T2 752014017 BAB III

BAB III
HASIL PENELITIAN MENGENAI
PENGAMPUNAN DALAM MENYIKAPI
PERSELINGKUHAN SUAMI

Bab III ini membahas mengenai data yang ditemui di lapangan. Data yang
diperoleh

adalah

informasi

mengenai

kondisi

keluarga,

faktor

penyebab


perselingkuhan, dampak perselingkuhan dan alasan serta tahapan pengampunan yang
dilalui oleh isteri dalam menyikapi perselingkuhan suami.
Bab sebelumnya telah menggambarkan bahwa hubungan pernikahan itu
sangat dinamis dan komitmen dalam hubungan pernikahan sering diuji oleh berbagai
persoalan yang seolah-olah tidak pernah selesai. Dari berbagai persoalan yang ada,
kasus perselingkuhan sering menjadi momok yang menakutkan dan mengancam
keharmonisan dan keutuhan keluarga. Bahkan, persoalan perselingkuhan sering
mengarah kepada putusnya hubungan atau perceraian. Oleh karenanya, Whitaker
dalam Augsburger menyebut pernikahan sebagai persoalan terbesar yang ada dalam
kehidupan.1
Ada banyak orang yang dengan mudah dapat menerima kembali pasangan
yang berselingkuh dan hubungan pernikahan dapat dipertahankan, akan tetapi
hubungan yang dijalani tidak dapat berjalan seperti sedia kala. Fife dkk. menegaskan
bahwa hubungan dapat bertahan tanpa adanya pengampunan, tetapi tidak akan benar1

Augsburger, Sustaining Love; Healing and Growth ………, 17.

benar kembali sehat.2 Oleh sebab itu, bagi pasangan yang berhubungan dengan
persoalan perselingkuhan, rekonsiliasi hubungan paska peristiwa perselingkuhan

masih mungkin terjadi jika mereka bersedia bekerja dalam proses pengampunan.
Penulis telah melakukan wawancara kepada 25 orang perempuan (istri) di
Jemaat Sikakap Gereja Kristen Protestan di Mentawai (GKPM) terkait persoalan
pernikahan, perselingkuhan, dan pengampunan. Dari 25 responden, hanya 2 orang
yang tidak ingin mempertahankan pernikahan jika suatu hari menemukan suami
memiliki hubungan dengan yang lain. Ada 21 responden menyatakan akan menerima
kembali suami jika terlebih dahulu melewati proses penggembalaan dari gereja. Ada
2 responden yang telah mengalami pengkhianatan dari suami dan mengaku telah
mengampuni suaminya berulang kali karena pengkhianatan yang telah dilakukan
berulang kali. Kedua orang responden ini menjadi narasumber dalam penelitian ini.
Penelitian tesis ini dilakukan di tempat yang berbeda (rumah narasumber).

3.1.

KASUS I

3.1.1. Narasumber dan Kondisi Keluarga3
Narasumber pertama bernama ibu Anna (nama disamarkan). Dia seorang istri
dan ibu dari 3 orang anak perempuan dan 1 anak laki-laki. Ibu Anna berusia 46 tahun.
Dia pernah mengecap pendidikan di salah satu Perguruan Tinggi swasta di Padang,

namun harus berhenti karena alasan keuangan. Ibu Anna lulus tes CPNS Kabupaten
Kepulauan Mentawai tahun 2001 untuk formasi SMA. Saat ini dia bekerja sebagai

2
3

Fife, Weeks, dan Stellberg-Filbert, “Facilitating ……” , 345.
Anna, 46 tahun, Wawancara (Mentawai, tgl 23 – 29 September 2015, pukul 16.00 WIB)

staff di Kantor Kecamatan Sikakap. Ibu Anna juga merupakan seorang penatua di
GKPM Jemaat Sikakap. Dia telah melayani selama 6 tahun. Sebelum lulus pada tes
CPNS tahun 2002, ibu Anna telah melakukan beberapa pekerjaan yang berbeda,
yakni: sebagai staff di Kantor Desa, Operator boat penyebrangan, Kuli bangunan, dan
Pembuat kue.
Ibu Anna adalah anak ke 5 dari 9 orang bersaudara. Dia terlahir dari keluarga
lintas-budaya, ayahnya berasal dari suku Batak, dan ibu berasal dari suku Mentawai.
Orangtuanya sangat keras dalam mendidik anak-anak, dan tidak jarang kekerasan
fisik juga dilakukan kepada anak-anak jika anak-anak tidak melakukan pekerjaan
sesuai dengan yang sudah ditentukan. Selain itu, orangtuanya juga sering terlibat
perkelahian dan terkadang ayahnya melakukan kekerasan fisik terhadap ibunya. Hal

