Isu isu Pendidikan di Indonesia (1)

NILAI UN SEBAGAI STANDAR MASUK
PERGURUAN TINGGI
Ujian nasional biasa disebut UN merupakan salah satu kegiatan evaluative terhadap
proses pendidikan di Indonesia. Dalam ujian akan diketahui perkembangan pendidikan negeri
ini, apakah tiap tahunnya merupakan kemajuan atau kemunduran dalam pendidikan Indonesia.
Setelah mendapatkan hasil dari ujian itu akan dinilai kesuksesan kurikulum yang dilaksanakan
dan bila dibutuhkan akan dirumuskan lagi bagaimana langkah-langkah selanjutnya untuk
mengembangkan pendidikan itu. Mulai dari sekolah-sekolah penyelenggara ujian hingga
pemerintah yang siap menyalurkan batuan-batuan untuk memajukan pendidikan di Indonesia.
Takut merupakan perasaan lazim yang selalu dialami oleh tiap siswa-siswi setiap akan
mengikuti ujian. Karena UN merupakan kegiatan yang akan menentukan kelulusan siswa-siswi
dari sekolah. Dengan arti seorang siswa SMA/SMK harus mendapatkan nilai UN sesuai standar
5,5 sebagai nilai kelulusan atau lebih tinggi agar bisa lulus dari sekolahnya.
Namun pada pada tahun 2015 ini, seluruh pelajar SMA/SMK/MAN Indonesia bisa
melangkah dan masuk ke ruang ujian dengan muka berseri-seri, karena nilai kelulusan bukan lagi
dinilai dari nilai UN (Ujian Nasiaonal) tapi dinilai dari nilai Ujian Sekolah. Jadi bagaimanakah
nasib UN yang tetap diselenggarakan dan untuk apa nilai UN ?.
Melalui situs Compas.com, pak Anies Baswedan selaku ketua KEMENDIGBUD Sekolah
Menengah, menyatakan UN bukan untuk kelulusan tapi digunakan sebagai media pembantu utuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau sebagai pertimbangan masuk ke
perguruan tinggi yang bagus.

“kami ingin ada kesadaran pada setiap siswa, kalau ingin melanjutkan pendidikan ke
jenjang lebih tinggi nilai harus bagus. Jadi siswa terbiasa dengan mindset, belajar bukan untuk
lulus, tapi belajar merupakan kewajiban siswa agar bisa merengkuh pendidikan lebih tinggi dan
bagus” kata Anies jum`at (10/4).
Melalui perkataannya ini, pak Anies Baswedan menyatakan cita-citanya ingin merubah
mindset siswa-siswi dari belajar karena untuk lulus menjadi belajar merupakan kewajiban untuk
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi yang lebih bagus. Sehingga siswa-siswi sadar
bahwa belajar merupakan kewajiban dan hak bagi mereka.
Langkah dan solusi yang dikeluarkan oleh pemerintah ini, merupakan solusi yang sangat
baik. Namun di sisi lain ini merupakan sesuatu yang tidak fair bagi para pelajar karena nasib
mereka untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan baik, hanya ditentukan
dengan kegiatan selama seminggu, padahal mereka telah berusaha keras selama tiga tahun di
sekolahnya SMA/SMK. Bisa saja nilainya akan jelek pada UN tapi tiap tahunnya ia adalah juara
di kelas dengan nilai bagus di rapor pendidikannya mulai dari kelas 1 hingga kelas 2. Maka oleh
1

sebab itu Universitas Indonesia (UI), tidak akan memakai nilai UN sebagai pertimbangan agar
bisa belajar di sana tapi UI masih tetap akan memakai nilai di rapor. UI akan memakai nilai UN
jika memang nilai UN sama dengan nilai di rapor.
Kemudian nilai UN bisa saja didapatkan bukan karena balajar tapi hasilnya dari bocoran

soal yang si pelajar dapat. Pada tahun ini walaupun sudah memakai Ujian Berbasis Komputer
masih saja ada kebocoran soal UN di Nanggore Acrh Darusallam. Maka solusinya adalah masuk
ke perguruan jangan hanya ditentukan oleh nilai UN tapi juga nialai rapor dari sekolah.

