T2 752013009 BAB III

BAB III
KAITAN ANTARA IDENTITAS DAN KONFLIK AMBON
3.1 Suatu Catatan Historis: Dinamika perjumpaan Islam dan Kristen di Maluku dalam
perebutan kekuasaan:
Bagian ini akan difokuskan pada kajian sejarah masuk dan berkembangnya agama
Islam dan Kristen di Maluku yang telah berlangsung sejak abad 15 sampai sekarang. Dengan
rentang waktu yang cukup panjang itu, kedua agama telah memeberikan warna dalam kedua
aspek kehidupan masyarakat Di Maluku. Dampak perkembangan kedua agama tersebut di
Maluku merupakan fenomena sosial-kultural.
Persoalan sekitar kapan, dari mana oleh siapa, dan bagaimana Islam dan Kristen
disebarkan di Maluku, tampaknya akan tetap merupakan hal yang tak pernah habis untuk
dipermasalhkan. Kekurangan dan akurasi sumber, obyektifitas peneliti, serta perbedaan
pendapat tentang arti masuknya Islam dan Kristen, dan belum adanya rumusan historis yang
bisa dijadikan pegangan bersama, selalau malahirkan kontroversi sekitar masuknya Islam dan
Kristen di Maluku. Sumber-sumber sejarah yang dapat digunakan berupa sumber tertulis
(dokumen). Lewat sumber tertulis ini, yang diharapkan adalah, hendak dipahami paling tidak
melihat hubungan Islam dan Kristen dalam realitas sosial, dua kelompok agama yang
berperan positif sebagai kekuatan perubahan di Maluku.
a. Masuknya Islam di Maluku
Suatu unsur penting dalam sejarah daerah Maluku adalah masuknya agama islam.
Mungkin sekali agama ini sudah dikenal sebelum abad ke-15. Tetapi yang jelas adalah,

bahwa dalam abad ke-15 berbagai pulau di Maluku telah mengenal agama ini sejak abad ke-9
pedagang-pedagang muslim telah datang ke Indonesia.1 Penyebaran agama Islam di

1

Posponegoro, et al, Sejarah Nasional Indonesia I ( Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm 2

34

kepulauan Indonesia dirintis oleh para pedagang Arab.2 Dominasi pedagang-pedagang
muslim semakin tersa di bidang perdagangan dan politik. Sejalan dengan penanaman
kekuasaan, para pedagang muslim secara aktif pula menanamkan agama islam di daerahdaerah yang dikuasai, terutama di kota-kota pelabuhan.
Sejak abad ke-14, agama islam telah dibawa ke Maluku Utara (Kerajaan Ternate,
Tidore, Jailolo, oleh pedagang Cina.3 Mala perkembangan kerajaan di Maluku utara ada
kaitannya dengan perluasan agama ini. Perluasan kekuasaan Ternate ke Ambon Lease
(Maluku Tengah), khususnya Hitu dengan sendirinya disertai oleh ekspansi agama islam
pula. Tetapi penyebaran agama Islam dari pulau jawa juga sangat kuat. Di Hitu dijumpai
banyak pedagang Jawa yang kemudian menetap dan bermukim di sana.4
Dalam abad ke-16 Huamoal di Seram Barat telah mengenal agama Islam dengan
kedatangan orang-orang dari Utara lebih bertambah banyak. Bukti kedatangan orang-orang

dari utara masih bisa diidentifikasikan sekarang, misalnya di Huamoal masih terdapat bekas
pemukiman orang Tarnate yang bernama Gamsunge Ternate: kampung baru). Beberapa nama
yang terdapat di Maluku Tengah, seperti Sangaji, Tomagola, Tuanani berasal dari Maluku
Utara. Di Huamoal yang merupakan wilayah Ternate, pernah terdapat pejabat yang mewakili
sultan Ternate yaitu Kimelaha dan Salahakan di Lesiela (Luhu Sekarang),5 demikian halnya
dengan pulau-pulau Manipa, Kelang, dan Boanoau. Selain itu Hitu di Pulau Ambon juga
mengenal agama Islam. Malah menurut suatu legenda, salah satu orang dari penguasa Hitu
pernah bertemu dengan sultan Tarnate di Gersik. Di sana mereka membuat suatu perjanjian
persaudaraan, sehingga Hitu juga dianggap bagian dari pengaruh Ternate. Kondisi ini yang

2

Rumphius, G.E, 1973. Ambonsche Historie, dalam Bunga Rampai Sejarah Maluku, PDIN-LIPI, Jakarta
Th. M. Jacobs, A Treatise on the Moluccas (c. 1544 – Probably the preliminary version of Antonio
Kartodirdjo, et.al, Sejarah Nasional Indonesia III (Jakarta: Balai Pustaka, 1977), hlm 75
4
Sejarah Daerah Maluku (Jakaarta: Departemen P dan ; Proyek Penelitian Buku Bacaan Indonesia dan Daerah,
1978), hlm 57
5
M.G Ohorella, Hukum Adat mengenai Tanah dan Air di Puu Ambon, (Disertasi Doktor, Universitas

Hudassanudin Ujung Pandang, 1994), hlm 35

3

35

kemudian berdampak pada pulau Haruku dan Saparua yang merupakan bagian dari Maluku
Tengah juga telah mengenal agama Islam.
Pengislaman pulau Ambon dan sekitarnya secara sadar dan teratur, umumnya
dilaksanakan di bawah pengaruh dan perintah kesultanan Ternate dan Tidore yang
merupakan pusat kekuasaan politik dan perdagangan di masa itu mempunyai pengaruh atas
hampir seluruh gugusan pulau di Maluku Utara dan Maluku Tengah.6 Pusat islam pada waktu
itu adalah Hitu yang letaknya di Jasirah Leihtu bagian utara pulau Ambon yang menjadi basis
penyebaran agama Islam.7 Di Jazirah Leihitu terdapat suatu bentuk pemerintahan yang
dikepalai oleh Raja Hitu dan dilaksanakan oleh Empat Perdana Hitu.8
Ekspansi Islam dan proses islamisasi memperlihatkan, bahwa Islam baik sebagai
fenomena agama maupun politik. Sejak awal (akhir abad ke-13) telah memainkan peranan
dan merupakan bagian vital dalam formasi negara baru.9 Bila diperhatikan ekspansi dan
perluasan Islam di Indonesia dapat disimpulkan, bahwa basis yang paling awal adalah selat
Malaka. Dari sana muslim mengembangkan jaringan ke seluruh daerah Maluku. Menurut

Ann Kumar, pada abad ke-16 jaringan inipun masuk Maluku.10 Perluasan agama Islam ke
daerah Maluku itu sangat banyak berhubungan dengan perdagangan cengkeh yang dapat
dikategorikan sebagai kekayaan hasil alam Maluku pada masa itu.
Dalam tahun 1511 orang Portugis berhasil merebut pusat perdagangan Asia Tenggara
dan Malaka, namun pada akhir tahun yang sama, dari Malaka bangsa Portugis melakukann
pelayaran ke timur untuk mengunjungi kepulauan rempah-rempah yang termasyur di Maluku.
Di bawah pimpinan Antonio de’ Abreu kapal-kapal itu berlayar lewat Gersik di pantai utara
Jawa ke Banda. Pada saat perjalanan pulang bangsa Portugis ini mendarat di pantai Hitu dan
6

A.N Radjawane, op. Cit, hlm 71-72
Mengenal Maluku, (Departemen Penerangan RI:Penerbitan Khusus No. 107). Hlm 11
8
Empat Perdana: Yaitu Totohatu, Hatumesen, Nustapai dan Pati Tuhar, Lihat Sejarah Daerah Maluku. Op.cit,
hlm 39-44; band Sumarsono, et.al, op cit,hlm 59
9
Harry Aveling (ed), The Development of Indonesia Society. From the coming of Islam to the present Day
(Queensland : University of Queensland Prsess, 1979, hlm 2
10
Ann Kumar : dalam Harry Aveling (ed), ibid hlm 3

