APLIKASI TEKNOLOGI MODEL MODEL PENGEMBAN

APLIKASI TEKNOLOGI MODEL MODEL PENGEMBANGAN1
SISTEM INTEGRASI PETERNAKAN PERKEBUNAN DI KALIMANTAN BARAT
L.M. Gufroni AR dan Tatang M Ibrahim
Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat
Jalan Budi Utomo 45, Siantan Hulu, Pontianak 78241
ABSTRAK
Ternak tidak saja penting sebagai penghasil daging, susu dan telur yang merupakan
sumber protein hewani yang bernilai tinggi, akan tetapi juga penting dilihat dari fungsi non
pangan seperti penyediaan tenaga kerja ternak, daur ulang nutrisi (nutrient recycling),
dengan kotoran ternak dapat mengkompensasi kurangnya akses terhadap input modern
seperti pupuk, serta fungsi lainnya dalam membantu mempertahankan kelangsungan hidup
dan kelestarian lingkungan.
Kalimantan Barat masih tergolong defisit sapi potong sehingga Kalbar tergolong
daerah konsumen sapi potong. Kebutuhan sapi untuk Kalbar masih didatangkan melalui
perdagangan antar pulau, sehingga masih sangat besar peluang pasar untuk ternak potong
seperti ternak sapi di Kalimantan Barat. Kondisi ini merupakan peluang pengembangan
ternak yang diintegrasikan dengan sub sektor perkebunan.
Pakan dasar ternak sapi dari kebun kelapa sawit meliputi pelepah, daun, serat
perasan buah dan batang kelapa sawit dapat ditingkatkan nilai gizinya melalui perlakuan
pemberian NaOH, fermentasi dan uap. Biomassa setiap ha tanaman kelapa sawit mampu
mendukung 1-3 ekor sapi dewasa per tahun. Integrasi ternak dengan Kebun Kelapa Sawit

dapat menurunkan biaya produksi, saling menguntungkan (benefit mutualistis), pemroses
hasil samping perkebunan, pemberantas gulma, pemanfaatan limbah naungan tanah, tenaga
kerja (penghela) dan bertindak sebagai sumber penghasilan bagi petani. Limbah kulit buah
kakao dan hijuan dari tanaman pelindung (gamal dan lamtoro) dimanfaatkan petani sebagai
sumber pakan dalam usaha ternak kambing. Penggunaan kulit buah kakao sebagai pakan
ternak kambing dapat diberikan sampai sebesar 70 % dari total pakan. Pengandangan ternak
kambing sangat dianjurkan dengan pertimbangan faktor keamanan, memudahkan
pengontrolan reproduksi, mencegah terjadinya kembung perut (bloat), memudahkan
rekording ternak dan memudahkan penanganan kotoran ternak sebagai pupuk organik.
Pengembangan model integrasi tanaman kebun dan ternak memberikan tambahan
pendapatan yang berarti bagi petani.
Keyword : integrasi, sawit, kakao, sapi, kambing

PENDAHULUAN
Ternak tidak saja penting sebagai penghasil daging, susu dan telur yang merupakan
komponen penting dalam rantai pangan modern, serta sumber protein hewani yang bernilai
tinggi, akan tetapi juga penting dilihat dari fungsi non pangan seperti penyediaan tenaga
kerja ternak, daur ulang nutrisi (nutrient recycling), dengan kotoran ternak dapat
mengkompensasi kurangnya akses terhadap input modern seperti pupuk, serta fungsi
lainnya dalam membantu mempertahankan kelangsungan hidup dan kelestarian lingkungan.

Agribisnis peternakan berpotensi besar untuk dikembangkan karena konsumsi
produk peternakan berupa daging, susu dan telur, diyakini akan terus meningkat sebagai
konsekuensi logis adanya peningkatan jumlah penduduk, meningkatnya proporsi jumlah
penduduk perkotaan, meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan
kebutuhan gizi, meningkatnya pendapatan dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Perkiraan
yang optimis dalam peningkatan pendapatan akan terjadi di kawasan Asia-Pasific (APEC)
1

Disampaikan dalam Sosialisasi Sistem Integrasi Peternakan Perkebunan, tanggal 29 Nopember 2005 di Hotel
Merpati, Kalimantan Barat.

1

khususnya negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara, yang selama dekade terahir ini
mampu bertumbuh melampaui rata-rata dunia.
Untuk meningkatkan kemandirian dalam mencukupi permintaan akan daging sapi,
pemerintah telah melakukan berbagai upaya melalui intervensi pada sisi penawaran daging
sapi dan produk subtitusi. Intervensi pada sisi penawaran daging sapi dapat dibagi menjadi
dua kelompok, yaitu : (1) upaya meningkatkan penawaran di sepanjang kurva atau fungsi
penawaran (movement along the supply curve), dan (2) upaya meningkatkan penawaran

dengan menggeser kurva penawaran (shifting the supply curve) ke kanan bawah. Upaya (1)
dilakukan melalui peningkatan harga daging sapi di pasar domestik. Upaya (2) adalah
perbaikan teknologi, rekayasa kelembagaan dan lain-lain.
Secara normatif, perbaikan teknologi dapat memperbaiki tingkat kelahiran,
mengurangi tingkat kematian, meningkatkan berat badan pedet yang lahir, rata-rata
pertambahan berat badan per hari (average daily weight gain), persentase berat karkas per
ekor ternak, mutu daging dan efisiensi produksi, yang pada akhirnya meningkatkan daya
saing. secara normatif perbaikan teknologi merupakan jalan terbaik bagi perekonomian sapi
potong di Indonesia, baik bagi produsen, konsumen maupun ekonomi secara keseluruhan.
Pengenaan tarif akan dapat meningkatkan jumlah penawaran tetapi akan menurunkan
jumlah permintaan dan membuat perekonomian menjadi tidak efisien. Dalam jangka pendek,
pengenaan tarif impor dapat saja ditempuh tetapi tidak terlalu besar dan hanya bersifat
perlindungan sementara. Dalam jangka panjang, pemenuhan kebutuhan daging harus
diupayakan melalui perbaikan teknologi. Impor hanya untuk daging sapi berkualitas tinggi
untuk memenuhi kebutuhan hotel dan restoran kelas atas.
Daerah sentra konsumsi daging sapi dapat diidentifikasi sebagai daerah defisit
dalam kegiatan perdagangan ternak antar daerah. Berdasarkan data pada Tabel 1, sentra
konsumsi utama daging sapi di Indonesia adalah DKI Jakarta dan Jawa Barat. Sementara
itu, sentra produksi utama ternak sapi adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Bali,
Nusatenggara Barat, Nusa Tenggata Timur dan Sulawesi Selatan. Tabel 1. menunjukkan

bahwa secara nasional data jumlah pemasukan tidak sama dengan data jumlah pengeluaran
ternak sapi yaitu masing-masing 545 ribu ekor dan 466 ribu ekor. Adanya perbedaan sekitar
79 ribu ekor ini disebabkan oleh beberapa kemungkinan, antara lain adalah : (1) banyaknya
pengeluaran ternak antar pulau yang tidak tercatat karena selundupan, (2) pengiriman ternak
memang melalui pelabuhan tetapi ada manipulasi data pada dokumen pengiriman, dan (3)
ada rembesan ternak, yaitu mengiriman ditujukan untuk Jawa Barat tetapi kemudian mengalir
ke DKI Jakarta, atau sebaliknya.
Dua sentra daerah konsumsi utama, yaitu DKI Jakarta dan Jawa Barat, setiap tahun
menyerap rata-rata 469 ribu ekor, yang merupakan 86% dari angka nasional. Jika
diasumsikan semua ternak yang keluar dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta
sebanyak 180 ribu ekor semuanya ditujukan ke DKI Jakarta dan Jawa Barat, berarti sisanya
sebanyak 289 ribu berasal dari luar Jawa, yaitu Lampung, Bali dan Kawasan Timur
Indonesia. Angka ini penting untuk memperkirakan tingkat kemampuan daerah sentra
produksi dalam menyediakan ternak dikaitkan dengan potensi pengembangan ternak di
daerah yang bersangkutan, sistem distribusi dan transportasi dan dampak masuknya ternak
dan daging sapi impor pada daerah tersebut.

