Perbedaan Perilaku Nyeri Pasien Kanker Kronis yang Didampingi Pasangan Hidup dengan yang Tidak Didampingi di RSUP H. Adam Malik Medan

(1)

Perbedaan Perilaku Nyeri Pasien Kanker Kronis yang Didampingi

Pasangan Hidup dengan yang Tidak Didampingi di Rsup Haji Adam

Malik Medan

SKRIPSI

Oleh Tiur Yulianta S

061101058

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

Departemen Pendidikan Nasional Universitas Sumatera Utara

Fakultas Keperawatan

Jl. Prof. Ma’as No. 3 Medan – 20155 Tlpn. (061) 8213318

LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN SIDANG SKRIPSI

Nama : Tiur Yulianta S

Nim : 061101058

Judul Penelitian : Perbedaan Perilaku Nyeri Pasien Kanker Kronis yang Didampingi Pasangan Hidup dengan yang Tidak Didampingi di RSUP H. Adam Malik Medan

Telah memenuhi persyaratan penulisan skripsi sesuai Pedoman Penulisan Proposal Skripsi Mahasiswa S1 Keperawatan Universitas Sumatera Utara tahun 2010 dan dapat melakukan ujian sidang skripsi.

Medan, 1 Juli 2010 Pembimbing Penelitian

(Ikhsanuddin A. Harahap, S.Kp,MNS) NIP. 19740826 2002 12 002


(3)

Judul Penelitian : Perbedaan Perilaku Nyeri Pasien Kanker Kronis yang Didampingi Pasangan Hidup dengan yang tidak Didampingi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

Nama : Tiur Yulianta S Fakultas : Keperawatan

Tahun : 2010

Abstrak

Kanker (neoplasma) merupakan massa jaringan abnormal, yang tumbuh berlebihan, tidak terkoordinasi dengan jaringan normal di sekitarnya dan menetap walaupun rangsangan terhadapnya telah dihentikan. Nyeri merupakan manifestasi klinis yang hampir selalu dijumpai pada pasien kanker dan bertambah seiring meningkatnya stadium kanker sehingga semua pasien kanker akan mengalami nyeri hampir sepanjang hidupnya. Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan pasien dalam menjalani kehidupan sehari-hari karena itu nyeri yang dirasakan oleh pasien kanker harus diatasi sebaik mungkin, agar penanganan nyeri dapat dilakukan dengan tepat perlu sekali mendapatkan hasil pengukuran nyeri yang akurat.

Perilaku nyeri merupakan perilaku yang muncul setelah mempersepsikan nyeri. Mengobservasi langsung perilaku nyeri merupakan cara pengukuran nyeri yang menghasilkan nilai yang akurat. Dalam mengobservasi perilaku nyeri penting untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku nyeri sehingga dapat dikontrol agar hasil pengukuran perilaku nyeri benar dan akurat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan perilaku nyeri pasien kanker kronis yang didampingi pasangan hidup dengan yang tidak didampingi di RSUP Haji Adam Malik Medan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien kanker kronis yang dirawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan dengan jumlah sampel 23 orang. Penelitian ini dilakukan mulai tanggal 25 Februari sampai 22 Mei 2010. Pengambilan sampel menggunakan convenience sampling. Data dikumpulkan dengan kuesioner demografi dan observasi perilaku nyeri menggunakan laporan observasi perilaku nyeri (pain behavior observation protocol). Data yang diperoleh kemudian dianalisa dengan uji non-parametik sign rank test (Wilcoxon). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan perilaku nyeri yang signifikan antara yang didampingi dengan yang tidak didampingi (z = -1.037, p = 0.30).


(4)

PRAKATA

Segala puji syukur, hormat, dan pujian penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah menyertai penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Perbedaan Perilaku Nyeri Pasien Kanker Kronis yang Didampingi Pasangan Hidup dengan yang Tidak Didampingi di RSUP Haji Adam Malik Medan”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan dan mencapai gelar sarjana di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan.

Penyusunan skripsi ini telah banyak mendapat bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes sebagai Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan Erniyati, S.Kp, MNS sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Ikhsanuddin Ahmad Harahap, S.Kp, MNS selaku dosen pembimbing skripsi penelitian penulis yang penuh keikhlasan dan kesabaran telah memberikan arahan, bimbingan, dan ilmu serta motivasi yang bermanfaat dalam penyusunan skripsi ini.

3. Ibu Nur Asiah, S.Kp selaku dosen penasehat akademik saya. Ibu Cholina T. Siregar, MKep, SpKMB selaku dosen penguji I dan Ibu Anna Kasfi, S.Kep, Ns selaku dosen penguji II yang dengan teliti memberikan masukan yang berharga dalam penyelesaian skripsi ini.


(5)

4. Seluruh staf pengajar Fakultas Keperawatan USU yang memberikan ilmu yang berharga kepada penulis dan seluruh staf kepegawaian Fakultas USU yang memperlancar proses akademik dan administrasi penulis.

5. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan yang telah memberikan izin penelitian dan kepada seluruh perawat di RA3, RA5 dan RB3.

6. Teristimewa kepada keluargaku tercinta (Bapak M. Simamora, Ibu R. D. Pasaribu, Triyanti Fabrina Simamora (Kakak), Hermanda I. T. Simamora (Adik), Betty Sonia Simamora (Adik) dan kepada seluruh keluarga yang telah memberikan doa dan dorongan kepada penulis.

7. Terkhusus buat teman-teman kordinasi yang selalu memberikan doa dan semangat ( Meilona Zendrato, Yohana Sinaga, Dahlia Sinambela, Yunita Bancin, Siska Nababan, Delima Siahaan, Marna Sihotang dan Trimurti Siahaan).

8. Rekan-rekan mahasiswa S1 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, khususnya stambuk 2006 yang telah memberikan semangat dan masukan dalam penyusunan skripsi ini, sahabatku (Mekong, Bello, Esterong, Desitong, Valen, Echi, Junita, Ledy, Ocy, Fida, Paula, Mona, Murni), teman KTBku (K’LeLy, Anna Lalat dan Beta), sauDaraq daLam bimbingan skRipsi (Hennynya Henokh), Sodaraq serumah ( JimPer, Kiccong, dan mei).

9. Teman-teman KKQ stambuk 09 jalur B (Rosa, Cristhine, Dasni, Elis dan Junita) yang selalu mendukungQ dalam doa serta KKQ stambuk 08 (Fransiska, Cristhine, Adekita, Emmi) dan dua adekQ yang Lain yang pernah


(6)

bersama-sama satu KK (Sophi dan Efitri) yang telah memberikan perhatian dan doa-doanya bagiQ.

Semoga Tuhan Yesus Kristus melimpahkan, berkat, rahmat dan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat nantinya untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, Juni 2010


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul ... i

Halaman Lembar Persetujuan... ii

Abstrak ... iii

Prakata ... iv

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel ... viii

Daftar Skema ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latarbelakang ... 1

2. Tujuan Penelitian ... 4

3. Pertanyaan Penelitian ... 5

4. Manfaat Penelitian ... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Kanker 1.1 Definisi Kanker ... 7

1.2 Etiologi Kanker ... 8

1.3 Patofisiologi Kanker ... 13

1.4 Penanganan Kanker ... 16

2. Nyeri 2.1 Konsep Nyeri ... 16

2.2 Fisiologi Nyeri ... 17

2.3 Teori Nyeri ... 19

2.4 Klasifikasi Nyeri ... 20

2.5 Nyeri Kanker ... 22

3.4 Penanganan Nyeri ... 25

2.7 Pengukuran Nyeri ... 26

3. Perilaku Nyeri 3.1 Pengertian Perilaku Nyeri ... 28

3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Nyeri ... 30

3.3 Pengukuran Perilaku Nyeri ... 36

4. Pasangan Hidup 4.1 Gambaran Pernikahan ... 37

4.2 Dukungan pasangan Hidup pada Pasien Kanker Kronis... 38

5. Hubungan Perilaku Nyeri Pasien Kanker Kronis dengan Kehadiran Pasangan Hidup ... 40


(8)

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

1. Kerangka Konseptual ... 41

2. Kerangka Penelitian... 41

3. Defenisi Operasional ... 42

4. Hipotesa penelitian ... 43

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain Penelitian ... 44

2. Populasi Penelitian, Sampel Penelitian dan Teknik Sampling ... 44

3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 45

4. Pertimbangan Etik ... 45

5. Instrumen Penelitian ... 46

6. Pengumpulan Data ... 47

7. Analisa Data ... 49

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian ... 50

1.1 Karakteristik Demografi Responden ... 50

1.2 Perilaku Nyeri Pasien Kanker Kronis yang Didampingi Pasangan hidup dengan yang tidak didamping ... 52

1.3 Perbedaan Perilaku Nyeri Pasien Kanker Kronis yang Didampingi Pasangan Hidup dengan yang Tidak Didampingi ... 53

2. Pembahasan ... 54

2.1 Karakteristik Demografi Pasien ... 54

2.2 Perilaku Nyeri Pasien Kanker Kronis ... 56

2.3 Perbedaan Perilaku Nyeri Pasien Kanker Kronis yang Didampingi Pasangan Hidup dengan yang Tidak Didampingi ... 61

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan ... 63

2. Saran... 64

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN:

1. Lembar Persetujuan Menjadi Responden 2. Instrumen Penelitian

3. Jadwal Penelitian 4. Izin Penelitian 5. Curiculum Vitae


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel

1. Tingkatan Skor perilaku nyeri (Hal. 47)

2. Distribusi Frekwensi dan presentasi berdasarkan data demografi (Hal. 51) 3. Distribusi Frekwensi Tingkat Perilaku Nyeri Pasien Kanker Kronis yang

Didampingi Pasangan Hidup dengan yang Tidak Didampingi (Hal. 54) 4. Mean dan Standar Deviasi Tingkatan Skor Perilaku Nyeri yang

didampingi (Hal. 54)

5. Mean dan Standar Deviasi Tingkatan Skor Perilaku Nyeri yang Tidak Didampingi (Hal. 55)


(10)

DAFTAR SKEMA

Skema 1. Kerangka Penelitian (Hal. 43)


(11)

Judul Penelitian : Perbedaan Perilaku Nyeri Pasien Kanker Kronis yang Didampingi Pasangan Hidup dengan yang tidak Didampingi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

Nama : Tiur Yulianta S Fakultas : Keperawatan

Tahun : 2010

Abstrak

Kanker (neoplasma) merupakan massa jaringan abnormal, yang tumbuh berlebihan, tidak terkoordinasi dengan jaringan normal di sekitarnya dan menetap walaupun rangsangan terhadapnya telah dihentikan. Nyeri merupakan manifestasi klinis yang hampir selalu dijumpai pada pasien kanker dan bertambah seiring meningkatnya stadium kanker sehingga semua pasien kanker akan mengalami nyeri hampir sepanjang hidupnya. Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan pasien dalam menjalani kehidupan sehari-hari karena itu nyeri yang dirasakan oleh pasien kanker harus diatasi sebaik mungkin, agar penanganan nyeri dapat dilakukan dengan tepat perlu sekali mendapatkan hasil pengukuran nyeri yang akurat.

Perilaku nyeri merupakan perilaku yang muncul setelah mempersepsikan nyeri. Mengobservasi langsung perilaku nyeri merupakan cara pengukuran nyeri yang menghasilkan nilai yang akurat. Dalam mengobservasi perilaku nyeri penting untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku nyeri sehingga dapat dikontrol agar hasil pengukuran perilaku nyeri benar dan akurat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan perilaku nyeri pasien kanker kronis yang didampingi pasangan hidup dengan yang tidak didampingi di RSUP Haji Adam Malik Medan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien kanker kronis yang dirawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan dengan jumlah sampel 23 orang. Penelitian ini dilakukan mulai tanggal 25 Februari sampai 22 Mei 2010. Pengambilan sampel menggunakan convenience sampling. Data dikumpulkan dengan kuesioner demografi dan observasi perilaku nyeri menggunakan laporan observasi perilaku nyeri (pain behavior observation protocol). Data yang diperoleh kemudian dianalisa dengan uji non-parametik sign rank test (Wilcoxon). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan perilaku nyeri yang signifikan antara yang didampingi dengan yang tidak didampingi (z = -1.037, p = 0.30).


