tersebut dikesampingkan. Sedangkan, fraudulent misrepresentaion memberikan
hak bagi pihak yang dirugikan untuk menuntut pembatalan dan/atau ganti
kerugian. 114
Secara etis, diwajibkan kepada paara pihak yang hendak berkontrak untuk
saling memperlihatkan akhlaq dan moralitas serta itikad baiknya terhadap phak
yang lainnya dalam fase pra-kontraktual, setidak-tidaknya dan secara umumnya
pada waktu mulai berinter-aksi saat akan memulai bernegosiasi prarepresentasi,
yaitu dengan cara memperlihatkan karakternya yang baik atas dasar kejujuran dan
keterbukaan melalui caranya berperilaku terhadap sesamanya, dan secara khusus
(dan terutama) dalam fase pra-kontraktual, fase kontraktual maupun dalam fase
post-kontraktual, sehingga peluang atau potensi untuk lahirnya misrepresentasi itu
dapat diperkecil atau ditiadakan sama sekali. Karakter yang baik atas dasar
kejujuran itu memang sulit menilai keberadaan atau eksistensinya kalau hanya
sekedar melihatnya dari perilaku awal secara lahiriah para pihak saja, tetapi
setidak-tidaknya itulah yang dapat ditawarkan kepada ilmu pengetahuan hkum
c.q. hukum perjanjian di Indonesia. Para pelaku transaksi bisnis yang tak mampu
memperlihatkan karakter yang baik seperti yang diuraikan di atas ini perlahanlahan melalui seleksi alamiah akan tersingkir dari dunia transaksi bisnis itu sendiri

114

Leder dan Shears, Op. Cit, hal. 28.

Universitas Sumatera Utara

84

karena pelaku bisnis seperti ini sudah pasti dijauhi oleh customer yang
membutuhkan. 115

B. Penyelesaian Sengketa Bisnis
1. Litigasi
Litigasi merupakan suatu persiapan yang akan dilakukan dengan
menggunakan presentasi dari setiap kasus, juga termasuk di dalamnya
memberikan informasi secara menyeluruh sevagaimana proses dan kerjasama
untuk mengidentifikasi permasalahan dan menghidari permasalahan yang tak
terduga dengan melalui jalur litigasi. Sehingga berdasarkan hal tersebut dapat
dinilai bahwa jalur litigasi merupakan penyelesaian permasalahan hukum melalui
jalur pengadilan.
Pada umumnya, pelaksanaan gugatan disebut litigasi. Gugatan yang
dimaksud disini yaitu suatu tindakan yang dibawa kelingkungan pengadilan
hukum dimana penggugat, pihak yang mengakui telah mengalami kerugian dari
akibat tindakat pihak terdakwa dan menuntut upaya hukum yang adil dan merata.
Terdakwa diperlukan untuk menanggapi keluhan penggugat. Jika penggugat
berhasil, penilaian akan diberikan dalam mendukung penggugat, dan berbagai
perintah pengadilan mungkin dikeluarkan untuk menegakkan hak, kerusakan
ataupun kerugian yang ditimbulkan akibat misrepresentation atas perjanjian yang
dilakukan si terdakwa, atau memberlakukan perintah sementara atau permanen

115

Syahril Sofyan, Op. Cit, hal. 502.

Universitas Sumatera Utara

85

untuk mencegah atau memaksa tindakan. Orang yang memiliki kecenderungan
untuk litigasi daripada mencari solusi non-yudisial yang disebut sadar hukum. 116
Proses penyelesaian permasalah misrepresentation melaui litigasi berarti
memilih mekanisme penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan yang
memiliki dua lembaga dalam penyelesaiannya, yaitu melalui pengadilan umum
dan pengadilan niaga. Jika melalui pengadilan umum , yakni Pengadilan Negeri,
yang berwenang melakukan pemeriksaan sengketa bisnis (dalam hal ini
permaslaahan

misrepresentation)

memiliki

kriteria

karakteristik

sebagai

berikut: 117
1. Prosesnya formal.
2. Keputusannya dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara
(hakim)
3. Para pihak tidak terlibat dalam mebuat suatu keputusan
4. Sifat keputusan memaksa dan mengikat (coercive and binding)
5. Orientasi pada fakta hukum (mencari pihak yang bersalah)
6. Persidangan bersifat terbuka
Jika perkara misrepresentation mengakibatkan suatu pihak mengalami
kerugian hebat yang sangat dramatis hingga mengakibatkan terjadinya
permohonan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) atau
mengakibatkan terbitnya sengketa atas hak kekayaan intelektual (HAKI), maka

116

http://unakunik.blogspot.co.id/2015/01/perbedaan-antara-litigasi-dan-non.html ,
dikunjungi terakhir pada 20 Oktober 2015, pukul 20:03 Wib.
117
http://www.gresnews.com/berita/tips/0421212-tips-penyelesaian-sengketa-bisnismelalui-litigasi/0/ , dikunjungi terakhir pada 2 November 2015, pukul 13:21 Wib.

