Observasi Masalah Pangan di Indonesia

LAPORAN PRAKTIKUM
PENGEMBANGAN PRODUK
Observari Masalah Pangan di Indonesia
(Impor Gandum, Hipertensi, Asupan Gizi Hewani)

Disusun Oleh:
Kelompok 1
Hanifah Salimah
Sarah Chaldea
Tien Siti Halimah
Pipit Apriliyanti
Ghea Amitri Ardianto
Dede Fauzi Nuriyasa

240210120055
240210130001
240210130002
240210130003
240210130005
240210130007


DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2016

I.

PENDAHULUAN

I.1

Latar Belakang
Kondisi ketahanan pangan Indonesia pada saat ini semakin memburuk,

dikarenakan beralih fungsinya lahan pertanian di Indonesia. Pemerintah indonesia
seharusnya lebih sensitif terhadap kondisi ini, bukan hanya permasalahan lahan,
seperti yg diposting FAO (Food and Agriculture Organisation), Indonesia berada
di level serius dalam indeks kelaparan global. Hal ini diprediksi akan terus
memburuk dengan terus bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia. Di masa

depan diprediksi akan terjadi kelangkaan pangan yang diakibatkan oleh beberapa
hal seperti kerusakan lingkungan, konversi lahan, tingginya harga bahan bakar
fosil, pemanasan iklim dan lain-lain (Kompasiana.com).
Berdasarkan permasalahan ketahanan pangan diatas, para pengembang
bersama pemerintah melakukan antisipasi dengan melakukan impor gandum
sebagai bahan baku olahan pangan pendamping seperti pasta, mie, dan roti.
Komoditas ini merupakan bahan makanan penting di dunia sebagai sumber kalori
dan protein. Dewasa ini, pangan pendamping tersebut mulai menggeser fungsi
beras sebagai bahan pangan pokok masyarakat Indonesia sehingga angka impor
gandum mengalami peningkatan setiap tahunnya. Ketua Umum Asosiasi Produsen
Terigu Indonesia (Aptindo) Franciscus Wellirang mengatakan, kebutuhan impor
gandum untuk industri tepung terigu naik 8 persen dibandingkan 2015.
Perkembangan gaya hidup (life style) masyarakat Indonesia tersebut
didukung pula dengan berdirinya restoran cepat saji yang menyajikan junk food
sebagai salah satu menu utamanya. Hal ini menimbulkan permasalahan lain, salah
satunya meningkatnya jumlah penderita hipertensi di Indonesia. Hipertensi atau
yang lebih dikenal dengan nama penyakit darah tinggi adalah suatu keadaan di
mana terjadi peningkatan tekanan darah di atas ambang batas normal yaitu
120/80mmHg. Menurut World Health Organization (WHO), batas tekanan darah
yang masih dianggap normal adalah kurang dari 130/85 mmHg. Ketua

Perhimpunan Hipertensi Indonesia atau Indonesian Society of Hypertension
(InaSH), dr Nani Hersunarti, SpJP, FIHA. menyatakan satu dari empat orang
Indonesia menderita hipertensi. Bahkan pada usia lanjut (lebih dari 65 tahun)
menunjukkan satu dari dua orang menderita hipertensi, artinya satu dari dua lansia

berisiko tinggi terkena stroke, penyakit jantung dan gagal ginjal bila tidak
terdeteksi dini dan tidak terobati hipertensinya.
Ketersediaan pangan yang cukup untuk seluruh penduduk di suatu wilayah
belum dapat digunakan sebagai jaminan akan terhindarnya penduduk dari masalah
pangan dan gizi, karena selain ketersediaan, juga perlu diperhatikan aspek pola
konsumsi atau keseimbangan kontribusi di antara jenis pangan yang dikonsumsi,
sehingga memenuhi standar gizi tertentu. protein digunakan sebagai indikator
status gizi karena penggunaan nilai kalori (energi) dan nilai protein sudah cukup
untuk menggambarkan kecukupan pangan rumah tangga karena konsumsi kalori
terkait erat dengan kemampuan manusia untuk hidup secara aktif sedangkan
konsumsi protein dibutuhkan untuk memulihkan sel-sel tubuh yang rusak pada
usia dewasa atau untuk menjamin pertumbuhan normal pada usia muda
Asupan protein hewani di Indonesia dinilai sangat rendah dibandingkan
dengan negara ASEAN lainnya. Hal ini terbukti pada data tahun 2000, dimana
konsumsi daging unggas penduduk Indonesia hanya 3,5 kg/kapita/tahun,

sedangkan penduduk Malaysia (36,7 kg), Thailand (13,5 kg), Fhilipina (7,6 kg),
Vietnam (4,6 kg) dan Myanmar (4,2 kg). Konsumsi telur penduduk Indonesia,
yakni 2,7 kg/kapita/tahun, sedangkan Malaysia mencapai 14,4 kg, Thailand 9,9 kg
dan Fhilipina 6,2 kg. Serta, konsumsi susu masyarakat Indonesia, yakni sekitar 7
kg/kapita/tahun, sedangkan Malaysia sudah mencapai 20 kg/kapita/tahun.
Konsumsi susu masyarakat AS mencapai 100 kg/kapita/tahun.
I.2

Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini, di antaranya:
1. Mengetahui tingkat konsumsi gandum di Indonesia yang berpengaruh
terhadap angka impor gandum
2. Mengetahui bahaya penyakit hipertensi dan cara pengendaliannya
3. Mengetahui angka kebutuhan protein di Indonesia dan apa yang
melatarbelakangi kekurangan kebetuhan protein di Indonesia

II.

OBSERVASI MASALAH PANGAN DI INDONESIA


II.1 Meningkatnya Angka Impor Gandum ke Indonesia
II.1.1Impor Gandum Melonjak pada 2016

Gandum dipercaya sebagai makanan yang tinggi akan karbohidrat juga
nutrisi penting untuk tubuh. Beberapa studi menyebutkan bahwa
nutrisi pada gandum mampu memberikan suntikan energi baru yang
lebih baik bagi tubuh

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan impor
barang konsumsi naik 47,68 persen pada Januari 2016. Lonjakan impor tersebut
disebabkan karena kenaikan pengiriman gandum dan amunisi dari luar negeri ke
Indonesia ketika harga sedang mengalami penurunan tajam untuk gandum.
Kepala BPS, Suryamin mengatakan meski impor Indonesia di Januari 2016
menurun 13,48 persen dengan nilai US$ 10,45 miliar dibanding Desember 2015
dan merosot 17,15 persen secara tahunan, namun impor golongan barang
konsumsi naik 47,68 persen di bulan pertama ini.
"Impor barang konsumsi memang cukup besar, diantaranya karena
peningkatan signifikan dari impor gandum untuk bahan baku mie dan roti, serta
impor senjata atau amunisi yang naik drastis," ujar Suryamin di kantor BPS,
Jakarta, Senin (15/2/2016).

Suryamin mencatat, nilai impor gandum di Januari 2016 tercatat senilai US$
443,4 juta atau melonjak tajam 86,35 persen. Sementara impor senjata atau
amunisi, berdasarkan data BPS mencapai US$ 184,98 juta pada periode Januari
tahun ini atau naik signifikan dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar
US$ 9,18 juta.
"Yang melonjak tinggi memang impor senjata atau amunisi. Tapi di sisi lain,
kita ekspor produk yang sama tinggi juga di Januari ini dengan kenaikan 123,16
persen terhadap Desember 2015," kata Suryamin.

Sementara itu, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito
Hadi Wibowo mengatakan, impor barang konsumsi meningkat drastis karena ada
impor mendadak pada komoditas gandum dan produk amunisi atau senjata cukup
besar. Sedangkan impor barang lainnya tidak sebesar volume dan nilai gandum
dan amunisi atau senjata.
"Pabrik-pabrik terigu di sini impor gandum dalam jumlah besar karena
harga gandum sedang murah di berbagai negara. Sedangkan kita juga impor
senjata atau amunisi lumayan besar, jadi dua ini yang mempengaruhi kenaikan
impor barang konsumsi," ujar dia.
Sasmito memperkirakan, tren kenaikan impor gandum dan amunisi atau
senjata baik dari volume maupun nilai tidak akan berlanjut di Februari 2016.

"Saya kira tidak ya (berlanjut), karena itu one short saja. Kalau harga
gandum turun lagi, bisa saja nambah, tapi tidak akan sebesar Januari. Apalagi
amunisi kan bisa disimpan stoknya oleh TNI dan Polri," kata Sasmito. (Fik/Ahm)
(Sumber : Liputan6.com)
II.1.2Penyebab
Gandum dikenal sebagai bahan baku utama dalam pembuatan tepung terigu
dan pasta dimana tepung terigu dijadikan bahan utama dalam pembuatan beberapa
produk pangan seperti mie dan roti. Di Indonesia sendiri, produk pangan hasil
olahan tepung terigu lebih banyak digunakan sebagai pangan pendamping karena
Indonesia menjadikan padi atau beras sebagai makanan pokok. Hal ini juga
didukung dengan kemudahan menanam padi di Indonesia dibandingkan dengan
menanam gandum. Berbeda dengan beberapa negara penghasil gandum seperti
Australia, Amerika, Canada, dan negara lainnya yang lebih sering menjadikan
produk olahan tepung terigu menjadi makanan pokoknya.
Namun, saat ini, pangan pendamping tersebut mulai menggeser keberadaan
pangan pokok sebagai bentuk pengembangan dari permasalahan ketahanan
pangan di masa depan. Selain itu, mengkonsumsi produk olahan tepung terigu
ataupun gandum untuk pasta dirasa lebih praktis dibandingkan dengan
mengkonsumsi nasi. Banyaknya masyarakat Indonesia yang lebih memilih produk