2

Tabel 4.1. Rataan Neraca Perdagangan Antar Pulau Sapi Potong di Indonesia, 19972002.

Daerah Sentra Konsumsi
Jawa Barat
DKI Jakarta
Kalimantan Timur
Irian Jaya
Kalimantan Tengah
Kalimantan Barat
Sumatera Barat
Kalimantan Selatan
Sumatera Utara
Riau
Maluku
Jambi
N. A. Darussalam
Bengkulu
Total

Neraca (ekor)
- 292.138
- 177.068

- 25.917
- 14.860
- 8.082
- 6.519
- 4.899
- 4.351
- 3.691
- 3.389
- 2.711
- 1.669
3.763
1.958
-545.294

Daerah Sentra Produksi
Jawa Timur
Jawa Tengah
Lampung
Bali
Nusa Tenggara Timur

Nusa Tenggara Barat
Sumatera Selatan
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tengah
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Utara
D.I. Yogyakarta

Neraca (ekor)
93.627
80.188

Total

466.258

67.074
58.637
56.085
25.132

24.135
23.375
9.878
8.889
6.919
6.598

Sumber: Ditjen Bina Produksi Peternakan, (2004).
Kalimantan Barat masih tergolong defisit sapi potong yaitu sebesar 6.519 ekor dalam
kurun waktu tersebut sehingga Kalbar tergolong daerah konsumen sapi potong. Data ini
menunjukkan bahwa kebutuhan sapi untuk Kalbar masih didatangkan melalui perdagangan
antar pulau, sehingga masih sangat besar peluang pasar untuk ternak potong seperti ternak
sapi di Kalimantan Barat.
Agribisnis berbasis peternakan adalah salah satu fenomena yang tumbuh pesat
ketika basis lahan menjadi terbatas. Tuntutan sistem usahatani terpadu pun menjadi
semakin rasional seiring dengan tuntutan efisiensi dan efektivitas penggunaan lahan, tenaga
kerja, modal dan faktor produksi lain yang amat terbatas tersebut. Sementara itu, sektor
peternakan sendiri yang amat terpukul pada krisis ekonomi – mengalami kontraksi
pertumbuhan negatif 1.92 persen, perlu melakukan revitalisasi untuk menciptakan lapangan
kerja dan mempercepat peningkatan pendapatan. Kinerja pertumbuhan ekonomi sektor

peternakan pernah tumbuh cukup tinggi, yaitu mendekati 7 persen per tahun pada periode
1978-1986 karena peningkatan efisiensi dan efektivitas tersebut. Demikian pula, ketika
sektor pertanian tanaman pangan mengalami fase dekonstruktif dan hanya tumbuh di bawah
2 persen pada periode 1986-1997, sektor peternakan justru mencapai hampir 6 persen pada
periode yang sama (Arifin, 2003).
Pola integrasi ataupun diversivikasi tanaman dan ternak (khususnya ternak
ruminansia) diharapkan dapat merupakan bagian integral dari usaha perkebunan. Integrasi
usaha peternakan di bawah tanaman perkebunan memberikan dampak yang sangat besar
artinya. Pemanfaatan produk samping tanaman kelapa sawit pada wilayah perkebunan
sebagai basis pengadaan pakan ternak diharapkan banyak memberikan nilai tambah baik
secara langsung maupun tidak langsung (Hassan et al., 1991; Stur, 1990; Zainudin dan
Zahri, 1992 dalam Mathius, et al., 2004).
Pada umumnya perkebunan besar telah menerapkan rekomendasi jarak tanam,
pemeliharaan tanaman belum menghasilkan dan tanaman menghasilkan, pencegahan dan
pemberantasan hama penyakit. Beberapa pertimbangan teknis dalam penanaman ini
dikaitkan dengan bertimbangan ekonomi untuk efisiensi. Pengelolaan panen bagi
perusahaan pekebunan merupakan suatu tahap kegiatan yang kritis. Pertimbangan teknis
dan ekonomi dalam pengelolaan panen mempunyai bobot yang hampir seimbang. Pada
tahap ini perusahaan perkebunan dituntut untuk mengintegrasikan kegiatan prapanen dan
pasca panen (Dradjat, et al., 1995).

3

Integrasi ternak dengan perkebunan dapat menurunkan biaya produksi yang
berkaitan dengan pengadaan bahan kimiawi untuk pemberantasan tanaman pengganggu
dan tenaga kerja, serta merupakan pola yang sangat tepat untuk dilaksanakan karena saling
menguntungkan (benefit mutualistis). Vegetasi (rerumputan) di lahan perkebunan digunakan
sebagai pakan ternak untuk menghasilkan daging. Ternak ruminansia berpotensi besar untuk
untuk mendukung pengembangan perkebunan yang pengelolaannya tidak terlepas dari
faktor pemupukan dan perbaikan tekstur tanah. Ternak bertindak sebagai bioindustri,
dengan menghasilkan pupuk kandang yang berarti pegurangan biaya produksi perkebunan
dan berperan ganda sebagai pemroses hasil samping perkebunan, pemberantas gulma,
pemanfaatan limbah naungan tanah yang biasa digunakan saat tanaman muda maupun
pada lahan berlereng, tenaga kerja (penghela) dan bertindak sebagai sumber penghasilan
bagi petani (Wijono, D.B., et al., 2004; Chaniago, 1994 dalam Lermansius H, et al., 2000).
POTENSI SUB SEKTOR PERKEBUNAN KALIMANTAN BARAT
Luas areal perkebunan tahun 2002 di Kalimantan Barat mencapai 954.824 Ha yang
sebagian besar (± 80 %) merupakan perkebunan rakyat. Berdasarkan luasan tersebut,
perkebunan telah mampu menyerap tenaga kerja sejumlah 506.512 KK petani atau
2.026.048 jiwa. Dengan demikian jumlah penduduk yang terlibat dalam sub sektor
perkebunan di Kalimantan Barat merupakan 51,85 % dari jumlah total penduduk Propinsi

Kalimantan Barat yang berjumlah 3.907.519 jiwa (BPS, 2003 ;Disbun Propinsi Kalbar, 2004).
Luas areal tanaman perkebunan di Kalimantan Barat sampai tahun 2002 disajikan pada tabel
2.
Tabel 2. Potensi, Luas Tanam dan Peluang Pengembangan Komoditas Perkebunan
Kalimantan Barat 2002
Komoditas
Potensi Lahan Luas Tanam(Ha) Produksi (Ton)
Peluang
(Ha)
Pengembangan (Ha)
1.
2.
3.
4.