(12)

BAB 1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Nyeri adalah pengalaman merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan, juga dari sudut emosi akibat dari kerusakan jaringan tubuh yang aktual maupun potensial (WHO, 1986). Nyeri diartikan juga sebagai apapun yang menyakitkan tubuh yang dikatakan individu yang mengalaminya, yang ada kapanpun individu tersebut mengatakannya (Brunner & Suddarth, 2001). Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan lebih banyak orang dibanding suatu penyakit manapun sehingga sering sekali perasaan nyeri merupakan alasan utama seseorang untuk mencari bantuan perawatan kesehatan (Sorensen’s, 1997).

Nyeri bersifat subjektif, sehingga untuk mengetahui nyeri yang dirasakan dilihat melalui respon yang muncul akibat nyeri tersebut (Wall & Mervyn, 1991). Respon yang ditunjukkan oleh individu terhadap nyeri yang dirasakannya disebut perilaku nyeri (Brunner & Suddarth, 2001). Individu memperlihatkan reaksi yang berbeda terhadap nyeri akut dan nyeri kronis (Niven, 1994). Stenrbach (1968, dalam Niven 1994) mengatakan bahwa respon fisiologis, subjektif, dan psikologis terhadap nyeri akut berbeda dengan nyeri kronis.

Nyeri merupakan manifestasi klinis yang hampir selalu dijumpai dan yang paling ditakuti pada kanker. Kanker menghasilkan nyeri melalui dua cara, yaitu melalui pertumbuhan dan metastasis sel-sel kanker dan melalui beragam pengobatan yang dilakukan untuk mengontrol pertumbuhan sel kanker tersebut


(13)

kanker didiagnosa mengalami nyeri dan 90% dari semua pasien kanker dalam stadium lanjut (Swierzewski, 2007). Beberapa jenis kanker menghasilkan nyeri yang lebih berat, seperti pada kanker kepala, leher, serviks, payudara dan paru-paru sedangkan pada leukimia nyeri sangat jarang terjadi (Anderson, Syrjala, & Cleeland, 2001).

Kasus Kanker meningkat dari tahun ke tahun. Menurut WHO (dalam Grahacendikia, 2009), setiap tahun jumlah penderita kanker di dunia bertambah 6,25 juta orang. Dua pertiga dari penderita kanker di dunia berada di negara-negara yang sedang berkembang.

Di Indonesia diperkirakan setiap tahunnya terdapat 100 penderita kanker yang baru di setiap 100.000 penduduk Pernyataan di atas didukung oleh jumlah pasien kanker yang dirawat di rumah sakit mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, contohnya di RSUP Haji Adam Malik Medan menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah pasien kanker paru yang dirawat inap yaitu pada tahun 2000 sebanyak 36 orang, pada tahun 2001 meningkat menjadi 54 orang dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 88 orang. Dari data diatas dapat dilihat peningkatan jumlah pasien kanker paru dalam dua tahun berturut-turut lebih dari 100% (USU Repository, 2009).

Angka harapan kesembuhan penyakit kanker sangat kecil, pengobatan mungkin terus dilakukan tetapi bukan untuk mengobati penyakitnya melainkan hanya untuk mengurangi atau menghilangkan simptom (Brunner & Suddarth, 2001). Gejala yang umum dialami oleh pasien kanker adalah nyeri jadi seumur


(14)

hidupnya pasien akan merasakan nyeri bahkan nyerinya akan bertambah seiring meningkatnya stadium.

Ada banyak hal yang mempengaruhi intensitas nyeri yang dialami oleh penderita kanker, salah satunya yaitu pengaruh dukungan pasangan hidup. Pasangan hidup mengambil peranan yang besar dalam penguatan pasien akan nyeri yang dialami (Cano, Barterian, Heller, 2008).

Individu yang mengalami nyeri biasanya tergantung pada dukungan atau bantuan dan perlindungan anggota keluarga atau teman dekat. Walaupun nyeri tetap dirasakan tetapi kehadiran orang yang dicintai pasien akan meminimalkan kesepian dan ketakutan. Apabila tidak ada keluarga seringkali pengalaman nyeri membuat pasien merasa tertekan meskipun ada beberapa pasien yang lebih suka menyendiri ketika merasakan nyeri (Potter & Perry, 2005).

Pasien kanker sering menggunakan nyerinya untuk memperoleh perhatian khusus dan pelayanan dari keluarganya (Niven, 1994). Pasien bisa saja menunjukkan perilaku nyeri tinggi padahal sebenarnya nyeri yang dirasakan ringan supaya ia mendapatkan perhatian lebih dari pasangannya. Tetapi ada juga pasien kanker yang kurang menunjukkan nyeri yang dirasakannya dihadapan pasangan hdupnya terutama pada pasien yang memiliki hubungan pernikahan yang kurang harmonis ( Block dan koleganya, 1980 dalam Niven, 1994 ).

Hampir dalam seluruh hidupnya pasien kanker akan merasakan nyeri. Hal ini pasti akan membuat pasien merasa menderita karena itu manajemen nyeri yang tepat akan membantu pasien menikmati hidupnya. Untuk memberikan manajemen nyeri yang tepat perlu mengukur nyeri pasien secara tepat juga, salah satu cara


(15)

pengukuran yang paling akurat yaitu dengan mengobservasi perilaku nyeri. Dengan mendapatkan hasil observasi perilaku nyeri yang benar dan valid maka pasien akan mendapatkan penangan nyeri yang benar dan tepat. Seperti yang telah dipaparkan sebelumya bahwa kehadiran pasangan hidup bisa saja membuat pasien menunjukkan perilaku nyeri yang berlebihan atau mungkin menutupi nyeri yang dirasakannya, itu artinya kehadiran pasangan hidup selama dilakukan observasi perilaku nyeri pasien mungkin saja membuat hasil nilai pengukuran perilaku nyeri tersebut menjadi tidak sesuai dengan yang sebenarnya dan akhirnya pasien tidak mendapatkan menejemen nyeri yang tepat. Hal inilah yang membuat peneliti melihat sangat penting melakukan penelitian untuk mengetahui apakah ada perbedaan perilaku nyeri pasien kanker kronis yang didampingi pasangan hidup dengan yang tidak didampingi.

2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah: 2.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan perilaku nyeri pasien kanker kronis yang didampingi pasangan hidup dengan yang tidak didampingi.

2.2 Tujuan Khusus

2.2.1 Untuk mengidentifikasi tingkat perilaku nyeri pasien kanker kronis ketika didampingi oleh pasangan hidup.


(16)

ketika tidak didampingi oleh pasangan hidup .

2.2.3 Untuk mengidentifikasi perbedaan perilaku nyeri pasien kanker kronis ketika didampingi pasangan dengan yang tidak.

3. Pertanyaan Penelitian

3.1 Bagaimana perilaku nyeri pasien kanker kronis ketika didampingi oleh pasangan hidup?

3.2 Bagaimana perilaku nyeri pasien kanker kronis ketika tidak didampingi oleh pasangan hidup?

3.3 Adakah perbedaan perilaku nyeri pasien kanker kronis ketika didampingi pasangan dengan yang tidak?

4. Manfaat Penelitian

4.1 Bagi Praktek Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan informasi kepada perawat tentang perilaku nyeri pasien kanker kronis yang berbeda ketika didampingi pasangan hidupnya dengan ketika tidak didampingi sehingga perawat dapat menggunakan informasi ini sebagai acuan dalam mengukur perilaku nyeri pasien kanker kronis.

4.2 Bagi Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan akan digunakan oleh pendidikan keperawatan dalam memberikan materi tentang perilaku nyeri (pain behavior).


(17)

4.3 Bagi Penelitian Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan akan dipergunakan sebagai bahan masukan untuk penelitian selanjutnya, untuk meneliti pengaruh kehadiran pasangan terhadap perilaku nyeri pasien terutama pasien kanker dengan sampel yang lebih besar lagi.


(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Kanker

1.1 Defenisi kanker

Kanker merupakan istilah yang digunakan untuk neoplasma yang bersifat ganas (Wall & Mervyn, 1991). Neoplasma terbagi menjadi dua yaitu tumor jinak (benigna/ non-cancerous) dan tumor ganas (cancerous) (Dupler & Odle, 2002). Dalam masyarakat, kanker sering disamakan dengan tumor padahal kanker sudah berarti neoplasma ganas sedangkan tumor bisa merupakan neoplasma jinak maupun ganas.

Menurut Rupert Willis (dalam Robins, 2007) neoplasma adalah massa jaringan abnormal, yang tumbuh berlebihan, tidak terkoordinasi dengan jaringan normal di sekitarnya dan menetap walaupun rangsangan terhadapnya telah dihentikan.

Menurut Porth (1994, dalam Brunner & Suddarth 2001) karakteristik neoplasma malignan, yaitu: (1) sel-sel biasanya mempunyai sedikit kemiripan dengan sel-sel jaringan normal dari mana jaringan tersebut berasal, (2) Tumbuh pada perifer dan menyebarkan proses yang menginfiltarasi dan merusak jaringan sekitar, (3) Laju pertumbuhan beragam dan bergantung pada tingkat diferensiasi; makin bersifat anaplastik tumor tersebut makin cepat pertumbuhannya, (4) Memperoleh akses ke saluran darah dan limfe dan bermetastasis ke area tubuh lainnya, (5) Sering menyebabkan efek yang sama seperti anemia, kelemahan dan penurunan berat badan, (6) Sering


(19)

menyebabkan kerusakan jaringan yang luas saat pertumbuhan tumor melebihi pasokan darah atau memotong aliran darah ke area tertentu; juga dapat menghasilkan substansi yang menyebabkan kerusakan sel, (7) Biasanya akan menyebabkan kematian kecuali pertumbuhannya dapat dikendalikan.

1.2 Etiologi Kanker

Berbagai hal yang diduga menjadi penyebab kanker, adalah sebagai berikut:

1.2.1 Faktor Genetik

Ditemukan bahwa faktor genetik juga merupakan predisposisi terjadinya kanker tetapi sejauh apa peranan gen yang abnormal masih belum diketahui (Misky, 2005 dalam Lubis & Hasnida, 2009). Menurut Baradero dan koleganya (2007) yang termasuk ciri umum kanker herediter, yaitu: (1) Muncul pada usia yang lebih muda, sekitar usia 20 tahun, dibandingkan dengan kanker yang tidak herediter, (2) Insiden tinggi untuk kanker bilateral pada organ yang berpasangan seperti dada, ovarium, ginjal dan tiroid, (3) Timbul kanker pada dua atau lebih dari dua anggota keluarga dalam satu generasi.

1.2.2 Efek Hormonal

Hormon bukan karsinogen tetapi dalam keadaan tertentu memacu terjadinya kanker (Baradero, 2007). Hormon mempengaruhi munculnya kanker pada alat-alat tubuh yang biasa dipengaruhi, misalnya kanker payudara, prostat, dan uterus dianggap tergantung pada kadar hormon endogen untuk pertumbuhannya (Brunner & Suddarth, 2001).