olahan tepung terigu mengakibatkan jumlah pabrik tepung terigu di Indonesia
meningkat.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Terigu Indonesia (Aptindo) Franciscus
Wellirang mengatakan, tahun ini terdapat tiga pabrik tepung terigu baru yang
mulai beroperasi. Ketiga pabrik baru tersebut yakni PT Nutrindo Bogarasa
(Mayora Group) di Cilegon, PT Paramasuka Gupita (Wings Group) di Marunda,
dan PT Cerestar FM di Medan dengan total kapasitas sebesar 1.500 ton giling
gandum per hari (Republika.co.id, 2016). Sehingga secara keseluruhan ada 30
industri tepung terigu dengan kapasitas giling 11 juta ton per tahun. Hal ini jelas
mengakibatkan impor gandum mengalami peningkatan setiap tahunnya.
II.1.3Solusi
Solusi yang dapat ditawarkan berdasarkan permasalahan diatas, yaitu:
1. Menyeimbangkan Produksi dengan Kebutuhan
Dorongan bagi perusahaan besar untuk aktif dalam kegiatan produksi
pangan perlu juga diberikan. Kedaulatan pangan harus menjadi program
prioritas pemerintah. Ketergantungan terhadap impor pangan harus
secepatnya dikurangi atau membebaskan impor dan pengurangi PPN
bahan pangan. Kalau saat ini kita masih bisa melakukan impor, hal itu
mungkin akan sulit untuk dilakukan dalam lima sampai sepuluh tahun
mendatang.

2. Pengendalian Stok
Kenaikan harga pangan di dunia ternyata mempengaruhi harga pangan di
dalam negeri. Apalagi saat ini sebagian besar bahan pangan yang ada di
pasar dalam negeri diperoleh dari impor. Karena itu, selama indonesia
masih tergantung pada pasokan pangan impor, kenaikan harga pangan
dunia yang dipastikan terus terjadi setiap tahunnya akan berujung pada
tambahan beban bagi masyarakat, ditambah lagi kebijakan pemerintah
yang menyerahkan pengadaan bahan pangan kepada mekanisme pasar
membuat harga barang kebutuhan pokok selalu mengalami kenaikan
3. Kebijakan perekonomian nasional lebih berpihak pada kepentingan
rakyat.

Pemerintah perlu membenahi kekuatan ekonomi dan perbankan dalam
negeri, serta mengendalikan inflasi sehingga mekanisme pasar juga akan
terkendali dengan baik. Hal ini telah dilakukan dengan persyaratan tanpa
monopoli, dimana pangsa pasar untuk suatu industri tidak boleh diatas
55%.
4. Pemerintah telah bekerja sama dengan Universitas Andalas dalam
mengembangkan


varietas

gandum

yang

sesuai

dengan

kondisi

lingkungan di Indonesia. Namun, jumlahnya yang belum bisa mencukupi
tingkat konsumsi serta ketidakteraturan pertumbuhan gandum menjadi
salah satu hal yang perlu pengembangan lebih lanjut.
II.2 Tingginya Tingkat Penderita Hipertensi di Indonesia
II.2.1Hipertensi
Sampai saat ini, hipertensi masih merupakan tantangan besar di Indonesia.
Betapa tidak, hipertensi merupakan kondisi yang sering ditemukan pada
pelayanan kesehatan primer kesehatan. Hal itu merupakan masalah kesehatan

dengan prevalensi yang tinggi, yaitu sebesar 25,8%, sesuai dengan data Riskesdas
2013. Di samping itu, pengontrolan hipertensi belum adekuat meskipun obatobatan yang efektif banyak tersedia.
Definisi Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan
darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90
mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan
cukup istirahat/tenang. Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam
jangka waktu lama (persisten) dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal (gagal
ginjal), jantung (penyakit jantung koroner) dan otak (menyebabkan stroke) bila
tidak dideteksi secara dini dan mendapat pengobatan yang memadai. Banyak
pasien hipertensi dengan tekanan darah tidak terkontrol dan jumlahnya terus
meningkat. Oleh karena itu, partisipasi semua pihak, baik dokter dari berbagai
bidang peminatan hipertensi, pemerintah, swasta maupun masyarakat diperlukan
agar hipertensi dapat dikendalikan.
Menurut American Heart Association {AHA}, penduduk Amerika yang
berusia diatas 20 tahun menderita hipertensi telah mencapai angka hingga 74,5

