Hubungan Keyakinan Diri (Self Efficacy) dengan Perilaku Nyeri pada Pasien dengan Nyeri Kronis di RSUP Haji Adam Malik Medan

(1)

Hubungan Keyakinan Diri (Self Efficacy) dengan Perilaku Nyeri

pada Pasien dengan Nyeri Kronis di RSUP Haji Adam

Malik Medan

SKRIPSI

Oleh

Henny H. Aritonang 061101068

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

(3)

PRAKATA

Segala puji syukur, hormat, dan pujian penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menyertai penulis untuk menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Hubungan self efficacy dengan perilaku nyeri pada pasien dengan nyeri kronis di RSUP H. Adam Malik Medan”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan dan mencapai gelar sarjana di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan.

Penyusunan skripsi ini telah banyak mendapat bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes sebagai Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan Erniyati, S.Kp, MNS sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Ikhsanuddin Ahmad Harahap, S.Kp, MNS selaku dosen pembimbing skripsi penelitian penulis yang penuh kesabaran dan keikhlasan dalam memberikan arahan, bimbingan, ilmu yang bermanfaat dalam penyusunan skripsi ini.

3. Ibu Ellyta Aizar S.Kp selaku dosen penasehat akademik saya. Bapak Dudut Tanjung, S.Kp, M.Kep, Sp.KMB selaku dosen penguji I dan Bapak Mula Tarigan, S.Kp, M.Kes penguji II yang dengan teliti memberikan masukan yang berharga dalam penyelesaian skripsi ini.


(4)

4. Seluruh staf pengajar Fakultas Keperawatan USU yang memberikan ilmu yang berharga kepada penulis dan seluruh staf kepegawaian Fakultas USU yang memperlancar proses akademik dan administrasi penulis.

5. Seluruh pihak Rumah Sakit Pusat H. Adam Malik Medan yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di rumah sakit tersebut.

6. Teristimewa kepada keluargaku tercinta Ayahanda A.Aritonang dan Ibunda H.Pandiangan, atas didikan dan kasih sayang yang telah diberikan selama ini. Buat kepada abang dan kakak (b’ Porman, b’Ronal, k’Lena dan k’ Ati) serta adeku tersayang (Sondang) yang selalu memberi motivasi, doa dan kasih sayang.

7. Teman-teman mahasiswa S1 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, khususnya stambuk 2006 yang telah memberikan semangat dan masukan dalam penyusunan skripsi ini, teman Kelompok Kecil ku (k’Mega, K’Martha, Mei, Yohana, Yunita dan Murni) Terimakasih buat doa, dukungan dan semangat yang telah diberikan kepadaku, buat sahabatku (Desyi, Ester, Desita, Valentina, Ernita, Bella, Merlyn), dan untuk teman seperjuanganku yang terkasih Tiur Yulianto.

8. Semua pihak yang dalam kesempatan ini tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini, maupun dalam menyelaesaikan perkuliahan di fakultas keperawatan USU


(5)

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa mencurahkan berkat dan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat nantinya untuk pengembangan ilmu pengetahuan khusunya profesi keperawatan.

Medan, Juli 2010


(6)

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ... i

Prakata ... ii

Daftar Isi ... v

Daftar Skema ... vii

Daftar Tabel ... viii

Abstrak ... ix

BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ... 1

2. Tujuan Penelitian ... 4

3. Pertanyaan Penelitian... 4

4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Nyeri ... 6

1.1. Defenisi Nyeri ... 6

1.2. Klasifikasi Nyeri ... 8

1.3. Fisiologi Nyeri ... 13

1.4. Teori Nyeri ... 15

1.5. Penanganan Nyeri ... 16

1.6. Pengukuran Nyeri ... 20

2. Perilaku Nyeri ... 22

2.1. Defenisi Perilaku Nyeri ... 22

2.2. Jenis Perilaku Nyeri ... 23

2.3.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri ... 25

2.4 Pengukuran Perilaku Nyeri ... 27

3.Self Efficacy... 28

3.1.Pengertian ... 28

3.2 Indikator ... 30

3.3.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self Efficacy ... 31

3.4 Sumber Self Efficacy ... 32

3.5.Dimensi dan Aspek Self Efficacy... 33

3.6 Pengukuran Self Efficacy ... 34

4. Hubungan Self Efficacy dengan Nyeri dan Perilaku Nyeri ... 35

BAB 3 KERANGKA KONSEP 1. Kerangka Konsep ... 36

2. Defenisi Operasional ... 37

3. Hipotesa ... 38

BAB 4 METODE PENELITIAN 1. Desain Penelitian ... 39

2. Populasi dan sampel penelitian ... 39


(7)

2.2. Sampel Penelitian ... 39

3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 40

4. Pertimbangan Etik ... 40

5. Instrumen Penelitian ... 41

6. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 43

7. Teknik Pengumpulan Data ... 44

8. Analisa Data ... 45

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil penelitian ... 48

2. Pembahasan ... 56

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan ... 62

2.Saran ... 62 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

1. Lembar Persetujuan Menjadi Responden Penelitian 2. Jadwal Tentatif

3. Taksasi Dana

4. Instrumen Penelitian 5. Izin Penelitian 6. Kurva Uji Normalitas

7. Nilai tertinggi dan terendah pada kuesioner pain self efficacy 8. Output SPSS


(8)

DAFTAR SKEMA

Skema 1. Kerangka Konsep Hubungan Self Efficacy dengan Perilaku Nyeri pada


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Karakteristik Demografi ... 49 Tabel 2 Distribusi frekuensi dan persentasi self efficacy ... 50 Tabel 3 Distribusi frekuensi dan persentasi perilaku nyeri ... 51 Tabel 4.Nilai mean, standard deviasi dan tingkat pada parameter

perilaku nyeri ... 52 Tabel 5 Hubungan self efficacy dengan perilaku nyeri pada pasien


(10)

Judul : Hubungan keyakinan diri (Self efficacy) dengan perilaku nyeri pada pasien dengan nyeri kronis di RSUP H. Adam Malik Medan

Nama : Henny H. Aritonang

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep) Nim : 061101068

Tahun : 2010

Abstrak

Nyeri adalah sensasi ketidaknyamanan yang dimanifestasikan sebagai

penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman, dan luka. Perilaku nyeri adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh seseorang dan setiap perubahan kebiasaan ketika ia mengalami nyeri yang dapat diobservasi. Nyeri kronik merupakan penyebab utama ketidakmampuan fisik dan psikologi sehingga muncul masalah-masalah, seperti kehilangan pekerjaan, ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari yang sederhana, disfungsi seksual, dan isolasi sosial dari keluarga dan teman-teman. Seseorang yang mengalami nyeri kronis harus memiliki mental dan emosional yang kuat untuk menjalani hidup dengan nyeri yang menetap. Oleh karena itu diperlukan penguatan faktor psikologis dengan cara meningkatkan kemampuan kognitif salah satunya self efficacy. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan self efficacy dengan perilaku nyeri pada pasien dengan nyeri kronis di RSUP Adam Malik Medan dengan desain deskriptif korelasi. Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 25 Februari-22 Mei 2010 yang melibatkan 26 orang sesuai dengan kriteria nyeri ringan sampai sedang dengan metode pengambilan sampel purposive sampling. Instrumen penelitian yang digunakan berupa kuesioner data demografi, lembar observasi perilaku nyeri dan kuesioner self efficacy. Hasil penelitian menunjukkan lebih dari setengah responden (61.5%) memiliki self efficacy sedang dan setengah dari responden menunjukkan (50%). Untuk menentukan korelasi kedua variabel, diuji dengan menggunakan program SPSS dengan menggunakan korelasi spearman dengan nilai korelasi -0.67 (p=0.01). Hasil ini menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara self efficacy dengan perilaku nyeri dengan arah korelasi negatif.


(11)

Judul : Hubungan keyakinan diri (Self efficacy) dengan perilaku nyeri pada pasien dengan nyeri kronis di RSUP H. Adam Malik Medan

Nama : Henny H. Aritonang

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep) Nim : 061101068

Tahun : 2010

Abstrak

Nyeri adalah sensasi ketidaknyamanan yang dimanifestasikan sebagai

penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman, dan luka. Perilaku nyeri adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh seseorang dan setiap perubahan kebiasaan ketika ia mengalami nyeri yang dapat diobservasi. Nyeri kronik merupakan penyebab utama ketidakmampuan fisik dan psikologi sehingga muncul masalah-masalah, seperti kehilangan pekerjaan, ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari yang sederhana, disfungsi seksual, dan isolasi sosial dari keluarga dan teman-teman. Seseorang yang mengalami nyeri kronis harus memiliki mental dan emosional yang kuat untuk menjalani hidup dengan nyeri yang menetap. Oleh karena itu diperlukan penguatan faktor psikologis dengan cara meningkatkan kemampuan kognitif salah satunya self efficacy. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan self efficacy dengan perilaku nyeri pada pasien dengan nyeri kronis di RSUP Adam Malik Medan dengan desain deskriptif korelasi. Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 25 Februari-22 Mei 2010 yang melibatkan 26 orang sesuai dengan kriteria nyeri ringan sampai sedang dengan metode pengambilan sampel purposive sampling. Instrumen penelitian yang digunakan berupa kuesioner data demografi, lembar observasi perilaku nyeri dan kuesioner self efficacy. Hasil penelitian menunjukkan lebih dari setengah responden (61.5%) memiliki self efficacy sedang dan setengah dari responden menunjukkan (50%). Untuk menentukan korelasi kedua variabel, diuji dengan menggunakan program SPSS dengan menggunakan korelasi spearman dengan nilai korelasi -0.67 (p=0.01). Hasil ini menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara self efficacy dengan perilaku nyeri dengan arah korelasi negatif.


(12)

BAB 1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Nyeri merupakan fenomena yang universal dan kebebasan dari nyeri merupakan hak dasar setiap orang (Breivik, 2005). Menurut Kozier dan Erb (1983, dalam Tamsuri, 2004), nyeri adalah sensasi ketidaknyamanan yang dimanifestasikan sebagai penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman, dan luka.

Nyeri merupakan keluhan yang paling sering dijumpai, baik dalam praktek

umum maupun dokter spesialis khususnya spesialis saraf (Wibowo, 2001). Nyeri terjadi bersama dengan berbagai proses penyakit atau bersamaan dengan pemeriksaan diagnostik atau pengobatan (Brunner & Suddarth, 2004).

Dari segi berlangsungnya nyeri dibagi atas nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri

akut biasanya berlangsung singkat yang berkaitan dengan pembedahan trauma atau penyakit akut, misalnya nyeri akibat secio secare (Brannon & Feist, 1992). Sementara nyeri kronis berasal nyeri akut yang rekurens yang berlangsung lebih dari 6 bulan (Soeroso, 2009). Penyakit yang dapat menimbulkan nyeri kronis misalnya, rematoid arthititis, osteoarthritis, fibromyalgia, low back pain, dan kanker (medicinehealth.com)

Nyeri kronis biasanya lebih kompleks dan lebih sulit untuk ditangani, diobati atau dikontrol daripada nyeri akut (Chong, 1999). Klien dengan nyeri kronis harus menjalani serangkaian pengobatan (misalnya pembedahan) dimana


(13)

pengobatan ini seringkali mengakibatkan nyeri yang dialami klien bertambah buruk (Tailor, 1995).