Kelapa Sawit
Karet
Kelapa
Aneka Tanaman

1.500.000
1.000.000
300.000
2.450.000

335.896
464.390
108.538
46.000

511.476
209.482
49.183

1.164.104
535.610
191.462
2.404.000

Sumber : Badan Informasi Daerah Kalimantan Barat (2002), BPS (2003).
Berdasarkan luas areal masing-masing komoditas perkebunan, kelapa sawit baru
memanfaatkan 22,93 % dari luas potensi lahan yang sesuai, perkebunan karet telah
memanfaatkan sebesar 46,44 %, perkebunan kelapa memanfaatkan 45,31 % dan aneka
tanaman memanfaatkan hanya 1, 88 % dari luas lahan yang potensial. Distribusi areal
perkebunan yang sebagian besar dibawah 50 % menunjukkan bahwa masih terdapat potensi
pengembangan areal perkebunan yang sangat besar dan belum dimanfaatkan pada saat
sekarang.
Berdasarkan data nilai PDRB atas harga konstan yang menggunakan harga pada
tahun dasar tertentu, pada tahun 2002, sektor pertanian memberi kontribusi sebesar 24,10
%. Tanaman perkebunan memberi kontribusi pada PDRB sebesar 8,42 % menempati urutan
teratas dalam sektor pertanian yang diikuti tanaman bahan makanan sebesar 6,81 % (BPS,
2003). Keadaan ini menunjukkan besarnya peranan sub sektor perkebunan dalam
mendukung perekonomian Propinsi Kalimantan Barat. Keadaan ini menunjukkan bahwa
melalui peningkatan produktivitas dan perluasan areal perkebunan akan memberikan
dampak yang sangat besar bagi potensi peningkatan PDRB daerah Propinsi Kalimantan
Barat.
Potensi areal perkebunan untuk mendukung integrasi dengan ternak disajikan pada Tabel 3.

4

Tabel 3. Potensi Komoditas Perkebunan
Ternak

Untuk Mendukung Integrasi Tanaman-

Komoditas

Potensi Hijauan Makanan
Potensi Hasil Samping Pengolahan
Ternak
Kelapa Sawit
Biomassa tanaman, ruput
Bungkil, Solid, Serabut, Janjang Kosong
dan gulma
Karet
Rumput dan tanaman
Bungkil Biji Karet
penutup tanah
Kelapa
Biomassa, rumput dan
Bungkil, Ampas Kelapa
tan.penutup
Coklat
Tanaman penutup, rumput
Kulit Buah Kakao
Tanaman
Biomassa, rumput dan
Lainnya
penutup tanah
Banyak jenis produk samping industri kelapa sawit yang potensial untuk digunakan
sebagai bahan pakan ternak, diantaranya pelepah sawit, serabut mesokarp, lumpur sawit
dan bungkil inti sawit. Pelepah sawit dan serabut mesokarp dapat digunakan sebagai sumber
serat kasar atau pengganti pakan hijauan untuk ternak ruminansia, sedangkan lumpur sawit
dan bungkil inti sawit dapat digunakan sebagai sumber energi dan protein untuk ternak
ruminansia maupun non ruminansia. Serabut mesokarp dan lumpur sawit merupakan bahan
sumber energi yang cukup baik untuk ternak disebabkan oleh kandungan minyak yang
terdapat di dalamnya (Elisabeth et al., 2004).
Rumput dan tanaman penutup tanah termasuk tanaman sela pada areal perkebunan
karet merupakan potensi sebagai bahan pakan ternak, namun keterbatasan produksinya
merupakan pembatas dalam pengembangan ternak di areal kebun karet. Buangkil biji karet
sebagai hasil samping pengolahan minyak biji karet. Bungkil dihasilkan sejumlah 50 % dari
daging biji karet. Dengan kandungan protein 25,70 % hingga 32,20 % bungkil biji karet
berpotensi menggantikan tepung kedelai dalam ransum ternak. Kandungan HCN kurang dari
50 ppm dapat diturunkan atau dihilangkan dengan pemanasan dan penyimpanan. Untuk
ternak Babi konsumsi HCN maksimal 22,5 mg dan pada ayam 0,4 mg per kg berat badan.
Dosis letal minimal HCN untuk ternak sapi dan domba adalah 2 mg dan 2,3 mg per kg berat
badan. Ternak ayam dapat mentolerir HCN cukup tinggi sampai 135 mg per kg ransum
(Harris U. et al., 1995).
Indonesia memiliki curah hujan yang cukup tinggi dengan distribusi yang merata
pada sebagian besar wilayahnya, perkebunan kelapa rakyat menanam sejumlah tanaman
diantara tanaman kelapa, seperti tembakau, kopi, kakao, tanaman buah seperti nanas, jeruk,
pisang jahe, legum, jagung dan padi. Hasil yang diperoleh dari tanaman sela ini merupakan
tambahan produksi pangan dan dijual sebagai sumber pendapatan. Hasil samping yang
merupakan biomassa tanaman sela dan rumput-rumputan merupakan potensi bahan pakan
bagi ternak ruminansia (Davis A., et al., 1993). Produksi tertinggi hijauan pada kelapa dicapai
pada umur 4 tahun dan jenisnya terbanyak. Genera Axonopus/Paspalum, dan Panicum
unggul dapat menggantikan genera lokal dalam rangka peningkatan produksi hijauan
makanan ternak (Sajimin et al., 1992)
MODEL SISTIM INTEGRASI SAPI – KELAPA SAWIT (SISKA)
Sistem usaha produksi ternak ditopang oleh 3 pilar utama yaitu bibit, pakan dan
kesehatan hewan. Biaya pakan merupakan komponen terbesar dalam struktur biaya
produksi ternak yang dikelola secara intensif, sehingga tingkat efisiensi penggunaan pakan
akan berpengaruh langsung terhadap efisiensi usaha secara keseluruhan. Oleh karena itu,
ketersediaan bahan baku pakan dengan harga kompetitif serta berkelanjutan merupakan
faktor penting yang perlu diupayakan dalam pengembangan peternakan.
Pengadaan bahan pakan bagi ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing dan domba)
sebaiknya terfokus kepada kelompok bahan pakan yang tidak bersaing dengan ternak lain.
Bahan pakan seperti ini dicirikan utamanya oleh tingginya kandungan sel (selulosa,
5

hemiselulosa, lignin dan pektin) dan hanya dapat dimanfaatkan melalui proses fermentasi
pada lambung ternak (Van Soest, 1982). Ternak ruminansia memiliki sistem pencernaan
fermentatif yang unik dan memungkinkan ternak mengolah bahan pakan dengan karakter
konsentrasi nutrisi rendah per satuan berat atau keambaan tinggi (bulky).
Karakteristik bahan pakan seperti di atas dimiliki oleh hasil samping perkebunan
kelapa`sawit (Elaeis guineensis) seperti pelepah, daun, serat perasan buah dan batang
kelapa sawit. Bahan pakan tersebut umumnya memiliki kandungan dinding sel yang tinggi
namun memiliki tingkat kecernaan yang relatif rendah sehingga potensi nutrisi yang
dikandungnya tidak sepenuhnya dapat dimanfaatkan. Oleh karena itu, peningkatan kualitas
bahan pakan perlu dilakukan utamanya dalam hal tingkat kecernaan, konsumsi dan
kandungan nutrisinya. Sementara itu, hasil samping kelapa sawit lainnya seperti bungkil inti
sawit (BIS, palm cernel cake) dan lumpur sawit (solid decanter) tergolong pakan kelas
konsentrat yang tidak memerlukan perlakuan pra pemberian (Elizabeth dan Ginting, 2004).
Integrasi ternak dengan perkebunan dapat menurunkan biaya produksi yang
berkaitan dengan pengadaan bahan kimiawi untuk pemberantasan tanaman pengganggu
dan tenaga kerja, serta merupakan pola yang sangat tepat untuk dilaksanakan karena saling
menguntungkan (benefit mutualistis). Vegetasi (rerumputan) di lahan perkebunan digunakan
sebagai pakan ternak untuk menghasilkan daging. Ternak ruminansia berpotensi besar untuk
untuk mendukung pengembangan perkebunan yang pengelolaannya tidak terlepas dari
faktor pemupukan dan perbaikan tekstur tanah. Ternak bertindak sebagai bioindustri,
dengan menghasilkan pupuk kandang yang berarti pegurangan biaya produksi perkebunan
dan berperan ganda sebagai pemroses hasil samping perkebunan, pemberantas gulma,
pemanfaatan limbah naungan tanah yang biasa digunakan saat tanaman muda maupun
pada lahan berlereng, tenaga kerja (penghela) dan bertindak sebagai sumber penghasilan
bagi petani (Wijono, D.B., et al., 2004; Chaniago, 1994 dalam Lermansius H, et al., 2000).
JENIS DAN KUANTITAS HASIL SAMPING KELAPA SAWIT
Setiap pohon kelapa sawit menghasilkan pelepah, daun dan batang pohon yang
merupakan hasil samping karena potensial untuk dimanfaatkan. Selain itu juga dihasilkan
produk samping lainnya seperti tandan kosong, serat perasan buah, lumpur sawit dan
bungkil inti sawit (Gambar 1).
Pohon Kelapa Sawit