juta jiwa, namun hampir sekitar 90-95% kasus tidak diketahui penyebabnya.
Hipertensi merupakan silent killer dimana gejala dapat bervariasi pada masingmasing individu dan hampir sama dengan gejala penyakit lainnya. Gejalagejalanya itu adalah sa kit kepala/rasa berat di tengkuk, mumet (vertigo), jantung
berdebar-debar, mudah Ieiah, penglihatan kabur, telinga berdenging (tinnitus), dan
mimisan.
Faktor resiko Hipertensi adalah umur, jenis kelamin, riwayat keluarga,
genetik (faktor resiko yang tidak dapat diubah/dikontrol), kebiasaan merokok,
konsumsi garam, konsumsi lemak jenuh, penggunaan jelantah, kebiasaan
konsumsi minum-minuman beralkohol, obesitas, kurang aktifitas fisik, stres,
penggunaan estrogen.

Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah, prevalensi hipertensi pada
penduduk umur 18 tahun ke atas tahun 2007 di Indonesia adalah sebesar 31,7%.
Menurut provinsi, prevalensi hipertensi tertinggi di Kalimantan Selatan (39,6%)
dan terendah di Papua Barat (20,1%). Sedangkan jika dibandingkan dengan tahun
2013 terjadi penurunan sebesar 5,9% (dari 31,7% menjadi 25,8%). Penurunan ini
bisa terjadi berbagai macam faktor, seperti alat pengukur tensi yang berbeda,
masyarakat yang sudah mulai sadar akan bahaya penyakit hipertensi. Prevalensi
tertinggi di Provinsi Bangka Belitung (30,9%), dan Papua yang terendah
(16,8)%). Prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui kuesioner
terdiagnosis tenaga kesehatan sebesar 9,4 persen, yang didiagnosis tenaga
kesehatan atau sedang minum obat sebesar 9,5 persen. Jadi, ada 0,1 persen yang
minum obat sendiri.

Di Indonesia terdapat pergeseran pola makan, yang mengarah pada
makanan cepat saji dan yang diawetkan yang kita ketahui mengandung garam
tinggi, lemak jenuh, dan rendah serat mulai menjamur terutama di kota-kota besar
di Indonesia. Dengan mengetahui gejala dan faktor risiko terjadinya hipertensi
diharapkan penderita dapat melakukan pencegahan dan penatalaksanaan dengan
modifikasi diet/gaya hidup ataupun obat-obatan sehingga komplikasi yang terjadi
dapat dihindarkan.
(Sumber: Depkes.go.id)
II.2.2Penyebab
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan seseorang memiliki
tekanan darah tinggi. Diantara faktor-faktor tersebut ada yang dapat dikendalikan
dan ada pula yang tidak dapat dikendalikan. Beberapa faktor tersebut antara lain:
1. Keturunan
Jika seseorang memiliki orang-tua atau saudara yang memiliki tekanan
darah tinggi, maka kemungkinan ia menderita tekanan darah tinggi lebih
besar. Statistik menunjukkan bahwa masalah tekanan darah tinggi lebih
tinggi pada kembar identik daripada yang kembar tidak identik. Sebuah
penelitian menunjukkan bahwa ada bukti gen yang diturunkan untuk
masalah tekanan darah tinggi.
2. Usia
Penelitian menunjukkan bahwa jika usia seseorang bertambah, tekanan
darah pun akan meningkat. Tekanan darah saat muda akan berbeda pada
saat usia bertambah, sehingga pada usia tua dibutuhkan kontrol agar dapat
mengendalikan tekanan darah agar tidak melewati batas.
3. Garam
Garam dapat meningkatkan tekanan darah dengan cepat pada beberapa
orang, khususnya bagi penderita diabetes, penderita hipertensi ringan,
orang dengan usia tua, dan mereka yang berkulit hitam.
4. Kolesterol
Kandungan lemak yang berlebih dalam darah, dapat menyebabkan
timbunan kolesterol pada dinding pembuluh darah. Hal ini dapat membuat
pembuluh darah menyempit dan akibatnya tekanan darah akan meningkat.

