Akibat Hukum Privatisasi BUMN Terhadap Kewenangan Negara

(1)

BAB II

KEDUDUKAN BUMN DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA

A.Landasan Konstitusional BUMN di Indonesia

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan salah satu pengerak perekonomian Indonesia yang diharapkan dapat menyokong upaya peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Dalam perannya, BUMN tidak saja menjalankan fungsi-fungsi produksi akan tetapi juga ikut menjalankan fungsi-fungsi pengadaan barang dan jasa. BUMN juga memiliki peran penting karena terlibat secara langsung dalam proses alokasi sumber daya yang bersifat ekonomi bagi masyarakat.

Berdasarkan hasil studi tentang BUMN yang dilakukan oleh United Nation and Development Organization (UNI-DO) yakni organisasi dibawah naungan PBB untuk pengembangan industri bersama ICPE (International Center For Public Enterprise) yang berpusat di Ljubljana, Yugoslavia, dimana dikemukakan bahwa pada umumnya negara-negara yang mempunyai usaha negara atau BUMN mencantumkan hasrat dan latar belakang penguasaan negara pada bidang kehidupan yang vital dan strategis, oleh karena bidang itu menyangkut kepentingan umum atau masyarakat banyak.32

Kehadiran maupun pendirian usaha negara atau BUMN di setiap negara sering kali berbeda. Namun demikian, umumnya latar belakang pendirian usaha negara atau BUMN tidak hanya didasarkan pada alasan ideologis semata,

32


(2)

akantetapi sering kali pula didasari alasan ekonomis, sosial, politik, warisan sejarah, dan sebagainya. Keberadaan BUMN di Indonesia belum berapa lama dan merupakan peninggalan atau warisan sejarah pemerintah Hindia Belanda melalui program nasionalisasi, dan setelah itu baru dilekatkan pula alasan ekonomis dan

politis setelah BUMN difungsikan sebagai “agent of development.”33

Keberadaan BUMN di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari amanat Pasal 33 UUD 1945. Sebagaimana dikemukakan oleh bagian penjelasan Pasal tersebut, Dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.

Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal mengenai perekonomian yang berada di Bab XIV UUD 1945 yang berjudul “Kesejahteraan Sosial.” Kesejahteraan Sosial adalah bagian yang tak terpisahkan dari cita-cita kemerdekaan. Dengan menempatkan pasal 33 UUD 1945 dibawah judul Bab “Kesejahteraan Sosial,” itu berarti pembangunan ekonomi nasional haruslah bermuara pada peningkatan kesejahteraan sosial. Peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat dapat dilihat dari meningkatnya pendapatan perkapita, meningkatkan pendidikan masyarakat, dan meningkatkan harapan hidup masyarakat, yang merupakan salah satu parameter atau ukuran terhadap keberhasilan pembangunan suatu bangsa, bukan semata-mata pertumbuhan ekonomi mikro. Pasal 33 UUD 1945 merupakan pasal

33


(3)

yang mulia, karena pasal ini mengutamakan kepentingan bersama masyarakat, tanpa mengabaikan kepentingan individu orang-perorang.

Melihat penjelasan Pasal 33 UUD 1945 itu dapat diketahui bahwa ayat 1, 2 dan 3 Pasal 33 UUD 1945 pada dasarnya adalah dasar dari demokrasi ekonomi atau sistem ekonomi kerakyatan yang hendak diselenggarakan di Indonesia. Sebagaimana diketahui, sistem ekonomi kerakyatan adalah sebuah sistem perekonomian yang sangat menekankan pentingnya partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses penyelenggaraan perekonomian. Sehubungan dengan itu, dalam sistem ekonomi kerakyatan, setiap anggota masyarakat tidak dapat hanya diperlakukan sebagai objek perekonomian. Ia adalah subjek perekonomian, yaitu yang memiliki hak untuk berpartisipasi secara langsung dalam proses penyelenggaraan perekonomian, serta dalam mengawasi berlangsungnya proses perekonomian tersebut.34

Berdasarkan rumusan UUD 1945 terdapat secara eksplisit ataupun implisit pandangan-pandangan dan nilai-nilai fundamental, UUD 1945 disamping sebagai konstitusi politik (political constitution), juga merupakan konstitusi ekonomi (economic constitution), bahkan konstitusi sosial (social constitution). UUD 1945 sebagai sebuah konstitusi negara secara substansi, tidak hanya terkait dengan pengaturan lembaga-lembaga kenegaraan dan struktur pemerintahan semata. Namun Iebih dari itu, konstitusi juga memiliki dimensi pengaturan ekonomi dan kesejahteraan sosial yang tertuang di dalam Pasal 33 UUD 1945. Pasal 33

34


(4)

Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan bagi sistem ekonomi Pancasila, yang lebih dikenal dengan demokrasi ekonomi.35

Sewaktu menyusun UUD 1945, para perintis kemerdekaan menyadari bahwa Indonesia sebagai kolektivitas politik masih belum memiliki modal yang cukup untuk melaksanakan pembangunan ekonomi. Indonesia hanya memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia, sementara faktor produksi yang lain, seperti modal dan teknologi, belum tersedia. Atas dasar kenyataan inilah kemudian dirumuskan landasan hukum tentang asas keadilan di bidang ekonomi dan kesejahteraan sebagaimana tertera dalam Pasal 33 UUD 1945.36

Pasal 33 UUD 1945 merupakan landasan konstitusional bagi keberadaan BUMN di Indonesia. Memang tidak secara langsung dituliskan atau tercatat didalam UUD 1945, namum Pasal 33 ayat UUD 1945 menyatakan bahwa perekonomian disusun berdasarkan asas kekeluargaan, kemudian cabang-cabang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara serta bumi dan air serta seluruh kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat.

