jual beli Online menurut Pandangan Islam

Jual beli Online menurut Pandangan Islam
JUAL BELI
1.

Pengertian Jual Beli
Jual beli menurut bahasa (etimologi) ialah menukar atau menyerahkan sesuatu barang,
dengan barang lain dalam bentuk akad (perjanjian).
Secara istilah (terminologi) yang dimaksud jual beli adalah sebagai berikut :

a.

Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak
milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar merelakan.

b.

‫عي رين شمالعي يشية عبممشعاشوشضية عبارذين ششررعع يي‬
‫تشرملعي رمك ش‬
Artinya:
"Pemilikan harta benda dengan jalan tukar-menukar yang sesuai dengan aturan syara’.”


c.

‫عشلى‬
‫عشلى شسعبي رعل التي ششراعضى أ شرون شرقمل عمل ريك بششعرويض ش‬
‫ممشباشدل شمة شمايل عبشمايل ش‬
‫الشمأ ممذروعن عفي رعه‬
Artinya :
“Pertukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan atau memindahkan
hak milik dengan ada penggantinya dengan cara yang dibolehkan.”
Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas dapat penulis pahami bahwa inti jual beli
ialah sesuatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara
sukarela di antara kedua belah pihak, dengan alat pengganti yang dibenarkan oleh hukum
Islam. Yang dimaksud alat pengganti adalah alat pembayaran yang sah dan diakui
keberadaannya. Misalnya uang rupiah.

2.

Dasar Hukum Jual Beli

Adapun yang menjadi dasar hukum kebolehan jual beli didasarkan pada:

a.

Ketentuan al-Qur’ân

Dalam al-Qur’ân Surat al-Baqarah: 275
Artinya:
“ Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli

itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba),
maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. “
Dalam al-Qur’ân Surat al-Nisa’: 29
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka .”
b.


Ketentuan Al-Hadits

Adapun keterangan al-Hadits mengenai jual beli adalah sebagai berikut:
‫عرن شداموشد اعبرمن شصا لعيح‬
‫ ش‬,‫ح يشميد‬
‫ شحشدث ششنا ش‬.‫ح يشميد‬
‫عبرمد ال رشععزي رعز اعبرمن مم ش‬
‫ شحشدث ششنا شمررشواشن اعبرمن مم ش‬,‫شحشدث ششنا ال رشع ي شبامس اعبرمن رالشولعي رعد ال رشدشمرشعق يمي‬
(‫عرن تششرايض(( )رواه ابن ماجه‬
‫ت أ ششباشسععي ريد ال ر م‬
‫ شسعمرع م‬:‫عرن أ شعبي رعه شقاشل‬
‫م ))عإن ي ششماالبشي رمع ش‬.‫ شقاشل شرمسرومل الله ص‬:‫خرذعر ي شي ي شمقرومل‬
‫ ش‬,‫ال رشمشدعنري‬
Artinya :
“Menawarkan kepada kami al-‘Abas ibn al-Walîd al-Dmasqiy; mewartakan kepada kami
Marwân ibn Muhammad; mewartakan kepada kami ‘Abd al-Aziz dari ayahnya, dia berkata:
Rasûllâh Saw bersabda: sesungguhnya jual beli itu atas dasar suka sama suka.” (HR. Ibn
Mâjjah)
Sabda Rasullulah SAW:

‫عشممل ال يشرمجعل عبي شعدعه‬
‫ب ؟ شقاشل ش‬
‫عن رمه أ ش يشن الن يشعبى شص ي شلى اللمه ش‬
‫عشة عبرن شراعفعع شرعضشى اللمه ش‬
‫عرن شرعفا ش‬
‫ش‬
‫عل شي رعه شوشسل ششم مسعئشل ا ش يمي ال رك شرسعب ا شرطي ش م‬
(‫شوك ممل بشي ريع شمبرمررورر )رواه البزر وصحه الحاكم‬
Artinya :
“ Dari Rifa’ah putera Rafi’, ra. Ia berkata : Bawasannya Rasullulah SAW pernah ditanya :
Usaha apakah yang paling halal itu (ya Rasullulah)? Jawab beliau: Yaitu kerjanya seorang
laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrûr.” (HR. Bazzar dan
dinilai shahih oleh Hakim)
Yang dimaksud mabrûr dalam hadits di atas adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu
menipu dan merugikan orang lain.
c.

Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak


akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian,
bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkan itu, harus diganti dengan barang
lainnya yang sesuai.
Dari pemaparan di atas dapat penulis pahami bahwa, prinsip utama dalam jual beli adalah
suka sama suka yang tidak mengandung unsur riba dan bathil, sehingga tidak ada salah satu
pihak yang dirugikan baik penjual maupun pembeli. Selain itu, dalam melakukan jual beli
juga harus diperhatikan mencari yang halal dengan jalan yang halal pula. Maksudnya halal
yang diperbolehkan oleh agama untuk diperjualbelikan atau diperdagangkan dengan cara
yang sejujur-jujurnya dengan tetap mengindahkan peraturan-peraturan jual beli.
Firman Allah dalam al-Qur’ân Surat al-A’raf ayat 157
Artinya :
(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang umi yang (namanya) mereka dapati
tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka
mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang
buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada
mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orangorang yang beruntung
3.


Rukun Jual Beli
Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama ada empat, yaitu:
a. Bây’ (penjual).
b. Musytari (pembeli)
c. Syighat (îjâb dan kabûl)
d. Ma’qûd ‘alayh (benda atau barang)
Dalam melakukan jual beli harus memenuhi rukun-rukunnya. Bila rukun tersebut
salah satu saja tidak terpenuhi maka, jual beli tersebut tidak dapat dilangsungkan.

4.

Syarat jual beli
Akad atau perjanjian dalam kegiatan jual beli menempati posisi yang sangat penting.
Karena akad atau perjanjian ini yang membatasi hubungan atara dua belah pihak yang terlibat
dalam kegiatan mu’amalah tersebut baik di masa sekarang ataupun di masa yang akan datang.
Karena dasar dari hubungan itu adalah perbuatan atau pelaksanaan dari dua belah pihak yang
melakukan akad.
Kedua belah pihak harus menghormati dan menjujung tinggi terhadap apa yang

mereka akadkan atau perjanjiankan. Karena hal ini sesuai dengan firman Allah di dalam alQur’ân Surat al-Maidah ayat 1, yang berbunyi :

Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang
ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah
menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”
Dalam jual beli haruslah memenuhi syarat baik tentang subjeknya, tentang
lafalnya, dan objeknya.
a.

Syarat âqid (penjual dan pembeli)
Penjual dan pembeli selaku subjek hukum dari perjanjian jual beli harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1). Berakal sehat.
2). Keduanya merupakan pemilik barang atau yang dijadikan wakil.
3). Dengan kehendaknya sendiri (bukan dipaksa).
4). Baligh.
Setelah syarat ini terpenuhi, maka perjanjian jual beli dapat dibuat dan harus selalu
didasarkan pada kesepakatan antara penjual dengan pembeli. Terkait dengan syarat
kesepakatan ini, al-Qur’ân Surat al-Nisa’ ayat 29 menyatakan bahwa:
Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.”
Jadi berdasarkan pada ketentuan ayat ini, Allah melarang adanya kesepakatan yang
mengandung unsur ribawi. Karena apabila unsur riba masuk berarti di situ terjadi eksploitasi
terhadap sesama. Salah satu hikmah diharamkannya riba adalah untuk mencegah
penganiayaan atau perlakuan zalim pihak kreditur (pemilik uang) terhadap debitur
(peminjam).

b.

Syarat syighat
1). Berhadap hadapan.
Pembeli atau penjual harus menunjukkan syighat akadnya kepada orang yang sedang
bertransaksi dengannya, yakni harus sesuai dengan orang yang dituju. Dengan demikian,

tidak syah berkata, “ Saya menjual kepadamu! ” Tidak boleh berkata, “ Saya menjual
kepada Ahmad ” padahal nama pembeli bukan Ahmad.
2). Ditujukan pada seluruh badan yang akad.

Tidak syah mengatakan, “Saya menjual barang ini kepada kepala atau tangan kamu.”
3). Kabûl diucapkan oleh orang yang dituju dalam îjâb.
Orang yang mengucapkan kabûl haruslah orang yang diajak bertransaksi oleh orang
yang mengucapkan îjâb, kecuali jika diwakilkan.
4).

Harus menyebutkan barang atau harga.

5).

Ketika mengucapkan syighat harus disertai niat (maksud).

6).

Pengucapan îjâb dan kabûl harus sempurna.

7).

Îjâb kabûl tidak terpisah.
Antara îjâb dan kabûl tidak boleh diselingi oleh waktu yang terlalu lama, yang


menggambarkan adanya penolakan dari salah satu pihak.
8).

Antara îjâb dan kabûl tidak terpisah dengan pernyataan lain.

9).