5. Obesitas / Kegemukan
Orang yang memiliki berat badan di atas 30 persen berat badan ideal,
memiliki kemungkinan lebih besar menderita tekanan darah tinggi.
6. Stres
Stres dan kondisi emosi yang tidak stabil juga dapat memicu tekanan
darah tinggi.
7. Rokok
Merokok juga dapat meningkatkan tekanan darah menjadi tinggi.
Kebiasan merokok dapat meningkatkan risiko diabetes, serangan jantung
dan stroke. Karena itu, kebiasaan merokok yang terus dilanjutkan ketika
memiliki tekanan darah tinggi, merupakan kombinasi yang sangat
berbahaya yang akan memicu penyakit-penyakit yang berkaitan dengan
jantung dan darah.
8. Kafein
Kafein yang terdapat pada kopi, teh maupun minuman cola bisa
menyebabkan peningkatan tekanan darah.
9. Alkohol
Konsumsi alkohol secara berlebihan juga menyebabkan tekanan darah
tinggi.
10. Kurang Olahraga
Kurang olahraga dan bergerak bisa menyebabkan tekanan darah dalam
tubuh meningkat. Olahraga teratur mampu menurunkan tekanan darah
tinggi namun jangan melakukan olahraga yang berat jika Anda menderita
tekanan darah tinggi.
II.2.3Solusi
Penatalaksanaan hipertensi dapat dilakukan dengan menggunakan obatobatan ataupun dengan cara modifikasi gaya hidup. Modifikasi gaya hidup dapat
dilakukan dengan membatasi asupan garam tidak lebih dari 6 gram/hari,
menurunkan berat badan, menghindari minuman berkafein, rokok, dan minuman
beralkohol. Olah raga juga dianjurkan bagi penderita hipertensi, dapat berupa
jalan, lari, jogging, bersepeda selama 20-25 menit dengan frekuensi 3-5 x per

minggu. Penting juga untuk cukup istirahat (6-8 jam) dan mengendalikan stress.
Untuk pemilihan serta penggunaan obat-obatan hipertensi disarankan untuk
berkonsultasi dengan dokter keluarga anda.
Ada pun makanan yang harus dihindari atau dibatasi oleh penderita
hipertensi adalah:
1. Makanan yang berkadar lemak jenuh tinggi (otak, ginjal, paru, minyak
kelapa, gajih).
2. Makanan yang diolah dengan menggunakan garam natrium (biscuit,
crackers, keripikdan makanan kering yang asin).
3. Makanan dan minuman dalam kaleng (sarden, sosis, korned, sayuran serta
buah-buahan dalam kaleng, soft drink).
4. Makanan yang diawetkan (dendeng, asinan sayur/buah, abon, ikan asin,
pindang, udang kering, telur asin, selai kacang).
5. Susu full cream, mentega, margarine, keju mayonnaise, serta sumber protein
hewani yang tinggi kolesterol seperti daging merah (sapi/kambing), kuning
telur, kulit ayam).
6. Bumbu-bumbu seperti kecap, maggi, terasi, saus tomat, saus sambal, tauco
serta bumbu penyedap lain yang pada umumnya mengandunggaram
natrium.
7. Alkohol dan makanan yang mengandung alkohol seperti durian, tape.
Hal-hal yang harus dilakukan untuk mencegah dan mengatasi darah tinggi
antaralain:
1.

Kurangi konsumsi garam dalam makanan. Jika sudah menderita tekanan
darah tinggi sebaiknya menghindari makanan yang mengandung garam.

2.

Konsumsi makanan yang mengandung kalium, magnesium dan kalsium.
Kalium, magnesium dan kalsium mampu mengurangi tekanan darah
tinggi.

3.

Kurangi minum minuman atau makanan beralkohol. Jika menderita
tekanan darah tinggi, sebaiknya hindari konsumsi alkohol secara
berlebihan. Untuk pria yang menderita hipertensi, jumlah alkohol yang

diijinkan maksimal 30 ml alkohol per hari sedangkan wanita 15 ml per
hari.
4.

Olahraga secara teratur bisa menurunkan tekanan darah tinggi. Jika
menderita tekanan darah tinggi, pilihlah olahraga yang ringan seperti
berjalan kaki, bersepeda, lari santai, dan berenang. Lakukan selama 30
hingga 45 menit sehari sebanyak 3 kali seminggu.

5.

Makan sayur dan buah yang berserat tinggi seperti sayuran hijau, pisang,
tomat, wortel, melon, dan jeruk.

6.

Jalankan terapi anti stres agar mengurangi stres dan

mampu

mengendalikan emosi.
7.

Berhenti merokok juga berperan besar untuk mengurangi tekanan darah
tinggi atau hipertensi.

8.

Kendalikan kadar kolesterol.

9.

Kendalikan diabetes.

10. Hindari obat yang bisa meningkatkan tekanan darah. Konsultasikan ke
dokter jika menerima pengobatan untuk penyakit tertentu, untuk meminta
obat yang tidak meningkatkan tekanan darah.
Selain dari beberapa solusi diatas penyakit hipertensi ini dapat dicegah dan
dikendalikan dengan mengkonsumsi, buah mentimun, belimbing, jeruk nipis atau
mengkudu. Akan tetapi pengolahan terhadap 4 buah tersebut masih kurang,
sehingga perlu adanya pengembangan produk berbasis ke 4 buah tersebut, sebagai
alternatif bagi penderita hipertensi. Disamping itu mengkudu merupakan jenis
buah yang kurang disukai karena bau yang dimilikinya. Ini menjadikan peran
penting bagi ahli teknologi pangan untuk menciptakan teknologi dalam
pengolahan agar kandungan zat gizi pada buah tersebut tetap baik dan tidak
mengurangi kemampuan buah tersebut dalam menurunkan tekanan darah tinggi.
II.3 Rendahnya Konsumsi Protein Hewani di Indonesia
II.3.1Konsumsi Protein Hewani Rendah

Dibanding dengan negara Asean lainnya, Indonesia masih tergolong rendah dalam asupan
gizi protein hewaninya. Masih kalah dengan Vietnam, apalagi Thailand.