7

36

mengadakan kontak dengan penduduk pulau Ambon.11 Orang hitu yang telah menganut
agama Islam menerima orang-orang Portugis dengan baik di negeri-negeri Hitu lama dan
diberi tempat tinggal di Pikapoli, di muara sungai Ela, letaknya lebih jauh ke Utara. Orangorang Hitu yang mengantar orang Portugis memerintahkan penduduk negeri-negeri Hatiwi
dan Tawiri yang saat itu masih menganut agama suku untuk menerima orang-orang asing itu.
Hubungan persahabatan antara orang Hitu yang beragama Islam dengan orang
Portugis itu berakhir tahun 1523.12 Perkembangan kekuasaan Portugis di wilayah ini dimulai
sejak awal abad ke-16 pula. Tetapi di Maluku Utara mereka berhasil dihalau oleh Sultan
Babula pada tahun 1575. Sejak itu pusa kekuasaan mereka di Ternate yang dibangun sejak
awal abad ke-16 dipindahkan ke Maluku Tengah. Karena berhadapan dengan Hitu yang
Islam dan memihak pada Ternate itu, mereka akhirnya berpindah ke Leitimur di pulau
Ambon juga. Di sinilah mereka mendirikan benteng sebagai pusat kekuasaan. Benteng ini
kemudian direbut oleh VOC dan diberi nama Victoria.
Orang-orang Portugis di Pikapoli harus meninggalkan tempat yang mereka diami di
pantai itu. Selanjutnya pemuka kampung Hukunalo yang tunduk kepada Hatiwe, mengantar
orang Portugis lewat daerah pegunungan ke bagian teluk dalam, dan tinggal di Poka tetapai
lebih dekat ke Hukunalo. Dengan Kondisi di atas, mengakibatkan kampung-kampung yang

masyarakatnya masih menganut agama suku, seperti Hatiwi, Tawiri dan Hukunalo selalu
berada dalam keadaan perang dengan orang Hitu yang beragama Islam, karena mereka
dianggap memihak Portugis. Keadaan Agama di Maluku dalam tahun-tahun pertama adanya
orang-orang Portugis di sana dapatlah dulukiskan sebagai berikut:
Pada saat Portugis melakukan kontak dengan penduduk Ambon, Tidore, Ternate
kepulauan-kepualan Hitu di Ambon dan beberapa tempat lain sudah beragama Islam.

11

Sejarah Gereja Katolik Indonesia 1 Awall abad ke 14-abad 18 (Penerbit bagian dokumentasi penerangan
kantor wali gereja Indonesia, Percetakan Arnoldus ende Flores, 1974), hlm 57
12
Ibid,hlm 81

37

Sementara penduduk di jazirah Leitimor di Ambon, Kepulauan Ulias, Buru, Seram dan
beberapa pulau lainya masih hidup dalam agama-agama suku.13
Kondisi ini memperlihatkan, bahwa tidak dapat dihindari perlawanan dan perang
penduduk pribumi (Hitu) dengan Portugis. Menurut Polman, perlwanan dan pertentangan

penduduk muslim mendapat dukungan dari jawa dan Tarnate,14 serta Portugis beraliansi
dengan penduduk Ambon (beragama Kristen). Dalam tahun 1538 ketika terjadi peperangan,
orang Islam dari Jawa dan Hitu mengalami kekalahan dibawah kekuatan Portugis. Dengan
kekalahan orang Islam dari Jawa dan Hitu, memperkokoh kepercayaan penduduk negerinegeri yang beragama suku di Hitu Timur dan Leitimur akan kekuasaan dan keunggulan
Portugis. Penduduk tiga negeri utama di teluk itu yaitu: Hatiwi, Amantelo dan Nusaniwe
malah meminta dengan mendesak supaya dipermandikan atau dibabtiskan. Permintaan
mereka dikabulkan, dan mereka dipermandikan oleh pastor Amanda.15
Kondisi-kondisi di atas memperlihatkan keterpisahan di antara masyarakat beragama,
misalnya di pulau Ambon pemeluk agama Islam terdapat di jazirah Leihitu sedangkan
pemeluk agama Kristen di jazirah Leitimor. Kondisi inipun berdampak pada kepulauan
Haruku. Di Haruku penduduk yang memeluk agama Islam terutama terdapat di utara di
sekitar Uli Hatuhaha, sedangkan di bagian Selatan terdapat penduduk yang memeluk agama
Kristen. Di pulau saparua juga demikian, di Utara sebagian besar memeluk agama Islam dan
di bagian Selatan agama Kristen. Pada masa itu terdapat perbedaan yang tajam antara kedua
agama ini. Dengan demkian peperangan yang tadinya terjadi antara penduduk Maluku yang
beragama Islam melawan Portugis, sekarang berdampak menjadi perang antara penduduk
Maluku sendiri yang telah menganut agama Islam dan Kristen.

13


Sejarah Gereja Katolik Indonesia 1. Awal abad ke 14-abad 18, Ibid, hlm 59
Dukungan yang diberikan dari Jawa dan Tarnate kepada penduduk muslim Hitu memperlihatkan sebuah
fenomena bahwa Islam ternyata bukan hanya berbasis lokal tetapi juga melewati batas-batas wilayah Maluku
15
Sejarah Gereja Katolik Indonesia I Ibid hlm. 82

14

38

a. Masuknya Kristen di Maluku
Masuknya agama Kristen atau Kekristenan di kepulauan Maluku bersamaan dengan
masuknya bangsa-bangsa eropa ke daerah ini. proses penyebaran agama Kristen di Maluku
dapat dibagi kedalam dua tahapan yaitu oleh orang Portugis dan orang Belanda. Kehadiran
bangsa-bangsa Eropa di Maluku merupakan pertemuan yang membawa konsukuensi baru
pula, setelah beberapa saat sebelumnya masyarakat Maluku berkenalan dengan agama Islam
yang telah banyak mempengaruhi kehidupan orang-orang di Maluku terutama di jazirah
Leihitu pulau Ambon.
Kekristenan dimulai sejak kedatangan orang-orang Portugis (seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya penginjilan yang pertama kali dilakukan oleh pendiri-pendiri Portugis

adalah pada tahun 1523. Pada waktu itu Antoni de Brino, kepala orang Portugis di Tarnate,
yang membawa Francican ke Tarnate. Kehadiran orang-orang Eropa di Maluku tetap dan
bersamaan dengan adanya ketegangan politik dan usaha perebutan hegemoni dan supermasi
kekuasaan di daerah ini antara masyarakat Islam yang telah lebih dulu menguasai beberapa
daerah. Ditengah ketegangan politik itu, Portugis turut melibatkan diri. Hal ini
mengakibatkan pula pemberitaan injil dan pembentukan Gereja terlibat pula dalam
ketegangan-ketegangan itu. Ditahun 1534, Portugis berhasil menjadikan seorang Raja
Mindanao menjadi Kristen. Hal ini sangat penting karena sampai saat itu belum ada seorang
rajapun yang dapat dikristenkan di Maluku Utara.16
Kehadiran orang-orang Portugis itu sendiri mempunyai hubungan yang erat dengan
perkembangan situasi yang terjadi di Eropa, terutama dibidang politik, ekonomi dan agama.
Penyebaran Kekristenan di Maluku dimulai sejak Armada Portugis yang dikirim oleh
Antonio Galvao, panglima Portugis di Tarnate, yang berhasil menghancurkan armada
kerajaan Islam dari Jawa di Perairan Ambon pada tahun 1538.
16

