Hubungan Antara Tinea Pedis dengan Terjadinya Onikomikosis di RSUP H. Adam Malik Medan Chapter III V

BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan pendekatan
potong lintang (cross sectional study).
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
3.2.1 Waktu penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari hingga November 2016.
3.2.2 Tempat penelitian
1. Penelitian dilakukan di Divisi Mikologi SMF IKKK RSUP H. Adam
Malik Medan.
2. Pemeriksaan KOH dan kultur jamur dilakukan di Laboratorium
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
(FKUSU) Medan.
3.3

Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi
1.


Populasi target
Pasien - pasien yang diduga tinea pedis dan onikomikosis.

2.

Populasi terjangkau
Pasien - pasien

yang diduga tinea pedis dan onikomikosis yang

datang ke Divisi Mikologi SMF IKKK RSUP H. Adam Malik Medan
sejak bulan Februari hingga November 2016.

37
Universitas Sumatera Utara

38

3.3.2 Sampel

Bagian dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi.
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.4.1 Kriteria inklusi:
1. Pasien diduga tinea pedis dan onikomikosis berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis.
2. Pasien berumur di atas 17 tahun.
3. Bersedia ikut serta dalam penelitian dengan menandatangani informed
consent.
3.4.2 Kriteria eksklusi:
Sedang mendapatkan pengobatan berupa antijamur topikal dalam 1 minggu
terakhir dan antijamur oral dalam 1 bulan terakhir.
3.5

Besar Sampel
Untuk menghitung besar sampel, digunakan rumus berikut.
Rumus :
n =

zα √2PQ + zβ √P1Q1 +P2Q2


2

P1 – P2
dimana :
Zα : deviat baku alpha, untuk α : 0,05 : 1,96
Zβ : deviat baku beta, untuk β : 0,20 : 0,84

P2 : proporsi tinea pedis dan onikomikosis: 0,117
P1-P2 : beda proporsi yang bermakna = 0,3  P1 : 0,4
P

: P1 + P2 = 0,25
2

Q1

: (1-P1 ) = 0,6

Universitas Sumatera Utara


39

Q2

: (1-P2) = 0,9

Q

: 1 – P = 0,75

Maka :
n
=

1,96 √2 x0,25x0,75 + 0,84 √0,4x0,6 +0,1x0,9

2

0,3

= 32
Sampel untuk penelitian ini digenapkan menjadi 40 orang.
3.6

Cara Pengambilan Sampel Penelitian
Cara pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode
consecutive sampling.

3.7 Identifikasi Variabel
3.7.1 Variabel bebas : tinea pedis.
3.7.2 Variabel terikat : onikomikosis.
3.8 Definisi Operasional
1. Usia adalah usia pasien saat pertama datang dihitung dari tanggal lahir,
bulan dan tahun, bila lebih dari 6 bulan, usia dibulatkan ke atas, bila
kurang dari 6 bulan, usia dibulatkan ke bawah berdasarkan catatan rekam
medik, yang dikelompokkan menjadi usia 17-26 tahun, 27-36 tahun, 3746 tahun, 47-56 tahun, 57-66 tahun. Skala ukur adalah ordinal.
2. Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang terakhir diselesaikan
oleh pasien, dikategorikan dengan tidak sekolah, SD / sederajat, SMP /
sederajat, SMA / sederajat, perguruan tinggi seperti yang tercatat di
rekam medik. Skala ukur adalah ordinal.

3. Pekerjaan adalah pencaharian yang dijadikan pokok penghidupan /
sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan nafkah, dikategorikan dengan

Universitas Sumatera Utara

40

PNS/ TNI/ Polri, pegawai swasta, wiraswasta, petani, buruh, pensiunan,
dan lain-lain, seperti yang tercatat dalam rekam medik. Skala ukur adalah
nominal.
4. Pasien diduga tinea pedis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis
bila dijumpai keluhan bercak merah dan bersisik yang gatal pada kaki,
secara klinis tampak makula eritema, skuama atau maserasi pada regio
interdigitalis, makula eritema, skuama, papul eritema atau vesikel/
pustula pada regio plantar pedis dan dapat mengenai dorsum pedis.
5. Tinea pedis adalah infeksi dermatofita pada kaki yang ditegakkan
diagnosisnya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis disertai
dengan pemeriksaan mikroskopis KOH yang positif dengan dijumpainya
hifa dan /atau artrokonidia dan kultur jamur yang positif dengan
dijumpainya spesies dermatofita. Skala ukur adalah nominal.

6. Gambaran klinis tinea pedis terdiri dari 4 tipe yaitu tipe interdigitalis,
hiperkeratotik kronis, vesikobulosa dan ulseratif akut atau gabungan.
Skala ukur adalah nominal.
7. Pasien diduga onikomikosis adalah berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis bila dijumpai keluhan kuku kaki rusak, berubah
warna, menebal dan secara klinis tampak kuku distrofik, diskolorisasi,
hiperkeratosis, atau adanya debris subungual.
8.

Onikomikosis / tinea unguium adalah infeksi pada kuku kaki yang
disebabkan oleh dermatofita yang ditegakkan diagnosisnya berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan klinis disertai pemeriksaan KOH yang positif
dengan dijumpainya hifa dan / atau artrokonidia dan kultur jamur yang

Universitas Sumatera Utara

41

positif dengan dijumpainya spesies dermatofita. Skala ukur adalah
nominal.

9. Gambaran klinis onikomikosis terdiri dari 5 tipe yaitu DLSO, SWO, PSO,
EO dan TDO atau gabungan.
10. Anti jamur topikal merupakan obat-obat anti jamur yang dioleskan pada
daerah lesi; obat-obat anti jamur topikal tersebut seperti golongan
imidazol, allilamin, benzilamin, polien, siklopiroks olamin, tolnaftat,
undecylenic acid dan lain-lain.
11. Anti jamur oral merupakan obat-obat anti jamur yang diberikan secara
oral; obat-obat anti jamur oral tersebut seperti golongan allilamin, triazol,
imidazol, griseofulvin dan lain-lain.
3.9

Alat, Bahan dan Cara Kerja

3.9.1 Alat dan bahan
1. Alat yang digunakan adalah kapas alkohol 70%, skalpel dengan blade
no 15 steril, gunting kuku, wadah spesimen (amplop), gelas objek, gelas
penutup (cover slip), piring petri steril, lampu spiritus, pipet tetes,
mikroskop cahaya.
2. Bahan yang digunakan adalah kerokan kulit dan kuku, larutan KOH 1020%, media SDA, sikloheksamid (0,5 g/l), kloramfenikol (0,05 g/l),
larutan Lactophenol cotton blue (LPCB).