Doktersehat.com – Untuk perkembangan kecerdasan tak, manusia perlu
mengkonsumsi berbagaia makanan yang mengandung cukup protein baik hewani
ataupun nabati. Bahan pangan merupakan kebutuhan pokok manusia untuk hidup
sehat. Disamping pangan nabati manusia juga memerlukan pangan hewani
(daging, susu dan telur) sebagai sumber protein untuk kecerdasan, memelihara
stamina tubuh, mempercepat regenerasi sel dan menjaga sel darah merah
(eritrosit) agar tidak mudah pecah.
Meskipun masyarakat menyadari pangan hewani sebagai kebutuhan primer
namun hingga kini konsumsi protein hewani penduduk Indonesia sangat rendah.
Pada tahun 2000, konsumsi daging unggas penduduk Indonesia hanya 3,5
kg/kapita/tahun, sedangkan penduduk Malaysia (36,7 kg), Thailand (13,5 kg),
Fhilipina (7,6 kg), Vietnam (4,6 kg) dan Myanmar (4,2 kg) (Poultry International,
2003). Konsumsi daging unggas penduduk Indonesia hanya 10 gram/kapita/hari,
sedangkan Malaysia sudah 100 gram/kapita/hari.
Konsumsi telur penduduk Indonesia juga rendah, yakni 2,7 kg/kapita/tahun,
sedangkan Malaysia mencapai 14,4 kg, Thailand 9,9 kg dan Fhilipina 6,2 kg. Bila
satu kilogram telur rata-rata terdiri atas 17 butir, maka konsumsi telur penduduk
Indonesia adalah 46 butir/kapita/tahun atau 1/8 butir telur per hari. Padahal
penduduk Malaysia setiap tahunnya memakan 245 butir telur atau 2/3 butir telur
per hari. Konsumsi susu masyarakat Indonesia juga sangat rendah, yakni sekitar 7

kg/kapita/tahun, sedangkan Malaysia sudah mencapai 20 kg/kapita/tahun.
Konsumsi susu masyarakat AS mencapai 100 kg/kapita/tahun.
Konsumsi daging, telur dan susu yang rendah menyebabkan target konsumsi
protein hewani sebesar 6 gram/kapita/hari masih jauh dari harapan. Padahal untuk
meningkatkan kualitas hidup masyarakat, konsumsi protein hewani yang ideal
adalah 26 gram/kapita/hari (Tuminga et. al. 1999). Analisis paling akhir oleh Prof.
I.K Han, guru besar Ilmu Produksi Ternak Universitas Nasional Seoul, Korea
Selatan, yang dimuat dalam Asian Australian Journal of Animal Science (1999)
menyatakan adanya kaitan positif antara tingkat konsumsi protein hewani dengan
umur harapan hidup (UHH) dan pendapatan perkapita. Semakin tinggi konsumsi
protein hewani penduduk semakin tinggi umur harapan hidup dan pendapatan
domestik brutto (PDB) negara tersebut.
Negara-negara berkembang seperti Korea, Brazil, China, Fhilipina dan
Afrika Selatan memiliki konsumsi protein hewani 20-40 gram/kapita/hari, UHH
penduduknya berkisar 65-75 tahun. Negara-negara maju seperti AS, Prancis,
Jepang, Kanada dan Inggris konsumsi protein hewani masyarakatnya 50-80
gram/kapita/hari, UHH penduduknya 75-85 tahun. Sementara itu, negara-negara
yang konsumsi protein hewani di bawah 10 gram/kapita/hari seperti Banglades,
India dan Indonesia, UHH penduduknya hanya berkisar 55-65 tahun (Han, 1999).
Rendahnya konsumsi protein hewani berdampak pada tingkat kecerdasan
dan kualitas hidup penduduk Indonesia. Negara Malaysia yang pada tahun 1970an mendatangkan guru-guru dari Indonesia, sekarang jauh meninggalkan
Indonesia, terutama dalam kualitas sumber daya manusia (SDM) sebagaimana
ditunjukkan oleh peringkat Human Development Indeks (HDI) tahun 2004 yang
dikeluarkan United Nation Development Program (UNDP). Indonesia berada
pada peringkat ke-111, satu tingkat di atas Vietnam (112), namun jauh di bawah
negara ASEAN lainnya. Singapura (peringkat 25), Malaysia (59), Thailand (76)
dan Fhilipina (83).
Ironisnya konsumsi protein hewani yang rendah banyak terjadi pada anak
usia bawah lima tahun (balita) sebagaimana ditunjukkan merebaknya kasus
busung lapar dan malnutrisi di tanah air beberapa waktu lalu. Rendahnya asupan
kalori-protein pada anak balita turut menyebabkan meningkatnya kasus gizi buruk

