Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan (Studi Putusan MA RI No. 755K PID.SUS 2007)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lingkungan hidup merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari
kehidupan manusia dan segala makhluk yang hidup di atas bumi. Lingkungan
hidup merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dilestarikan dan
dikembangkan agar tetap dapat menjadi sumber penunjang hidup bagi manusia
dan makhluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu
sendiri. Berdasarkan Pasal 1 angka (2) Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) yang
dimaksud dengan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda,
daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain.
Undang – Undang Dasar 1945 sebagai dasar konstitusi Negara kita telah
mengamanatkan, bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dipergunakan sebesar – besarnya untuk kemakmuran rakyat.1 Dengan
demikian dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan
kesejahteraan umum tersebut dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan
Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup berdasarka kebijaksanaan nasional yang terpadu dan
1
M. Hamdan, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup , (Bandung: Mandar Maju,
2000), hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi sekarang dan generasi
mendatang.2
Manusia sejak dilahirkan di dunia ini, telah berada pada suatu lingkungan
hidup tertentu.3 Manusia dengan segala aktivitas hidupnya mencari makan, minum
serta memenuhi kebutuhan lainnya, adalah karena terdapatnya lingkungan hidup
sebagai sumber pertama dan terpenting bagi pemenuhan berbagai kebutuhan
tersebut.4
Secara harafiah istilah lingkungan hidup diterjemahkan menjadi “life
environment”, namun dalam kenyataannya selalu diterjemahkan sebagai
“environment”.5
Emil Salim (1982:14-15), memberikan pendapat, bahwa lingkungan hidup
diartikan segala benda, kondisi keadaan dan pengaruh yang terdapat dalam ruang
yang kita tempati dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk kehidupan
manusia. 6
Selanjutnya, Danusaputro (1980:65), mengemukakan bahwa lingkungan
adalah semua benda dan kondisi termasuk didalamnya manusia dan tingkah
perbuatannya, yang terdapat dalam ruang diamana manusia berada dan
mempengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad hidup
lainnya.7
Upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi kewajiban
bagi Negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan dalam pelaksanaan
2
Ibid
Ibid, hlm. 2
4
Ibid
5
Syamsul Arifin, Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia ,
(Jakarta: PT. Sofmedia, 2012), hlm . 45.
6
Ibid, hlm . 46
7
Ibid
3
Universitas Sumatera Utara
pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi
sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia dan makhluk hidup lain.8
Negara Indonesia yang berdasarkan hukum (recht staat) mempunyai tujuan
sebagaimana yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan
sosial berdasarkan Pancasila.9
Kerusakan lingkungan dewasa ini sudah mencapai tingkat yang
membahayakan kehidupan manusia dan makhluk lain yang hidup di bumi. Isu
mengenai dampak kerusakan lingkungan yang sering kali kita dengar yaitu
Pemanasan Global atau dikenal juga dengan istilah “Global Warming ”. Isu ini
menjadi pembahasan yang mendunia karena dampaknya bukan hanya dirasakan di
daerah tertentu tapi secara menyeluruh di seluruh penjuru bumi. Hal yang kini
telah menjadi kecemasan bagi seluruh manusia. Pemanasan global menyebabkan
tidak menentunya musim, cuaca ekstream dan bencana alam.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar kerusakan lingkungan
disebabkan oleh keserakahan manusia yang ingin menggunakan sebesar –
besarnya kekayaan alam tanpa melakukan perbaikan pada daerah yang
dimanfaatkan. Para pelaku perusakan berdalih, hal ini dilakukan demi peningkatan
kualitas hidupnya atau demi nilai ekonomi yang lebih tinggi, yang akan di
dapatnya dari pemanfaatan lingkungan. Perusakan bukan hanya dilakukan oleh
8
Alvi Syahrin, Ketentuan Pidana dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup , (Jakarta: PT. Sofmedia, 2011), hlm.1.
9
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana , (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
individu namun seringkali dilakukan oleh badan usaha, baik yang berbadan
hukum maupun yang tidak berbadan hukum atau yang biasa dikenal dengan istilah
korporasi.
Indonesia
sebagai
Negara
berkembang
terus
melakukan
upaya
pembangunan nasional di berbagai bidang sebagai pelaksanaan tugas mewujudkan
tujuan nasional yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, yaitu untuk
memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.10 Tidak dapat dipungkiri bahwa korporasi mepunyai peranan
penting dalam pembangunan tersebut, dan banyak memberikan kontribusi
terutama dalam rangka pembangunan di bidang ekonomi.11 Namun demikian
tidak jarang korporasi dalam aktivitasnya melakukan tindakan menyimpang atau
kejahatan.12 Salah satu bentuk kejahatan korporasi yang sangat menjadi perhatian
karena perkembangannya yang terus meningkat adalah bentuk kejahatan korporasi
di bidang lingkungan hidup.13
Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli Hukum
Pidana dan Kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang lain, khususnya
hukum Perdata, sebagai badan hukum atau yang dalam bahasa Inggris disebut
“legal entities” atau “corporation”.14 Sebagaimana ditetapkan dalam Undang –
Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Pasal 1 butir 32 yang menyatakan bahwa “ Setiap orang
adalah orang perseorangan atau badan hukum, baik yang berbadan hukum
10
Muhammad Topan, Kejahatan Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup, (Bandung: Nusa
Media, 2009), hlm. 1.
11
Ibid
12
Ibid
13
Ibid, hlm. 2.
14
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi ,
(Jakarta: PT. Sofmedia,2010), hlm. 11.
Universitas Sumatera Utara
maupun yang tidak berbadan hukum”.15 Dari ketentuan pasal tersebut , bahwa
yang termasuk subyek tindak pidana lingkungan, yaitu :16
1. Orang perseorangan atau individu
2. Badan usaha
3. Badan usaha yang berbadan hukum
Ketentuan hukum pidana dalam Undang - Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diataur dari pasal 97 sampai
dengan Pasal 120 yang secara tegas menetapkan bahwa tindak pidana lingkungan
merupakan kejahatan (rechtsdelichten), yaitu perbuatan – perbuatan yang
meskipun tidak ditetapkan dalam undang – undang sebagai perbuatan pidana,
telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata
hukum. (Moeljanto, 2008 : 78 )17 Mengenai ketentuan pidana yang berkaitan
dengan badan usaha yang berbadan hukum dan tidak berbadan hukum diatur
dalam Pasal 116 sampai dengan Pasal 120.18
Sehubungan dengan pertanggung jawaban badan hukum, selama ini ada
bermacam – macam cara perumusan yang ditempuh oleh pembuat undang –
undang yaitu :19
a. Ada yang merumuskan bahwa yang dapat melakukan tindak pidana dan yang
dapat dipertanggungjawabkan adalah orang, perumusan ini diatur oleh
KUHP;
b. Ada yang merumuskan bahwa yang dapat melakukan tindak pidana ialah
perserikatan, akan tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan hanyalah orang,
15
H. Syamsul Arifin, Op. Cit, hlm . 229.
Ibid
17
Ibid, hlm. 218.
18
Ibid, hlm. 229.
19
M.Hamdan, Op. Cit , hlm. 70 – 71.
16
Universitas Sumatera Utara
dalam hal perserikatan yang melakukan, yang dapat dipertanggungjawabkan
ialah (anggota) pengurus, perumusan serupa ini terlihat pada Ordonansi
Devisa, UU Penyelesaian Perburuha, UU Pengawasan Perburuhan dan
Peraturan Kecelakaan.
c. Ada yang merumuskan bahwa yang dapat melakukan maupun yang dapat
mempertanggungjawabkan ialah orang
dan/atau perserikatan itu sendiri,
perumusan serupa ini terlihat pada UU Tindak Pidana Ekonomi, UU
Subversi, dan Narkotika (Salim, 1986:117)
Berdasarkan rumusan pasal 116 dan pasal 118 UUPPLH, terdapat tiga pihak
yang dapat dikenakan tuntutan dan hukuman yaitu :20
1. Badan Usaha itu sendiri
2. Orang yang member perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam
tindak pidana; dan
3. Pengurus atau pimpinan badan usaha.
Di dalam system hukum Anglo Saxon, syarat seseorang dapat didmintakan
pertanggungjawaban pidana adanya unsur kesalahan dikenal dengan asas “ mens
rea”.21
Lingkungan dan kehidupan manusia di segala bidang merupakan satu
kesatuan hubugan timbal balik yang tidak dapat terpisahkan, sehingga dalam
pemanfaatannya manusia haruslah bijaksana. Dan hukum yang melindunginya
haruslah ditegakkan ketika terjadi pelanggaran dalam pemanfaatan lingkungan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengkajinya dan
menuangkannya dalam tugas akhir berupa skripsi yang berjudul :
20
21
Syamsul Arifin, Op. Cit, hlm . 230.
Ibid
Universitas Sumatera Utara
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI PELAKU TINDAK
PIDANA PERUSAKAN DAN PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP (Studi
Putusan MA RI No. 755K/PID.SUS/2007)
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak pada latar belakang masalah maka dapat penulis kemukakan
beberapa hal yang menjadi permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana Pengaturan Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Korporasi Di
Bidang Lingkungan Hidup di Indonesia?
2. Bagaimana Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Perusakan
dan Pencemaran Ligkungan Hidup Berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997 dan
UU No. 32 Tahun 2009 ?
3. Bagaimana Penerapan Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku
Perusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup Dalam Putusan MA RI Nomor
: 755 K/PID.SUS/2007 ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulis dalam menulis tulisan ini adalah sebagai
berikut:
a. Untuk mengetahui ruang lingkup hukum pidana dan/atau ketentuan pidana
dalam Undang – Undang lain mengenai hal – hal apa saja yang termasuk
sebagai tindak pidana korporasi di bidang lingkungan hidup ?
Universitas Sumatera Utara
b. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi pelaku
perusakan dan pencemaran lingkungan berdasakan Undang – Undang No. 23
Tahun 1997 dan Undang – Undang No. 32 Tahun 2009.
c. Untuk mengetahui penerapan system pertanggungjawaban pidana korporasi
pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan hidup melalui analisis Putusan
Mahkamah Agung Nomor : 755K/PID.SUS/2007
2. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah:
a. Secara teoritis
Untuk menambah dan memperluas pengetahuan mengenai pengaturan pidana
di bidang lingkungan hidup dan pengaturan serta system pertanggungjawaban
pidana korporasi pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan di indonesia,
yang diharapkan penulis dapat meningkatkan perlindungan hukum terhadap
kelestarian lingkungan di Indonesia;
b. Secara praktis
1) Sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pidana
umumnya, maupun terhadap pengaturan hukum
pidana di bidang
lingkungan pada khususnya;
2) Diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan acuan bagi pemerintah dalam
mengambil kebijakan hukum di bidang lingkungan sebagai perwujudan
tugas yang termaktub dalam UUD 1945 dan sebagai pedoman bagi
kalangan pengusaha dalam pengelolaan sumber daya alam dalam kerangka
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan;
Universitas Sumatera Utara
3) Sebagai sumbangan pemikiran / masukan kepada pihak aparat penegak
hukum, dalam menaggulangi hal – hal yang menjadi penghalang
penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi pelaku tindak pidana
pencemaran dan perusakan lingkungan.Untuk lahirnya keadilan hukum
antara pelaku dan korban tindak pidana di bidang lingkungan dan sebagai
pencegahan terjadi kembali pelanggaran pidana di bidang lingkungan,
demi terpeliharanya kelestarian lingkungan hidup di Indonesia.