3.9.2 Cara kerja
1. Pencatatan data dasar
Pencatatan data dasar dilakukan oleh peneliti di Divisi Mikologi SMF
IKKK RSUP H. Adam Malik Medan meliputi identitas penderita

Universitas Sumatera Utara

42

seperti nama, jenis kelamin, tempat/tanggal lahir, pendidikan,
pekerjaan, alamat dan nomor telepon.
2. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan dermatologis.
3. Pengambilan spesimen kulit kaki dilakukan dengan cara:
a. Spesimen diambil dari tempat lesi.
b. Daerah tersebut terlebih dahulu dibersihkan dengan kapas alkohol
70% dan ditunggu kering.
c. Dilakukan kerokan dengan bagian tumpul dari skalpel.
d. Spesimen dimasukkan ke dalam 2 wadah spesimen (amplop) dan
diberi label identitas pasien.
4. Pengambilan spesimen kuku dilakukan dengan cara:

a. Spesimen diambil dari kuku yang diduga terinfeksi.
b. Sela-sela jari dan telapak kaki kuku jari kaki dibersihkan dengan
kapas alkohol 70%, jika kuku sangat kotor terlebih dahulu dicuci
dengan sabun dan air.
c. Spesimen diambil dari kuku yang digunting dan kerokan dari nail
bed. Bila perlu dengan mengerok kuku bagian proksimal.
d. Spesimen dikumpulkan dalam 2 wadah spesimen (amplop) dan diberi
label identitas pasien.
5. Spesimen kemudian dibawa ke Laboratorium Mikrobiologi FK USU
untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis dengan KOH dan kultur
jamur.

Universitas Sumatera Utara

43

6. Pemeriksaan mikroskopis dengan KOH:
a. Spesimen diambil secukupnya kemudian diletakkan di atas gelas
objek dan ditetesi dengan larutan KOH 10% untuk kerokan kulit dan
larutan KOH 20% untuk kerokan kuku dan ditutup dengan gelas

penutup (coverslip).
b. Sediaan dibiarkan selama 5 menit untuk kerokan kulit, 30 menit
untuk kerokan kuku dan 1-2 jam untuk potongan kuku.
c. Sediaan diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 10 x 40
untuk melihat ada tidaknya hifa dan artrokonidia.
7. Bila hasil pemeriksaan mikroskopis langsung dijumpai hifa dan / atau
artrokonidia, pemeriksaan dilanjutkan dengan kultur jamur.
8. Pemeriksaan kultur jamur
Spesimen dihapuskan pada permukaan media SDA yang ditambahkan
sikloheksamid (0,5 g/l) dan kloramfenikol (0,05 g/l), kemudian
diinkubasi pada temperatur ruangan (26 oC). Pengamatan dilakukan
hingga terdapat pertumbuhan jamur (maksimal ditunggu sampai
minggu keempat), kemudian diidentifikasi secara makroskopis dan
mikroskopis. Identifikasi makroskopis dilakukan dengan mengamati
morfologi koloni jamur yang tumbuh yaitu warna permukaan koloni
dan warna dasar koloni, tekstur permukaan koloni (bertepung, granular,
berbulu, seperti kapas, kasar), bentuk koloni (meninggi, berlipat),
pinggir koloni. Setelah itu dilakukan identifikasi secara mikroskopis
dengan larutan LPCB yaitu dengan cara sehelai selotip ditekankan ke
permukaan koloni jamur dan ditarik ke atas, hifa dari koloni akan

Universitas Sumatera Utara

44

melekat kuat pada selotip kemudian selotip dilekatkan di atas gelas
objek yang telah ditetesi satu tetes LPCB dan dilihat dengan mikroskop
cahaya pembesaran 10x40, diamati hifa dan konidia (makrokonidia dan
mikrokonidia). Hasil pemeriksaan positif bila dijumpai spesies
dermatofita.
9. Interpretasi hasil dilakukan oleh konsultan mikrobiologi bersama
dengan peneliti.
10. Penelitian ini disupervisi oleh pembimbing.

Universitas Sumatera Utara

45

3.10

Kerangka Operasional

Pasien diduga tinea pedis dan onikomikosis yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

Sampel penelitian

Spesimen kerokan kulit kaki

Spesimen kuku

KOH

KOH

(-)

(+)

(+)

Kultur jamur

Kultur jamur

(-)

Tinea pedis (-)

(-)

(+)

Tinea pedis (+)

(- )

(+)

Onikomikosis (+)

Onikomikosis (-)

Analisis chi square
Gambar 3.1 Diagram kerangka operasional

Universitas Sumatera Utara

46

3.11

Pengolahan dan Analisis Data
Data yang terhimpun ditabulasi dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.
Analisis statistik diolah dengan memakai sistem komputer. Untuk menilai
hubungan antara tinea pedis dan onikomikosis dilakukan uji statistik chi
square, bila syarat uji chi square tidak terpenuhi maka digunakan uji
alternatif yaitu uji Fisher. Syarat uji chi square adalah jumlah sel yang
mempunyai nilai expected kurang dari 5, maksimal sebanyak 20% dari
jumlah sel yang ada.

3.12

Ethical Clearance
Peneitian ini sudah memperoleh persetujuan dari Komisi Etik Penelitian
bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan
RSUP H.Adam Malik Medan dengan nomor: 183/KOMET/FK USU/2016.

Universitas Sumatera Utara

BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Februari hingga November 2016 di
SMF IKKK RSUP H.Adam Malik Medan yang melibatkan subjek penelitian
sebanyak 40 orang. Seluruh subjek penelitian menjalani anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan dermatologis, selanjutnya dilakukan kerokan kulit dari lesi
di kaki dan kuku kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium yaitu
pemeriksaan KOH dan kultur jamur di Laboratorium Mikrobiologi FK USU
Medan.
4.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Karakteristik subjek penelitian ditampilkan berdasarkan distribusi jenis
kelamin, kelompok usia, pendidikan dan pekerjaan.
4.1.1 Jenis kelamin
Tabel 4.1 Distribusi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin
Jenis kelamin
Perempuan
Laki-laki
Total

n
26
14
40

%
65,0
35,0
100,0

Berdasarkan tabel 4.1, dapat dilihat bahwa sebagian besar subjek penelitian
adalah perempuan yaitu sebanyak 26 orang ( 65%).
Penelitian sebelumnya oleh Lubis di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun
2014 juga menjumpai hal yang sama dimana jumlah subjek penelitian dengan
dugaan onikomikosis lebih banyak pada perempuan (71,4%).40 Dari penelitian
47
Universitas Sumatera Utara

48

retrospektif yang dilakukan oleh Harahap di SMF IKKK RSUP H.Adam Malik
Medan tahun 2009 – 2012 diketahui perempuan lebih banyak menderita tinea
pedis (4,8%) daripada laki-laki (3,1%), demikian juga pada tinea unguium
perempuan lebih banyak (2,7%) daripada laki-laki (1,2%) dari seluruh infeksi
jamur superfisial.7 Penelitian retrospektif oleh Gaya et al di Poliklinik IKKK
RSUP Dr.M.Djamil Padang dari Januari 2013 hingga Juli 2016 juga menjumpai
perempuan lebih banyak (66%) daripada laki-laki (34%) dari 52 kasus
onikomikosis.44 Penelitian oleh Bramono et al menjumpai perempuan lebih banyak
menderita onikomikosis daripada laki-laki dengan rasio 1,5:1 sampai 2:1 yang
diperoleh dari tiga studi pada tahun 1998 dan tahun 2003 di Indonesia. Hal ini
disebutkan karena sebagian besar subjek adalah ibu rumah tangga yang
mengerjakan pekerjaan basah seperti mencuci pakaian dan membersihkan rumah
dimana pekerjaan basah dan trauma berulang diketahui menjadi salah satu faktor
predisposisi terjadinya onikomikosis.11
Pada penelitian ini subjek dengan dugaan tinea pedis dan onikomikosis paling
banyak berjenis kelamin perempuan, kemungkinan hal ini berhubungan dengan
perempuan lebih perhatian terhadap masalah kesehatan dan penampilan diri,
sehingga lebih cepat memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan. Hal yang sama
dijumpai oleh Tao-Xiang et al di Lanzhou China dimana tinea pedis dan
onikomikosis lebih banyak pada perempuan yang menurut peneliti mungkin
disebabkan perempuan lebih perhatian terhadap masalah kosmetik dan kualitas
hidup.45 Azambuja et al di Rio Grande Brazil yang meneliti onikomikosis pada
pasien klinik dermatologi privat dan klinik rawat jalan Dermatologi RS