Secara eksplisit, Pasal 33 UUD ini menyatakan bahwa negara akan mengambil peran dalam kegiatan ekonomi. Oleh karena itu, selama Pasal 33 UUD 1945 masih tercantum dalam konstitusi, selama itu pula keterlibatan pemerintah (termasuk BUMN) dalam perekonomian Indonesia masih tetap diperlukan. Khusus untuk BUMN, pembinaan usaha diarahkan guna mewujudkan visi yang telah dirumuskan.Paling tidak ada 3 visi yang saling terkait, yakni visi founding

35

http://www.lutfichakim.com/2011/12/analisis-penafsiran-pasal-33-uud-1945.html (diakses pada tanggal 08 Juli 2015)

36


(5)

father yang ada dalam UUD 1945, visi dari lembaga/badan pengelolaan BUMN, dan visi masing-masing perusahaan BUMN. Kesemuanya ini harus dapat diterjemahkan dalam ukuran yang jelas untuk dijadikan pedoman dalam pembinaan.37

Terkait dengan kedudukan seperti itu, maka peran BUMN dalam sistem ekonomi kerakyatan dapat dikategorikan sebagai salah satu instrumen bagi negara dalam mewujudkan demokrasi ekonomi, yaitu untuk menjamin pengutamaan kemakmuran masyarakat di atas kemakmuran orang seorang. Jika koperasi adalah instrumen demokrasi ekonomi yang dimiliki oleh para anggotanya, maka BUMN adalah instrumen demokrasi ekonomi yang dimiliki seluruh rakyat Indonesia.

Selanjutnya, Badan Usaha Milik Negara diatur dalam UU BUMN (Lembaran Negara Nomor 70 Tahun 2003). Undang-undang ini mengganti tiga undang-undang sebelumnya, yaitu Indonesische Berdrijvenwet (Stb. No. 149 Tahun 1927) sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1955; Undang-Undang Nomor 19 Prp Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara; dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi Undang-Undang. Sejak diundangkannya UU BUMN, ketiga undang-undang itu dinyatakan dicabut

37


(6)

dan tidak berlaku lagi. UU BUMN mulai berlaku sejak tanggal diundangkannya, yaitu tanggal 19 Juni 2003.38

Hal-hal diataslah yang mendasari negara dalam mendirikan BUMN sebagai suatu badan usaha yang mengurus dan mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, kemudian bumi dan air dan kekayaan alam untuk memakmurkan kehidupan rakyat. Tidak ada satu pasal pun didalam UUD 1945 yang menjelaskan secara rinci mengenai BUMN. Pendirian BUMN merupakan suatu penafsiran atas Pasal 33 UUD 1945.

B. Maksud dan Tujuan Didirikannya BUMN

Pemerintah Indonesia mendirikan Badan Usaha Milik Negara dengan dua tujuan utama, yaitu tujuan yang bersifat ekonomi dan tujuan yang bersifat sosial. Dalam tujuan yang bersifat ekonomi, BUMN dimaksudkan untuk mengelola sektor-sektor bisnis strategis agar tidak dikuasai pihak-pihak tertentu. Bidang-bidang usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti perusahaan listrik, minyak dan gas bumi, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945, seyogyanya dikuasai oleh BUMN. Dengan adanya BUMN diharapkan dapat terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat yang berada di sekitar lokasi BUMN. Tujuan BUMN yang bersifat sosial antara lain dapat dicapai melalui penciptaan lapangan kerja serta upaya untuk membangkitkan perekonomian lokal. Penciptaan lapangan kerja dicapai melalui perekrutan tenaga kerja oleh BUMN. Upaya untuk membangkitkan perekonomian

38

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 169.


(7)

lokal dapat dicapai dengan jalan mengikut-sertakan masyarakat sebagai mitra kerja dalam mendukung kelancaran proses kegiatan usaha. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk memberdayakan usaha kecil, menengah dan koperasi yang berada di sekitar lokasi BUMN.39

Tujuan dari pendirian BUMN menurut Rees dalam Sri Maemunah, antara lain:40

1) Guna efisiensi ekonomi yang meliputi alokasi teknologi dan manajerial. 2) Kemampuan memperoleh laba, yang merupakan sumber pendapatan negara

berupa pajak penghasilan atas laba yang diperoleh BUMN dan bagian laba yang diterima pemerintah sebagai pemilik. Meningkatkan kemampuan laba adalah penting bagi BUMN karena menjadi sumber dana intern juga merupakan sumber pendapatan pemerintah.

3) Distribusi pendapatan, merupakan alat pemerintah untuk mengadakan distribusi pendapatan melalui kebijksanaan harga di bawah rata-rata atau dengan keputusan investasi yang mengabaikan economies of scale untuk meningkatkan pendapatan riil golongan tertentu.

4) Tujuan bersifat makro, sebagai alat kebijaksanaan pemerintah mempunyai tujuan yang bersifat aggregate, antara lain untuk memperluas kesempatan kerja, memperbaiki neraca pembayaran, menekan inflasi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Sedangkan menurut Sri Maemunah sendiri, maksud dan tujuan dilakukannya pendiran BUMN, antara lain:41

1. Menunjang perkembangan ekonomi.

2. Mencapai pemerataan secara horizontal dan vertikal melalui perintisan usaha dan pembinaan pengusaha golongan ekonomi lemah dan koperasi.

3. Menjaga stabilitas dengan menyediakan persediaan barang yang cukup terutama menyangkut hajat hidup orang banyak.

4. Mencapai efisiensi teknik agar dapat menjual dengan harga yang terjangkau tanpa mengurangi mutu dan kemampuan memupuk dana dari keuntungan. 5. Menunjang terselenggaranya rencana pembangunan.

39

Nanang Yusroni dan Dumadi Tri Restiysnto, “Privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Eksistensi, Dan Kinerja Ekonomi Nasional Dalam Sistem Ekonomi Pasar,” Jurnal Ekonomi dan Bisinis, No. 3 (April, 2007), hlm. 73.

40

http://tutorialkuliah.blogspot.com/2009/09/tujuan-didirikannya-bumnbumd.html (diakses pada tanggal 11 Juli 2015)

41 Ibid.


(8)

Menurut pasal 2 ayat (1) UU BUMN berserta penjelasannya menyatakan bahwa maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah:

1. Memberikan sumbangan bagi perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya. Dengan penjelasan bahwa BUMN diharapkan dapat menigkatkan mutu pelayanaan pada masyarakat sekaligus memberikan kontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan membantu penerimaan keuangan negara.