KEBOCORAN SOAL UN BERBASIS KOMPUTER
UN tidak lagi menjadi standar kelulusan merupakan kabar yang menyenangkan bagi para
siswa-siswi di Indonesia. Namun ketakutan dalam mengikuti UN masih saja ada. Karena nilai
UN dialihkan menjadi pertimbangkan untuk masuk PTN (Perguruan Tinggi Negeri). Ketakutan
itu masih saja tergambar dengan adanya pembocoran soal UN dan lain-lainnya.
Pada tahun ini dimulai sebuah inovasi baru dalam sistem evaluasi pendidikan Nasional
dengan memanfaatkan kemajuan teknologi bidang computer. Ujian yang dulu kita kenal
menggunkan kertas, sekarang menggunakan computer di sebut Ujian Berbasisi Komputer. Ujian
berbasis computer menggambarkan kemajuan Indonesia dalam dunia pendidikan. Namun
kamajuan itu belum didukung dengan ahlak perilaku masyarakat Indonesia dengan adanya
bocoran soal Ujian di Aceh Darusalam yang disebar malalui dunia maya.
Kebiasaan ini bagai berakar di dalam diri dan telah menjadi kebiasaan masyarakat yang
mengemban pendidikan di bangku sekolah. Maka salah satu solusi yang ditawarkan pemerintah
adalah nilai ujian tidak lagi dijadikan standar kelulusan sekolah namun nilai UN dijadikan
standar untuk masuk ke perguruan tinggi negeri yang bagus. Seperti dikutip dalam perkataan pak
Anies Baswedan “kami ingin ada kesadaran pada setiap siswa, kalau ingin melanjutkan

pendidikan ke jenjang lebih tinggi nilai harus bagus. Jadi siswa terbiasa dengan mindset,
belajar bukan untuk lulus, tapi belajar merupakan kewajiban siswa agar bisa merengkuh
pendidikan lebih tinggi dan bagus” (10/4).
Tahun ini telah resmi dimulai Ujian Berbasis Komputer sesuai keputusan Kepala Badan
Penyeledikan dan Pengembangan Kemendigbud furqon pada tahun 2015 . Metode ujian nasional
berbasis computer dan semidaring itu berarti proses daring hanya terjadi pada saat singkronisasi
naskah soal dan hasil pengerjaan soal oleh peserta didik dari server pusat ke server sekolah dan
sebaliknya.ketika mengerjakan soal, peserta sama sekali tidak terhubang dengan jaringan
internet. Maka tidak akan adanya kecurangan dalam ujian misalnya pembocoran soal dan
penyotekan melalui artikel-artikel di situs internet.

2

Walaupun demikian, pembocoran soal tetap saja terjadi pada tahun ini. Kebocoran itu
menurut Furqon merupakan akibat unduhan dari akun Google Drive. Proses penyelidikan
kebocoran soal UN yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam masih dalam proses pendataan.
Namun begitu, Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskim) porli Komjen (Pol) Budi Waseso
memastikan sudah ada calon tersangka pembocoran soal UN jurusan IPA di dunia maya. Diduga,
calon tersangka itu ialah dua terlapor pegawai Perum Percetakan Negara RI di Jakarta.1
Beberpa solusi untuk mencegah kebocoran soal pada tahun yang akan datang yaitu :

