Evaluasi Regimen Dosis Pengobatan Hipertensi Terhadap Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan Periode Maret – Mei 2016

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Gangguan Ginjal Kronik
2.1.1 Definisi
Penyakit ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal yang terjadi selama
lebih dari sama dengan tiga bulan, berdasarkan kelainan struktur atau fungsi ginjal
dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan presentasi berupa
kelainan struktur hispatologi ginjal, dan pertanda kerusakan ginjal meliputi
kelainan komposisi darah dan urin, atau uji pencitraan ginjal, serta LFG < 60
mL/menit/1,73m2 (Sukandar, 2006).
2.1.2 Epidemiologi
Saat ini jumlah penyakit ginjal kronik sudah bertambah banyak dari tahun
ke tahun. Jumlah kejadian penyakit ginjal kronik di dunia tahun 2009 menurut
United State Renal Data System (USRDS) terutama di Amerika rata rata
prevalensinya 10-13% atau sekitar 25 juta orang yang terkena penyakit ginjal
kronik, dan terjadi peningkatan pada tahun 2013 di Amerika Serikat menjadi 20 –
25% setiap tahun.
Berdasarkan hasil survei Perhimpunan Nefrologi Indonesia

(2009)


menyebutkan bahwa prevalensi di Indonesia sebesar 12,5% atau 18 juta orang
dewasa yang terkena penyakit ginjal kronik dan diperkirakan terdapat 70.000
penderita gagal ginjal di Indonesia, angka ini akan terus meningkat sekitar 10%
setiap tahunnya. Dilaporkan juga menurut hasil Riskesdas tahun 2013 bahwa
Prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Tengah dan terendah di Provinsi

5
Universitas Sumatera Utara

Kalimantan Timur, NTB, DKI Jakarta, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka
Belitung, Sumatera Selatan, dan Riau (Kemenkes RI, 2013).
Beberapa penelitian telah dilakukan di kota Medan untuk mengetahui
prevalensi penyakit GGK diantaranya penelitian yang telah dilakukan oleh
Romauli (2009), menunjukkan bahwa penderita GGK yang dirawat inap di
RSUD. Dr. H. Kumpulan Pane Tebing Tinggi pada tahun 2007 terdapat 80 orang
(54,1%) dan tahun 2008 terdapat 68 orang (45,9%) (Romauli, 2009).
Penelitian serupa juga telah dilakukan pada pasien GGK rawat inap di
RSUP H. Adam Malik Medan, menunjukkan bahwa pada tahun 2004 – 2007 terus
terjadi peningkatan jumlah pasien GGK, dimana pada tahun 2004 terdapat 116

orang (12,5%), tahun 2005 terdapat 189 orang (20,2%), tahun 2006 terdapat 275
orang (29,4%) dan tahun 2007 terdapat 354 orang (37,9%) (Ginting, 2008).
Penelitian yang telah dilakukan di RSUP Dr. M. Djamil tahun 2011
menunjukkan terdapat 7,84% penggunaan obat kategori dosis berlebih yang
diterima pasien gagal ginjal kronik (Trisnawati, 2011). Namun di kota medan
sendiri belum didapatkan secara pasti data – data terbaru yang menunjukkan
seberapa besar persentase pengggunaan obat pada pasien gangguan ginjal kronik
yang memerlukan penyesuaian dosis.
2.1.3 Etiologi
Penyakit ginjal kronik dapat menyebabkan terjadinya hipertensi begitupun
sebaliknya pada hipertensi kronik dapat menyebabkan terjadinya penyakit ginjal.
Kira kira 10% hipertensi yang terdapat pada GGK berhubungan dengan aktivitas
sistem renin – angiotensin – aldosteron (Sukandar, 2006). Dalam kondisi normal
terdapat autoregulasi pada ginjal yang memungkinkan terdapatnya aliran darah