Tandan Buah Segar (TBS)

Tandan Kosong
Sawit (TKS)
(23 %)

Serat Mesokarp
(13 %)

Pelepah Sawit

Minyak Sawit
(20-22%)

Lumpur Sawit
(2 % BK)

Batang Pohon Sawit

Inti Sawit
(5%)

Minyak Inti
Sawit
(45-46 %)

Cangkang
(7 %)

Bungkil Inti
Sawit (45-46 %)

6

Gambar 1. Produk dan hasil samping dari kelapa sawit
Setiap hektar kebun sawit secara teoritis dapat menampung 143 tanaman, bila jarak
antar pokok tanaman 9 x 9m. Pada kenyataannya jumlah pokok kelapa sawit hanya
mencapai  130 pohon/ha, tergantung kondisi wilayah. Setiap pohon dapat menghasilkan 22
pelepah/tahun, dan rataan bobot pelepah per batang mencapai 2,2 kg (setelah dikupas untuk
pakan). Sehingga setiap hektar dapat menghasilkan pelepah segar untuk pakan sekitar 9
ton/ha/tahun atau setara dengan 1,64 ton/ha/tahun bahan kering. Daun yang dihasilkan
sekitar 0,5 kg/pelepah sehingga setiap tahun akan diperoleh bahan kering untuk pakan
sejumlah 0,66 ton/ha/tahun (Dwiyanto, et al., 2004).
Buah sawit mengandung  80 % perikarp (daging buah) dan 20 % buah yang
dilapisi kulit yang tipis, mengandung kadar minyak dalam perikarp sekitar 34-40 % (Ketaren,
1986). Minyak sawit (palm oil) dan minyak inti sawit (palm cernel oil) merupakan produk
utama dari buah, sedangkan produk samping yang akan diperoleh adalah tandan kosong,
serat perasan, lumpur sawit/solid dan bungkil inti sawit. Setiap 1.000 kg tandan buah segar
dapat diperoleh minyak sawit sejumlah 250 kg, hasil samping sebanyak 294 kg lumpur sawit,
35 kg bungkil inti sawit dan 180 kg serat perasan. Setiap hektar areal kebun sawit mampu
mengasilkan pelepah, daun dan limbah untuk pakan dalam jumlah yang sangat besar (Tabel
4).
Tabel 4. Biomasa tanaman dan olahan kelapa sawit untuk setiap hektar (130 pohon)
Biomasa
Daun tanpa lidi
Pelepah
Tandan kosong
Serat perasan
Lumpur sawit, solid
Bungkil inti sawit

Segar (kg)
1.430
9.292
3.680
2.880
4.704
560
Total biomasa
Sumber : Dwiyanto et al. (2004).

Bahan kering (%)
46,18
26,07
92,1
93,11
24,07
91,83

Bahan kering (kg)
658
1.640
3.386
2.681
1.132
514
10.011

Berdasarkan nilai tersebut, maka produk samping pengolahan buah kelapa sawit yang ada di
Indonesia mencapai 3.302 metrik ton bahan kering pelepah, 2.463 metrik ton lumpur sawit,
1.026 metrik ton bungkil kelapa sawit, 5.394 metrik ton serat perasan dan 6.818 metrik ton
tandan kosong (Mathius et al., 2004). Biomasa tanaman dan olahan kelapa sawit ini
merupakan potensi sebagai bahan pakan ternak ruminansia, bahkan kalau telah diolah
dengan baik sebagian dapat dipergunakan untuk menyusun ransum ternak monogastrik.
KARAKTERISTIK NUTRISI

Mutu bahan pakan ditentukan oleh interaksi antara konsentrasi unsur gizi,
tingkat kecernaan dan tingkat konsumsi. Kandungan unsur gizi merupakan indikator
awal yang menunjukkan potensi suatu bahan. Kandungan gizi produk hasil samping
perkebunan kelapa sawit disajikan pada Tabel 5.

7

Tabel 5. Komposisi kimiawi beberapa hasil samping perkebunan kelapa sawit
Bahan
Komposisi
Kimiawi

Bungkil
Inti Sawit

Solid
Decanter

Pelepah

Daun

Serat
Perasan
Buah

Bahan
88-93
84-92
85-90
85-87
86-92
Kering , %
Protein
16-18
12-15
4,1-5,0
13-15
4,0-5,8
Kasar, %
Serat
13-17
12-17
38-40
42-48
Kasar, %
Lemak Kasar,
2,0-3,5
12-14
2,0-3,0
3,0-3,4
3,0-5,8
%
BETN, %
52-58
40-46
29-40
Abu, %
3,0-4,4
19-23
3,2-3,6
3,8-4,2
6,0-9,0
GE, Mkal/kg
4,1-4,3
3,8-4,1
5,0-5,5
4,0-4,8
ME, Mkal/kg
2,8-3,0
2,9-3,1
2,5-2,7
1,8-2,2
Sumber : Disarikan dari berbagai sumber oleh Ginting dan Elizabeth (2004)

Batang
88-92
1,6-3,2
36-39
0,6-1,0
51-54
2,8-3,2
4,3-4,6
2,0-2,5

Sumber protein yang potensial adalah bungkil inti sawit (BIS) dan solid decanter,
maka kedua bahan tersebut dalam formula ransum mampu memenuhi kebutuhan ternak
ruminansia untuk produksi (tumbuh, laktasi, kebuntingan). Bahan dengan serat tinggi sepeti
pelepah, daun dan sert perasan buah dan batang sawit merupakan sumber utama energi
untuk produksi. Dibandingkan dengan BIS dan solid decanter, energi tersedia (ME) dan
bahan dengan kandungan serat tinggi secara konsisten lebih rendah. Akan tetapi bahan
tersebut tetap akan menjadi sumber utama energi ternak, karena merupakan pakan dasar
(pokok) sehingga dikonsumsi dalam jumlah yang relatif lebih besar.
Jung (1989) dalam Ginting dan Elizabeth (2004) menyatakan, unsur kimia dalam
serat atau dinding sel yang secara efektif menentukan potensi energi dari suatu bahan pakan
adalah konsentrasi dan keterikatan selulosa, hemiselulosa, lignin dan silika (Tabel 6).
Tabel 6.

