Karakteristik Pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan Tinea Korporis di SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan Periode Januari 2010 – Desember 2012

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus
Diabetes melitus (DM) adalah kelompok penyakit metabolisme dengan
karakteristik kadar glukosa darah yang tinggi (hiperglikemia) yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.1,2
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2004, diabetes
diklasifikasikan dalam Standards of Medical Care in Diabetes berdasarkan
pengetahuan mutakhir mengenai patogenesis sindrom diabetes dan toleransi glukosa.
Klasifikasi ini telah disahkan oleh WHO dan telah dipakai di seluruh dunia. Empat
klasifikasi DM : Diabetes Melitus tipe 1, Diabetes Melitus tipe 2, Diabetes melitus
gestasional (diabetes kehamilan), dan Diabetes melitus tipe khusus lainnya.3 DM tipe
2 sering disebut sebagai non-insulin dependent diabetes melitus (NIDDM) atau adult
onset diabetes melitus (AODM).1 DM tipe 2 lebih sering terjadi pada middle-aged
dan orang yang lebih tua, dengan puncak onset terjadi pada usia 60 tahun.2 DM tipe 2
lebih sering terjadi daripada DM tipe 1, yakni 90% - 95% dari kasus diabetes
melitus.1,2
2.1.1 Etiologi dan Patogenesis
Penyebab terjadinya DM tipe 2 adalah resistensi insulin, kenaikan produksi
glukosa di hati, dan sekresi insulin yang kurang. DM tipe 2 biasanya disebabkan oleh
kelainan berupa resistensi insulin. Pada awalnya, resistensi insulin belum

menyebabkan DM. Sel β pankreas masih dapat mengkompensasi sehinga terjadi
hiperinsulinemia, kadar glukosa darah masih normal atau sedikit meningkat.
6
Universitas Sumatera Utara

7

Kemudian setelah terjadi kelelahan sel β pankreas, maka terjadi DM secara klinis
yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah yang memenuhi kriteria
diagnosis DM.1-3,6
Penyebab resistensi insulin pada DM tipe 2 sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi
beberapa faktor banyak berperan, seperti obesitas, diet tinggi lemak dan rendah
karbohidrat, kurang gerak badan, dan faktor keturunan (herediter).3
2.1.2 Penegakan diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan berdasarkan gejala klinik yang khas dan dipastikan
dengan pemeriksaan laboratorium. Keluhan-keluhan khas DM antara lain poliuri,
polidipsi, polifagi, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Gejala awal DM adalah peningkatan kadar glukosa darah dan kehilangan glukosa
melalui urin. Sejumlah besar glukosa di dalam dapat menyebabkan peningkatan
pengeluaran urin dan memicu terjadinya dehidrasi. Dehidrasi menyebabkan

peningkatan rasa haus dan konsumsi air. Ketidakmampuan untuk menggunakan
energi glukosa akhirnya memicu kehilangan berat badan. Keluhan lain yang mungkin
terjadi yaitu lemah, kesemutan, pruritus, penglihatan kabur, disfungsi ereksi.1-3
Menurut PERKENI, diagnosis DM dipastikan bila keluhan-keluhan diatas disertai
hasil pemeriksaan laboratorium dengan nilai glukosa darah sewaktu (GDS)
≥ 200
mg/dL dan atau gula darah puasa (GDN)
≥ 126 mg/dL. Bila ada keraguan, perlu
dilakukan tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan mengukur kadar glukosa darah 2
jam setelah minum 75 gr glukosa. Sampel darah untuk pemeriksaan darah dapat
diambil dari daerah vena atau kapiler.1

Universitas Sumatera Utara

8

2.1.3 Glycated haemoglobin (HbA1C)
HbA1C (hemoglobin glikosilat) suatu bentuk ikatan non-enzimatik glukosa
dengan hemoglobin. HbA1C terbentuk dari glukosa yang terikat pada N valin ujung
rantai β molekul haemoglobin pada keadaan hiperglikemi. HbA1C diperkenalkan