6
Universitas Sumatera Utara

yang tetap pada ginjal sekaligus mempertahankan laju filtrasi glomerolus (LFG)
pada tekanan rerata arteri sebesar 80 – 160 mmHg. Mekanisme ini berjalan

melalui mekanisme reflek miogenik dan tubuloglomerular. Pada kondisi yang
tidak normal kemampuan vasodilatasi sebagai akibat autoregulasi ginjal hanya
dapat dilakukan sampai tekanan arteri rerata sebesar 80 mmHg (Williams, 2005).
2.1.4 Klasifikasi
Klasifikasi derajat penurunan LFG sangat penting untuk panduan terapi
konservatif. Derajat penyakit ginjal kronik berdasarkan LFG sesuai dengan
rekomendasi National Kidney Foundation Kidney Disease Outcomes Quality
Initiative (NKF-K/DOQI) (2004) dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Klasifikasi GGK berdasarkan derajat penyakit ginjal kronik.
Derajat
1
2
3
4
5

Penjelasan
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau
meningkat
Kerusakan ginjal dengan LFG turun

ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG turun
sedang
Kerusakan ginjal dengan LFG turun berat
Gagal ginjal

LFG (ml/menit/1,73m²
≥ 90
60 – 89
30 – 59
15 – 29
< 15 atau dialisis

Berikut adalah hubungan antara penurunan LFG dan gambaran klinik pada
pasien gangguan ginjal yaitu:
a. penurunan cadangan faal ginjal (LFG = 40 – 75%)
Pada tahap ini biasanya tanpa keluhan, karena faal ekskresi dan regulasi
masih dapat dipertahankan normal. Kelompok pasien ini sering ditemukan secara
tidak sengaja pada pemeriksaan laboratorium rutin.


7
Universitas Sumatera Utara

b. insufisiensi renal (LFG = 20 – 50%)
Pasien GGK pada tahap ini masih dapat melakukan aktivitas normal
walaupun sudah memperlihatkan keluhan keluhan yang berhubungan dengan
retensi azotemia. Pada pemeriksaan hanya ditemukan hipertensi, anemia dan
hiperurisemia.
c. gagal ginjal (LFG = 5 – 25%)
Gambaran klinik dan laboratorium makin nyata: anemia, hipertensi,
dehidrasi, kelainan laboratorium seperti hiperurisemia, kenaikan ureum dan
kreatinin serum, kalium serum biasanya masih normal.
d. sindrom azotemia (LFG = kurang dari 5%)
Sindrom azotemia (istilah lama uremia) dengan gambaran klinik sangat
komplek dan melibatkan banyak organ (multi organ) (Sukandar, 2006).
2.2 Farmakokinetik pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik
Ginjal termasuk organ eliminasi utama disamping hati. Oleh sebab itu
normalitas fungsi ginjal merupakan faktor penentu ekskresi senyawa endogen dan
eksogen (termasuk obat), dan akumulasinya di dalam tubuh. Dalam proses
ekskresi, ginjal melakukan filtrasi, sekresi dan reabsorbsi, yang mana proses ini

dipengaruhi oleh kecepatan dan aliran darah ginjal. Karena berkaitan dengan
sirkulasi sistemik, maka jumlah dan kecepatan ekskresi obat melalui ginjal juga
ditentukan oleh curah jantung, khususnya aliran darah yang menuju dan di ginjal
(Hakim, 2013).
Oleh sebab itu setiap kejadiaan yang mengubah aliran darah ginjal akan
mengubah kecepatan dan jumlah obat yang dieksresi oleh ginjal. Disamping itu
dalam proses filtrasi oleh glomeruli, karena yang lolos filtrasi adalah obat yang