Universitas Sumatera Utara

49

Universitas Rio Grande dari Januari 2011 sampai Juni 2012 juga menjumpai kasus
onikomikosis lebih banyak pada perempuan (72,9%) daripada laki-laki (27,1%).46
Beberapa penelitian di atas menunjukkan perempuan lebih banyak menderita
tinea pedis maupun onikomikosis, namun beberapa penelitian lain menunjukkan
hal yang berbeda seperti pada penelitian oleh Ungpakorn et al di Thailand
mendapatkan rasio laki-laki dengan perempuan menderita tinea pedis adalah 3:1,
sedangkan pada onikomikosis rasio laki-laki dibanding perempuan adalah 2:1.47
Demikian juga Tan di The National Skin Centre Singapura menjumpai laki-laki
sedikit lebih banyak daripada perempuan menderita onikomikosis.48
Ghannoum et al yang melakukan penelitian multisenter onikomikosis di
Amerika Utara dari Juni 1997 hingga Mei 1998 menjumpai subjek laki-laki dua
kali lebih besar mengalami onikomikosis daripada subjek perempuan (58% adalah
laki-laki, OR 2,26, 95%CI 1,4-3,5).41 Perea et al yang meneliti prevalensi dan
faktor risiko tinea pedis dan tinea unguium pada populasi umum di Spanyol pada
tahun 1997 juga mendapatkan risiko pasien menderita tinea pedis dan tinea
unguium lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan.49 Demikian juga
Szepietowski et al yang melakukan penelitian prospektif

di Polandia antara

September 2004 hingga April 2005 menemukan ko-eksistensi onikomikosis dan
tinea pedis lebih banyak pada laki-laki.16 Tinea pedis dan onikomikosis lebih
sering dijumpai pada laki-laki daripada perempuan, kemungkinan disebabkan pada
laki-laki aktivitas lebih tinggi, lebih sering memakai sepatu tertutup, lebih terpapar
dengan trauma dan kondisi yang lembab dan panas.5

Universitas Sumatera Utara

50

4.1.2 Kelompok usia
Tabel 4.2 Distribusi subjek penelitian berdasarkan kelompok usia
Usia
17–26
27–36
37–46
47–56
57–66

n
3
5
14
13
5

Total
Mean : 45,0

40
SD : 11,1

%
7,5
12,5
35,0
32,5
12,5
Min : 18

100,0
Max : 66

Tabel 4.2 menunjukkan dari total 40 subjek penelitian, paling banyak berada
pada kelompok usia 37–46 tahun yaitu sebanyak 14 orang (35%) diikuti dengan
usia 47–56 tahun sebanyak 13 orang (32,5%). Rerata usia subjek adalah 45 tahun
dan usia paling rendah adalah 18 tahun, sedangkan usia paling tinggi adalah 66
tahun.
Lubis di RSUP H.Adam Malik Medan yang meneliti tentang onikomikosis
menjumpai subjek dengan onikomikosis paling banyak pada usia 16–25 tahun
(22,9%) dan usia 56–65 tahun (22,9%).40
Harahap melaporkan antara tahun 2009–2012 di RSUP H.Adam Malik Medan
yang terbanyak menderita tinea pedis adalah pada usia dewasa (18–45 tahun)
diikuti dengan usia lansia (>45 tahun) yaitu 3,7% dan 3,5%, demikian juga
onikomikosis paling banyak pada usia dewasa (18–45 tahun) diikuti dengan lansia
(>45 tahun) yaitu 1,9% dan 1,5% dari seluruh dermatomikosis.7 Penelitian oleh
Bramono et al menjumpai insidensi onikomikosis tertinggi pada kelompok usia
25-45/50 tahun.12
Penelitian oleh Tao-Xiang et al di Lanzhou China menjumpai prevalensi tinea
pedis dan onikomikosis paling tinggi pada usia 30–49 tahun.45 El Fekih et al di

Universitas Sumatera Utara

51

Tunisia mendapatkan prevalensi paling tinggi mikosis pada kaki adalah pada usia
50–59 tahun, yaitu 76 %.50
Perea et al yang meneliti prevalensi dan faktor risiko tinea pedis dan tinea
unguium pada populasi umum di Spanyol mendapatkan usia tidak menjadi faktor
risiko untuk tinea pedis, tetapi secara signifikan risiko meningkat dengan
bertambahnya usia pada tinea unguium.49
Pierard melaporkan dari survey 90.085 subjek dari 16 negara di Eropa
diketahui meningkatnya umur menunjukkan efek signifikan terhadap insidensi
tinea pedis atau onikomikosis. Insidensi tinea pedis yang disertai onikomikosis
juga meningkat dengan bertambahnya umur, dengan 25,7% individu usia tua
mempunyai kedua tipe infeksi.51
Pada penelitian ini, subjek paling banyak berada pada kelompok usia 37–46
tahun (35%) yang menunjukkan usia aktif bekerja. Prevalensi tinea pedis dan
onikomikosis paling tinggi pada usia dewasa dan terutama pada onikomikosis
prevalensi meningkat pada usia tua. Hal ini mungkin dapat dijelaskan bahwa
kelompok usia ini terutama aktif dalam bekerja sehingga lebih terpapar dengan
trauma, keringat, keadaan lembab dan panas.44
4.1.3 Tingkat pendidikan
Tabel 4.3 Distribusi subjek penelitian berdasarkan tingkat pendidikan
Pendidikan

n

%

SD

11

27,5

SMP

16

40,0

SMA

8

20,0

Perguruan Tinggi

5

12,5

Total

40

100,0

Universitas Sumatera Utara

52

Tabel 4.3 menunjukkan subjek dijumpai pada seluruh tingkat pendidikan mulai
dari tamat SD sampai tamat perguruan tinggi dimana yang terbanyak dijumpai
adalah tamat SMP sebesar 40% diikuti dengan tamat SD sebesar 27,5%.
Szepietowski et al

yang meneliti faktor- faktor yang mempengaruhi ko-

eksistensi onikomikosis dan tinea pedis menyatakan tingkat pendidikan yang
rendah secara signifikan mempengaruhi terjadinya tinea pedis dan onikomikosis
dimana dijumpai persentase yang lebih tinggi pada pasien dengan tingkat
pendidikan yang lebih rendah (tingkat SD 42,9%, SMA 33,4%, perguruan tinggi
30,9%).16
4.1.4 Pekerjaan
Tabel 4.4 Distribusi subjek penelitian berdasarkan pekerjaan
Pekerjaan

n

%

PNS

2

5,0

Pensiunan

1

2,5

Pegawai swasta

4

10,0

Wiraswasta

2

5,0

Buruh

4

10,0

Petani

6

15,0

Pembantu rumah tangga

9

22,5

Ibu rumah tangga

7

17,5

Pekerja cuci mobil

3

7,5

Pekerja bengkel

1

2,5

Tidak bekerja

1

2,5

40

100,0

Total

Tabel 4.4 menunjukkan pekerjaan subjek bervariasi terdiri dari PNS, pegawai
swasta, pensiunan, wiraswasta, buruh, petani, pembantu rumah tangga, ibu rumah
tangga, pekerja bengkel dan pekerja cuci mobil dengan pekerjaan yang paling

