Karakteristik Pioderma Superfisialis Pada Bayi dan Anak di SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan Periode Tahun 2010 – 2012

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pioderma Superfisialis
PS adalah infeksi pada kulit yang terjadi dibawah stratum korneum sampai
dermis atau pada folikel rambut.5,6,7 Pada anak-anak PS pada kulit dan aneksa
yang sering dijumpai antara lain impetigo, folikulitis, furunkulosis dan karbunkel.
Pada PS ini jika diagnosis ditegakkan sejak awal dan diberikan terapi adekuat,
infeksi hampir selalu dapat disembuhkan, namun jika diagnosis terlambat dan atau
terapi tidak adekuat, beberapa infeksi mempunyai potensi untuk terjadinya
komplikasi yang serius.8

2.2 Etiologi
Penyebab utama PS adalah kuman Gram positif, yaitu stafilokokus dan
streptokokus, sedangkan sebagian kecil kasus disebabkan oleh kuman Gram
negatif. Beberapa galur kuman yang dianggap penting pada penyakit ini, antara
lain Stafilokokus aureus yang digolongkan ke dalam 3 grup faga utama, yaitu
grup I, II, dan III. Kuman ini merupakan penyebab tersering PS. Genus
streptokokus yang tersering menyebabkan infeksi pada manusia adalah

Streptokokus β-hemolitikus grup A (SBHA). Kuman penyebab Gram negatif
jarang dijumpai, yaitu Pseudomonas aeroginosa, Proteus vulgaris, Proteus
mirabilis, Escherichia, dan Klebsiella.5

5
Universitas Sumatera Utara

6

2.3 Patogenesis
Faktor predisposisi yang dapat menyebabkan penyakit pioderma: 1,2,5,8
1.

Higiene yang buruk dan kondisi iklim yang lembab

2.

Penurunan daya tahan tubuh, misalnya karena penyakit menahun, kurang
gizi, penyakit keganasan, penggunaan kortikosteroid jangka panjang.


3.

Adanya penyakit lain di kulit yang menyebabkan terganggunya faktor
perlindungan kulit, misalnya dermatitis, gigitan serangga, trauma kulit,
ulserasi, infeksi jamur dan abrasi kulit minor
Proses kolonisasi kuman pada kulit melibatkan reseptor spesifik terhadap

kuman pada sel pejamu yang akan berikatan dengan adesin, yaitu antigen pada
dinding sel kuman. Komponen utama adesin pada streptokokus dan stafilokokus
adalah techoic acid, sedangkan pada reseptor hospes berupa fibronektin.1,5,11,12
Beberapa keadaan yang berhubungan dengan ketidak utuhan kulit seperti
pada kulit bayi prematur (imaturitas kulit bayi) merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya infeksi pada kulit. Selain itu keadaan seperti berat badan lahir rendah,
maserasi, ekskoriasi dan ketidak utuhan sawar epidermal juga merupakan faktor
risiko terjadinya infeksi pada kulit. Apabila terjadi infeksi pada kulit umpamanya
pada penyakit pioderma biasanya tempat masuknya bakteri akan muncul gejala
atau tanda inflamasi.13
2.4 Klasifikasi dan Gambaran Klinis
Pioderma menggambarkan infeksi di kulit dan folikel rambut. Pioderma
dibedakan menjadi pioderma superfisialis dan profunda. PS oleh stafilokokus

maupun streptokokus terdiri pioderma primer yang terdiri atas beberapa bentuk
klinis, yaitu impetigo, ektima, folikulitis, furunkel dan karbunkel, serta pioderma