2. Mengejar keuntungan, dengan penjelasan bahwa meskipun maksud dan tujuan persero adalah untuk mengejar keuntungan, dalam hal-hal tertentu adalah untuk melakukan pelayanan umum. Persero dapat diberikan tugas khusus dengan memerhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Dengan demikian, penugasan pemerintah harus disertai dengan pembiayaannya (kompensasi) berdasarkan perhitungan bisnis atau komersial. Sedangkan untuk perum yang tujuannya menyediakan barang dan jasa untuk kepentingan umum, dalam pelaksanaannya harus memerhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.

3. Menyelanggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. Dengan pejelasan bahwa maksud dan tujuan seperti ini, setiap hasil usaha dari BUMN, baik barang maupun jasa, dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.

4. Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi. Dengan penjelasan bahwa kegiatan perintisan merupakan suatu kegiatan usaha untuk menyediakan barang dan/atau jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Namun, kegiatan tersebut belum dapat dilakukan oleh swasta dan koperasi karena secara komersial tidak menguntungkan. Oleh karena itu, tugas tesebut dapat dilakukan melalui penugasan kepada BUMN. Dalam hal adanya kebutuhan masyarakat luas yang medesak, pemerintah dapat pula menugasi suatu BUMN yang mempunyai fungsi pelayanan kemanfaatan umum untuk melaksanakan program kemitraan dengan pengusaha golongan ekonomi lemah.

BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN.Penyisihan dan pengguna laba untuk keperluan pembinaan yang dimaksud, diatur dengan keputusan menteri.Sedangkan untuk usaha kecil/kopersi dimaksud dalam pasal ini adalah usaha kecil/koperasi yang menerima kriteria sebagai usaha kecil sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 88 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003).BUMN dalam batas kepatutan hanya dapat memberikan donasi untuk amal dan tujuan sosial sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 90 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003).42

42


(9)

5. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. Dengan penjelasan bahwa kegiatan BUMN harus sesuai dengan maksud dan tujuannya serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan.43

Undang-Undang Nomor 19 Prp Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara sebagai undang-undang yang pernah berlaku juga menyebutkan secara jelas menegenai sifat pendirian BUMN, dimana BUMN merupakan suatu kesatuan produksi yang bersifat:44

1. memberi jasa;

2. menyelenggarakan kemanfaatan umum; dan 3. memupuk pendapatan.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diketahui bahwa dengan sifat BUMN yang memberi jasa dan menyelenggarakan kemanfaatan umum serta memupuk pendapatan, maka disini terlihat perbedaannya secara mendasar dengan usaha swasta dan koperasi yang mendasarkan pemupukan keuntungan sebagai hal yang utama. Selain itu, perumusan dalam ketentuan tersebut diatas jelas pula dimaksudkan untuk membangun suatu tatanan ekonomi nasional dengan mengutamakan kebutuhan rakyat dan ketentraman serta kesenangan kerja dalam perusahaan demi terwujudnya suatu masyarakat yang adil dan sejahtera.45

Berdasarkan sifat, maksud dan tujuan pendirian BUMN seperti tersebut diatas, maka merupakan konsekuensi logis dari perwujudan tujuan bernegara, yakni untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat berdasarkan Pancasila dan

43 Ibid. 44

Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 19 Prp Tahun 1960 Tentang Perusahaan Negara.

45


(10)

UUD 1945, khususnya yang berkenaan dengan penguasaan negara dalam cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu, perumusan mengenai sifat, maksud dan tujuan pendirian BUMN itu harus pula sejalan dengan tujuan umum dari negara, yakni meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga sudah selayaknya jika BUMN tidak hanya difungsikan sebagai unit ekonomi yang melaksanakan fungsi profitisasi semata, akan tetapi diharuskan pula melaksanakan fungsi sosial.46

Masalah yang terjadi sekarang terkait maksud dan tujuan didirikannya BUMN adalah bahwa terjadi tabrakan antara profitisasi dari BUMN dan juga fungsi sosial yang tetap harus diemban oleh BUMN. Hal inilah yang memicu terjadinya perdebatan diantara para kalangan yang menyatakan bahwa tujuan serta peranan BUMN haruslah dipertegas. Namun disatu sisi, kedua hal inilah yang menjadi ciri khas dari BUMN itu sendiri. Fungsi profitisasi dan fungsi sosial itulah yang membedakan antara BUMN dengan koperasi ataupun dengan usaha swasta.

Keinginan pemerintah untuk semua BUMN ke dalam bentuk BUMN Persero dengan mengukur tingkat keberhasilan BUMN melalui pengukuran secara kuantitatif dengan dasar return on investment (ROI), keseimbangan modal dan aset serta keuntungan, tanpa memperhatikan maksud dan tujuan pendirian BUMN pada awal mulanya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara merupakan suatu kesalahan yang

46


(11)

sangat mendasar. Seperti dikemukakan oleh Mar’ie Muhammad dan Astar Siregar

(1985), bahwa peran penting dari BUMN sangat ditentukan oleh sifat, maksud, dan tujuan pendirian BUMN tersebut.47

C. Bentuk-Bentuk BUMN

Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.48 Bentuk-bentuk BUMN mengalami beberapa perubahan dan perkembangan. Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1960; Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983; dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2000, ada 3 jenis bentuk BUMN, yaitu:49

1. Perusahaan Jawatan (Perjan). Perjan sebetulnya merupakan kepanjangan dari suatu departemen pemerintah, dan merupakan organ dari departemen yang bersangkutan. BUMN jenis ini seluruh modalnya terdiri dari kekayaan negara yang tidak dipisahkan. Karena merupakan suatu bagian dari departemen, maka pada praktiknya memperoleh pula fasilitas-fasilitas departemen. Perjan berusaha di bidang penyediaan jasa-jasa masyarakat termasuk pelayanan kepada masyarakat (public service) yang sifatnya tidak mencari laba (non-commercial corporation), bahkan ada penyediaan subsidi-subsidi bila diperlukan.