Nyeri kronik diderita ratusan juta dari penduduk di seluruh dunia (Wibowo, 2001). Menurut survei Gallup (1999), sembilan dari sepuluh warga Amerika Serikat yang berusia 18 tahun dilaporkan menderita nyeri, dan 42 % orang dewasa mengalami nyeri setiap harinya. Menurut penelitian Chronic Pain Association of Australia (2009), lebih dari 3,2 juta warga Australia yang menderita nyeri kronik. Nyeri tersebut kebanyakan berasal dari nyeri sendi dan tulang belakang. Sementara di Singapura 9% warganya menderita nyeri kronik.

Nyeri kronik telah mempengaruhi sebagian bahkan seluruh hidup penderitanya (Tailor, 1995). Nyeri kronik merupakan penyebab utama ketidakmampuan fisik dan psikologi sehingga muncul masalah-masalah, seperti kehilangan pekerjaan, ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari yang sederhana, disfungsi seksual, dan isolasi sosial dari keluarga dan teman-teman (Potter & Perry, 2005). Nyeri bersifat subjektif, tidak ada dua individu yang mengalami nyeri yang sama menghasilkan respon atau perasaan yang identik pada individu (Niven, 1994). Oleh karena itu, tingkatan nyeri dapat dikaji dengan mengobservasi reaksi yang muncul akibat nyeri tersebut (Wall & Jones, 1991). Perilaku nyeri dapat dimanifestasikan dengan berbagai cara yang meliputi mengeluh, merintih, menggosok bagian yang nyeri, meringis, dan berubah posisi (Silver, 2004).

Perilaku nyeri yang dialami oleh klien dengan nyeri akut berbeda dengan klien dengan nyeri kronik. Pada nyeri akut, sering melibatkan ketidaknyaman dalam waktu yang singkat dan akan segera pulih kembali (Sternbach, 1984). Sementara


(14)

pada nyeri kronik, klien membutuhkan kemampuan untuk dapat hidup dengan nyeri dalam waktu yang lama dan mempertahankan pola perilaku untuk mencegah nyeri tersebut menguasai hidupnya (Tailor, 1995).

Seseorang yang mengalami nyeri kronis harus memiliki mental dan emosional yang kuat untuk menjalani hidup dengan nyeri yang menetap. Oleh karena itu diperlukan penguatan faktor psikologis dengan cara meningkatkan kemampuan kognitif (Chong, 1999). Kognitif ini dimaksudkan untuk membantu klien mengenali respon emosional terhadap nyeri yang dipengaruhi oleh pikiran dan melatih mereka mengendalikan gangguan yang berasal dari nyeri kronis yang mereka alami (Gallagher, 2005).

Salah satu kemampuan kognitif adalah self efficacy. Self efficacy adalah rasa kepercayaan seseorang bahwa dia dapat menunjukkan perilaku yang dituntut dalam situasi yang spesifik. Self efficacy lebih mengarahkan pada penilaian individu akan kemampuannya dalam hal ini untuk mengontrol perilaku nyeri yang dialaminya (Bandura, 1994).

Ekspektasi self efficacy sangat penting karena klien seharusnya percaya bahwa mereka memiliki kemampuan untuk melakukan respon yang diharapkan agar dapat membawa perubahan. Klien yang memiliki self efficacy yang tinggi dapat menurunkan perilaku nyeri sebaliknya self efficacy yang rendah dapat menyebabkan depresi pada penderita nyeri kronik (Tailor, 1995).

Self efficacy merupakan faktor yang berperan dalam pengontrolan perilaku nyeri, peneliti merasa tertarik untuk menyelidiki bagaimana hubungan perilaku nyeri dengan self efficacy. Secara khusus dalam hal ini peneliti ingin meneliti


(15)

hubungan perilaku nyeri self efficacy pada pasien nyeri kronis di RSUP H. Adam Malik Medan. Mengingat rumah sakit ini adalah rumah sakit rujukan sehingga banyak ditemukan kasus nyeri kronis. Apabila penelitian ini berhasil membuktikan adanya hubungan yang signifikan antara perilaku nyeri pasien dengan self efficacynya maka hal ini dapat menjadi suatu informasi yang berharga bagi perawat untuk meningkatkan self efficacy pasien.

2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

2.1 Mengidentifikasi self efficacy pada pasien nyeri kronis. 2.2 Mengidentifikasi perilaku nyeri pada pasien nyeri kronis.

2.3 Mengidentifikasi hubungan perilaku nyeri dengan self efficacy pada nyeri kronis.

3. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan yang harus dijawab dalam penelitian ini adalah: 3.1 Bagaimana self efficacy pada pasien nyeri kronis? 3.2 Bagaimana perilaku nyeri pada pasien nyeri kronis?

3.3 Bagaimana hubungan self efficacy dengan perilaku nyeri pada pasien dengan nyeri kronis?

1.4 Manfaat Penelitian

4.1 Bagi praktek keperawatan

Dalam bidang praktek keperawatan, hasil penelitian ini akan memberikan informasi tentang pentingnya self efficacy dalam mengontrol perilaku nyeri klien.


(16)

4.2 Bagi penelitian keperawatan

Dalam bidang penelitian keperawatan, hasil penelitian ini diharapkan akan dipergunakan sebagai bahan masukan untuk penelitian selanjutnya, untuk meneliti hubungan perilaku nyeri dengan self efficacy dengan jumlah sampel yang lebih bervariasi dan lebih banyak.


(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan dibahas beberapa aspek yang terkait dalam penelitian ini :

1. Konsep Nyeri

1.1 Defenisi Nyeri

Menurut The International Association for the Study of Pain (1979, dalam Potter & Perry 2005), nyeri didefenisikan sebagai perasaan sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial yang menyebabkan kerusakan jaringan. Sementara itu defenisi keperawatan tentang nyeri adalah apapun yang menyakitkan tubuh yang dikatakan individu yang mengalaminya yang ada kapanpun individu mengatakannya (Brunner & Suddarth, 2001).

Nyeri terjadi bersamaan dengan terjadinya proses penyakit atau bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostik atau pengobatannya. Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan lebih banyak orang dari pada penyakit apapun (Brunner & Suddarth, 2001).

Penyebab nyeri dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan yaitu penyebab yang berhubungan dengan fisik dan psikis (Luckmann & Sorensen’s, 1987). Secara fisik misalnya, penyebab nyeri adalah trauma (baik trauma mekanik, termis, kimiawi, maupun elektrik), neoplasma, peradangan, gangguan sirkulasi darah dan lain-lain. Secara psikis, penyebab nyeri dapat terjadi oleh karena adanya trauma psikologis (Luckmann & Sorensen’s, 1987).


(18)

Trauma mekanik menimbulkan nyeri karena ujung-ujung saraf bebas mengalami kerusakan akibat benturan, gesekan ataupun luka. Trauma termis menimbulkan nyeri karena ujung saraf reseptor mendapat rangsangan akibat panas dan dingin. Trauma kimiawi terjadi karena tersentuh zat asam atau basa yang kuat. Trauma elektrik dapat menimbulkan nyeri karena pengaruh aliran listrik yang kuat mengenai reseptor rasa nyeri sedangkan nyeri yang disebabkan faktor psikologis merupakan nyeri yang dirasakan bukan karena penyebab organik, melainkan akibat trauma psikologis dan pengaruhnya terhadap fisik (Luckmann & Sorensen’s, 1987).

1.2 Klasifikasi Nyeri

Nyeri dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa golongan berdasarkan pada tempat, sifat, berat ringannya nyeri, dan waktu serangannya.

1.2.1 Nyeri Berdasarkan Tempatnya a. Pheriperal pain

Pheriperal pain adalah nyeri yang terasa pada permukaan tubuh. Nyeri ini termasuk nyeri pada kulit dan permukaan kulit. Stimulus yang efektif untuk menimbulkan nyeri di kulit dapat berupa rangsangan mekanis, suhu, kimiawi, atau listrik. Apabila hanya kulit yang terlibat, nyeri sering dirasakan sebagai menyengat, tajam, meringis, atau seperti terbakar (Price & Wilson, 2002).


(19)

b. Deep pain

Deep pain adalah yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih dalam (nyeri somatik) atau pada organ tubuh visceral (nyeri visceral). Nyeri somatis mengacu pada nyeri yang berasal dari otot, tendon, ligamentum, tulang, sendi, dan arteri. Stuktur-stuktur ini memiliki lebih sedikit reseptor nyeri sehingga lokalisasi nyeri sering tidak jelas (Price & Wilson, 2002). Demikian juga pada nyeri visceral, lokalisasinya tidak dapat ditentukan. Nyeri visceral ini meliputi apendisitis akut, cholecysitis, penyakit kardiovaskuler, dan gagal ginjal (Luckmann & Sorensen’s, 1987).

c. Reffered pain

Reffered pain adalah nyeri dalam yang disebabkan karena penyakit organ/struktur dalam tubuh yang ditransmisikan ke bagian tubuh di daerah yang berbeda, bukan dari daerah asal nyeri. Misalnya, nyeri pada lengan kiri atau rahang berkaitan dengan iskemia jantung atau serangan jantung (Brunner & Suddarth, 2001).

d. Central pain

Central pain adalah nyeri yang terjadi karena perangsangan pada sistem saraf pusat, spinal cord, batang otak, talamus, dan lain-lain (Luckmann & Sorensen’s, 1987).


(20)

1.2.2 Nyeri Berdasarkan Sifat a. Incidental Pain

Incidental pain adalah yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu menghilang. Incidental ini terjadi pada pasien yang mengalami nyeri kanker tulang (IASP, 1979).

b. Steady Pain

Steady pain adalah nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan dalam waktu yang lama. Pada distensi renal kapsul dan iskemik ginjal akut merupakan salah satu jenis steady pain. Tingkatan nyeri yang konstan pada obstruksi dan distensi (Gillenwater et all,1996).

c. Proximal Pain

Proximal pain adalah nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan kuat sekali. Nyeri tersebut biasanya menetap ±10-15 menit, lalu menghilang, kemudian timbul lagi. Nyeri ini terjadi pada

pasien yang mengalami Carpal Tunnel Syndrome (Cherington,1974 ).

1.2.3 Nyeri Berdasarkan Ringan Beratnya a. Nyeri Ringan

Nyeri ringan adalah nyeri yang timbul dengan intensitas yang ringan. Pada nyeri ringan biasanya pasien secara obyektif dapat berkomunikasi dengan baik (Dharmayana, 2009).


(21)

b. Nyeri Sedang

Nyeri sedang adalah nyeri yang timbul dengan intensitas yang sedang. Pada nyeri sedang secara obyektif pasien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik (Dharmayana, 2009).

c. Nyeri Berat

Nyeri berat adalah nyeri yang timbul dengan intensitas yang berat. Pada nyeri berat secara obyektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang (Dharmayana, 2009). 1.2.4 Nyeri Berdasarkan Waktu Serangan

a. Nyeri Akut

Nyeri akut merupakan nyeri yang mereda setelah intervensi atau penyembuhan. Awitan nyeri akut biasanya mendadak dan berkaitan dengan masalah spesifik yang memicu individu untuk segera bertindak menghilangkan nyeri. Nyeri berlangsung singkat (kurang dari 6 bulan) dan menghilang apabila faktor internal dan eksternal yang merangsang reseptor nyeri dihilangkan. Durasi nyeri akut berkaitan dengan faktor penyebabnya dan umumnya dapat diperkirakan (Price & Wilson, 2002).