Universitas Sumatera Utara

7

sekunder. Sedangkan bentuk profunda terdiri atas limfadenitis, erisepelas,
selulitis, dan ganggren.5
2.4.1 Impetigo
Impetigo merupakan pioderma yang tersering dijumpai, mencapai 50-60%
dari seluruh kasus infeksi kuman kulit pada anak. Impetigo merupakan infeksi
superfisial yang terbatas pada subkorneal epidermis.1,2,5 Terdapat 2 bentuk klinis
impetigo, yaitu bulosa (vesikobulosa) dan nonbulosa (krustosa, kontangiosa).
Impetigo bulosa (IB) disebabkan oleh kuman Stafilokokus aureus. Sedangkan
impetigo nonbulosa biasanya disebabkan oleh Streptokokus β-hemolitikus.1,2,14
IB sering terjadi pada bayi baru lahir, meskipun dapat terjadi juga pada semua
umur. Sebuah penelitian di Inggris menyebutkan bahwa insiden tahunan dari
impetigo adalah 2.8 % terjadi pada anak-anak usia di bawah 4 tahun dan 1,6%
pada anak - anak usia 5 sampai 15 tahun.2 Impetigo nonbulosa atau impetigo

krustosa meliputi kira-kira 70% dari semua kasus impetigo 1,15
Impetigo nonbulosa terjadi pada anak - anak dari segala usia dan juga pada
orang

dewasa.

Kulit

utuh

biasanya

resisten

terhadap

kolonisasi

atau


impetiginisasi, mungkin disebabkan ketiadaan reseptor fibronektin untuk gugus
techoic acid pada Stafilokokus aureus dan Streptokokus grup A. Dalam rangkaian
tipikal, Stafilokokus aureus menyebar dari hidung ke kulit normal (kira - kira 11
hari kemudian) dan kemudian berkembang kedalam lesi kulit. Lesi umumnya
muncul pada kulit wajah (terutama sekitar lubang hidung) atau pada ekstremitas
setelah trauma. Karier Stafilokokus aureus nasal bisa muncul dengan tipe
impetigo sangat terlokalisasi yang terbatas pada lubang hidung anterior dan
daerah bibir didekatnya dimana pruritus atau perih di daerah tersebut merupakan

Universitas Sumatera Utara

8

keluhan umum. Kondisi yang mengganggu integritas epidermis

memberikan

jalan masuk impetiginisasi, meliputi gigitan serangga, dermatofitosis epidermal,
herpes simpleks, varisela, abrasi, laserasi dan luka bakar panas.2,16
Lesi awal pada impetigo nonbulosa adalah vesikel atau pustul bersifat

sementara yang dengan cepat berkembang menjadi plak berkrusta berwarna madu
yang bisa berukuran hingga berdiameter lebih besar dari 2 cm. Jika dilepaskan
tampak erosi di bawahnya. Sering krusta menyebar ke daerah perifer dan sembuh
di bagian tengahnya. Bisa muncul eritema di sekeliling lesinya. Pada impetigo
nonbulosa tidak dijumpai gejala - gejala konstitusional. Limfadenopati regional
bisa ada hingga pada 90% pasien dengan infeksi berkepanjangan yang tidak
diobati. Bila tidak diobati, lesi bisa membesar secara perlahan-lahan dan dapat
melibatkan tempat - tempat yang baru dalam beberapa minggu. Pada sebagian
pasien, lesi dapat berkembang secara spontan. Pada yang lainnya, lesi bisa
menyebar ke dermis dan dapat membentuk ulkus.1,2,5 Penyakit impetigo non
bulosa dapat didiagnosis banding dengan beberapa penyakit antara lain dermatitis
seboroik, dermatitis atopik, dermatitis kontak alergi, infeksi dermatofita epidermal
dan juga herpes simpleks.2
Pada IB terdapat 3 tipe erupsi kulit yang bisa dihasilkan oleh Stafilokokus
aureus grup faga II terutama strain 77 dan 55,

yaitu (1)

impetigo bulosa,


(2) penyakit eksfoliasi SSSS, dan (3) erupsi skarlatiniformis non streptokokal
(demam skarlet). Ketiganya merupakan reaksi kulit terhadap toksin eksfoliatif
(eksfoliatin) tipe A dan tipe B yang diproduksi oleh stafilokokus. Toksin
eksfoliatif A bertindak sebagai serin protease dari desmoglein 1, kadherin
desmosomal yang juga merupakan target autoantibodi pada pemfigus foliaseus.2