Universitas Sumatera Utara

53

banyak adalah pembantu rumah tangga yaitu sebanyak 9 orang (22,5%), diikuti
dengan ibu rumah tangga sebanyak 7 orang (17,5%) dan petani sebanyak 6 orang
(15%).
Penelitian oleh Lubis menjumpai pekerjaan pasien onikomikosis yang paling
banyak adalah ibu rumah tangga (25,7%), diikuti dengan mahasiswa dan buruh
kebun masing masing 22,9%.40 Penelitian oleh Jamaliyah mendapatkan proporsi
tinea pedis dan onikomikosis sebesar 11,1% pada pekerja pabrik tahu di Medan.52
Sahin et al meneliti tentang dermatofitosis pada petani di Turki dan
menemukan proporsi tinea pedis pada 23 orang petani dari 467 orang penduduk
pedesaan (19,4%) dan onikomikosis pada 21 orang petani (17,7%).53 Penelitian El
Fekih et al di Tunisia mendapatkan prevalensi mikosis pada kaki tertinggi pada
pekerja manual sebesar 70,8% dan pensiunan sebesar 71,4%.50 Perea et al di
Spanyol menjumpai pekerjaan (pekerja kerah putih versus pekerja kategori
lainnya) berhubungan dengan risiko tinea pedis yang lebih tinggi pada analisis
univariat (p=0,02), namun pada tinea unguium, tidak didapat hubungan pekerjaan
dengan penyakit (p=0,08).49
Subjek penelitian ini paling banyak adalah pembantu rumah tangga dan ibu
rumah tangga, yang dalam pekerjaannya ataupun kegiatannya sehari-hari selalu
terpapar dengan air dalam waktu lama sehingga berisiko untuk terinfeksi jamur
karena keadaan lembab atau basah akan memudahkan masuknya jamur.2,5
Demikian juga kelompok pekerja lainnya dalam penelitian ini berisiko untuk
menderita tinea pedis dan onikomikosis karena kemungkinan keterpaparan
kelompok ini dengan keringat, sepatu tertutup, keadaan lembab dan trauma.5

Universitas Sumatera Utara

54

4.2 Hasil Pemeriksaan KOH
Tabel 4.5 Distribusi hasil pemeriksaan KOH dari kerokan kaki dan kuku
KOH

Kaki

Kuku

+

n
37

%
92,5

n
35

%
87,5

-

3

7,5

5

12,5

40

100,0

40

100,0

Total

Pada subjek yang secara klinis diduga menderita tinea pedis dan onikomikosis,
dilakukan pemeriksaan KOH dari spesimen kerokan kaki dan kuku kaki. Hasil
pemeriksaan KOH dikatakan positif bila dijumpai hifa dan / atau artrokonidia.
Tabel 4.5 menunjukkan dari 40 spesimen kerokan kaki diperoleh hasil
pemeriksaan KOH positif pada 37 spesimen (92,5%), sedangkan dari 40 spesimen
kuku diperoleh hasil pemeriksaan KOH positif pada 35 spesimen (87,5%). Hal ini
tidak jauh berbeda dengan penelitian oleh Tarigan pada siswa pendidikan militer
di Sumatera Utara yang mendapatkan hasil pemeriksaan KOH positif pada 96
orang dari 110 siswa dengan klinis tinea pedis (87,27%).6
Pada penelitian El Fekih et al di Tunisia dari 71 subjek dengan infeksi jamur
pada kaki didapatkan hasil pemeriksaan KOH positif sebesar 88,7%.50 Azambuja
et al di Rio Grande Brazil menjumpai hasil pemeriksaan KOH positif sebesar 58%
dari 100 kasus yang diduga onikomikosis.46
Hasil negatif palsu pada pemeriksaan mikroskopis langsung dengan KOH
dilaporkan sebesar 5-15% dimana pemeriksaan ini sangat tergantung pada
keahlian pengamat dan kualitas sampling, namun demikian pemeriksaan ini dapat
menjadi alat skrining yang sangat efisien.24

Universitas Sumatera Utara

55

4.3 Hasil Pemeriksaan Kultur Jamur
4.3.1 Hasil pemeriksaan kultur jamur dari spesimen kerokan kaki
Tabel 4.6 Distribusi spesies dermatofita, yeast dan mold nondermatofita
dari hasil kultur spesimen kerokan kulit kaki
Jamur

n

%

22

59,5

6

16,2

14

37,8

T.violaceum

1

2,7

E. floccosum

1

2,7

11

29,7

10

27,0

Rhodotorula sp

1

2,7

Mold nondermatofita :

4

10,8

Paecilomyces sp

3

8,1

Aspergillus fumigatus

1

2,7

37

100,0

Dermatofita

:

T.rubrum
T.mentagrophytes

Yeast

:

Candida albicans

Total

Pada hasil pemeriksaan KOH yang positif, dilanjutkan dengan pemeriksaan
kultur jamur. Tabel 4.6 menunjukkan dari total 37 spesimen kerokan kulit kaki
yang dilakukan pemeriksaan kultur jamur, tumbuh dermatofita pada 22 spesimen
(59,5%), yeast pada 11 spesimen (29,7%) dan mold nondermatofita pada 4
spesimen (10,8%). Spesies dermatofita yang paling banyak didapat adalah
T.mentagrophytes sebanyak 14 spesimen (37,8%), selanjutnya T.rubrum sebanyak
6 spesimen (16,2%) dan T.violaceum dan E.floccosum masing-masing pada 1
spesimen (2,7%).

Universitas Sumatera Utara

56

4.3.2 Hasil pemeriksaan kultur jamur dari spesimen kuku
Tabel 4.7 Distribusi spesies dermatofita, yeast dan mold nondermatofita
dari hasil kultur spesimen kuku
Jamur

n

%

18

51,4

8

22,9

10

28,6

7

20,0

7

20,0

10

28,6

Paecilomyces sp

6

17,1

Aspergillus fumigatus

1

2,9

Aspergillus niger

1

2,9

Cladosporium sp

1

2,9

Fusarium sp

1

2,9

35

100,0

Dermatofita

:

T.rubrum
T.mentagrophytes
Yeast

:

Candida albicans
Nondermatofita

mold

:

Total

Pemeriksaan kultur jamur dilakukan jika hasil pemeriksaan KOH dari kerokan
kuku dijumpai positif. Tabel 4.7 menunjukkan dari 35 spesimen kuku yang
dilakukan pemeriksaan kultur jamur, tumbuh dermatofita pada 18 spesimen
(51,4%), mold nondermatofita pada 10 spesimen (28,6%), yeast pada 7 spesimen
(20%). Di antara dermatofita, T. mentagrophytes adalah spesies yang paling banyak
dijumpai yaitu pada 10 spesimen (28,6%), diikuti dengan T.rubrum pada 8
spesimen (22,9%).
Jamur penyebab onikomikosis dapat berasal dari golongan dermatofita, yeast
ataupun mold nondermatofita,2-4,8 namun penelitian ini mengkhususkan pada
onikomikosis yang disebabkan oleh dermatofita sebagai kasus onikomikosis
(onikomikosis dermatofita / tinea unguium).