Allen et al (1958) bahwa hemoglobin dapat dipisahkan atas beberapa komponen yaitu
hemoglobin (90%) dan komponen minor yaitu HbA1 (HbA1a, HbA1b, HbA1C).
HbA1C merupakan fraksi yang terpenting dan terbanyak yaitu 4-5% dari
haemoglobin total. HbA1C inilah yang merupakan ikatan antara glukosa dengan
haemoglobin sedangkan fraksi lainnya merupakan ikatan antara haemoglobin dengan
heksosa lainnya.12-13
Pada mulanya ikatan bersifat labil, kemudian menjadi stabil dan menetap serta
terakumulasi selama hidup eritrosit. Dari percobaan diketahui bentuk labil sudah naik
dalam jangka waktu 2 jam setelah pemberian 100 gram glukosa. Apabila kadar
glukosa kembali ke rentang normal maka ikatan labil ini akan terurai kembali
(reversibel). Bentuk stabil akan meningkat bila kadar glukosa melampaui 160180mg/dl selama lebih dari 12 jam. Ikatan ini akan berlangsung lambat dan terus
menerus dan tidak dipengaruhi oleh enzim sepanjang hidup eritrosit. Nilai kadar
HbA1C menggambarkan status metabolik glukosa darah selama 2-3 bulan. Dan nilai
pemeriksaan ini telah diterima sebagai uji yang menggambarkan status pengendalian
kadar glukosa darah (status glikemik).10,12
Untuk menafsirkan hasil pemeriksaan kadar HbA1C dengan baik, perlu
memperhatikan

keadaan-keadaan


yang

mempengaruhi

kadarnya

yakni

hemoglobinopati, keadaan yang disertai dengan peningkatan retikulosit/eritrosit muda

Universitas Sumatera Utara

9

(perdarahan, hemolisis), splenektomi dan gagal ginjal. Pengaruh obat-obatan terhadap
HbA1C sampai sekarang belum diketahui.10,13
HbA1C biasanya dilaporkan sebagai persentase dari total haemoglobin, nilai yang
dilaporkan oleh National Glycohemoglobin Standardization Program (NGSP), akan
tetapi International Federation for Clinical Chemistry (IFCC) melaporkan HbA1C
sebagai mmol/L.12 Berdasarkan ADA 2005 kriteria pengendalian DM dibagi atas

terkontrol (nilai HbA1C ≤ 7) dan tidak terkontrol (nilai HbA1C > 7).10
2.2 Tinea Korporis
Tinea korporis adalah dermatofitosis pada kulit yang tidak berambut (glabrous
skin) di badan, tungkai dan lengan kecuali telapak tangan, telapak kaki.17
Dermatofitosis adalah infeksi jamur yang disebabkan jamur dermatofita yaitu
Epidermophiton, Microsporum dan Trichophyton. Terdapat lebih dari 40 spesies
dermatofita yang berbeda, yang menginfeksi kulit.18-20
2.2.1 Epidemiologi
Prevalensi infeksi jamur superfisial diseluruh dunia diperkirakan menyerang 2025% populasi dunia, dan merupakan salah satu bentuk infeksi kulit tersering. Penyakit
ini tersebar diseluruh dunia dan dapat menyerang semua ras dan kelompok umur, dan
infeksi jamur superfisial ini relatif sering pada negara tropis (iklim panas dan
kelembaban yang tinggi) dan sering terjadi eksaserbasi.21-22
Pada beberapa negara di dunia terdapat kecendrungan tinea korporis meningkat
pada status sosial ekonomi yang rendah, tempat tinggal yang padat dimana kondisi ini
memungkinkan untuk kontak erat orang perorang dan hubungan erat dengan hewan,
sementara kebersihan jauh dibawah optimal.19 Selain itu, infeksi jamur ini

Universitas Sumatera Utara

10


menunjukkan kecendrungan sembuh yang lama, tidak ada sarana kesehatan yang
menyertai peningkatan penyebaran penyakit. Anak-anak lebih sering terkena
dibandingkan remaja, jenis kelamin dan ras merupakan faktor epidemiologi yang
penting untuk infeksi dermatofita.20
Pada pasien imunokompromais sering di jumpai infeksi jamur dan umumnya
lebih berat dibandingkan populasi umum, infeksi yang kronis, dan rekurensi yang
cukup tinggi serta resisten terhadap pengobatan standar.20
2.2.2 Etiologi dan Patogenesis
Terdapat sekitar 100.000 spesies jamur terdistribusi diseluruh dunia, dan sekitar
40 spesies yang berbeda yang dapat menginfeksi manusia. Jamur dermatofita
mempunyai kemampuan untuk mendegradasi dan menggunakan keratin dan dibagi
atas 3 genus yaitu : Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton. Mayoritas
jamur yang menginfeksi kulit disebabkan oleh 5 atau 6 spesies dermatofita, dimana
Trichophyton rubrum adalah yang paling sering.21
Penyebab tersering Tinea korporis di beberapa negara berbeda seperti di Amerika
Serikat penyebab tersering tinea korporis yaitu T. rubrum. T. mentagrophytes, M.
canis, dan T. Tonsurans, selanjutnya di Afrika penyebab tersering T. Rubrum dan T.
Mentagrophytes, di Eropah penyebab tersering T. rubrum, sementara di Asia
T.rubrum, T. Mentagrophytes dan T. Violaceum sebagai penyebab tersering tinea

korporis.17,19
Berdasarkan tempat hidupnya jamur superfisial dibagi atas antropofilik, zoofilik
dan geofilik.18-19