Tidak berubah lafaz.
Lafaz îjâb tidak boleh berubah, seperti perkataan, “Saya jual dengan lima ribu,

kemudian berkata lagi, Saya menjualnya dengan sepuluh ribu,” padahal barang yang dijual
masih sama dengan barang yang pertama dan sebelum ada kabûl.
10). Bersesuaian dengan îjâb dan kabûl secara sempurna.
11). Tidak dikaitkan dengan sesuatu.
Akad tidak boleh dikaitkan dengan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan akad.
12). Tidak dikaitkan dengan waktu.
Adapun menurut Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya yang berjudul Azas-Azas
Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam) syighat akad dapat dilakukan dengan secara lisan,
tulisan, dan isyarat yang memberi pengertian dengan jelas tentang adanya îjâb dan kabûl, dan

dapat juga berupa perbuatan yang telah menjadi kebiasan dalam îjâb dan kabûl. Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 282 yang berbunyi:
‫شيا أ شي يمشها ال ي شعذيشن آشممنوا عإشذا تششداي شن رتمرم عبشدي رين عإشلى أ ششجيل ممشس ي ممى شفاك رتممبومه‬
‫ب عبال رشعردعل‬
‫ب بشي رن شك مرم شكاعت ر‬
‫شول ري شك رتم ر‬
Artinya:
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklahseorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. “
Dari Surat al-Baqarah ayat 282 dan kaidah hukum Islam di atas dapat penulis pahami bahwa

pencatatan (penulisan) sangat penting dilakukan karena salah satu hikmahnya adalah untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan atau perselisihan dikemudian hari sehingga
perselisihan dapat dihindari sekecil mungkin dan tidak ada pihak yang dirugikan. Karena
manfaat pencatatan ini sangat besar dalam bermu’amalah di bandingkan kemadharatannya.
c. Syarat ma’qûd ‘alayh (barang)
1.

Suci atau bersih barangnya.
Dalam ajaran Islam dilarang melakukan jual beli barang-barang yang mengandung unsur
najis ataupun barang-barang yang nyata-nyata diharamkan oleh ajaran agama. Firman Allah
dalam al-Qur’ân Surat al-A’raf ayat 157
Artinya:
“.........dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka
segala yang buruk.........”

2.

Dapat dimanfaatkan.
Pengertian manfaat ini, tentu saja bersifat relatif. Karena pada dasarnya setiap barang
mempunyai manfaat, sehingga untuk mengukur kriteria kemanfaatan ini hendaknya memakai
kriteria agama. Pemanfaatan barang jangan sampai bertentangan dengan agama, peraturan
perundang-undangan, maupun ketertiban umum yang ada dalam kehidupan bermasyarakat.

3.

Milik orang melakukan akad atau yang diberi izin pemilik.
Barang yang menjadi objek perjanjian jual beli harus benar-benar milik penjual secara
syah. Dengan demikian jual beli yang dilakukan terhadap barang yang bukan miliknya atau
tanpa izin pemiliknya adalah batal.

4.

Mampu menyerahkan.
Dalam artian barang harus sudah ada dan diketahui baik wujud, jumlah atau kriteria
barang pada saat perjanjian jual beli tersebut diadakan.

5.

Mengetahui.
Artinya, bahwa terhadap barang yang menjadi objek jual beli, harus secara jelas
diketahui spesifikasinya, jumlahnya, timbangannya, dan kualitasnya.
Secara umum syarat sah akad adalah syarat-syarat yang berhubungan semua bentuk jual beli
yang telah ditetapkan syara’. Di antaranya syarat-syarat yang telah disebutkan di atas. Juga
harus terhindar dari kecacatan jual beli, yaitu: ketidak jelasan, keterpaksaan, pembatasan
dengan waktu, penipuan, kemadaratan, dan persaratan yang merusak lainnya.
Dari pemaparan di atas dapat penulis pahami bahwa, dalam praktek jual beli selain rukun
juga harus dipenuhinya syarat-syaratnya. Bila rukun dan syarat-syaratnya sudah terpenuhi

maka jual beli tersebut termasuk jual beli yang mabrûr yaitu jual beli yang terhindar dari
usaha tipu menipu dan merugikan orang lain.
5. Tsaman (Harga) dan Mabi’ (Barang atau Objek Jual Beli)
a. Pengertian tsaman (harga) dan Mabi’
Secara umum, mabi’ adalah ‫( شما ي شتششعي يشمن عبالتي شرععيي رعن‬perkara yang menjadi tentu dengan
ditentukan). Sedangkan pengertian harga secara umum, adalah ‫( شما ل ش ي شتششعي يشمن عبالتي شرععيي رعن‬perkara yang
tidak tentu dengan ditentukan).
b. Perbedaan tsaman (harga), Nilai, dan Utang.
1) Harga
Harga hanya terjadi pada akad, baik lebih sedikit, lebih besar, atau sama dengan nilai
barang. Biasanya, harga dijadikan penukar barang yang diridhai oleh kedua pihak yang akad.
2) Nilai sesuatu
Sesuatu yang dinilai sama menurut pandangan manusia
3) Utang
Utang adalah sesuatu yang menjadi tanggungan seseorang dalam urusan harta, yang
keberadaannya disebabkan adanya beberapa iltijam, yakni keharusan untuk mengerjakan atau
tidak mengerjakan sesuatu untuk orang lain, seperti berhutang dan lain-lain.
Macam-Macam Jual Beli
a. Jual beli yang diperbolehkan
Jual beli berdasarkan harga, dibagi menjadi empat macam:
Jual beli yang menguntungkan (al-Murabahah) : Yakni jual beli barang dengan harga pokok
ditambah dengan sejumlah keuntungan yang disepakati dalam perjanjian.
1)