D. Keaslia Penulisan
Penulisan skripsi ini adalah merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Selain itu melalui penulisan skripsi ini juga menambah pengetahuan dan wawasan
kita akan
Skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku
Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup (Studi
Putusan MA RI No. 755 K/PID.SUS/2007)” ini belum pernah dibahas oleh
mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli
disusun oleh penulis sendiri, bukan jiplakan atau diambil dari skripsi milik orang
lain.
E. Tinjauan Kepustakaan
5.
Hukum Pidana dan Tindak Pidana
a)
Hukum Pidana
Universitas Sumatera Utara
Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaedah mempunyai isi yang bersifat
umum dana normatif berperan memberikan jaminan, perlindungan, kepastian, dan
arah pembangunan, serta instrument kebijakan.22 Hukum mengendalikan
keadilan.23 Keadilan yang dikehendaki hukum harus mencapai nilai persamaan,
hak asasi individu, kebenaran, kepatutan, dan melindungi masyarakat. 24 Selain itu,
hukum mengemban fungsinya sebagai memelihara stabilitas, memberikan
kerangka sosial terhadap kebutuhan – kebutuhan yang diajukan anggota
masyarakat, menciptakan kaidah – kaidah, serta jalinan antar institusi.25
Segala peraturan – peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan
(misdrijven), dan sebagainya diatur oleh Hukum Pidana (strafrecht) dan dimuat
dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht).26
Hukum pidana bukanlah suatu hukum yang mengandung norma –norma baru,
melainkan hanya mengatur tentang pelanggaran – pelanggaran dan kejahatan –
kejahatan terhadap norma hukum yang menganai kepentingan umum.27
Untuk memberikan gambaran tentang ruang lingkup hukum pidana tersebut
maka berikut beberapa pengertian hukum pidana yang diungkapkan beberapa
sarjana terkemuka, yaitu:28
1. Soedarto
22
Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan , (Medan: PT. Sofmedia, 2009),
hlm. 5
23
Ibid
24
Ibid
25
Ibid
26
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok – Pokok Hukum Pidana : Hukum Pidana
Untuk Tiap Orang, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), hlm. 3
27
Ibid
28
Tongat, Dasar – Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang:
UMM Press, 2009), hlm. 11 – 16.
Universitas Sumatera Utara
Beliau memberikan pengertian tentang hukum pidana sebagai aturan hukum
yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu
akibat yang berupa pidana.
Menurut Soedarto, hukum pidana berpangkal dari dua hal pokok, yaitu:
a. Perbuatan yang memenuhi syarat – syarat tertentu
Menurut Soedarto, dengan perbuatan yang memenuhi syarat tertentu,
dimaksud perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang memungkinkan adanya
pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapaat disebut sebagai perbuatan
yang dapat dipidana atau dapat disingkat sebagai perbuatan jahat.
b. Pidana
Yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan
kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat – syarat
tertentu itu, yang menurut soedarto termasuk juga apa yang disebut tindakan
tata tertib.
2. Lemaire
Memberikan pengertian hukum pidana sebagai norma – norma yang berisi
keharusan dan larangan yang (oleh pembentuk undang – undang) telah dikaitkan
dengan suatu sanksi berupa hukuman, yaitu suatu penderitaan yang bersifat
khusus. Dengan demikian, dapat dikatakan pula bahwa hukum pidana merupakan
suatu system norma yang menentukan terhadap tindakan – tindakan yang mana
dan dalam keadaan bagaimana hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang
bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
3. Moeljatno
Hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku di
suatu Negara, yang mengadakan dasar – dasar dan aturan – aturan untuk:
a. Menentukan perbuatan – perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu
bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal – hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan – larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada
orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
4. Simons
Menurut Simons, hukum pidana adalah:
a. Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh Negara diancam dengan
nestapa, yaitu suatu “pidana” apabila tidak ditaati.
b. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat – syarat untuk penjatuhan
pidana, dan
c. Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan
penerapan pidana.
5.
Van Hamel
Hukum pidana merupakan keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh
Negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum, yaitu dengan melarang
Universitas Sumatera Utara
apa yang bertentangan dengan hukum (onrecht) dan mengenakan suatu nestapa
(penderitaan) kepada yangmelanggar larangan tersebut.
Dari berbagai pengertian tentang hukum pidana tersebut, maka dapat
dikemukakan, bahwa hukum pidana hakikatnya adalah aturan atau ketentuan
hukum yang mengatur tentang perbuatan – perbuatan yang dilarang yang secara
popular disebut tindak pidana (criminal act), mengatur tentang syarat – syarat
dapat
dijatuhkannya
pidana
atau
pertanggungjawaban
pidana
(criminal
responsibility) dan mengatur tentang cara – cara atau prosedur penjatuhan
pidana.29
Dua hal yang disebut pertama diatas hakikatnya merupakan isi dari hukum
pidana materiil sedang satu hal yang disebut terakhir hakikatnya merupakan isi
dari hukum pidana formil.30
b) Tindak Pidana
Peristiwa pidana yang juga disebut tidank pidana (delict) ialah suatu
perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana.31
Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang – undangan
pidana kita, hampir seluruh peraturan perundang – undangan menggunakan istilah
tindak pidana.32
29
Ibid, hlm. 16
Ibid
31
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana: Edisi Revisi, (Jakarta: Rajawali Press,2014), hlm. 16
32
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori
– Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2002), hlm. 67
30
Universitas Sumatera Utara
Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaar feit”, yang
biasanya disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni kata
delictum.33
Strafbaar feit, terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar, dan feit.34 Secara
literlijk (harfiah) kata “straf” artinya pidana, “baar ” artinya dapat atau boleh, dan
“feit” adalah perbuatan.35 Dalam kaitannya dengan istilah strafbaar feit secara
utuh, straf diartikan juga dengan kata hukum.36
Untuk kata baar ada dua istilah yang digunakan yaitu boleh dan dapat.37
Sedangkan untuk kata feit digunakan empat istilah, yakni tindak, peristiwa,
pelanggaran, dan perbuatan.38 Secara harfiah, feit memang lebih tepat
diterjemahkan dengan kata perbuatan, sedangkan untuk kata “peristiwa”,
menggambarkan pengertian yang lebih luas dari kata perbuatan, karena peristiwa
tidak saja menunjuk pada perbuatan manusia, melainkan mencakup pada seluruh
kejadian yang tidak saja disebabkan oleh adanya perbuatan manusia semata, tetapi
juga oleh alam.39
Untuk istilah “tindak”, menunjuk pada hal kelakuan manusia dalam arti
positif (handelen) semata dan tidak termasuk kelakuan manusia yang pasif atau
negatif (nalaten).40 Padahal pengertian yang sebanarnya dalam istilah feit adalah
termasuk baik perbuatan aktif maupun pasif.41 Perbuatan aktif artinya suatu
bentuk perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan adanya suatu gerakan
33
Teguh Prasetyo, Op.Cit, hlm. 47
Adami Chazawi, Op.Cit, hlm.69
35
Ibid
36
Ibid
37
Ibid
38
Ibid
39
Ibid
40
Ibid
41
Ibid, hlm.70
34
Universitas Sumatera Utara
dari tubuh manusia misalnya mengambil (pasal 362 KUHP) atau merusak (pasal
406 KUHP).42 Sedangkan perbuatan pasif adalah suatu bentuk tidak melakukan
suatu perbuatan fisik apapun yang oleh karenanya, dengan demikian seseorang
tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misalnya perbuatan tidak
menolong (pasal 531 KUHP) atau perbuatan membiarkan (pasal 304 KUHP).43
Suatu peristiwa hukum yang dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana bila
memenuhi unsur – unsur pidananya, terdiri dari:44
1. Objektif
Yaitu suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan
akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukum. Yang dijadikan titik
utama dari pengertian objektif di sini adalah tindakannya.
2. Subjektif
Yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang –
undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku (seseorang atau beberapa
orang).
Sudarto mengemukakan bahwa unsur pertama dari tindak pidana adalah
tindakan/perbuatan (gedraging), perbuatan orang itu merupakan titik penghubung
dan dasar untuk pemberian pidana.45 Tindak pidana tidak hanya terjadi karena
telah dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang oleh undang – undang, namun
adakalanya tindak pidana ini juga terjadi karena tidak berbuatnya seseorang.46
Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah
42
Ibid
Ibid
44
Teguh Prasetyo, Op.Cit, hlm. 16 - 17
45
Mohammad Ekaputra, Dasar – Dasar Hukum Pidana , (Medan: USU Press, Medan, 2010),
hlm. 75
46
Ibid
43
Universitas Sumatera Utara
perbuatan jahat dan kejahatan yang bisa diartikan secara yuridis atau
kriminologis.47
Syarat – syarat yang harus dipenuhi sebagai suatau peristiwa pidana ialah:48
1.
Harus ada suatu perbuatan.
2.
Perbuatan itu harus sesuai denga apa yang ditentukan dalam ketentuan
hukum.
3.
Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan
4.
Harus berlawanan dengan hukum
5.
Harus terdapat ancaman hukumannya.
Tindak pidana dapat dibeda – bedakan atas dasar – dasar tertentu, yaitu:49
1.
Menurut system KUHP, dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dimuat
dalam buku II dan Pelanggaran dimuat dalam buku III
2.
Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil
(formeel delicten) dan tindak pidana materil (materiel delicten)
3.
Berdasarkan bentuknya kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana
sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpose
delicten)
4.
Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana
aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta commissionis)
dan tindak pidana pasif/negative, disebut juga tindak pidana omisi (delicta
omissionis)
47
Ibid, hlm. 76
Teguh Prasetyo, Op.Cit, hlm. 17 - 18
49
Adami Chazawi,, Op. Cit, hlm. 117 - 119
48
Universitas Sumatera Utara
5.
Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan
antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu
lama atau berlangsung lama/berlangsung terus.
6.
Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan
tindak pidana khusus.
7.
Dilihat dari sudut subyek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak
pidana communia (delicta communia, yang dapat dilakukan oleh siapa saja),
dan tindak pidana propria (dapat dilakukan hanya oleh orang memiliki kualitas
pribadi tertentu)
8.
Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka
dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana
aduan (klacht delicten)
9.
Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat
dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten), tindak
pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak pidana yang
diperingan (gepriviligieerde delicten)
10.
Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana
tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang diindungi,
seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak
pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusialaan
dan lain sebagainya.
11.
Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan,
dibedakan antara tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) dan tindak
pidana berangkai (samengestelde delicten).
Universitas Sumatera Utara
6.
Korporasi
Dewasa ini tidak ada yang dapat menyangkal, bahwa dalam lapangan hukum
perdata sudah sangat lazim, bahwa korporasi/badan hukum diakui sebagai subyek
hukum.50 Dalam bidang hukum pidana, banyak perdebatan mengenai status
korporasi sebagai subyek hukum pidana, namun pada akhirnya sekarang korporasi
diakui sebagai subyek hukum pidana.51 Artinya, korporasi dapat melakukan
perbuatan pidana, dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, sehingga
karena juga dapat dipidana.52
Secara istilah korporasi adalah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan
hukum bertindak bersama – sama sebagai subyek hukum tersendiri, suatu
personifikasi.53 Korporasi adalah badan hukum yang beranggotakan tetapi
mempunyai hak dan kewajiban sendiri terpisah dari hak dan kewajiban anggota
masing – masing.54
Secara harfiah korporasi berasal dari kata corporatio dalam bahasa latin.55
Korporasi merupakan sebutan yang lazim digunakan di kalangan ahli hukum
pidana untuk menyebut apa yang ada dalam hukum perdata sebagai badan hukum
(recht person) dan dalam bahasa Inggris legal entities atau corporation.56
Perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan perkembangan korporasi
menyadarkan lembaga legislative untuk menentukan korporasi sebagai subyek
hukum pidana.57 Hal ini bisa dilihat dari beberapa produk perundang – undangan
50
Tongat, Op. Cit, hlm. 135
Ibid, hlm. 136
52
Ibid
53
Edi Setiadi dan Rena Yulia, Hukum Pidana Ekonomi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm.