Universitas Sumatera Utara

11

Elemen terkecil dari jamur disebut hifa, berupa benang-benang filamen terdiri
dari sel-sel yang mempunyai dinding, dinding sel jamur merupakan karateristik
utama yang membedakan jamur, karena banyak mengandung substrat nitrogen
disebut dengan Chitin. Struktur bagian dalam (organela) terdiri dari nukleus,
mitokondria, ribosom, retikulum endoplasmik, lisosom, golgi aparatus dan sentriol
dengan fungsi dan peranannya masing-masing. Benang-benang hifa bila bercabang
dan membentuk anyaman disebut miselium.22
Dermatofita berkembang biak dengan cara fragmentasi atau membentuk spora,
baik seksual maupun aseksual. Spora adalah suatu alat reproduksi yang dibentuk hifa,
besarnya antara 1-3µ, biasanya bentuknya bulat, segi empat, kerucut, atau lonjong.
Spora dalam pertumbuhannya makin lama makin besar dan memanjang membentuk
satu hifa. Terdapat 2 macam spora yaitu spora seksual (gabungan dari dua hifa) dan

spora aseksual (dibentuk oleh hifa tanpa penggabungan).17-9
Infeksi dermatofita diawali dengan perlekatan jamur atau elemen jamur yang
dapat tumbuh dan berkembang pada stratum korneum. Pada saat perlekatan jamur
dermatofita harus tahan terhadap rintangan seperti sinar ultra violet, variasi
temperatur dan kelembaban, kompetensi dengan flora normal, spingosin dan asam
lemak. Kerusakan stratum korneum, tempat yang tertutup dan maserasi memudahkan
masuknya jamur ke epidermis. Sejumlah enzim dikeluarkan oleh dermatofita selama
masuk dan berkembang seperti proteinase, lipase, dan enzim musinolitik yang
menyebabkan dermatofita dapat mendegradasi (menurunkan) dan menggunakan
keratin, protein lain, lipid dan DNA. Selain itu beberapa enzim disekresi sebagai
faktor patogenik jamur seperti xanthomegnin, mannans, dan hemaglutenin yang

Universitas Sumatera Utara

12

mungkin penting dalam melawan kolonisasi bakteri. Degradasi enzimatik keratinosit
berpengaruh secara langsung ataupun tidak langsung terhadap peningkatan
diferensiasi epidermis yang mengakibatkan gangguan dari barier epidermis.
perubahan pada cornified envelop sebagai konsekuensi kerusakan barier epidermis

yang dapat diukur melalui peningkatan transepidermal water loss. Peningkatan
proliferasi epidermis ini akan meningkatkan terlepasnya elemen jamur dari
epidemis.18-19
Masuknya dermatofit ke epidermis

menyebabkan respon imun pejamu baik

respon imun nonspesifik maupun respon imun spesifik. Respon imun nonspesifik
diperantarai oleh keratinosit mengekspresikan toll-like receptor (TLR) terutama TLR2 yang dapat mengenali patogen (pattern recognation receptor) dan ligand-ligandnya
pada permukaan jamur (seperti pathogen-associated mollecular pattern (PAMPS)
yang dapat menginduksi respon imun nonspesifik lainnya seperti neutrofil dan
makrofag. Neutrofil dan Makrofag sebagai sel-sel pertahanan non spesifik dapat
bergerak ke kulit yang terinfeksi. Sel-sel fagosit ini dapat membunuh dermatofit
dengan oxidative burst dan melepaskan sitokin inflamasi seperti TNF-α, IL-1β, IL-8
dan IL-16.

19

Sel-sel ini juga dapat menarik komplemen yang dapat merusak dan


membunuh dermatofit.20
Respon imun spesifik juga terlibat dalam infeksi dermatofita melalui ikatan antara
komponen dermatofita dan sel dendritik yang mengaktifasi sel-sel imun spesifik dan
pembentukan antibodi. Berbagai dermatofita dapat menginduksi respon imun
spesifik yang berbeda baik reaksi hipersensitivitas cepat

maupun reaksi

hipersensitivitas lambat. Respon imun efektif dalam melawan infeksi dermatofita

Universitas Sumatera Utara

13

adalah melalui delayed type hypersensitivity (DTH) yaitu makrofag

mengenali

antigen jamur kemudian terjadi maturasi sel dendritik, sel dendritik akan bermigrasi
dan mempresentasikan ke kelenjar limfe setempat, selanjuntya dihasilkan IL-12. IL12 dan IL-18 akan menginduksi sel T yang diperantarai T helper 1 dan selanjutnya