Jual beli yang tidak menguntungkan (at-Tauliyah).
Yakni jual beli dengan harga aslinya.

2)

Jual beli rugi (al-Khasarah).
Yakni jual beli barang di bawah harga pokok.

3)

Jual beli al-Musawah.
Yakni penjual menyembunyikan harga pokoknya, tetapi kedua orang yang beraqad saling
meridhai.
Jual beli berdasarkan pertukarannya secara umum dibagi menjadi empat:

1)

Jual beli salam (pesanan).
Yakni jual beli dengan cara menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya
diantar belakangan.

2)

Jual beli barter (muqayadhah).
Yakni jual beli dengan cara menukar barang dengan barang, seperti menukar baju dengan
celana.

3)

Jual beli mutlaq.
Yakni jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat pertukaran, seperti
uang.

4) Jual beli alat penukar dengan alat penukar.
Yakni jual beli barang yang biasa dipakai sebagai alat penukar dengan alat penukar lainnya,
seperti uang perak dengan uang emas.
b Jual beli yang dilarang
Jual beli terlarang sebab syara’
1). Orang kota yang menjualkan barang orang dusun. Yang dimaksud adalah orang kota yang
menjadi calo bagi orang dusun.
2). Menjual barang yang masih dalam proses transaksi dengan orang lain atau menawar
barang yang masih ditawar orang lain.
3). Berjualan ketika dikumandangkan azan Jum’at. Firman Allah:
‫جممشععة شفارسشعروا عإشلى‬
‫شيا أ شي يمشها ال ي شعذيشن آشممنوا عإشذا منوعدشي علل ي شصلعة عمرن ي شروعم ال ر م‬
‫عذك رعر الل ي شعه شوشذمروا ال ربشي رشع شذلعك مرم شخي ررر ل شك مرم عإرن ك من رتمرم تشرعل شمموشن‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada
Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Al-Jum’ah:9).
Yang dimaksud jual beli di sini adalah apabila imam telah naik mimbar dan muazzin telah
azan di hari Jum'at, Maka kaum muslimin wajib bersegera memenuhi panggilan muazzin itu
dan meninggalakan semua pekerjaannya.
Adapun penyebab terlarangnya sebuah transaksi, menurut Adiwarman A. Karim, adalah
disebabkan beberapa faktor:
1)

Haram zatnya (haram li-dzatihi)
Transaksi dilarang karena objek (barang atau jasa) yang ditransaksikan haram.
Misalkan: minuman keras, bangkai dan sebagainya.
2) Haram selain zatnya (haram li ghoirihi)

a). Melanggar prisip antaraddim minkum tadlis
Yaitu transaksi yang sebagian informasinya tidak diketahui oleh salah satupihak, karena
disembunyikannya informasi buruk dari pihak lainnya.
b). Melanggar prisip jangan menzalimi dan jangan dizalimi
Praktik-praktik yang melanggar prinsip ini antara lain:
(1) Rekayasa pasar.
(a) Ikhtikar yaitu mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih
sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi.
(b) Bai’ najasy yaitu penjual menyuruh orang lain untuk memuji barang-barangnya atau menawar
dengan harga tinggi agar orang lain tertarik.
(2) Gharar.
Merupakan jenis benda yang ditransaksikan tanpa ada kejelasan ukuran dan sifatnya
ketika trasaksi berlangsung. Seperti menjual binatang yang masih dalam kandungan
induknya.
(3) Riba.
Ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan.
3) Tidak sah atau tidak lengkap akadnya.
Karena sebuah transaksi jual beli harus terpenuhi syarat dan rukunnya. Bila syarat dan
rukun tersebut tidak terpenuhi, maka tidak syah jual beli yang dilakukan.
Resiko Jual Beli
Resiko dalam jual beli adalah suatu peristiwa yang mengakibatkan barang tersebut (yang
dijadikan objek perjanjian jual beli) mengalami kerusakan, dan peristiwa itu memang tidak
dikehendaki oleh kedua belah pihak, misalnya: bencana alam (gempa bumi, banjir, gunung
meletus).
Dalam ajaran Islam, hal itu merupakan sesuatu yang wajar, sebab segala sesuatu dapat
terjadi sesui dengan kehendak Allah. Tidak ada daya dan upaya bagi umat manusia jika Allah
SWT menghendakinya.
Sehingga adanya resiko menimbulkan konsekuensi siapa yang harus bertanggung jawab,
dalam kontek jual beli mungkin menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Solusi atas
keadaaan ini harus dilihat satu persatu yakni kapan kerusakan barang (objek) perjanjian jual
beli itu terjadi. Untuk itu ada dua kemungkinanan, yaitu kerusakan barang sebelum serah
terima atau kerusakan barang sesudah serah terima.