(22)

Cedera atau penyakit yang menyebabkan nyeri akut dapat sembuh secara spontan atau dengan pengobatan. Sebagai contoh, jari yang tertusuk biasanya sembuh dengan cepat. Pada kasus yang lebih berat seperti fraktur ekstremitas, pengobatan dibutuhkan untuk menurunkan nyeri sejalan dengan penyembuhan tulang (Brunner & Suddarth, 2001).

Pasien pada nyeri akut memperlihatkan respon neurologik yang terukur yang disebabkan oleh stimulasi simpatis yang disebut sebagai hiperaktivitas autonom. Perubahan-perubahan ini mencakup takikardia, takipnea, meningkatnya aliran darah perifer, meningkatnya tekanan darah, dan dibebaskannya katekolamin. Kekuatan otot lokal juga mungkin terjadi, dalam suatu usaha involunter agar daerah yang cedera tidak bergerak (Price & Wilson, 2002)

b. Nyeri Kronis

Nyeri kronis adalah nyeri yang berlangsung terus menerus selama 6 bulan atau lebih. Nyeri ini berlangsung di luar waktu penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab atau cedera spesifik (Brunner & Suddarth, 2001).

Nyeri kronik ini berbeda dengan nyeri akut dan menunjukkan masalah baru. Pada sindrom nyeri kronis dapat disebabkan oleh faktor penyakit atau proses patologi yang persisten. Tetapi nyeri kronis juga merupakan penyakit itu sendiri. Klien menjadi cemas


(23)

dan frustasi. Nyeri kronis mempengaruhi seluruh aspek kehidupan klien (Price & Wilson, 2002).

Pasien dengan nyeri kronis tidak atau kurang memperlihatkan hiperaktivitas autonom tetapi memperlihatkan gejala irritabilitas, kehilangan semangat, dan gangguan kemampuan berkonsentrasi. Nyeri kronis ini sering mempengaruhi semua aspek kehidupan penderitanya, menimbulkan distress, kegalauan emosi, dan mengganggu fungsi fisik dan sosial (Potter & Perry, 2005).

Nyeri kronis dibagi menjadi dua yaitu nyeri kronik non malignan dan malignan (Potter & Perry, 2005). Nyeri kronis non malignan merupakan nyeri yang timbul akibat cedera jaringan yang tidak progresif atau yang menyembuh (Shceman, 2009), bisa timbul tanpa penyebab yang jelas misalnya nyeri pinggang bawah, dan nyeri yang didasari atas kondisi kronis, misalnya osteoarthritis (Tanra, 2005). Sementara nyeri kronik malignan yang disebut juga nyeri kanker memiliki penyebab nyeri yang dapat diidentifikasi yaitu terjadi akibat perubahan pada saraf, perubahan ini terjadi bisa karena penekanan pada saraf akibat metastasis sel-sel kanker maupun pengaruh zat-zat kimia yang dihasilkan oleh kanker itu sendiri (Portenoy, 2007).

Kebanyakan penderita nyeri kanker tidak berasal dari pengalaman nyeri. Dan beberapa mengalami nyeri psikologi yang berasal dari proses keganasan. Bagaimanapun juga, banyak


(24)

pengalaman nyeri pada stadium akhir dari penyakitnya, dan umumnya berhubungan dengan metastasis. Sekitar 60 sampai 80% pasien kanker yang dirawat di rumah sakit menderita nyeri yang sangat hebat (Lewis, 1983).

1.3 Fisiologi Nyeri

Organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsangan nyeri disebut reseptor nyeri (Tamsuri, 2004). Reseptor nyeri atau sering disebut nosiceptif adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya pada stimulus yang kuat, yang secara potensial merusak (Brunner & Suddarth, 2001).

Reseptor pada bagian kutaneus terbagi dalam dua komponen, yaitu: serabut A delta dan serabut C. Serabut A delta merupakan serabut komponen cepat yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam, yang akan cepat hilang. Sementara serabut C merupakan serabut komponen lambat yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya tumpul dan sulit dilokalisasi (Tamsuri, 2004).

Fisiologi nyeri melalui proses-proses berikut: 1.3.1 Proses Transduksi (Transduction)

Proses transduksi merupakan proses dimana suatu stimuli nyeri diubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf. Stimuli ini dapat berupa stimuli fisik (tekanan), suhu (panas) atau kimia (substansi nyeri) (Luckmann & Sorensen’s, 1987).


(25)

Proses transisi dimaksudkan sebagai penyaluran impuls melalui saraf sensoris menyusul proses transduksi. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut C sebagai neuron pertama, dari perifer ke medulla spinalis dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh traktus sphinotalamikus sebagai neuron kedua. Dari thalamus selanjutnya impuls disalurkan ke daerah somato sensoris di korteks serebri melalui neuron ketiga, dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan sebagai persepsi nyeri (Luckmann & Sorensen’s, 1987).

1.3.3 Proses Modulasi (Modulation)

Proses modulasi adalah proses dimana terjadi interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh pada saat nyeri masuk ke kornu posterior medula spinalis. Proses acendern ini di kontrol oleh otak.

Sistem analgesik endogen ini meliputi enkefalin, endorfin, serotonin, dan noradrenalin memiliki efek yang dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Kornu posterior ini dapat diibaratkan sebagai pintu yang dapat tertutup atau terbukanya pintu nyeri tersebut diperankan oleh sistem analgesik endogen tersebut di atas. Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat subyektif pada setiap orang (Luckmann & Sorensen’s, 1987). 1.3.4 Persepsi


(26)

Persepsi merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri. Pada saat individu menjadi sadar akan nyeri, maka akan terjadi reaksi yang kompleks (Potter & Perry, 2005).

1.4 Teori Nyeri

Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosiceptor dapat menghasilkan rangsangan nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2004).

1.4.1 Teori Spesivitas ( Specivicity Theory)

Teori spesivitas nyeri ini diperkenalkan oleh Descrates. Teori ini menjelaskan bahwa nyeri berjalan dari reseptor-reseptor nyeri yang spesifik melalui jalur neuroanatomik tertentu ke pusat nyeri di otak dan bahwa hubungan antara stimulus dan respon nyeri yang bersifat langsung dan invariabel. Prinsip teori ini adalah: (1) reseptor somatosensorik adalah reseptor yang mengalami spesialisasi untuk berespon secara optimal terhadap satu atau lebih tipe stimulus tertentu, dan (2) tujuan perjalanan neuron aferen primer dan jalur ascendens merupakan faktor kritis dalam membedakan sifat stimulus di perifer (Price & Wilson, 2002).

1.4.2 Teori Pola

Teori pola diperkenalkan oleh Goldscheider pada tahun 1989. Teori pola ini menjelaskan bahwa nyeri disebabkan oleh berbagai reseptor sensori yang dirangsang oleh pola tertentu. Nyeri merupakan


(27)

akibat stimulasi reseptor yang menghasilkan pola tertentu dari impuls saraf. Pada sejumlah causalgia, nyeri pantom, dan neuralgia teori pola ini bertujuan bahwa rangsangan yang kuat mengakibatkan berkembangnya gaung terus menerus pada spinal cord sehingga saraf transmisi nyeri bersifat hipersensitif dimana rangsangan dengan intensitas rendah dapat menghasilkan transmisi nyeri (Lewis, 1983). 1.4.2 Teori Gerbang Kendali Nyeri

Teori ini dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau bahkan dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Mekanisme pertahanan dapat ditemukan di sel-sel gelatinosa substansi di dalam kornu dorsalis pada medula spinalis, thalamus dan sistem limbik. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar terapi menghilangkan nyeri.

1.5 Penanganan Nyeri

Penanganan nyeri merupakan masalah yang kompleks. Sebelum dilakukan penanganan terhadap nyeri terlebih dahulu mengkaji sumber, letak, faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri seperti kegelisahan dan keletihan (Brunner & Suddarth, 2001). Penanganan nyeri dapat dilakukan dengan cara:


(28)

1.5.1 Farmakologis

Menangani nyeri yang dialami pasien melalui intervensi farmakologis dilakukan dalam kolaborasi dokter dan pasien (Brunner & Suddarth, 2001). Analgesik merupakan obat yang paling umum untuk menghilangkan nyeri (Brannon & Jeist, 2007). Obat golongan analgesik akan merubah persepsi dan interpretasi nyeri dengan cara mendepresi sistem saraf pusat pada talamus dan korteks cerebri. Analgesik akan lebih efektif diberikan sebelum klien merasakan nyeri yang lebih berat dibandingkan setelah mengeluh nyeri (Irman, 2007). Secara umum obat analgesik digolongkan menjadi dua yaitu narkotika dan non narkotika (Julien, 1985 dalam Branner & Feist, 2007).

Analgesik ini biasanya diberikan terutama pada nyeri akut (Branner & Feist, 2007). Pada nyeri kronis, klien cenderung mengalami depresi sehingga diberikan anti depresan. Selain efektif untuk mengatasi depresi, antidepresan juga mengandung efek analgesik (Shatri & Setyohadi, 2001).

1.5.2 Nonfarmakologis

Intervensi nyeri dengan cara non farmakologis memiliki resiko yang sangat rendah. Pada nyeri yang sangat hebat, mengkombinasikan tehnik nonfarmakologis dengan obat-obatan mungkin cara yang efektif untuk menghilangkan nyeri (Brunner & Suddarth, 2001).

a. Distraksi. Distraksi adalah tehnik mengalihkan perhatian klien ke hal lain terutama hal yang menyenangkan dengan tujuan


(29)

untuk menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri. Salah satu tehnik distraksi adalah dengan mendengarkan musik (Potter & Perry, 2005).

b. Stimulasi Kutaneus. Stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit yang dilakukan untuk menghilangkan nyeri. Beberapa strategi stimulasi kutaneus adalah dengan masase dan kompres panas dan dingin. Masase sering dipusatkan pada punggung dan bahu, membuat pasien lebih nyaman karena merelaksasi otot (Brunner & Suddarth, 2001). Pilihan terapi kompres panas dan dingin bervariasi menurut kondisi klien. Misalnya, panas lembab menghilangkan kekakuan pada pagi hari akibat arthritis, tetapi kompres dingin mengurangi nyeri akut dan sendi yang mengalami peradangan akibat penyakit yang diderita (Ceccio, 1990 dalam Potter & Perry, 2005).

c. Relaksasi. Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Tehnik relaksasi yang sederhana terdiri atas napas abdomen dengan frekuensi lambat dan berirama. Pasien dapat memejamkan matanya dan bernafas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap inhalasi dan ekhalasi (Brunner & Suddarth, 2001). Tehnik relaksasi ini


(30)

sangat efektif terutama pada pasien nyeri kronis (Somantri, 2007).

d. Terapi Kognitif. Apa yang dipikirkan seseorang tentang nyeri yang dialami memberikan pengaruh terhadap kehidupannya dan terhadap seberapa besar nyeri yang dia rasakan. Pikiran yang negatif tentang nyeri akan memfokuskan perhatian seseorang terhadap aspek yang tidak menyenangkan dan membuat nyeri yang dirasakan bertambah buruk (Turk dkk, 1983; Turk & Rudy, 1986 dalam DiMetteo, 1991). Pemberian intervensi terapi kognitif ini adalah meningkatkan cara berfikir klien dengan mengarahkan klien untuk memahami masalah yang dihadapinya. Klien diyakinkan bahwa ia memiliki kemampuan untuk berperilaku normal (Tailor, 1995). Tehnik kognitif ini salah satunya dengan meningkatkan self efficacy (Brannon & Jeist, 2007).