51
58
54
Ibid
Ibid
56
Ibid
57
Ibid
55
Universitas Sumatera Utara
yang
mengakui
korporasi
sebagai
pelaku
kejahatan
sekaligus
dapat
bertanggungjawab secara hukum, diantaranya:58
1) Korporasi dapat melakukan tindak pidana, tetapi tanggungjawab pidana masih
dibebankan kepada pengurus. (Pasal 35 Undang – Undang Nomor 3 Tahun
1982)
2) Korporasi dinyatakan secara tegas sebagai pelaku kejahatan dan dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana (Pasal 15 UUTPE), (Pasal 46 Undang –
Undang Nomor 23 Tahun 1997)
Sekalipun pengaturannya hanya dapat dijumpai dalam perundang –
undangankhusus diluar KUHP, sementara dalam KUHP sendiri sebagai induk
hukum pidana yang berlaku di Indonesia masih menganut subyek hukum pidana
secara umum yaitu manusia sebagaimana terlihat dalam rumusan pasal 59 KUHP,
sebagai berikut:59
“ Dalam hal – hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap
pengurus, anggota – anggota badan pengurus atau komisaris – komisaris, maka
pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut
campur melakukan pelanggaran tindak pidana.”
Dengan demikian menurut Soedarto, Pasal 59 KUHP tidak menunjuk kearah
dapat dipidananya suatu badan hukum, suatu perkumpulan atau badan lain.60
Menurut pasal ini yang dapat dipidana adalah orang yang melakukan fungsi dalam
suatu badan hukum/korporasi.61
58
Ibid, hlm. 59
Tongat, Op. Cit, hlm. 137
60
Ibid
61
Ibid
59
Universitas Sumatera Utara
Menurut asas identifikasi (suatu asas dalam konsep hukum pidana Inggris),
perbuatan pengurus atau pegawai suatu korporasi, di – identifikasi-kan
(dipersamakan) dengan perbuatan korporasi sendiri.62 Asas ini sebenarnya
merupakan konsep dalam hukum perdata yang mendasarkan diri pada pemikiran,
bahwa apa yang dilakukan pengurus harus dapat dipertanggungjawabkan badan
hukum, karena pengurus dalam bertindak tidak melakukannya atas hak atau
kewenangan sendiri, tetapi atas hak atau kewenangan badan hukum yang
bersangkutan.63 Dengan kata lain, kesalahan pengurus harus dianggap sebagai
kesalahan korporasi.64
7.
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Dalam KUHP tidak ada rumusan yang jelas tentang kemampuan
bertanggungjawab pidana.65 Pasal 44 (1) KUHP justru merumuskan tentang
keadaan mengenai bilamana seseorang tidak mampu bertanggungjawab agar tidak
dipidana.66
Ada 3 syarat mengenai pertanggungjawaban pidana menurut J.E.Jonkers,
yaitu:67
a.
Kemungkinan untuk menentukan kehendaknya terhadap suatu perbuatan
b. Mengetahui maksud yang sesungguhnya daripada perbuatan itu
c.
Keinsyafan, bahwa hal itu dilarang dalam masyarakat
Moeljatno menarik kesimpulan tantang adanya kemampuan bertanggungjawab,
ialah:68
62
Ibid, hlm. 138
Ibid, hlm. 139
64
Ibid
65
Ibid, hlm. 142
66
Ibid
67
Ibid
63
Universitas Sumatera Utara
Harus adanya kemampuan untuk membeda – bedakan antara perbauatan
a.
yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum
b.
Harus adanya kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut
keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
Hukum menentukan, bahwa manusialah yang diakuinya sebagai
penyandang hak dan kewajiban, tetapi segala sesuatunya hanya dipertimbangkan
dari segi yang bersangkut – paut atau mempunyai arti hukum.69 Subjek tindak
pidana adalah setiap orang yang dapat dibebani tanggungjawab pidana atas
perbuatan yang dirumuskan dalam Undang – Undang Pidana.70 Pembentuk KUHP
berpandangan bahwa hanya manusia atau pribadi alamiah yang dapat dibebani
tanggungjawab pidana, karena hanya manusia yang merupakan subjek tindak
pidana dalam KUHP.71
Namun, mengingat terjadinya perubahan sosial di berbagai bidang
kehidupan manusia, maka subjek hukum pidana tidak lagi hanya dibatasi pada
manusia alamiah (natural person) tetapi mencakup pula korporasi (legal
person).72
Penolakan korporasi sebagai subjek hukum pidana didasarkan pada
doktrin universitas delinquere non potest (korporasi tidak dapat melakukan delik),
harus diakui bahwa hanya manusia yang memungkinkan terjadinya suatau delik
68
Ibid
Mohammad Ekaputra, Op. Cit, hlm. 21
70
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers,
2013), hlm. 82
71
Ibid
72
Mohammad Ekaputra, Op. Cit, hlm. 22
69
Universitas Sumatera Utara
dan hanya manusia pula yang dapat dipidana; tuntutan pertanggungjawaban yang
memunculkan rasa bersalah hanya mungkin dilakukan pada manusia.73
Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang keuangan, ekonomi, dan
perdagangan, serta berkembangnya tindak pidana terorganisasi, maka subjek
hukum pidana tidak dapat dibatasi pada manusia alamiah (natural person ) tetapi
mencakup pula korporasi, yaitu kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau
kekayaan, baik merupakan badan hukum (legal person) maupun bukan badan
hukum.74 Dengan dianutnya paham bahwa korporasi adalah subjek tindak pidana,
berarti korporasi baik sebagai badan hukum maupun non badan hukum dianggap
mampu melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum
pidana(corporate criminal responsibility).75
Badan hukum bisa bertindak, dalam artian dapat melakukan penuntutan
dan dituntut, dan memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan para pemegang
sahamnya dan kekayaan para pendirinya, sedangkan badan usaha yang bukan
badan hukum hanya merupakan suatu wadah dari usaha pendirinya atau usaha
bersamadiantara para pendirinya sehingga jika terjadi gugatan dari pihak ke tiga,
maka para pendiri/persero pemilik harus bertanggungjawab atau menanggung
sampai dengan harta pribadinya.76Korporasi dapat melakukan suatu tindak pidana
melalui pejabat seniornya yang memiliki keduduan dan kekuasaan untuk berperan
sebagai otak korporasi.77
73
Ibid
Ibid, hlm. 25
75
Ibid
76
Ibid, hlm. 26
77
Alvi Syahrin, Op. Cit, hlm. 57
74
Universitas Sumatera Utara
Tindak pidana yang dilakukan korporasi seringkali tidak tempak karena
kompleksitas
dan
dilakukan
dengan
perencanaan
yang
matang
serta
pelaksanaannya rapi dan terkoordinasi serta memiliki dimensi ekonomi.78
Korporasi sebagai subjek hukum tidak hanya menjalankan kegiatannya
sesuai prinsip ekonomi tetapi juga mempunyai kewajiban untuk mematuhi
peraturan hukum di bidang ekonomi yang digunakan pemerintah guna
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.79
Menurut Barda Nawawi Arief, untuk adanya pertanggungjawaban pidana
harus jelas lebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan.80 Setelah
pelaku ditentukan, selanjutnya bagaimana mengenai pertanggungjawaban
pidananya.81 Mengenai sifat pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum
pidana terdapat beberapa system perumusan yang ditempuh oleh pembuat Undang
– Undang, yaitu:82
a. Pengurus
korporasi
sebagai
pembuat
dan
pengurusnyalah
yang
bertanggungjawab;
b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab;
c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab;
Menurut konsep KUHP Baru, subjek hukum pidana tidak dapat lagi
dibatasi hanya pada manusia alamiah (natural person) tetapi mencakup pula
korporasi, sebagaimana diatur dalam pasal 47 yang menyebutkan: korporasi
merupakan subjek tindak pidana.83
78
Ibid
Ibid, hlm. 59
80
Ibid, hlm. 62
81
Ibid, hlm. 63
82
Ibid
83
Mohammad Ekaputra, Op. Cit, hlm. 27
79
Universitas Sumatera Utara
Dalam konsep KUHP Baru disebutkan, bahwa tindak pidana dilakukan
oleh korporasi apabila dilakukan oleh orang – orang yang mempunyai kedudukan
fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas
nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja
atau berdasar hubungan lai, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri
maupun bersama.84 Oleh karena itu jika suatu tindak pidana dilakukan oleh dan
untuk suatu korporasi, maka penuntutannya dapat dilakukan dan pidananya dapat
dijatuhkan terhadap korporasi sendiri, atau korporasi dan pengurusnya, atau
pengurusnya saja.85
8. Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup
Mengutip pengertian dari rumusan yang ditetapkan oleh Tim Pengkaji
Hukum Pidana Nasional sebagai berikut: “ Tindak Pidana ialah perbuatan
melakuakan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang –
undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana.” (BPHN, 1991: 20)86
Untuk membahas tindak pidana lingkungan perlu diperhatikan konsep
dasar tindak pidana lingkungan hidup yang ditetapkan sebagai tindak pidana
umum (delic genus) dan mendasari pengkajiannya pada tindak pidana khusu
(delic species).87 Inti dari tindak pidana lingkungan (perbuatan yang dilarang)
adalah “mencemarkan atau merusak lingkungan”.88 Rumusan ini dikatakan
sebagai rumusan umum (genus) dan selanjutnya dijadikan dasar untuk
84
Ibid, hlm. 27
Ibid, hlm. 28
86
M. Hamdan, Op. Cit, hlm. 59.
87
Alvi Syahrin, Op. Cit, hlm. 35
88
Ibid
85
Universitas Sumatera Utara
menjelaskan perbuatan pidana lainnya yang bersifat khusus (species), baik dalam
ketentuan Undang – Undang Lingkungan Hidup maupun dalam ketentuan Undang
– Undang lain yang mengatur perlindungan Hukum Pidana bagi lingkungan
hidup.89
Kata “mencemarkan” dengan “pencemaran” dan “merusak” dengan
“perusakan”, memiliki makna substansi yang sama yaitu tercemar atau rusaknya
lingkungan hidup.90 Tetapi keduanya berbeda dalam memberikan penekanan
mengenai kalimat aktif dan kalimat pasif (kata benda) dalam prroses
menimbulkan akibat.91
A. Pencemaran Lingkungan Hidup
Lingkungan mempunyai kemampuan mengabsorbsi limbah yang di buang ke
dalamnya.92 Kemampuan ini tidak terbatas, apabila jumlah dan kualitas limbah
yang dibuang ke dalam lingkungan melampaui kemampuan untuk mengabsorpsi,
maka dikatakan bahwa lingkungan itu tercemar.93
Pencemaran lingkungan sebagaimana pengertiannya dirumuskan dalam Pasal
1 angka 12 Undang – Undang No. 23 Tahun 1997 adalah “ pencemaran
lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat,
energy, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan
manusia
sehingga
kualitasnyabturun
sampai
ke
tingkat
tertentu
yang
89
Ibid
Ibid
91
Ibid, hlm. 35 - 36
92
Sodikin, Penegakan Hukum Lingkungan: Tinjauan atas Undang – Undang Nomor 23 Tahun
1997, (Jakarta: Djambatan, 2007), hlm. 7
93
Ibid
90
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan
lingkungan
hidup
tidak
dapat
berfungsi
sesuai
dengan
peruntukkannya”.94
Dari rumusan pasal tersebut dapat disimpulkan adanya unsur – unsur pencemaran
sebagai berikut:95
1. Masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energy, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan, yang mengakibatkan berubahnya tatanan
lingkungan hidup. Maksud unsur yang pertama ini berupa masuk atau
dimasukkannya zat pencemar, yang berarti baik disengaja maupun tidak
memasukkan zat pencemar atau komponen lainnya yang kira – kira sangat
berbahaya bagi lingkungan, yang mengakibatkan berubahnya tatanan
lingkungan hidup tersebut.