47

Ibid., hlm. 78. 48

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

49


(12)

2. Perusahaan Umum (Perum). Perum adalah BUMN yang seluruh modalnya terdiri dari kekayaan negara yang dipisahkan. Oleh karena itu, Perum merupakan badan hukum publik. Perum ini bergerak dalam bidang-bidang usaha tertentu yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 ditegaskan bahwa tugas dan tujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang yang bermutu tinggi dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Disini terlihat suatu pola hubungan yang meskipun cukup bersifat pelayanan sosial tetapi bersifat business like bisa pula profit making.

3. Perusahaan Perseroan (Persero). Persero adalah BUMN yang seluruh atau sebagian besar modalnya terdiri dari kekayaan negara yang dipisahkan. Perseroan ini berbentuk Perseroan Terbatas yang seluruh atau paling sedikit 51% saham yang dikeluarkannya dimiliki oleh negara melalui penyertaan modal secara langsung.

Aminuddin Ilmar membagi usaha BUMN menjadi tiga bentuk usaha negara, sebagai berikut:50

1. Semua perusahaan yang didirikan dan diatur menurut ketentuan IBW dengan

stbl. 1972 Nomor 419 dinamakan Perusahaan Jawatan disingkat “Perjan.”

2. Semua perusahaan yang modal seluruhnya dimiliki oleh negara dari kekayaan negara yang dipisahkan dan yang tidak dibagi atas saham-saham yang didirikan dan diatur berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Prp Tahun 1960 dan telah diganti dengan PP Nomor 13 Tahun 1998, perusahaan ini dinamakan Perusahaan Umum disingkat “Perum.”

3. Semua Perusahaan yang berbetuk perseroan terbatas yang diatur menurut kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dengan stbl. 1847 Nomor 23 telah diganti melalui UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas

50


(13)

(PT), baik yang sahamnya untuk seluruhnya maupun untuk sebagiannya dimiliki oleh negara yang dipisahkan, perusahaan ini dinamakan Perusahaan

Persero atau disingkat dengan nama “Persero.”

Akan tetapi sejak keluarnya UU BUMN, maka semua peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi. UU BUMN telah mengatur segala hal yang berkaitan dengan Perusahaan negara/BUMN. Jenis perusahaan yang terdapat didalam Undang-undang BUMN hanya tinggal dua bentuk yakni Perum dan Persero.

Lahirnya UU BUMN menyebabkan keberadaan Perjan dihapuskan. Undang-undang tersebut memberikan waktu selama dua tahun sejak diberlakukan kepada semua BUMN yang berbentuk Perjan harus diubah menjadi Perum atau Persero. Dalam praktiknya, sebelum keluarnya UU BUMN sudah banyak BUMN yang mengalami perubahan status dari Perjan menjadi Perum atau Persero. Pada tahun 1989 saja, BUMN berstatus Perjan tinggal berjumlah dua buah.Pada tahun berikutnya, yakni 1990 Perjan sudah tidak ada.51 Didalam UU BUMN dikatakan bahwa, BUMN terdiri dari Persero dan Perum.52

Persero, pendiriannya diusulkan oleh menteri kepada presiden disertai dengan dasar pertimbangan setelah dikaji bersama dengan menteri teknis dan menteri keuangan. Pelaksanaan pendirian persero dilakukan oleh menteri dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan. Terhadap persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana

51

A. Habibullah, Op.Cit., hlm. 76. 52


(14)

diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (sekarang Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas).53

Pengkajian yang dimaksudkan dalam pasal diatas untuk menetukan layak tidaknya perseroan tersebut didirikan, melalui kajian atas perencanaan bisnis dan kemampuan untuk mandiri serta mengembangkan usaha di masa mendatang. Pengkajian dalam hal ini melibatkan menteri teknis sepanjang yang menyangkut kebijakan sektoral. Pelaksanaan pendirian persero dilakukan oleh menteri mengingat menteri merupakan wakil negara selaku pemegang saham pada persero dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Mengingat persero pada dasarnya merupakan perseroan terbatas, semua ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (sekarang Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas), termasuk pula segala peraturan pelaksananya, berlaku juga bagi persero.54

Tujuan pendirian persero adalah menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat, serta mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan.55 Persero sebagai salah satu pelaku ekonomi nasional dituntut untuk dapat memenuhi permintaan pasar melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat, baik di pasar dalam negeri maupun internasional. Hal tersebut dapat meningkatkan keuntungan dan nilai persero yang bersangkutan sehingga akan memberikan manfaat yang

53

Pasal 10 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik negara.

54

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm. 178-179. 55


(15)

optimal bagi pihak-pihak yang terkait. Organ-organ persero terdiri atas Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Komisaris Persero dan Direksi Persero.

Ciri-ciri Badan Usaha Perseroan (Persero):56

1. Dalam pendirian persero diusulkan oleh menteri kepada presiden.

2. Pelaksanaan pendirian yang dilakukan oleh menteri berdasarkan Perundang-undangan.

3. Modal berbentuk saham.

4. Status perseroan terbatas diatur berdasarkan perundang-undangan.

5. Sebagian atau keseluruhan modal merupakan milik negara dari kekayaan negara yang dipisahkan.

6. Tidak mendapatkan fasilitas dari negara. 7. Pegawai persero berstatus pegawai perusahaan. 8. Pemimpin berupa direksi.

9. Organ persero yaitu RUPS, direksi dan komisaris. 10. Hubungan-hubungan usaha diatur dalam hukum perdata. 11. Tujuan utamanya adalah mendapatkan keuntungan.

Perum, pendirian perum diusulkan oleh menteri kepada presiden disertai dasar pertimbangan setelah dikaji bersama dengan menteri teknis dan menteri keuangan. Perum yang didirikan tersebut memperoleh status badan hukum sejak diundangkannya peraturan pemerintah tentang pendiriannya.Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian, pembinaan, pengurusan dan pengawasan perum diatur dengan pearaturan pemerintah.57

Pendirian perum, antara lain harus memenuhi kriteria berikut:58

1. Bidang usaha atau kegiatannya berkaitan dengan kepentingan orang banyak. 2. Didirikan tidak semata-mata untuk mengejar keuntungan (cost

effectiveness/cost recovery).