(20)

1.2.3 Lesi Prakanker

Lesi dan tumor benigna tertentu mempunyai kecendrungan untuk menjadi malignan sehingga perlu diterapi segera (The Yogyakarta Womens Health Initiative, 2008). Berbagai hal yang termasuk ke dalam prakanker adalah polip pada kolon dan rektum, mole berpigmen (tahi lalat), displasia pada epiteliun serviks dari uterus dan leukoplakia pada selaput lendir (Baradero, 2007)

1.2.4 Faktor Imunologi

Menurut Baradero dan koleganya, kegagalan mekanisme imun dapat mempredisposisi seseorang untuk mendapat kanker tertentu, hal ini didukung oleh bukti yang terjadi, antara lain:

a. Dua puncak insiden yang tinggi untuk tumbuhnya tumor pada masa kanak-kanak dan lanjut usia, yaitu dua periode ketika sistem imun tubuh sedang lemah (Barado,dkk, 2007). Sebagian besar mortalitas kanker terjadi pada usia antara 55-75 tahun (Robbins, 2007).

b. Peningkatan insiden kanker atau tumor terjadi pada orang-orang dengan penyakit defisiensi imun yang dikaitkan dengan kelainan pada imunitas seluler (Brunner & Suddarth, 2001). c. Ada insiden yang tinggi bagi tumbuhnya neoplasma pada

individu yang menerima obat-obat imunosupresif seperti siklosporin dan azatiopri.


(21)

1.2.5 Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan menjadi penentu utama bagi sebagian besar kasus kanker sporadik (Robbins, 2007). Faktor lingkungan antara lain, paparan radiasi, asbeston, pestisida, polusi udara dan nuklir ( Brannon & Feist, 2007)

Studi yang dilakukan oleh Gustavsson, dan kolega (2000 dalam Brannon & Feist,2007) di Swedia menunjukkan efek karsinogen dari asbeston, asap diesel, asap kendaraan, logam-logam dan kondisi lingkungan lainnya terhadap pekerja-pekerja yang terpapar karsinogen di atas. Dari studi tersebut dihasilkan bahwa pekerja yang terpapar karsinogen di atas memiliki kemungkinan terkena kanker paru-paru 9% lebih besar dibandingkan dengan pekerja yang tidak terpapar.

1.2.6 Faktor Obat-obatan

The international Agency for Research on Cancer ( dalam Baradero, 2007) telah mengidentifikasikan obat yang mempunyai efek karsinogenik (potensial) pada manusia, antara lain:

a. Zat-zat sitotoksiknasetin, merupakan zat-zat yang terkandung dalam kemoterapeutika yang dapat memeperlambat pembelahan sel-sel tubuh, baik sel kanker maupun tidak. Ketika zat-zat sitoksiknasetin mengenal sel-sel yang sehat pada tubuh dapat mengancam pembelahan sel tersebut dan dan terancam mengalami mutasi gen.


(22)

b. Obat-obat imunosupresif, diketahui dapat juga menigkatkan resiko kanker.

c. TSH, dapat meningkatkan resiko kanker ovarium dan kanker rahim.

d. Kontrasepsi oral, memberikan keuntungan dalam penekanan angka kelahiran tetapi pemakaian kotrasepsi ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan resiko kanker payudara pada pemakai kontrasepsi ini.

e. Steroid androgenic anabolik f. Metoksalen

g. Analgesik yang mengandung fenasetin, dapat meningkatkan resiko kanker saluran kemih.

1.2.7 Kebiasaan Pola hidup a. Merokok

Merokok menjadi penyebab utama kanker paru dan berhubungan dengan hampir 30 % kejadian kanker lainnya (Dalimartha, 2004). Kematian akibat kanker paru ini berkaitan dengan jumlah rokok yang dihabiskan setiap hari, berapa tahun ia merokok, dan umur ketika ia mulai merokok (Baradero & kolega, 2007). The United States Departement of Health and Human Services (2004, dalam Brannon & Feist, 2007) mengemukakan bahwa risiko relatif mortalitas laki-laki perokok kira-kira 23,3, artinya seorang laki-laki perokok memiliki resiko kematian akibat


(23)

kanker paru-paru 23.3 kali lebih besar dibandingkan laki-laki yang tidak merokok.

b. Kebiasaan makan

The American Cancer Society (2005, dalam Brannon & Feist, 2007) mengatakan bahwa 1-3 dari semua kematian akibat kanker di negara bagian Amerika disebabkan oleh kebiasaan makan yang buruk. Konsumsi makanan yang tinggi kalori dan lemak terutama yang berasal dari daging hewan, meningkatkan resiko kanker kolon, payudara, prostate, pankreas dan endometrium (Baradero,dkk, 2007). Sebaliknya makanan yang kaya serat, sayuran kruriferus (kol, brokoli, kembang kio, toge, dan kohlrabi), karotenoid (wortel, tomat, bayam, aprikot, persik, sayuran berdaun hijau dan kuning tua), Vitamin E dan C serta selenium mengurangi resiko kanker (Brunner & Suddarth, 2001).

c. Praktek seksual

Perilaku seksual juga berkontribusi terhadap kematian akibat kanker, terutama kanker yang disebabkan oleh acquired immune deficiency syndrome (AIDS) (Brannon & Feist, 2007). Kanker serviks uteri jarang ditemukan pada perempuan yang masih perawan, dibandingkan dengan perempuan yang aktif seksual. Insiden kanker serviks tinggi pada perempuan yang melakukan koitus pertama pada usia muda dan perempuan dengan pasangan multipel (Baradero, dkk, 2007).


(24)

1.2.8 Virus

Kanker serviks dapat disebabkan oleh virus yang masuk ke dalam serviks ketika koitus, yaitu herpes simpleks tipe II, sitomegalovirus, dan human papilloma virus (HPV) tipe 16 dan 18 (Brunner & Suddarth, 2001). Infeksi HIV yang berakibat AIDS disertai dengan meningginya resiko atas penyakit ganas, terutama terjadi karena menurunnya kekebalan (Jong, 2004). Dua jenis kanker yang biasanya dihubungkan dengan AIDS, yaitu sarkoma kaposi dan Limfoma non-Hodgkin (Brannon & Feist, 2007)

1.3 Patofisiologi Kanker 1.3.1 Fase 1 (Persiapan)

Seperti yang telah dipaparkan diatas ada beberapa faktor penyebab kanker yaitu genetik (herediter), efek hormonal, lesi prakanker, faktor imunologi, faktor lingkungan, gaya hidup dan virus. Hal-hal ini akan memicu terjadinya mutasi gen (Dalimartha, 2004). Mutasi gen ini bukan hanya disebabkan oleh satu agensia karsinogen tetapi beberapa agensia karsinogen sekaligus sahingga pengaruh-pengaruh yang berbeda ini akan saling menambah atau saling memperkuat jadi mutasi gen pada kanker merupakan multikausal (Jong, 2004). Proses mutasi gen terjadi dalam beberapa stadium yaitu, inisiasi (induksi) dan promosi. Selama induksi sel pembawa mutasi menjadi matang atau lebih peka terhadap perubahan lebih lanjut. Pada fase promosi, terjadi mutasi baru. Perubahan ini


(25)

merupakan dasar langsung untuk penyimpangan ganas. Pada fase ini perubahan-perubahan yang terjadi masih bersifat reversibel (Dalimartha, 2004).

1.3.2 Fase 2 (Stadium pendahuluan menjelang kanker)

Pada beberapa jenis kanker ada keadaan pra-ganas yang disebut dengan stadium pendahuluan menjelang kanker. Pada keadaan ini, ketika dilihat secara mikroskop sel-sel yang berubah tidak menunjukkan kanker yaitu tidak terjadi infiltratif (WHO Geneva, 1995).

1.3.3 Fase 3 (Fase praklinis)

Fase ini disebut juga fase lokal (in situ). Membutuhkan waktu yang cukup lama sebelum mengadakan invasi keluar organ (metastasis) (Dalimartha, 2004). Pada fase ini belum menimbulkan keluhan-keluhan karena sel kanker belum melakukan penyebaran (Jong, 2004).

1.3.4 Fase 4 (fase klinis)

Fase ini merupakan fase terakhir dari proses kanker. Fase klinis dimulai ketika pasien mulai merasakan tanda, gejala atau keluhan (Jong, 2004). Biasanya pasien datang memeriksakan diri ketika mengalami keluhan-keluhan sehingga diagnosa kanker banyak ditemukan dalam fase terakhir ini (Baradero, dkk, 2007). Pada fase ini kanker sering dijumpai telah mengalami metastasis. Metastasis ini terjadi melaui pembuluh darah dan pembuluh limfe (Brannon & Feist, 2007). Metastasis terdiri atas sel-sel kanker yang lepas atau gumpalan


(26)

sel-sel ganas yang berasal dari tumor induk (Brunner & Suddarth, 2001).

1.4 Penanganan Kanker 1.4.1 Pembedahan

Pembedahan kanker dapat dilakukan sebagai pengobatan primer, terapi adjuvan, terapi penyelamatan, terapi paliatif dan terapi kombinasi (Otto, 2003).

Pengangkatan kanker secara menyeluruh melalui tindakan pembedahan masih merupakan modalitas pengobatan yang terbaik dan yang paling sering digunakan (Potter & Perry, 2005). Kemajuan dalam tekhnik pembedahan, pengertian yang lebih baik akan pola metastasis dari tumor tumor dan dari perawatan pasca bedah yang intensif kini membuat suatu tumor dapat diangkat dari hampir seluruh bagian tubuh (Otto, 2003).

1.4.2. Radioterapi

Adalah suatu tindakan pengobatan kanker dengan memberikan radiasi ionisasi pada neoplasma. Ada dua jenis radiasi yaitu radiasi internal dan eksternal (Potter & Perry, 2005). Sel-sel kanker memberikan respon yang lebih besar terhadap penyinaran ini sehingga sel-sel kanker akan mati sedangkan sel-sel normal yang terkena radiasi mungkin akan mengalami cedera tetapi dalam derajat yang masih ditoleransi atau diperbaiki (Price & Wilson, 2005).


(27)

1.4.3 Kemoterapi

Merupakan penggunaan preparat antineoplastik sebagai upaya untuk membunuh sel-sel tumor dengan mengganggu fungsi dan reproduksi selular (Potter & Perry, 2005). Kemoterapi digunakan untuk mengobati sel-sel kanker yang tersebar luas hingga tidak mungkin untuk dioperasi atau ditangani dengan radioterapi ( Price & Wilson, 2005).

2. Konsep Nyeri

2.1 Definisi Nyeri

Menurut International Association for Study of Pain (IASP) (1979 dalam Brannon & Feist, 2007) nyeri merupakan pengalaman sensoris subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan yang nyata, berpotensi rusak, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Kerusakan jaringan yang nyata misalnya terjadi pada nyeri akibat luka operasi (Adi, 2002). Berpotensi rusak misalnya pada nyeri dada karena penyakit jantung (Angina Pectoris) dimana timbul nyeri sebagai pertanda akan terjadi kerusakan atau berpotensi rusak pada otot- otot jantung bila tidak ditangani secara benar (Price & Wilson, 2005). Menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan misalnya nyeri yang timbul setelah sembuh dari penyakit herpes (Neuralgia Pasca Herpetica), dimana terjadi nyeri meskipun tidak ada kerusakan jaringan (Dimatteo, 1991).


(28)

Nyeri juga merupakan mekanisme protektif bagi tubuh. Nyeri muncul ketika jaringan tubuh sedang dirusak sehingga tubuh memberikan reaksi untuk menghilangkan atau menghindari rangsangan nyeri tersebut, misalnya bila tangan menyentuh bara api maka pada orang normal akan merasakan panasnya bara api kemudian secara spontan akan menjauhkan tangan dari sumber panas tersebut jadi rasa nyeri yang muncul membuat kerusakan jaringan yang lebih lanjut dapat dihindari (Guyton, 1990).