Universitas Sumatera Utara

57

4.4 Diagnosis Tinea Pedis dan Onikomikosis
Tabel 4.8 Distribusi tinea pedis dan onikomikosis
Diagnosis

n

%

Tinea pedis + kelainan kuku lainnya

10

25,0

6

15,0

Tinea Pedis + Onikomikosis

12

30,0

Lainnya (bukan tinea pedis + onikomikosis)

12

30.0

Total

40

100,0

Onikomikosis + kelainan kulit kaki lainnya

Tabel 4.8 menunjukkan dari 40 kasus yang secara klinis diduga tinea pedis dan
onikomikosis, setelah dilakukan pemeriksaan KOH dan kultur jamur, ditegakkan
diagnosis tinea pedis disertai onikomikosis pada 12 kasus (30%).
Diagnosis tinea pedis pada penelitian ini ditegakkan berdasarkan gambaran
klinis, pemeriksaan KOH yang positif (dijumpai hifa dan / atau artrokonidia) dan
kultur jamur dijumpai spesies dermatofita. Pada penelitian ini hasil pemeriksaan
KOH dari 40 spesimen kerokan kulit kaki dijumpai 37 spesimen dengan KOH
positif, selanjutnya dari 37 spesimen yang dilakukan kultur, tumbuh dermatofita
pada 22 spesimen sehingga diagnosis pasti tinea pedis ditegakkan pada 22 kasus
(55%), dimana pada 12 kasus (30%) disertai dengan onikomikosis, sedangkan
pada 10 kasus lainnya (25%) tinea pedis tidak disertai onikomikosis.
Diagnosis onikomikosis / tinea unguium ditegakkan berdasarkan gambaran
klinis, pemeriksaan KOH yang positif dijumpai hifa dan / atau artrokonidia dan
kultur jamur dijumpai spesies dermatofita. Pada penelitian ini pemeriksaan KOH
dari 40 spesimen kuku kaki dijumpai 35 spesimen yang hasil KOH nya positif dan
dari kultur jamur dijumpai spesies dermatofita pada 18 spesimen sehingga
diagnosis pasti onikomikosis / tinea unguium ditegakkan pada 18 kasus (45%),

Universitas Sumatera Utara

58

dimana pada 12 kasus (30%) disertai tinea pedis, sedangkan pada 6 kasus lainnya
(15%) onikomikosis tidak disertai tinea pedis.
Pemeriksaan

klinis

saja

tidak

cukup

untuk

menegakkan

diagnosis

dermatofitosis khususnya tinea pedis dan onikomikosis, diperlukan konfirmasi
dengan pemeriksaan laboratorium seperti KOH dan kultur jamur untuk
memperoleh diagnosis yang tepat.2,12-14
Pada penelitian ini penentuan kasus tinea pedis dan onikomikosis sangat ketat
yaitu berdasarkan klinis, KOH dan kultur yang positif dermatofita dengan tujuan
untuk mencari hubungan antara tinea pedis dan onikomikosis dengan penyebab
dermatofita. Sebagai konsekuensinya, kasus-kasus dengan hasil kultur golongan
yeast dan mold nondermatofita tidak dimasukkan sebagai kasus tinea pedis dan
onikomikosis, meskipun hasil pemeriksaan KOH dijumpai positif.
Penelitian ini menjumpai dari 40 orang subjek dengan dugaan tinea pedis dan
onikomikosis, terdapat 30% (12/40) subjek menderita tinea pedis disertai
onikomikosis.

Hal

ini

dapat

dibandingkan

dengan

beberapa

penelitian

epidemiologi lainnya di seluruh dunia yang meneliti tinea pedis dan onikomikosis
dengan populasi yang berbeda. Szepietowski et al di Polandia mendapatkan
koeksistensi tinea pedis dan onikomikosis kuku kaki pada 933 pasien (33,8%) dari
2761 pasien dengan onikomikosis.16 Pada survei berbasis populasi besar yang
dilaksanakan pada 16 kota di Eropa, dari 90.085 subjek yang terlibat, dilaporkan
4110 pasien dengan kultur positif dimana onikomikosis dijumpai 78,3%, tinea
pedis 43,0% dan tinea pedis disertai onikomikosis dijumpai 21,3%.51 Pada
penelitian oleh El Fekih et al di Tunisia dijumpai tinea pedis berhubungan dengan
onikomikosis pada 44 kasus dari 71 kasus infeksi jamur pada kaki (61,9%).50

Universitas Sumatera Utara

59

Namun Purim et al di Brazil yang meneliti infeksi jamur pada kaki pemain bola
dan non atlet mendapatkan tinea pedis disertai onikomikosis hanya dijumpai pada
sedikit kasus (14,7%).57 Demikian juga penelitian oleh Erbagci et al pada 410
orang siswa laki-laki di sekolah berasrama di Turki menjumpai kasus tinea pedis
cukup banyak yaitu pada 211 orang subjek (51,5%), namun hanya 30 orang subjek
(7,3%) dijumpai tinea pedis dan onikomikosis bersamaan.54 Ungpakorn et al di
Thailand menjumpai dari 2000 orang subjek yang datang berkunjung ke klinik
Dermatologi Bangkok dipilih secara acak dan didapatkan prevalensi tinea pedis
sebesar 3,8%, onikomikosis sebesar 1.7% dan tinea pedis bersama dengan
onikomikosis sebesar 0.5%.47
4.5 Gambaran Klinis Tinea Pedis dan Onikomikosis
4.5.1 Gambaran klinis tinea pedis
Tabel 4.9 Distribusi tinea pedis berdasarkan tipe klinis
Diagnosis

Tipe klinis tinea pedis
Interdigitalis
(%)

Total (%)

Tinea pedis +
kelainan kuku
lainnya

10 (45,5)

Interdigitalis+
Hiperkeratotik
(%)
0 (0)

Interdigitalis+
Vesikobulosa
(%)
0 (0)

10 (45,5)

Tinea pedis +
Onikomikosis

10 (45,5)

1 (4,5)

1 (4,5)

12 (54,5)

Total

20 (91,0)

1 (4,5)

1 (4,5)

22 (100,0)

Tabel 4.9 menunjukkan dari 22 kasus tinea pedis baik pada kelompok tinea
pedis yang disertai onikomikosis maupun pada kelompok yang disertai kelainan
kuku lainnya, tipe klinis yang paling banyak dijumpai adalah tipe interdigitalis
(91%), masing-masing terdapat 10 kasus (45,5%). Selain itu juga dijumpai tipe