56

http://www.artikelsiana.com/2015/02/pengertian-bumn-fungsi-bentuk-bentuk-bumn.html# (diakses pada tanggal 15 Juli 2015).

57

Pasal 35 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. 58


(16)

3. Berdasarkan pengkajian memenuhi persyaratan ekonomis yang diperlukan bagi berdirinya suatu badan usaha (mandiri).

Perusahaan umum atau disingkat perum adalah perusahaan unit bisnis negara yang seluruh modal dan kepemilikan dikuasai oleh pemerintah dengan tujuan untuk memberikan penyediaan barang dan jasa publik yang baik demi melayani masyarakat umum serta mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengolahan perusahaan.59 Pendirian perum harus dilakukan dengan peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah tersebut memuat, antara lain:60

1. penetapan pendirian perum;

2. penetapan besarnya kekayaan negara yang dipisahkan; 3. anggaran dasar;

4. penunjukan menteri selaku wakil pemerintah sebagai pemilik modal.

Tujuan perum adalah menyelengarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Untuk mendukung kegiatan dalam rangka pencapaian tujuan perum, dengan persetujuan menteri, perum dapat melakukan penyertaan modal dalam badan usaha lain.61 Organ-organ perum terdiri atas menteri, direksi perum dan dewan pengawas perum.

59

http://www.organisasi.org/1970/01/macam-jenis-bumn-badan-usaha-milik-negara-persero-dan-perum-perusahaan-umum.html (diakses pada tanggal 15 Juli 2015).

60

Abdulkadir Muhammad, Loc.Cit., hlm. 189-190. 61


(17)

D. Kedudukan BUMN sebagai Badan Hukum

Subjek hukum adalah sesuatu yang menurut hukum dapat memiliki hak dan kewajiban yang memiliki kewenangan untuk bertindak. Adapun yang menjadi subjek hukum adalah:62

1. Manusia/orang pribadi (natuurlijke persoon) yang sehat rohani/jiwanya, tidak di bawah pengampuan.

2. Badan hukum (rechts persoon).

Adapun badan hukum sebagai subjek hukum yang berwenang melakukan tindakan hukum, misalnya mengadakan perjanjian dengan pihak lain, mengadakan jual beli, yang dilakukan oleh pengurusnya atau nama suatu badan hukum. Menurut hukum yang dapat disebut badan hukum harus memenuhi syarat tertentu, misalnya PT dimana akta pendirian perusahaannya harus disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM serta diumumkan melalui Lembaran Berita Negara, sedangkan badan hukum lain disahkan menurut ketentuan badan itu sendiri, misalnya yayasan, menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan jo. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayaysan. Bentuk-bentuk badan hukum lain, misalnya koperasi, masjid dan gereja.63

Secara umum badan hukum dapat dibedakan dalam dua jenis lagi, yaitu badan hukum publik dan badan privat/perdata. Badan hukum publik adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum publik atau orang banyak atau menyangkut kepentingan negara. Badan hukum ini mengatur hubungan antara negara dan atau aparatnya dengan warga negara yangmenyangkut kepentingan

62

Abdul Rasyid Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus (jakarta: Kencana, 2005), hlm. 9.

63


(18)

umum/publik, seperti hukum pidana, hukum tatanegara, hukum tata usaha negara, hukum international dan lain sebagainya. Sedangkan badan hukum privat adalah badan hukum yang didirikan atas dasar hukum perdata atau hukum sipil yang menyangkut kepentingan orang atau individu-individu yang termasuk dalam badan hukum tersebut. Perbedaan antara kedua badan hukum tersebut diatas dapat dilihat dari cara didirikannya. Badan hukum perdata didirikan oleh individu -individu atau sekelompok masyarakat sedangkan publik didirikan oleh kekuasaan atau negara. Meskipun demikian, ada juga yang menyatakan bahwa perbedaan antara badan hukum perdata dan publik dapat dilihat dari kekuasaan yang dimilikinya. Dengan kata lain, badan hukum publik memiliki kewenangan yang lebih luas daripada perdata oleh karena dapat membuat keputusan atau peraturan yang mengikat orang lain yang tidak tergabung dalam badan hukum tersebut.64 1. BUMN Persero

Pasal 1 angka 1 UU BUMN menyatakan bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Dalam pengertian inipun masih terdapat ranah hukum publik dalam BUMN, dimana dalam kalimat “seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh negara” jika modal keseluruhan dimiliki oleh negara, maka dapat dilihat bahwa BUMN berada dalam ranah hukum publik, karena sesuai dengan pengertian hukum publik di atas negaralah yang menjadi objek. Namun jika hanya sebagian dimiliki negara maka jelas bagian hukum privat karena dengan sendirinya ada penggabungan modal

64


(19)

yang berdasarkan perjanjian. Ketentuan lain yang menerangkan kedudukan BUMN sebagai badan hukum privat adalah ketentuan pasal 24 ayat 1 Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan bahwa

“pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah penyertaan modal kepada dan menerima pinjaman/hibah dari perusahan negara atau daerah. Dan ayat (7) “dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional, pemerintah pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan penyertaan modal kepada perusahaan swasta atas persetujuan DPR. Pasal ini ini merupakan sau dari sekian pasal yang menerangkan kedudukan BUMN dalam hukum privat. Pasal ini menempatkan BUMN dalam hukum privat karena memberikan kewenangan kepada BUMN untuk melakukan pinjam meminjam, hibah atau penyertaan modal yang merupakan ruang lingkup hukum perdata. Tentunya hal ini berlaku hanya untuk BUMN persero saja.