1.5.3 Pembedahan

Pembedahan merupakan pengobatan yang jarang dilakukan. Pembedahan ini dilakukan hanya ketika pengobatan yang dilakukan sebelumnya tidak memberikan hasil yang efektif (Brannon & Jeist, 2007). Resiko yang dapat ditimbul akibat pembedahan ini meliputi gejala nyeri baru akibat kerusakan saraf, kekambuhan nyeri dan kerusakan neurologi pasca operasi (Potter & Perry, 2005).


(31)

1.6 Pengukuran Nyeri

1.6.1 Skala Numerik Nyeri

Skala ini sudah biasa dipergunakan dan telah divalidasi. Berat ringannya rasa sakit atau nyeri dibuat menjadi terukur dengan mengobyektifkan pendapat subyektif nyeri. Skala numerik dari 0 hingga 10, di bawah ini, nol (0) merupakan keadaan tanpa atau bebas nyeri, sedangkan sepuluh (10), suatu nyeri yang sangat hebat (Brunner & Suddarth, 2001).

Skala Numerik Nyeri

1.6.2 Visual Analog Scale

Terdapat skala sejenis yang merupakan garis lurus, tanpa angka. Bisa bebas mengekspresikan nyeri, ke arah kiri menuju tidak sakit, arah kanan sakit tak tertahankan, dengan tengah kira-kira nyeri yang sedang (Potter & Perry, 2005).

Visual Analog Scale (VAS)

Tidak ada Sangat


(32)

Pasien diminta menunjukkan posisi nyeri pada garis antara kedua nilai ekstrem. Bila anda menunjuk tengah garis, menunjukkan nyeri yang moderate/sedang (Brunner & Suddarth, 2001)

1.6.3 Skala Wajah Wong dan Barker

Skala nyeri enam wajah dengan ekspresi yang berbeda, menampilkan wajah bahagia hingga wajah sedih, digunakan untuk mengekspresikan rasa nyeri. Skala ini biasanya dipergunakan mulai anak usia 3 (tiga) tahun (Potter & Perry, 2005).

Skala wajah untuk nyeri

Pengukuran nyeri yang dipakai untuk mengukur skala nyeri pada penelitian ini adalah skala numerik nyeri. Skala ini merupakan skala yang paling umum digunakan untuk mengukur skala nyeri. Nilai 1-4 menggambarkan nyeri ringan, 5-6 menggambarkan nyeri sedang, dan 7-0 nyeri berat (Brunner & Suddarth, 2001).

2. Perilaku Nyeri


(33)

Respon terhadap adanya stimulasi kerusakan dibagi menjadi dua bagian yaitu pengalaman nyeri yang bersifat subjektif dan perilaku yang dapat diobservasi. Kata nyeri digunakan untuk menyatakan pengalaman yang tidak menyenangkan yang bersifat subjektif. Sementara perilaku yang dapat diobservasi disebut dengan perilaku nyeri (Fields, 1987).

Perilaku nyeri adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh seseorang dan setiap perubahan kebiasaan ketika ia mengalami nyeri yang dapat diobservasi (Wall, 1991). Menurut Fordyce (1976), pembelajaran memainkan peranan yang penting dalam mengembangkan perilaku nyeri yang membantu perawatan nyeri kronis. Menurut Fordyce (1976), perilaku nyeri dapat berupa :

2.1.1 Respon verbal, meliputi mengeluh, mendesah, merintih, dan mengadukan nyeri yang dialami yang dialami.

2.1.2 Respon non verbal, meliputi wajah tegang, keresahan, sudut mulut dilengkungkan ke bawah, terlihat sedih, terlihat ketakutan, bibir berkerut, dan dagu bergetar.

2.1.3 Sikap badan dan isyarat meliputi menggosok-gosok bagian tubuh yang nyeri, immobilisasi dan menyeringai.

2.1.4 Perilaku yang berbeda dengan keadaan normal meliputi beristirahat dan berbaring secara berlebihan.


(34)

Pendekatan perilaku yang dilakukan terhadap jenis pengobatan pada nyeri kronis dibuat berdasarkan dua jenis perilaku nyeri : respondent behavior dan operant behavior (Kast, 1998).

2.2.1 Respondent Behavior (Respon Reflektif)

Respondent behavior adalah respon yang timbul akibat adanya stimulus yang spesifik. Pada perilaku ini terlihat jelas hubungan antara stimulus dan respon. Respon reflektif merupakan respon yang secara otomatis dapat terjadi walaupun diinginkan atau tidak. Respon ini dikontrol oleh stimulus nociceptif yang spesifik. Contoh perilaku nyeri reflektif ini adalah sensasi terbakar yang berhubungan dengan injuri pada kulit ataupun pada otot (Kast, 1998).

2.2.2 Operant Behavior (Respon Instrumental)

Operant behavior adalah respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Penghargaan dan hukuman merupakan kunci dari pendekatan operant dan perilaku sering dihubungkan dengan tidak adanya reaksi terhadap nyeri dan lebih sering dihubungkan dengan faktor afektif atau lingkungan (Niven, 1994).

Perilaku nyeri sering dihubungkan dengan beberapa bentuk penghargaan (sesuatu yang diinginkan terjadi jika pasien menunjukkan perilaku nyeri, seperti pasangan hidup atau kompensasi finansial) (Niven, 1994). Kadang- kadang perilaku nyeri melibatkan penghindaran dari sesuatu yang tidak diinginkan (keluar dari pekerjaan yang menimbulkan


(35)

stress atau menghindari kontak dengan individu yang mengancam) (Niven, 1994). Tampaknya sebuah respon yang sesuai untuk seseorang dalam keadaan nyeri adalah dengan menunjukkan dukungan atau perhatian dan bersikap menenangkan. Menurut pendekatan operant hal ini akan menjadi penghargaan karena tindakan tersebut memberikan penghargaan bagi pasien, dengan memberinya perhatian setiap saat ia mengeluh adanya nyeri (Niven, 1994).

2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Nyeri 2.3.1 Jenis kelamin

Pada umumnya wanita menunjukkan ekspresi emosional yang lebih kuat pada saat mengalami nyeri. Menangis misalnya, adalah hal atau perilaku yang sudah dapat diterima pada wanita sementara pada laki-laki hal ini dianggap hal yang memalukan (Lewis, 1983).

2.3.2 Usia

Usia merupakan variabel yang penting dalam merespon nyeri. Cara lansia merespon nyeri dapat berbeda dengan orang yang berusia lebih muda. Lansia cenderung mengabaikan nyeri dan menahan nyeri yang berat dalam waktu yang lama sebelum melaporkannya atau mencari perawatan kesehatan (Brunner & Suddarth, 2001).

2.3.3 Budaya

Budaya mempunyai pengaruh bagaimana seseorang berespon terhadap nyeri (Brunner & Suddarth, 2001). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Zborowski (1969, dalam Niven 1994), ekspresi perilaku


(36)

berbeda antara satu kelompok dengan kelompok yang lain di satu lingkungan rumah sakit. Perbedaan tersebut dianggap terjadi akibat sikap dan nilai yang dianut oleh kelompok etnik tersebut.

2.3.4 Ansietas

Menurut Racham dan Philips (1975, dalam Niven 1994), ansietas mempunyai efek yang besar terhadap kualitas maupun terhadap intensitas pengalaman nyeri. Ambang batas nyeri berkurang karena adanya peningkatan rasa cemas dan ansietas menyebabkan terjadinya lingkaran yang terus berputar, karena peningkatan ansietas akan mengakibatkan peningkatan sensivitas nyeri (Melzack, 1973).

2.3.5 Pengalaman Masa Lalu

Cara seseorang berespon terhadap nyeri adalah akibat dari banyak kejadian nyeri selama rentang kehidupannya. Individu yang mengalami nyeri selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun dapat menjadi mudah marah, menarik diri, dan depresi (Brunner & Suddarth, 2001).

2.3.6 Pola Koping

Individu yang memiliki lokus kendali internal mempersepsikan diri mereka sebagai individu yang dapat mengendalikan lingkungan mereka dan hasil akhir suatu peristiwa, seperti nyeri (Gill, 1990 dalam Potter & Perry, 2005). Sebaliknya, individu yang memiliki lokus kendali eksternal, mempersepsikan faktor-faktor lain di dalam lingkungan mereka, seperti perawat, sebagai individu yang bertanggungjawab terhadap hasil akhir peristiwa. Individu yang memiliki lokus kendali internal melaporkan


(37)

mengalami nyeri yang tidak terlalu berat daripada individu yang memiliki lokus kendali eksternal (Schulteis, 1987 dalam Potter & Perry, 2005).

2.3.7 Dukungan Sosial dan Keluarga

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan, dan perlindungan. Walaupun klien tetap merasakan nyeri, tetapi akan menurangi rasa kesepian dan ketakutan ( Potter & Perry, 2005).

2.4 Pengukuran Perilaku Nyeri

Perilaku nyeri dapat diobservasi dan dapat diukur. Perilaku yang timbul sebagai manifestasi dari nyeri seperti perubahan postur, ekspresi wajah dan penurunan aktivitas (Turk dkk, 1985 dalam Taylor, 1995). Oservasi perilaku nyeri dapat dikembangkan menjadi strategi pengkajian yang standar (Keefe & Smith, 2002 dalam Branner & Feist, 2007).

Fordyce mengembangkan self observations untuk mengukur perilaku nyeri selama pengalaman nyeri. Pada pengalaman nyeri ini, pasien diminta untuk mengidentifikasi seberapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk meningkatkan tiga kategori perilaku, yaitu: duduk, berdiri atau berjalan, dan berbaring. Pasien setiap saat juga diminta untuk mendokumentasikan pengobatan nyeri yang mereka dapatkan dan jumlah dosisnya. Metode self observation ini mudah dan murah, selain itu, dapat meningkatkan pemahaman pasien terhadap nyeri mereka sendiri (Keefe, 2002 dalam Harahap 2007). Bagaimanapun juga validasi dari self observation perilaku nyeri ini dapat bersifat bias atau tidak akurat (Turk & Flor, 1987 dalam Harahap 2007) karena kebanyakan pasien


(38)

tidak selalu mendokumentasikan perilaku mereka secara akurat. Metode yang lain untuk mengukur perilaku nyeri ini adalah dengan mengandalkan wawancara dan kuesioner. Pasien diminta untuk menjawab beberapa pertanyaaan yang berhubungan dengan perilaku nyeri. Metode ini juga dikritik karena pasien cenderung memilih jawaban yang terbaik (Harahap, 2007).

Metode untuk pengukuran perilaku nyeri ada yang langsung dan yang tidak langsung. Metode ini dikembangkan berdasarkan pemikiran bahwa perilaku nyeri nyata dan dapat diobservasi. Pada pengukuran secara langsung, perilaku nyeri dinilai berdasarkan pertimbangan dan keterampilan pengobservasi. Sedangkan metode tidak langsung biasanya berdasarkan sebuah video tape recording. Setiap metode ini memiliki keutungan dan kerugian (Harahap, 2007).