a. Kerusakan barang sebelum serah terima
Tentang kerusakan barang sebelum serah terima dilakukan antara penjual dan pembeli, yaitu:
1.

Jika barang rusak sebagian atau seluruhnya sebelum diserahterimakan akibat dari perbuatan
pembeli, maka jual beli tidak menjadi fasak (batal), akad berlangsung sediakala dan pembeli
berkewajiban membayar seluruh bayaran (penuh). Karena ia penyebab kerusakan.

2.

Jika kerusakan terjadi akibat perbuatan orang lain, maka pembeli boleh menentukan pilihan
antara menuntut orang lain tersebut atau membatalkan akad.

3.

Jual beli menjadi fasak (batal) jika barang rusak sebelum serah terima akibat perbuatan
penjual atau ada bencana alam.

4.

Jika sebagian rusak lantaran perbuatan penjual, pembeli tidak berkewajiban membayar
terhadap kerusakan tersebut, sedangkan untuk barang yang masih utuh, dia boleh menentukan
pilihan pengambilannya dengan potongan harga.

5.

Jika kerusakan barang akibat ulah pembeli, pembeli tetap berkewajiban membayar. Penjual
boleh menentukan pilihan antara membatalkan akad atau mengambil sisa dengan membayar
kekurangannya.

6.

Jika kerusakan terjadi akibat bencana alam dan Tuhan yang membuat kurangnya kadar
barang sehingga harga barang berkurang sesuai dengan yang rusak. Dalam keadaan seperti ini
pembeli boleh menentukan pilihan, antara membatalkan akad dengan mengambil sisa atau
dengan pengurangan pembayaran.
Dalam rusaknya barang sebelum serah terima Imam mazhab berbeda pendapat. Menurut
Abu Hanifah dan Syafi’i: Jika barang belian rusak sebelum diserahterimakan, maka batal
transaksi jual belinya. Pembeli tidak harus memberikan uangnya karena tidak adanya barang
yang dibeli. Sedang menurut Imam Malik dan Ahmad: Jika barang rusak sendiri, karena
cuaca misalnya, sebelum diserah terimakan tapi setelah transaksi, maka itu menjaadi
tanggung jawab si pembeli. Sebab, dengan selesainya transaksi, barang belian sudah menjadi
hak dan penjagaan pembeli, meski belum diserah terimakan.
b. Kerusakan barang sesudah serah terima
Menyangkut resiko barang yang terjadi sesudah serah terima barang antara penjual dan
pembeli, sepenuhnya menjadi tanggung jawab pembeli. Pembeli wajib membayar seluruh
harga sesua dengan yang telah diperjanjikan. Namun demikian, apabila ada alternatif lain dari
penjual, misalnya: dalam bentuk penjaminan atau garansi, penjual wajib menggantikannya
dengan hal yang serupa.