Universitas Sumatera Utara

86

diperiksan di Pengadilan Niaga yang merupakan pengadilan khusus di lingkungan
pengadilan umum.

2. Non Litigasi (Alternative Dispute Resolutiion)
Jalur non litigasi berarti menyelesaikan masalah hukum di luar pengadilan.
Jalur non-litigasi ini dikenal dengan Penyelesaian Sengketa Alternatif.
Penyelesaian perkara diluar pengadilan ini

diakui di dalam peraturan

perundangan di Indonesia. Pertama, dalam penjelasan Pasal 3 UU Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman disebutkan : 118
"Penyelesaian perkara di luar pengadilan, atas dasar perdamaian atau
melalui wasit (arbitase) tetap diperbolehkan" .
Kedua, dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa Pasal 1 angka 10 dinyatakan : 119
"Alternatif Penyelesaian Perkara (Alternatif Dispute Resolution) adalah
lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang
disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negoisasi, mediasi, atau penilaian para ahli."

Konsultasi, merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu
pihak dengan pihak lain yang merupakan konsultan, yang memberikan
pendapatnya atau saran kepada suatu pihak untuk memenuhi keperluan dan
kebutuhan pihak yang terlibat suatu akibat hukum dari misrepresentation.
Konsultan hanya memberikan pendapat (hukum) sebagaimana diminta oleh

118

Perhatikan Pasal 3 Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
119
Perhatikan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Universitas Sumatera Utara

87

kliennya, dan selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut
akan diambil oleh para pihak.
Negoisasi, penyelesaian sengketa melalui musyawarah/perundingan
langsung diantara para pihak yang bertikai dengan maksud mencari dan
menemukan bentuk-bentuk

penyelesaian yang dapat diterima para pihak.

Kesepakatan mengenai penyelesaian atas permasalahan yang timbul akibat
misrepresentation tersebut selanjutnya harus dituangkan dalam bentuk tertulis
yang disetujui oleh para pihak.
Mediasi, merupakan penyelesaian sengketa melalui perundingan dengan
dibantu oleh pihak luar yang tidak memihak/netral guna memperoleh
penyelesaian sengketa yang disepakati oleh para pihak. Konsiliasi, Consilliation
dalam bahasa Inggris berarti perdamaian , penyelesaian sengketa melalui
perundingan dengan melibatkan pihak ketiga yang netral (konsisliator) untuk
membantu pihak yang berdetikai dalam menemukan bentuk penyelesaian yang
disepakati para pihak. Hasil konsilisiasi ini ini harus dibuat secara tertulis dan
ditandatangani secara bersama oleh para pihak yang bersengketa, selanjutnya
harus didaftarkan di Pengadilan Negeri. Kesepakatan tertulis ini bersifat final dan
mengikat para pihak.
Pendapat ahli, upaya menyelesaikan sengketa dengan menunjuk ahli
untuk memberikan pendapatnya terhadap masalah yang dipersengketakan untuk
mendapat pandangan yang obyektif. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
(non-litigasi)

merupakan

upaya

tawar-menawar

atau

kompromi

untuk

memperoleh jalan keluar yang saling menguntungkan. Kehadiran pihak ketiga

Universitas Sumatera Utara

88

yang netral bukan untuk memutuskan sengketa, melainkan para pihak sendirilah
yang mengambil keputusan akhir.