Kandungan senyawa kimia penyusun serat pada beberapa bahan pakan asal
perkebunan kelapa sawit

Fraksi kelapa sawit
Serat Perasan
Daun
Pelepah
Batang
Buah
Selulosa, %
16,6
31,7
18,3
34
Hemiselulosa, %
27,6
33,9
44,9
35,8
Lignin, %
27,6
17,4
21,3
12,6
Silika, %
3,8
0,6
Tt
1,4
Total
75,6
83,6
84,5
83,8
Sumber : Disarikan dari berbagai sumber oleh Ginting dan Elizabeth (2004)
Potensi sebagai sumber energi bagi ternak adalah selulosa dan hemiselulosa melalui
proses fermentasi dalam sistim pencernaan ternak. Kandungan selulosa dan hemiselulosa
pada keseluruhan serat merupakan yang terbesar (60-83 %) atau setara dengan 44-69 %
dari bahan kering. Lignin selain tidak termanfaatkan oleh ternak, juga merupakan indeks
negatif bagi mutu bahan pakan, karena ikatannya dengan selulosa dan hemiselulosa
mempersulit pemanfaatan selulosa dan hemiselulosa sebagai sumber energi bagi ternak.
Ketersediaan selulosa sebagai sumber energi bervariasi dan sangat ditentukan oleh
intensitas ikatannya dengan senyawa lignin. Silika yang merupakan elemen struktural dan
bersama lignin secara komplementer memperkuat rigiditas serat/dinding sel (Jones, 1978),
juga menghambat pamanfaatan selulosa dan hemiselulosa sebagai sumber energi.
Unsur Kimia

8

Kandungan lignin dan silika yang relatif tinggi (18-40 % dari total dinding sel) merupakan
indikator bahwa tingkat kecernaan bahan pakan hasil sampingan perkebunan kelapa sawit
merupakan salah satu kendala penting yang membutuhkan teknik untuk mengatasinya.
Berdasarkan tingkat kecernaan bahan kering (Tabel 7), maka BIS dan solid decanter
secara konsisten menunjukkan kualitas yang tinggi, bahan lain dengan kandungan serat
kasar lebih tinggi memiliki tingkat kecernaan relatif lebih rendah. Kecernaan paling rendah
terdapat pada serat perasan buah dan batang sawit. Kecernaan protein tergolong tinggi pada
semua bahan, sedangkan kecernaan serat (deterjen netral dan deterjen asam) relatif rendah.
Hal ini menunjukkan bahwa masalah utama pemanfaatan hasil sampingan perkebunan
kelapa sawit adalah bagaimana meningkatkan kecernaan. Peningkatan kecernaan
diharapkan dapat berpengaruh positif bagi peningkatan konsumsi.
Tabel 7. Tingkat kecernaan bahan kering, protein dan serat bahan pakan hasil
sampingan perkebunan kelapa sawit
Unsur Kimia

Fraksi kelapa sawit
Protein Kasar
Serat Deterjen
Serat Deterjen
Netral
Asam
Bungkil inti sawit
70
80
53
52
Solid Decanter
70
76
51
tt
Pelepah
60
78
52
53
Daun Sawit
62
80
56
52
Serat Perasan Buah
40
65
52
tt
Batang Sawit
23-35
80
60
55
Sumber : Disarikan dari berbagai sumber oleh Ginting dan Elizabeth (2004)
Bahan kering

TEKNOLOGI PENINGKATAN NILAI GIZI
Untuk dapat dimanfaatkan secara optimal , maka produk samping tanaman dan
pengolahan buah kelapa sawit sebaiknya diberi perlakuan. Tujuan perlakuan tersebut adalah
untuk meningkatkan nilai nutrien produk samping tersebut. Hal tersebut dapat dilakukan
secara fisik (cacah, giling, tekanan uap), kimia (NaOH, Urea), biologis (fermentasi) maupun
kombinasi dari padanya (Mathius et al., 2004).
Penggunaan NaOH bertujuan meningkatkan kecernaan dengan memutus ikatan
selulosa atau hemiselulosa dengan lignin, sehingga energi tersedia dapat meningkat.
Percobaan pada batang dan pelepah kelapa sawit oleh Oshio dkk (1988) dalam Ginting dan
Elizabeth (2004), menggunakan larutan NaOH dengan konsentrasi 10 % mampu
meningkatkan kecernaan bahan organik dari 20 – 23 % (tanpa pemberian NaOH) menjadi 63
%. Peningkatan kecernaan menunjukkan kecenderungan yang linier dengan tingkat
konsentrasi NaOH. Pada pelepah sawit penambahan larutan 10 % NaOH meningkatkan
kecernaan bahan organik dari 24 % (tanpa perlakuan) menjadi 45 %, sedangkan pada daun
sawit dari 20 % menjadi 50 %. Akan tetapi perlakuan 10 – 12 % NaOH cenderung
menurunkan palatabilitas (kesenangan) yang selanjutnya menurunkan konsumsi. Larutan 6-9
% NaOH merupakan konsentrasi optimal untuk meningkatkan kualitas batang dan pelepah
sawit. Prosedur pengolahan menggunakan NaOH relatif sederhana yaitu batang pelepah
atau daun kelapa sawit dicacah dan dikeringkan selama 4-5 hari di bawah sinar matahari.
Kemudian dicampur dengan larutan NaOH, dan disimpan di dalam drum secara padat dan
ditutup rapat selama 7 hari.
Untuk memperkaya nilai gizi Lumpur sawit dapat dilakukan dengan fermentasi
aerobik dan hasilnya meningkatkan kandungan protein kasar menjadi 43,4 % dan energi
menjadi 2,34 Kkal ME/g. (Yeong, 1982,1983 dalam Dwiyanto, et al., 2004). Perlakuan
fermentasi untuk menghasilkan silase pada prinsipnya bertujuan untuk preservasi dan
konservasi. Pengaruhnya terhadap nilai gizi bahan relatif kecil. Untuk meningkatkan
kandungan gizi pada proses fermentasi dapat ditambahkan urea. Fermentasi pelepah sawit
menjadi silase dari hasil penelitian tidak meningkatkan kecernaan, namun penambahan urea
sebanyak 3 % atau 6% berturut-turut meningkatkan kandungan protein bahan dari 5,6 %
menjadi 12,5% atau 20 %. Proses pembuatan silase dilakukan dengan mencacah bahan
9