2.
Adanya kegiatan manusia atau adanya proses alam. Unsure kedua ini
dengan melihat factor penyebabnya, yaitu pencemaran lingkungan dapat
dibedakan antara pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan
manusia, dan pencemaran lingkungan yan disebabkan oleh proses alam.
3. Turunnya kualitas lingkungan. Dengan demikian, pencemaran lingkungan
dalam dirinya selalu mengandung pengertian terjadinya penurunan kualitas
lingkungan. Penurunan kualitas lingkungan merupakan yang esensia, sehingga
perlu ditanggulangi dan tidak berdampak pada masyarakat
4.
Mengakibatkan berkurangnya atau tidak dapatnya lingkungn berfungsi
sesuai dengan peruntukkannya. Dari pengertian ini dapat disimpulkan, bahwa
pencemaran lingkungan selalu berkaitan dengan peryntukan lingkungan (tata
guna lingkungan)
94
95
Ibid
Ibid, hlm. 7 - 8
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan, berdasarkan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup, pengertian secara
otentik pencemaran lingkungan hidup tercantum dalam Pasal 1 angka (14),
yaitu:96
“Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk
hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh
kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang
telah ditetapkan.”
Adapun unsur pengertian “pencemaran lingkungan hidup” sebagaimana diatur
dalam pasal 1 angka (14) UUPPLH, yaitu:97
1. Masuk atau dimasukkannya:
-
Makhluk hidup,
-
Zat,
-
Energy dan/atau
-
Komponen lain ke dalam lingkungan;
2. Dilakukan oleh kegiatan manusia;
3. Melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
Berdasarka Pasal 20 ayat (1) UUPPLH dinyatakan bahwa penentuan
terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan
hidup. Berdasarkan Pasal 1 angka (13) UUPPLH, yaitu:98
“Ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang
ada
atau
harus
ada
dan/atau
unsur
pencemar
yang
ditenggang
96
Alvi Syahrin, Op. Cit, hlm. 36
Ibid
98
Ibid
97
Universitas Sumatera Utara
keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan
hidup.”
Pada ayat (2) dijelaskan bahwa baku mutu lingkungan hidup meliputi:99
a.
Baku mutu air,
b.
Baku mutu air limbah,
c.
Baku mutu air laut,
d.
Baku mutu udara ambient,
e.
Baku mutu emisi,
f.
Baku mutu gangguan, dan
g. Baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Yang selanjutnya mengenai baku mutu tersebut diatur dalam peraturan menteri
Negara lingkungan hidup.100
B.
Perusakan Lingkungan Hidup
Dirumuskan pengertiannya dalam Pasal 1 angka 14 Undang – Undang No.
23 Tahun 1997, sebagai berikut:101
“Perusakan
Lingkungan
Hidup
adalah
tindakan
yang
menimbulkan
perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau
hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam
menunjang pembangunan berkelanjutan”.
99
Ibid, hlm. 37
Ibid
101
Sodikin, Op. Cit, hlm. 8
100
Universitas Sumatera Utara
Dari rumusan pasal tersebut, dapat disimpulkan adanya unsur – unsur perusakan
lingkungan yaitu:102
1.
Adanya suatu tindakan manusia. Maksudnya, karena manusia merupakan
komponen biotik (makhluk hidup) dalam lingkungan hidup yang sangat
dominan, maka segala tindakan atau perilakunya sangat mempengaruhi
perikehidupan dan kesejahteraan makhluk hidup yang lain.
2.
Terjadinya perubahan terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya. Dengan
demikian, perusakan lingkungan dalam dirinya selalu mengandung pengertian
terjadinya perubahan sifat fisik dan/atau sifat hayati lingkungan. Untuk dapat
mengetahui telah terjadinya perusakan lingkungan perlu diketahui keadaan
lingkungan sebelum terjadi kerusakan. Dengan kata lain, perlu diketahui
kondisi awal lingkungan.
3.
Mengakibatkan berkurangnya atau tidak dapatnya lingkungan berfungsi
dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Perlu adanya ketetapan
suatu tolok ukur berupa kriteria untuk menentukan bahwa lingkungan berada
dalam kondisi kurang atau tidak berfungsi lahi dalam menunjang
pembangunan yang berkesinambungan.
Pengertian istilah “perusakan lingkungan hidup” dalam Undang –
Undang No. 32 Tahun 2009 dirumuskan dalam Pasal 1 angka (16), sebagai
berikut:103
“Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan
perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau
102
103
Ibid, hlm. 8 - 9
Alvi Syahrin, Op. Cit, hlm. 38
Universitas Sumatera Utara
hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup.”
Adapun unsur perusakan lingkungan hidup sebagaimana terkandung dalam
Pasal 1 angka (16), yaitu:104
1. Adanya tindakan;
2.
Menimbulkan:
-
Perubahan langsung atau
-
Tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayati lingkungan;
3.
Melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
Berdasarkan Pasal 21 ayat (1), dinyatakan bahwa untuk menentukan
terjadinya kerusakan lingkungan, ditetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup.105 Pasal 1 angka (15) menjelasakan bahwa yang dimaksud dengan baku
kerusakan lingkungan hidup, yaitu106
“ Ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan
hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap
melestarikan fungsinya.”
Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup berdasarkan Pasal 21 ayat (2)
meliputi kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat
perubahan iklim, diatur dalam peraturan pemerintah.107
Kriteria baku kerusakan ekosistem menurut Pasal 21 ayat (3), meliputi:108
a.
kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa;
b.
kriteria baku kerusakan terumbu karang;
104
Ibid
Ibid
106
Ibid
107
Ibid, hlm. 38 – 39
108
Ibid, hlm. 39
105
Universitas Sumatera Utara
c.
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan
kebakaran hutan dan/atau lahan;
d.
kriteria baku kerusakan mangrove;
e.
kriteria baku kerusakan padang lamun;
f.
kriteria baku kerusakan gambut;
g.
kriteria baku kerusakan karst; dan/atau
h.
kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim menurut Pasal 21 ayat
(4), didasarkan pada paramater antara lain:109
a.
kenaikan temperatur;
b.
kenaikan muka air laut;
c.
badai; dan/atau
d.
kekeringan.
Ketentuan pidana dalam Undang – Undang No. 23 Tahun 1997 tercantum
dalam Pasal 41 sampai Pasal 48, dan pasal – pasal didalamnya tidak merumuskan
tindak pidan tetapi mengatur ketentuan pidana bagi barang siapa yang dengan
sengaja atau karena kealpaannya melakukan perbuatan yang menyebabkan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan.110
Sedangkan dalam Undang – Undang No. 32 tahun 2009, perumusan tindak
pidana pencemaran dan/atau perusakan lingkungan tidak lagi abstrak dan luas
sebagaimana diatur dalam Undang – Undang No. 23 Tahun 1997, karena telah
adanya kata kunci bagi tindak pidana dan/atau kerusakan lingkungan, yaitu:
109
110
Ibid
Sodikin, Op. Cit, hlm. 160
Universitas Sumatera Utara
“melampaui baku mutu lingkungan yang telah ditetapkan” atau “melampaui
kriteria baku kerusakan lingkungan”.111 Ketentuan Pidana dalam UUPPLH diatur
dalam Bab XV, yaitu dari Pasal 97 sampai Pasal 120.112
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan penulis dalam mengadakan penelitian
sehubungan dengan penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penulisan
Dalam membuat/ menulis suatu karya ilmiah, penggunaan suatu metode
mutlak diperlukan. Adapun metode yang digunakan dalam penulisan ini
adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian terhadap asas – asas
hukum.
2. Metode Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi
kepustakaan. Sumber data diperoleh dari:113
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan – bahan hukum yang mengikat, yakni:
- Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945;
- Peraturan Dasar, yakni Batang Tubuh Undang – Undang Dasar 1945 dan
Ketetapan – Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
- Peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup
111
Alvi Syahrin, Op. Cit, hlm. 40 - 41
Ibid, hlm. 41
113
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2010)
112
Universitas Sumatera Utara
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti: Rancangan Undang – Undang, Hasil penelitian,
Karya dari kalangan hukum, dan sebagainya.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab, yang masing – masing bab
terdiri dari beberapa sub bab yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya.
Uraian singkat atas bab -
bab dan sub bab tersebut akan diuraikan sebagai
berikut:
1. Bab I
: PENDAHULUAN
Dalam bab ini terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode
penulisan dan sistematika penulisan.
2. Bab II
: PENGATURAN TINDAK PIDANA KORPORASI DI
BIDANG LINGKUNGAN HIDUP
Dalam bab ini dibahas mengenai pengertian tindak pidanan di bidang
lingkungan hidup, hak dan kewajiban korporasi dalam perlindungan
lingkungan hidup, dan jenis – jenis tindak pidana korporasi di bidang
lingkungan hidup menurut UU No. 23 Tahun 1997 jo UU No. 32 Tahun
2009
3. Bab III
: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
YANG MELAKUAKAN TINDAK PIDANA PERUSAKAN DAN
PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP
Universitas Sumatera Utara
Dalam bab ini dibahas mengenai korporasi sebagai subyek hukum pidana,
jenis sanksi administrati terhadap korporasi pelaku perusakan dan
pencemaran lingkungan hidup menurut UU No. 23 Tahun 1997 jo UU No.
32 Tahun 2009, jenis sanksi pidana terhadap korporasi pelaku perusakan
dan pencemaran lingkungan hidup menurut UU No. 23 Tahun 1997 jo UU
No. 32 Tahun 2009, dan system pertanggungjawaban pidana terhadap
korporasi pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan hidup.
4. Bab IV
KORPORASI
: PENERAPAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
PELAKU
PERUSAKAN
DAN
PENCEMARAN
LINGKUNGAN DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI
NOMOR : 755 K/PID.SUS/2007
Dalam bab ini membahas mengenai penerapan sistem pertanggungjawaban
pidana korporasi pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan hidup
dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 755K/PID.SUS/2007
5. Bab V
: KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini penulis menyampaikan pendapat berupa kesimpulan dari
seluruh skripsi ini yang merupakan rangkuman dari pembahasan dan juga
penulis menyampaikan berupa saran – saran dari permasalahan skripsi ini.