R. Z. Leirissa, Maluku Dalam Perjuangan Nasional Indonesia (Jakarta: Lembaga sejarah Fakultas Sastra UI,
1975), hlm 7-8

39


Sesudah peristiwa itu, para penganut agama suku di pulau Ambon mengadakan
pendekatan terhadap orang-orang Portugis untuk meminta bantuan dalam rangka
menghadapai orang-orang Islam dari kerajaan Hitu.17 Dalam kenyataannya, penganut agama
suku tidak hanya meminta bantuan saja, tetapi juga bersedia menerima agama bangsa
Portugis yang ditawarkan oleh para missonaris kepada mereka.
Sejalan dengan hal itu maka diadakan baptisan pertama yang diadakan pada tahun
1538 terhadap raja keluarga Hatiwe dari situlah proses pembabtisan ini berkembang.
Selanjutnya sejak itu berdiri tiga negeri Kristen di pulau Ambon, masing-masing Hatiwe,
Amantelu dan Nusaniwe (semuanya dari kelompok Ulisiwa).18 Selanjutnya orang-orang baru
ini bagi penganut Islam sering diidentikan dengan orang-orang Portugis (orang asing). Pada
tahun-tahun awal sesudah pembabtisan sesudah pertama, pekembangan kekristenan pertama
cukup pesat. Negeri-negeri Kristen yang tadinya hanya tiga, kali ini telah menjadi tujuh.
Dengan demikian empat negeri Kristen yang baru adalah Amahusu, Eri, Silale dan Namalatu.
Perkembangan kekristenan terasa lebih menonjol lagi sejak Faransiskus Xaverius tiba di
Ambon. Kalau pada saat Xaverius tiba di Ambon terdapat hanya tujuh negeri Kristen, seperti
yang telah dijelaskan di atas, maka pada tahun 1560-an, jumlah ini telah meningkat menjadi
puluhan yang tersebar di Ambon, Lease, Seram dan Buru.19
Perkembanagan Kekristenan di atas memperlihatkan, bahwa Ambon dijadikan pusat
kegiatan penyebaran agama Kristen di samping pusat kegiatan penyebaran agama Kristen dan

juga kegiatan politik dan perdagangan ekonomi. Dalam tahun 1599 kontak pertama Ambon
dengan Belanda dibawah pimpinan Warwijk dan Van Hermaskerk, yang mendarat dengan
kapal di Hitu dan diterima oleh Raja di Hitu. Raja Hitu melihat kedatangan Belanda ini

17

18

19

Sebelum kehadiran orang-orang Portugis, hubungan di antara penganut agama suku dan penganut agama
Isalam senantiasa diwarnai oleh pertikaian. Lihat J. Keuning, op cit, hlm 17
C. Wessel, S.J, De Geschiedenis der R.K Missie Franciscus Xaverius toot haar Vernietinging dcor de O.L
Compagnie 1546-1605 (Niijmegen-utrecht, N.V. Dekker and Van de Vegt en J.W. Van Lecuwen, 1926) hlm
6
Muller Kurger, Berichit van Ambon , (Oegstgeest 1944), hlm 26

40

sebagai kesempataan untuk membantu masyarakat Hitu menentang Portugis. 20 Sebaliknya
bagi belanda diterimanya Belanda oleh Raja Hitu, merupakan kesmpatan untuk melakukan
eksplorasi

atau pengambilan rempah-rempah

(cengkeh)

di

Maluku. Kondisi

ini

memperlihatkan telah terjadinya kerjasama dalam perang melawan portugis. Tahun 1600
berakhirnya kekuasan atau hegemoni Portugis dan diganti dengan Belanda.21
Dalam perkembangan selanjutnya pada tahun 1602 pedagang-pedagang Belanda
mendirikan kongsi dagang yang bernama Vereenigde Oost Indische Compagme (VOC) di
Batavia lalu kemudian masuk ke Maluku. Tujuan Kongsi dagang ini adalah melakukan
monpoli perdagangan pada daerah Maluku. Sebagai perkumpulan perdagangan yang
didirikan pada tahun 1602, memang tidak memiliki politik Islam, tetapi hanya berusaha untuk
mencapai keuntungaan. Usaha monopoli ini dijalankan tidak saja dengan perundinganperundingan dagang, tetapi juga dengan perang. Mereka harus melawan orang-orang Portugis
yang telah lama ada di Maluku.
Dalam dinamika pergerakan VOC, Belanda menekan dengan kekerasan terhadap
kehidupan ekonomi dan politik masyarakat Ambon. 22

Penekanan

terhadap

kebebasan

penduduk merupakan suatu tindakan radikal, dan menunjukkan sebuah kekuatan atau
hegemoni Belanda dalam masyarakat Ambon baik Islam maupun Kristen. Ekspedisi HongiTochten,23 merupakan sebuah kenyataan sejarah yang pahit dialami oleh kedua kelompok
agama masyarakat Maluku. Menurut laporan Valentjin biasanya dalam suatu perjalanan
Hongi, Islam dan Kristen dibuat secara terpisah. Artinya, susunan armada kora-kora diatur
sedemikian rupa sehingga yang beragama Islam selalu diapit oleh kora-kora Kristen. Sikap

20
21

22

23

Katrien Polman, op cit, hlm 12
Untuk mengetahui tentaang dinamika dari aliansi yang dilakukan antara Hitu dan Belanda, serta muncul
friksi diantara mereka: lihat Richard Chauvel, Nasionalists, Solidiers and Separatists ; The Ambonese
Islands From Colonialism to Revolt 1880-1950 (KITLV Press Leiden, 1990) dan Dieter Bartels; A Struggle
for Ethnic. Hlm 38
Untuk menegetahui lebih jauh tentang pergerakan dan perkembangan kegiatan yang dilakukan oleh Belanda
di Maluku Tengah, lihat sejarah daerah Maluku, Op cit, hlm 72-80
Istilah ini terdiri dari dua kata yaitu Hongi artinya Armada dan tochten artinya pelayaran, dengan demikian
hongi tochten beerarti pelayaran dengan armada. Lihat Sumarsono et al, op cit, hlm 30

41

Belanda seperti inilah yang membuat jarak dan memunculkan sikap permusuhan di antara
kedua kelompok agama ini.
Dari perjalanan Hongi itu dapat dikemukakan beberapa tindakan yang merupakan
kebijakan pihak Belanda untuk mengatur dan menguasai politik perdagangan, yaitu: (a)
penebangan dan pemusnahan pohon-pohon cengkeh, serta masyarakat biasa setempat
dikerahkan juga untuk berperang. (b) pemaksaan pihak Belanda bagi rakyat untuk
menyerahkan tenaga-tenaga wajib dan sejumlah kora-kora bagi setiap negeri. Selain
kebijakan dalam bidang politik perdagangan di atas, juga adanya tindakan Belanda dalam
proses pelumpuhan sistem dan struktur kehidupan masyrakat Ambon, yaitu: (a) sistem
pemerintahan dihapuskan, bahkan jabatan Kapitan Hitu dan para perdananya dihapuskan: (b)
dihapuskannya kesatuan-kesatuan adat Aman yang kemudian dikenal dengan Negeri.24 (c)
dalam rangka pengawasan terhadap penduduk, pemerintah kolonial Belanda menurunkan
penduduk dari pegunungan (pemukiman negeri lama) ke pesisir pantai,sehingga komunitaskomunitas dengan teritori yang disebut Hena atau Aman, berganti dengan nama Negeri, yang
diciptakan oleh pemerintah kolonial.25 Perpindahan ini dengan sendirinya mengakibatkan
sistem Uli mengalami perubahan sosio-historis negeri-negeri ini mengelompok dalam
komunitas agama tertentu, sehingga timbul dua kelompok yang berbasis agama.
Kebijakan-kebijakan Belanda ini terkait dengan pelayaran “Hongi” yang dilakukan.
Artinya pengawasan dapat dilakuakan oleh Belanda secara langsung dan mudah terkontrol.
Hal ini menunjukan bahwa ada proses pengambilalihan kekuasaan dari pemimpin-pemeimpin
kesatuan adat kepada Belanda. Kondisi ini membawa dampak bagi sikap dan mentalitas
24