2.2. Klasifikasi Nyeri 2.2.1 Nyeri Akut

Nyeri akut memiliki durasi yang pendek yaitu kurang dari 6 bulan. Nyeri ini dapat diidentifikasi penyebabnya, mula terjadinya, serta memiliki batas dan durasi yang dapat diprediksi, misalnya nyeri setelah pembedahan (Sorensen’s, 1997). Fungsi nyeri akut ialah memberi peringatan akan cedera atau penyakit yang akan datang. Nyeri akut akhirnya menghilang dengan atau tanpa pengobatan setelah keadaan pulih pada area yang rusak (Potter & perry, 2005).

Respon fisiologi terhadap nyeri akut akan merangsang sistem saraf simpatis. Pasien akan menunjukkan manifestasi berikut yaitu meningkat atau menurunnya tekanan darah, takikardia, diaforesis, takipnea, fokus kepada nyeri dan penilaian terhadap nyeri (Sorensen’s, 1997)

Nyeri akut akan menyebabkan ketidaknyamanan pada pasien karena itu nyeri sering sekali menjadi alasan utama seseorang mencari pengobatan ke rumah sakit. Selain merasakan ketidaknyamanan yang


(29)

mengganggu, nyeri akut dapat mempengaruhi sitem pulmonary, kardiovaskular, gastrointestinal, endokrin dan imunologik (Benedetti & kolega, 1984; Yeager & kolega, 1987).

2.2.2 Nyeri Kronik

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermitten yang menetap sepanjang suatu periode waktu, biasanya lebih dari 6 bulan (McCaffery, 1986 dalam Potter & Perry, 2005). Nyeri kronik dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respons terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya (Brunner & Suddarth, 2001).

Nyeri kronik terbagi menjadi dua yaitu, nyeri kronik malignan dan nyeri kronik nonmalignan (Potter & Perry, 2005). Penyebab nyeri kronik nonmalignan tidak pasti diketahui, daerah yang mengalami cedera mungkin telah memulih sejak lama, tetapi nyeri masih menetap (Brunner dan Suddarth, 2001). Berbeda dengan nyeri kronik nonmalignant, nyeri kanker malignan memiliki penyebab nyeri yang dapat diidentifikasi yaitu terjadi akibat perubahan pada saraf, perubahan ini terjadi bisa karena penekanan pada saraf akibat metastasis sel-sel kanker maupun pengaruh zat-zat kimia yang dihasilkan oleh kanker itu sendiri (Portenoy, 2007). 2.3 Fisiologi Nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang


(30)

secara potensial merusak (Brunner & Suddarth, 2001). Reseptor nyeri disebut juga nosiseptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosiseptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer (Ganong, 2002). Sistem nosiseptor terbagi dalam dua komponen yaitu :

2.3.1 Reseptor A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan (Ganong, 2002).

2.3.2 Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi (Guyton, 1997).

Berdasarkan letaknya, nosiseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda (Sorensen’s, 1997).

Nosiseptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dilokalisasi dan didefinisikan (Sorensen.s, 1997). Nyeri somatik dalam merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi (Devita & koleganya, 1985). Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti


(31)

jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang berasal dari visera tidak dapat ditentukan lokasinya dengan baik, tidak enak, disertai mual dan gejala-gejala otonom lainnya. Nyeri ini sering menyebar atau dialihkan ke daerah lain (Ganong, 2002). Sebagai contoh, nyeri yang dialihkan yaitu nyeri pada lengan kiri atau rahang yang berkaitan dengan iskemia jantung atau serangan jantung (infark miokard) (Brunner & Suddarth, 2001).

2.4 Teori Nyeri

2.4.1 Teori Spesifikasi

Teori ini dikemukakan oleh Rene Descartes pada abad ke 17. Teori ini didasarkan pada kepercayaan bahwa ada jaras (pathway) khusus yang bertanggung jawab untuk menyampaikan pesan nyeri pada pusat di otak. Pada tahun 1894, Von Frey mengungkapkan suatu model yang menggambarkan bahwa kualitas sensasi pada kulit (sentuhan, dingin, panas, dan nyeri) tergantung pada jenis ujung saraf yang mendapat stimulus. Perbedaan dalam struktur ujung saraf ini membuat setiap ujung saraf sangat sensitif pada satu jenis stimulus dan tidak berespon kepada jenis stimulus yang lain. Nyeri dihubungkan dengan stimulasi pada ujung saraf bebas.

Lyn (1984) menunjukkan sejumlah struktur dalam sistem saraf yang menyebabkan nyeri. Dua kelompok serabut saraf yang terlibat, yaitu serabut A-delta bermielin dan serabut C tidak bermielin. Beberapa peneliti percaya bahwa serabut A-delta bermielin meneruskan nyeri yang


(32)

mendadak atau tajam, sedangkan serabut C tidak bermielin meneruskan nyeri yang tumpul.

2.4.2 Teori pola

Teori ini menghubungkan persepsi nyeri dengan pola khusus dari impuls-impuls dalam system saraf. Nyeri akan muncul kapanpun dengan stimulus apapun dengan syarat jumlah stimulasi yang terjadi besar (Niven, 1994).

2.4.3 Teori Pengontrol Nyeri (Gate Control)

Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965 dalam Potter & Perry, 2005) mengatakan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau bahkan dihanbat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang saraf pusat. Dengan kata lain bahwa ada mekanisme neural di korda spinalis yang dapat ”menutup pintu gerbang” sehingga pesan nyeri terhambat ke otak. Ada sejumlah neuron (interneuron) yang berlokasi di korda spinalis yang menerima input dari dua sumber, yaitu serabut saraf yang membawa pesan nyeri dan serabut saraf yang membawa informasi dari kulit seperti suhu dan tekanan (Dimatteo, 1991)

Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan ditutup saat pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar terapi menghilangkan nyeri (Potter & Perry, 2005)

Melzack dan Wall (1965, 1982, 1988 dalam Branner & Feist, 2007) menambahkan bahwa informasi yang bermula dari otak juga dapat


(33)

menutup dan membuka pintu gerbang. Karenanya faktor psikologi seperti pengalaman masa lalu, keadaan emosi dan arti situasi itu sendiri dapat mempengaruhi persepsi terhadap nyeri.

2.5 Nyeri kanker

Nyeri merupakan masalah yang sering dijumpai pada penderita kanker. Kanker menghasilkan nyeri dengan dua cara yaitu melalui pertumbuhan dan metastasis dan melalui pengobatan atau tindakan yang dilakukan untuk menekan pertumbuhan kanker (Brannon & Feist, 2007).

Intensitas nyeri yang dirasakan pasien kanker tergantung kepada jenis kanker, letak kanker, stadium kanker dan berapa banyak nervus yang rusak karena kanker itu sendiri maupun diakibatkan oleh pengobatan yang dilakukan (Baradero & koleganya, 2007). Serangkaian penelitian yang mengukur derajat nyeri berdasarkan keluhan penderita dan skala pengukur nyeri menunjukkan bahwa 50% penderita kanker yang merasakan nyeri menderita nyeri sedang dan kuat dan 30 % menderita nyeri sangat hebat dan tak tertahankan. Selain itu, nyeri meningkat sejalan dengan semakin parahnya penyakit (WHO, 1986 dalam Penerbit ITB Bandung, 1993).

Pertumbuhan dan metastasis sel-sel kanker akan menyebabkan perubahan-perubahan fisiologi. Perubahan fisiologi yang terjadi akibat kanker yang dapat menimbulkan nyeri yaitu, kerusakan pada tulang, obstruksi lumina, saraf perifer, tekanan kanker yang membesar, adanya iskemia, distensi dan inflamasi, infeksi atau nekrosis jaringan (Baradero & kolega, 2007). Beberapa pengobatan kanker yang menimbulkan nyeri, yaitu:


(34)

2.5.1 Pembedahan

Tindakan pembedahan akan menyebabkan pasien merasakan nyeri akibat insisi yang dilakukan pada jaringan tubuh (Otto, 2003).

2.5.2 Radioterapi

Prosedur-prosedur yang dilakukan sehubungan dengan pengobatan kanker seperti pengobatan laser juga menyebabkan nyeri (ACOR, Inc, 2001).

2.5.3 Kemoterapi

Kemoterapi dapat menyebabkan efek samping, tergantung pada obat yang digunakan. Beberapa pada umumnya menimbulkan efek samping nyeri seperti nyeri mulut (mukositis), neuropati peripheral (sensasi kaku dan nyeri pada kaki, betis, jari tangan, tangan dan lengan), konstipasi, diare, haus, mual, muntah, dan kram abdominal (ACOR, Inc, 2001).

Pada penderita kanker faktor pasikologi memberikan pengaruh yang besar terhadap derajat rasa nyeri, hal ini dikaitkan dengan persepsi pasien tentang ancaman dan stress yang disebabkan oleh kanker itu sendiri (WHO, 1986 dalam Penerbit ITB Bandung, 1993). Menurut Baredo dan kolega (2007) ada tiga kategori stressor yang disebabkan oleh kanker, yaitu: (1)Ancaman dari penyakit kanker itu sendiri, (2)Hilangnya bagian tubuh ataupun ancaman akan hilangnya bagian tubuh, (3)Frustasi dalam memenuhi dorongan biologis karena ketidakmampuan yang diakibatkan penyakit kanker atau efek-efek samping dari pengobatan kanker.


(35)

Nyeri kanker dapat diklasifikasikan sebagai nyeri nosiseptik (somatik atau viseral) dan nyeri neuropatik (WHO Gahjneva, 1996). Nyeri nosiseptif merupakan suatu nyeri yang ditimbulkan oleh suatu rangsangan pada nosiseptor. Nosiseptor ini terdapat pada tendon, sendi dan organ tubuh. Nyeri yang terjadi akibat rangsangan nosiseptor di tendon dan sendi disebut nyeri somatik nosiseptif sedangkan nyeri yang timbul karena rangsangan pada nosiseptor di organ tubuh disebut nyeri viseral nosiseptif ( Memorial Sloan-Kettering Cancer Center, 2002).

Pada kanker nyeri ini terjadi karena metastasis kanker pada tulang, otot, sendi atau disebabkan oleh rintangan dari suatu organ dan sumbatan pada aliran darah (Russel, 2007) . Nyeri somatik nosiseptif sering dilukiskan sebagai nyeri yang mudah dideteksi dan dilokalisasi, nyeri yang tajam, sakit berdenyut seperti ditikam sedangkan nyeri viseral nosiseptif dilukiskan sebagai nyeri sulit dilokalisir dan terasa perih atau karam ( Hallenbeck, 2003).

Berbeda dari nyeri nosiseptif, nyeri neuropati biasanya bertahan lebih lama dan merupakan proses input sensorik yang abnormal oleh sistem saraf perifer atau CNS. Pada kanker, nyeri ini terjadi karena adanya tekanan kanker pada suatu nervus ataupun kumpulan nervus. Nyeri neuropati memiliki ciri-ciri yaitu, rasa terbakar, tingling, syok, nyeri seperti tertembak, hyperalgesia atau allodynia (Sorensen’s, 1997

2.6Penanganan Nyeri

Nyeri merupakan kejadian yang menekan atau stres dan dapat mengubah gaya hidup dan kesejahteraan psikologi individu (Potter & Perry, 2005). Pada


(36)

kasus nyeri akibat kanker, nyeri menyebabkan penderitaan, kehilangan kontrol, dan kerusakan kualitas kehidupan sepanjang proses perawatan penderita, bahkan pada penderita yang kondisinya stabil dan angka harapan hidupnya panjang (Jacox, dkk, 1994 dalam Potter & Perry, 2005).