Universitas Sumatera Utara

60

campuran interdigitalis dan vesikobulosa dan tipe campuran interdigitalis dan
hiperkeratotik masing-masing pada satu kasus (4,5%).
Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Tarigan pada tahun 2009
yang menjumpai tinea pedis tipe interdigitalis yang paling banyak pada siswa
militer di Sumatera Utara yaitu pada 60 orang dari 77 orang (78,3%) yang hasil
kulturnya positif.7 Hal yang sama pada penelitian Erbagci et al di sekolah
berasrama di Turki yang melaporkan tipe interdigitalis adalah tipe klinis yang
paling banyak dijumpai yaitu sebanyak 160 orang dari 171 orang subjek dengan
tinea pedis, selain itu juga dijumpai tipe mokasin dan vesikobulosa. 54 Tan di
Singapura menjumpai tinea pedis tipe kering dan mokasin yang paling sering
dijumpai diikuti dengan tipe vesikular.48 Hal yang berbeda dijumpai pada
penelitian oleh Ungpakorn et al di Thailand yang melaporkan tinea pedis pada
telapak kaki 5,5 kali lebih sering daripada sela jari kaki pada pasien rawat jalan
yang berkunjung ke Institusi Dermatologi Bangkok.47 Penelitian lain, Perea et al
yang meneliti prevalensi dan faktor risiko tinea pedis dan tinea unguium pada
populasi umum di Spanyol menjumpai dari 1000 orang subjek sehat terdapat 29
kasus tinea pedis dimana 55% adalah tinea pedis asimtomatis (occult tinea pedis)
dan 45% adalah tipe interdigitalis dan mokasin.49
Tipe interdigitalis dan hiperkeratotik / mokasin adalah tipe tinea pedis yang
paling umum dijumpai. Tinea pedis interdigitalis dicirikan dengan kulit yang
terkelupas, maserasi dan fisura yang mengenai sela jari kaki lateral dan kadangkadang menyebar dan melibatkan permukaan bawah jari kaki. Tipe hiperkeratotik
/ mokasin bersifat kronik dan resisten terhadap pengobatan, mengenai telapak
kaki, tumit dan bagian samping kaki. Daerah yang terkena berwarna kemerahan

Universitas Sumatera Utara

61

dan ditutupi skuama putih perak halus, sedangkan permukaan dorsal jari kaki dan
kaki jarang terkena.3 Tipe vesikobulosa dan tipe ulseratif lebih sedikit dijumpai.
Reaksi adakalanya meluas ke seluruh telapak kaki yang mungkin didahului
dengan maserasi atau fisura pada sela jari kaki berbulan atau bertahun
sebelumnya. Vesikel dapat menjadi pustul dan ketika ruptur cenderung
meninggalkan kolaret dari skuama bercampur dengan kulit normal atau
menunjukkan skuama dan inflamasi dengan derajat bervariasi. Tipe ini sering
menyembuh spontan, tetapi cenderung untuk kambuh pada musim panas dan
kondisi lembab dan panas.3 Gambaran klinis yang melibatkan beberapa tipe ini
dapat juga dijumpai.2
4.5.2 Gambaran klinis onikomikosis
Tabel 4.10 Distribusi onikomikosis berdasarkan tipe klinis
Diagnosis

Tipe klinis Onikomikosis

Total (%)

DLSO (%)

DLSO +TDO (%)

Onikomikosis +
kelainan kulit kaki
lainnya

4 (22,2)

2 (11,1)

6 (33,3)

Tinea pedis +
Onikomikosis

11 (61,1)

1(5,6)

12 (66,7)

Total

15(83,3)

3(16,7)

18 (100,0)

Tabel 4.10 menunjukkan dari 18 kasus onikomikosis baik pada kelompok
onikomikosis yang disertai tinea pedis maupun dengan kelainan kulit kaki lainnya,
tipe klinis yang paling banyak dijumpai adalah tipe DLSO yaitu pada 15 kasus
(83,3%) terdiri dari 11 kasus (61,1%) pada kelompok onikomikosis disertai tinea
pedis dan empat kasus (22,2%) tanpa disertai tinea pedis. Selain itu juga dijumpai

Universitas Sumatera Utara

62

tipe campuran DLSO disertai TDO pada tiga kasus (16,7%) dimana satu kasus
(5,6%) pada kelompok onikomikosis yang disertai tinea pedis.
Hal yang berbeda dilaporkan oleh Lubis di RSUP H.Adam Malik Medan
yang menjumpai gambaran klinis onikomikosis yang terbanyak adalah
onikomikosis Candida (40%), diikuti dengan DLSO (31,4%) dan TDO (28,5%)
dari 35 orang subjek,40 sedangkan Gaya et al di Poliklinik IKKK RSUP
Dr.M.Djamil Padang melaporkan tipe yang paling sering dijumpai adalah tipe
DLSO (61%), berikutnya adalah tipe PSO (25%) dan tipe WSO (13%) dari 52
kasus onikomikosis.44
Chi et al di Taiwan juga menjumpai tipe DLSO adalah tipe onikomikosis yang
paling sering yaitu 80,4% dari 286 pasien, berikutnya tipe TDO (13,6%) dan tipe
DLSO disertai TDO (2,1%).55 Sabadin et al yang meneliti onikomikosis dan tinea
pedis pada atlet di Brazil menjumpai tipe klinis onikomikosis yang paling banyak
adalah tipe DLSO yaitu 89,5% pada atlet dan 100% pada non atlet.23 Azambuja et
al meneliti onikomikosis pada pasien klinik dermatologi privat dan klinik rawat
jalan Dermatologi RS Universitas Rio Grande Brazil dan menjumpai tipe
onikomikosis yang paling sering adalah DLSO (44,1%), berikutnya tipe TDO
(25,4%), SWO (5,1%) dan tipe campuran TDO disertai DLSO atau tipe lainnya
(25,4%) dari 59 pasien.46 Perea et al di Spanyol menjumpai 15 subjek dengan
DLSO, 13 subjek dengan TDO dari 28 subjek dengan tinea unguium dari 1000
orang subjek sehat.49
Dari beberapa penelitian di atas dapat diketahui tipe DLSO adalah tipe klinis
onikomikosis yang paling umum dijumpai di seluruh dunia. Selain itu juga dapat
dijumpai tipe lainnya seperti tipe SWO, PSO, TDO dan tipe campuran.

Universitas Sumatera Utara

63

Pada penelitian ini yang paling banyak dijumpai adalah tipe DLSO,
berikutnya adalah tipe campuran TDO dan DLSO, sedangkan tipe SWO, PSO dan
endonyx tidak dijumpai pada penelitian ini.
Tipe DLSO dimulai dengan invasi jamur infeksius pada stratum korneum dari
hiponikium dan dasar kuku bagian distal, membuat warna keputih-putihan sampai
kuning kecoklatan pada pinggir distal kuku. Infeksi kemudian meluas secara
proksimal naik dari dasar kuku ke lempeng kuku bagian ventral. Hiperproliferasi
pada dasar kuku sebagai respons terhadap infeksi menyebabkan hiperkeratosis
subungual, sementara invasi progresif pada lempeng kuku menyebabkan kuku
distrofik.2 Tipe TDO menunjukkan tahap akhir penyakit kuku yang dapat
disebabkan oleh keempat tipe onikomikosis dimana seluruh lempeng kuku dan
dasar kuku terlibat sehingga kuku menjadi tebal dan distrofik.3,13
4.5.3 Gambaran klinis tinea pedis disertai onikomikosis
Tabel 4.11 Distribusi tinea pedis disertai onikomikosis berdasarkan tipe klinis
Tipe klinis
tinea pedis

Tipe klinis onikomikosis
DLSO (%)

Total (%)

DLSO +TDO (%)

Interdigitalis (%)

9 (75,0)

1 (8,3)

Interdigitalis +
hiperkeratotik (%)

1 (8,3)

0 (0)

1 (8,3)

1 (8,3)

0 (0)

1 (8,3)

Interdigitalis +
vesikobulosa (%)
Total

11 (91,7)

1 (8,3)

10(83,3)

12 (100,0)