25

Negeri merupakan suatu inovasi yang dihasilkan oleh VOC dalam abad ke-17, negeri-negeri itu tercipta
ketika terjadi peperangan untuk menguasai perdagangan cengkeh antara VOC dan Tarnate di Maluku
Tengah. Lihat R. Z Leirissa, Maluku Tengah abad ke sembilanbelas (Prisma No 8, Agustus 1980 thn IX).
Hlm 69
R.Z Leirissa, J. Pattikaihatu, M Soenjata Kartadarmadja, (ed). Sejaraah Sosial di Daerah Maluku
(Departeman Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat, Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional proyek
inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Jakarta 1983/1984), hlm 11; band Cooley, op cit., hlm
244; Badan Susunan Sejarah Ulath : dari Gunung Turun ke Pantai, sampai terjadinya Negeri Ulath
(Culemburg: cerita Rakyat , 1990), 54-57: Sophia Mailoa, Kejahatan kekerasan Kultural, Prisma I,
September-Oktober 1998), hlm 50

42

bahkan ikatan-ikatan genologis dari masyarakat Ambon yang semuanya mengarah pada
permusuhan.
Sebagai akibat dari keterlibatan orang-orang Eropa, maka timbullah pertentanganpertentangan dan ketegangan yang terus berlangsung antar-masyarakat di Maluku. Dinamika
pertentangan terus digerakkan dan dimainkan oleh Belanda dalam proses menimbulkan
kebencian yang tajam antara Islam dan Kristen yang akan berdampak pada hubungan
keagamaan di Maluku.

3.2 Pengistimewaan Pemerintah Kolonial Belanda Terhadap Penduduk Kristen di masa
lalu:
Meskipun dimensi agama sangat menonjol, konflik Maluku merupakan konflik yang
sangat kompleks, di mana berbagai faktor saling berinteraksi dan punya porsi masing-masing
dalam mengobarkan konflik. Periode ini merupakan awal dari peresmian benih-benih
permusuhan dan kekerasan antara penganut islam dan Kristen di Maluku. Jika kekuatan
Portugis akhirnya kalah dan terusir melalui perjuangan gigih Sultan Babulla pada tahun 1570
tidak demikian dengan Belanda yang datang ke Maluku pada akhir abad XVI. Setelah
berhasil menundukan perlawanan rakyat Maluku melalui perang yang cukup panjang, pada
pertengahan abad XVII, VOC secara efektif berhasil memonopoli perdagangan rempahrempah sekaligus menacapkan kekuasaannya di Maluku. Selain melakukan kontrol politik
dan ekonomi, Belanda juga menggiatkan penyebaran agama Kristen di wilayah selatan.
Wilayah utara sendiri karena pengaruh kerajaan Tarnate, pemeluk islam masih dominan.
Sementara itu, di Ambon terdapat pola perimbangan Islam dan Kristen yang lebih jelas lagi.
Bagian utara disebut Jasirah Leihitu yang dihuni mayoritas warga Muslim, sedangkan bagian
selatan dinamai Jazirah Leitimur yang di huni mayoritas Kristen Protestan.26

26

Tamrin Amal Tomagola sebagaimana dikutip M.Atho Mudzhar, ”Pluralisme, Pandangan Ideologi dan
Konflik Sosial Bernuansa Agama” dalam Moh.Soleh Isre (ed.), Konflik Etno‐Religius, hlm 5

43

Meskipun cukup berhasil meredam setiap konflik yang melibatkan sentimen agama,
pemerintah belanda dalam hal manajemen antar dua pemeluk agama utama sesungguhnya
menyimpan benih-benih konflik. Pada masa kolonial, secara politis, karena afliasi agama,
warga Kristen Ambon relatif diuntungkan, sementara warga muslim dirugikan, sementara
warga muslim terpinggirkan, penduduk kristen lebih banyak mengenyam pendidikan yang
diselenggrakan pemerintah kolonial. Banyak warga Kristen Ambon yang direkrut dalam
jabatan-jabatan administratif dalam struktur pemerintahan kolonial kala itu, yaitu
dilingkungan ambtenar dan militer. Bagi penduduk Ambon Kristen, menjadi ambtenar
merupakan suatu kebanggaan. Adapun yang kurang memiliki kualifikasi sebagai pegawai
administratif, masuk ke dinas tentara Belanda (KNIL) merupakan alternatif selanjutnya.
Rakyat Kristen Ambon yang relatif terdidik dan memiliki kedekatan dengan pemerintah
kolonial Belanda, seolah-olah menciptakan kelas baru di antara penduduk pribumi
(inlanders) dan orang-orang Belanda. Hal ini menyebabkan hingga sekarang rakyat Kristen di
Maluku menilai tinggi pekerjaan sebagai birokrat di pemerintahan. Sementara itu penduduk
Islam yang tidak suka bekerjasama dengan Belanda karena dianggap Kafir lebih memilih
bekerja dibidang pertanian dan perdagangan.27
Pemerintah kolonial juga menciptakan struktur sosial yang menciptakan pola
segregasi wilayah, yakni interaksi dan struktur masyarakat berdasarkan agama. Pemukimanpemukiman dibangun secara eksklusif berdasar agama masing-masing. Terdapan pemukiman
Kristen yang hanya dihuni oleh penduduk Kristen, sebaliknya juga terdapat pemukiman
Muslim yang khusus untuk penduduk yang beragama Islam akibatnya ada pemisahan dan
pengelompokan (grouping) yang nyata antara penduduk Islam dan Kristen. Warisan ini masih
tetap bertahan hingga setelah indonesia merdeka dan Maluku menjadi bagian dari Indonesia.
Pola segregasi yang terus dipelihara inilah yang menjadi interaksi antarumat bebeda agama
27

Ibid Wasisto Raharjo: Kearifan Lokal sebagai Resolusi Konflik Keagamaan, hlm 7

44

kurang dapat berlangsung efektif, bahkan menyimpan potensi untuk menjadi konflik terbuka
yang kemudian hari ternyata terbukti.28
Sebelum masa kolonial Masyarakt Ambon sejak dulu dikenal sebagai masyarakt yang
heterogen yang ditandai oleh perbedaan suku dan kultur etnis yang beraneka ragam dan
sebagian besar masyarakat Ambon Maluku sebenarnya bukan penduduk asli pulau Ambon
Lease tetapi semuanya adalah warga pendatang dari luar khususnya pulau seram dan para
pendatang membentuk permukiman-permukiman yang tersebar di pulau Ambon. Masyarakat
Ambon Maluku terbentuk berdasar berbagi jenis ikatan-ikatan sosial berdasa suku,
kewilayahan (teritori) dan kepercayaan. Pada masa kolonial persebaran agama Katolik dan
Protestan yang dibawa pihak kolonial semakin menambah heterogenitas masyarakat
Maluku.Tidak hanya klan, budaya, kultur adat, teritori komunal serta administratif tetapi juga
berdasar atas agama dan kultur kepercayaan yang beragama. Sejak saat ini masyarakat
Ambon Maluku mulai terbagi dalam pola permukiman dan teritori berdasar agama, bahkan
dalam wilayah administratif desa dikenal ada desa atau negeri (kumpulan daerah-daerah yang
terdiri dari berbagai klan) Salam (komunitas islam) dan desa atau negeri Sarani (komunitas
kristen). Dan inilah warisan kolonial Belanda yang telah mewariskan struktur sosial yang
menyimpan bom waktu.
Akan tetapi konflik itu bukan dengan sendirinya perseteruan antara Kristen Ambon
versus Muslim non-Ambon. Dalam masalah birokrasi dan sumber-sumber politik lain
(jabatan-jabatan di struktur kepolisian atau kemiliteran, kampus dll) konflik sering terjadi
justru antar etnis Ambon / Maluku, baik Kristen maupun Muslim. Sejak dulu, birokrasi
memang menjadi lahan subur konflik bagi Kristen-Muslim Ambon/Maluku. Misalnya saja
kompetisi antara kelompok Muslim Pelauw dari Kepulauan Lease (khususnya Saparua dan
Haruku) dengan Kristen Ambon. Sementara dalam hal sumber-sumber ekonomi khususnya