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lingkungan hidup merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari
kehidupan manusia dan segala makhluk yang hidup di atas bumi. Lingkungan
hidup merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dilestarikan dan
dikembangkan agar tetap dapat menjadi sumber penunjang hidup bagi manusia
dan makhluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu
sendiri. Berdasarkan Pasal 1 angka (2) Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) yang
dimaksud dengan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda,
daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain.
Undang – Undang Dasar 1945 sebagai dasar konstitusi Negara kita telah
mengamanatkan, bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dipergunakan sebesar – besarnya untuk kemakmuran rakyat.1 Dengan
demikian dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan
kesejahteraan umum tersebut dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan
Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup berdasarka kebijaksanaan nasional yang terpadu dan
1
M. Hamdan, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup , (Bandung: Mandar Maju,
2000), hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi sekarang dan generasi
mendatang.2
Manusia sejak dilahirkan di dunia ini, telah berada pada suatu lingkungan
hidup tertentu.3 Manusia dengan segala aktivitas hidupnya mencari makan, minum
serta memenuhi kebutuhan lainnya, adalah karena terdapatnya lingkungan hidup
sebagai sumber pertama dan terpenting bagi pemenuhan berbagai kebutuhan
tersebut.4
Secara harafiah istilah lingkungan hidup diterjemahkan menjadi “life
environment”, namun dalam kenyataannya selalu diterjemahkan sebagai
“environment”.5
Emil Salim (1982:14-15), memberikan pendapat, bahwa lingkungan hidup
diartikan segala benda, kondisi keadaan dan pengaruh yang terdapat dalam ruang
yang kita tempati dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk kehidupan
manusia. 6
Selanjutnya, Danusaputro (1980:65), mengemukakan bahwa lingkungan
adalah semua benda dan kondisi termasuk didalamnya manusia dan tingkah
perbuatannya, yang terdapat dalam ruang diamana manusia berada dan
mempengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad hidup
lainnya.7
Upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi kewajiban
bagi Negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan dalam pelaksanaan
2
Ibid
Ibid, hlm. 2
4
Ibid
5
Syamsul Arifin, Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia ,
(Jakarta: PT. Sofmedia, 2012), hlm . 45.
6
Ibid, hlm . 46
7
Ibid
3
Universitas Sumatera Utara
pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi
sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia dan makhluk hidup lain.8
Negara Indonesia yang berdasarkan hukum (recht staat) mempunyai tujuan
sebagaimana yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan
sosial berdasarkan Pancasila.9
Kerusakan lingkungan dewasa ini sudah mencapai tingkat yang
membahayakan kehidupan manusia dan makhluk lain yang hidup di bumi. Isu
mengenai dampak kerusakan lingkungan yang sering kali kita dengar yaitu
Pemanasan Global atau dikenal juga dengan istilah “Global Warming ”. Isu ini
menjadi pembahasan yang mendunia karena dampaknya bukan hanya dirasakan di
daerah tertentu tapi secara menyeluruh di seluruh penjuru bumi. Hal yang kini
telah menjadi kecemasan bagi seluruh manusia. Pemanasan global menyebabkan
tidak menentunya musim, cuaca ekstream dan bencana alam.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar kerusakan lingkungan
disebabkan oleh keserakahan manusia yang ingin menggunakan sebesar –
besarnya kekayaan alam tanpa melakukan perbaikan pada daerah yang
dimanfaatkan. Para pelaku perusakan berdalih, hal ini dilakukan demi peningkatan
kualitas hidupnya atau demi nilai ekonomi yang lebih tinggi, yang akan di
dapatnya dari pemanfaatan lingkungan. Perusakan bukan hanya dilakukan oleh
8
Alvi Syahrin, Ketentuan Pidana dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup , (Jakarta: PT. Sofmedia, 2011), hlm.1.
9
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana , (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
individu namun seringkali dilakukan oleh badan usaha, baik yang berbadan
hukum maupun yang tidak berbadan hukum atau yang biasa dikenal dengan istilah
korporasi.
Indonesia
sebagai
Negara
berkembang
terus
melakukan
upaya
pembangunan nasional di berbagai bidang sebagai pelaksanaan tugas mewujudkan
tujuan nasional yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, yaitu untuk
memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.10 Tidak dapat dipungkiri bahwa korporasi mepunyai peranan
penting dalam pembangunan tersebut, dan banyak memberikan kontribusi
terutama dalam rangka pembangunan di bidang ekonomi.11 Namun demikian
tidak jarang korporasi dalam aktivitasnya melakukan tindakan menyimpang atau
kejahatan.12 Salah satu bentuk kejahatan korporasi yang sangat menjadi perhatian
karena perkembangannya yang terus meningkat adalah bentuk kejahatan korporasi
di bidang lingkungan hidup.13
Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli Hukum
Pidana dan Kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang lain, khususnya
hukum Perdata, sebagai badan hukum atau yang dalam bahasa Inggris disebut
“legal entities” atau “corporation”.14 Sebagaimana ditetapkan dalam Undang –
Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Pasal 1 butir 32 yang menyatakan bahwa “ Setiap orang
adalah orang perseorangan atau badan hukum, baik yang berbadan hukum
10
Muhammad Topan, Kejahatan Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup, (Bandung: Nusa
Media, 2009), hlm. 1.
11
Ibid
12
Ibid
13
Ibid, hlm. 2.
14
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi ,
(Jakarta: PT. Sofmedia,2010), hlm. 11.
Universitas Sumatera Utara
maupun yang tidak berbadan hukum”.15 Dari ketentuan pasal tersebut , bahwa
yang termasuk subyek tindak pidana lingkungan, yaitu :16
1. Orang perseorangan atau individu
2. Badan usaha
3. Badan usaha yang berbadan hukum
Ketentuan hukum pidana dalam Undang - Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diataur dari pasal 97 sampai
dengan Pasal 120 yang secara tegas menetapkan bahwa tindak pidana lingkungan
merupakan kejahatan (rechtsdelichten), yaitu perbuatan – perbuatan yang
meskipun tidak ditetapkan dalam undang – undang sebagai perbuatan pidana,
telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata
hukum. (Moeljanto, 2008 : 78 )17 Mengenai ketentuan pidana yang berkaitan
dengan badan usaha yang berbadan hukum dan tidak berbadan hukum diatur
dalam Pasal 116 sampai dengan Pasal 120.18
Sehubungan dengan pertanggung jawaban badan hukum, selama ini ada
bermacam – macam cara perumusan yang ditempuh oleh pembuat undang –
undang yaitu :19
a. Ada yang merumuskan bahwa yang dapat melakukan tindak pidana dan yang
dapat dipertanggungjawabkan adalah orang, perumusan ini diatur oleh
KUHP;
b. Ada yang merumuskan bahwa yang dapat melakukan tindak pidana ialah
perserikatan, akan tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan hanyalah orang,
15
H. Syamsul Arifin, Op. Cit, hlm . 229.
Ibid
17
Ibid, hlm. 218.
18
Ibid, hlm. 229.
19
M.Hamdan, Op. Cit , hlm. 70 – 71.
16
Universitas Sumatera Utara
dalam hal perserikatan yang melakukan, yang dapat dipertanggungjawabkan
ialah (anggota) pengurus, perumusan serupa ini terlihat pada Ordonansi
Devisa, UU Penyelesaian Perburuha, UU Pengawasan Perburuhan dan
Peraturan Kecelakaan.
c. Ada yang merumuskan bahwa yang dapat melakukan maupun yang dapat
mempertanggungjawabkan ialah orang
dan/atau perserikatan itu sendiri,
perumusan serupa ini terlihat pada UU Tindak Pidana Ekonomi, UU
Subversi, dan Narkotika (Salim, 1986:117)
Berdasarkan rumusan pasal 116 dan pasal 118 UUPPLH, terdapat tiga pihak
yang dapat dikenakan tuntutan dan hukuman yaitu :20
1. Badan Usaha itu sendiri
2. Orang yang member perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam
tindak pidana; dan
3. Pengurus atau pimpinan badan usaha.
Di dalam system hukum Anglo Saxon, syarat seseorang dapat didmintakan
pertanggungjawaban pidana adanya unsur kesalahan dikenal dengan asas “ mens
rea”.21
Lingkungan dan kehidupan manusia di segala bidang merupakan satu
kesatuan hubugan timbal balik yang tidak dapat terpisahkan, sehingga dalam
pemanfaatannya manusia haruslah bijaksana. Dan hukum yang melindunginya
haruslah ditegakkan ketika terjadi pelanggaran dalam pemanfaatan lingkungan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengkajinya dan
menuangkannya dalam tugas akhir berupa skripsi yang berjudul :
20
21
Syamsul Arifin, Op. Cit, hlm . 230.
Ibid
Universitas Sumatera Utara
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI PELAKU TINDAK
PIDANA PERUSAKAN DAN PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP (Studi
Putusan MA RI No. 755K/PID.SUS/2007)
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak pada latar belakang masalah maka dapat penulis kemukakan
beberapa hal yang menjadi permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana Pengaturan Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Korporasi Di
Bidang Lingkungan Hidup di Indonesia?
2. Bagaimana Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Perusakan
dan Pencemaran Ligkungan Hidup Berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997 dan
UU No. 32 Tahun 2009 ?
3. Bagaimana Penerapan Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku
Perusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup Dalam Putusan MA RI Nomor
: 755 K/PID.SUS/2007 ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulis dalam menulis tulisan ini adalah sebagai
berikut:
a. Untuk mengetahui ruang lingkup hukum pidana dan/atau ketentuan pidana
dalam Undang – Undang lain mengenai hal – hal apa saja yang termasuk
sebagai tindak pidana korporasi di bidang lingkungan hidup ?
Universitas Sumatera Utara
b. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi pelaku
perusakan dan pencemaran lingkungan berdasakan Undang – Undang No. 23
Tahun 1997 dan Undang – Undang No. 32 Tahun 2009.
c. Untuk mengetahui penerapan system pertanggungjawaban pidana korporasi
pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan hidup melalui analisis Putusan
Mahkamah Agung Nomor : 755K/PID.SUS/2007
2. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah:
a. Secara teoritis
Untuk menambah dan memperluas pengetahuan mengenai pengaturan pidana
di bidang lingkungan hidup dan pengaturan serta system pertanggungjawaban
pidana korporasi pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan di indonesia,
yang diharapkan penulis dapat meningkatkan perlindungan hukum terhadap
kelestarian lingkungan di Indonesia;
b. Secara praktis
1) Sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pidana
umumnya, maupun terhadap pengaturan hukum
pidana di bidang
lingkungan pada khususnya;
2) Diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan acuan bagi pemerintah dalam
mengambil kebijakan hukum di bidang lingkungan sebagai perwujudan
tugas yang termaktub dalam UUD 1945 dan sebagai pedoman bagi
kalangan pengusaha dalam pengelolaan sumber daya alam dalam kerangka
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan;
Universitas Sumatera Utara
3) Sebagai sumbangan pemikiran / masukan kepada pihak aparat penegak
hukum, dalam menaggulangi hal – hal yang menjadi penghalang
penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi pelaku tindak pidana
pencemaran dan perusakan lingkungan.Untuk lahirnya keadilan hukum
antara pelaku dan korban tindak pidana di bidang lingkungan dan sebagai
pencegahan terjadi kembali pelanggaran pidana di bidang lingkungan,
demi terpeliharanya kelestarian lingkungan hidup di Indonesia.