Manajemen nyeri merupakan masalah yang kompleks. Sebelum penggunaan obat-obatan untuk penanganan terhadap nyeri yang dialami pasien, maka terlebih dahulu mengkaji sumber, letak nyeri, dan faktor-faktor yang meningkatkan nyeri, seperti kegelisahan dan keletihan (Brunner & Suddarth, 2001).Obat-obatan merupakan strategi penanganan utama pada nyeri akut tetapi untuk nyeri kronik, obat-obatan memberikan risiko yang buruk (Brennan & Feist, 2007). Nyeri kronik pada umumnya tidak memberikan respon terhadap pengobatan(Brunner & Suddarth, 2001).

Ada ribuan jenis obat-obat analgesik yang tersedia, tetapi secara umum dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu, opiat dan analgesik non-narkotik (Julien, 2005 dalam Branner & Feist, 2007). Pada kanker pemberian analgetik atau pereda nyeri dikombinasikan dengan pemberian obat-obatan untuk mengobati kanker itu sendiri (WHO, 1986).

2.7 Pengukuran Nyeri

2.7.1 Pengukuran psikofisiologi (psychophysiological)

Nyeri akan memberikan respon fisiologi dimana respon fisiologi inilah yang akan dikaji untuk menilai nyeri yang sedang dirasakan individu (Lykken, 1987 dalam Dimatteo, 1991). Respon fisiologi terhadap nyeri berupa stimulasi simpatik dan stimulasi parasimpatik. Stimulasi


(37)

simpatik, misalnya dilatasi saluran bronkiolus dan peningkatan pernapasan, peningkatan frekuensi denyut jantung, vasokontriksi perifer sedangkan stimulasi parasimpatik, misalnya wajah tampak pucat, ketegangan otot, penurunan denyut jantung dan tekanan darah, pernapasan yang cepat dan tidak teratur, mual dan muntah serta kelemahan atau kelelahan ( Potter & Perry, 2005).

Salah satu alat pengukuran yang digunakan adalah elektromiograf (EMG) (Dimatteo, 1991). Elektromiograf sering digunakan untuk mengukur nyeri punggung (low back pain), nyeri kepala dan nyeri leher dan rahang (Brannon & Feist, 2007). Misalnya, pada pasien nyeri kepala, EMG akan menunjukkan pola aktivitas elektrik yang berbeda dengan keadaan normal (Blanchard & Andrasik, 1985 dalam Dimatteo, 1991).

Hal lain yang perlu dikaji juga yaitu, aktivitas autonom tubuh seperti denyut jantung, respirasi, tekanan darah dan keadaan kulit. Pengukuran aktivitas autonom tubuh dipercaya sangat berguna dalam mengkaji komponen emosional nyeri (Chapman & kolega, 1985 dalam Dimatteo, 1991).

2.7.2 Laporan nyeri

Metode ini mendapatkan data yang kurang tepat atau akurat tetapi menghasilkan data yang realibel atau nyata tergantung keterbukaan tiap – tiap individu untuk mendeskripsikan karakter dan intensitas nyeri yang dialaminya (Dimatteo, 1991). Mengkaji laporan nyeri dapat dilakukan


(38)

dengan interview, penilaian skala (rating scale), dan kuosioner ( Branner & Feist, 2007).

2.7.3 Perilaku nyeri (pain behavior)

Fordyce (1974 dalam Branner & Feist, 2007) melaporkan pasien-pasien yang mengalami nyeri biasaya merintih, meringis, menggosok area nyeri, menarik napas panjang, lemah, istirahat bekerja, istirahat di tempat tidur atau perilaku-perilaku lainya yang berkaitan dengan nyeri yang dapat diobservasi seperti meminta dan menggunakan obat pereda nyeri, gerakan tubuh dan ekspresi wajah.

Observasi perilaku nyeri dapat dikembangkan menjadi strategi pengkajian nyeri yang standard (Keefe & Smith, 2002 dalam Branner & Feist, 2007). Observasi perilaku nyeri khususnya berguna dalam mengkaji nyeri pada pasien yang sulit mendeskripsikan nyerinya misalnya anak-anak dan lansia ( Branner & Feist, 2007).

3. Perilaku Nyeri

3.1 Konsep Perilaku nyeri

Perilaku nyeri merupakan perilaku yang muncul setelah mempersepsikan nyeri. Selain perilaku nyeri, respon yang muncul adalah respon fisiologis (Erfandi, 2009). Mengobservasi langsung perilaku nyeri merupakan cara pengukuran nyeri yang menghasilkan nilai yang akurat (Fordyce, 1974 dalam Brannon & Feist, 2007). Menurut Turk, Wack, dan Kerns (1985 dalam Dimatteo, 1991) perilaku nyeri yang dapat diobservasi yaitu: (1)Pernyataan


(39)

Verbal: mengaduh, menangis, sesak nafas dan mendengkur, (2)Ekspresi Wajah: meringis, menggeletukkan gigi, dan menggigit bibir (3)Gerakan Tubuh: gelisah, imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan gerakan jari dan tangan (4)Kontak dengan orang lain/interaksi social: menghindari percakapan, menghindari kontak social, penurunan rentamg perhatian, dan fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri.

Individu yang mengalami nyeri akut dapat menangis, merintih, tidak menggerakkan bagian tubuh, mengepal atau menarik diri (Brunner & Suddarth, 2001). Respon pasien terhadap nyeri akut dengan nyeri kronis biasanya berbeda. Pada pasien dengan nyeri kronik biasanya karena nyeri yang begitu lama yang dialami membuat pasien letih untuk menangis atau merintih sehingga pasien dapat tidur dengan nyeri yang sangat hebat (Melzack & Wall, 1982 dalam Dimatteo, 1991).

Perilaku nyeri dapat dibagi menjadi dua yaitu, perilaku responden dan perilaku operant (Harahap, 2006). Perilaku responden merupakan salah satu jenis perilaku reflex sebagai respon terhadap stimulus yang muncul kapanpun. Stimulus yang muncul biasanya spesifik dan dapat diprediksi. Perilaku responden merupakan perilaku secara spontan ketika stimulus muncul dengan adekuat seperti stimulus nosiseptif, respon perilaku kemungkinan akan terjadi. Perilaku nyeri operant adalah perilaku nyeri yang bersifat volunter. Pada perilaku operant penghargaan dan hukuman merupakan konsep kunci. Perilaku nyeri sering dihubungkan dengan beberapa bentuk penghargaan yaitu sesuatu


(40)

yang diinginkan terjadi jika pasien menunjukkan perilaku nyeri, seperti perhatian dari pasangan hidup (Niven, 1994).

Menurut embree (2009) perbedaan perilaku responden dan perilaku operant, yaitu;

3.1.1 Perilaku responden bersifat refleks/ otomatis (automatically elicited); perilaku operant bersifat volunteer (spontaneously emitted).

3.1.2 Pada kondisi responden, stimulus yang pertama sekali muncul kemudian akan muncul respon terhadap stimulus; pada kondisi operant, respon pertama sekali muncul kemudian mucul konsekuensi dari respon tersebut.

3.1.3 Tujuan kondisi responden untuk mengubah intensitas dan kekuatan atau besarnya respon; tujuan kondisi operant yaitu mengubah frekwensi dan kemungkinan respon.

3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku nyeri 3.2.1 Pengalaman masa lalu

Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri (Potter & Perry, 2005). Pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan datang. Apabila individu sejak lama sering mengalami serangkaian episode nyeri tanpa pernah sembuh atau menderita nyeri yang berat, maka ansietas atau rasa takut dapat muncul (Brunner & Suddarth, 2001). Sebaliknya, apabila individu mengalami nyeri, dengan jenis yang sama berulang-ulang, tetapi kemudian nyeri tersebut dengan berhasil


(41)

dihilangkan, akan lebih mudah bagi individu tersebut untuk menginterpretasikan sensasi nyeri akibatnya ia akan lebih siap untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri. Jadi pengalaman masa lalu akan keberhasilan penanganan nyeri pada seseorang akan memberi pengaruh yang sangat besar dalam cara berespons orang tersebut terhadap nyeri yang dialaminya di kemudian hari.

Apabila seseorang tidak pernah mengalami nyeri, maka persepsi pertama nyeri dapat mengganggu koping terhadap nyeri pada orang tersebut (Potter & Perry, 2005). Misalnya, setelah bedah abdomen adalah hal umum bagi klien untuk mengalami nyeri insisi yang berat selama beberapa hari. Apabila klien tidak menyadari hal ini, ia akan memandang awitan nyeri sebagai komplikasi yang serius sehingga klien tersebut kemudian berbaring di tempat tidur dan bernapas dengan dangkal karena ia merasa takut akan terjadi sesuatu yang tidak baik, padahal sebenarnya klien dapat berpartisipasi aktif dalam latihan pernapasan pascaoperasi. 3.2.2 Usia

Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada anak-anak dan lansia. Perbedaan perkembangan, yang ditemukan di anatara kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana anak-anak dan lansia bereaksi terhadap nyeri (Potter & Perry, 2005)

Pada anak-anak yang masih kecil mempunyai kesulitan memahami nyeri. Anak-anak kecil yang belum dapat mengucapkan kata-kata mengalami kesulitan untuk mengungkapkan secara verbal dan


(42)

mengekspresikan nyeri kepada orang tua atau petugas kesehatan (Branner & Feist, 2007). Pada lansia, persepsi nyeri mungkin berkurang sebagai akibat dari perubahan patologis berkaitan dengan beberapa penyakit (mis, diabetes), tetapi pada lansia yang sehat persepsi nyeri mungkin tidak berubah. Meskipun banyak lansia yang mencari perawatan kesehatan karena nyeri, tetapi ada juga lansia yang enggan untuk mencari bantuan bahkan ketika mengalami nyeri hebat karena mereka menganggap nyeri menjadi bagian dari penuaan normal. Diperkirakan lebih dari 85% dewasa tua mempunyai sedikitnya satu masalah kesehatan kronis yang dapat menyebabkan nyeri (Brunner & Suddarth, 2001).

3.2.3 Jenis kelamin

Gill (1990) mengemukakan bahwa secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam berespons terhadap nyeri, yang lebih mempengaruhi adalah budaya. Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin, misalnya menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam situasi yang sama (Potter & Perry, 2005). Robinson dan koleganya (2003, dalam Brannon & Feist, 2007) mengatakan bahwa ada perbedaan persepsi nyeri antara pria dan wanita yaitu bahwa wanita lebih sensitif terhadap nyeri daripada pria.

3.2.4 Budaya

Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu menyatakan atau mengekspresikan nyeri. Selain itu, latarbelakang budaya


(43)

dan sosial mempengaruhi pengalaman dan penanganan nyeri (Gureje, Von Korff, Simon, & Gater, 1996 dalam Brannon & Feist, 2007).

Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Zborowski (1969 dalam Niven, 1994) melaporkan bahwa ekspresi perilaku nyeri berbeda antara satu kelompok etnik pasien dengan kelompok lain di satu lingkungan rumah sakit. Perbedaan tersebut dianggap terjadi akibat sikap dan nilai yang dianut oleh kelompok etnik.

Sejak tahun 1950, mulai banyak dilakukan studi untuk melihat perbedaan ekspresi nyeri atau cara menyatakan nyeri dari berbagai latarbelakang budaya (Streltzer, 1997, Ondeck, 2003 dalam Brannon & feist, 2007). Beberapa studi menunjukkan ada pengaruh stereotip tetapi ada juga yang tidak tetapi tetap perlu kritis melihat pengaruh stereotip. sebagai contoh generasi ketiga di Amerika cenderung untuk memberi respons terhadap nyeri dengan cara biasa-biasa saja. Orang Italia merasa bahwa nyeri adalah sesuatu yang harus dihindarkan dengan cara apapun dan ekspresi mereka ditujukan untuk menghilangkan nyeri sehingga orang italia meminta obat nyeri lebih bayak dibandingkan orang amerika (Niven, 1994).