Menurut Simmond (1999 dalam Moores & Watson, dalam Harahap 2007) metode pengukuran nyeri yang berguna tinggi adalah yang berguna, realibel, dapat diterima pasien, efektif biaya dan menyediakan umpan balik instan.

Instrumen yang digunakan peneliti dalam mengobservasi perilaku nyeri adalah Pain Behavior Observation Protocol (PBOP) yang didesain oleh Keefe dan Block pada tahun 1982 (Harahap, 2007). PBOP ini terdiri dari lima perilaku nyeri dengan menggunakan skala likert yang diberi tiga nilai yaitu 0= tidak ada, 1= kadang-kadang, dan 2= selalu. Protokol Keefe dan Block merupakan serangkaian aktivitas selama 10 menit yang kemudian disesuaikan. Perilaku nyeri tersebut adalah : (1) Terjaga, mengacu pada kekakuan yang abnormal, merasa terganggu atau pergerakan yang kaku, (2) Menahan nyeri,


(39)

mengacu pada pergerakan yang statis pada dukungan terhadap anggota tubuh semakin meluas dan distribusi berat yang tidak normal, (3) Menggosok bagian yang nyeri, mengacu pada menyentuh atau memegang bagian tubuh yang terpengaruh nyeri, (4) Meringis, mengacu pada ekspresi wajah yang dapat dilihat yang meliputi mengerutkan kening, mata menyempit, merapatkan bibir, sudut mulut tertarik ke belakang, dan (5) Mendesah, mengacu pada ekhalasi yang berlebihan (Keefe & Block, 2002 dalam Harahap, 2007).

3. Self Efficacy

3.1 Pengertian Self efficacy

Menurut Bandura (1994), self efficacy adalah rasa kepercayaan seseorang bahwa ia dapat menunjukkan perilaku yang dituntut dalam suatu situasi yang spesifik. Self efficacy merupakan suatu bentuk kepercayaan yang dimiliki seseorang terhadap kapabilitas masing-masing untuk meningkatkan prestasi kehidupannya. Self efficacy dapat berupa bagaimana perasaan seseorang, cara berfikir, motivasi diri, dan keinginan memiliki sesuatu.

Individu dengan self efficacy tinggi akan berusaha lebih keras dan mempunyai daya yang kuat dalam mengerjakan sesuatu dibandingkan dengan individu yang memiliki self efficacy yang rendah. Self efficacy lebih mengarahkan pada penilaian individu akan kemampuannya. Pentingnya self efficacy akan berpengaruh pada usaha yang diperlukan dan akhirnya terlihat dari outcome kerja. Individu dengan self efficacy yang tinggi akan lebih ulet dan tahan menghadapi situasi sekitarnya (Brannon & Jeist, 2007).


(40)

Menurut Bandura, individu dengan self efficacy yang tinggi cenderung tidak memiliki rasa cemas dalam mengerjakan tugas. Hal ini disebabkan karena mereka mempunyai kontrol yang baik terhadap segala sesuatu yang ada disekitarnya. Adanya kontrol yang baik dalam diri mereka menyebabkan mereka jarang membuat kesalahan dalam mengerjakan sesuatu (Brannon & Jeist, 2007).

Menurut Bandura (1994), keberadaan self efficacy pada diri seseorang akan berdampak pada empat proses, yaitu:

3.1.1 Proses Kognitif

Pengaruh self efficacy pada proses kognitif dapat timbul dalam berbagai format. Banyak perilaku manusia yang diatur dalam pemikiran sebelumnya dalam mewujudkan tujuan. Pengaturan tujuan individu dipengaruhi oleh penaksiran individu terhadap kapabilitas yang dimilikinya.

3.1.2 Proses Motivasi

Kepercayaan diri terhadap self efficacy memainkan peranan dalam pengaturan diri terhadap motivasi. Seseorang memotivasi dirinya sendiri dan mengarahkan tindakannya melalui berbagai latihan. Mereka percaya terhadap apa yang mereka lakukan dan selalu mengantisipasi adanya hasil tindakan prospektif.

3.1.3 Proses Afektif

Seseorang percaya terhadap pengaruh kapabilitasnya dalam mengatasi stress dan depresi dalam menghadapi ancaman atau situasi yang


(41)

sulit. Dengan adanya self efficacy, seseorang akan lebih mampu mengatasi segala persoalan yang mengancam keberadaannya.

3.1.4 Proses Selektif

Melalui kepercayaan diri terhadap kapabilitas yang dimilikinya, maka seseorang cenderung bertindak selektif atau melakukan pemilihan terhadap pancapaian tujuan hidupnya. Manusia akan memilih pemecahan masalah dan pencapaian tujuan yang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.

3.2 Indikator self efficacy

Indikator self efficacy menurut Bandura (1994), adalah: 3.2.1 Orientasi pada tujuan

Perilaku seseorang dengan self efficacy tinggi adalah positif, mengarahkan pada keberhasilan dan berorientasi pada tujuan. Penetapan tujuan pribadi dipengaruhi oleh penilaian diri seseorang pada kemampuannya. Semakin kuat self efficacy yang dirasakan, semakin tinggi tujuan yang ingin dicapai dan semakin mantap komitmen pada tujuan. 3.2.2 Orientasi Kendali Kontrol

Letak kendali individu mencerminkan tingkat dimana mereka percaya bahwa perilaku mereka mempengaruhi apa yang terjadi pada mereka. Beberapa orang percaya bahwa mereka menguasai takdir mereka sendiri dan menerima tanggung jawab pribadi atas apa yang terjadi pada mereka. Mereka membangun rasa keyakinan bahwa dirinya bisa berprestasi dalam suatu situasi.


(42)

3.2.3 Banyaknya Usaha yang Dikembangkan dalam Situasi

Keyakinan seseorang terhadap kemampuannya menentukan tingkat motivasi sesorang dengan keyakinan yang kuat terhadap kemampuannya, menunjukkan usaha yang lebih besar untuk menhadapi tantangan. Keberhasilan biasanya memerlukan usaha yang terus menerus.

3.2.4 Lama Seseorang akan Bertahan dalam Menghadapi Hambatan

Semakin kuat keyakinan seseorang terhadap kemampuannya, semakin besar dan tekun usaha mereka. Ketekunan yang kuat biasanya menghasilkan outcome yang diharapkan.

3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self Efficacy

Menurut Steers dan Porter (1992), keyakinan sesorang dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu:

3.3.1 Mastery Experience (Pengalaman Keberhasilan)

Keberhasilan seseorang menguatkan keyakinan akan kemampuannya. Sedangkan kegagalan menyebabkan seseorang cenderung untuk lebih berhati-hati. Bagaimanapun jika pengalaman seseorang merupakan keberhasilan yang dicapai dengan mudah, maka mereka cenderung mengharapkan hasil dengan cepat dan lebih mudah putus asa bila menemui kegagalan. Untuk mendapatkan self efficacy, seseorang harus mempunyai pengalaman mengatasi hambatan dengan usaha yang tekun. Beberapa pengalaman dan hambatan yang dialami seseorang bermanfaat mengajarkan bahwa kadang kesuksesan itu diikuti dengan adanya keinginan untuk berusaha. Setelah seseorang memiliki keyakinan


(43)

akan kemampuannya yang diikuti dengan pengulangan kesuksesannya, maka ia dapat mengatur kembali strategi dan kegagalan masa lalu sehingga tidak mengalami kegagalan lagi.

3.3.2 Modeling (meniru)

Sosok model yang ideal dapat membangun keyakinan diri akan kemampuan dengan meyakini pengamatan strategi yang efektif untuk mengatur situasi yang berbeda. Modeling juga menyebabkan kepercayaan akan self efficacy yang diikuti dengan proses pembandingan sosial. Sebagian orang menilai kemampuan mereka dengan cara membandingkan dengan orang lain.

3.3.3 Social Persuasions

Social Persuasions berhubungan dengan dorongan. Informasi tentang kemampuan yang disampaikan secara verbal oleh seseorang yang berpengaruh biasanya digunakan untuk meyakinkan seseorang bahwa ia cukup mampu melakukan suatu tugas.

3.4 Sumber Self efficacy

Bandura (1994) menyebutkan tiga sumber dari self efficacy, yaitu: 3.4.1 Pencapaian Prestasi

Menurut Bandura (1994), sumber yang paling penting dan efektif dari self efficacy adalah perjalanan keberhasilan dan kegagalan di masa lalu dalam mencapai hasil yang diinginkan. Bila seseorang dapat menguasai pengalaman-pengalaman pribadinya maka ia cenderung menciptakan penghargaan yang tinggi. Sebaliknya kegagalan dalam


(44)

menguasai pengalaman-pengalaman sebelumnya cenderung menghasilkan harapan-harapan yang rendah.

3.4.2 Pengalaman yang Dialami Orang Lain

Pengalaman yamg dialami orang lain dapat menjadi sumber harapan self efficacy yaitu dengan melihat orang lain sukses mencapai suatu prestasi dapat membangkitkan persepsi yang kuat akan self efficacy dalam diri orang tersebut.

3.4.3 Kebangkitan Emosi

Metode yang mengurangi timbulnya emosi akan meningkatkan harapan-harapan self efficacy. Seseorang yang merasakan adanya emosi yang timbul dalam menghadapi situasi-situasi yang penuh dengan stress dan ancaman, akan jauh lebih memiliki harapan bila mereka tidak tegang dan tidak timbul emosi.

3.5 Dimensi dan Aspek dari Self efficacy

Dimensi self efficacy menurut Bandura (1994), yaitu:

3.5.1 Magnitude menunjuk pada tingkat kesulitan tugas yang diyakini oleh individu dapat diselesaikan.

3.5.2 Strengh menunjuk pada kuat atau lemahnya keyakinan individu terhadap tingkat kesulitan tugas yang bisa dikerjakan. Self efficacy yang rendah mudah ditiadakan oleh pengalaman yang sulit, sedangkan orang yang mempunyai keyakinan yang kuat akn mempertahankan usahanya walaupun mengalami kesulitan.


(45)

3.5.3 Generality menunjuk apakah keyakinan self efficacy hanya berlangsung dalam domain tertentu atau berlaku dalam berbagai macam aktivitas dan perilaku.

3.5.4 Outcome expectacy adalah harapan terhadap kemungkinan hasil dari perilaku dimana jika individu menunjukkan perilaku tersebut, maka mengandung harapan akan memperoleh hasil dari perilakunya. 3.5.5 Expectation efficacy adalah keyakinan seseorang bahwa dirinya

dapat menghasilkan perilaku yang dibutuhkan untuk mencapai hasil. Hal ini berarti bahwa seseorang dapat saja percaya bahwa suatu tindakan dapat menghasilkan kinerja namun merasa dirinya mampu melakukan tindakan tersebut. Seseorang yang percaya bahwa dirinya mampu melakukan tindakan mencapai prestasi tersebut akan lebih bekerja keras dan tekun dalam melaksanakan tugasnya.

3.6 Pengukuran Self efficacy

Self efficacy dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan Pain Self Efficacy Questionnaire (PSEQ). Kuesioner ini menggunakan skala differensial semantik dengan skor antara 0 sampai dengan 6. Pasien diminta untuk menunjukkan pada skala seberapa yakin pasien mampu melakukan hal yang disebutkan dalam setiap pernyataan pada kuesioner. Kuesioner ini tidak melihat apakah pasien dapat melakukan hal-hal tersebut tetapi melihat seberapa yakin mereka dapat melakukannya walaupun ia mengalami nyeri.