ini sering membuat ibu Anna beserta saudaranya merasa ketakutan. Namun, untuk
urusan makanan atau kebutuhan sehari-hari, keluarga tidak pernah merasa
kekurangan.
Ibu Anna aktif di gereja sebagai penatua dan juga sebagai anggota dalam
persekutuan ibu-ibu di GKPM Jemaat Sikakap. Selain itu, dia juga aktif dalam
kelompok PKK yang dibentuk oleh pemerintahan kecamatan. Hubungan dengan
masyarakat setempat sangat baik. Kehidupan spritualnya juga berjalan dengan cukup
baik. Dia sangat yakin bahwa setiap tugas yang diemban saat ini adalah atas
ketetapan dan kehendak Tuhan. Dia selalu berusaha untuk melakukan pekerjaannya
sebaik mungkin.
Untuk persoalan ekonomi, ibu Anna tidak pernah khawatir, karena semenjak
dia bersama suaminya lulus sebagai PNS di mentawai, mereka tidak pernah merasa

kekurangan. Mereka memiliki 2 rumah pribadi yang cukup besar dan anak sulungnya
merupakan lulusan akademi kebidanan swasta di Padang dan saat ini telah menjadi
PNS di Kab. Kep. Mentawai. Anak ke duanya sedang kuliah di salah satu Universitas
Kristen di Yogyakarta. Anak ke tiga masih duduk dibangku SD kelas 5 dan anak
bungsu duduk di bangku TK. Ibu Anna dan suaminya telah menggadaikan SK ke
Bank, namun untuk kebutuhan sehari-hari mereka masih bisa mengatasinya dengan
Tunjangan Daerah yang mereka terima setiap bulan.

Ibu Anna menikah dengan suaminya pada tahun 1990. Suaminya berasal dari
suku Mentawai dan bekerja sebagai PNS di Kota Kabupaten Kepulauan Mentawai,
Tuapejat. Pernikahan ibu Anna dan suaminya tidak mendapat restu dari kedua belah
pihak keluarga besarnya. Oleh sebab itu mereka menikah tanpa restu dari orangtua
(kawin lari). Hingga saat ini, keluarga dari suaminya tidak terlalu memperdulikan ibu
Anna dan anak-anaknya, tetapi sebaliknya keluarga ibu Anna sangat memperhatikan
mereka. Saat ini usia pernikahan ibu Anna bersama suaminya sudah mencapai usia
pernikahan perak 25 tahun. Perbedaan lokasi tempat bekerja membuat ibu Anna
bersama suaminya harus hidup terpisah. Ini sudah terjadi selama 10an tahun. Namun,
kehidupan ibu Anna sekarang sudah berjalan seperti yang diinginkannya; keluarga
yang utuh dan saling menopang satu sama lain.

3.1.2. Pemasalahan dalam Keluarga Ibu Anna dan Faktor-Faktor Penyebab
Perselingkuhan
Pada awal kehidupan pernikahan ibu Anna, persoalan ekonomi memang tidak
terlalu baik, meskipun begitu mereka tidak pernah kekurangan dalam hal makanan

dan kebutuhan sehari-hari. Mereka saling mendukung untuk setiap pekerjaan yang
mereka lakukan. Tempat tinggal sering berpindah-pindah sampai akhirnya mereka
memiliki rumah sendiri. Dalam usia 25 tahun pernikahan mereka, yang sering