C. Itikad Baik Dan Penyelesaian Sengketa Dalam Misrepresentation
Pada negara yang menganut paham sistem hukum civil law, apabila telah
terjadi penyesuaian kehendak dan telah disepakai oleh para pihak, maka sebuah
dokumen prakontraktual telah memiliki kekuatan untuk melaksanakannya dan
memiliki kekuatan yang mengikat pula. Sehingga lahirlah hak dan kewajiban
yang harus dipatuhi oleh para pihak. Hal ini merupakan implementasi dari itikad
baik dalam berkontrak bilamana terjadi misrepresentation. 120
Jika memperhatikan pada negara yang menganut hukum common law,
sebagai contoh Amerika Serikat, para pihak bebas untuk mengadakan negosiasi
serta bebas untuk mengundurkan diri dari proses negosiasi tanpa adanya resiko
yang bertanggung jawab.
Sebagai contoh kasus di Amerika Serikat, berdasarkan 729 S.W.2d 768
Tex.Ct.App.1987. Juri Amerika Serikat telah menghukum perusahaan raksaksa
minyak Texaco untuk membayar US$ 10,530 Miliar kepada Pennzoil termasuk
membayar ganti rugi hukuman sebesar US $ 3,000. Inti dari kasus tersebut adalah
mengenai masalah apakah suatu persetujuan antara Pennzoil dan Getty Oil pada
prinsipnya merupakan kontrak yang terjadinya kesalahan dalam pemaparan
kehendak dan maksud dari perjanjian. Apakah prakarsa negosiasi dengan
Gettyoleh Texaco merupakan campur tangan secara melawan hukum yang
120

Salim, HS. Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding, Op. Cit, hal.

64.

Universitas Sumatera Utara

89

mempengaruhi hubungan hukum yang akan datang antara Pennzoil dengan Getty
Oil. Kasus tersebut diakhiri dengan penyelesian sengketa secara damai bahwa
Texaco setuju untuk membayar sebesar US $ 3,000 miliar kepada Pennzoil.
Dalam sistem hukum Civil Law telah mengakui kewajiban prakontraktual berada
dibawah doktrin itikad baik. 121

121

http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-394-473160833
terakhir pada 13 November 2015, pukul 11:12 Wib

,

dikunjungi

Universitas Sumatera Utara

90

BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK YANG
MENGALAMI MISREPRESENTATION DALAM SUATU KONTRAK

A. Para Pihak Dalam Kontrak
Menurut Syahril Sofyan, dapat dikatakan hampir seluruh literatur tentang
hukum perjanjian di Indonesia menguraikan tentang wanprestasi seorang debitur
menjadi empat jenis, yaitu : 122
1. Sama sekali tidak memenuhi prestasi;
2. Tidak tunai memenuhi prestasi;
3. Terlambat memenuhi prestasi;
4. Keliru memenuhi prestasi.
Syahril Sofyan juga berpendapat bahwa prestasi yang dilaksanakan yang
kemudian di kwalifikasikan tersebut termasuk ke dalam misrepresentation ini
secara umum dapat saja berbentuk atau dimasukkan ke dalam wanprestasi mulai
dari jenis pertama sampai jenis keempat, baik secara bersama-sama maupun
sendiri-sendiri. Ini merupakan penjelasan jawaban yang normatif yang diperoleh
dari literatur-literatur Hukum Perjanjian (menurut Hukum Adat maupun menurut
Hukum Perdata Indonesia). 123
Hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen memang dapat
bersifat kontraktual ataupun non kontraktual. Kedua hubungan hukum tersebut
dapat terjadi karena persetujuan maupun karena undang-undang. Istilah sebutan
122
123

Syahril Sofyan, Op Cit, hal. 149.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

91

“produsen” untuk para pelaku usaha pun digunakan oleh para ahli untuk
mengemukakan beberapa teori hubungan antara hukum dan perlindungan
konsumen (hubungan antara produsen dan konsumen), yaitu :
1.

124

Teori Kontrak
Menurut teori kontrak, hubungan antara produsen dan konsumen sebaliknya
dilihat sebagai suatu kontrak dan kewajiban produsen terhadap konsumen
didasarkan atas kontrak itu. Jika konsumen membeli sebuah produk, ia
seolah-olah mengadakan kontrak dengan perusahaan yang menjualnya.
Perusahaanmengetahui dan ingin menyerahkan produk dengan ciri-ciri
tertentu kepada si pembeli dan si pembeli membayar uang yang disetujui
karena

kontrak

diadakan

dengan

bebas,

produsen

berkewajiban

menyampaikan produk dengan ciri-ciri tersebut, bukan sesuatu yang
berbeda dan si konsumen berhak memperoleh produk itu setelah jumlah
uang dilunasi menurut cara pembayaran yang telah disepakati. Teori kontrak
ini sejalan dengan pepatah Romawi Kuno yang berbunyi caveat emptor
(hendaknya si pembeli berhati-hati). Sebagaimana sebelum menandatangani
sebuah kontrak, maka harus membaca dengan teliti seluruh teksnya
termasuk huruf-huruf yang terkecil sekalipun, demikian juga si pembeli
harus mempelajari dengan teliti keadaan produk serta ciri-ciri sebelum ia
membayar dan menjadi pemiliknya. Transaksi jual beli harus dijalankan
sesuai dengan tertera dalam kontrak itu dan hak pembeli maupun kewajiban
penjual memperoleh dasarnya dari situ.