menjadi partikel panjang 1-3 cm. cacahan dapat diperciki larutan urea (3-6%) kemudian
dimasukkan ke dalam drum, dipadatkan dan ditutup rapat (anaerob) selama 2-3 minggu
untuk daun sawit atau 60 hari untuk batang sawit (Hasan dkk, 1996 dalam Ginting dan
Elizabeth, 2004).
Peningkatan nilai nutrient solid melalui pendekatan enzimatis (fermentasi) dengan
menggunakan Aspergilus niger telah dilakukan oleh Sinurat et al. (1998) dalam Dwiyanto et
al. (2004). Dilaporkan bahwa kandungan protein kasar meningkat dari 12,21 % menjadi 24,5
%, sementara kandungan energi metabolis meningkat dari 1,6 Kkal/g menjadi 1,7 Kkal/g.
Perlakuan uap dengan tekanan bertujuan untuk memecah ikatan selulosa atau
hemiselulosa dengan lignin, sehingga energi yang terkandung di dalam bahan pakan lebih
banyak tersedia bagi ternak. Proses tekanan uap menggunakan “steaming”, bahan
dimasukkan ke dalam steaming, setelah beberapa waktu bahan dikeluarkan dari mesin dan
dimasukkan ke dalam drum, ditutup rapat dan dibiarkan selama 9 hari. Penelitian Oshio dkk,
1988 dalam Ginting dan Elizabeth (2004), menunjukkan bahwa berbagai kombinasi
perlakuan tekanan uap (kg/cm2) dengan waktu (menit) diperoleh kondisi optimal dengan
perlakuan tekanan pada 12,5 kg/cm2 selama 7,5 menit. Pada batang sawit teknik ini dapat
meningkatkkan kecernaan bahan kering, bahan organik lebih tinggi dibandingkan dengan
perlakuan Na OH.
PENGGUNAAN HASIL SAMPING SEBAGAI PAKAN TERNAK
Pelepah Kelapa Sawit. Hassan dan Ishida (1991) dalam Dwiyanto et al. (2004),
melaporkan bahwa pelepah kelapa sawit dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak
ruminasia, sebagai sumber pengganti hijauan atau dalam bentuk silase yang dikombinasikan
dengan bahan lain atau konsentrat sebagai campuran. Studi pada sapi Kedah Kalantan
menunjukkan bahwa tingkat kecernaan bahan kering dapat mencapai 45 %. Daun kelapa
sawit secara teknis juga dapat dipergunakan sebagai sumber atau pengganti pakan hijauan,
kekurangan daun tersebut disebabkan adanya lidi daun yang menyulitkan ternak untuk
mengkonsumsinya. Hal tersebut di atas dapat diatasi dengan pencacahan yang dilanjutkan
dengan pengeringan, digiling untuk selanjutnya dapat diberikan dalam bentuk pellet.
Penampilan sapi yang diberi pelepah segar atau silase dalam bentuk kubus, cukup
menjanjikan. Untuk mengoptimalkan penggunaan pelepah kelapa sawit maka bentuk kubus
(1-2 cm3) lebih disarankan. Pemberian pelepah sebagai bahan ransum dalam jangka waktu
yang panjang menghasilkan kualitas karkas yang baik.
Pelepah dapat mengganti rumput sampai 80 % tanpa mengurangi laju pertambahan
bobot badan domba yang sedang tumbuh. Pada sapi penggunaan pelepah dalam bentuk
silase sebanyak 50 % dari total pakan menghasilkan pertambahan bobot badan antara 0,620,75 kg, dan nilai konversi pakan berkisar antara 9,0 – 10,0. Pada sapi perah (Sahiwal)
pelepah digunakan sebagai sumber serat dan mampu menghasilkan susu sebanyak 5,7
liter/ekor/hari (Purba dkk.,1997; Ishida dan Hassan, 1993; Hassan, 1993 dalam Ginting dan
Elizabeth, 2004).
Tandan Kosong. Pemanfaatan tandan kosong yang mengandung serat kasar tinggi
dengan indikasi kandungan serat deterjen asam (ADF) sejumlah 61 % memiliki nilai biologis
yang rendah. Dalam pemanfaatannya disarankan agar dicampur bahan lain yang berkualitas.
Jumlah yang dapat diberikan dalam ransum sapi antara 30-50 % dengan perlakuan fisik
seperti dicacah agar ukurannya (2 cm) layak dikonsumsi (Mathius et al., 2004).
Batang Kelapa Sawit . Penelitian Oshio dkk (1988) dalam Ginting dan Elizabeth
(2004), menunjukkan bahwa batang kelapa sawit dapat digunakan dalam pakan sebanyak 30
% dari total pakan, dengan komposisi 30 % batang sawit dan 70 % konsentrat diperoleh
pertambahan bobot badan sebesar 0,66-0,72 kg pada sapi, sebanding dengan penggunaan
jerami (0,71 kg). tetapi efisiensi penggunaan pakan lebih baik pada penggunaan batang
sawit silase (FCR = 8,84) dibandingkan dengan jerami (FCR = 10,73).
Bungkil Inti Sawit. Meskipun kandungan protein BIS lebih rendah dibandingkan
bahan baku pakan sumber protein lain, tetapi kualitas protein pada bahan pakan ini relatif
tinggi. Kelemahan BIS adalah nilai palatabilitasnya yang relatif rendah. Dengan kandungan
serat yang lebih tinggi dibandingkan bahan pakan sumber protein lainnya, BIS kurang
disarankan sebagai bahan baku pakan ternak non ruminansia. BIS telah digunakan hingga
10

30 % sebagai pakan sapi perah masa laktasi untuk memenuhi kebutuhan energi dan protein
(Ahmad dan Omar, 1998 dalam Ginting dan Elizabeth, 2004).
Palatabilitas BIS sebagai pakan ruminansia baik hasil proses expeller maupun proses
ekstraksi dengan pelarut adalah tinggi, sehingga konsumsi pada ternak tidak menjadi
kendala. Tingkat pemberian antara 2-3 % bobot badan, pertambahan bobot badan 0,75
kg/ekor/hari dapat tercapai dengan pemberian BIS sebagai suplemen tunggal pada sapi.
Penggunaan BIS pada kambing dan domba menghasilkan pertambahan bobot badan 70-90
g/ekor/hari. Untuk ternak perah BIS dapat mengganti sepenuhnya pakan konsentrat
konvensional. Penggunaan BIS sebagai konsentrat tunggal dapat menekan biaya pakan 30
% dengan nilai konversi pakan sebesar 2,2 liter susu/kg. Kandungan Cu yang tinggi (1155µg/g BK) pada BIS meyebabkan gangguan fungsi hati dan ginjal pada penggunaan yang
tinggi. Hal ini dapat dihindari dengan pemberian Zn dalam bentuk seng sulfat pada dosis 500
µg/g (Jaelan dkk, 1991, Ginting dkk, 1987, Ganabathi, 1984, Abdul Rahman dkk, 1989,
Jaelani, 1991, Hair-Bejo dan Alimon, 1995, dalam Ginting. dan Elizabeth 2004).
Lumpur Minyak Sawit/Solid Decanter. Lumpur sawit mengandung protein kasar
berkisar 12-14 % dengan kandungan air yang tinggi, menyebabkan produk ini kurang
disenangi ternak. Kandungan energi yang rendah dengan abu yang tinggi menyebabkan
lumpur sawit tidak dapat dipergunakan secara tunggal. Upaya untuk meningkatkan
kandungan nutrient dan biologis melalui proses fermentasi berpeluang bagi ternak
ruminansia untuk memanfaatkannya secara optimal. Belum diketahui pasti jumlah lumpur
sawit yang aman digunakan sebagai pakan ruminansia (Jalaludin et al, 1991 dalam Mathius
et al., 2004).
Lumpur sawit dapat diberikan dalam bentuk segar atau dikeringkan terlebih dahulu.
Pada sapi perah kisaran berada antara 15-65 % dari total konsentrat yang diberikan. Solid
dapat menggantikan sepenuhnya dedak padi dalam konsentrat dan berpengaruh positif
terhadap konsumsi ransum, kadar lemak susu dan efisiensi penggunaan energi dan protein.
Pada kambing dan domba penggunaan sebesar 1 % bobot badan menghasilkan
pertambahan bobot badan harian sebesar 50-60 g dengan konversi pakan 17-18 Kombinasi
penggunaan BIS dan solid/lumpur sawit dapat menjadi suplemen alternatif. Rasio BIS /solid
yang optimal adalah 50/50 dengan hasil tercapainya pertambahan bobot badan 0,6 kg/h
dengan nilai konversi pakan sebesar 6,3 ( Windyati dkk, 1992, Vadiveloo, 1986, Handayani
dkk, 1987, dan Shamsudin dkk, 1987 dalam Ginting dan Elizabeth, 2004).
Penggunaan Kombinasi Hasil Sampingan Kelapa Sawit Sebagai Pakan Utama
atau Pakan Komplit.
Prinsip penyusunan kombinasi berbagai jenis ransum perlu
memperhatikan bahan-bahan yang berserat tinggi sebagai pakan dasar dan pakan yang
mengandung konsentrasi protein dan energi tinggi sebagai suplemen suatu ramuan.
Kombinasi serat perasan buah (25 %), BIS (15 %), dan lumpur sawit (10 %) dengan total
kontribusi pakan 50 % dapat digunakan untuk sapi. Untuk hidup pokok atau sedikit
pertumbuhan komposisi BIS (30 %), serat perasan buah (15 %), lumpur minyak sawit (18 %),
dengan total kontribusi 63 % dapat dipergunakan untuk sapi. Pakan komplit dalam bentuk
blok merupakan alternatif yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan penanganan,
terutama untuk produksi skala besar (Dalzell, 1977 dan Wong dkk, 1987 dalam Ginting dan
Elizabeth, 2004).
PEMANFAATAN KOTORAN TERNAK SAPI
Konsep pengelolaan limbah di perkebunan kelapa sawit adalah pemanfaatan limbah
secara integratif dalam program SISKA. Konsep pemanfaatan ini menyebabkan tidak ada
limbah cair pengolahan kelapa sawit yang dibuang ke ligkungan dan tidak terlepasnya CH4
yang memiliki efek rumah kaca 25 kali lebih besar dari CO2. Penggunaan decanter secara
signifikan mengurangi pencemaran limbah cair, karena dikutipnya cake untuk pakan ternak
dan light phase untuk pengutipan minyak, otomatis mengurangi 17,6 % bahan pencemar
dalam limbah. Decanter menghasilkan non oil solid (NOS) yang dapat dijadikan pakan
ternak.dari tiap 30.000 TBS setiap jamnya dapat dihasilkan NOS/lumpur sawit yang terdapat
pada cake (236,24 kg) dan heavy phase 537,51 kg. Feses atau kotoran sapi dijadikan
umpanbagi reaktor biogas. Gas yang dihasilkan akan digunakan untuk gas kompor dan
energi pengganti minyak solar aau bensin pada mesin pembangkit listrik. Hasil olahan
11