menjadi pergumulan dalam kehidupan pernikahan adalah kehadiran pihak ketiga. Hal
ini sering sekali membuat ibu Anna merasa terluka dan kecewa. Ibu Anna merasa
suaminya adalah tipe pribadi yang tertutup karena ibu Anna berulang kali
mempertanyakan tentang perilaku suaminya yang menyimpang ini, namun jawaban
suaminya selalu saja sama “itu kesalahanku”. Sifat yang tertutup dari suaminya
membuat ibu Anna tidak tahu harus berbuat apa, tidak tahu harus memperbaiki apa
dalam hubungan mereka.
Berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara bersama ibu Anna, dapat
diketahui bahwa perbedaan tempat tinggal karena perbedaan lokasi tempat bekerja
dapat menyebabkan hubungan komunikasi tidak berjalan dengan baik. Selain itu,
sebagai pribadi yang menikah, kebutuhan seksual juga menjadi tantangan bagi
mereka yang tinggal di pulau yang berbeda. Sifat introvert dari suami dapat
menyebabkan persoalan perselingkuhan terjadi; ketidakpuasan dalam hal seksual jika
tidak dapat diungkapkan dengan baik kepada istri, maka akan membuat istri tidak
mengerti dengan keinginan suaminya. Jika hal ini tidak dapat diatasi maka akan
berujung pada pencarian kepuasan di luar pernikahan.

3.1.3. Dampak Perselingkuhan
Setiap kali suami ibu Anna melakukan perselingkuhan, hal itu membuat
batinnya terguncang dan malu. Dia kehilangan semangat untuk melakukan aktivitas


sehari-hari seperti ke kantor, ke gereja dan pelayanan. Selain itu, kewajiban untuk
mengurus anak-anak pun menjadi terlupakan. Ibu Anna mengaku bahwa hubungan
bersama suaminya sempat renggang, meskipun dia tidak menginginkan perceraian,
namun kehidupan di dalam rumah tidak dapat berjalan seperti sedia kala untuk
beberapa waktu. Rasa kepercayaan terhadap pasangan juga hilang, tumbuh rasa
curiga yang mendalam. Namun kecurigaannya semakin membuat batinnya tidak
nyaman. Hal ini sering membuat ibu Anna dan suaminya selalu bertengkar.
Hubungan anak-anak bersama ayahnya juga semakin renggang. Anak-anak bahkan
sempat menginginkan orangtuanya berpisah.
Terkait dengan dampak psikis yang dialami ibu Anna, hal ini juga
membuatnya tidak dapat melakukan hubungan intim bersama suami untuk beberapa
waktu lamanya. Namun, ketika ibu Anna memutuskan untuk mengampuni suaminya,
tanpa terpaksa dia bersedia melakukan hubungan seksual bersama suaminya.

3.1.4. Pengampunan dalam Menyikapi Perselingkuhan Suami
Untuk menyelamatkan pernikahannya, ibu Anna memutuskan untuk
mengampuni suaminya. Pengampunan yang diberikan ibu Anna kepada suaminya
sudah dilakukan berulang kali. Ibu Anna menyadari bahwa tanpa pengampunan
hubungannya bersama suami dan anak-anak tidak dapat berjalan dengan baik.

Sebelum ibu Anna dapat mengampuni suaminya, hubungan mereka berjalan
canggung, layaknya seperti orang lain. Dengan bantuan beberapa pihak yang masih
memiliki kepedulian terhadap keluarganya, akhirnya ibu Anna belajar untuk
menyikapi persoalannya dengan lebih tenang dan penuh pertimbangan. Secara

pribadi, ibu Anna mengatakan bahwa persoalan ekonomi tidak menjadipertimbangan
bagi ibu Anna untuk mempertahankan pernikahan. Ada beberapa alasan yang
membuatnya dapat memfasilitasi pengampunan kepada suaminya.

3.1.4.1.Alasan-alasan dalam memberikan pengampunan
Ada beberapa pertimbangan yang dilakukan oleh ibu Anna terkait dengan
pengampunan yang dia berikan dala m menyikapi perselingkuhan suaminya; (1) Ibu
Anna meyakini bahwa Tuhan tidak menginginkan adanya perceraian dalam
pernikahan “Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan
manusia (Mat 19:6b).” Meskipun begitu, ibu Anna juga tahu bahwa Tuhan tidak
menghendaki perzinahan. Untuk hal ini, ibu Anna meminta pertolongan Roh Kudus
agar Tuhan mengampuni suaminya dan dia pun diberi kekuatan untuk dapat
mengampuni suaminya. (2) Ibu Anna sangat mengasihi suaminya dan menerima
suaminya dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Rasa sayangnya kepada
suaminya tidak pernah hilang meskipun dia telah sering dikhianati. (3) Ibu Anna