Universitas Sumatera Utara

9

Dalam sebuah penelitian tentang IB, 51% pasien mempunyai Stafilokokus
aureus secara bersamaan yang dikultur dari hidung atau tenggorokan, dan 79 %
kultur menumbuhkan strain yang sama dari kedua tempat. IB lebih umum terjadi
pada bayi baru lahir dan pada bayi yang lebih besar, dan dicirikan oleh
perkembangan yang cepat vesikel menjadi bula yang lunak. Pada puluhan tahun
silam, IB yang ekstensif ( istilah kuno: pemfigus neonatorum atau penyakit Ritter)
terjadi epidemik di lingkungan ruangan neonatus. Bula biasanya muncul di bagian
kulit yang tampak normal dan tidak dijumpai tanda Nikolsky.1,2
Bula pada awalnya mengandung cairan kuning bening yang selanjutnya
berubah menjadi kuning pekat dan terlihat keruh. Bula ini sifatnya superfisial, dan

dalam satu atau dua hari, bula akan ruptur yang kadang-kadang membentuk krusta
tipis berwarna coklat muda hingga kuning keemasan. Masa inkubasi atau waktu
terkena penyakit ini sampai tampak gejalanya memakan waktu 1 sampai 3 hari.
Hal ini tergantung pada kondisi tubuh pasien. Insiden impetigo ini terjadi hampir
di seluruh dunia dan pada umumnya menyebar melalui kontak langsung. Tempat
predileksi IB ini bisa di ketiak, dada dan punggung, sering bersama - sama dengan
miliaria. Kelainan kulit dapat berupa eritema, bula, dan bula hipopion. Kadangkadang waktu penderita datang berobat, vesikel/bula telah memecah sehingga
yang tampak hanya kolaret dan dasarnya masih terlihat eritematosa.1,2,16
Pada pemeriksaan laboratorium yaitu pewarnaan Gram dari eksudat IB
menunjukkan bentuk kokus Gram-positif dalam kelompok - kelompok
Stafilokokus aureus, termasuk kedalam grup phaga II bisa dikultur dari isi bula
yang utuh. Dari pemeriksaan histologi, pada lesi IB menunjukkan adanya
pembentukan vesikel di daerah subkorneal atau granular, kadang - kadang

Universitas Sumatera Utara

10

dijumpai sel akantolitik didalam lepuh, spongiosis, edema papila dermis, dan
infiltrat yang mengandung campuran limfosit dan neutrofil di sekitar

pembuluh - pembuluh darah pleksus superfisial.1,2 Penyakit IB dapat didiagnosis
banding terhadap beberapa penyakit antara lain dermatitis kontak, pemfigus
vulgaris, pemfigoid bulosa dan eritema multiforme.2,17
Prognosis penyakit IB ini, bila tidak diobati, infeksi invasif dapat
menyebabkan komplikasi impetigo Stafilokokus aureus dengan selulitis,
limfangitis, dan bakteremia, yang bisa menyebabkan osteomilitis, artritis septik,
pneumonitis, dan septikemia. Produksi eksfoliatin bisa menyebabkan SSSS pada
bayi dan pada orang dewasa yang sedang dalam keadaan imunodefisiensi ataupun
pada gangguan fungsi ginjal.2,18,19

A

B

C

D

Gambar 2.1. (A), (B) dan (C) impetigo bulosa, (D) impetigo non
bulosa *Dikutip sesuai dengan kepustakaan nomor 2,8


2.4.2 Folikulitis
Folikulitis adalah pioderma yang berawal di dalam folikel rambut, dan
diklasifikasikan menurut kedalaman invasinya ( superfisial dan dalam). Folikulitis