124

K. Bertens, Etika, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007), hal. 233.

Universitas Sumatera Utara

92

2.

Teori Perhatian Semestinya
Berbeda

dengan

teori

kontrak,

teori

perhatian

semestinya

tidak

menyetarakan produsen dan konsumen, melainkan bertolak dan kenyataan
bahwa konsumen selalu dalam posisi lemah karena produsen mempunyai
jauh lebih banyak pengetahuan dan pengalamannya tentang produk, ia
mempunyai kewajiban menjaga agar si konsumen tidak mengalami kerugian
dari produk yang dibelinya. Teori perhatian semestinya tidak memfokuskan
kontrak atau persetujuan antara konsumen dan produsen, melainkan
terutama kualitas produk serta tanggung jawab produsen karena itu,
tekanannya bukan pada segi hukum saja seperti teori kontrak, melainkan
pada etika dalam arti luas. Norma dasar yang melandasi teori adalah bahwa
seseorang tidak boleh merugikan orang lain dengan kegiatannya.
3.

Teori Biaya Sosial
Teori biaya sosial menegaskan bahwa produsen bertanggung jawab atas
semua kekurangan produk dan setiap kerugian yang dialami konsumen
dalam memakai produk tersebut. Hal itu berlaku juga, walau produsen
sudah mengambil semua tindakan yang semestinya dalam merancang serta
memproduksi produk bersangkutan atau mereka sudah memperingatkan
konsumen tentang resiko yang berkaitan dengan pemakaian produk.
Konsumen berasal dari bahasa Inggris dari kata consumer atau bahasa

Belanda dari kata consument/konsument, dimana yang memiliki arti secara harfiah

Universitas Sumatera Utara

93

adalah setiap orang yang menggunakan barang. 125 Dengan demikian dapat di
definisikan menjadi beberapa arti dari definis konsumen adalah sebagai berikut: 126
1.

Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan jasa untuk
tujuan tertentu;

2.

Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau
jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang dan/atau jasa lain
untuk diperdagangkan (tujuan komersial);

3.

Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan
menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan
hidup pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk
diperdagangkan kembali (non komersial).
Menurut UU Perlindungan Konsumen definisi konsumen pada Pasal 1

angka (2) UU Perlindungan Konsumen adalah : 127
“ setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain
maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Pernyataan tidak untuk diperdagangkan menunjuk kepada jenis konsumen
tertentu yang dilindungi berdasarkan UU Perlindungan Konsumen. Konsumen
yang dimaksudkan dalam UU Perlindungan Konsumen adalah konsumen akhir.
Hal ini berarti bahwa konsumen membeli barang atau jasa tersebut untuk dipakai
atau dimanfaatkan untuk kepentingan diri sendiri atau orang lain.

125

A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit
Media, 2007), hal. 21
126
Ibid, hal. 29.
127
Perhatikan Pasal 1 angka (2) Undang-undang No. 9 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen.

Universitas Sumatera Utara

94

UU Perlindungan Konsumen terdiri dari 15 Bab dan 65 Pasal dan
mengatur mengenai aspek hukum tentang perlindungan konsumen. UU
Perlindungan Konsumen memberikan pengertian dari perlindungan konsumen
dengan cukup luas, yaitu : 128
“segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen”.

Adanya konsumen tersebut tentunya berkaitan dengan pengertian pelaku
usaha. Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka (3) UU Perlindungan
Konsumen adalah:
“Setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang terbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hkum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi”.

Pengertian pelaku usaha juga memiliki arti yang luas dalam UU
Perlindungan Konsumen. Tidak hanya para produsen pabrikan yang menghasilkan
barang dan atau jasa yang tunduk pada UU Perlindungan Konsumen. Akan tetapi,
cakupan pelaku usaha tersebut juga para rekanan, termasuk para agen, distributor,
serta jaringan–jaringan yang melaksanakan fungsi pendistribusian dan pemasaran
barang dan atau jasa kepada masyarakat luas selaku pemakai dan atau penggunaan
barang dan atau jasa. 129
Lebih lanjut kegiatan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha tersebut
berkaitan pula dengan barang dan jasa. Barang dan jasa adalah obyek dari
128

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 4.
129
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

95

kegiatan usaha yang ditawarkan kepada para konsumen. Pengertian barang dan
atau jasa yang dimaksudkan dalam Pasal 1 ayat 4 jo Pasal 1 ayat 5 UU
Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut :
“Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik
bergerak maupun tidak bergerak, dapat di habiskan maupun tidak dapat
dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan,
atau dimanfaatkan oleh konsumen”; dan
“Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk perkerjaan atau prestasi
yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen”.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka terdapat pendapat atas pengaturan
tentang perlindungan konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen, sebagai
berikut : 130
1.

Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen tidak memberikan
perumusan maupun pengelompokan yang jelas mengenai macam dan jenis
barang

yang

dilindungi.

Hal

ini

erat

kaitannya

dengan

sifat

pertanggungjawaban yang dapat dikenakan atau dipikulkan kepada pelaku
usaha dengan siapa konsumen telah berhubungan. Tidak adanya perumusan
atau pengelompokan atau pembedaan yang jelas dari jenis/ macam barang
dan atau jasatersebut pada satu sisi “dapat” memberikan keuntungan
tersendiri pada “konsumen” yang memanfaatkan, mempergunakan, ataupun
memakai suatu jenis barang dan jasa tertentu dalam kehidupan sehariharinya.

130

Ibid, hal. 9.

Universitas Sumatera Utara

96

2.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen sangat menekankan pada
pentingnya arti dari “Konsumen”, di mana dalam penjelasan Undangundang Perlindungan Konsumen tersebut ditegaskan bahwa :
“Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan
konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat
akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen
yang mempergunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi
suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam Undang-undang ini
adalah konsumen akhir.”

Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen yang dijabarkan dalam
UU Perlindungan Konsumen masih sangat terbuka untuk melahirkan berbagai
macam penafsiran. Undang-undang Perlindungan Konsumen yang tampak sangat
melindungi kepentingan konsumen, sesuai dengan yang dibutuhkan oleh
konsumen, dan bukan hanya semata-mata perlindungan yang dikehendaki oleh
pelaku usaha dan atau the ruling class untuk kepentingan mereka sendiri. 131

B. Perlindungan

Hukum

Bagi

Para

Pihak

Yang

Mengalami

Misrepresentation Dalam Suatu Kontrak
1. Konsumen
a. Hak Konsumen
Hubungan antara hukum perjanjian dan perlindungan konsumen secara
tersirat juga tercantum pada Pasal 1321 dan Pasal 1365 KUH Perdata. UU
Perlindungan Konsumen merupakan pedoman yuridis dalam melakukan
perlindungan hukum terhadap konsumen. Di dalam UU Perlindungan Konsumen

131

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

97

diatur mengenai hak-hak konsumen yang harus dihormati dan dijamin
pelaksanaannya serta penerapannya. Hak-hak konsumen yang diatur dan dijamin
dalam UU Perlindungan Konsumen ditetapkan dengan 9 (sembilan) hak
konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen, yaitu :
1.

hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi
barang dan/atau jasa;

2.

hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan
nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3.

hak

atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;
4.

hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;

5.

hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6.

hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7.

hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;

8.

hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya;

9.

hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.

Universitas Sumatera Utara

98

Hak-hak konsumen tersebut tentunya harus dihormati dan ditaati oleh para
pihak yang berkaitan, terutama oleh pelaku usaha. Selain itu, hak-hak konsumen
tersebut tentunya bagian dari hak dasar manusia sebagai konsumen. Rumusan
hak-hak konsumen secara garis besar dapat dibagi dalam tiga hak yang menjadi
prinsip dasar, yaitu:
a.

Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik
kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan;

b.

Hak untuk memperoleh barang dan/ atau jasa dengan harga yang wajar; dan

c.

Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan
yang dihadapi. 132
Oleh karena ketiga hak/ prinsip dasar tersebut merupakan himpunan

beberapa hak konsumen sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Konsumen,
maka hal tersebut sangat esensial bagi konsumen, sehingga dapat dijadikan/
merupakan prinsip perlindugan hukum bagi konsumen di Indonesia. Apabila
konsumen benar-benar akan dilindungi, maka hak-hak konsumen yang disebutkan
di atas harus dipenuhi baik oleh pemerintah maupun oleh produsen, karena
pemenuhan hak-hak konsumen tersebut akan melindungi kerugian konsumen dari
berbagai aspek. 133
Hal ini dikarenakan konsumen mempunyai hak untuk memperoleh
informasi. Adapun hak atas informasi sebagaimana dimaksud dalam UU
Perlindungan Konsumen Pasal 4 merupakan perkembangan dari hak-hak dasar

132

Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, Hukum Perlindung