Kemendigbud harus memastikan ruang percetakan naskah UN di berbagai daerah steril dari
kecurangan UN dan di masa selanjutnya polisi harus mengawal secara fisik percetakan serta
harus ada tim TI (Teknologi Informasi) khusus mengaudit lokasi percetakan naskah UN agar
benar-benar steril.
PEMERATAAN AKSES PENDIDIKAN
Pemerataan pendidikan merupakan isu paling kritis karena berkait erat dengan isu
sensitif, yakni keadilan dalam memperoleh akses pendidikan. Memperoleh pendidikan yang
layak merupakan hak asasi setiap warga bangsa yang dijamin konstitusi. Maka, pemerintah wajib
memberi pelayanan pendidikan yang baik kepada seluruh masyarakat. Keberhasilan pelayanan
pendidikan dapat dilihat dari angka partisipasi.
Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2003, angka partisipasi murni
(APM) pada jenjang SD, SMP, dan SMA berturut-turut adalah 92,6 persen, 63,5 persen, dan 40,6
persen. Meski APM pada jenjang SD sudah cukup tinggi, pada jenjang lanjutan (SMP dan SMA)
angka yang dicapai masih rendah. Bila angka-angka itu dielaborasi berdasar kategori desa-kota,
status sosial-ekonomi (kaya-miskin), dan provinsi (Jawa-luar Jawa), akan ditemukan fakta
disparitas yang amat mencolok. Sebagai contoh, APM pada jenjang SLTP dan SLTA di
perkotaan, masing-masing mencapai 71,9 persen dan 56,1 persen; sementara di pedesaan baru
mencapai 54,1 persen dan 28,7 persen.
Juga ada perbedaan amat signifikan APM SLTP pada kelompok masyarakat kaya dan
miskin, masing-masing 72,3 persen dan 49,9 persen. Fakta disparitas ini juga dijumpai di

provinsi-provinsi Jawa-luar Jawa. APM SLTP di DI Yogyakarta 78 persen, sementara di
Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Bangka-Belitung, Papua, dan Gorontalo kurang dari 50
persen. Bahkan di NTT masih di bawah 40 persen. Kenyataan disparitas itulah bisa menjadi
justifikasi guna melakukan ekspansi program pendidikan secara lebih merata.
Untuk itu, agenda penting yang harus menjadi prioritas adalah peningkatan pemerataan
pendidikan, terutama bagi kelompok masyarakat miskin yang berjumlah sekitar 38,4 juta atau
17,6 persen dari total penduduk. Problem mereka, kemiskinan menjadi hambatan utama dalam
1 Koran Media Indonesia, Riset dan Pendidikan, Jum`at 24 April 2015. Hal. 12

3

mendapatkan akses pendidikan. Selain itu, daerah-daerah di luar Jawa yang masih tertinggal juga
harus mendapat perhatian guna mencegah munculnya kecemburuan sosial. Dalam konteks ini,
kebijakan affirative action amat relevan diterapkan guna mengatasi kesenjangan partisipasi
pendidikan antardaerah dan antar kelompok masyarakat.
Affirmative action terdiri dari kata affirmative dan action (Gomes, 2003:69). Affirmative
berarti pengakuan positif, berupa program-program dan prosedur-prosedur yang secara nyata
harus dibuat dan selanjutnya akan diidentifikasikan dan memperbaiki semua praktik pekerjaan
yang cenderung terus mempertahankan pola-pola diskriminasi dalam pekerjaan. Sedangkan
action berarti tindakan, yaitu tindakan yang harus diambil guna memungkinkan mereka yang

telah disingkirkan dan atau sengaja tidak digubris untuk bersaing atau memperoleh akses
terhadap pekerjaan-pekerjaan berdasarkan basis yang sama. Affirmative action merupakan salah
satu cara untuk memerangi diskriminasi-diskriminasi dalam lapangan pekerjaan. seorang
profesor yurisprudensi menyatakan bahwa affirmative action sebagai “kebijakan yang
dikeluarkan untuk grup tertentu yang dinilai tidak memiliki representasi secara memadai pada
posisi-posisi penting di masyarakat sebagai akibat sejarah diskrimasi”.
Dengan adanya kebijakan Affirmative action ini, diharapkan seluruh lapisan masyarakat bisa
mendapatkan haknya dalam dunia pendidikan. Hingga tidak ada lagi keluhan-keluhan dari
daerah untuk meniadakan UN secara bersamaan. Maka pelayanan baik dibutuhkan setiap daerah
untuk menjalankan program ini karena Pasal 28C ayat (1) menyatakan “Setiap orang berhak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”
Pasal 31 ayat (1) menyatakan “Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan.”

4