memiliki sejarah hubungan yang tidak direstui oleh orangtuanya. Oleh sebab itu, dia
telah berjanji pada dirinya sendiri untuk memperjuangkan pernikahannya. Dia yakin
pengampunan yang dia berikan dapat membuat hubungannya bersama suaminya
semakin erat dan hubungan anak-anak bersama ayahnya juga dapat diperbaiki. Bagi
ibu Anna, keutuhan keluarga dapat menjadi kekuatan baginya dalam menjadi setiap
pergumulan. (4). Ibu Anna mengungkapkan bahwa sebelum dia dapat mengampuni
suaminya, batinnya selalu tersiksa, semangat hidup hilang, dan badanpun sering
terserang penyakit. Hal ini sangat mengganggu kehidupan yang sudah dia

perjuangkan; anak-anak terabaikan, pekerjaan terlupakan, pelayanan ditinggalkan.
Hingga akhirnya ibu Anna menyadari bahwa dia harus lepas dari luka batin yang
menekannya dan memutuskan untuk mengampuni agar dia maumpu bangkit
melanjutkan hidup dan masa depannya.

3.1.4.2.Tahapan-tahapan dalam memberikan pengampunan
Setiap kali ibu Anna memutuskan untuk mengampuni suaminya, dia selalu
bekerja dalam beberapa tahapan proses, yaitu: (1) Mengambil waktu untuk berdiam
diri; merasakan kemarahan dan kekecewaan yang sedang dialaminya, menyadari akan
kerusakan hubungan antar suami-istri, ayah-ibu. Pada tahap ini, ibu Anna menyadari
bahwa dia sedang terluka atas pengkhianatan suaminya, dan hal ini menyebabkan

hubungan di antara mereka menjadi renggang. Kepercayaan keluarga pun menjadi
hilang kepada suaminya. (2) Mengingat janji setianya dan berpegang teguh pada
hukum pernikahan di dalam Kristen. Pada tahap ini, ibu Anna selalu mengingat janji
setianya dan kesediaannya untuk berjuang mempertahankan pernikahannya. Selain
itu, dia selalu mengingat masa-masa indah bersama suami dan kebaikan-kebaikan
yang

telah

dilakukan

suaminya

dalam

kehidupan

bersama

mereka.


(3)

Mempertimbangkan segala hal yang mungkin akan terjadi jika perceraian terjadi;
psikologis anak. Pada tahap ini, ibu Anna tidak mau menjadi orang yang egois yang
hanya memikirkan dirinya sendiri. Dia mungkin dapat menerima perceraian jika
suaminya juga menginginkannya. Tetapi suaminya tidak pernah menginginkan
perceraian dan memohon pengampunan. Pada tahap ini ibu Anna selalu
memposisikan dirinya sebagai anak-anak yang membutuhkan sosok ayah dan ibu dan

istri yang mengasihi suaminya dan terbeban untuk merangkul suaminya. Ibu Anna
tidak ingin anak-anak menjadi pribadi yang hidup di dalam kepahitan dan dendam,
karena hal ini dapat membuat hidup tidak sejahtera. (4) Berbicara dari hati ke hati
kepada suaminya. Ibu Anna menyadari bahwa pernikahan dapat dipertahankan jika
kedua pasangan menginginkannya. Oleh sebab itu, dia juga selalu berusaha untuk
berbicara langsung kepada suaminya. Dia mempertanyakan langsung apakah
suaminya masih ingin bersamanya dan menanyakan apa yang diinginkan darinya.
Pada tahap ini juga dia mendapat pengharapan bahwa pernikahan masih bisa
dipertahankan ketika suaminya masih memiliki cinta dan harapan untuknya. (5)
Mengadakan pertemuan keluarga. Tahap ini merupakan tahap terakhir bagi ibu Anna
dan suaminya untuk kembali memulai kehidupan pernikahannya. Dengan
mengadakan pertemuan keluarga, ibu Anna menunjukkan kepada orang-orang bahwa
dia tidak ingin menyembunyikan peristiwa yang sedang dia alami. Dia ingin setiap
orang yang hadir mengetahui bahwa dia sudah mengampuni suaminya, dan dia ingin
agar keluarga dan yang lain juga menjadi saksi atas pengampunannya dan
kesediaannya bersama suaminya untuk kembali bersama melanjutkan kehidupan
pernikahan mereka. Saat ini, komunikasi ibu Anna dan suaminya telah membaik dan
suaminya sudah belajar untuk lebih terbuka dengan setiap hal yang dirasakannya.