(46)

4. Hubungan Self efficacy dengan Nyeri dan Perilaku Nyeri

Nyeri kronis merupakan nyeri yang menetap, sehingga sangat mempengaruhi

emosional klien dan cara berfikir klien. Seringkali klien memikirkan nyeri yang dialami secara berlebihan, sehingga dapat memperburuk perasaan subjektif terhadap nyeri (Brannon & Feist, 1992).

Self efficacy merupakan salah satu kemampuan kognitif. Menurut Bandura (1994), self efficacy adalah rasa kepercayaan seseorang bahwa ia dapat menunjukkan perilaku yang dituntut dalam suatu situasi yang spesifik.

Penelitian tentang nyeri kronik self efficacy mengindikasikan hubungan yang berbanding terbalik antara peningkatan self efficacy dengan nyeri pada berbagai jenis kelompok klinis (Turk, Meichenbaum & Genest, 1983; Lawson Reesor, Keefe, & Turner, 1990 dalam Chong, 1999). Brown dan Nicassio (1987, dalam Chong, 1999) mengatakan bahwa pasien yang menggunakan koping perilaku yang aktif (misalnya, melakukan aktivitas yang menyenangkan) akan meningkatkan self efficacy dan menurunkan tingkat nyeri, depresi, dan kerusakan fungsi tubuh dibandingkan dengan koping yang pasif atau negatif.

Self efficacy yang tinggi biasanya ditandai oleh rendahnya tingkat stress dan kecemasan terhadap nyeri yang dialami yang dapat menurunkan perilaku nyeri. Sebaliknya self efficacy yang rendah ditandai oleh tingkat stress dan kecemasan yang tinggi pula sehingga perilaku nyerinya meningkat (Brannon & Feist, 1992).


(47)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

1. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual adalah abstraksi dari suatu realita agar dapat merekomendasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan antar variabel. Kerangka konsep membantu peneliti dalam menghubungkan hasil penemuan dengan teori (Nursalam, 2003). Kerangka konsep dalam penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bagaimana hubungan self efficacy dengan perilaku nyeri pada pasien dengan nyeri kronis di RSUP H. Adam Malik Medan. Perilaku nyeri merupakan segala sesuatu yang dilakukan dan setiap perubahan kebiasaan seseorang yang dapat diobservasi. Perilaku nyeri ini meliputi terjaga, manahan rasa sakit, menggosok bagian yang nyeri, meringis, dan mendesah. Adanya self efficacy diharapkan dapat mempengaruhi perilaku nyeri. Self efficacy merupakan rasa kepercayaan seseorang bahwa dapat menunjukkan perilku yang normal dalam situasi yang spesifik.

Hubungan self efficacy dengan perilaku nyeri merupakan hubungan berbanding terbalik. Pasien dengan self efficacy yang tinggi biasanya ditandai dengan rendahnya tingkat stress dan kecemasan sehingga dapat menurunkan perilaku nyeri. Sedangkan pasien dengan self efficacy yang rendah dapat mengakibatkan perilaku nyeri yang tinggi.


(48)

Berdasarkan pemaparan konsep diatas, maka peneliti membuat kerangka penelitian ini seperti skema di bawah ini :

Skema 1. Kerangka Penelitian Hubungan Self efficacy dengan Perilaku Nyeri

pada Pasien dengan Nyeri Kronis

2. Defenisi Operasional

Defenisi operasional variabel yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut:

2.1 Perilaku Nyeri

Perilaku nyeri adalah reaksi yang timbul pada saat klien nyeri kronis yang mengalami nyeri selama lebih dari 3 bulan dan mengalami nyeri ringan sampai sedang yang dapat diobservasi yaitu terjaga, menahan nyeri, menggosok bagian yang nyeri, meringis dan mendesah dengan menggunakan Pain Behavior Observation Protocol (PBOP) yang dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu rendah (0-3), sedang (4-7), dan tinggi (8-10). Skala yang digunakan adalah skala interval.

2.1 Self efficacy

Self efficacy adalah rasa kepercayaan diri klien bahwa ia dapat menunjukkan perilaku yang normal walaupun ia mengalami nyeri, mencakup cara berfikir, gaya hidup, tujuan hidup,dan kemampuan melakukan sesuatu diukur dengan menggunakan Pain Self efficacy Questionnaire (PSEQ) dengan

Perilaku Nyeri Self efficacy


(49)

tingkatan: 0-20 dikategorikan self efficacy rendah, 21-40 dikategorikan sedang dan 41-60 dikategorikan sebagai self efficacy tinggi. Skala yang digunakan adalah interval.

3. Hipotesa

Berdasakan kerangka penelitian terdapat dua hipotesa :

3.1 Hipotesa alternatif terdapat hubungan antara perilaku nyeri dengan self efficacy.

3.2 Hipotesa null yaitu tidak terdapat hubungan antara perilaku nyeri dengan self efficacy.


(50)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

1. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelasi yang mengidentifikasi hubungan self efficacy dengan perilaku nyeri pada pasien dengan nyeri kronis.

2. Populasi dan Sampel

2.1 Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah pasien nyeri kronis yang sedang menjalani rawat inap di RINDU A dan RINDU B RSUP Haji Adam Malik Medan.

2.2 Sampel Penelitian

Sampel dalam peenelitian ini adalah pasien dengan nyeri kronis yang menjalani rawat inap. Besar sampel ditentukan dengan power analysis, dengan derajat ketetapan (α= level of significant) 0.05 dan kekuatan sebesar 0.80 dan effect size 0.50. Besarnya effect size ditentukan dengan berdasarkan dua penelitian sebelumnya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ali Asghari dan Michael K. Nicholas (2000) untuk menguji hubungan self efficacy dengan perilaku nyeri pada pasien nyeri kronis didapat r sebesar -0.78 (p≤0.001). Dan penelitian yang dilakukan oleh Chong (1999), untuk menguji hubungan nyeri kronik dengan self efficacy didapat r sebesar -0.22 (p≤0.0076). Maka besar effect size merupakan rata-rata dari r kedua penelitian tersebut yaitu sebesar 0.5


(51)

sehingga didapatkan besar sampel 32 orang. Tetapi karena keterbatasan waktu, peneliti hanya mendapatkan 26 orang sampel yang sesuai dengan kriteria.

Penarikan jumlah sampel dilakukan dengan cara tehnik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling, yaitu menetapkan sampel yang sesuai dengan kriteria inklusi. Adapun yang menjadi kriteria inklusi sampel dalam penelitian ini adalah: pasien nyeri kronis selama lebih dari 3 bulan, mengalami nyeri ringan sampai sedang, pria/wanita berusia 18-60 tahun, memiliki kesadaran penuh, dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik, dan bersedia menjadi responden penelitian.

3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di ruang RINDU A dan Rindu B RSUP H. Adam Malik Medan, mengingat rumah sakit pendidikan yang memungkinkan peneliti mendapatkan jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Februari sampai Mei 2010.

4. Pertimbangan Etik

Penelitian ini dilakukan pada peneliti setelah mendapatkan persetujuan dari Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan dari RSUP H. Adam Malik Medan. Sebelum menyerahkan lembar persetujuan, peneliti terlebih dahulu harus menjelaskan maksud dan tujuan penelitian kepada calon responden. Jika responden bersedia untuk diteliti maka responden terlebih dahulu harus menandatangani lembar persetujuan. Jika responden menolak untuk diteliti maka peneliti akan tetap menghormati haknya. Untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data yang


(52)

diisi oleh responden. Lembar tersebut hanya akan diberi kode tertentu. Kerahasiaan informasi yang diberikan responden dijamin oleh peneliti.

5. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner dan lembar observasi yang didasarkan pada tinjauan pustaka. Kuesioner terdiri dari dua bagian, yaitu data demografi dan data untuk mengidentifikasi self efficacy. Sementara untuk mengobservasi perilaku nyeri menggunakan lembar observasi.

5.1.Data Demografi

Terdiri dari jenis kelamin, usia, status pernikahan, suku bangsa, pendidikan terakhir, pekerjaan, dan diagnosa penyakit. Data demografi ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik responden, deskripsi frekuensi, dan presentasi demografi responden.

5.2 Lembar Observasi Perilaku Nyeri

Lembar observasi perilaku nyeri dengan menggunakan The Pain Behavior Observation Protocol (PBOP). PBOP ini terdiri dari lima item meliputi terjaga, menahan rasa sakit, menggosok bagian yang nyeri, meringis, dan mendesah. Perilaku nyeri diobservasi secara langsung pada saat pasien menunjukkan delapan task yang disesuaikan dari protokol Keefe dan Block pada tahun 1982, terdiri dari duduk selama satu menit dan kemudian diulangi selama dua menit, berdiri selama satu menit dan kemudian diulangi selama dua menit, berbaring sebanyak dua kali masing-masing selama satu menit, berjalan


(53)

sebanyak dua kali masing-masing selama satu menit (Keefe & Block, 1982; Keefe & Smith, 2002 dalam Harahap 2007).

Tingkat perilaku nyeri menggunakan skala Likert dengan nilai 0= tidak ada, 1= kadang-kadang, dan 2= selalu. Jumlah skor merupakan penjumlahan dari lima item tersebut. Skor tertinggi mengindikasikan ekspresi perilaku nyeri yang tertinggi. Untuk menginterpretasikan skor PBOP, jumlah skor perilaku nyeri dibagi menjadi tiga tingkatan meliputi rendah (0-3), sedang (4-7), dan tinggi (8-10). Skor pada masing-masing item PBOP juga dibagi menjadi tiga tingkatan : rendah (0-0,67), sedang (0,77-1,24), dan tinggi (1,34-2,00).

5.3 Data Mengidentifikasi Self efficacy

Untuk mengidentifikasikasi self efficacy, peneliti menggunakan menggunakan skala differensial semantik Pain Self efficacy Questionnaire (PSEQ) yang didesain oleh Nicholas pada 1989. Kuesioner ini pernyataan akan diberi skor 0 sampai 6. Skor 0 mengindikasikan bahwa klien sangat tidak yakin sampai skor 6 mengindikasikan bahwa klien sangat yakin. Skor tertinggi dalam instrumen ini adalah 60 sedangkan skor terendah nol.

Rentang

Berdasarkan rumus statistika p =

Banyak kelas

Dimana p merupakan panjang kelas dengan rentang yaitu nilai tertinggi dikurangi nilai terendah (Sudjana, 1992) sebesar 60 dibagi ke dalam tiga kelas yaitu self efficacy yang rendah, self efficacy sedang dan self efficacy yang tinggi, maka diperoleh panjang kelas sebesar 20 .


(54)

Dengan p 20, dan nilai terendah 0 sebagai batas bawah kelas interval pertama, maka self efficacy dikategorikan atas interval sebagai berikut:

0-20 = self efficacy rendah 21-40 = self efficacy sedang

41-60 = self efficacy tinggi

6. Uji Validitas dan Reliabilitas

Alat ukur atau instrumen penelitian yang dapat diterima sesuai standar adalah alat ukur yang telah melalui uji validitas dan reabilitas (Hidayat, 2007). Uji validitas bertujuan untuk mengetahui kemampuan instrument untuk mengukur apa yang harus diukur, untuk mendapatkan data yang relevan dengan apa yang diukur (Dempsey & Dempsey, 2002). Validitas instrument diuji oleh tiga orang dosen yaitu Bapak Mula Tarigan S.Kp, MKes, Ibu Erniyati S.Kp, MNS, dan Ibu Jenny Purba S.Kp, MNS. Dari hasil validasi yang dilakukan ada beberapa pernyataan yang dimodifikasi, yaitu pernyataan nomor 2, 3, 6, dan 7.

Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui konsistensi instrument sehingga dapat digunakan untuk penelitian berikutnya dalam ruang lingkup yang sama (Notoatmodjo, 2005). Uji reliabilitas PBOP pada penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang memuaskan, hasil uji reliabilitas berkisar 0.93 (Ahles dkk, 1990; McGuire, 2007 dalam Harahap 2007).

Untuk menguji reliabilitas kuesioner self efficacy menggunakan aplikasi Cronbach Alpha pada item berskala yang dilakukan pada sepuluh calon responden penelitian. Hasil uji reliabel pada self efficacy didapatkan nilai 0.821.


(55)

menurut Polit & Hungler (1999) bahwa suatu instrumen dapat diterima jika memiliki nilai lebih dari 0.70.

7. Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

7.1 Permohonan izin pelaksanaan penelitian didapatkan dari institusi pendidikan (Fakultas Keperawatan USU).

7.2 Permohonan izin dikirim ke tempat penelitian (RSUP H. Adam Malik Medan).

7.3 Peneliti meminta perawat ruangan memperkenalkan calon responden. 7.4 Peneliti menjelaskan kepada calon responden tentang tujuan, mamfaat

penelitian dan prosedur pengumpulan data.

7.5 Peneliti meminta calon responden menandatangani lembar persetujuan sebagai bentuk persetujuan bersedia menjadi responden.

7.6 Kemudian peneliti mengobservasi perilaku nyeri responden selama sepuluh menit berdasarkan protokol PBOP yang terdiri dari duduk selama satu menit dan kemudian diulangi selama dua menit, berdiri selama satu menit dan kemudian diulangi selama dua menit, berbaring sebanyak dua kali masing-masing selama satu menit, berjalan sebanyak dua kali masing-masing selama satu menit.

7.7 Setelah lembar observasi selesai, peneliti menjelaskan cara pengisian kuesioner kepeda responden.

7.8 Waktu yang diperlukan untuk menjawab kuesioner pernyataan adalah sebanyak 10-20 menit.


(56)

7.9 Setelah kuesioner diisi, kuesioner dikumpulkan oleh peneliti dan diperiksa oleh peneliti.

7.10 Setelah seluruh kuesioner terkumpul, peneliti mulai mengolah dan menganalisa.

8. Analisa Data

Setelah semua data pada kuisioner terkumpul, maka dilakukan analisa data melalui beberapa tahap. Pertama editing, yaitu mengecek atu mengoreksi data yang telah dikumpulkan. Tujuannya untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan yang terdapat pada pencatatan dilapangan. Kedua coding, yaitu pemberian kode-kode pada tiap-tiap data yang termasuk dalam kategori yang sama. Ketika tabulasi, yaitu membuat tabel-tabel yang berisikan data yang telah diberi kode, sesuai dengan analisa yang dibutuhkan (Hasan, 2002). Langka selanjutnya yaitu pengolahan data dengan menggunakan program statistika.

Metode statistik untuk analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1) Statistik univariat

Statistik univariat adalah suatu prosedur untuk menganalisa data dari suatu variabel yang bertujuan untuk mendeskripsikan suatu hasil penelitian (Polit & Hungler, 1999). Pada penelitian ini analisa data dengan metode statistik univarat akan digunakan untuk menganalisa variabel independen (self efficacy) dan variabel dependen (perilaku nyeri). Untuk menganalisa variabel tersebut akan dianalisis dan akan ditampilkan dalam distribusi frekuensi.


(57)

2) Statistik bivariat

Untuk melihat hubungan antara variabel independen (self efficacy) dan variabel dependen (perilaku nyeri) digunakan uji korelasi Product Moment Pearson’s (Pearson’s). Uji Pearson’s ini digunakan jika mememenuhi syarat yaitu, data terdistribusi normal dan sampel memenuhi. Jika ditemukan data tidak terdistribusi normal maka diusahakan normal, jika tetap tidak terdistribusi normal maka analisa data dikembalikan ke nonparametrik dengan menggunakan Spearman (Dahlan, 2004).

Uji Normalitas data dilakukan sebelum data diolah berdasarkan model penelitian yang diajukan. Uji normalitas data bertujuan untuk mendeteksi distribusi data dalam suatu variabel yang akan digunakan di dalam penelitian. Data yang baik dan layak untuk membuktikan model penelitian tersebut adalah data yang memiliki distribusi normal. Dalam penelitian ini uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Untuk mengetahui hasil uji normalitas adalah dengan membandingkan data yang didapat dengan data yang berdistribusi normal yang memiliki mean dan SD yang sama. Jika tes yang dilakukan menghasilkan signifikan (p<0.05), maka data tersebut tidak distribusi normal. Sebaliknya jika signifikan (p>0.05), maka data tersebut memiliki distribusi normal (studistatistik.com).

Hasil analisa akan dibaca berdasarkan table hasil uji interpretasi. Tabel hasil uji interpretasi terdiri dari nilai r, nilai p dan arah korelasi. Nilai r menginterpretasikan kekuatan hubungan dengan level 0-1.


(58)

Untuk menafsirkan hasil pengujian statistik tersebut digunakan kriteria penafsiran (Dahlan, 2001) sebagai berikut:

No Parameter Nilai Interpretasi

1 Kekuatan Korelasi 0, 00 – 0, 199 0, 20 – 0, 399 0, 40 – 0, 599 0, 60 – 0, 799 0, 80 – 1,00

Sangat lemah Lemah Sedang Kuat Sangat kuat 2 Nilai p p < 0, 05

p > 0, 05

Terdapat korelasi yang bermakna antara dua variabel yang diuji.

Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara dua variabel yang diuji.

3 Arah Korelasi + (positif)

- (negatif)

Searah. Semakin besar nilai suatu variabel, makin besar pula nilai variabel lainnya.

Berlawanan arah. Semakin besar nilai suatu variabel, semakin kecil nilai variabel lainnya.


(59)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan hasil penelitian serta pembahasan mengenai hubungan self efficacy dengan perilaku nyeri pada pasien dengan nyeri kronis di RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian ini telah dilaksanakan mulai dari tanggal 25 Februari 2010 sampai 22 Mei 2010 dengan jumlah sebanyak 26 pasien.

1. Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini dibagi atas empat bagian yaitu data demografi responden, self efficcacy, perilaku nyeri dan hubungan self efficacy dengan perilaku nyeri di RSUP Haji Adam Malik Medan.

1.1 Karakteristik Demografi Responden

Responden penelitian ini adalah pasien yang menderita nyeri kronis di RSUP Haji Adam Malik Medan. Usia responden dalam penelitian ini lebih dari setengah (53.8%) berada pada rentang usia 41-60 tahun dengan rata-rata usia 42.96 dan SD=9.53.

Berdasarkan jenis kelamin, lebih dari setengah responden adalah perempuan (61.5%), dengan status pernikahan mayoritas (92.3%) telah menikah. Sebagian besar responden beragama Islam yaitu sebanyak 57.7%. Suku Jawa adalah suku terbanyak diantara responden ( 58.7%) dengan pendidikan tertinggi adalah SMA (34.6%). Pekerjaan responden yang terbanyak adalah petani sebanyak 10 orang (38.5%). Berkaitan dengan diganosa penyakit, responden yang terbanyak adalah pasien yang menderita Naso Pharing Cancer (NPC) dan ca mamae (masing-masing 26.9 %).


(60)

Tabel 1. Distribusi Frekuensi dan Persentasi Karakteristik Demografi Responden (n=26)

No Karakteristik Responden Frekuensi %

1. Usia (Harlock, 1999) 18-40 tahun (dewasa awal) 41-60 tahun (dewasa madya) (Mean= 42.96, SD=9.53 Min-max= 28-60)

12 14

46.2 53.8

2. Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki 16 10 61.5 38.5 3. Agama

Islam Kristen protestan 15 11 55.7 42.3 4. Status Pernikahan

Menikah Belum Menikah 24 2 92.3 7.7 5. Suku Bangsa

Batak Jawa Aceh Padang Dan lain-lain 15 4 3 2 2 57.7 15.4 11.5 7.7 7.7 6. Pendidikan

SD SMP SMA 9 7 9 34.6 26.9 34.6

Diploma/sarjana 1 3.8

7 Pekerjaan Petani Pedagang

Ibu rumah tangga PNS Dan lain-lain 10 9 2 1 4 38.5 34.6 7.7 3.8 15.4 8. Diagnosa

Ca Mamae NPC Ca Paru

Ca Medistianum Soft tissue tumor Efusi pleura Lain-lain 7 7 2 2 2 2 3 26.9 26.9 7.7 7.7 7.7 7.7 11.4


(61)

1.2 Self efficacy pada pasien dengan nyeri kronis

Self efficacy pada pasien nyeri kronis di RSUP H. Adam Malik Medan diidentifikasi dengan menggunakan kuesioner dimana setiap pernyataan yang ditanyakan langsung pada pasien. Berdasarkan hasil analisa data menunjukkan distribusi frekuensi dan presentasi self efficacy pada pasien yang mengalami nyeri kronis secara keseluruhan memiliki self efficacy yang sedang (61.5%). Distribusi frekuensi dan presentasi self efficacy pasien nyeri kronis dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2. Distribusi frekuensi dan persentasi self efficacy pasien yang mengalami nyeri kronis

Tingkatan Frekuensi Persentasi

Self efficacy rendah (0-20) Self efficacy sedang (21-40) Self efficacy tinggi (41-60)

1 16

9

3.8 61.5 34.6

Kuesioner yang digunakan untuk mengidentifikasi self efficacy ini terdiri dari sepuluh pernyataan. Pernyataan dengan nilai yang paling tinggi adalah pernyataan nomor tiga (Saya dapat bersosialisasi dengan sahabat dan anggota keluarga sesering yang saya mau, walaupun saya mengalami nyeri) dengan mean= 4.85 dan SD= 1.08. Sementara pernyataan dengan nilai yang paling rendah adalah pernyataan nomor tujuh (Saya dapat mengatasi nyeri yang saya alami tanpa minum obat anti nyeri) dengan mean = 2.5 dan SD =1.30.