BUMN persero adalah BUMN yang memang diarahkan untuk memperoleh keuntungan dalam arti, karena baiknya pelayanan yang diberikan dan pembinaan organisasi yang baik, efektif, efisien, dan ekonomi secara business zakelijik, cost accounting principles, mangement effectiveness, dan pelayanan umum yang baik dan memuaskan dengan memperoleh surplus atau laba. Status hukumnya sebagai badan hukum perdata, yang berbentuk perseroan terbatas. Hubungan-hubungan usahanya diatur menurut ketentuan hukum perdata. Modal pendirian BUMN persero baik seluruhnya atau sebagian merupakan milik negara dari kekayaan negara yang dipisahkan, sehingga dengan demikian dimungkinkan adanya joint dan mixed enterprise dengan swasta (nasional dan/atau asing) dan


(20)

adanya penjualan saham-saham perusahaan milik negara.65 Karakteristik suatu badan hukum adalah pemisahan harta kekayaan badan hukum dari harta kekayaan pemilik dan pengurusnya. Dengan demikian kekayaan BUMN Persero adalah sebagai badan hukum bukanlah kekayaan negara.

2. BUMN Perum

Perum atau perusahaan umum adalah perusahaan yang didirikan oleh negara dengan seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi-bagi atas saham. Perum memperoleh status badan hukum sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah tentang pendiriannya. Berbeda dengan pendirian Persero, dalam Peraturan Pemerintah tentang pendirian suatu Perum diharuskan memuat anggaran dasar perum dan penunjukan menteri selaku wakil pemerintah sebagai pemilik modal.

BUMN Perum adalah BUMN yang tujuan pendiriannya bukan semata-mata untuk mencari keuntungan. Tujuan utama dari pendirian BUMN Perum adalah untuk melaksanakan pelayanan terhadap masyarakat. Profitisasi bukanlah tujuan yang utama melainkan yang terpenting adalah bagaimana jasa pelayanan kepada publik diberikan secara optimal dengan memperhatikan harga yang terjangkau, dimana segala faktor harus diperhitungkan seperti biaya produksi, depresiasi maupun reinvestasi secara wajar. Namun, dalam rangka mencapai maksud dan tujuannya, perum dapat melakukan penyertaan modal dalam usaha lain. Penyertaan modal yang dimaksud adalah penyertaan langsung perum dalam

65


(21)

kepemilikan saham pada badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas, baik yang sudah berdiri maupun yang akan berdiri.66

Pengertian diatas menjadi pegangan untuk menyatakan bahwa BUMN Perum berbentuk badan hukum publik. Dikatakan sebagai badan hukum publik karena BUMN Perum didirikan berdasarkan kepentingan negara dan untuk kepentingan masyarakat luas. Tujuannya sekali lagi adalah untuk membantu pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejateraan masarakat. Berbeda dengan BUMN Persero yang tujuan pendiriannya sebagai fungsi profitisasi, BUMN Perum berdiri guna melakukan pelayanan publik tanpa mengutamakan keuntungan didalam pelaksanaan kegiatann usahnya.

E. Kedudukan BUMN sebagai Bagian Dari Keuangan Negara

Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.67 Dan selanjutnya dijelaskan juga mengenai perusahaan negara yakni, perusahaan negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh pemerintah pusat.68

Penelusuran tentang pengertian keuangan negara tidak ditemukan satu pengertian yang dapat diterima bagi semua kalangan. Sebagai pedoman ada beberapa definisi tentang keuangan negara:69

66

Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. 67

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. 68

Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. 69


(22)

1. Menurut M. Ichwan

Keuangan negara adalah rencana kegiatan secara kuantitatif (dengan angka-angka diantaranya diwujudkan dalam jumlah mata uang), yang akan dijalankan untuk masa mendatang, lazimnya satu tahun mendatang.

2. Menurut Geodhart

Keuangan negara merupakan keseluruhan undang-undang yang ditetapkan secara periodik yang memberikan kekuasaan pemerintah untuk melaksanakan pengeluaran mengenai periode tertentu dan menunjukan alat pembiayaan yang diperlukan untuk menutup pengeluaran tersebut.

3. Menurut Van der Kemp

Keuangan negara adalah semua hak yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu (baik berupa uang ataupun barang) yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan hak-hak tersebut.

Ruang lingkup keuangan negara yang pada prinsipnya adalah meliputi penerimaan dan pengeluaran negara maupun daerah. Dengan prinsip tersebut ruang lingkup keuangan negara diperluas terutama yang menyangkut kekayaan negara yang dikelola pihak lain termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara sebagaimana terdapat di Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Selanjutnya disebut UU Keuangan Negara).70

Pasal 1 angka 2 UU BUMN menyatakan bahwa perusahaan persero (Persero) adalah BUMN yang berbentuk perseroan terabatas yang modalnya

70

Gatot Supramono, Hukum Uang Di Indonesia (Bekasi: Gramata Publishing, 2014), hlm. 172-173.


(23)

terbagi atas saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mencari keuntungan. Selanjutnya menurut Pasal 11 UU BUMN, terhadap persero berlaku ketentuan Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (sekarang Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas). Berdasarkan Pasal 7 ayat (6) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, BUMN persero memperoleh status badan hukum setelah akte pendiriannya disahkan oleh menteri kehakiman. Karakteristik suatu badan hukum adalah pemisahan harta kekayaan badan hukum dari harta kekayaan pemilik dan pengurusnya. Dengan demikian kekayaan BUMN Persero adalah sebagai badan hukum bukanlah kekayaan negara.71

Pemisahaan kekayaan negara untuk dijadikan penyertaan modal negara ke dalam modal BUMN hanya dapat dilakukan dengan cara penyertaan langsung negara ke dalam BUMN. Untuk memonitor dan penatausahaan kekayaan negara yang tertanam pada BUMN dan perseroan terbatas, termasuk penambahan dan pengurangan dari kekayaan negara tersebut serta perubahan struktur kepemilikan negara sebagai akibat adanya pengalihan saham milik negara atau penerbitan saham baru yang tidak diambil bagian oleh negara, perlu ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

Maksud dari dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (selanjutnya disebut APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan

71


(24)

pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun pembinaan dan pengelolaannya berdasarkan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Termasuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yaitu meliputi pula proyek-proyek Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dikelola oleh BUMN dan/atau piutang negara pada BUMN yang dijadikan sebagai penyertaan modal negara.