28

Ibid R. Z. Leirissa, Maluku Dalam Perjuangan Nasional Indonesia hlm 14

45

market place, konflik justru banyak terjadi antarkelompok Muslim non-Ambon yang
menjadikan ekonomi / pasar sebagai “sumber kehidupan” karena memang ruang-ruang
politik dan birokrasi kurang memungkinkan bagi mereka. Warga Kristen Ambon (juga
Muslim Ambon) dalam sejarah kurang begitu berminat dalam berdagang. Mereka lebih suka
di birokrasi sebagai pegawai, guru, polisi/tentara.
Menurut Sudirman Tebba, kecemburuan sosial termasuk kehormatan dan gengsi yang
berlanjut menjadi kerusuhan sama sekali tidak disebabkan oleh faktor beda agama.
Intoleransi beragama tampaknya hanya dijadikan sebagai “baju” konflik lain yang sebetulnya
tak berkaitan dengan wilayah keimanan. Salah satu persoalan politik–yang sesungguhnya
proses alamiah yang menjadi penyulut konflik agama adalah terjadinya mobilitas vertikal
akibat kemajuan pendidikan.
Sebelum Indonesia merdeka hanya kelompok Kristen yang banyak memperoleh
kesempatan Pendidikan dari pemerintah kolonial Belanda, karena seagama dengan mereka.
Sedang kelompok Islam baru memperoleh kesempatan yang luas menikmati pendidikan
(formal) setelah Indonesia merdeka. Akibatnya sewaktu negara kita merdeka dan
mengembangkan lembaga pemerintah serta memerlukan tenaga‐tenaga terampil di bidang itu,
maka yang siap mengisi lembaga‐lembaga pemerintahan adalah kelompok Kristen, sehingga
mereka menjadi dominan dalam pemerintahan.29

3.3 Migrasi Dan Kompetisi Ekonomi
Arus Migrasi ke Ambon sesungguhnya merupakan fenomena yang wajar sejak abad
XVI. Peningkatan arus migrasi ke Maluku terjadi pada tahun 1960-an dan 1970-an.30 Para
imigran umumnya berasal dari Sulawesi (Suku Bugis, Buton, dan Makasar), dan juga dari
Jawa, dengan motif ekonomi. Mereka membangun pemukiman yang terpisah (Kampung
29
30

SudirmanTebba, Islam Pasca‐Orde Baru (Yogyakarta:TiaraWacanaYogya), 2001, hal. 156
Jacques Bertand, “Legacies Of The OF Athoritarian Past: Religious Violence In Indonesia’s Mollucan
Islands,” dalam pacific Affairs, Vol 75, No. 1, Spring 2002 hlm. 54

46

Bugis, Kampung Ambon), terutama di daerah perkotaan, daerah transit, dan pelabuhan.
Mereka kemudian bekerja sebagai pedagang dalam waktu yang singkat karena keuletannya
merka berhasil mendominasi sektor ekonomi kecil dan informal. Hal ini juga dikarenakan
karena penduduk lokal Maluku sendiri sebagaian besar tidak tertarik dalam bidang
perdagangan. Mereka lebih suka bekerja sebagai pegawai negeri sipil dengan pendapatan
tetap.
Keberhasilan dibidang ekonomi secara relatif membuat status sosial ekonomi kaum
pendatang lebih baik. Ini kemudian diperbandingkan dengan peluang ekonomi penduduk
lokal dan rekrutmen kepegawaian yang makin sedikit. Dominasi kaum pendatang tersebut
dalam sektor ekonomi dalam taraf tertentu, menimbulkan benih-benih ketidaksukaan di
kalangan lokal Ambon, khususnya yang bergama Kristen. Selain itu, kerap pula terjadi friksi
antara kaum pendatang dan penduduk lokal misalnya dalam kasus pemilikan tanah. Rakyat
lokal menilai para pendatang telah merebut tanah-tanah mereka secara sepihak, sedangkan
para pendatang mengklaim tanah-tanah itu telah menjadi milik mereka karena telah lama
didiami.31
Konflik antara rakyat lokal dan para migran yang semual lebih berdimensi ekonomi,
dalam perkembangannya dikaitkan dengan identitas agama. Secara kebetulan juga para etnik
pendatang dari sulawesi mayoritas beragamaa islam. Kecemburuan ekonomi dikaitkan
dengan fakta bahwa kedatangan migran tersebut secara demografis telah mengubah
keseimbangan komposisi demografis umat Kristiani dan Islam di Maluku, khususnya di
Ambon. Bahkan di kalangan warga Kristen, ada kekhawatiran dan kecurigaan bahwa
meningkatnya migran dari Bugis, Buton, dan Makassar merupakan bagian dari Islamisasi
Ambon yang tentu saja dipersiapkan sebagai ancman terhadap keberadaan dan dominasi

31

Manusama, Z.J, dalam, Bunga Rampai Sejarah Maluku, Jakarta: PDIN-LIPI,. 1973, hlm 18

47

Kristen. Segregasi berdasar agama ternyata tidak hanya berlaku dalam hal geografis, tetapi
juga ke masalah ekonomi dan politik.32
Dan

dikaitkan

dengan

perubahan

komposisi

demografis,

yang

kemudian

menimbukan permasalahan yang rumit sekaligus sensitif. Akan terlihat bahwa persenyawaan
antara kepentingan ekonomi dan politik yang dibungkus dengan sentimen keagamaan
menjadi bahan bakar konflik yang begitu dasyat. Dalam konteks relasi politik Islam-Kristen,
terdapat perubahan-perubahan yang kemudian menjadi ramuan tersendiri bagi menguatnya
ketegangan antarkelompok. Seperti telah diuraikan diatas, sejak pemerintahan kolonial
Belanda, rakyat Kristen secara politis memiliki kedudukan yang lebih baik dibandingkan
rakyat Ambon Islam. Dengan tingkat pendidikan yang lebih baik dan sikap pemerintah
kolonial, banyak rakyat Kristen yang menempati posisi-posisi penting di pemerintahan
Sementara, rakyat Islam yang menolak mengikuti pendidikan Belanda posisi politiknya
termarginalkan dan banyak menggeluti bidang pertanian dan perdagangan.