Tabel 4.11 menunjukkan dari 12 kasus tinea pedis disertai onikomikosis, tipe
klinis yang paling banyak dijumpai adalah tinea pedis tipe interdigitalis disertai
onikomikosis tipe DLSO pada 9 kasus (75,0%). Hal ini sesuai dengan penelitian

Universitas Sumatera Utara

64

oleh Szepietowski et al di Polandia yang menjumpai koeksistensi tinea pedis dan
onikomikosis kuku kaki pada 933 pasien (33,8%) dengan tinea pedis tipe
interdigitalis yang paling banyak dijumpai yaitu 65,4%, diikuti dengan
dishidrotik, hiperkeratotik, interdigitalis dan dishidrotik, interdigitalis dan
hiperkeratotik.16 Penelitian lain, Perea et al yang meneliti prevalensi dan faktor
risiko tinea pedis dan tinea unguium pada populasi umum di Spanyol menjumpai
dari 1000 orang subjek sehat dijumpai 11 subjek dengan tinea unguium bersamasama dengan tinea pedis dimana tipe klinis paling banyak adalah onikomikosis
tipe DLSO dan tinea pedis asimtomatis.49
4.6 Spesies Dermatofita Penyebab Tinea Pedis dan Onikomikosis
Tabel 4.12 Distribusi spesies dermatofita penyebab tinea pedis dan onikomikosis
Tinea pedis (%)

Spesies
T. rubrum
T. mentagrophytes

Onikomikosis (%)

6 (27,3)

8 (44,4)

14 (63,7)

10 (55,6)

T. violaceum

1 (4,5)

0 (0)

E. floccosum

1 (4,5)

0 (0)

22 (100)

18 (100)

Total

Tabel 4.12 menunjukkan dari 22 spesimen kerokan kulit kaki dengan hasil
kultur positif dermatofita, T. mentagrophytes adalah spesies penyebab tinea pedis
yang paling banyak dijumpai yaitu pada 14 kasus (63,7%), diikuti dengan
T.rubrum pada 6 kasus (27,3%), selain itu juga dijumpai T.violaceum dan
E.floccosum masing-masing pada 1 kasus (4,5%). Hasil penelitian ini sesuai
dengan

penelitian

oleh

Tarigan

di

Sumatera

Utara

yang

melaporkan

T.mentagrophytes adalah spesies yang paling banyak dijumpai pada lesi tinea

Universitas Sumatera Utara

65

pedis yaitu sebanyak 69 spesimen (89,6%) dari 77 spesimen dengan kultur positif,
diikuti dengan E.floccosum sebanyak 5 spesimen (6,5%) dan T.rubrum sebanyak 3
spesimen (3,9%).6
Tan yang melakukan penelitian retrospektif di Singapura melaporkan tinea
pedis merupakan dermatofitosis yang paling umum dijumpai dimana T.interdigitale
adalah penyebab yang paling sering diikuti dengan T.rubrum.48 Hal yang berbeda
pada penelitian Ungpakorn et al di Thailand yang menemukan mold nondermatofita
Scytalidium dimidiatum (S. dimidiatum) adalah penyebab terbanyak tinea pedis
(54%), diikuti dengan dermatofita (36,8%) terdiri dari T.mentagrophytes (18,4%),
T.rubrum (13,2%) dan E.floccosum (5,2%).47 Tao-Xiang et al melaporkan tinea
pedis adalah dermatomikosis yang paling sering dijumpai di Lanzhou China
dengan T.rubrum (41,5%) dan T.mentagrophytes (35,6%) adalah penyebab yang
paling sering dijumpai.45 Penelitian El Fekih et al di Tunisia mendapatkan T.
rubrum sebagai penyebab utama tinea pedis (61,9%) diikuti dengan yeast
(28,5%).50 Djeridane et al di Algeria menjumpai dari 197 kasus tinea pedis,
golongan yeast adalah yang paling sering didapat (50,8%), berikutnya dermatofita
(36,5%), campuran yeast dan dermatofita (7,1%) dan mold nondermatofita (5,6%).
Diantara golongan dermatofita yang paling sering dijumpai adalah T. rubrum,
diikuti dengan T. interdigitale, T.violaceum, T. mentagrophytes dan E. floccosum.56
Perea et al di Spanyol menjumpai dermatofita penyebab tinea pedis yang paling
sering adalah T.rubrum, diikuti dengan T.mentagrophytes var interdigitale,
T.mentagrophytes var granulosum, E.floccosum dan T.tonsurans.49 Szepietowski et
al di Polandia menjumpai pada tinea pedis yang disertai onikomikosis kuku kaki,
yang paling banyak tumbuh pada kultur adalah dermatofita dengan T.rubrum yang

Universitas Sumatera Utara

66

paling dominan, berikutnya adalah T.mentagrophytes. Selain itu juga dijumpai
yeast, mold dan kultur gabungan.16 Hal yang berbeda dijumpai di Palestina, AliShtayeh et al menjumpai penyebab utama tinea pedis adalah M.canis yaitu 23 dari
38 kasus, berikutnya adalah T.rubrum pada 15 kasus tinea pedis.57
Secara umum spesies dermatofita yang dijumpai pada penelitian ini tidak jauh
berbeda dengan penelitian - penelitian lainnya, namun distribusi spesies
dermatofita penyebab tinea pedis di seluruh dunia menunjukkan T.rubrum secara
umum lebih dominan diikuti dengan T. interdigitale dan E. floccosum.20
Tabel 4.12 juga menunjukkan dari 18 spesimen kuku dengan hasil kultur
positif dermatofita, T.mentagrophytes adalah spesies dermatofita penyebab yang
paling banyak dijumpai pada onikomikosis yaitu pada 10 spesimen (55,6%),
diikuti dengan T.rubrum pada 8 spesimen (44,4%). Hasil penelitian ini berbeda
dengan beberapa penelitian lainnya di Indonesia. Lubis yang meneliti tentang
onikomikosis di RSUP H.Adam Malik Medan pada tahun 2014 mendapatkan C.
albicans yang paling banyak tumbuh yaitu pada 15 kasus dari 35 kasus (42,8%),
sementara dermatofita yang tumbuh adalah E.floccosum dan T.tonsurans masingmasing pada satu kasus (2,9%).40 Penelitian Bramono et al juga menjumpai
Candida adalah penyebab utama onikomikosis di Indonesia.11 Penelitian oleh
Gaya et al di Poliklinik IKKK RSUP Dr.M.Djamil Padang, dari 52 kasus
onikomikosis, organisme penyebab yang paling sering adalah Candida sp (57%),
Aspergillus sp (11%) dan T.rubrum (9%).44
Penelitian di negara-negara lain menunjukkan spektrum jamur patogen pada
onikomikosis bervariasi. Tan di Singapura melaporkan T.rubrum (44%) adalah
penyebab onikomikosis yang paling sering diikuti dengan C.albicans (37,9%) dan