8
Universitas Sumatera Utara

tak terikat protein, maka kadar protein darah menentukan jumlah obat yang
terekskresi (Hakim, 2013).
Seperti diketahui, karena biosintesis protein terjadi di hati, maka
normalitas fungsi hati secara tidak langsung turut menentukan kapasitas ekskresi
ginjal. Jadi jumlah dan kecepatan ekskresi renal tidak hanya ditentukan oleh
fungsi ginjal, tetapi juga fungsi kardiovaskular dan hati, selain faktor fisikokimiawi obat itu sendiri. Obat obat yang memiliki rasio ekskresi renal tinggi
(misalnya golongan penisilin dan glukuronat), ekskresinya lebih tergantung dari
perubahan kecepatan aliran darah di ginjal dibandingkan obat yang memiliki rasio
ekskresi renal rendah (misalnya digoksin, furosemid, dan tetrasiklin). Perubahan

aliran darah ginjal sering dapat disamakan dengan perubahan LFG ketika
menyesuaikan regimen dosis pada gagal ginjal (Hakim, 2013).
Faktor penting dalam pemberian obat adalah menentukan dosis obat
terapeutik dicapai dan menghindari terjadinya efek toksik. Penentuan dosis obat
ini sangat tergantung pada farmakokinetik dan farmakodinamik obat. Pada gagal
ginjal, farmakokinetik dan farmakodinamik obat akan terganggu sehingga
diperlukan penyesuaian dosis obat yang efektif dan aman bagi tubuh. Bagi pasien
gagal ginjal yang menjalani dialisis, beberapa obat dapat dengan mudah
terdialisis, sehingga dibutuhkan dosis obat yang lebih tinggi untuk mencapai dosis
terapeutik (Nasution., dkk, 2003).
Bertitik tolak dari perubahan yang terjadi pada gagal ginjal, beberapa hal
yang harus diperhatikan adalah:
a. penyesuaian dosis obat agar tidak terjadi akumulasi dan intoksikasi obat

9
Universitas Sumatera Utara

b. pemakaian obat yang bersifat nefrotoksik harus dihindari untuk mencegah
gangguan fungsi ginjal yang lebih berat
c. pada pasien yang menjalani dialisis, penyesuaian dosis obat yang mudah

terdialisis harus dilakukan untuk mencapai efek terapeutik
d. beberapa obat yang diubah menjadi metabolit aktif dan eliminasinya melaui
ginjal, harus disesuaikan dosisnya (Nasution., dkk, 2003).
2.2.1 Absorbsi dan Bioavailabilitas
Bagian obat yang terpakai dan kecepatan obat memasuki sirkulasi
merupakan hal penting pada pemakaian obat. Pemberian obat secara parenteral
akan segera memasuki pembuluh darah dan masa kerjanya menjadi lebih cepat.
Gagal ginjal akan menurunkan absorbsi dan mengganggu bioavailabilitas obat
yang diberikan secara oral, hal ini terjadi karena waktu pengosongan lambung
yang memanjang, perubahan pH lambung, berkurangnya absorbsi usus dan
gangguan metabolisme di hati. Untuk mengatasi hal ini dapat dilakukan berbagai
upaya antara lain mengganti cara pemberian, memberikan obat yang merangsang
motilitas lambung dan menghindari pemberian bersama dengan obat yang
mengganggu absorbsi dan motilitas (Nasution., dkk, 2003).
2.2.2 Volume Distribusi
Volume distribusi merupakan rasio antara dosis obat yang diberikan dan
konsentrasi obat dalam plasma. Obat dengan konsentrasi plasma rendah, volume
distribusinya hampir sama dengan cairan tubuh total, sedangkan obat dengan
ikatan protein yang kuat mempunyai volume distribusi lebih rendah. Gangguan
fungsi ginjal tidak berpengaruh banyak terhadap volume distribusi ini. Akan tetapi