3.4 Kepemimpinan Akib Latuconsina sebagai Gubernur Maluku Periode (1992-1997)
sebagai puncak resistensi dari kelompok Islam:
Di Daerah Maluku, khususnya Ambon, kondisi politik seperti yang diuaraikan ini
sangat tampak terutama dalam 20 tahun terakhir. Sejak Hasan Slamet menjabat Gubernur
pada periode yang kedua, menurut sosiolog

Amal Tamrin Tomagola dari Universitas

Indonesia, dia telah memasukan orang-orang Bugis, Buton, dan Makassar ke Maluku,
khususnya ke Kota Ambon, hal serupa dilanjutkan oleh Gubernur Akib Latuconsina. Dengan
memasukan suku-suku itu dalam jumlah yang sangat besar, diharapkan terpenuhi kebutuhan
sumber daya manusia pada aras (level) menengah ke bawah. Selain itu membawa dampak
penyeimbangan komposisi penduduk berdsarkan penganut agama (khususnya Islam dan
Kristen.
32

Ibid Manusama, Z.J, dalam, Bunga Rampai Sejarah Maluku 1973

48

Migrasi besar-besaran juga terjadi di kalangan orang Kristen sejak tahun 1950-an,
tatkala terbuka kemungkinan untuk banyak siswa SMA yang melanjutkan studinya ke
Makasar dan Jawa. Hal ini sedikit banyak mengurangi jumlah orang Kristen di Maluku,
terutama di Maluku Tengah Ambon, dan Maluku Tenggara. Indikatornya adalah jumlah
orang Kristen di luar Maluku (termasuk di Belanda) diperkirakan 1,5 juta orang. Semantara
itu, pada sisi lain bertambahnya jumlah penduduk beragama Islam di Maluku juga
disebabkan oleh masuknya migran Buoton, Bugis, Makassar di Maluku secara besar-besaran.
Kombinasi antara sejumlah faktor tersebut di Maluku mengakibatkan jumlah orang Muslim
makin bertambah dan orang Kristen makin berkurang. Jika pada tahun 1945 sampai pada
tahun 1960 jumlah semua orang Kristen di seluruh Maluku diperkirakan 65 persen, maka
pada tahun 1971, berdasakan hasil sensus, jumlah orang Kristen 51 persen dan islam
ditambah lain-lain 49 persen.33
Pasca kemerdekaan tumbuh kesadaran yang kuat dari kalangan Muslim untuk
mengenyam pendidikan yang lebih baik. Secara perlahan tapi pasti putra-putri Muslim yang
terdidik mulai menduduki posisi-posisi strategis di jabatan-jabatan publik. Kondisi ini juga
didukung oleh posisi Islam dalam pentas politik nasional. Setelah sekian lama dipinggirkan,
presiden Soeharto berusaha merangkul islam sebagai salah satu sandaran politiknya selain
ABRI, Golkar, dan Birokrasi, pembentukan ICMI yang kemudian mempunyai status politik
yang cukup besar merupakan fase puncak kemesraan Orde Baru dan Islam. Sama hanya
dengan corak politik Orde Baru. Politik di Maluku dipenuhi dengan pola Patron Klien serta
praktek KKN yang kemudian menjadi bahan bakar konflik yang kemudian menggunakan
identitas agama secara berhadap-hadapan dalam konteks perebutan kekuasaan. Identitas
keagamaan dan etnik selalu menjadi faktor yang menonjol diperhatikan dalam suatu
penempatan posisi. Pada setiap pengangkatan suatu jabatan di suatu instansi misalnya

33

John Pires, Tragedi Maluku: Sebuah Krisisis Peradabaan, edisi 1 Jakartan Yayasan Obor 2004. Hlm 168

49

pertanyaan yang muncul adalah dari etnik mana pejabat tersebut, apa agamanya, dan
bagaimana komposisi etnik dan agama di institusi tersebut. Hal ini secara implisit
menunjukan betapa kuatnya tarik-menarik kepentingan dari masing-masing agama dan
kelompok etnik.
John Pieris34 melihat konflik Maluku tidak jauh berbeda yaitu karena saktor sosialpolitik. Menurut Pieris Organisasi Ikatan Cenidikiawan Islam Indonesia pada awal tahun
1990-an sangat berpotensi menjadi “ancaman” bagi kelompok komunitas Kristen yang berda
dalam birokrasi pemerintahan. Bahkan banyak kalangan menilai bahwa ID Card keanggotaan
Ikatan Cenidikiawan Muslim menjadi semacam SIM bagi rekrutmen untuk jabatan-jabatan
penting dalam pemerintahan. Persoalan semacam ini tentu saja melanggar perjanjian tak
tertulis yang sudah berlangsung sejak lama antara komunitas Kristen dan Islam mengenai
“pemerataan

dalam posisi-posisi jabatan-jabatan tertentu di Maluku. Misalnya apabila

gubernurnya seorang Kristen maka sekertaris daerahnya seorang muslim. “Kesepakatan”
semacam ini belakangan tidak dilihat lagi oleh para birokrat dari komunitas Islam. Persoalan
tersebuat sangat membuat kecewa para birokrat dari komunitas Kristen. Sementara itu
kelompok Islam yang mersakan dominasi kelompok Kristen begitu kuat di UNPATTI, di
mana jabatan-jabatan struktural banyak diisi oleh kelompok Kristen. Konflik laten untuk
memperebukatan jabatan-jabatan struktural di Unpatti telah berlangsung cukup lama.
Menurut Sudirman Tebba sewaktu kelompok Islam memperoleh pendidikan, maka
mereka pun kemudian siap memasuki lembaga‐lembaga pemerintahan, sehingga terjadilah
mobilitas vertikal umat Islam di daerah itu. Kasus seperti ini terjadi di banyak daerah di
Indonesia, bukan hanya Maluku. Masuknya orang‐orang Islam ke dalam lembaga‐lembaga
pemerintahan, lantas Mengurangi peluang bagi orang‐orang Kristen. Bahkan sedikit demi
sedikit menggeser posisi mereka. Ini terutama terjadi pada masa Orde Baru, karena pada

34

Ibid John Pires, 2004 hllm 180

50

masa itu mulai banyak orang Islam menjadi sarjana.35 Semakin banyak orang Islam yang
menjadi sarjana makin banyak pula mereka mencari pekerjaan di lembaga pemerintahan,
sehingga makin banyak orang Kristen tergeser. Proses alamiah ini terus berlanjut sampai
Orde Baru runtuh.
Bangkitnya kekuatan Islam di Maluku setelah kemerdekaan ditandai dengan naiknya
Akib Latuconsina sebagai Gubernur Maluku,36 yang diikuti oleh penggantinya Saleh
Latuconsina. Sementara itu posisi-posisi strategis yang semula didominasi oleh warga Kristen
bermarga Tutupoli, Manuhutu, Wattimena, dan Talaut – lalu digantikan dengan orang-orang
Muslim, yang bermarga Tuasikal, Latuconsina, dan Marassabesy. Seiring dengan meguatnya
posisi Islam, rakyat yang didominasi oleh penduduk Kristen merasa dilema apakah akan
bergabung atau terpisah dengan pemerintahan baru Indonesia yang dipimpin oleh orangorang dari etnik Jawa yang mayoritas beragama islam.
Ketidakadilan dalam ekonomi juga adalah persoalan struktural, yang sifatnya memang
tidak terjadi langsung dalam menyebabkan konflik dan menjadi dampak yang signifikan
dalam menjadikan konflik. Sejak zaman pemerintah kolonial Belanda, komunitas Kristen di
Ambon selalu diistiwakan dalam bidang pendidikan, ekonomi dan politik. Privilese yang
terus terjadi sehingga waktu pemerintah orde baru sudah tidak lagi memiliki dari separuh
perwira di tingkat pusat. Dalam mencari pengganti dukungan, Pemerintah Soeharto pada
zaman Orde Baru mencari penggantinya dalam kelompok-kelompok Islam salah satunya di
Maluku dalam organisasi ICMI. Hal yang sangat mempertegas hal ini dengan diangkatnya
B.J. Habibie untuk menjadi wakil presiden sejak 1993. Pergeseran bentuk kekuasaan di
tingkat pusat, berpengaruh juga terhadap keberadaan pimpinan di daerah-daerah khususnya
Maluku menjadi persoalan yang sangat penting karena pemasukan hasil-hasil daerah banyak
yang masuk juga di tingkat kabupaten kota. Proses distribusi yang terjadi di daerah juga dan
35
36