3.2.

KASUS II

3.2.1. Narasumber dan Kondisi Keluarga4
Narasumber pada kasus ke 2 ini adalah ibu Helena (disamarkan). Dia adalah
seorang istri dan ibu dari 5 orang anak; 3 anak laki-laki dan 2 anak perempuan. Ibu
Helena berusia 45 tahun. Pendidikan terakhirnya SMP dan saat ini bekerja sebagai
pedagang dan ibu RT.
Ibu Helena adalah anak ke 3 dari 4 orang bersaudara sekandung. Dia terlahir
dari keluarga bersuku asli minang. Orangtuanya pernah bercerai pada saat dia masih
berusia 1 bulan dalam kandungan ibunya. Perceraian terjadi karena perselingkuhan
ayahnya. Tetapi pada saat ibu Helena dilahirkan, ayahnya kembali bersama ibunya
hinggga ibunya melahirkan anak ke 4. Tapi perselingkuhan kembali terjadi, dan
akhirnya orangtua ibu Helena kembali bercerai untuk yang ke dua kali. Setelah
peristiwa itu, masing-masing orangtuanya memiliki pasangan dan memiliki anakanak dari pernikahan mereka masing-masing. Ibu Helena menjalani kehidupan yang
sangat membingungkan dan mengganggu psikologisnya. Secara batin dia tidak
merasa tenang dengan keadaan keluarganya. Akhirnya dia bertekad pada dirinya
sendiri untuk tidak akan pernah bercerai jika dia menikah suatu hari nanti.
Ibu Helena menikah siri dengan suaminya pada tahun 1988 secara Islam,
karena ke dua belah pihak keluarga tidak mengijinkan pernikahan mereka karena
perbedaan keyakinan. Namun, saat ini mereka tercatat sebagai anggota jemaat di
GKPM Jemaat Sikakap. Suami ibu Helena berasal dari suku Nias dan saat ini bekerja
sebagai anggota DPRD di Kab. Kep. Mentawai. Namun, sebelum menjadi anggota
4

Helena, 45 tahun, Wawancara (Mentawai, tgl 9 – 15 September 2015, pukul 16.00 WIB)

DPRD, suami ibu Helena merupakan pengusaha yang cukup berhasil di Sikakap,
sama seperti kakak iparnya yang juga pengusaha yang sudah lebih dulu datang ke
Sikakap untuk membuka usahanya. Ibu Helena dan suaminya memulai usahanya
dengan usaha kecil yaitu menjual BBM eceran, kemudian akhirnya berkembang
menjadi Usaha Dagang yang cukup besar. Hal ini kadang menyebabkan ibu Helena
sering terpisah, karena suaminya harus mengurus bisnis di Padang, dan dia sendiri
bertanggungjawab untuk mengelola semua yang ada di Sikakap. Selain mengurus
toko mereka, ibu Helena juga menjalankan julo-julo dan jualan pakaian secara cash
dan kredit dengan sistem kutip door to door. Hasil yang didapat dari bisnisnya cukup
besar dan dapat membantu biaya pembangunan rumah mereka dan kebutuhan seharihari.

3.2.2. Pemasalahan dalam Keluarga Ibu Helena dan Faktor-Faktor Penyebab
Perselingkuhan
Ibu Helena bersama suami telah menjalani usia pernikahan selama 27 tahun.
Kehidupan pernikahan tidak lepas dari berbagai persoalan. Salah satu permasalahan
yang sering digumuli dalam kehidupan pernikahan mereka adalah perbedaan
pendapat dalam hal menjalankan usaha mereka. Terkadang suami tidak mendukung
ibu Helena dalam menjalankan usaha pribadinya. Karena suaminya menganggap
usaha dagang mereka telah cukup untuk membiaya kehidupan mereka. Namun
persoalan ini masih dapat diatasi. Ibu Anna memberikan pengertian kepada suaminya
bahwa mereka memiliki anak-anak yang harus dijamin pendidikan dan kebutuhannya.
Selain itu, satu masalah besar yang sering menjadi pergolakan batin bagi ibu Helena