untuk obat yang sangat kuat berikatan dengan albumin, oleh karena terjadi

10
Universitas Sumatera Utara

gangguan pengikatan albumin, menyebabkan peningkatan jumlah obat bebas
sehingga terjadi perubahan volume distribusi (Nasution., dkk, 2003).
2.2.3 Metabolisme
Ginjal merupakan tempat untuk metabolisme dalam tubuh, tetapi efek
gangguan ginjal hanya bermakna secara klinis pada dua kasus saja, yaitu ginjal
bertanggung jawab terhadap tahap akhir aktivitas vitamin D dan kebutuhan insulin
pada pasien diabetes yang mengalami gagal ginjal akut sering menjadi berkurang.
Pada gagal ginjal kronik terjadi juga perubahan kapasitas metabolisme di hati, dan
organ eliminasi selain ginjal. Jadi pada keadaan ini bukan hanya obat obat yang
sebagian besar tereliminasi oleh ginjal saja yang terpengaruh, namun obat obat
yang sebagian besar termetabolisme juga mengalami perubahan klirens (Hakim,
2013).
2.2.4 Ekskresi Ginjal
Fungsi ekskresi ginjal rata rata berkurang 6 – 10% tiap sepuluh tahun,
ketika seseorang mulai menginjak usia 40 tahun. Akibatnya, karena terjadi

perlambatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerular, maka obat dan
metabolitnya cenderung terakumulasi didalam darah, sehingga dapat memperlama
waktu paruh eliminasi dan durasi efek obat. Dilaporkan bahwa kecepatan aliran
darah ginjal berkurang dari 618 – 689 mL/menit pada usia dewasa menjadi 349 –
485 mL/menit pada usia lanjut (Hakim, 2013).
Ginjal merupakan rute eliminasi utama untuk berbagai obat dan
metabolitnya. Ekskresinya dapat melalui filtrasi glomeruler, sekresi tubulus atau
reabsorpsi. Ekskresi merupakan parameter farmakokinetika yang paling
terpengaruh oleh gangguan ginjal. LFG atau klirens kreatinin dapat digunakan

11
Universitas Sumatera Utara

sebagai perkiraan jumlah nefron yang berfungsi. Apabila filtrasi glomerular
terganggu oleh penyakit ginjal, maka klirens obat tereliminasi terutama melalui
mekanisme ini menjadi lebih panjang. Gagal ginjal juga akan mengubah
reabsorpsi pasif secara tidak langsung, dengan cara mengubah laju aliran urin dan
pH (Hakim, 2013).
2.3 Penilaian Terhadap Fungsi Ginjal
Kreatinin merupakan metabolit endogen yang sangat berguna untuk

menilai fungsi glomerulus. Zat ini umumnya berasal dari metabolisme otot dalam
jumlah bilangan yang masih kasar. Dari kesemuanya diekskresikan melalui ginjal
dengan proses filtrasi glomerulus bebas dengan sekresi tubulus yang minimal.
Dalam keadaan normal (fungsi ginjal, pengaturan diet, massa otot dan
metabolisme normal) kreatinin diproduksi dalam jumlah yang sama dan
dieksresikan melalui urin setiap hari. Sedangkan sekresi melalui tubulus dan
saluran pencernaan hanya dalam jumlah yang sedikit (Hakim, 2013).
Dengan demikian penilaian LFG dengan mengukur konsentrasi kreatinin
plasma atau bersihan kreatinin dapat menjadi over non-glomerulus meningkat
akibat terganggunya fungsi ginjal. Over estimasi ini menjadi lebih progresif dan
berat sehingga akibatnya LFG menurun. Beberapa jenis obat obatan dapat
mempengaruhi sekresi kreatinin melalui tubulus yang dapat menyebabkan
peningkatan konsentrasi kreatinin dan penurunan bersihan kreatinin tanpa
perubahan LFG (Hakim, 2013).
2.3.1 Pemeriksaan kreatinin serum
Dosis obat perlu diukur berdasarkan fungsi ginjal. Semakin buruk fungsi
ginjal, akan semakin rendah pula dosis yang dibutuhkan, untuk itu pemeriksaan