memproduksi IF-γ, selanjutnya IF-γ dapat merangsang migrasi, proses fagositosis dan
oxidative killing oleh sel neutrofil dan makrofag, serta dapat mempertahankan
reaktivasi sel Th-1 melalui kemampuan IF-γ untuk mempertahankan IL-12 pada sel T
helper-1. 19-22
Infeksi dermatofita juga merangsang pembentukan antibodi yang dapat dideteksi
dalam darah maupun jaringan. Peningkatan antibodi disebabkan respon Th2 melalui
IL-4, namun respon ini diduga tidak mempunyai perlindungan terhadap dermatofita,
seperti terdapat peningkatan IgE pada pasien atopi, namun tidak memberikan
perlindungan terhadap infeksi dermatofita meskipun dengan patogenesis yang belum
dapat dijelaskan.20
2.2.3 Gambaran Klinis
Gambaran klasik dimulai dengan lesi bulat atau lonjong dengan tepi yang aktif
dengan perkembangan kearah luar, bercak-bercak bisa melebar dan akhirnya
memberi gambaran yang polisiklis, arsinar atau sirsiner. Pada bagian pinggir
ditemukan lesi yang aktif yang ditandai dengan eritema, adanya papul atau vesikel,
sedangkan pada bagian tengah lesi relatif lebih tenang. Tinea korporis yang menahun,
tanda-tanda aktif menjadi hilang, dan selanjutnya hanya meninggalkan daerah
hiperpigmentasi saja.17-21
2.2.4 Pemeriksaan Laboratorium

Universitas Sumatera Utara

14

Selain dari gejala khas tinea korporis, diagnosis harus dibantu dengan
pemeriksaan laboraturium antara lain pemeriksaan mikroskopis, kultur, pemeriksaan
lampu Wood, biopsi dan histopatologi, pemeriksaan serologi dan pemeriksaan
dengan menggunakan PCR.17-21
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan membuat preparat langsung dari
kerokan kulit, kemudiaan sediaan di tuangi larutan KOH 10%. Sesudah 15 menit atau
sesudah dipanaskan dengan api kecil, dilihat dibawah mikroskop. Pemeriksaan ini
memberikan hasil positif jika ditemukan hipa (benang-benang) yang bersepta atau
bercabang, selain itu tampak juga spora berupa bola kecil sebesar 1-3μ.17
Pada kultur dilakukan dalam media agar sabaroud pada suhu kamar (25-30°c),
kemudian satu minggu dilihat dan dinilai apakah ada pertumbuhan jamur. Spesies
jamur dapat ditentukan melalui bentuk koloni, bentuk hifa, dan bentuk spora.19-21
Pemeriksaan lampu Wood adalah pemeriksaan yang menggunakan sinar
ultraviolet dengan panjang gelombang 3600 A. Sinar ini tidak dapat dilihat. Bila sinar
ini diarahkan ke kulit yang mengalami infeksi oleh jamur dermatofita tertentu, sinar
ini akan berubah menjadi dapat dilihat dengan memberi warna (fluoresensi).
Beberapa jamur yang memberikan fluoresensi yaitu M.canis. M. Audouini, M.
ferrugineum dan T. schoenleinii.23
2.2.5 Diagnosis Banding
Ada beberapa diagnosis banding Tinea korporis, antara lain eksema numular,
psoriasis, dermatitis seborhoik, pitiriasis rosea, liken planus, dermatitis kontak.17-20
2.2.6 Diagnosis

Universitas Sumatera Utara

15

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium
yaitu mikroskopis langsung dan kultur. 17
2.2.7 Pengobatan
Pengobatan tinea korporis terdiri dari pengobatan lokal dan pengobatan sistemik.
Pengobatan lokal infeksi jamur pada lesi yang meradang disertai vesikel dan eksudat
terlebih dahulu dengan kompres basah secara terbuka, topikal anti jamur dapat yang
diberikan yaitu derivat imidazol, toksiklat, haloprogin dan tolnaftat.17,24-5
Terapi tinea korporis pada pasien DM tipe-2 menjadi tantangan tersendiri
disebabkan kemungkinan adanya interaksi antara obat antihiperglikemi dengan
antijamur oral.