Universitas Sumatera Utara

11

superfisialis juga disebut impetigo Bockhart, merupakan peradangan yang terbatas
pada muara rambut. Lesi berupa pustul kecil seperti kubah pada lubang muara
rambut, sehingga pada pustulnya sering disertai rambut di tengahnya dan kulit di
sekitarnya tampak kemerahan, tidak mengganggu pertumbuhan rambut dan
rambut tidak mudah dicabut. Penyakit ini cepat meluas ke folikel lain disertai rasa
gatal dan kadang - kadang agak sakit. Tempat-tempat yang sering dikenai adalah
daerah ekstremitas terutama ekstensor, bokong, muka terutama perioral dan kulit
kepala.2,5,17,20
Folikulitis

profunda


gambaran

klinisnya

sama

seperti

folikulitis

superfisialis, hanya saja teraba infiltrat di subkutan dan letaknya lebih dalam.
Contohnya “sikosis barbae” yang berlokasi di bibir atas dan dagu. Jika tidak
diobati, lesi bisa menjadi lebih dalam letaknya dan kronis.5,14,18 Faktor pemicu
folikulitis ini meliputi lingkungan yang lembab, higiene yang buruk, maserasi,
drainase dari luka dan abses. Folikulitis bisa menjadi kronis dimana
folikel - folikel rambut banyak dan letaknya dalam pada kulit. Pada Pewarnaan
Gram dan kultur pus biasanya dapat mengidentifikasi organisme penyebab.
Organisme penyebab paling umum adalah Stafilokokus aureus.1,2,4,21
2.4.3 Furunkel dan Karbunkel
Furunkel ialah radang folikel rambut dan sekitarnya. Jika lebih daripada
satu disebut furunkulosis. Furunkel relatif jarang ditemukan pada awal kanakkanak tetapi insidensnya meningkat pada dewasa, terutama yang tinggal di
lingkungan padat dengan higiene yang buruk. Furunkel dimulai dengan nodul
kecil berwarna kemerahan, keras dan sakit, kemudian dalam beberapa hari akan
bertambah besar terjadi fluktuasi, pustul dan nekrosis di bagian tengahnya.
Furunkel muncul sebagai papul dan papulonodul perifolikuler akut dan terasa

Universitas Sumatera Utara

12

nyeri, paling sering ditemukan di leher, wajah, bokong, ketiak dan pada lipat paha.
Rasa nyeri bervariasi, makin akut dan besar makin terasa nyeri, rasa nyeri lebih
hebat apabila terjadi pada hidung atau pada liang telinga luar.5,9,19 Lesi dapat
tunggal atau multipel dan cenderung berkelompok, kadang - kadang dapat disertai
demam dan gejala konstitusi ringan. Selanjutnya sering terjadi ruptur pada mata
bisul dan mengeluarkan pus, setelah itu tanda peradangan akan berkurang dalam
beberapa

hari

sampai

beberapa

minggu.

Kemudian

akan

menyembuh

meninggalkan bercak berwarna violet dan akhirnya dapat menjadi jaringan parut
yang permanen.1,2,22 Faktor pemicu yang dapat menyebabkan furunkulosis antara
lain higiene yang buruk, hiperhidrosis, obesitas, diabetes, seboroik, anemia, gizi
buruk dan keadaan imunodefisiensi. Furunkulosis dapat di diagnosis banding
terhadap beberapa penyakit diantaranya dengan akne kistik, kerion, dan
hidradenitis supurativa.2,23
Karbunkel adalah kumpulan dari dua atau lebih furunkel, merupakan nodul
yang kemerahan, nyeri tekan, pada awalnya keras, lebih dalam dan lebih nyeri
dibanding furunkel. Di tengah lesi timbul kawah ireguler berwarna abu-abu
kekuningan yang dapat sembuh perlahan dengan membentuk jaringan granulasi.
Sering tampak jaringan parut permanen pada penyembuhan. Dapat dijumpai lebih
dari satu mata, tempat bermuaranya abses. Lokasi yang sering terkena ialah di
tengkuk, pundak, bokong dan paha. Tidak jarang disertai keluhan demam dan
malaise.1,5,9,24 Karbunkel umumnya terjadi pada kelompok umur yang lebih tua
daripada furunkel.2,25,26

Universitas Sumatera Utara

13

Gambar 2.2. Klasifikasi penyakit infeksi bakteri pada folikel rambut
*Dikutip sesuai dengan kepustakaan nomor 6