D. Keaslia Penulisan
Penulisan skripsi ini adalah merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Selain itu melalui penulisan skripsi ini juga menambah pengetahuan dan wawasan
kita akan
Skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku
Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup (Studi
Putusan MA RI No. 755 K/PID.SUS/2007)” ini belum pernah dibahas oleh
mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli
disusun oleh penulis sendiri, bukan jiplakan atau diambil dari skripsi milik orang
lain.
E. Tinjauan Kepustakaan
5.
Hukum Pidana dan Tindak Pidana
a)
Hukum Pidana
Universitas Sumatera Utara
Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaedah mempunyai isi yang bersifat
umum dana normatif berperan memberikan jaminan, perlindungan, kepastian, dan
arah pembangunan, serta instrument kebijakan.22 Hukum mengendalikan
keadilan.23 Keadilan yang dikehendaki hukum harus mencapai nilai persamaan,
hak asasi individu, kebenaran, kepatutan, dan melindungi masyarakat. 24 Selain itu,
hukum mengemban fungsinya sebagai memelihara stabilitas, memberikan
kerangka sosial terhadap kebutuhan – kebutuhan yang diajukan anggota
masyarakat, menciptakan kaidah – kaidah, serta jalinan antar institusi.25
Segala peraturan – peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan
(misdrijven), dan sebagainya diatur oleh Hukum Pidana (strafrecht) dan dimuat
dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht).26
Hukum pidana bukanlah suatu hukum yang mengandung norma –norma baru,
melainkan hanya mengatur tentang pelanggaran – pelanggaran dan kejahatan –
kejahatan terhadap norma hukum yang menganai kepentingan umum.27
Untuk memberikan gambaran tentang ruang lingkup hukum pidana tersebut
maka berikut beberapa pengertian hukum pidana yang diungkapkan beberapa
sarjana terkemuka, yaitu:28
1. Soedarto
22
Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan , (Medan: PT. Sofmedia, 2009),
hlm. 5
23
Ibid
24
Ibid
25
Ibid
26
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok – Pokok Hukum Pidana : Hukum Pidana
Untuk Tiap Orang, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), hlm. 3
27
Ibid
28
Tongat, Dasar – Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang:
UMM Press, 2009), hlm. 11 – 16.
Universitas Sumatera Utara
Beliau memberikan pengertian tentang hukum pidana sebagai aturan hukum
yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu
akibat yang berupa pidana.
Menurut Soedarto, hukum pidana berpangkal dari dua hal pokok, yaitu:
a. Perbuatan yang memenuhi syarat – syarat tertentu
Menurut Soedarto, dengan perbuatan yang memenuhi syarat tertentu,
dimaksud perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang memungkinkan adanya
pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapaat disebut sebagai perbuatan
yang dapat dipidana atau dapat disingkat sebagai perbuatan jahat.
b. Pidana
Yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan
kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat – syarat
tertentu itu, yang menurut soedarto termasuk juga apa yang disebut tindakan
tata tertib.
2. Lemaire
Memberikan pengertian hukum pidana sebagai norma – norma yang berisi
keharusan dan larangan yang (oleh pembentuk undang – undang) telah dikaitkan
dengan suatu sanksi berupa hukuman, yaitu suatu penderitaan yang bersifat
khusus. Dengan demikian, dapat dikatakan pula bahwa hukum pidana merupakan
suatu system norma yang menentukan terhadap tindakan – tindakan yang mana
dan dalam keadaan bagaimana hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang
bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
3. Moeljatno
Hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku di
suatu Negara, yang mengadakan dasar – dasar dan aturan – aturan untuk:
a. Menentukan perbuatan – perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu
bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal – hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan – larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada
orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
4. Simons
Menurut Simons, hukum pidana adalah:
a. Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh Negara diancam dengan
nestapa, yaitu suatu “pidana” apabila tidak ditaati.
b. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat – syarat untuk penjatuhan
pidana, dan
c. Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan
penerapan pidana.
5.
Van Hamel
Hukum pidana merupakan keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh
Negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum, yaitu dengan melarang
Universitas Sumatera Utara
apa yang bertentangan dengan hukum (onrecht) dan mengenakan suatu nestapa
(penderitaan) kepada yangmelanggar larangan tersebut.
Dari berbagai pengertian tentang hukum pidana tersebut, maka dapat
dikemukakan, bahwa hukum pidana hakikatnya adalah aturan atau ketentuan
hukum yang mengatur tentang perbuatan – perbuatan yang dilarang yang secara
popular disebut tindak pidana (criminal act), mengatur tentang syarat – syarat
dapat
dijatuhkannya
pidana
atau
pertanggungjawaban
pidana
(criminal
responsibility) dan mengatur tentang cara – cara atau prosedur penjatuhan
pidana.29
Dua hal yang disebut pertama diatas hakikatnya merupakan isi dari hukum
pidana materiil sedang satu hal yang disebut terakhir hakikatnya merupakan isi
dari hukum pidana formil.30
b) Tindak Pidana
Peristiwa pidana yang juga disebut tidank pidana (delict) ialah suatu
perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana.31
Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang – undangan
pidana kita, hampir seluruh peraturan perundang – undangan menggunakan istilah
tindak pidana.32
29
Ibid, hlm. 16
Ibid
31
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana: Edisi Revisi, (Jakarta: Rajawali Press,2014), hlm. 16
32
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori
– Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2002), hlm. 67
30
Universitas Sumatera Utara
Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaar feit”, yang
biasanya disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni kata
delictum.33
Strafbaar feit, terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar, dan feit.34 Secara
literlijk (harfiah) kata “straf” artinya pidana, “baar ” artinya dapat atau boleh, dan
“feit” adalah perbuatan.35 Dalam kaitannya dengan istilah strafbaar feit secara
utuh, straf diartikan juga dengan kata hukum.36
Untuk kata baar ada dua istilah yang digunakan yaitu boleh dan dapat.37
Sedangkan untuk kata feit digunakan empat istilah, yakni tindak, peristiwa,
pelanggaran, dan perbuatan.38 Secara harfiah, feit memang lebih tepat
diterjemahkan dengan kata perbuatan, sedangkan untuk kata “peristiwa”,
menggambarkan pengertian yang lebih luas dari kata perbuatan, karena peristiwa
tidak saja menunjuk pada perbuatan manusia, melainkan mencakup pada seluruh
kejadian yang tidak saja disebabkan oleh adanya perbuatan manusia semata, tetapi
juga oleh alam.39
Untuk istilah “tindak”, menunjuk pada hal kelakuan manusia dalam arti
positif (handelen) semata dan tidak termasuk kelakuan manusia yang pasif atau
negatif (nalaten).40 Padahal pengertian yang sebanarnya dalam istilah feit adalah
termasuk baik perbuatan aktif maupun pasif.41 Perbuatan aktif artinya suatu
bentuk perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan adanya suatu gerakan
33
Teguh Prasetyo, Op.Cit, hlm. 47
Adami Chazawi, Op.Cit, hlm.69
35
Ibid
36
Ibid
37
Ibid
38
Ibid
39
Ibid
40
Ibid
41
Ibid, hlm.70
34
Universitas Sumatera Utara
dari tubuh manusia misalnya mengambil (pasal 362 KUHP) atau merusak (pasal
406 KUHP).42 Sedangkan perbuatan pasif adalah suatu bentuk tidak melakukan
suatu perbuatan fisik apapun yang oleh karenanya, dengan demikian seseorang
tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misalnya perbuatan tidak
menolong (pasal 531 KUHP) atau perbuatan membiarkan (pasal 304 KUHP).43
Suatu peristiwa hukum yang dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana bila
memenuhi unsur – unsur pidananya, terdiri dari:44
1. Objektif
Yaitu suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan
akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukum. Yang dijadikan titik
utama dari pengertian objektif di sini adalah tindakannya.
2. Subjektif
Yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang –
undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku (seseorang atau beberapa
orang).
Sudarto mengemukakan bahwa unsur pertama dari tindak pidana adalah
tindakan/perbuatan (gedraging), perbuatan orang itu merupakan titik penghubung
dan dasar untuk pemberian pidana.45 Tindak pidana tidak hanya terjadi karena
telah dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang oleh undang – undang, namun
adakalanya tindak pidana ini juga terjadi karena tidak berbuatnya seseorang.46
Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah
42
Ibid
Ibid
44
Teguh Prasetyo, Op.Cit, hlm. 16 - 17
45
Mohammad Ekaputra, Dasar – Dasar Hukum Pidana , (Medan: USU Press, Medan, 2010),
hlm. 75
46
Ibid
43
Universitas Sumatera Utara
perbuatan jahat dan kejahatan yang bisa diartikan secara yuridis atau
kriminologis.47
Syarat – syarat yang harus dipenuhi sebagai suatau peristiwa pidana ialah:48
1.
Harus ada suatu perbuatan.
2.
Perbuatan itu harus sesuai denga apa yang ditentukan dalam ketentuan
hukum.
3.
Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan
4.
Harus berlawanan dengan hukum
5.
Harus terdapat ancaman hukumannya.
Tindak pidana dapat dibeda – bedakan atas dasar – dasar tertentu, yaitu:49
1.
Menurut system KUHP, dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dimuat
dalam buku II dan Pelanggaran dimuat dalam buku III
2.
Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil
(formeel delicten) dan tindak pidana materil (materiel delicten)
3.
Berdasarkan bentuknya kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana
sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpose
delicten)
4.
Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana
aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta commissionis)
dan tindak pidana pasif/negative, disebut juga tindak pidana omisi (delicta
omissionis)
47
Ibid, hlm. 76
Teguh Prasetyo, Op.Cit, hlm. 17 - 18
49
Adami Chazawi,, Op. Cit, hlm. 117 - 119
48
Universitas Sumatera Utara
5.
Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan
antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu
lama atau berlangsung lama/berlangsung terus.
6.
Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan
tindak pidana khusus.
7.
Dilihat dari sudut subyek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak
pidana communia (delicta communia, yang dapat dilakukan oleh siapa saja),
dan tindak pidana propria (dapat dilakukan hanya oleh orang memiliki kualitas
pribadi tertentu)
8.
Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka
dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana
aduan (klacht delicten)
9.
Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat
dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten), tindak
pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak pidana yang
diperingan (gepriviligieerde delicten)
10.
Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana
tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang diindungi,
seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak
pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusialaan
dan lain sebagainya.
11.
Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan,
dibedakan antara tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) dan tindak
pidana berangkai (samengestelde delicten).
Universitas Sumatera Utara
6.
Korporasi
Dewasa ini tidak ada yang dapat menyangkal, bahwa dalam lapangan hukum
perdata sudah sangat lazim, bahwa korporasi/badan hukum diakui sebagai subyek
hukum.50 Dalam bidang hukum pidana, banyak perdebatan mengenai status
korporasi sebagai subyek hukum pidana, namun pada akhirnya sekarang korporasi
diakui sebagai subyek hukum pidana.51 Artinya, korporasi dapat melakukan
perbuatan pidana, dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, sehingga
karena juga dapat dipidana.52
Secara istilah korporasi adalah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan
hukum bertindak bersama – sama sebagai subyek hukum tersendiri, suatu
personifikasi.53 Korporasi adalah badan hukum yang beranggotakan tetapi
mempunyai hak dan kewajiban sendiri terpisah dari hak dan kewajiban anggota
masing – masing.54
Secara harfiah korporasi berasal dari kata corporatio dalam bahasa latin.55
Korporasi merupakan sebutan yang lazim digunakan di kalangan ahli hukum
pidana untuk menyebut apa yang ada dalam hukum perdata sebagai badan hukum
(recht person) dan dalam bahasa Inggris legal entities atau corporation.56
Perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan perkembangan korporasi
menyadarkan lembaga legislative untuk menentukan korporasi sebagai subyek
hukum pidana.57 Hal ini bisa dilihat dari beberapa produk perundang – undangan
50
Tongat, Op. Cit, hlm. 135
Ibid, hlm. 136
52
Ibid
53
Edi Setiadi dan Rena Yulia, Hukum Pidana Ekonomi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm.