12
Universitas Sumatera Utara

fungsi ginjal sangat penting. Pemeriksaan yang biasa digunakan sebagai acuan
adalah pemeriksaan LFG atau klirens kreatinin (Ashley dan Currie, 2009).
Pemeriksaan konsentrasi kreatinin serum sangat mudah dan secara klinis
sangat berguna untuk menilai LFG. Kreatinin klirens menggambarkan
kesetimbangan antara produksi kreatinin (hasil metabolisme otot) dengan
pengeluarannya oleh ginjal. Peningkatan kreatinin serum dari 1,0 menjadi 2,0
mg/dl menunjukkan penurunan fungsi ginjal, dengan perhitungan secara kasar ±
50% (Hakim, 2013).
2.3.2 Pemeriksaan perhitungan LFG
LFG dapat dihitung dengan beberapa metode diantaranya yaitu persamaan
Cockcroft-Gault.
Untuk laki-laki: GFR (LFG) =

Untuk perempuan: GFR (LFG) =

x 0,85

(usia dalam tahun, berat badan dalam kg, Scr = kreatinin serum dalam mg/dL, jika
pasien kelebihan berat badan atau kegemukan, digunakan berat badan ideal).
Beberapa studi menyarankan penggunaan persamaan Cockcroft-Gault
untuk pengukuran GFR, khususnya untuk pendosisan obat

obat yang kisar

terapeutiknya sempit, atau pada pasien yang peka terhadap perubahan dosis.
Perkiraan fungsi ginjal berkaitan erat dengan pendosisan, khususnya obat obat
kisar terapi sempit yang diekskresi sebagian besar melalui ginjal, untuk
mendeteksi dini gangguan ginjal, dan kondisi patologik lainnya (Hakim, 2003).

13
Universitas Sumatera Utara

2.4 Penyesuaian Dosis pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik
Pada gagal ginjal riwayat penyakit ginjal dan penyakit lainnya (seperti
kelaninan hati) yang mempengaruhi metabolisme obat perlu diketahui dengan
jelas. Juga perlu ditelusuri riwayat pemakaian obat dan kemungkinan alergi obat.
Catatan medis harus diteliti dengan cermat terutama bila ada penambahan obat
baru. Pemeriksaan fisis seperti tinggi badan, berat badan, bentuk tubuh, status
nutrisi dan adanya edema atau dehidrasi perlu diidentifikasi untuk pengaturan
dosis obat (Nasution., dkk, 2003).
2.4.1 Dosis Loading
Dosis loading dibutuhkan bila secara klinis diinginkan pencapaian dosis
terapeutik yang lebih cepat. Dalam keadaan normal pencapaian dosis terapeutik
memakan waktu 4-5 x waktu paruh obat. Pada gagal ginjal waktu paruh beberapa
jenis obat akan memanjang sehingga dibutuhkan pemberian dosis loading.
Umumnya dosis loading semua pasien hampir sama tanpa memperhatikan fungsi
ginjal. Akan tetapi penyesuaian dosis tetap diperlukan sesuai dengan perhitungan
berdasarkan berat badan, status hidrasi dan adanya sepsis (Nasution., dkk, 2003).
2.4.2 Dosis Pemeliharaan
Bila kadar terapeutik obat sudah diperoleh, konsentrasi ini harus tetap
dipertahankan untuk menghindarkan toksisitas. Obat dengan waktu paruh panjang
dan cakupan terapi luas, interval pemberiannya dapat diperpanjang, atau juga
dapat dilakukan dengan interval tetap, namun dosisnya disesuaikan (Hakim,
2013).
Regimen pengobatan yang telah diberikan harus tetap dipantau
pemakaiannya dengan ketat, karena kadar obat dapat turun sehingga tidak