Ibid Sudirman Tebba, Islam Pasca‐OrdeBaru, hlm 9
Gery Van Klinken, “The Maluku Wars Bringing Society Back In,” dalam Indonesia, No 71, April 2001

51

peran gubernur menjadi sangat menentukan. Dalam konteks di Maluku, pergantian para
birokrat yang kemudian kekayaan sumber daya yang ada di daerah dipengaruhi dengan
naiknya Aqib Latuconsina sebagai Gubernur Maluku. Sosok Aqib dianggap sebagai
representasi dari komunitas Islam dan masyarakat sipil. Dengan pengaruh Aqib yang begitu
besar, maka tahun 1996 sebagian besar Bupati di Maluku yang berasal dari komunitas Islam,
juga di daerah-daerah dengan penduduk mayoritasnya yang adalah notaben agama Kristen
diganti oleh Akib. Hal ini memulai sebuah kompetisi dalam hal birokrasi dan perekrutan
pegawai negeri sipil antara kristen dan Muslim. Posisi dinas Pendidikan di Maluku yang
biasanya dijabat oleh kaum Kristen dirubah dan alihkan ke kaum Muslim. Pada tahun 1997,
gubernur baru propinsi Maluku berasal dari Orang Ambon yang beragama Islam. Bukan
hanya posisi gubernur saja, akan tetapi posisi Wakil Gubernur, dan sekretaris daerah bukan
dijabat oleh orang Kristen (Muslim dan Katolik). Hal tersebut sangat mengecewakan para elit
politik yang bergama Kristen.
Selanjutnya menurut Abidin Wakanno Direktur Lembaga Antara Iman Maluku,
tindakan Gubernur Akib Latuconsina yang mengganti sebagian besar pejabat di Maluku
dengan pejabat baru yang beragama Islamlah yang justru menimbulkan dampak terjadinya
hal yang menyakitkan, hal yang bisa dipakai oleh profokator sebagai alat untuk memanasmanasi kedua komunitas beragama di Kota Ambon.37
Menurut Sejarawan Senior Maluku, Max Tapilatu pada waktu kepemimpinan Akib
Latuconsina “Hubungan Patron-klien” atau nepotisme sebagai kunci untuk mendapatkan
kontrak. Hal tersebut membuktikan bahwa perubahan besar dalam bidang politik di Ambon
mempunyai dampak negatif bagi kaum Kristen terutama dalam bidang ekonomi. Hampir

37

Hasil Wawancara dengan Abidin Wakanno (Direktur Antar Iman Maluku), Sabtu 04 Oktober 2014

52

dalam setiap kasus, elit politik yang beragama Kristen kehilangan posisi politik dan ekonomi
semenjak bangkitnya kaum Muslim.38

3.5 Kepemimpinan M.J. Papilaya sebagai Wali Kota Ambon periode 2001-2011 sebagai
dominasi komunitas Kristen:
Lebih fundamental lagi, konflik telah memperkuat persepsi negatif publik atas posisi
kantor Pemerintah Kota Ambon (Pemkot) yang sudah terbentuk sejak lama, yakni sebagai
institusi yang dikuasai komunitas Kristen. Dalam situasi konflik yang sangat mendalam, fakta
bahwa mayoritas staf Pemerintah Kota Ambon beragama Kristen sudah lebih dari cukup
untuk menyimpulkan adanya penguasaan kalau tidak mau disebut monopoli satu kelompok
atas kelompok lainnya. Hal ini menempatkan Pemerintah Kota Ambon secara simbolik
sebagai salah satu sumber ketidak-adilan yang merupakan salah satu akar permasalahan
konflik.39
Munculnya persepsi negatif masyarakat atas ketidakadilan yang ada pada pemerintah
kota Ambon. Bagi komunitas Muslim misalnya, pemerintah kota Ambon dinilai sebagai
pusat dan simbol ketidakadilan terutama dalam kaitannya dalam rekruitmen dan promosi
jabatan-jabatan publik. Komunitas ini merasa sebagai korban elite birokrasi pemerintah kota
Ambon, terutama dalam penerimaan dan penempatan pegawai terutama dalam jabatanjabatan strategis baik birokrasi maupun Guru. Lebih dari itu, kondisi ini dibaca sebagai upaya
elit birokrasi Kristen mempertahankan dominasi.40

38

39

40

Hasil Wawancara dengan Max Tapilatu Sejarawan Senior Maluku, Minguu 22 Sptember 2014
Tomagola menempatkan ketidakadilan dan marginalisasi sebagai bagian dari ”bom waktu struktural” dari
sebuah konflik, lihat, Tamrin Amal Tomagola, Republik Kapling, (Yogyakarta, Resist Book, 2006). Gejala
sebaliknya justru terjadi di tingkat pemerintah provinsi Maluku yang dilihat sebagai simbol dan pusat
ketidakadilan bagi kelompok di luar Muslim. Lihat, Ibid. hlm 38
Ibid Tomagola hlm 13

53

a. Persoalan Mutasi Pegawai
Aktivis Maluku Jean Latuconsina,41 menjelaskan persoalan mutasi dan penempatan
seorang pejabat di dalam struktur Pemerintah Kota dilihat sangat tidak sesuai dari azas
profesionalisme yang seharusnya diperhatikan, supaya tidak akan berimbas pada perasaan
cemburu dalam birokrasi di kota Ambon. Menurut Latuconsina profesionalisme tidak lagi
lagi ditunjukkan, akibanya saya berpendapat mutasi yang digalakan oleh Wali Kota bagi
pejabat di Pemerintah Kota Ambon akan mendatangkan kecemburuan dari berbagai pihak
yang sangat dalam dan kedepannya. J.L menilai, proses-proses mutasi yang menjadi
kebijakan M.J Papilaya sama sekali tidak sesuai dengan yang diharapkan masyarakat di Kota
Ambon pada waktu itu, karena hanya merekrut orang-orang yang mempunyai kedekatan
agama, etnis, yang terus merupakan suatu

proses mutasi yang dilakuakan dan tidak

berdasarkan kemampuan calon birokrat yang dipilih pada jabatan-jabatan baru dalam
birokrasi Pemkot. Saya menilai kualitas, kapabilitas tidak menjadi indikator penting di
pemkot Ambon.
Anggota DPRD Maluku, M.S,42 menilai kebijakan Papilaya yang menempatkan
pegawai sangat tidak sesuai dengan bidang kerja dan keahliannya, persoalan seperti ini hanya
akan membuat kinerja pemerintah kota tidak bisa berjalan secara maksimal, tentu saja
persoalan seperti ini tidak akan membawa suatu perubahan yang signifikan sesuai dengan
yang semua publik di kota ini harapkan. Kami selalu meminta supaya mutasi harus juga
sesuai dengan bidang keilmuannya, karena kalau sesuai dengan keahlian dan bidangnya maka
pelaksanaan pemerintahan di lingkup Kota Ambon akan berjalan dengan sangat baik,
persoalannya ialah jika ada sebagian kepala-kepala dinas yang kita nilai tidak ditempatkan
sesuai dengan bidang keilmuannya tentu saja akan menjadi suatu hambatan berarti dalam

41
42

Hasil Wawancara dengan Jen Latuconsina Akademisi UNPATTI Jumat 19 September 2014
Hasil Wawancara dengan Melkianus Saridekut Anggota DPRD Maluku, Senin 23 September 2014