Sehubungan dengan itu, pada tahun 2006 Mahkamah Agung pernah mengeluarkan fatwa atas permintaan Menteri Keuangan RI. Fatwa dituangkan dalam Surat Mahkamah Agung Nomor WKMA/Yud/20/VIII/2006 tanggal 16 Agustus 2006 perihal permohonan fatwa hukum, berbunyi sebagai berikut:72

Menunjuk surat Menteri Keuangan RI Nomor S-324/MK.01/2006 tanggal 26 Juli 2006 perihal tersebut diatas, dan setelah Mahkamah Agung memperlajari dengan ini dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut:

1. Bahwa Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang

Badan Usaha Milik Negara berbunyi: “Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”. Pasal 4 ayat (1) Undang-undang yang sama menyatakan bahwa ”Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”. Dalam penjelasan Pasal 4

ayat (1) tersebut dikatakan bahwa “yang dimaksud dengan dipisahkan adalah

pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaanya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan Belanja Negara, namun pembinaan dan pengelolaanya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.”

2. Bahwa dalam pasal-pasal tersebut di atas, yang merupakan undang-undang khusus tentang BUMN, jelas dikatakan bahwa modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang telah dipisahkan dari APBN dan selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak didasarkan pada sistem APBN melainkan didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.

72


(25)

3. Bahwa pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyebutkan : “Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.”

4. Bahwa meskipun Pasal 8 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara menyatakan bahwa “piutang Negara atau hutang kepada Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Negara atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh Negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun” dan dalam penjelasannya dikatakan bahwa piutang Negara meliputi pula piutang

“badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian atau

seluruhnya milik Negara, misalnya Bank-bank Negara, PT-PT Negara, Perusahaan-perusahaan Negara, Yayasan perbekalan dan persediaan, Yayasan

Urusan Bahan Makanan dan sebagainya”, serta Pasal 12 ayat (1) Undang -undang yang sama mewajibkan Instansi-instansi Pemerintah dan Badan-badan Negara seabagaimana dimaksud dalam Pasal 8 untuk menyerahkan piutang-piutang yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum akan tetapi penanggung hutangnya tidak mau melunasi sebagaimana mestinya kepada Panitia Urusan Piutang Negara, namun ketentuantentang piutang BUMN dalam Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tersebut tidak lagi mengikat secara hukum dengan adanya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang merupakan undang-undang khusus (lex specialis) dan lebih baru dari Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960.

5. Bahwa begitu pula halnya dengan Pasal 2 huruf g Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 yang berbunyi: Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 1 angka 1 meliputi : “g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang

dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan

yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah”, yang dengan

adanya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN maka

ketentuan dalam Pasal 2 huruf g khusus mengenai ”kekayaan negara yang

dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah” juga tidak

mempunyai kekuatan mengikat secara hukum.

6. Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, dapat dilakukan perubahan seperlunya atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.

Melihat fatwa Mahkamah Agung diatas dapat diketahui bahwa ketentuan Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara tidak mengikat secara hukum kepada BUMN,


(26)

dengan demikian harta kekayaan BUMN yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan bukan merupakan kekayaan negara.

Sehubungan dengan teori tersebut, BUMN sebagaimana diatas adalah badan hukum. BUMN mempunyai kekayaan sendiri yang terpisah dari pendiri maupun pengurusnya. Kekayaan BUMN pada awalnya berasal dari modal pendirinya yaitu negara. Modal tersebut dari kekayaan negara yang dipisahkan, sehingga tidak berlaku sistem APBN melainkan memberlakukan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Modal yang dimasukkan kedalam BUMN menjadi milik BUMN untuk kepentingan usaha dalam mencari keuntungan.73

Kedudukan negara terhadap BUMN adalah sebagai pendiri BUMN. Disamping itu, negara juga sebagai penyerta modal (pemegang saham). Selaku penyerta modal, negara memiliki hak untuk mengendalikan BUMN melalui keputusan-keputusannya (keputusan RUPS). Tanggung jawab negara terbatas kepada besarnya modal yang dimasukkan. Apabila BUMN mengalami suatu hal yang melebihi modalnya maka negara tidak ikut bertanggungjawab untuk menanggung kerugian tersebut.74

Melihat pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PPU-IX/2011 yang menyatakan bahwa piutang BUMN bukanlah termasuk piutang negara. Oleh karena itu, piutang negara hanyalah piutang pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah, dan tidak termasuk piutang badan-badan usaha yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara, termasuk piutang bank-bank BUMN. Hal ini disebabkan, Pasal 1 angka 1 dan angka 10 UU BUMN mengatur bahwa BUMN

73

Gatot Supramono, Op.Cit., hlm. 174. 74


(27)

adalah badan usaha yang memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan negara, sehingga kewenangan pengurusan kekayaan, usaha, termasuk penyelesaian utang-utang BUMN tunduk pada hukum Perseroan Terbatas berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK Nomor 48 dan 62/PUU-XI/2013 yang dibacakan tanggal 18 September 2014 terkait uji materi Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara, telah mengukuhkan status kekayaan negara yang bersumber dari keuangan negara dan dipisahkan dari APBN untuk disertakan menjadi penyertaan modal di BUMN tetap menjadi bagian dari rezim keuangan negara. Mahkamah Konstitusi menyatakan pengujian Pasal 2 huruf g dan i UU Keuangan Negara telah dipertimbangkan sebelumnya dalam putusan bernomor 48/PUU-XI/2013 yang putusannya menolak untuk seluruhnya hal-hal yang diuji. Menurut Mahkamah Konstitusi, justru timbul ketidakpastian hukum apabila Pasal 2 huruf g dan huruf i dihapus karena ada ketidakjelasan status keuangan negara yang digunakan oleh BHMN (Badan Hukum Milik Negara) Perseroan Terbatas dalam menyelenggarakan fungsi negara.75

Paradigma pengelolaan BUMN tak boleh berlari meninggalkan prinsip dasar yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, seharusnya ruh dalam pengelolaan BUMN tetap diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan negara tidak boleh kehilangan kendali pengawasan atas tata kelola BUMN. Intinya adalah pengelola korporasi/perusahaan memiliki tanggung jawab