3.2.5 Makna Nyeri

Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri (Dimatteo, 1991). Hal ini juga dikaitkan secara dekat dengan latar


(44)

belakang budaya individu tersebut. Setiap individu akan mempersepsikan nyeri dengan cara berbeda-beda (Potter & Perry, 2005).

3.2.6 Perhatian

Tingkat seseorang memfokuskan perhatiannya terhadap nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990, dalam Potter & Perry, 2005) perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun.

3.2.7 Ansietas

Ansietas atau cemas menyebabkan rasa nyeri yang semakin meningkat sedangkan peningkatan rasa nyeri akan menyebabkan individu tersebut semakin cemas lagi sehingga kedua hal ini saling mempengaruhi seperti lingkaran yang terus berputar (Niven, 1994). Menurut McWiliialms, Goodwin, & Cox (2004, dalam Brannen & Feist, 2007) Pasien dengan nyeri kronis yang hebat memiliki potensi yang besar mengalami cemas atau depresi, hal ini kemungkinan disebabkan oleh nyeri yang tidak kunjung reda.

3.2.8 Pola koping

Individu yang memiliki lokus kendali internal mempersepsikan diri mereka sebagai individu yang dapat mengendalikan lingkungan mereka dan hasil akhir suatu peristiwa, seperti nyeri (Gill, 1990 dalam Potter & Perry, 2005). Sebaliknya, individu yang memiliki lokus kendali eksternal, mempersepsikan faktor-faktor lain di dalam lingkungan mereka, seperti


(45)

perawat, sebagai individu yang bertanggung jawab terhadap suatu hasil akhir peristiwa. Individu yang memiliki lokus kendali internal melaporkan mengalami nyeri yang tidak terlalu berat daripada individu yang memiliki lokus kendali eksternal (Schulteis, 1987, dalam Potter & Perry, 2005). 3.2.9 Dukungan keluarga dan sosial

Pasien kanker ketika pertama sekali mengetahui dirinya mengidap kanker respon yang biasanya terjadi ,yaitu penolakan terhadap diagnosa, kecemasan dan depresi (Taylor, 1988 dalam Lubis & Hasnida, 2009). Pasien kanker umumnya mengalami banyak kecemasan, terutama kecemasan dalam menghadapi pengobatan yang dilakukan seperti pembedahan, kemoterapi dan radiasi (Shea, 2008).

Hubungan antara nyeri dengan ansietas bersifat kompleks. Ansietas sering sekali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas (Potter & Perry, 2005). Nyeri yang dialami pasien kanker membuat pasien takut akan terjadi keadaan yang semakin buruk dan tidak terkontrol (Dimatteo, 1991).

Pasien kanker sering mengalami masalah psikologi seperti pasien sering merasa tidak berharaga dan ingin mengakhiri hidup jadi dukungan orang-orang di sekitarnya sangat diperlukan misalnya teman, anak-anak maupun pasangan hidup dalam memberikan motivasi kepada klien (Wall & Mervyn, 1991). Kehadiran orang-orang terdekat klien dan bagaimana perlakuan mereka terhadap klien mempengaruhi respon nyeri klien. Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota


(46)

keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan dan perlindungan (Potter dan Perry, 2005).

3.3 Pengukuran Perilaku nyeri

Nyeri merupakan respon subjektif sehingga sulit untuk mengukurnya. Ada beberapa tehnik dalam pengukuran nyeri seperti pengukuran fisiologi, observasi perilaku nyeri dan laporan nyeri yang langsung diterima dari pasien (Dimatteo,1991). Observasi perilaku nyeri merupakan pengukuran nyeri yang paling akurat (succesful) (Fordyce, 1974 dalam Branner & Feist, 2007).

Fordyce mengembangkan self observation untuk mengukur perilaku nyeri selama pengalaman nyeri. Pada pengalaman nyeri ini, pasien diminta untuk mengidentifikasi seberapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk meningkatkan tiga kategori perilaku, yaitu duduk, berdiri atau berjalan, dan berbaring. Pasien saat juga diminta untuk mendokumentasikan pengobatan nyeri yang mereka dapatkan dan jumlah dosisnya. Metode self observation ini mudah dan murah, selain itu, dapat meningkatkan pemahaman pasien terhadap nyeri mereka sendiri (Keefe, 2002 dalam Harahap 2007). Bagaimanapun juga validasi dari self observation perilaku nyeri ini dapat bersifat bias atau tidak akurat (Turk & Flor, 1987 dalam Harahap 2007) karena kebanyakan pasien tidak selalu mendokumentasikan perilaku mereka secara akurat. Metode yang lain untuk mengukur perilaku nyeri ini adalah dengan mengandalkan wawancara dan kuesioner. Pasien diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan perilaku nyerinya. Metode ini juga


(47)

dikritik karena pasien cenderung memilih jawaban yang terbaik (Harahap, 2007).

Metode untuk pengukuran perilaku nyeri ada yang langsung dan yang tidak langsung. Metode ini dikembangkan berdasarkan pemikiran bahwa perilaku nyeri nyata dan dapat diobservasi. Pada pengukuran secara langsung, perilaku nyeri dinilai berdasarkan pertimbangan dan keterampilan pengobservasi sedangkan metode tidak langsung biasanya berdasarkan sebuah video tape recording. Setiap metode ini memiliki keuntungan dan kerugian (Harahap, 2007).

Menurut Simmond (1999 dalam Moores & Watson, dalam Harahap 2007) metode pengukuran nyeri yang berguna tinggi adalah yang berguna, realibel, dapat diterima pasien, efektif biaya dan menyediakan umpan balik instan. Penelitian ini menggunakan laporan observasi perilaku nyeri (protocol observation pain behavior) yang didisain oleh Keefe dan Block tahun1982. PBOP ini terdiri dari lima bagian perilaku nyeri yang dinilai dalam tiga point skala (0= tidak ada, 1= sering, 2= selalu).

4. Pasangan Hidup

4.1. Gambaran Pernikahan

Hubungan setiap pasangan adalah unik. Sebelum menikah, idealnya pasangan harus melengkapi lima tugas (Potter & Perry, 2005). Pertama, mereka harus memastikan emosi mereka berdasarkan cinta daripada ketertarikan fisik atau seksual. Kedua, kedua pasangan harus menggali motivasi keinginan untuk


(48)

menikah. Ketiga, mereka harus berfokus pada pengembangan komunikasi yang jelas. Keempat, mereka harus memahami pola perilaku dan kebiasaan yang mengganggu yang tidak mungkin berubah setelah menikah. Terakhir, mereka harus menetapkan kompabilitas dalam keyakinan dan nilai yang penting.

Ketika membentuk rumah tangga dan keluarga, pasangan menikah harus mulai bekerja sebagai tim. Menurut Potter dan Perry (2005) Pasangan suami istri memiliki tugas-tugas sebagai berikut:

4.1.1 Membentuk hubungan intim

4.1.2 Memutuskan dan bekerja menghadapi tujuan yang sama

4.1.3 Menetapkan pedoman kekuasaan dan masalah pembuatan keputusan 4.1.4 Membuat standar untuk interaksi di luar keluarga

4.1.5 Membuka hubungan dengan orang lain untuk kehidupan sosial 4.1.6 Memilih nilai, moral, dan ideologi yang dapat diterima.

Keberhasilan pemecahan masalah yang dihadapi yang terjadi di dalam perkawinan menimbulkan saling pengertian masing-masing pasangan pernikahan. Hubungan pernikahan mencakup tahapan perkembangan yang berbeda. Tahap permulaan mulai saat pernikahan dan berlanjut sejalan dengan usaha pasangan untuk berfungsi sebagai pasangan (Niven, 1994).

4.2 Dukungan pasangan hidup pada penderita kanker kronis

Kanker merupakan penyakit yang sering terdiagnosa setelah berada pada stadium lanjut ataupun telah mengalami metastasis, hal ini disebabkan karena kanker tidak memunculkan gejala, keluhan muncul ketika sel-sel kanker telah


(49)

menginvasi ke bagian tubuh maupun organ lainnya (Will & Mervyn, 1991). Sel-sel kanker yang menginvasi menekan daerah disekitarnya sehingga tekanan ini menimbulkan keluhan nyeri ataupun ketidaknyamananan dan keadaan ini sering diperparah oleh faktor psikologi (Russel, 2007).

Nyeri kanker bisa bersifat akut maupun kronik. Nyeri kronik berlangsung lebih dari 6 bulan. Nyeri kronik seringkali menyebabkan penderitanya mengalami depresi karena nyeri yang tidak kunjung hilang. Pasien kanker akan mengalami nyeri sampai akhir hidup mereka karena itu sangat penting memberikan penatalaksaan nyeri yang baik kepada mereka (WHO, 1986).

Ada banyak hal yang mempengaruhi intensitas nyeri yang dialami oleh penderita kanker, salah satunya yaitu pengaruh dukungan pasangan hidup. Pasangan hidup mengambil peranan yang besar dalam penguatan pasien akan nyeri yang dialami (Cano, Barterian, Heller, 2008).

Individu yang mengalami nyeri biasanya tergantung pada dukungan atau bantuan dan perlindungan anggota keluarga atau teman dekat. Walaupun nyeri tetap dirasakan tetapi kehadiran orang yang dicintai pasien akan meminimalkan kesepian dan ketakutan (Potter & Perry, 2005).

Apabila tidak ada keluarga seringkali pengalaman nyeri membuat pasien merasa tertekan. Seperti yang dijelaskan diatas bahwa kehadiran pasangan hidup dan keluarga bisa mengurangi rasa nyeri yang dirasakan, namun ada juga yang lebih suka menyendiri ketika merasakan nyeri. Beberapa pasien menggunakan nyerinya untuk memperoleh perhatian khusus dan pelayanan dari keluarganya (Niven, 1994).


(50)

Dukungan dari pasangan hidup berpengaruh langsung terhadap nyeri pasien, hal ini yang dikemukakan oleh Block dkk (1988), yaitu dari sampel penelitian diperoleh bahwa pasien kanker yang merasa memperoleh dukungan dari pasangan hidupnya melaporkan nyeri yang lebih banyak dari pasien yang merasa tidak memperoleh dukungan dari pasangannya.

5. Hubungan Perilaku Nyeri Pasien Kanker Kronis dengan Kehadiran Pasangan Hidup

Pasangan hidup (suami atau istri) merupakan seorang sumber dukungan sosial yang penting bagi pasien dan dapat berperan sebagai seseorang yang mengakhiri diskriminasi dan penguat yang selektif terhadap ekspresi perilaku nyeri pasien (Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2007). Pernyataan yang sama juga dinyatakan oleh Kremer dan koleganya (1985) yaitu bahwa respon pasangan terhadap nyeri yang ditunjukkan dapat menguatkan dan merangsang perilaku nyeri pasien.

Flor, Breinstein, Birbelurner dan Furst (1994) melakukan studi untuk melihat hubungan interaksi perkawinan dan kecemasan pasangan hidup dalam mempersepsikan stimulus nyeri akut dan reaksi psikolofisiologi. Penelitian ini dilakukan dengan meneliti perilaku nyeri pasien ketika pasangan dihadirkan dengan tidak. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pasien yang memiliki pernikahan yang baik, pasangan hidupnya memberikan kecemasan yang lebih tinggi daripada pernikahan yang berkonflik dan pasien yang memiliki pasangan dengan kecemasan yang tinggi menunjukkan ekspresi nyeri yang lebih sedikit atau dapat dikatakan bahwa pasien menyembunyikan nyeri yang dirasakan. Dari


(51)

penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa ada hubungan kehadiran pasangan terhadap perilaku nyeri pasien.