51
58
54
Ibid
Ibid
56
Ibid
57
Ibid
55
Universitas Sumatera Utara
yang
mengakui
korporasi
sebagai
pelaku
kejahatan
sekaligus
dapat
bertanggungjawab secara hukum, diantaranya:58
1) Korporasi dapat melakukan tindak pidana, tetapi tanggungjawab pidana masih
dibebankan kepada pengurus. (Pasal 35 Undang – Undang Nomor 3 Tahun
1982)
2) Korporasi dinyatakan secara tegas sebagai pelaku kejahatan dan dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana (Pasal 15 UUTPE), (Pasal 46 Undang –
Undang Nomor 23 Tahun 1997)
Sekalipun pengaturannya hanya dapat dijumpai dalam perundang –
undangankhusus diluar KUHP, sementara dalam KUHP sendiri sebagai induk
hukum pidana yang berlaku di Indonesia masih menganut subyek hukum pidana
secara umum yaitu manusia sebagaimana terlihat dalam rumusan pasal 59 KUHP,
sebagai berikut:59
“ Dalam hal – hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap
pengurus, anggota – anggota badan pengurus atau komisaris – komisaris, maka
pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut
campur melakukan pelanggaran tindak pidana.”
Dengan demikian menurut Soedarto, Pasal 59 KUHP tidak menunjuk kearah
dapat dipidananya suatu badan hukum, suatu perkumpulan atau badan lain.60
Menurut pasal ini yang dapat dipidana adalah orang yang melakukan fungsi dalam
suatu badan hukum/korporasi.61
58
Ibid, hlm. 59
Tongat, Op. Cit, hlm. 137
60
Ibid
61
Ibid
59
Universitas Sumatera Utara
Menurut asas identifikasi (suatu asas dalam konsep hukum pidana Inggris),
perbuatan pengurus atau pegawai suatu korporasi, di – identifikasi-kan
(dipersamakan) dengan perbuatan korporasi sendiri.62 Asas ini sebenarnya
merupakan konsep dalam hukum perdata yang mendasarkan diri pada pemikiran,
bahwa apa yang dilakukan pengurus harus dapat dipertanggungjawabkan badan
hukum, karena pengurus dalam bertindak tidak melakukannya atas hak atau
kewenangan sendiri, tetapi atas hak atau kewenangan badan hukum yang
bersangkutan.63 Dengan kata lain, kesalahan pengurus harus dianggap sebagai
kesalahan korporasi.64
7.
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Dalam KUHP tidak ada rumusan yang jelas tentang kemampuan
bertanggungjawab pidana.65 Pasal 44 (1) KUHP justru merumuskan tentang
keadaan mengenai bilamana seseorang tidak mampu bertanggungjawab agar tidak
dipidana.66
Ada 3 syarat mengenai pertanggungjawaban pidana menurut J.E.Jonkers,
yaitu:67
a.
Kemungkinan untuk menentukan kehendaknya terhadap suatu perbuatan
b. Mengetahui maksud yang sesungguhnya daripada perbuatan itu
c.
Keinsyafan, bahwa hal itu dilarang dalam masyarakat
Moeljatno menarik kesimpulan tantang adanya kemampuan bertanggungjawab,
ialah:68
62
Ibid, hlm. 138
Ibid, hlm. 139
64
Ibid
65
Ibid, hlm. 142
66
Ibid
67
Ibid
63
Universitas Sumatera Utara
Harus adanya kemampuan untuk membeda – bedakan antara perbauatan
a.
yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum
b.
Harus adanya kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut
keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
Hukum menentukan, bahwa manusialah yang diakuinya sebagai
penyandang hak dan kewajiban, tetapi segala sesuatunya hanya dipertimbangkan
dari segi yang bersangkut – paut atau mempunyai arti hukum.69 Subjek tindak
pidana adalah setiap orang yang dapat dibebani tanggungjawab pidana atas
perbuatan yang dirumuskan dalam Undang – Undang Pidana.70 Pembentuk KUHP
berpandangan bahwa hanya manusia atau pribadi alamiah yang dapat dibebani
tanggungjawab pidana, karena hanya manusia yang merupakan subjek tindak
pidana dalam KUHP.71
Namun, mengingat terjadinya perubahan sosial di berbagai bidang
kehidupan manusia, maka subjek hukum pidana tidak lagi hanya dibatasi pada
manusia alamiah (natural person) tetapi mencakup pula korporasi (legal
person).72
Penolakan korporasi sebagai subjek hukum pidana didasarkan pada
doktrin universitas delinquere non potest (korporasi tidak dapat melakukan delik),
harus diakui bahwa hanya manusia yang memungkinkan terjadinya suatau delik
68
Ibid
Mohammad Ekaputra, Op. Cit, hlm. 21
70
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers,
2013), hlm. 82
71
Ibid
72
Mohammad Ekaputra, Op. Cit, hlm. 22
69
Universitas Sumatera Utara
dan hanya manusia pula yang dapat dipidana; tuntutan pertanggungjawaban yang
memunculkan rasa bersalah hanya mungkin dilakukan pada manusia.73
Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang keuangan, ekonomi, dan
perdagangan, serta berkembangnya tindak pidana terorganisasi, maka subjek
hukum pidana tidak dapat dibatasi pada manusia alamiah (natural person ) tetapi
mencakup pula korporasi, yaitu kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau
kekayaan, baik merupakan badan hukum (legal person) maupun bukan badan
hukum.74 Dengan dianutnya paham bahwa korporasi adalah subjek tindak pidana,
berarti korporasi baik sebagai badan hukum maupun non badan hukum dianggap
mampu melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum
pidana(corporate criminal responsibility).75
Badan hukum bisa bertindak, dalam artian dapat melakukan penuntutan
dan dituntut, dan memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan para pemegang
sahamnya dan kekayaan para pendirinya, sedangkan badan usaha yang bukan
badan hukum hanya merupakan suatu wadah dari usaha pendirinya atau usaha
bersamadiantara para pendirinya sehingga jika terjadi gugatan dari pihak ke tiga,
maka para pendiri/persero pemilik harus bertanggungjawab atau menanggung
sampai dengan harta pribadinya.76Korporasi dapat melakukan suatu tindak pidana
melalui pejabat seniornya yang memiliki keduduan dan kekuasaan untuk berperan
sebagai otak korporasi.77
73
Ibid
Ibid, hlm. 25
75
Ibid
76
Ibid, hlm. 26
77
Alvi Syahrin, Op. Cit, hlm. 57
74
Universitas Sumatera Utara
Tindak pidana yang dilakukan korporasi seringkali tidak tempak karena
kompleksitas
dan
dilakukan
dengan
perencanaan
yang
matang
serta
pelaksanaannya rapi dan terkoordinasi serta memiliki dimensi ekonomi.78
Korporasi sebagai subjek hukum tidak hanya menjalankan kegiatannya
sesuai prinsip ekonomi tetapi juga mempunyai kewajiban untuk mematuhi
peraturan hukum di bidang ekonomi yang digunakan pemerintah guna
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.79
Menurut Barda Nawawi Arief, untuk adanya pertanggungjawaban pidana
harus jelas lebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan.80 Setelah
pelaku ditentukan, selanjutnya bagaimana mengenai pertanggungjawaban
pidananya.81 Mengenai sifat pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum
pidana terdapat beberapa system perumusan yang ditempuh oleh pembuat Undang
– Undang, yaitu:82
a. Pengurus
korporasi
sebagai
pembuat
dan
pengurusnyalah
yang
bertanggungjawab;
b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab;
c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab;
Menurut konsep KUHP Baru, subjek hukum pidana tidak dapat lagi
dibatasi hanya pada manusia alamiah (natural person) tetapi mencakup pula
korporasi, sebagaimana diatur dalam pasal 47 yang menyebutkan: korporasi
merupakan subjek tindak pidana.83
78
Ibid
Ibid, hlm. 59
80
Ibid, hlm. 62
81
Ibid, hlm. 63
82
Ibid
83
Mohammad Ekaputra, Op. Cit, hlm. 27
79
Universitas Sumatera Utara
Dalam konsep KUHP Baru disebutkan, bahwa tindak pidana dilakukan
oleh korporasi apabila dilakukan oleh orang – orang yang mempunyai kedudukan
fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas
nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja
atau berdasar hubungan lai, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri
maupun bersama.84 Oleh karena itu jika suatu tindak pidana dilakukan oleh dan
untuk suatu korporasi, maka penuntutannya dapat dilakukan dan pidananya dapat
dijatuhkan terhadap korporasi sendiri, atau korporasi dan pengurusnya, atau
pengurusnya saja.85
8. Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup
Mengutip pengertian dari rumusan yang ditetapkan oleh Tim Pengkaji
Hukum Pidana Nasional sebagai berikut: “ Tindak Pidana ialah perbuatan
melakuakan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang –
undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana.” (BPHN, 1991: 20)86
Untuk membahas tindak pidana lingkungan perlu diperhatikan konsep
dasar tindak pidana lingkungan hidup yang ditetapkan sebagai tindak pidana
umum (delic genus) dan mendasari pengkajiannya pada tindak pidana khusu
(delic species).87 Inti dari tindak pidana lingkungan (perbuatan yang dilarang)
adalah “mencemarkan atau merusak lingkungan”.88 Rumusan ini dikatakan
sebagai rumusan umum (genus) dan selanjutnya dijadikan dasar untuk
84
Ibid, hlm. 27
Ibid, hlm. 28
86
M. Hamdan, Op. Cit, hlm. 59.
87
Alvi Syahrin, Op. Cit, hlm. 35
88
Ibid
85
Universitas Sumatera Utara
menjelaskan perbuatan pidana lainnya yang bersifat khusus (species), baik dalam
ketentuan Undang – Undang Lingkungan Hidup maupun dalam ketentuan Undang
– Undang lain yang mengatur perlindungan Hukum Pidana bagi lingkungan
hidup.89
Kata “mencemarkan” dengan “pencemaran” dan “merusak” dengan
“perusakan”, memiliki makna substansi yang sama yaitu tercemar atau rusaknya
lingkungan hidup.90 Tetapi keduanya berbeda dalam memberikan penekanan
mengenai kalimat aktif dan kalimat pasif (kata benda) dalam prroses
menimbulkan akibat.91
A. Pencemaran Lingkungan Hidup
Lingkungan mempunyai kemampuan mengabsorbsi limbah yang di buang ke
dalamnya.92 Kemampuan ini tidak terbatas, apabila jumlah dan kualitas limbah
yang dibuang ke dalam lingkungan melampaui kemampuan untuk mengabsorpsi,
maka dikatakan bahwa lingkungan itu tercemar.93
Pencemaran lingkungan sebagaimana pengertiannya dirumuskan dalam Pasal
1 angka 12 Undang – Undang No. 23 Tahun 1997 adalah “ pencemaran
lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat,
energy, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan
manusia
sehingga
kualitasnyabturun
sampai
ke
tingkat
tertentu
yang
89
Ibid
Ibid
91
Ibid, hlm. 35 - 36
92
Sodikin, Penegakan Hukum Lingkungan: Tinjauan atas Undang – Undang Nomor 23 Tahun
1997, (Jakarta: Djambatan, 2007), hlm. 7
93
Ibid
90
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan
lingkungan
hidup
tidak
dapat
berfungsi
sesuai
dengan
peruntukkannya”.94
Dari rumusan pasal tersebut dapat disimpulkan adanya unsur – unsur pencemaran
sebagai berikut:95
1. Masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energy, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan, yang mengakibatkan berubahnya tatanan
lingkungan hidup. Maksud unsur yang pertama ini berupa masuk atau
dimasukkannya zat pencemar, yang berarti baik disengaja maupun tidak
memasukkan zat pencemar atau komponen lainnya yang kira – kira sangat
berbahaya bagi lingkungan, yang mengakibatkan berubahnya tatanan
lingkungan hidup tersebut.