(62)

Perilaku nyeri pada pasien nyeri kronis di RSUP H. Adam Malik Medan diidentifikasi dengan menggunakan lembar observasi. Berdasarkan hasil analisa data menunjukkan distribusi frekuensi dan presentasi perilaku nyeri pada pasien yang mengalami nyeri kronis secara keseluruhan memiliki perilaku nyeri sedang (50%), diikuti dengan perilaku nyeri rendah (46.2%) dan hanya 3.8% yang memiliki perilaku nyeri tinggi. Distribusi frekuensi dan presentasi perilaku nyeri pasien dengan nyeri kronis dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3. Distribusi frekuensi dan persentasi perilaku nyeri pasien yang mengalami nyeri kronis

Perilaku Nyeri Frekuensi Presentasi Perilaku nyeri rendah (0-3)

Perilaku nyeri sedang (4-7) Perilaku nyeri tinggi (8-10)

12 13 1

42.6 50 3.8

Ada lima parameter perilaku nyeri meliputi: terjaga (guarding), menahan nyeri (bracing), menggosok bagian yang nyeri (rubbing),meringis (grimace) dan mendesah (sighing). Meringis (grimace) merupakan perilaku yang paling sering muncul (M = 0.875, SD = 0.62). Sementara perilaku yang paling jarang muncul adalah mendesah (sighing) (M = 0.057, SD = 0.177). Adapun nilai mean dan standard deviasi masing-masing parameter dapat dilihat pada tabel berikut:


(63)

Tabel 4. Nilai mean, standard deviasi dan tingkat pada parameter perilaku nyeri (n=26)

1.4 Self efficacy dengan perilaku nyeri pada pasien dengan nyeri kronis

Sebelum menentukan uji korelasi untuk mengidentifikasi hubungan antara self efficacy dengan perilaku nyeri, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dengan menggunakan uji Kolmogrov Smirnov pada kedua variabel. Dari hasil uji, didapat bahwa pada variabel self efficacy terdistribusi normal dengan nilai p= 0.062. Sementara pada variabel perilaku nyeri tidak terdistribusi normal dengan nilai p= 0.002. Kemudian dilakukan transform untuk menormalkan data tersebut tetapi nilai p yang dihasilkan tidak berubah.

Dengan hasil ini, maka uji yang dilakukan untuk menganalisa kedua variabel adalah uji nonparametric spearman. Pada analisa data hubungan self efficacy dengan perilaku nyeri pada pasien dengan nyeri kronis di RSUP H.Adam Malik Medan didapat nilai koefisien korelasi spearman atau r= -0.67 (dengan p= 0.01).

Perilaku Nyeri Actual Score Mean SD Level Meringis (grimace)

Menahan nyeri (bracing) Terjaga (guarding)

Menggosok bagian yang nyeri (rubbing) Mendesah (sighing) 0-2 0-2 0-2 0-2 0-2 0.87 0.64 0.60 0.25 0.05 0.62 0.44 0.36 0.36 0.17 Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah


(64)

Tabel 5. Hubungan self efficacy dengan perilaku nyeri pada pasien yang mengalami nyeri kronis

Variabel

Korelasi

Self efficacy Perilaku nyeri Self efficacy

Perilaku nyeri

-

-0.67 (p=0.01)

-0.67 (p=0.01) -

2. Pembahasan

Dari hasil penelitian, peneliti membahas mengenai self efficacy, perilaku nyeri dan hubungan self efficacy dengan perilaku nyeri pada pasien yang mengalami nyeri kronis di RSUP H Adam Malik Medan.

2.1 Karakteristik demografi

Berdasarkan usia responden, sebagian besar responden berada pada rentang usia dewasa madya (M= 42.96, SD=9.53). Hal ini menunjukkan bahwa pada rentang usia ini, angka kejadian penderita penyakit kronis banyak terjadi. Pada dewasa madya terjadi penurunan fisiologis sehingga mereka cenderung berhubungan dengan penyakit (Potter & Perry, 2005). Sebagian besar responden memiliki status pernikahan telah menikah (92.3%). Hal ini berhubungan dengan tahap perkembangan pada usia responden yang berada pada rentang usia dewasa, dimana salah satu tugas perkembangannya adalah menikah.

Terkait dengan diagnosa penyakit, sebagian besar responden mengidap penyakit NPC dan Ca mamae (masing-masing 26.9 %). NPC dan Ca mamae merupakan prevalensi kanker yang menduduki peringkat yang tinggi di Indonesia (Aziz, 2009).


(65)

2.2 Self efficacy pada pasien yang mengalami nyeri kronis

Dari hasil penelitian didapat, sebagian besar dari responden memiliki self efficacy yang sedang (61.5%). Hal ini menunjukkan bahwa responden tidak sepenuhnya dapat memiliki rasa kepercayaan yang kuat untuk dapat menunjukkan perilaku yang diharapkan selama responden mengalami nyeri kronis. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh depresi dan tidak bekerja selama menderita nyeri kronis tersebut. Proses pengobatan yang panjang sangat mempengaruhi psikologis seseorang, sehingga dapat menyebabkan seseorang mengalami depresi (Gallagher, 2005). Ketika seseorang mengalami depresi maka self efficacy-nya akan berkurang (Brown & Nicassio, 1987; Chong, 1999). Hal ini juga didukung oleh pernyataan Siow (2009), bahwa selama menjalani pengobatan seseorang tidak akan dapat untuk melakukan pekerjaan atau aktivitas seperti biasa sehingga juga akan sangat mempengaruhi psikologisnya

Terkait dengan diagnosa penyakit, sebagian besar responden mengidap penyakit NPC dan Ca Mamae dengan stadium lanjut (stadium tiga sampai dengan empat). Menurut Miller (2008, dalam Utila, 2009), bahwa sebanyak 16 %-25% pasien kanker mengalami depresi, dimana kanker dengan stadium lanjut seringkali menimbulkan nyeri yang lebih berat sehingga sangat mempengaruhi psikologis dari pasien itu sendiri (Konginan, 2008; Utila, 2009). Timbulnya depresi, menyebabkan berkurangnya self efficacy klien (Gallagher, 2005).

.


(66)

efficacy responden dewasa awal dan dewasa madya (t= 1.41, p= 0.023) dengan taraf signifikan 5%. Hal ini didukung oleh (Chong,1999) pada Multidemensional Pain Inventory menjelaskan bahwa pada pasien nyeri kronis dengan usia yang lebih tua memiliki koping yang lebih adaptif dibandingkan dengan pasien dengan usia yang lebih muda. Chong (1999) juga menjelaskan bahwa, pasien nyeri kronis yang lebih tua tidak mengalami depresi yang berat dan memiliki self efficacy yang lebih tinggi sehingga lebih mampu untuk mengontrol nyeri yang mereka alami.

Pada penelitian ini tidak menemukan adanya pengaruh jenis kelamin terhadap self efficacy. Berdasarkan jenis kelamin tidak terdapat perbedaan self efficacy yang signifikan antara laki-laki dan wanita (t= -0.649, p=0.923). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Strong, Ashton, dan Chant (1992 dalam Chong, 1999) pada pasien yang mengalami nyeri kronis pada penyakit low back pain yang menjelaskan bahwa, tidak terdapat perbedaan yang berarti antara self efficacy wanita dan laki-laki.

Pada kuesioner Pain Self efficacy, pernyataan dengan nilai rata-rata yang paling tinggi adalah pernyataan nomor 3 (saya dapat bersosialisasi dengan sahabat dan anggota keluarga sesering yang saya mau, walaupun saya mengalami nyeri) dengan mean 4.6. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden, yakin bahwa dukungan sosial dan keluarga sangat berpengaruh terhadap kondisi yang mereka alami. Menurut Friedman (1998), dukungan sosial dan keluarga secara langsung dapat


(1)

Lampiran 8

RELIABILITY

/VARIABLES=P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 /SCALE('ALL VARIABLES') ALL

/MODEL=ALPHA

/STATISTICS=DESCRIPTIVE SCALE /SUMMARY=TOTAL.

Reliability

[DataSet1] C:\Documents and Settings\MEI NAINGGOLAN\My Documents\henokhhh hhhhh 0,82.sav

Scale: ALL VARIABLES

Case Processing Summary

N %

Cases Valid 10 100.0

Excludeda 0 .0 Total 10 100.0

a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha N of Items


(2)

Item Statistics

Mean Std. Deviation N

P1 4.20 1.476 10

P2 3.60 1.350 10 P3 4.40 1.075 10

P4 3.60 1.174 10

P5 2.80 1.317 10 P6 4.30 1.059 10 P7 2.70 1.494 10

P8 4.10 1.197 10 P9 3.60 1.265 10

P10 3.70 1.252 10

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted

P1 32.80 46.844 .620 .788 P2 33.40 51.822 .407 .812

P3 32.60 54.044 .402 .811

P4 33.40 52.711 .438 .808 P5 34.20 49.289 .570 .794

P6 32.70 54.233 .397 .812 P7 34.30 50.678 .406 .814 P8 32.90 50.767 .548 .797

P9 33.40 47.156 .737 .776

P10 33.30 51.122 .495 .802


(3)

Mean Variance Std. Deviation N of Items

37.00 61.556 7.846 10

Frequencies

Frequency Table

jk

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid laki-laki 10 38,5 38,5 38,5

perempuan 16 61,5 61,5 100,0

Total 26 100,0 100,0

usia

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid 18-24 12 46,2 46,2 46,2

25-40 14 53,8 53,8 100,0 Total 26 100,0 100,0

spernikahan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid menikah 24 92,3 92,3 92,3

belum menikah 2 7,7 7,7 100,0

Total 26 100,0 100,0

suku

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

jk Usia agama

spernikaha

n suku

pendidika

n pekerjaan diagnosa

N Valid 26 26 26 26 26 26 26 26

Missing 0 0 0 0 0 0 0 0

Mean 1,62 1,54 1,42 1,08 2,38 2,08 3,92 4,08 Std. Error of Mean ,097 ,100 ,099 ,053 ,222 ,183 ,235 ,523 Median 2,00 2,00 1,00 1,00 2,00 2,00 4,00 3,00 Std. Deviation ,496 ,508 ,504 ,272 1,134 ,935 1,197 2,667

Range 1 1 1 1 4 3 5 9

Minimum 1 1 1 1 1 1 1 1


(4)

Valid jawa 4 15,4 15,4 15,4 batak 15 57,7 57,7 73,1 padang 2 7,7 7,7 80,8 aceh 3 11,5 11,5 92,3 lain-lain 2 7,7 7,7 100,0 Total 26 100,0 100,0

pendidikan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid SD 9 34,6 34,6 34,6

SMP 7 26,9 26,9 61,5

SMA 9 34,6 34,6 96,2

LAIN-LAIN 1 3,8 3,8 100,0 Total 26 100,0 100,0

diagnosa

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid ca paru 2 7,7 7,7 7,7

NPC 7 26,9 26,9 34,6

ca mamae 7 26,9 26,9 61,5 ca medistianum 2 7,7 7,7 69,2 ca telinga 1 3,8 3,8 73,1

OMSK 1 3,8 3,8 76,9

soft tissue tumor 2 7,7 7,7 84,6 malignant fibrous 1 3,8 3,8 88,5 efusi pleura 2 7,7 7,7 96,2 ca mandibula 1 3,8 3,8 100,0


(5)

Nonparametric Correlations

Correlations

S. E PN

Spearman's rho self.efficcacy Correlation Coefficient 1,000 -,671(**)

Sig. (2-tailed) . ,000

N 26 26

perilaku.nyeri Correlation Coefficient -,671(**) 1,000

Sig. (2-tailed) ,000 .

N 26 26


(6)

CURICULUM VITAE

Nama

: Henny H. Aritonang

Tempat/ Tanggal Lahir : Tarutung, 21 April 1987

Agama

: Kristen Protestan

Alamat

: Jl. Cempaka gang Cempaka 15 no30b Padang Bulan

Pendidikan

: SDN 173135 Tarutung

: 1993 – 1999

SLTP N 2 Tarutung

: 1999 – 2002

SMU N 1 Tarutung

: 2002 - 2005

Fakultas Keperawatan USU

: 2006 – 2010