BISNIS ONLINE
Umumnya transaksi dilakukan dengan hadirnya dua orang yang mengadakan
transaksi dan adanya kerelaan kedua belah pihak yang dibuktikan dengan ijab dari penjual
dan qobul dari pembeli.Seiring perkembangan teknologi, terdapat beberapa alat yang bisa
digunakan dari jarak jauh. Ada yang dengan suara melalui telepon atau dengan mengirimkan
salinan surat perjanjian via faks atau dengan tulisan via internet. Apakah transaksi sah meski
dua orang yang bertransaksi tidak berada dalam satu tempat? Apakah komunikasi yang
dilakukan melalui piranti di atas sudah dinilai cukup?
Analog dengan Kasus di Masa Silam
Transaksi via tulisan (baca: faks atau internet) bisa dianalogkan dengan transaksi dengan
tulisan yang ditujukan kepada orang yang tidak berada di majelis transaksi. Kasus semacam
ini dibolehkan oleh mayoritas ulama karena adanya saling rela, meski kerelaan pihak kedua
tidak langsung terwujud. Hal ini tidaklah masalah asalkan ada qobul (penyataan menerima
dari pihak kedua) pada saat surat sampai kepada pihak kedua. Inilah pendapat mayoritas
ulama. Tapi ada sebagian ulama Syafi’iyyah yang tidak membolehkannya.
Sedangkan transaksi via suara (baca:telepon) bisa dianalogkan dengan transaksi dengan cara
saling berteriak dari jarak yang berjauhan. An Nawawi dalam al Majmu’ 9/181
mengatakan, “Andai ada dua orang yang saling berteriak dari kejauhan maka jual beli sah
tanpa ada perselisihan”.
Para ulama mempersyaratkan adanya kesatuan majelis untuk selain transaksi hibah, wasiat
dan mewakilkan.
Ijab dan qobul disyaratkan harus berturut-turut dan tolak ukur berturut-turut adalah kembali
pada urf (kebiasaan masyarakat setempat). Menurut mayoritas ulama (selain Syafi’iyyah),
qobul tidak diharus sesegera mungkin demi mencegah adanya pihak yang dirugikan dan
supaya ada kesempatan untuk berpikir.
Jika ijab itu via surat maka disyaratkan adanya qobul dari pihak kedua pada saat surat sampai
ke tangannya.
Demikian pula disyaratkan adanya kesesuaian antara ijab dan qobul serta tidak ada indikasi
yang menunjukkan bahwa salah satu pihak yang bertransaksi membatalkan transaksi.
Menurut mayoritas ulama pihak yang mengeluarkan ijab (pihak pertama) boleh meralat
ijabnya.
Pendapat Ulama Kontemporer
Banyak ulama kontemporer yang berpendapat bahwa transaksi dengan piranti-piranti modern
adalah sah dengan syarat ada kejelasan dalam transaksi tersebut. Di antara mereka

adalah Syeikh Muhammad Bakhit al Muthi’i, Mushthofa az Zarqa’, Wahbah Zuhaili dan
Abdullah bin Mani’. Alasan beliau-beliau adalah sebagai berikut:
1.

Berdasar pendapat banyak ulama di masa silam yang menyatakan sahnya transaksi via surat
menyurat dan jika ijab (penyataan pihak pertama) adalah sah setelah sampainya surat ke
tangan pihak kedua. Demikian pula mengingat sahnya transaksi dengan cara berteriak.

2.

Yang dimaksud dengan disyaratkannya ‘kesatuan majelis transaksi’ adalah adanya suatu
waktu yang pada saat itu dua orang yang mengadakan transaksi sibuk dengan masalah
transaksi. Bukanlah yang dimaksudkan adalah adanya dua orang yang bertransaksi dalam
satu tempat.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka majelis akad dalam pembicaraan via telepon adalah
waktu komunikasi yang digunakan untuk membicarakan transaksi.
Jika transaksi dengan tulisan maka majelis transaksi adalah sampainya surat atau tulisan dari
pihak pertama kepada pihak kedua. Jika qobul tertunda dengan pengertian ketika surat
sampai belum ada qobul dari pihak kedua maka transaksi tidak sah.
Syeikh Muhammad Bakhit al Muthi’i ditanya tentang hukum mengadakan transaksi
dengan telegram. Jawaban beliau, telegram itu seperti hukum surat menyurat. Cuma telegram
itu lebih cepat. Akan tetapi mungkin saja terjadi kekeliruan. Oleh karena itu, ada keharusan
untuk klarifikasi dengan sarana-sarana yang ada pada saat ini semisal telepon atau yang
lainnya.
Semisal dengan telegram adalah faks.
Untuk sarana-sarana yang lain maka boleh jadi sama dengan telepon dan telegram dalam
kecepatan dan kejelasan komunikasi atau lebih baik lagi. Jika sama maka hukumnya juga
sama. Jika lebih baik maka tentu lebih layak untuk dibolehkan.
Majma’ Fiqhi Islami di Muktamarnya yang keenam di Jeddah juga menetapkan bolehnya
mengadakan transaksi dengan alat-alat komunikasi modern. Transaksi ini dinilai sebagaimana
transaksi dua orang yang berada dalam satu tempat asalkan syarat-syaratnya terpenuhi. Akan
tetapi tidak diperbolehkan untuk menggunakan sarana-sarana ini itu transaksi
sharf/penukaran mata uang karena dalam sharf disyaratkan serah terima secara langsung.
Demikian pula transaksi salam karena dalam transaksi salam modal harus segera diserahkan
begitu setelah transaksi dilaksanakan.
Namun menurut Wahbah Zuhaili, jika terdapat serah terima mata uang dalam transaksi sharf
dan modal dalam transaksi salam bisa diserahkan denga menggunakan sarana-sarana
komunikasi modern tersebut maka transaksi sah dan hal ini adalah suatu hal yang

memungkinkan untuk beberapa model transaksi yang baru.
Syarat yang ditetapkam Majma Fiqhi adalah sebagai berikut:
1.