2.4.4 Ektima
Ektima ialah ulkus superfisial dengan krusta di atasnya yang disebabkan
infeksi oleh infeksi streptokokus. Ektima biasanya terjadi pada impetigo yang
dibiarkan tidak diobati sehingga menjadi lebih dalam melewati epidermis,
membentuk ulkus dangkal yang berkrusta. Ektima biasanya terdapat pada
ekstremitas bawah.1,5,6 Ulkus mempunyai gambaran ‘punch out” saat krusta kotor
kuning keabuan dan bahan purulen dibersihkan. Tepi ulkus berindurasi, meninggi,
dan keunguan dengan dasar jaringan granulasi yang meluas sampai ke dermis.
Ektima yang tidak diobati dapat meluas dalam beberapa minggu sampai beberapa
bulan mencapai diameter 2 - 3 cm atau lebih, lesi menyembuh secara lambat dan
memerlukan pengobatan antibiotik selama beberapa minggu.5,9,22,27
Lesi ektima bisa berkembang dari pioderma primer atau didalam
dermatosis yang sudah ada sebelumnya. Ektima ganggrenosum adalah ulkus yang
disebabkan Pseudomonas aeruginosa dan mirip dengan ektima stafilokous atau
streptokokus.1,23,24 Ektima paling umum terjadi pada ekstremitas bawah anakanak, atau pasien lansia yang diabaikan, atau pada penderita diabetes melitus.
Higiene yang buruk dan kelalaian merupakan unsur-unsur pokok dalam
patogenesisnya.2,21,25,28

Universitas Sumatera Utara

14

Laporan dari beberapa penelitian menyatakan hampir 85% kasus ektima
diakibatkan oleh streptokokus grup A, peneliti lain mendapatkan Stafilokokus
aureus 66%, dan peneliti lain menemukan infeksi campuran oleh keduanya.

Gambar 2.3. Penyakit infeksi kulit ektima
*Dikutip sesuai dengan kepustakaan nomor 8

2.5 Pemeriksaan Penunjang
Untuk memastikan diagnosis klinis dapat dilakukan pemeriksaan
pewarnaan Gram serta biakan dan kepekaan kuman terhadap antibiotika.
Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan karena diagnosis dapat ditegakkan dengan
gambaran klinis. Pemeriksaan biakan dan kepekaan kuman dilakukan untuk
mendapatkan pilihan obat pada kasus yang tidak responsif terhadap terapi
konvensional. Bahan pemeriksaan diambil dari apusan (swab) lesi atau eksudat.
Pada pewarnaan Gram akan dijumpai kokus Gram - positif, tersususn berbentuk
rantai atau berkelompok seperti anggur (cluster).5,27,28 Pemeriksaan uji kepekaan
antibiotika menjadi sangat penting untuk pengobatan penyakit infeksi.
Pemeriksaan ini berguna sebagai pedoman klinisi untuk memilih antibiotika yang
tepat dan data epidemiologi resistensi kuman di suatu daerah. Pemilihan
antibiotika yang digunakan bergantung penggunaan di tiap daerah.5,26,29