14
Universitas Sumatera Utara

mencapai efek terapeutik. Pemeriksaan kadar obat sangat dianjurkan setidaknya
setelah pemberian dosis ketiga sampai kelima. Secara umum dapat diambil
kesimpulan bahwa dosis loading dengan manfaat cepat, sedangkan dosis
pemeliharaan berkaitan degan toksisitas obat (Hakim, 2013).
2.5 Penyakit Hipertensi pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik
Tujuan dari pengobatan hipertensi pada penyakit GGK adalah untuk
menurunkan tekanan darah, untuk menurunkan resiko terjadinya kardiovaskular
Disease pada pasien hipertensi dan memperlambat progresi penyakit ginjal pada
pasien dengan atau tanpa hipertensi (NKF, 2004).
Berkembangnya penyakit GGK dapat diatasi dengan pengobatan
hipertensi. Diuretik, β-blocker, ACE-I, dan antagonis kalsium semuanya efektif
pada pasien dengan gagal ginjal. ACE-I dan Calsium Channel blocker (CCB)
tidak mengubah metabolisme glukosa atau lipid, memiliki efek yang diinginkan
pada hipertrofi ventrikel kiri dan memiliki efek nefroprotektif potensial dengan
mengurangi peningkatan resistensi vaskular ginjal. ACE-I memiliki manfaat
tambahan berupa berkurangnya proteinuria pada pasien baik dengan penyakit
diabetik maupun nondiabetik. Obat ini harus diberikan dengan hati hati karena
bisa menurunkan aliran darah ginjal dan memicu gagal ginjal akut (Suwitra,
2006).
2.5.1 Obat Obat yang Perlu Penyesuaian Dosis pada Pasien GGK
Strategi untuk menyesuaikan dosis pada pasien gagal ginjal dapat
membantu dalam terapi obat individu dan membantu meningkatkan keamanan
obat. Metode yang direkomendasikan dalam mengatur penyesuaian dosis adalah
dengan mengurangi dosis, memperpanjang interval dosis atau kombinasi

15
Universitas Sumatera Utara

keduanya (Munar dan Singh, 2007). Pengetahuan penyesuaian dosis obat untuk
pasien dengan insufisiensi ginjal sangat penting untuk mencegah dan mengurangi
akumulasi obat tersebut dalam tubuh (Sukandar, 2006).
Bila kreatinin klirens dibawah 60 mL/menit maka perlu penyesuaian dosis
obat yang dikonsumsi. Penyesuaian dapat dengan cara mengurangi dosis obat atau
memperpanjang interval minum obat. Penyesuaian ini bertujuan untuk mendapat
efek terapeutik maksimal tanpa efek samping.
2.5.2 Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik
Terdapat banyak kelas atau golongan obat antihipertensi yang dapat
digunakan, tetapi beberapa obat yang sering digunakan dan direkomendasikan
sebagai terapi pilihan pertama, yaitu ARB, β-blocker, CCB dan diuretik.
Penggunaan obat-obat ini harus disesuaikan dengan kondisi pasien. Pemilihan
obat awal pada pasien harus mempertimbangkan banyak faktor antara lain: umur,
riwayat perjalanan penyakit, faktor risiko, kerusakan target organ, diabetes,
indikasi dan kontraindikasi. Indikasi spesifik dan target dalam strategi pemilihan
obat antihipertensi tergantung dari profil faktor risiko, penyakit penyerta seperti
diabetes, penyakit ginjal, dan pembesaran atau disfungsi ventrikel kiri (Sutter,
2007).
a. Golongan β – blocker
Golongan β – blocker merupakan salah satu obat yang sering digunakan
untuk mengatasi hipertensi. Dalam distribusinya sekitar 30% terikat oleh protein
dan sebesar 50% dieksresikan tidak berubah dalam urin dengan waktu paruh
selama 9 – 12 jam (Ashley dan Currie, 2009).