adalah kehadiran pihak ke tiga dalam kehidupan rumah tangga mereka. Ibu Helena
meyakini bahwa suaminya telah mengkhianatinya berkali-kali, meskipun begitu
suaminya tidak pernah mengakuinya.
Ibu Helena tidak mengerti mengapa suaminya mengkhianatinya. Dia pernah
menanyakannya pada suaminya, tetapi suaminya selalu menyangkalnya. Tetapi, dari
pengamatan penulis saat melakukan wawancara bersama ibu Helena, dapat diketahui
bahwa komunikasi antara ibu Helena dan suaminya tidak berjalan dengan baik,
karena masing-masing disibukkan dengan urusan usaha atau bisnis yang mereka
jalankan. Selain itu, mereka sering terpisah karena urusan usaha dan bisnis mereka.
Sehingga, hal-hal seperti ini menjadi tantangan bagi pasangan yang menikah. Ibu
Helena masih disibukkan dengan urusan anak-anak setelah dia menjalankan usahanya
setiap hari. Namun, suami yang tinggal jauh dari istri dan anak-anaknya dapat
mencari kepuasan dalam hal seksual di luar pernikahannya. Hal ini diketahui
berdasarkan informasi yang disampaikan kepada ibu Helena bahwa suaminya sering
ditemui mengunjungi kafe-kafe dan club malam dan berduaan bersama perempuan
lain.

3.2.3. Dampak Perselingkuhan
Ibu Helena mengakui bahwa isu perselingkuhan suaminya telah membuat
keluarga

mereka

berantakan.

Suaminya

tidak

pernah

mengakui

tentang

perselingkuhannya, tetapi ibu Helena sudah merasa curiga kepada suaminya, karena
tidak hanya sekali atau dua kali orang menyampaikan kepadanya, dan tidak hanya
satu atau dua orang yang mengetahui dan melihat suaminya bersama perempuan lain.

Suaminya memang tidak memiliki anak dari perempuan lain, tetapi pengkhianatan
yang dilakukan suaminya telah membuat batinnya terluka, kecewa dan kepercayaan
kepada suaminya pun hilang. Ibu Helena menjadi semakin curiga terhadap suaminya.
Hal ini membuat ibu Helena menjalani hari-harinya dengan sangat tersiksa dan tidak
sejahtera. Selain itu, anak-anak menjadi terabaikan dan tidak mendapat perhatian dari
orangtuanya. Hubungan anak-anak dengan ayah mereka semakin renggang, ini
disebabkan karena anak-anak telah melihat sendiri kelakuan ayah mereka kepada
ibunya. Anak-anak sendiri telah menjadi saksi dari perilaku kasar suaminya. Bahkan
dalam hal seksual ibu Helena merasa sangat tersiksa untuk waktu yang sangat lama.
Dia tidak pernah menolak untuk berhubungan seksual dengan suaminya, meskipun
dia tahu sendiri bahwa suaminya telah mengkhianatinya. Namun saat ini, ibu Helena
mengakui bahwa hubungan seksual diantaranya bersama suaminya sudah berjalan
normal setelah relasi mereka dipulihkan.

3.2.4. Pengampunan dalam Menyikapi Perselingkuhan Suami
Perceraian orangtua telah mengakibatkan trauma yang mendalam bagi ibu
Helena dan saudaranya. Sehingga, dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan
tetap mempertahankan dan memperjuangkan hubungan pernikahannya meskipun dia
akan mengalami pergumulan yang berat. Dia tidak ingin anak-anaknya mengalami
trauma yang sama seperti yang dirasakannya. Perselingkuhan suaminya menyebabkan
batin ibu Helena terguncang. Namun dia sadar bahwa berlarut-larut dengan rasa
kecewa dan luka batin tidak membuat dia bahagia, malah semakin sakit. Untuk itulah,
dia memutuskan untuk mengampuni suaminya dan memulai hidupnya dengan

harapan yang baru bahwa suaminya bisa berubah. Secara pribadi, ibu Helena
mengakui bahwa persoalan ekonomi merupakan salah satu pertimbangannya dalam
mempertahankan pernikahannya, karena apa yang mereka miliki merupakan hasil
kerja kerasnya bersama suami.