(52)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

1. Kerangka Konseptual

Dukungan pasangan hidup pasien akan mempengaruhi perilaku nyeri pasien. Penelitian ini dikembangkan atas konsep di atas yaitu akan ditemukannya ada perbedaan perilaku nyeri yang ditunjukkan pasien pada saat didampingi pasangan hidupnya dengan saat tidak didampingi. Observasi perilaku nyeri pasien kanker kronis akan dilakukan dalam dua kondisi yang berbeda. Pada observasi yang pertama, pasangan hidup pasien diminta mendampingi pasien di ruangan sedangkan pada observasi yang kedua pasangan hidup pasien diminta untuk keluar dari ruangan kemudian akan dibandingkan hasil observasi perilaku nyeri yaitu antara perilaku nyeri pasien kanker kronis pada saat didampingi pasangan dengan tidak didampingi.

2. Kerangka Penelitian

Berdasarkan pemaparan konsep di atas, maka peneliti membuat kerangka penelitian ini seperti skema di bawah ini:

Nyeri Kanker Kronis

Didampingi Pasangan Hidup Pasien

Perilaku Nyeri Pasien

Tidak Didampingi Pasangan Hidup Pasien

Perilaku Nyeri Pasien


(53)

3. Defenisi Operasional

3.1Perilaku Nyeri yang Didampingi Pasangan Hidup

Merupakan respon terhadap nyeri kanker kronis yang dialami oleh pasien pada saat didampingi pasangan hidupnya yang dapat diobservasi pada perilaku merasa terjaga (guarding), menahan nyeri (bracing), menggosok bagian yang nyeri (rubbing), meringis (grimacing), dan mendesah (sighing) observasi ini dilakukan pada pasien yang mengalami nyeri ringan sampai sedang. Alat ukur yang digunakan adalah laporan observasi perilaku nyeri (pain behavior observation protocol). Laporan observasi perilaku nyeri berisi 8 aktivitas (task) yang harus dilakukan oleh pasien meliputi duduk selama satu menit dan selanjutnya untuk 2 menit, berdiri selama satu menit dan selanjutnya 2 menit, berbaring dua kali selama tiap-tiap satu menit dan berjalan dua kali selama satu menit. Hasil ukur yang akan didapatkan adalah rendah (0-3), sedang (4-7) dan tinggi (8-10) jadi skala datanya adalah ordinal.

3.1 Perilaku Nyeri yang Tidak Didampingi Pasangan Hidup

Merupakan respon terhadap nyeri kanker kronis yang dialami pasien pada saat tidak didampingi pasangan hidupnya yang dapat diobservasi pada perilaku merasa terjaga (guarding), menahan nyeri (bracing), menggosok bagian yang nyeri (rubbing), meringis (grimacing), dan mendesah (sighing) observasi ini dilakukan pada pasien yang mengalami nyeri ringan sampai sedang. Alat ukur yang digunakan adalah laporan observasi perilaku nyeri (pain behavior observation protocol). Laporan observasi perilaku nyeri berisi 8 aktivitas (task)


(54)

yang harus dilakukan oleh pasien meliputi duduk selama satu menit dan selanjutnya untuk 2 menit, berdiri selama satu menit dan selanjutnya 2 menit, berbaring dua kali selama tiap-tiap satu menit dan berjalan dua kali selama satu menit. Hasil ukur yang akan didapatkan adalah rendah (0-3), sedang (4-7) dan tinggi (8-10) jadi skala datanya adalah ordinal.

4. Hipotesa Penelitian

Dalam penelitian ini hipotesa yang dibuat yaitu hipotesa komparatif. Hipotesis dalam penelitian ini adalah hipotesis alternative (H1) yaitu ada perbedaan perilaku nyeri pasien kanker kronis yang didampingi pasangan hidup dengan yang tidak didampingi.


(55)

BAB 4

METODE PENELITIAN

1. Desain Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif komparatif yang bertujuan untuk melihat adakah perbedaan perilaku nyeri pasien kanker kronis yang didampingi pasangan hidup dengan yang tidak didampingi.

2. Populasi dan Sampel

2.1Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien kanker kronis yang didampingi oleh pasangan hidupnya selama dirawat di ruang rawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan.

2.2Sampel

Sampel penelitian ini adalah pasien kanker kronis yang didampingi pasangan hidupnya. Pada saat survey awal, peneliti tidak mendapatkan informasi yang lengkap mengenai jumlah pasien kanker kronis yang didampingi pasangan hidupnya yang dirawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan karena itu akhirnya peneliti menggunakan teknik pengambilan sampel dengan convenience sampling yaitu menentukan sampel dengan pertimbangan kemudahan. Adapun kriteria inklusi sampel adalah sebagai berikut:

2.2.1 Pasien yang didiagnosa mengidap kanker lebih dari 3 bulan

2.2.2 Pasien merasakan nyeri pada tingkat nyeri ringan dan sedang saat diobservasi


(56)

2.2.3 Pasien memiliki keadaan fisik yang memungkinkan pasien melakukan delapan task yang harus dilakukan sesuai dengan protokol PBOP misalnya pasien tidak pincang, dan lain-lain.

2.2.4 Pasien kooperatif dan bersedia menjadi sampel penelitian

3. Lokasi Penelitian

Penelitian telah dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan dari tanggal 25 Februari 2010 sampai 22 Mei 2010 pada ruang inap terpadu A3, ruang inap terpadu A5 dan ruang inap terpadu B2.

4. Pertimbangan Etik

Penelitian ini akan dilakukan setelah proposal penelitian mendapat persetujuan dari bagian pendidikan Fakultas Keperawatan dan permohonan izin dari direktur rumah sakit atau Komite Etik rumah sakit.

Dalam penelitian ini, hal yang berkaitan dengan permasalahan etik adalah sebagai berikut yaitu peneliti memberikan penjelasan kepada responden penelitian tentang tujuan, manfaat, dan prosedur pengisian kuesioner, meminta persetujuan responden dengan menandatangani informed consent, menjelaskan kepada responden bahwa responden berhak menolak dan mengundurkan diri pada saat proses pengisian kuesioner dengan alasan mereka tidak mendapat paksaan dari pihak lain, penelitian ini tidak mengakibatkan kerugian/resiko bagi responden, untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak mencantumkan nama


(57)

responden pada lembar pengumpulan data (kuesioner) yang diisi oleh responden dan lembar tersebut hanya diberi nomor kode tertentu.

Mengingat kepada pertimbangan etik di atas maka penelitian ini hanya akan dilakukan pada pasien kanker dengan tingkat nyeri ringan dan sedang, sedangkan pasien dengan nyeri berat tidak diikutsertakan. Apabila selama observasi nyeri pasien meningkat menjadi berat maka observasi akan diterminasi dan peneliti segera melaporkan ke dokter atau perawat di ruangan.

5. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan dalam pengumpulan data. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah data demografi dan laporan observasi perilaku nyeri (pain behavior observation protocol).

5.1 Data Demografi

Data demografi meliputi usia responden, jenis kelamin, agama, tingkat pendidikan, pekerjaan, diagnosa dan penanganan (treatment) yang sedang diikuti.

5.2 Laporan Observasi Perilaku Nyeri (Pain Behavior Observation Protocol) Laporan observasi perilaku nyeri terdiri dari lima item perilaku nyeri yaitu; terjaga (guarding), menahan nyeri (bracing), menggosok bagian yang nyeri (rubbing), meringis (grimacing), dan mendesah (sighing) (Harahap, 2007). Perilaku nyeri diobservasi secara langsung ketika pasien melakukan serangkaian 8 aktivitas yang berbeda. Delapan aktivitas ini diadaptasi dari laporan yang distandarkan oleh Kefee dan Block (1982 dalam Harahap, 2007), terdiri dari duduk selama satu menit dan selanjutnya untuk 2 menit, berdiri selama satu menit


(58)

dan selanjutnya 2 menit, berbaring dua kali selama tiap-tiap satu menit dan berjalan dua kali selama satu menit (Keefe & Block, 1982, 2002 dalam Harahap, 2007). Protokol ini telah direliabelkan dengan inter-rater reliability dengan nilai kesepakatan .93 itu artinya prokol ini memiliki reliabel yang baik ( Harahap, 2006).

Protokol ini kemudian diterjemahkan oleh Harahap dengan peterjemah dua bahasa. Protokol ini aslinya dalam bahasa inggris jadi diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia sehingga relevan dengan kebudayaan Indonesia.

Perilaku nyeri diberi nilai 0 untuk tidak ada perilaku nyeri ketika diobservasi selama 10 menit beraktivitas, nilai 1 untuk perilaku nyeri terjadi sekali pada saat beraktivitas tetapi tidak pada keseluruhan aktivitas dan nilai 2 untuk perilaku nyeri yang terjadi sekali pada setiap aktivitas, atau terjadi lebih dari sekali pada keseluruhan aktivitas. Total perilaku nyeri merupakan jumlah lima perilaku nyeri. Skor tertinggi (10) mengindikasikan ekspresi perilaku nyeri tingkat tertinggi. Untuk interpretasi skor laporan observasi perilaku nyeri, jumlah skor perilaku nyeri dibagi ke dalam 3 tingkatan yaitu rendah, sedang dan tinggi (Tabel 1). Tiap bagian skor laporan observasi perilaku nyeri juga dibagi ke dalam tiga tingkatan yaitu rendah (0-0.67), sedang (0.77-1.24) dan tinggi (1.24-2.00).

Tabel 1 Tingkatan skor perilaku nyeri

Skor Tingkatan

0-3 Rendah

4-7 Sedang


(59)

6. Pengumpulan Data

6.1 Permohonan izin pelaksaan penelitian didapatkan dari institusi pendidikan (Fakultas Keperawatan USU).

6.2 Mengajukan permohonan izin pelaksanaan penelitian kepada direktur RSUP Haji Adam Malik Medan.

6.3 Mengajukan permohonan izin kepada Kepala ruang rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan.

6.4 Peneliti menjelaskan kepada calon responden tentang tujuan, manfaat penelitian dan prosedur pengumpulan data.

6.5Peneliti meminta calon responden menandatangani lembar persetujuan sebagai bentuk persetujuan bersedia menjadi responden.

6.6Kemudian peneliti mengobservasi perilaku nyeri responden selama sepuluh menit berdasarkan protokol PBOP yang terdiri dari duduk selama satu menit dan kemudian diulangi selama dua menit, berdiri selama satu menit dan kemudian diulangi selama dua menit, berbaring sebanyak dua kali masing-masing selama satu menit, berjalan sebanyak dua kali masing-masing selama satu menit. Untuk observasi perilaku nyeri pertama, prosedur diatas dilakukan dengan meminta pasangan hidup pasien mendampingi pasien di dalam ruangan sedangkan untuk observasi perilaku nyeri kedua pasangan hidup pasien tidak dihadirkan dalam ruangan.

6.7Setelah semua data terkumpul akan dilanjutkan ke dalam pengelolaan dan analisa data.


(60)

7. Analisa Data

Setelah semua data terkumpul, data akan diolah dengan komputerisasi. Metode statistik untuk analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Statistik univariat

Statistik univariat adalah suatu prosedur untuk menganalisa data dari suatu variabel yang bertujuan untuk mendeskripsikan suatu hasil penelitian (Polit & Hungler, 1999). Pada penelitian ini analisa data dengan metode statistik univariat akan digunakan untuk menganalisa data demografi, variabel 1 (perilaku nyeri yang yang didampingi) dan variabel 2 (perilaku nyeri yang tidak didampingi). Untuk menganalisa variabel perilaku nyeri yang didampingi dengan perilaku nyeri yang tidak didampingi akan dianalisis dengan menggunakan skala ordinal dan akan ditampilkan dalam distribusi frekuensi. 2. Statistik bivariat

Statistik bivariat digunakan untuk melihat perbedaan antara perilaku nyeri saat didampingi dengan yang tidak didampingi. Data yang diperoleh diuji normalitasnya menggunakan Shapiro-Wilk jika jumlah responden <50 sedangkan jika >50 maka akan diuji dengan Kolmogrove-Smirnov. Jika data yang diperoleh berdistribusi normal maka akan diuji dengan uji t paried/ dependent tetapi jika ditemukan data tidak berdistribusi normal maka uji yang digunakan adalah sign rank test Wilcoxon. Hasil analisa akan diperoleh nilai p, jika nilai p <0.05 itu berarti ada perbedaan perilaku nyeri pasien kanker kronis yang didampingi dengan yang tidak didampingi sedangkan jika nilai p >0.05 itu berarti tidak ada perbedaan (Arikunto, 2005).