16
Universitas Sumatera Utara

Beberapa β – blocker tidak dianjurkan untuk pasien gagal ginjal dengan
atau tanpa dialisis. Namun terdapat obat yang memerlukan penyesuaian dosis
seperti bisoprolol, maka penyesuaian dosis dilakukan berdasarkan nilai LFG pada
pasien dengan gangguan ginjal kronik (Sukandar, 2006).
b. Golongan Calcium Channel Blockers (CCB)
Golongan Calcium Channel Blockers yang sering digunakan diantaranya
adalah nifedipin dan amlodipin. Nifedipin mudah diabsorbsi pada pemberian per
oral dan sublingual, sebesar 92-98% terikat oleh protein plasma dan sebesar 1%
dieksresikan dalam bentuk metabolit tidak aktif melalui urin serta mempunyai
volume distribusi sebesar 1,4 L/kg. Nifedipin dalam dosis tunggal dieksresikan
sebesar 80% dalam waktu 24 jam. Insufisiensi ginjal tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap farmakokinetik nifedipin (Ashley dan Currie, 2009).
Setelah pemberian dosis terapeutik secara oral, amlodipin diabsorbsi
dengan baik dan kadar puncak dalam plasma tercapai setelah 6 – 12 jam. Volume
distribusi amlodipin kira-kira 20 L/kg. Waktu paruh eliminasi plasma terminal
adalah 35 – 50 jam dan konsisten pada pemberian dosis sekali sehari. Sebanyak
97,5% amlodipin dalam sirkulasi terikat dengan protein plasma. Amlodipin
sebagian besar dimetabolisme dihati menjadi metabolit inaktif, diekskresikan
melalui urin sebesar 10% dalam bentuk tidak berubah dan 60% sebagai metabolit
(Ashley dan Currie, 2009).
c. Golongan Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
Golongan obat antihipertensi Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
dianjurkan untuk pasien dialisis, karena tidak diperlukan penyesuaian dosis,
(Sukandar, 2006). Secara farmakokinetik candesartan mempunyai distribusi

17
Universitas Sumatera Utara

sekitar 94-97% terikat oleh protein dan mempunyai volume distribusi sebesar 17
L/kg serta sebesar 13% dieksresikan dalam bentuk tidak berubah (Ashley dan
Currie, 2009).
Saat terapi obat antihipertensi telah diberikan pada pasien maka harus
dilakukan pemantauan dan di follow up serta dilakukan penyesuaian dosis sesuai
kondisi pasien secara terus menerus sampai tercapai tekanan darah yang
diinginkan. Kunjungan lebih diperlukan pada pasien dengan hipertensi derajat 2
atau dengan penyakit penyerta. Kadar kalium dan kreatinin plasma harus
dimonitor paling tidak 1-2 kali dalam 1 tahun (Ashley dan Currie, 2009).

18
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Hubungan Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis Terhadap Sensitivitas Pengecapan di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan

3 100 81

Evaluasi Regimen Dosis Pengobatan Hipertensi Terhadap Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan Periode Maret – Mei 2016

6 20 60

Hubungan Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis Terhadap Sensitivitas Pengecapan di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan

0 0 15

Hubungan Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis Terhadap Sensitivitas Pengecapan di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan

0 0 2

Hubungan Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis Terhadap Sensitivitas Pengecapan di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan

0 0 5

Evaluasi Regimen Dosis Pengobatan Hipertensi Terhadap Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan Periode Maret – Mei 2016

0 0 14

Evaluasi Regimen Dosis Pengobatan Hipertensi Terhadap Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan Periode Maret – Mei 2016

0 0 2

Evaluasi Regimen Dosis Pengobatan Hipertensi Terhadap Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan Periode Maret – Mei 2016

0 0 4

Evaluasi Regimen Dosis Pengobatan Hipertensi Terhadap Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan Periode Maret – Mei 2016

0 0 2

Evaluasi Regimen Dosis Pengobatan Hipertensi Terhadap Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan Periode Maret – Mei 2016

0 0 11