Universitas Sumatera Utara

67

mold nondermatofita (5,6%).48 Chi et al di Taiwan mendapatkan dari total 375
pasien dengan onikomikosis yang diteliti, patogen onikomikosis adalah dermatofita
pada 227 pasien (60,5%), Candida pada 118 pasien (31,5%) dan mold
nondermatofita pada 30 pasien (8%) dengan Trichophyton sp yang paling banyak
dijumpai yaitu pada 105 pasien.55 Tao-Xiang et al di Lanzhou China melaporkan
T.rubrum (49,2%) dan Candida sp (22%) adalah spesies yang paling sering
dijumpai pada kasus onikomikosis.45 Hal yang berbeda dilaporkan oleh Ungpakorn
et al di Thailand yang menemukan mold nondermatofita S.dimidiatum adalah
penyebab terbanyak onikomikosis sebesar 36,4%, diikuti dengan T.rubrum (30,3%)
dan Fusarium sp (15,2%).47
Penelitian oleh Szepietowski et al di Polandia menjumpai jamur yang paling
sering dikultur dari kuku kaki yang terinfeksi adalah dermatofita (81,9%), diikuti
dengan yeast (6,1%) dan mold (3,8%). Dermatofita yang paling sering dijumpai
adalah T.rubrum (52,4%) dan T.mentagrophytes (24,5%).16 Penelitian oleh Perea et
al di Spanyol juga menjumpai patogen pada tinea unguium yang paling sering
adalah T.rubrum (82,1%), T.mentagrophytes var interdigitale (14,3%) dan
T.tonsurans (3,5%).49 El Fekih et al di Tunisia mendapatkan dermatofita yang
paling sering dijumpai pada onikomikosis yaitu 40% terdiri dari T.rubrum dan
T.mentagrophytes, berikutnya adalah golongan yeast.50 Djeridane et al di Algeria
menjumpai dominasi T.rubrum (35%) diikuti dengan T.violaceum (8,3%),
T.interdigitale (6,7%) dan T.mentagrophytes (5%), selain itu juga dijumpai infeksi
yeast.56
Penelitian ini mendapatkan T.mentagrophytes adalah spesies dermatofita yang
paling banyak dijumpai diikuti dengan T.rubrum pada onikomikosis, sementara

Universitas Sumatera Utara

68

banyak penelitian di seluruh dunia memperlihatkan dermatofita yang paling
dominan adalah T.rubrum diikuti dengan T.mentagrophytes pada onikomikosis.23
Penelitian ini berbeda dengan penelitian lainnya di Indonesia yang melaporkan
Candida sebagai penyebab onikomikosis yang paling dominan di Indonesia. Hal
ini mungkin dapat dijelaskan bahwa penelitian ini mengkhususkan pada subjek
dengan dugaan onikomikosis kaki yang disertai tinea pedis, sehingga
kemungkinan pada subjek- subjek ini lebih dominan dengan penyebab
dermatofita, namun demikian hal ini mungkin memerlukan besar sampel yang
lebih banyak untuk dapat menyimpulkan hal tersebut. Di samping itu pada
penelitian ini tidak dilakukan pengambilan spesimen dan kultur berikutnya untuk
kasus- kasus dengan hasil kultur yeast dan mold non dermatofita, meskipun hasil
pemeriksaan KOH positif dijumpainya hifa dan / atau artrokonidia, sehingga tidak
bisa diketahui jamur penyebab definitif dari kasus- kasus tersebut, yang menjadi
keterbatasan penelitian ini.
4.7 Spesies Dermatofita pada Kasus Tinea Pedis disertai Onikomikosis
Tabel 4.13 Distribusi spesies dermatofita pada kasus tinea pedis disertai
onikomikosis
No.kasus
Kaki
Kuku
2
T. rubrum
T. rubrum
4
T. rubrum
T. rubrum
9
T.violaceum
T. mentagrophytes
15
T. rubrum
T. rubrum
16
T. mentagrophytes
T. rubrum
17
E.floccosum
T. mentagrophytes
20
T. rubrum
T. mentagrophytes
23
T. mentagrophytes
T. mentagrophytes
28
T. mentagrophytes
T. mentagrophytes
33
T. mentagrophytes
T. mentagrophytes
37
T. mentagrophytes
T. mentagrophytes
40
T. rubrum
T. rubrum

Universitas Sumatera Utara

69

Dari tabel 4.13 dapat dilihat dari 12 kasus tinea pedis disertai onikomikosis
hanya 8 kasus (66,7%) dijumpai kesesuaian spesies dermatofita yang tumbuh baik
dari kerokan kulit kaki ataupun kuku dimana pada 4 kasus (33,3%) dijumpai
T.rubrum dan 4 kasus lainnya (33,3%) ditemukan T.mentagrophytes. Pada 4 kasus
lainnya (33,3%) ditemukan spesies yang berbeda antara spesimen kerokan kulit
kaki dengan kuku.
Hal ini sesuai dengan penelitian lainnya yang menjumpai T.rubrum merupakan
spesies dermatofita yang paling sering pada tinea pedis yang disertai
onikomikosis.
Dijumpainya spesies dermatofita yang sama pada bagian tubuh yang berbeda
pada satu individu menunjukkan kemungkinan terjadinya autoinokulasi.
Autoinokulasi merupakan salah satu cara transmisi dermatofita sehingga dapat
memperberat dan memperluas infeksi pada tubuh. Selain itu kaki dapat sebagai
reservoir dermatofita bila tidak diobati dengan tepat sehingga dapat sebagai
sumber infeksi baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.17
4.8 Hubungan antara Tinea Pedis dengan Terjadinya Onikomikosis
Tabel 4.14 Hubungan tinea pedis dengan onikomikosis
Onikomikosis
(+)
Tinea pedis

Nilai p*

(-)

(+)

n
12

%
54,5

n
10

%
45,5

(-)

6

33,3

12

66,7

18

45,0

22

55,0

Total
* Uji Pearson Chi-Square

0,180

Universitas Sumatera Utara

70

Tabel 4.14 menunjukkan pada penelitian ini berdasarkan perhitungan Pearson
Chi square dapat dilihat bahwa tidak terdapat hubungan signifikan antara tinea
pedis dengan terjadinya onikomikosis (p = 0,180).
Hal ini berbeda dengan beberapa penelitian lain yang meneliti faktor risiko
terjadinya onikomikosis. Sigurgeirsson et al meneliti tentang berbagai faktor risiko
onikomikosis dengan subjek berjumlah 2486 orang pada populasi Iceland. Data
didapat dari kuesioner dan hasil pemeriksaan mikologis digunakan untuk
mengkalkulasi odds ratio (OR) untuk faktor-faktor yang berhubungan dengan
onikomikosis. Penelitian di Iceland ini mendapatkan tinea pedis sangat kuat
berhubungan dengan onikomikosis. Risiko tinggi didapat pada pasien dengan tipe
mokasin (OR 4,26; 95%CI 3,34-5,45) dan tipe interdigitalis (OR 3,93; 95%CI
3,11-4,95).15
Perea et al yang meneliti prevalensi dan faktor risiko tinea pedis dan tinea
unguium pada populasi umum di Spanyol mendapatkan risiko relatif untuk
mendapatkan baik tinea unguium ataupun tinea pedis pada subjek yang menderita
oleh salah satu penyakit tersebut adalah > 25.49 Ghannoum et al di Amerika Utara
juga menemukan athlete’s foot sebagai salah satu faktor risiko signifikan
onikomikosis dimana lebih dari 3 kali kemungkinannya untuk mempunyai
onikomikosis jika seseorang tersebut mempunyai athlete’s foot (OR: 3,07, 95%CI
1,1-8,2).41 Azambuja et al di Brazil yang melakukan penelitian onikomikosis
menjumpai dari 100 orang subjek dengan gambaran klinis onikomikosis, terdapat
30 pasien juga dijumpai tinea pedis. Diagnosis laboratorium onikomikosis
dijumpai pada 86,7% (26/30) pasien dengan tinea pedis (p