reaktor adalah pupuk mikro yang sudah tidak dapat lagi dijadikan tempat berkembang biak
mikroorganisme patogen dan langsung dapat diaplikasikan pada tanaman sebagai kompos.
Melalui SISKA efisiensi produksi dan penerapan pembangunan pertanian yang berkelanjutan
secara ekonomis, sosial dan lingkungan sudah diterapkan sehingga dapat meningkatkan nilai
tambah perkebunan kelapa sawit (Agricinal, 2004).
ANALISIS USAHA TANI INTEGRASI SAPI SAWIT
Pemeliharaan sapi dengan model plasma dengan pola gaduhan dengan awal
pemeliharaan 1 ekor selama periode 5 tahun dan inti dengan pola kredit 3 ekor selama 7
tahun menunjukkan hasil pendapatan sebesar :

Tabel 8. Analisis Usahatani Integrasi Sapi Kelapa Sawit
Uraian
Plasma
Inti
Luas kebun (ha)
1,75
15
Jumlah ternak(ekor)
4
12
Pendapatan peternak
1.246.101
17.966.000
R/C
1,42
2,18
Sumber : Gunawan et al. (2004).
Hasil analisis mengindikasikan bahwa pemeliharaan sapi dengan pola inti yang memiliki
lahan kebun lebih luas memberikan pendapatan yang lebih tinggi bagi peternak. Kondisi ini
menunjukkan bahwa skala usaha sangat berpengaruh terhadap tingkat pendapatan
pekebun, sehingga perlu dipertimbangkan pola dan skala usaha yang sesuai dengan daya
dukung sumberdaya. (Gunawan et al., 2004).
MODEL INTEGRASI TERNAK KAMBING -KEBUN KAKAO
Pada perkebunan kakao rakyat, limbah kulit buah kakao dan hijuan dari tanaman
pelindung (gamal dan lamtoro) dimanfaatkan petani sebagai sumber pakan dalam usaha
ternak kambing. Limbah kulit buah kakao selalu tersedia mengingat buah kakao pada
perkebunan rakyat dipanen hampir sepanjang tahun. Dengan interval dan cara pemotongan
yang benar, hijauan dari tanaman gamal dan lamtoro merupakan bahan yang selalu tersedia.
Berdasarkan kandungan nutrisinya kakao dan hijauan pelindung kakao merupakan pakan
yang berkualitas, karena memiliki kandungan protein kasar kulit buah kakao sekitar 10 %
sementara hijauan dari gamal dan lamtoro lebih dari 20 % (Prabowo et al., 2004).
Kulit kakao digunakan sebagai pakan ternak kambing dengan cara pemberian
dicacah dengan ukuran 5 x 1 cm yang diberikan secara segar. Penggunaan kulit kakao akan
mengurangi jumlah pakan hijauan yang harus dipersiapkan sebagai pakan ternak, cukup
separoh dari yang biasa diberikan. Pemanfaatan kulit kakao dan hujauan dengan tambahan
mineral blok pada kambing betina/dara mampu meningkatkan pertambahan bobot badan dari
38 menjadi 38g/hari. Pemberian pakan 30 – 70 % kulit buah kakao ditambah blok suplemen
pakan lengkap pada kambing jantan dan betina dapat mencapai peningkatan berat badan
harian sebesar 76,8 dan 58,6 g. Kendala utama yang masih dirasakan adalah bahwa kulit
kakao hanya mau dikonsumsi kambing sampai dengan 3 hari setelah dikupas (Priyanto et al.,
2004).
Pemeliharan ternak kambing yang dikandangkan sangat dianjurkan dengan
pertimbangan faktor keamanan, memudahkan pengontrolan reproduksi dan mencegah
terjadinya kembung perut (bloat) yang sering muncul dan menyebabgkan kematian pada
ternak kambing dalam pemeliharaan ekstensif. Pengandangan kambing juga memudahkan
rekording ternak dan memudahkan penanganan kotoran ternak sebagai pupuk organik.
Manajemen perkawinan akan mudah dilakukan sehingga kambing dapat beranak 3 kali
selama dua tahun (Bulo, et al., 2004).