54

menjlankan pemerintahan, dan harapan transformasi justru akan tidak maksimal dari periodeperiode sebelumnya.
Untuk

mengkonfirmasi

persoalan-persoalan

tersebut

penulis

berkesempatan

mewawancarai mantan Wali Kota Ambon di kediamannya di Karang Panjang Ambon,
menjelaskan bahwa; Perombakan birokrasi yang dilakukannya pada masa jabatannya
bukanlah kebijakan yang mutlak dari saya, saya hanya melaksanakan semacam evaluasi
tambahan dan itu diharuskan jika ada yang saya lihat belum begitu maksimal dan tidak sesuai
dengan yang kita harapkan. “Perombakan ini tidaklah mutlak, waktu itu saya banyak
melakukan semacam evaluasi pada jajaran saya setiap awal tahun kerja. Saya menolok
pernyataan

sebagian kalangan bahwa pergantian pimpinan-pimpinan SKPD pada awal

kepemimpinannya terkesan memprioritaskan kepentingan agama dan golongan tertentu.
Di tempat yang berbeda Mientje Tupamahu (Mantan Sekretaris Badan Kepegawaian
Kota Ambon) era kepemimpinan M.J. Papilaya mengakatakan bahwa perlu diketahu di
Pemkot Ambon pada waktu itu, pegawai muslim yang ada sangat minim akan Sumber Daya
Manusia (SDM). Belum lagi dari segi kepangkatan tidak ada yang bisa dipromosikan untuk
menduduki jabatan-jabatan strategis dilingkup birokrat setempat. Hal itulah yang menjadi
kendala bagi Wali Kota, dalam hal merekrut pejabat-pejabat yang beragama muslim untuk
dipromosikan dalam jabatan-jabatan strategis terangnya.43

b. Proses Penerimaan Pegawai
Pemerintah daerah harus ekstra hati-hati dalam menangani setiap isu yang sensitif dari
segi agama. Dalam merekrut pegawai baru, misalnya, publik sangat kritis terhadap
pemerintahan yang selama ini selalu melakukannya dengan cara-cara yang dipandang penuh
nepotisme. Oleh sebab itu, mulai tahun 2002 pemerintah kota harus melakukan serangkaian
uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) dengan meminta lembaga independen dari
43

Hasil Wawancara dengan mantan Walikota Ambon Yopi Pailaya Rabu 01 Oktober 2014

55

Universitas Padjadjaran dan Universitas Pattimura. Wawancara dengan para pelamar untuk
jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan daerah dilakukan secara intensif di bawah
pantauan media.
Kecuali harus dikonsultasikan ke publik, kebijakan rekrutmen juga harus
mempertimbangkan

komposisi

perwakilan

agama

dan

etnis

untuk

menghindari

ketidakpuasan. Pada tahun 2008, misalnya, BKK meminta sebuah lembaga di Universitas
Gadjah Mada untuk melaksanakan seleksi sistematis terhadap pelamar pegawai negeri untuk
kota Ambon. Setelah hasilnya keluar, BKK khawatir dengan kenyataan bahwa jumlah yang
diterima timpang ke kelompok agama tertentu. Setelah melalui debat yang panjang tentang
bagaimana strategi terbaik untuk mengumumkan hasil tersebut ke publik, termasuk meminta
pendapat beberapa pejabat keamanan, BKK baru berani mengumumkannya tanpa perubahan.
Lembaga independen itu harus benar-benar bisa meyakinkan bahwa faktor penting
yang harus dilakukan untuk menghindari ketidakpastian justru membeberkan hasilnya
seobjektif dan seterbuka mungkin.44 Kasus ini juga merupakan ujian apakah publik di Ambon
pada akhirnya bisa menerima kriteria profesionalisme dalam seleksi pegawai negeri di Kota
Ambon.
Pemerintah Kota Ambon harus ekstra hati-hati dalam menangani setiap isu yang
sensitif dari segi agama. Dalam merekrut pegawai baru, misalnya, publik sangat kritis
terhadap pemerintahan yang selama ini selalu melakukannya dengan cara-cara yang
dipandang penuh nepotisme. Oleh sebab itu, mulai tahun 2002 pemerintah harus melakukan
serangkaian uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) dengan meminta lembaga
independen dari Universitas Padjadjaran dan Universitas Pattimur. Wawancara dengan para

44

Ketua Badan Kepegawaian Kota Ambon mengatakan bahwa komposisi agama diantara pegawai negeri di
Ambon masih merupakan faktor pertimbangan penting. Setelah berulangkali melakukan cek ulang
terhadap hasil-hasil seleksi dan berkonsultasi dengan aparat keamanan, dia mengaku baru lega setelah
pengumuman ditempel dan tidak banyak protes dari publik. Wawancara dengan Romeo Soplanit, Mantan
Ketua Badan Kepegawaian Kota Ambon, Rabu 01 Oktober 2014.

56

pelamar untuk jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan daerah dilakukan secara intensif
di bawah pantauan media.
Seperti yang telah diutarakan di atas, salah satu akibat langsung dari konflik komunal
pada tataran birokrasi adalah runtuhnya asumsi-asumsi dasar model birokrasi Weberian yang
akhirnya berakibat pada kegagalan pemerintah kota dalam menjalankan fungsi pelayanan.
Perkembangan pada era ini mengindikasikan bahwa birokrasi telah menjadi arena perluasan
konflik. Dalam berbagai kesempatan, Papilaya berulang kali mengungkapkan kesan awal
ketika ia pertama kali memasuki Kantor Walikota Ambon bahwa secara kasat mata kantor
Wali Kota Ambon menjadi bukti terjadinya apa yang disebut sebagai fenomena etniccaptured atas birokrasi.45 Hal ini telah menyebabkan fungsi pelayanan publik dan fungsi
pemerintahan lainnya gagal dilaksanakan. Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk
memahami kondisi pegawai secara komprehensif. Latar belakang atau karakteristik pegawai
adalah faktor utama dalam memengaruhi kinerja lembaga. Berikut ini akan diuraikan
beberapa karakteristik pegawai pada Pemerintah Kota Ambon berdasarkan dimensi
etnisitas/wilayah asal, agama yang dianut, pendidikan formal terakhir, kepangkatan/golongan,
dan jenis kelamin, serta tingkat umur :
Tabel 1.1: Pegawai Ambon Menurut Asal Etnis/ Wilayah
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9

45

Asal Etnis/Wilaya
Ambon
Lease
SBB
Buru
Marla
Tanimbar/MTB
Maluku Utara
Sulawesi
Lain-Lain
Total

Frekwensi
445
603
89
11
38
80
19
53
43
1381

%
32,22
43,64
06,44
0,8
02,75
05,79
01,38
03,84
03,11
100,00

Wawancara mendalam dengan Mantan Walikota Ambon, Kamis 02 Oktober 2014, antara lain menyebutkan
terjadinya penggerombolan pegawai berdasarkan agama, terbentuknya pola komunikasi lintas pegawai
yang sepenuhnya didasarkan pada kesamaan agama dan sebagainya.

57

Sumber: 29 Dinas/Kantor/Badan/Bagian Pemkot Ambon, Maret 2006.46
Dari tabel di atas menunjukan bahwa etnis Ambon dan Lease secara kuantitas
mendominasi jumlah etnis asal Sulawesi yang berlatar belakang agama Islam. Persentase
jumlah pegawai yang tidak berimbang antar etnis ini juga menimbulkan kecemburuan, karena
anak-anak asli daerah yang berasal dari Lease lebih banyak. Kebanyakan yang berlatar
belakang etnis Lease adalah mayoritas beragama Kristen, tentu saja persentase jumlah yang
tidak berimbang m