2.
Adanya kegiatan manusia atau adanya proses alam. Unsure kedua ini
dengan melihat factor penyebabnya, yaitu pencemaran lingkungan dapat
dibedakan antara pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan
manusia, dan pencemaran lingkungan yan disebabkan oleh proses alam.
3. Turunnya kualitas lingkungan. Dengan demikian, pencemaran lingkungan
dalam dirinya selalu mengandung pengertian terjadinya penurunan kualitas
lingkungan. Penurunan kualitas lingkungan merupakan yang esensia, sehingga
perlu ditanggulangi dan tidak berdampak pada masyarakat
4.
Mengakibatkan berkurangnya atau tidak dapatnya lingkungn berfungsi
sesuai dengan peruntukkannya. Dari pengertian ini dapat disimpulkan, bahwa
pencemaran lingkungan selalu berkaitan dengan peryntukan lingkungan (tata
guna lingkungan)
94
95
Ibid
Ibid, hlm. 7 - 8
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan, berdasarkan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup, pengertian secara
otentik pencemaran lingkungan hidup tercantum dalam Pasal 1 angka (14),
yaitu:96
“Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk
hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh
kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang
telah ditetapkan.”
Adapun unsur pengertian “pencemaran lingkungan hidup” sebagaimana diatur
dalam pasal 1 angka (14) UUPPLH, yaitu:97
1. Masuk atau dimasukkannya:
-
Makhluk hidup,
-
Zat,
-
Energy dan/atau
-
Komponen lain ke dalam lingkungan;
2. Dilakukan oleh kegiatan manusia;
3. Melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
Berdasarka Pasal 20 ayat (1) UUPPLH dinyatakan bahwa penentuan
terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan
hidup. Berdasarkan Pasal 1 angka (13) UUPPLH, yaitu:98
“Ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang
ada
atau
harus
ada
dan/atau
unsur
pencemar
yang
ditenggang
96
Alvi Syahrin, Op. Cit, hlm. 36
Ibid
98
Ibid
97
Universitas Sumatera Utara
keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan
hidup.”
Pada ayat (2) dijelaskan bahwa baku mutu lingkungan hidup meliputi:99
a.
Baku mutu air,
b.
Baku mutu air limbah,
c.
Baku mutu air laut,
d.
Baku mutu udara ambient,
e.
Baku mutu emisi,
f.
Baku mutu gangguan, dan
g. Baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Yang selanjutnya mengenai baku mutu tersebut diatur dalam peraturan menteri
Negara lingkungan hidup.100
B.
Perusakan Lingkungan Hidup
Dirumuskan pengertiannya dalam Pasal 1 angka 14 Undang – Undang No.
23 Tahun 1997, sebagai berikut:101
“Perusakan
Lingkungan
Hidup
adalah
tindakan
yang
menimbulkan
perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau
hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam
menunjang pembangunan berkelanjutan”.
99
Ibid, hlm. 37
Ibid
101
Sodikin, Op. Cit, hlm. 8
100
Universitas Sumatera Utara
Dari rumusan pasal tersebut, dapat disimpulkan adanya unsur – unsur perusakan
lingkungan yaitu:102
1.
Adanya suatu tindakan manusia. Maksudnya, karena manusia merupakan
komponen biotik (makhluk hidup) dalam lingkungan hidup yang sangat
dominan, maka segala tindakan atau perilakunya sangat mempengaruhi
perikehidupan dan kesejahteraan makhluk hidup yang lain.
2.
Terjadinya perubahan terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya. Dengan
demikian, perusakan lingkungan dalam dirinya selalu mengandung pengertian
terjadinya perubahan sifat fisik dan/atau sifat hayati lingkungan. Untuk dapat
mengetahui telah terjadinya perusakan lingkungan perlu diketahui keadaan
lingkungan sebelum terjadi kerusakan. Dengan kata lain, perlu diketahui
kondisi awal lingkungan.
3.
Mengakibatkan berkurangnya atau tidak dapatnya lingkungan berfungsi
dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Perlu adanya ketetapan
suatu tolok ukur berupa kriteria untuk menentukan bahwa lingkungan berada
dalam kondisi kurang atau tidak berfungsi lahi dalam menunjang
pembangunan yang berkesinambungan.
Pengertian istilah “perusakan lingkungan hidup” dalam Undang –
Undang No. 32 Tahun 2009 dirumuskan dalam Pasal 1 angka (16), sebagai
berikut:103
“Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan
perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau
102
103
Ibid, hlm. 8 - 9
Alvi Syahrin, Op. Cit, hlm. 38
Universitas Sumatera Utara
hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup.”
Adapun unsur perusakan lingkungan hidup sebagaimana terkandung dalam
Pasal 1 angka (16), yaitu:104
1. Adanya tindakan;
2.
Menimbulkan:
-
Perubahan langsung atau
-
Tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayati lingkungan;
3.
Melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
Berdasarkan Pasal 21 ayat (1), dinyatakan bahwa untuk menentukan
terjadinya kerusakan lingkungan, ditetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup.105 Pasal 1 angka (15) menjelasakan bahwa yang dimaksud dengan baku
kerusakan lingkungan hidup, yaitu106
“ Ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan
hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap
melestarikan fungsinya.”
Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup berdasarkan Pasal 21 ayat (2)
meliputi kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat
perubahan iklim, diatur dalam peraturan pemerintah.107
Kriteria baku kerusakan ekosistem menurut Pasal 21 ayat (3), meliputi:108
a.
kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa;
b.
kriteria baku kerusakan terumbu karang;
104
Ibid
Ibid
106
Ibid
107
Ibid, hlm. 38 – 39
108
Ibid, hlm. 39
105
Universitas Sumatera Utara
c.
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan
kebakaran hutan dan/atau lahan;
d.
kriteria baku kerusakan mangrove;
e.
kriteria baku kerusakan padang lamun;
f.
kriteria baku kerusakan gambut;
g.
kriteria baku kerusakan karst; dan/atau
h.
kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim menurut Pasal 21 ayat
(4), didasarkan pada paramater antara lain:109
a.
kenaikan temperatur;
b.
kenaikan muka air laut;
c.
badai; dan/atau
d.
kekeringan.
Ketentuan pidana dalam Undang – Undang No. 23 Tahun 1997 tercantum
dalam Pasal 41 sampai Pasal 48, dan pasal – pasal didalamnya tidak merumuskan
tindak pidan tetapi mengatur ketentuan pidana bagi barang siapa yang dengan
sengaja atau karena kealpaannya melakukan perbuatan yang menyebabkan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan.110
Sedangkan dalam Undang – Undang No. 32 tahun 2009, perumusan tindak
pidana pencemaran dan/atau perusakan lingkungan tidak lagi abstrak dan luas
sebagaimana diatur dalam Undang – Undang No. 23 Tahun 1997, karena telah
adanya kata kunci bagi tindak pidana dan/atau kerusakan lingkungan, yaitu:
109
110
Ibid
Sodikin, Op. Cit, hlm. 160
Universitas Sumatera Utara
“melampaui baku mutu lingkungan yang telah ditetapkan” atau “melampaui
kriteria baku kerusakan lingkungan”.111 Ketentuan Pidana dalam UUPPLH diatur
dalam Bab XV, yaitu dari Pasal 97 sampai Pasal 120.112
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan penulis dalam mengadakan penelitian
sehubungan dengan penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penulisan
Dalam membuat/ menulis suatu karya ilmiah, penggunaan suatu metode
mutlak diperlukan. Adapun metode yang digunakan dalam penulisan ini
adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian terhadap asas – asas
hukum.
2. Metode Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi
kepustakaan. Sumber data diperoleh dari:113
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan – bahan hukum yang mengikat, yakni:
- Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945;
- Peraturan Dasar, yakni Batang Tubuh Undang – Undang Dasar 1945 dan
Ketetapan – Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
- Peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup
111
Alvi Syahrin, Op. Cit, hlm. 40 - 41
Ibid, hlm. 41
113
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2010)
112
Universitas Sumatera Utara
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti: Rancangan Undang – Undang, Hasil penelitian,
Karya dari kalangan hukum, dan sebagainya.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab, yang masing – masing bab
terdiri dari beberapa sub bab yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya.
Uraian singkat atas bab -
bab dan sub bab tersebut akan diuraikan sebagai
berikut:
1. Bab I
: PENDAHULUAN
Dalam bab ini terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode
penulisan dan sistematika penulisan.
2. Bab II
: PENGATURAN TINDAK PIDANA KORPORASI DI
BIDANG LINGKUNGAN HIDUP
Dalam bab ini dibahas mengenai pengertian tindak pidanan di bidang
lingkungan hidup, hak dan kewajiban korporasi dalam perlindungan
lingkungan hidup, dan jenis – jenis tindak pidana korporasi di bidang
lingkungan hidup menurut UU No. 23 Tahun 1997 jo UU No. 32 Tahun
2009
3. Bab III
: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
YANG MELAKUAKAN TINDAK PIDANA PERUSAKAN DAN
PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP
Universitas Sumatera Utara
Dalam bab ini dibahas mengenai korporasi sebagai subyek hukum pidana,
jenis sanksi administrati terhadap korporasi pelaku perusakan dan
pencemaran lingkungan hidup menurut UU No. 23 Tahun 1997 jo UU No.
32 Tahun 2009, jenis sanksi pidana terhadap korporasi pelaku perusakan
dan pencemaran lingkungan hidup menurut UU No. 23 Tahun 1997 jo UU
No. 32 Tahun 2009, dan system pertanggungjawaban pidana terhadap
korporasi pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan hidup.
4. Bab IV
KORPORASI
: PENERAPAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
PELAKU
PERUSAKAN
DAN
PENCEMARAN
LINGKUNGAN DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI
NOMOR : 755 K/PID.SUS/2007
Dalam bab ini membahas mengenai penerapan sistem pertanggungjawaban
pidana korporasi pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan hidup
dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 755K/PID.SUS/2007
5. Bab V
: KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini penulis menyampaikan pendapat berupa kesimpulan dari
seluruh skripsi ini yang merupakan rangkuman dari pembahasan dan juga
penulis menyampaikan berupa saran – saran dari permasalahan skripsi ini.
Universitas Sumatera Utara