Adanya kejelasan tentang siapa pihak-pihak yang mengadakan transaksi supaya tidak ada
salah sangka, kerancuan dan pemalsuan dari salah satu pihak atau dari pihak ketiga.

2.

Bisa dipastikan bahwa alat-alat yang digunakan memang sedang dipakai oleh orang
dimaksudkan. Sehingga semua perkataan dan pernyataan memang berasal dari orang yang
diinginkan.

3.

Pihak yang mengeluarkan ijab (pihak pertama, penjual atau semisalnya) tidak membatalkan
transaksi sebelum sampainya qobul dari pihak kedua. Ketentuan ini berlaku untuk alat-alat
yang menuntut adanya jeda untuk sampainya qobul.

4.

Transaksi dengan alat-alat ini tidak menyebabkan tertundanya penyerahan salah satu dari
dua mata uang yang ditukarkan karena dalam transaksi sharf/tukar menukar mata uang ada
persyaratan bahwa dua mata uang yang dipertukarkan itu telah sama-sama diserahkan
sebelum majelis transaksi bubar. Demikian juga tidak menyebabkan tertundanya penyerahan
modal dalam transaksi salam karena dalam transaksi salam disyaratkan bahwa modal harus
segera diserahkan.

5.

Tidak sah akad nikah dengan alat-alat tersebut (hp, internet dll) karena adanya saksi adalah
syarat sah akad nikah.
Sedikit pemahaman sederhana tentang Bisnis Online, yaitu sebuah usaha penjualan yang
dilakukan melalui internet, baik itu berupa barang ataupun jasa.
Bisnis Online sebenarnya tidak jauh beda dengan Bisnis Offline. Hanya saja area
pemasarannya yang berbeda. Pemasaran di internet jauh lebih luas dan terbuka. Dalam
perkembangannya, Bisnis Online tidak lagi hanya sebatas menjual dan membeli. Tapi juga
merambah sistem periklanan, sistem makelar/affiliasi, dan sistem jaringan/network. Hal itu
menyebabkan semakin banyaknya peluang yang terbuka untuk ikut menuai penghasilan
melalui internet.
Sudah banyak orang-orang sukses yang bertebaran di Bisnis Online. Hebatnya lagi,
sebagian besar mereka bukanlah pemilik atau pembuat produk/jasa, tapi hanya sebagai
tukang promosikan barang/jasa milik orang atau perusahaan yang bersedia memberikan
komisi atas tiap-tiap barang/jasa yang berhasil terjual.
Adapun yang akan kita bicarakan di sini adalah, bagaimana pembahasannya menurut
Islam.
Seperti yang sudah saya sebutkan, bahwa pada dasarnya Bisnis Online juga sama
dengan Bisnis Offline, hanya saja area pemasarnnya yang berbeda.

Bisnis/perniagaan/jual-beli memang sangat dianjurkan oleh Rasulullah. Seperti apa
yang telah Beliau katakan di dalam Hadis, bahwa 9 dari 10 pintu rezeki ada di perdagangan.
Dan tentunya mesti sesuai dengan ajaran hukum-hukum Islam.
Lalu, bagaimana hukum jual-beli yang ada di internet? Di mana barang yang
ditawarkan tidak bisa dihadirkan di hadapan. Agar tidak termasuk dalam kriteria hadis
berikut:
"Jangan kamu membeli ikan dalam air, karena sesungguhnya jual beli yang demikian itu
mengandung penipuan". (Hadis Ahmad bin Hambal dan Al Baihaqi dari Ibnu Mas'ud).
Maka kita mesti mengetahui secara rinci tentang skema jual-beli (bisnis) yang sesuai
dengan ajaran Islam.
Tulisan ini di maksudkan untuk membantu teman-teman sesama muslim agar tidak
ragu untuk menjalankan bisnis online, terkait dengan hukum dalam islam, unsur keberkahan
dan lain sebagainya. Juga untuk menambah wawasan bagi teman-teman yang selama ini
memandang bisnis online sebagai pekerjaan yang tidak realistis dan penuh dengan dosa dan
penipuan.
Berbisnis merupakan aktivitas yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam.
Bahkan,Rasulullah SAW sendiri pun telah menyatakan bahwa 9 dari 10 pintu rezeki adalah
melalui pintu berdagang (al-hadits). Artinya, melalui jalan perdagangan inilah, pintu-pintu
rezeki akan dapat dibuka sehingga karunia Allah terpancar daripadanya. Jual beli merupakan
sesuatu yang diperbolehkan (QS 2 : 275), dengan catatan selama dilakukan dengan benar
sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.
Dalil di atas dimaksudkan untuk transaksi offline. Sekarang bagaimana dengan
transaksi online di akhirzaman ini? Kalau kita bicara tentang bisnis online, banyak sekali
macam dan jenisnya. Namun demikian secara garis besar bisa di artikan sebagai jual beli
barang dan jasa melalui media elektronik, khususnya melalui internet atau secara online.
Salah satu contoh adalah penjualan produk secara online melalui internet seperti yang
dilakukan Amazon.com, Clickbank.com, Kutubuku.com, Kompas Cyber Media, dll. Dalam
bisnis ini, dukungan dan pelayanan terhadap konsumen menggunakan website, e-mail sebagai
alat bantu, mengirimkan kontrak melalui mail dan sebagainya.
Mungkin ada definisi lain untuk bisnis online, ada istilah e-commerce. Tetapi yang
pasti, setiap kali orang berbicara tentang e-commerce, mereka memahaminya sebagai bisnis
yang berhubungan dengan internet.
Dari definisi diatas, bisa diketahui karakteristik bisnis online, yaitu:

1) Terjadinya transaksi antara dua belah pihak;
2) Adanya pertukaran barang, jasa, atau informasi;
3) Internet merupakan media utama dalam proses atau mekanisme akad tersebut.
Dari karakteristik di atas, bisa di lihat bahwa yang membedakan bisnis online dengan
bisnis offline yaitu proses transaksi (akad) dan media utama dalam proses tersebut. Akad
merupakan unsur penting dalam suatu bisnis. Secara umum, bisnis dalam Islam menjelaskan
adanya transaksi yang bersifat fisik, dengan menghadirkan benda tersebut ketika transaksi,
atau tanpa menghadirkan benda yang dipesan, tetapi dengan ketentuan harus dinyatakan
sifat benda secara konkret, baik diserahkan langsung atau diserahkan kemudian sampai
batas waktu tertentu, seperti dalam transaksi as-salam dan transaksi al-istishna.
Transaksi as-salam merupakan bentuk transaksi dengan sistem pembayaran secara
tunai/disegerakan tetapi penyerahan barang ditangguhkan. Sedang transaksi al-istishna
merupakan bentuk transaksi dengan sistem pembayaran secara disegerakan atau secara
ditangguhkan sesuai kesepakatan dan penyerahan barang yang ditangguhkan.
Sebagaimana halnya Bisnis Offline. Bisnis Online juga ada yang halal dan ada yang haram,
ada yang legal dan ada yang ilegal. Hukum dasar bisnis online sama seperti akad jual-beli dan
akad as Salam, hal ini diperbolehkan dalam Islam. Bisnis Online dinyatakan haram apabila:
1.

Sistemnya haram, seperti money gambling. Sebab judi itu haram baik di darat maupun di
udara (online)

2.

Barang/jasa yang menjadi objek transaksi adalah barang yang diharamkan, seperti narkoba,
video porno, online sex, pelanggaran hak cipta, situs-situs yang bisa membawa pengunjung
ke dalam perzinaan.

3.

Karena melanggar perjanjian (TOS) atau mengandung unsur penipuan.

4. Dan hal lainnya yang tidak membawa kemanfaatan tapi justru mengakibatkan kemudharatan.
Intinya, Sebgaimana hukum dasar dari muammalah menurut Islam. Bisnis Online
dihukumkanIbahah (dibolehkan) selama tidak mengandung unsur-unsur yang dapat
merusaknya seperti riba, kezhaliman, penipuan, kecurangan, dan sejenisnya.
Ada dua jenis komoditi yang dijadikan objek transaksi online, yaitu barang/jasa non digital
dan digital. Transaksi online untuk komoditi non digital, pada dasarnya tidak memiliki
perbedaan dengan transaksi as-salam dan barangnya harus sesuai dengan apa yang telah
disifati ketika bertransaksi. Sedangkan komoditi digital seperti ebook, software, script, data,
dll yang masih dalam bentuk file (bukan CD) diserahkan secara langsung kepada konsumen,
baik melalui email ataupun download. Hal ini tidak sama dengan transaksi as-salam tapi

seperti transaksi jual beli biasa.
Transaksi online dibolehkan menurut Islam berdasarkan prinsip-prinsip yang ada dalam
perdagangan menurut Islam, khususnya dianalogikan dengan prinsip transaksi assalam, kecuali pada barang/jasa yang tidak boleh untuk diperdagangkan sesuai syariat Islam