(61)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan hasil penelitian dan pembahasan penelitian tentang perbedaan perilaku nyeri pasien kanker kronis yang didampingi pasangan hidup dengan yang tidak didampingi di RSUP H.Adam Malik Medan. Pengambilan data dilakukan mulai tanggal 25 Februari 2010 sampai 22 Mei 2010 terhadap 23 orang responden yang sedang rawat inap di RINDU A3, RINDU A5 dan RINDU B2.

1. Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini menguraikan karakteristik demografi responden, perilaku nyeri pasien kanker kronis dan perbedaan perilaku nyeri pasien kanker kronis yang didampingi pasangan hidup dengan yang tidak didampingi.

1.1 Karakteristik Demografi Responden

Karakteristik responden penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari setengah responden (56.5%) berusia dewasa madya tengah dengan rentang 41-60 tahun (M=45.13, SD= 10.94). Lebih dari setengah responden adalah laki-laki (56.5%) dan lebih dari setengah responden beragama Islam (56.5%) serta paling banyak responden adalah suku Batak (47.8%). Tingkat pendidikan responden paling banyak adalah tamatan SD (34.8%) dan paling banyak responden (39.1%) tidak memiliki pekerjaan (Ibu Rumah Tangga).

Berkaitan dengan diagnosa penyakit, paling banyak diagnosa penyakit responden adalah NPC (30.4%) kemudian Ca. Mammae (17.4%). Paling banyak responden sedang tidak mengikuti treatment (43.5%), tetapi sedang rawat inap dalam persiapan mengikuti salah satu treatment beberapa hari


(62)

kemudian. Treatment yang paling banyak dijalani oleh responden adalah kemoterapi (39.1%).

Data demografi responden dapat dilihat pada tabel 5.1

Tabel 1.Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik demografi responden (N=23)

Karakteristik Demografi Frekuensi %

1. Usia

25-40 tahun 9 39.1

41-60 tahun 13 56.5

>60 tahun (M= 45.13, SD=10.94) 1 4.3

2. Jenis kelamin

Laki-laki 13 56.5

Perempuan 10 43.5

3. Agama

Islam 13 56.5

Kristen 9 39.1

Katolik 1 4.3

4. Suku

Batak 11 47.8

Jawa 5 21.7

Aceh 5 21.7

Melayu 1 4.3

Lain-lain 1 4.3

5. Pendidikan

SD 8 34.8

SMP 5 21.7

SMA 6 26.1

Sarjana 1 4.3

Lain-lain 3 13

6. Pekerjaan

Petani 8 34.8

Pegawai Swasta 4 17.4

Wiraswasta 3 13

Tidak Bekerja 8 34.8

7. Diagnosa

NPC 7 30.4

Ca.Mammae 4 7.4

Tumor Paru 2 8.7


(63)

Karakteristik Demografi Frekuensi %

OMSK Malignant 2 8.7

Lain-lain 6 26.1

9. Treatment

Kemoterapi 9 39.1

Pembedahan 3 13

Radioterapi 1 4.3

Tidak mengikut i treatment 10 43.5

1.2. Perilaku Nyeri Pasien Kanker Kronis yang Didampingi Pasangan dengan yang Tidak Didampingi.

Pada saat didampingi sebagian besar responden memiliki perilaku nyeri dalam level rendah (73.9%) dan skor item perilaku nyeri yang paling tinggi adalah menahan nyeri (bracing) (M=0.83) yaitu dalam level sedang.

Pada saat pasien tidak didampingi, sebagian besar responden memiliki perilaku nyeri dalam level rendah (82.6%) dan skor item perilaku nyeri yang paling tinggi adalah menahan nyeri (bracing) (M=0.94) yaitu dalam level sedang.

Tingkat perilaku nyeri pasien kanker kronis yang didampingi pasangan hidup dengan yang tidak didampingi dapat dilihat pada tabel 5.2

Tabel 2.Tingkat perilaku nyeri pasien kanker kronis saat didampingi pasangan hidup dan saat tidak didampingi (N=23)

Tingkat Didampingi Tidak Didampingi

Perilaku Nyeri Frekuensi % Frekuensi %

Rendah (0-3) 17 73.9 19 82.6

Sedang (4-7) 5 21.7 3 13

Tinggi (8-10) 1 4.3 1 4.3

(M= 3, SD= 1.65, (M= 2.74, SD= 1.84 min-max= 1-8) min-max= 1-9


(64)

. Parameter item perilaku nyeri terdiri dari terjaga (guarding), menahan nyeri (bracing), menggosok bagian yang nyeri (rubbing), meringis (grimacing), dan mendesah (sighing). Tingkatan skor perilaku nyeri pasien saat didampingi pasangan hidup dapat dilihat pada tabel 5.3 sedangkan tingkatan skor perilaku nyeri pasien saat tidak didampingi pasangan hidup dapat dilihat pada tabel 5.4

Tabel 3.Tingkatan skor perilaku nyeri pada saat didampingi pasangan hidup

Perilaku Nyeri Skore aktual Mean S D Level Menahan nyeri 0-2 0.84 0.73 Sedang (Bracing)

Terjaga (Guarding) 0-2 0.71 0.66 Rendah Menggosok bagian 0-2 0.33 0.40 Rendah yang nyeri (Rubbing)

Meringis (Grimacing) 0-2 0.17 0.39 Rendah Mendesah (Sighing) 0-2 0.054 0.17 Rendah

Tabel 4.Tingkatan skor perilaku nyeri pada saat tidak didampingi pasangan hidup

Perilaku Nyeri Skore aktual Mean SD Level

Menahan Nyeri 0-2 0.98 0.62 Sedang

(Bracing)

Terjaga (Guarding) 0-2 0.64 0.70 Rendah Menggosok bagian 0-2 0.28 0.29 Rendah yang nyeri (rubbing)

Meringis (Grimacing) 0-2 0.12 0.38 Rendah Mendesah (Sighing) 0-2 0.10 0.37 Rendah

1.3. Perbedaan Perilaku Nyeri Pasien Kanker Kronis yang Didampingi Pasangan Hidup dengan yang Tidak Didampingi

Data yang diperoleh diuji normalitasnya dengan uji shapiro-wilk karena jumlah sampelnya hanya 23 orang, dari uji normalitas yang dilakukan didapatkan bahwa data-data yang diperoleh tidak berdistribusi normal. Dengan


(65)

demikian peneliti menggunakan uji non-parametik sign rank test (Wilcoxon) untuk mengidentifikasi perbedaan perilaku nyeri pasien kanker kronis yang didampingi pasangan hidup dengan yang tidak didampingi. Hasil penelitian diperoleh p=0.3 (>0.05). Hal ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan perilaku nyeri pasien kanker kronis saat didampingi dengan saat tidak didampingi. Dengan demikian H1 ditolak dan H0 diterima.

Perbedaan perilaku nyeri yang didampingi dengan yang tidak didampingi dapat dilihat pada tabel 5.6

Tabel 6. Hasil uji non-parametrik sign rank test (Wilcoxon) perbedaan perilaku nyeri pasien kanker kronis yang didampingi pasangan hidup dengan yang tidak didampingi

Variabel Z score Sig.

Perilaku nyeri pasien kanker kronis yang didampingi pasangan hidup dengan yang tidak didampingi

-1.037 0.300

2. Pembahasan

2.1. Karakteristik Demografi Responden

Data demografi menunjukkan bahwa usia responden terbesar adalah dewasa madya tengah (56,5%) dengan rata-rata usia 45.13 (SD= 10.94). Data diatas didukung oleh data yang dipaparkan dalam Journal of Gynecologic Oncology (2009) yang menyatakan bahwa distribusi usia penyakit kanker tertinggi di Indonesia berada pada rentang usia 45-54 tahun. Potter & Perry


(1)

Agama

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid islam 13 56.5 56.5 56.5

kristen 9 39.1 39.1 95.7

katolik 1 4.3 4.3 100.0

Total 23 100.0 100.0

Suku

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Melayu 1 4.3 4.3 4.3

Batak 11 47.8 47.8 52.2

jawa 5 21.7 21.7 73.9

aceh 5 21.7 21.7 95.7

lain-lain 1 4.3 4.3 100.0

Total 23 100.0 100.0

Pendidikan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid SD 8 34.8 34.8 34.8

SMP 5 21.7 21.7 56.5

SMA 6 26.1 26.1 82.6

Sarjana 1 4.3 4.3 87.0

Lain-lain 3 13.0 13.0 100.0


(2)

Pekerjaan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Wiraswasta 3 13.0 13.0 13.0

Pegawai Swasta 4 17.4 17.4 30.4

Petani 8 34.8 34.8 65.2

Tidak bekerja 8 34.8 34.8 100.0

Total 23 100.0 100.0

Diagnosa

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid NPC 7 30.4 30.4 30.4

Tumor Paru 2 8.7 8.7 39.1

Ca. Mammae 4 17.4 17.4 56.5

Ca. Mandibula 2 8.7 8.7 65.2

OMSK Malignant 2 8.7 8.7 73.9

Tumor mediastinum 1 4.3 4.3 78.3

Ca. Laring 1 4.3 4.3 82.6

Ca. Bibir 1 4.3 4.3 87.0

Malignant Fibrose

Histiotistima 1 4.3 4.3 91.3

Tumor mammae Pyloideus 1 4.3 4.3 95.7


(3)

Treatment

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Pembedahan 3 13.0 13.0 13.0

Kemoterapi 10 43.5 43.5 56.5

Radioterapi 1 4.3 4.3 60.9

Lain-lain 9 39.1 39.1 100.0

Total 23 100.0 100.0

2.

Perilaku Nyeri

2.1 Perilaku Nyeri Responden Ketika didampingi Pasangan (Frekuensi, Persentasi

dan Diagram)

Statistics

P.Npasanganhadir

N Valid 23

Missing 0

P.Npasanganhadir

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 0-3 17 73.9 73.9 73.9

4-7 5 21.7 21.7 95.7

8-10 1 4.3 4.3 100.0


(4)

2.2 Perilaku Nyeri Responden ketika tidak Didampingi Pasangan (Frekuensi,

Persentasi dan Diagram)

Statistics

P.Npasanganabsen

N Valid 23

Missing 0

P.Npasanganabsen

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 0-3 19 82.6 82.6 82.6

4-7 3 13.0 13.0 95.7


(5)

2.3

Perbedaan perilaku nyeri paisen kanker kronis yang didampingi pasangan

hidup dengan yang tidak didampingi

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks P.Npasanganabsen -

P.Npasanganhadir

Negative Ranks 10a 9.75 97.50

Positive Ranks 7b 7.93 55.50

Ties 6c

Total 23

a. P.Npasanganabsen < P.Npasanganhadir b. P.Npasanganabsen > P.Npasanganhadir


(6)

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks P.Npasanganabsen -

P.Npasanganhadir

Negative Ranks 10a 9.75 97.50

Positive Ranks 7b 7.93 55.50

Ties 6c

Total 23

a. P.Npasanganabsen < P.Npasanganhadir c. P.Npasanganabsen = P.Npasanganhadir

Test Statisticsb

P.Npasanganab sen - P.Npasanganha

dir

Z -1.037a

Asymp. Sig. (2-tailed) .300 a. Based on positive ranks.