3.2.4.1.Alasan-alasan dalam memberikan pengampunan
Ibu Helena bersedia mengampuni suaminya dengan beberapa pertimbangan
berikut ini: (1) Ibu Helena mengalami peristiwa pahit pada masa kecilnya; dia
tertekan dengan perceraian kedua orangtuanya dan mengalami kebingungan dengan
keluarga baru dari masing-masing orangtuanya. Ibu Helena khawatir kalau
perpisahannya bersama suaminya terjadi, itu akan menggangu psikologis anakanaknya. Dia tak ingin trauma yang dialaminya dialami kembali oleh anak-anaknya.
Bagi ibu Helena, anak-anak adalah kekuatannya. Dia yakin dan percaya, suatu hari
nanti suaminya benar-benar akan menyadari kesalahannya. Jika tidak, anak-anak
sendiri yang akan menyadarkannya. Oleh sebab itu Selama dia masih bersama anakanaknya, maka dia yakin bahwa dia bisa melalui segala pergumulan yang ada. Hal ini
dapat dipahami sebagai kekhawatirannya akan dampak perceraian orangtua dimasa
kecilnya. (2) Ibu Helena meyakini bahwa Tuhan itu Maha Pengampun. Dan di dalam
Alkitab tertulis bahwa manusia harus mengampuni sesamanya. Keyakinan ini yang
mengingatkan ibu Helena untuk bersedia mengampuni suaminya. (3) Ibu Helena
yakin bahwa dengan pengampunan, hubungannya bersama suami dapat diperbaiki.
Selain itu, anak-anak juga akan dapat belajar untuk menerima dan mengampuni ayah
mereka. (4) Dengan melupakan segala hal yang telah menyakitkan hati, membuat ibu

Helena mampu memulai harinya kembali. Dengan mengampuni dia telah melepaskan
beban berat dalam batin dan pikirannya. Sehingga dia bisa berelasi seperti sedia kala,
tidak hanya kepada suami, tetapi juga kepada masyarakat.

3.2.4.2.Tahapan-tahapan dalam memberikan pengampunan
Beberapa tahapan yang dilalui ibu Helena dalam proses pemberian pengampunan
kepada suaminya: (1) Mengingat trauma masa lalu-dampak terhadap psikologis anak.
Dengan mengingat trauma masa lalunya, dia ingin menyelamatkan anak-anaknya.
Selain itu, pada tahap ini, ibu Helena juga menyadari bahwa perselingkuhan
berdampak buruk pada hubungannya bersama suami, dan ayah bersama anak-anak.
(2) Mengingat firman Tuhan tentang pengampunan. Ibu Helena memahami bahwa
pengampunan tidak hanya diberikan satu kali saja, tetapi berkali-kali seperti di dalam
Alkitab “Yesus berkata kepadanya: “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai
tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” (Mat: 18:22).” (3)
Berbicara langsung kepada suami. Beberapa kali ibu Helena mempertanyakan
langsung tentang persoalan perselingkuhan itu kepada suaminya, namun suami selalu
mengingkari. Bahkan terkadang suami memarahi dan memukulnya agar ibu Helena
tidak mempertanyakan lagi. Ibu Helena juga mencoba mempertanyakan alasan
suaminya berselingkuh, tetapi suami tetap saja tidak mengakui. (4) Melihat
kesungguhan suami untuk tetap mempertahankan pernikahan. Beberapa kali ibu
Helena mencoba untuk pergi dari rumah untuk menenangkan dirinya, tetapi suaminya
selalu berhasil untuk membujuknya untuk tetap tinggal. Ibu Helena juga sering
berdoa, “Jika Tuhan menginjinkan kami masih bersama, maka Tuhan akan membuka

jalan”. Dan hal ini diakui oleh ibu Helena bahwa dia mengalami banyak hal yang
memperlihatkan bahwa Tuhan menginginkan mereka bersama. (5) Melepaskan luka
batin. Pada tahap ini, ibu Helena merasakan proses pengampunan benar-benar
semakin nyata. Setelah dia menerima semua rasa kecewa yang dialaminya, dia
memutuskan untuk melepaskannya dan mengingat hal-hal yang baik tentang suami
dan keluarganya. Sehingga, ibu Helena berhasil mengampuni suaminya dan
menjalani hari-hari dengan penuh pengharapan untuk kebaikannya bersama suami
dan anak-anaknya. Beberapa tahun terakhir ini, kehidupan ibu Helena dan suaminya
membaik. Perdebatan di dalam rumah hanya seputar sekolah atau pekerjaan anakanak.