Universitas Sumatera Utara

15

2.6 Pengobatan
Tujuan pengobatan pioderma adalah menghilangkan kuman penyebab
sehingga dapat sembuh dengan cepat dan mencegah penyebaran penyakit.
Pemilihan terapi antibiotika oral atau topikal bergantung pada pengalaman dokter,
cara yang lebih disukai pasien, dan pola resistensi kuman. Perawatan kulit
meliputi membersihkan, mengangkat krusta, dan melakukan kompres basah
sebelum pengolesan antibiotika akan mempercepat penyembuhan.5,6,21,30
Secara umum untuk lesi yang terbatas tanpa komplikasi diberikan terapi
topikal. Antibiotika topikal pilihan pertama yang sering digunakan adalah
golongan asam fusidat, mupirosin, dan neomisin-basitrasin, atau antiseptik
topikal. Pada anak umumnya pemberian obat topikal lebih nyaman dibandingkan
pemberian secara oral. Sebaiknya dihindari pemakaian antibiotika topikal yang
bersamaan dengan sistemik untuk mencegah resistensi dan sensitisasi. Pada kasus
tertentu dan untuk dapat membunuh kuman dapat diberikan antibiotika sistemik
golongan penisilin, eritromisin, dan sefalosporin.1,5,28,31
Pengobatan untuk impetigo non bulosa jika krusta sedikit, dilepaskan dan
diberi salap antibiotika. Kalau banyak diberikan juga antibiotika sistemik.
Pengobatan IB jika terdapat hanya beberapa vesikel/bula, dipecahkan lalu diberi
salap antibiotika atau cairan antiseptik. Jika banyak dapat diberikan juga
antibiotika sistemik.24 Pengobatan topikal untuk penyakit impetigo sebagai lini
pertama dapat diberikan mupirosin dan asam fusidat. Pengobatan sistemik sebagai
lini pertama dapat diberikan diklosasilin, gabungan asam klavulanat dan
amoksisilin dan juga dapat diberikan antibiotika sephaleksin, sedangkan sebagai
lini kedua (alergi penisilin) dapat diberikan azitromisin, klindamisin dan

Universitas Sumatera Utara

16

eritromisin. Pengobatan terhadap folikulitis dapat diberikan antibiotika sistemik
dan topikal, juga harus diatasi yang menjadi faktor predisposisinya.2,7,23,32
Pengobatan untuk furunkel, karbunkel jika sedikit cukup dengan antibiotika
topikal saja. Jika banyak dapat digabung dengan antibiotika sistemik. Jika
berulang-ulang terjadi furunkulosis atau karbunkel harus dicarikan yang menjadi
faktor predisposisinya tersebut.4,6,24,33 Sedangkan untuk ektima jika terdapat
sedikit, krusta dapat diangkat lalu diolesi dengan salap antibiotika dan jika banyak
dapat juga diobati dengan antibiotika sistemik.2,7,22,26,34

Universitas Sumatera Utara

17

2.7 Kerangka Teori
Kulit yang
normal

Faktor endogen

Faktor eksogen


• Malnutrisi dan
PS pada
immunodifisiensi
• Penyakit menahun

Bayi dan
Anak

• Penyakit keganasan
• Penggunaan

dan Streptokokus










kortikosteroid
jangka panjang
• Imaturitas kulit bayi

Infeksi oleh Stafilokokus









Dermatitis
Hiegine yang buruk
Kondisi iklim yang lembab
Gigitan serangga
Trauma kulit
Ulserasi
Infeksi jamur dan virus
Abrasi kulit minor
Keadaan

pruritus

yang

disertai garukan

Gambar 2.4. Kerangka Teori

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Karakteristik Pasien Psoriasis di SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan Periode Januari 2010 – Desember 2012

3 95 56

Karakteristik Pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan Tinea Korporis di SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan Periode Januari 2010 – Desember 2012

0 0 18

Karakteristik Pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan Tinea Korporis di SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan Periode Januari 2010 – Desember 2012

0 0 2

Karakteristik Pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan Tinea Korporis di SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan Periode Januari 2010 – Desember 2012

0 0 5

Karakteristik Pioderma Superfisialis Pada Bayi dan Anak di SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan Periode Tahun 2010 – 2012

0 0 15

Karakteristik Pioderma Superfisialis Pada Bayi dan Anak di SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan Periode Tahun 2010 – 2012

0 0 2

Karakteristik Pioderma Superfisialis Pada Bayi dan Anak di SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan Periode Tahun 2010 – 2012

1 2 4

Karakteristik Pioderma Superfisialis Pada Bayi dan Anak di SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan Periode Tahun 2010 – 2012

0 0 2

Karakteristik Pioderma Superfisialis Pada Bayi dan Anak di SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan Periode Tahun 2010 – 2012

0 0 16

Karakteristik Pasien Psoriasis di SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan Periode Januari 2010 – Desember 2012

0 1 15