12

ANALISIS USAHATANI INTEGRASI TERNAK KAMBING-KAKAO
Berdasarkan hasil analisa usahatani ternak kambing PE dengan pemberian pakan
tambahan (supplemen) dengan dasar pakan hijauan dan kulit buah kakao disajikan pada
tabel 9.
Tabel 9. Analisa Usaha Ternak Kambing
Uraian
Kontrol
Koperator
Skala Usaha(ekor)
9
9
Biaya tetap
6.853.600
7.109.180
Penerimaan
8.019.750
9.274.500
Pendapatan Bersih
1.166.150
2.165.300
R/C
1,17
1,31
Sumber : Prabowo et al., (2004).
Introduksi teknologi pakan pada pemeliharaan ternak kambing di lampung diketahui bahwa
dalam satu tahun rata-rata petani kooperator mendapatkan ternak kambing yang lebih
banyak (17 ekor banding 14 ekor) dengan pendapatan bersih Rp. 2.165.300 dan R/C
sebesar 1,31. tambahan pedapatan petani yang menerapkan teknologi supplemen pakan
dan pemberian kulit kakao lebih tinggi Rp. 999.150 (85,7%) dibanding pendapatan yang
diperoleh petani yang tidak menerapkan teknologi supplemen pakan (Prabowo et al., 2004).
KESIMPULAN
1. Pakan dasar ternak sapi dari kebun kelapa sawit meliputi pelepah, daun, serat
perasan buah dan batang kelapa sawit dapat ditingkatkan nilai gizinya melalui
perlakuan pemberian NaOH, fermentasi dan uap.
2. Biomassa setiap ha tanaman kelapa sawit mampu mendukung 1-3 ekor sapi
dewasa per tahun.
3. Integrasi ternak dengan Kebun Kelapa Sawit dapat menurunkan biaya produksi,
saling menguntungkan (benefit mutualistis), pemroses hasil samping perkebunan,
pemberantas gulma, pemanfaatan limbah naungan tanah, tenaga kerja (penghela)
dan bertindak sebagai sumber penghasilan bagi petani.
4. Limbah kulit buah kakao dan hijuan dari tanaman pelindung (gamal dan lamtoro)
dimanfaatkan petani sebagai sumber pakan dalam usaha ternak kambing.
5. Penggunaan kulit buah kakao sebagai pakan ternak kambing dapat diberikan sampai
sebesar 70 % dari total pakan.
6. Pengandangan ternak kambing sangat dianjurkan dengan pertimbangan faktor
keamanan, memudahkan pengontrolan reproduksi, mencegah terjadinya kembung
perut (bloat), memudahkan rekording ternak dan memudahkan penanganan kotoran
ternak sebagai pupuk organik.
7. Pengembangan model integrasi tanaman kebun dan ternak memberikan tambahan
pendapatan yang berarti bagi petani.
DAFTAR PUSTAKA
Agricinal, P.T. 2004. Deskripsi Konsep dan Implementasi Program Nirlimbah Cair
Dalam Sistem Integrasi Sapi-Sawit di PT. Agricinal. Bidang Pengelolaan Lingkungan PT.
Agricinal, Bengkulu.
Arifin B. 2003. Peluang Investasi dan Lapangan Kerja dalam Rangka Pembangunan
Agribisnis Berbasis Peternakan. www.deptan.go .id.
Badan Informasi Daerah Kalimantan Barat. 2002. Provinsi Kalimantan Barat,
Indonesia : Perkembangan, Potensi dan Peluang Investasi. Badan Informasi Daerah
Kalimantan Barat, Pontianak.
13

BPS. 2003. Kalimantan Barat Dalam Angka 2002. Biro Pusat Statistik Propinsi
Kalimantan Barat, Pontianak.
Bulo D, Agustinus N, Kairupan dan F.F. Munier
Dinas Perkebunan Propinsi Kalimantan Barat. 2004. Informasi Kawasan Industri
Masyarakat Perkebunan (KIMBUN) Kelapa Sei Kakap Kabupaten Pontianak. Dinas
Perkebunan Propinsi Kalimantan Barat, Pontianak.
Dirjen Bina Produksi Peternakan, 2004. Analisa Ekonomi Program Kecukupan
Daging 2005. www.deptan.go .id.
Dirjennak.2004. Integrasi Ternak Sapi Dengan Perkebunan Kelapa Sawit.
www.deptan.go .id.
Dradjat B, Prajogo U. Hadi, Ridwan Dreinda dan Bambang Sulistyo. 1995.
Pengkajian Pengembangan Agribisnis Perkebunan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian, Bogor.
Dwiyanto, K., Dapot Sitompul, Ishak Manti, I Wayan Mathius, Soentoro. 2004.
Pengkajian Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Dalam “Prosiding
Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi”. Badan Litbang Pertanian, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Pemerintah Propinsi Bengkulu dan PT. Agricinal,
Bogor.
Elizabeth, Y. dan Simon P. Ginting. 2004. Pemanfaatan Hasil Samping Industri
Kelapa Sawit Sebagai Bahan Pakan Ternak Sapi Potong. Dalam “Prosiding Lokakarya
Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi”. Badan Litbang Pertanian, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Peternakan, Pemerintah Propinsi Bengkulu dan PT. Agricinal, Bogor.
Gunawan, Azmi, I.W. Mathius, Daryanto, Majestika, S. Kholik dan D.M. Sitompul.
2004 Evaluasi Model Pengembangan Sistem Integrasi Sapi Dengan Kelapa Sawit. Dalam
Prosiding Seminar Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Bogor.
Harris U., Baryono Hardjosuwito, Hermansyah dan Bagya. 1995. Pemanfaatan Biji
Karet Secara Komersial Suatu Analisis Potensi dan Kelayakan. Warta Pusat Penelitian Karet,
Asosiasi Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Indonesia, Medan.
Lermansius H, Ken Suratiyah dan Mashuri. 2000. Usahatani Ternak Domba Berbasis
Perkebunan di Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Agro Ekonomi Vol
ume 8 No. 2 Des 2000. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Matius, I.W., Dapot Sitompul, B.P. Manurung, Azmi. 2004. Produk Samping Tanaman
dan Pengolahan Buah Kelapa Sawit Sebagai Bahan Dasar Pakan Komplit Untuk Sapi.
Dalam “Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi”. Badan Litbang
Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Pemerintah Propinsi Bengkulu
dan PT. Agricinal, Bogor.
Prabowo A. Elma Basri, Firdausil AB, B. Sudaryanto dan Sjamsul Bahri. 2004. Kajian
Sistem Usahatani Ternak Kambing Pada Perkebunan Kakao Rakyat di Lampung. Dalam
Prosiding Seminar Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Bogor.
Priyanto D., Atien priyanti dan I Inounu. 2004. Potensi dan Peluang Pola Integrasi
Ternak Kambing Pada Perkebunan Kakao Rakyat di Propinsi Lampung. Dalam Prosiding
Seminar Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Bogor.
Sajimin, M.E. Siregar dan Agus Mulyana. 1992. Pengaruh Berbagai Umur Tanaman
Kelapa Pada Susunan Botanis Hijauan Lokal di Perkebunan Kelapa di pakuwon, Sukabumi.
Dalam Teknologi Pakan dan Tanaman Pakan. Balai Penelitian Ternak, Bogor.
Van Soest, P.J. 1982. Nutritional Ecology of the Ruminant. O&B Books Inc., Oregon.

14

Dokumen yang terkait

ANALISIS KEMAMPUAN SISWA SMP DALAM MENYELESAIKAN SOAL PISA KONTEN SHAPE AND SPACE BERDASARKAN MODEL RASCH

69 778 11

APLIKASI BIOTEKNOLOGI BAKTERI FOTOSINTETIK DALAM MENINGKATKAN MUTU GIZI BIJI KEDELAI

4 68 14

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

PENGAJARAN MATERI FISIKA DASAR UNTUK MAHASISWA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

9 106 43

MODEL KONSELING TRAIT AND FACTOR

0 2 9

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

PENGARUH HASIL BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN TERHADAP TINGKAT APLIKASI NILAI KARAKTER SISWA KELAS XI DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH DI SMA NEGERI 1 SEPUTIH BANYAK KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN PELAJARAN 2012/2013

23 233 82

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TPS UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KERJASAMA DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV B DI SDN 11 METRO PUSAT TAHUN PELAJARAN 2013/2014

6 73 58

EVALUASI ATAS PENERAPAN APLIKASI e-REGISTRASION DALAM RANGKA PEMBUATAN NPWP DI KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA TANJUNG KARANG TAHUN 2012-2013

9 73 45

PENINGKATAN HASIL BELAJAR TEMA MAKANANKU SEHAT DAN BERGIZI MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE PADA SISWA KELAS IV SDN 2 LABUHAN RATU BANDAR LAMPUNG

3 72 62