(malnutrisi) dan rendahnya tingkat kecerdasan. Usia balita disebut juga periode
“the golden age” (periode emas pertumbuhan) dimana sel-sel otak anak manusia
sedang berkembang pesat. Pada fase ini otak membutuhkan suplai protein hewani
yang cukup agar berkembang optimal dan tidak sampai menjadi tulalit, —
meminjam istilah Dr. Handrawan Nadesul (Kompas, 9/7/05)
Asupan

kalori-protein

yang

rendah

pada

anak

balita

berpotensi

menyebabkan terganggunya pertumbuhan, meningkatnya resiko terkena penyakit,
mempengaruhi perkembangan mental, menurunkan performa mereka di sekolah
dan menurunkan produktivitas tenaga kerja setelah dewasa (Pinstrup-Andersen,
1993).
Monckeberg (1971) menunjukkan adanya hubungan tingkat konsumsi
protein hewani pada anak usia pra-sekolah dengan kejadian defisiensi mental.
Selain untuk kecerdasan, protein hewani dibutuhkan untuk daya tahan tubuh.
Shiraki et al. (1972) membuktikan peranan protein hewani dalam mencegah
terjadinya anemia pada orang yang menggunakan otot untuk bekerja keras. Gejala
anemia tersebut dikenal dengan istilah “sport anemia”. Penyakit ini dapat dicegah
dengan mengkonsumsi protein yang tinggi, dimana sebanyak 50% dari protein
yang dikonsumsi harus berasal dari protein hewani.
Konsumsi protein hewani rata-rata masyarakat di Indonesia rendah.
Akibatnya, banyak penduduk bertubuh pendek, gemuk, dan rentan terhadap
penyakit degeneratif. Kurangnya pemenuhan kebutuhan protein hewani
mengakibatkan pembangunan manusia Indonesia tertinggal dibandingkan negara
Asia lain.
Direktur Jenderal Bina Gizi Kementerian Kesehatan Minarto mengatakan,
angka pemenuhan kebutuhan protein hewani saat ini 60 persen per orang per
tahun. Jumlah itu jauh tertinggal dibandingkan Vietnam yang sudah mencapai 80
persen dan Thailand 100 persen.
”Kebutuhan protein hewani minimal 150 gram sekali makan sehari tiga
kali,” kata Minarto, Selasa (26/6), di Jakarta.
Akibat kurang pemenuhan protein hewani, kata Minarto, prevalensi orang
bertubuh pendek dan gizi kurang tinggi. Data Unicef tahun 2009, prevalensi orang

pendek Indonesia 37 persen dan prevalensi gizi kurang 18 persen dari jumlah
penduduk.
Indonesia kalah dibandingkan China (15 persen dan 6 persen), Thailand (16
persen dan 7 persen), Filipina (34 persen dan 21 persen), serta Vietnam (36 persen
dan 20 persen).
Minarto mengatakan, kualitas gizi masyarakat belum membaik tahun 2012.
Data Kementerian Kesehatan, prevalensi orang pendek 36 persen, turun 1 persen
dari tahun 2009. Sebaliknya, prevalensi gizi kurang 31 persen, meningkat 13
persen.
Sebesar 40 persen dari 33 provinsi di Indonesia, angka pemenuhan protein
hewaninya berada di bawah rata-rata nasional. Daerah itu antara lain Nusa
Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sumatera
Utara, dan Kalimantan Barat.
Untuk itu, pemerintah pusat menargetkan kenaikan pemenuhan protein
hewani menjadi 100 persen tahun 2014. Harapannya, prevalensi orang pendek
turun dari 36 persen menjadi 32 persen, dan prevalensi gizi kurang bisa ditekan
dari 31 persen menjadi 15 persen.
Langkah yang diambil Kemenkes, antara lain, mengajari masyarakat
menggali sumber protein hewani di sekitar mereka. Hal itu misalnya di Kabupaten
Tegal, masyarakat bisa mengonsumsi telur karena daerah penghasil telur asin.
Contoh lain, mengenalkan konsumsi susu di daerah produksi, seperti Pasuruan,
Malang, dan Bandung.
Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan mengatakan mendukung upaya
pemenuhan protein hewani dengan meningkatkan konsumsi susu. Dalam lima
tahun, konsumsi susu ditargetkan naik menjadi 22 liter per kapita per tahun, dari
11,7 liter per kapita per tahun.
(Sumber: doktersehat.com)
II.3.2Penyebab
Hal utama yang mendasari rendahnya kondumsi protein hewani di
Indonesia ialah rendahnya pendapatan dan tingkat perekonomian masyarakat serta
pengetahuan mereka mengenai pentingnya asupan protein hewani bagi tubuh dan