26-9

Hryncewicz-Gwóźdź dkk mempelajari jalur metabolisme baik

antijamur oral dan antidiabetik oral, terutama golongan azol dan kebanyakan
antidiabetik oral di metabolisme di sitokrom P-450 tetapi dengan berbagai enzim
yang terlibat (antidiabetik-CYP2C9, itrakonazol-CYP3A4, ketokonazol-CYP3A4,
flukonazol-CYP2C9 dan CYP 3A4) sedangkan terbinafin umumnya aman dan
ditoleransi dengan baik.30-2
2.2.8 Hubungan antara DM dan Tinea Korporis
DM merupakan penyakit gangguan endokrin terbanyak yang ditemukan, lebih
dari 300 juta orang menderita penyakit ini.3 Abnormalitas dari insulin yang
meningkatkan kadar gula darah menyebabkan gangguan banyak organ penting
termasuk kardiovaskular, ginjal, sistem saraf, mata dan kulit. Lebih dari sepertiga
pasien diabetes memiliki manifestasi dermatologi selama perjalanan penyakit DMnya8-9 Komplikasi DM pada kulit umumnya diperberat oleh kadar gula darah yang
tinggi, yang diduga dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Hubungan pasti

Universitas Sumatera Utara

16

antara hiperglikemi dengan kemudahan terjadinya infeksi pada pasien DM masih
belum diketahui dengan pasti, namun derajat hiperglikemia cenderung meningkat dari
waktu ke waktu seiring perjalanan penyakit.5,7 Proses kerusakan, pada umumnya
berawal dari kelainan pada pembuluh darah baik mikro maupun makrovaskular yang
selanjutnya menyebabkan neuropati motorik, neuropati sensorik, neuropati otonom
dan gangguan sistem imun.3
Gangguan sistem imun pada pasien DM dapat menyebabkan gangguan pada
fungsi kemotaksis, fagositosis dan penghancuran mikroba, dimana gangguan ini
dihubungkan dengan berkurangnya energi seluler sel imun.11 Komponen sel
pertahanan tubuh yang terganggu akibat diabetes telah banyak dilakukan penelitian,
terutama pada sistem pertahanan tubuh nonspesifik terhadap infeksi jamur yaitu
Polimorfonuklear neutrofil (PMN).12-1 Sistem pertahanan nonspesifik yang terganggu
pada eliminasi patogen yaitu menurunnya transmigrasi PMN ke tempat infeksi
disebabkan peningkatan konsentrasi advanced glycation end product, penurunan
fagositosis disebabkan peningkatan aktifitas polyol pathway yang menurunkan
produksi superoxide. Sementara pada imunitas spesifik terjadi penurunan proliferasi
sel T akibat perubahan molecular signaling dan penurunan pelepasan sitokin.6,

Universitas Sumatera Utara

17

2.3 Kerangka Teori

DM tipe-2

Gangguan sistem
imun

Fungsi kemoktasis↓, fagositosis,
penghancuran mikroba

Faktor eksogen

Mikroangiopati

Energi seluler
sel imun ↓

Makroangiopati

Polimorfonuklear
neutrofil (PMN) ↓

Tinea korporis

Iklim, kebersihan,
kelembaban, pakaian, obatobatan : kortikosteroid,
imunosupresif.

Gambar 2.1 Kerangka teori

Universitas Sumatera Utara

18

2.4 Kerangka Konsep

Karakteristik pasien
diabetes melitus tipe 2 :
- Usia
Tinea korporis

- Jenis Kelamin
- Pendidikan
- Pekerjaan
- Lamanya menderita

Gambar 2.2 Kerangka konsep

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Karakteristik Pasien Psoriasis di SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan Periode Januari 2010 – Desember 2012

3 95 56

Karakteristik Pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan Tinea Korporis di SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan Periode Januari 2010 – Desember 2012

0 0 18

Karakteristik Pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan Tinea Korporis di SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan Periode Januari 2010 – Desember 2012

0 0 2

Karakteristik Pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan Tinea Korporis di SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan Periode Januari 2010 – Desember 2012

0 0 5

Karakteristik Pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan Tinea Korporis di SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan Periode Januari 2010 – Desember 2012

0 0 3

Karakteristik Pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan Tinea Korporis di SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan Periode Januari 2010 – Desember 2012

0 0 10

Karakteristik Pioderma Superfisialis Pada Bayi dan Anak di SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan Periode Tahun 2010 – 2012

0 0 15

Karakteristik Pioderma Superfisialis Pada Bayi dan Anak di SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan Periode Tahun 2010 – 2012

1 2 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Psoriasis - Karakteristik Pasien Psoriasis di SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan Periode Januari 2010 – Desember 2012

0 1 10

Karakteristik Pasien Psoriasis di SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan Periode Januari 2010 – Desember 2012

0 1 15