kesehatan. Masyarakat cenderung lebih memilih untuk mengkonsumsi protein
yang berasal dari tumbuhan atau protein nabati seperti Tahu, tempe dengan alasan
karena harganya yang relatif murah.
II.3.3Solusi
Salah satu jawaban dari permasalahan mengenai asupan protein hewani
adalah ayam. Ayam merupakan sumber protein hewani yang murah dibandingkan
dengan daging kambing atau sapi. Untuk memenuhi kebutuhan protein hewani
masyarakat dengan harga yang terjangkau diperlukan adanya pengembangan
peternakan dan menggali sumber protein hewani yang ada di daerah-daerah di
Indonesia. Sehingga konsumsi asupan protein di indonesia bisa ditingkatkan.

III. KESIMPULAN
1. Meningkatnya permintaan produk olahan gandum yang dianggap lebih
praktis oleh konsumen menjadi penyebab meningkatnya impor gandum
ke Indonesia.
2. Pengembangan terhadap varietas gandum yang sesuai dengan kondisi
lingkungan di Indonesia telah dilakukan guna mengurangi impor
gandum di masa depan.
3. Keterlibatan pemerintah diperlukan dalam mengendalikan jumlah
produksi serta kebutuhan konsumen terhadap produk olahan gandum.
4. Prevalensi hipertensi pada penduduk umur 18 tahun ke atas tahun 2007
di Indonesia adalah sebesar 31,7%.
5. Faktor penyebab hipertensi di antaranya keturunan, usia, garam,
kolesterol, obesitas, stress, rokok, kafein, alkohol, dan kurang olagraga.
6. Modifikasi gaya hidup merupakan solusi paling tepat dalam
mengendalikan hipertensi di Indonesia
7. Asupan protein hewani Indonesia sangat rendah apabila dibandingkan
dengan negara-negara ASEAN lainnya.
8. Rendahnya pendapatan dan tingkat perekonomian masyarakat Indonesia
merupakan penyebab utama rendahnya asupan protein hewani.
9. Meningkatkan sumber-sumber protein hewani disetiap daerah serta
perataan distribusi menjadi salah satu hal yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan asupan protein hewani di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2014. Konsumsi Protein Hewani Rendah. Available online at:
http://doktersehat.com/konsumsi-protein-hewani-rendah/ (diakses pada
tanggal 21 September 2016).
Anwari, Akbar. 2015. Kondisi Ketahanan Pangan Indonesia Saat Ini. Available
online at: http://www.kompasiana.com/akbaranwari/kondisi-ketahananpangan-indonesia-saat-ini_54f74afda33311e32b8b4567. (diakses pada
tanggal 27 September 2016).
Ariyanti, Fiki. 2016. Impor Gandum Melonjak pada 2016. Available online at:
http://bisnis.liputan6.com/read/2436561/impor-gandum-melonjak-pada2016 (diakses pada tanggal 21 September 2016).
Bogasari. 2007. Milling For Non Miller. Bogasari Milling Training Centre. PT.
ISM Tbk Divisi Bogasari Flour Mills, Jakarta.
Efanur FS, Winda. 2014. Asupan Protein Hewani Indonesia Rendah. Available
online at: http://www.koranopini.com/blog/asupan-protein-hewaniindonesia-rendah (diakses pada tanggal 21 September 2016)
Jaramaya, Rizky. 2016. 3 Pabrik Tepung Terigu Baru Naikkan Impor Gandum 8
Persen. Available online at: http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/
makro/16/06/22/o95tyd382-3-pabrik-tepung-terigu-baru-naikkanimpor-gandum-8-persen (diakses pada tanggal 21 September 2016).
Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2014.
Hipertensi. Available online at: http://www.depkes.go.id (diakses pada
tanggal 21 September 2016).
Samosir, Hanna Azarya. 2015. Satu dari Empat Orang Indonesia Mengidap
Hipertensi. Available online at: http://www.ccnindonesia.com (diakses
pada tanggal 21 September 2016).
Susilawati, Desy. 2015. Hipertensi Masih Jadi Masalah Besar di Indonesia.
Available online at: http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/infosehat/15/06/07/npkxo1-hipertensi-masih-jadi-masalah-besar-diindonesia (diakses pada tanggal 21 September 2016).
Winarno, F.G., 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.