75

http://www.bpk.go.id/news/pemisahan-kekayaan-negara-di-bumn (diakses pada tanggal 25 Juli 2015)


(28)

terhadap pemegang kontrolnya. Dalam hal BUMN, pemegang kontrol adalah negara.Jajaran direksi BUMN bertanggung jawab kepada negara.76

Pasal 23 UUD 1945 merupakan dasar pembentukan undang-undang APBN. Dan di dalam Undang-Undang APBN menyatakan bahwa kekayaan negara tersebut, antara lain, adalah setoran negara kedalam modal BUMN yang berasal dari APBN dan dividen yang diterima oleh negara dimasukan kedalam APBN. Undang-Undang APBN tidak ada yang menyatakan kekayaan BUMN adalah kekayaan negara yang dimasukan dalam APBN. Dalam Undang-Undang APBN hanya modal BUMN bersumber dari APBN dan dividen yang diterima oleh negara dari BUMN masuk APBN. Keuangan BUMN tidak masuk dalam APBN, sehingga bukan menjadi keuangan negara.77

76

Ibid. 77

http://www.ermanhukum.com/dokumen/Keuangan%20BUMN%20bukan%20Keuangan %20Negara.pdf (diakses pada tanggal 25 Juli 2015)


(1)

terbagi atas saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mencari keuntungan. Selanjutnya menurut Pasal 11 UU BUMN, terhadap persero berlaku ketentuan Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (sekarang Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas). Berdasarkan Pasal 7 ayat (6) Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, BUMN persero memperoleh status badan hukum setelah akte pendiriannya disahkan oleh menteri kehakiman. Karakteristik suatu badan hukum adalah pemisahan harta kekayaan badan hukum dari harta kekayaan pemilik dan pengurusnya. Dengan demikian kekayaan BUMN Persero adalah sebagai badan hukum bukanlah kekayaan negara.71

Pemisahaan kekayaan negara untuk dijadikan penyertaan modal negara ke dalam modal BUMN hanya dapat dilakukan dengan cara penyertaan langsung negara ke dalam BUMN. Untuk memonitor dan penatausahaan kekayaan negara yang tertanam pada BUMN dan perseroan terbatas, termasuk penambahan dan pengurangan dari kekayaan negara tersebut serta perubahan struktur kepemilikan negara sebagai akibat adanya pengalihan saham milik negara atau penerbitan saham baru yang tidak diambil bagian oleh negara, perlu ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

Maksud dari dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (selanjutnya disebut APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan

71


(2)

pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun pembinaan dan pengelolaannya berdasarkan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Termasuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yaitu meliputi pula proyek-proyek Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dikelola oleh BUMN dan/atau piutang negara pada BUMN yang dijadikan sebagai penyertaan modal negara.

Sehubungan dengan itu, pada tahun 2006 Mahkamah Agung pernah mengeluarkan fatwa atas permintaan Menteri Keuangan RI. Fatwa dituangkan dalam Surat Mahkamah Agung Nomor WKMA/Yud/20/VIII/2006 tanggal 16 Agustus 2006 perihal permohonan fatwa hukum, berbunyi sebagai berikut:72

Menunjuk surat Menteri Keuangan RI Nomor S-324/MK.01/2006 tanggal 26 Juli 2006 perihal tersebut diatas, dan setelah Mahkamah Agung memperlajari dengan ini dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut:

1. Bahwa Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang

Badan Usaha Milik Negara berbunyi: “Badan Usaha Milik Negara, yang

selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”. Pasal 4 ayat (1) Undang-undang yang sama menyatakan bahwa ”Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”. Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) tersebut dikatakan bahwa “yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaanya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan Belanja Negara, namun pembinaan dan pengelolaanya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.”

2. Bahwa dalam pasal-pasal tersebut di atas, yang merupakan undang-undang khusus tentang BUMN, jelas dikatakan bahwa modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang telah dipisahkan dari APBN dan selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak didasarkan pada sistem APBN melainkan didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.


(3)

3. Bahwa pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyebutkan : “Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.”

4. Bahwa meskipun Pasal 8 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara menyatakan bahwa “piutang Negara atau hutang kepada Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Negara atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh Negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun” dan dalam penjelasannya dikatakan bahwa piutang Negara meliputi pula piutang

“badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian atau

seluruhnya milik Negara, misalnya Bank-bank Negara, PT-PT Negara, Perusahaan-perusahaan Negara, Yayasan perbekalan dan persediaan, Yayasan

Urusan Bahan Makanan dan sebagainya”, serta Pasal 12 ayat (1) Undang

-undang yang sama mewajibkan Instansi-instansi Pemerintah dan Badan-badan Negara seabagaimana dimaksud dalam Pasal 8 untuk menyerahkan piutang-piutang yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum akan tetapi penanggung hutangnya tidak mau melunasi sebagaimana mestinya kepada Panitia Urusan Piutang Negara, namun ketentuantentang piutang BUMN dalam Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tersebut tidak lagi mengikat secara hukum dengan adanya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang merupakan undang-undang khusus (lex specialis) dan lebih baru dari Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960.

5. Bahwa begitu pula halnya dengan Pasal 2 huruf g Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 yang berbunyi: Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 meliputi : “g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah”, yang dengan adanya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN maka

ketentuan dalam Pasal 2 huruf g khusus mengenai ”kekayaan negara yang

dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah” juga tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum.

6. Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, dapat dilakukan perubahan seperlunya atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.

Melihat fatwa Mahkamah Agung diatas dapat diketahui bahwa ketentuan Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara tidak mengikat secara hukum kepada BUMN,


(4)

dengan demikian harta kekayaan BUMN yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan bukan merupakan kekayaan negara.

Sehubungan dengan teori tersebut, BUMN sebagaimana diatas adalah badan hukum. BUMN mempunyai kekayaan sendiri yang terpisah dari pendiri maupun pengurusnya. Kekayaan BUMN pada awalnya berasal dari modal pendirinya yaitu negara. Modal tersebut dari kekayaan negara yang dipisahkan, sehingga tidak berlaku sistem APBN melainkan memberlakukan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Modal yang dimasukkan kedalam BUMN menjadi milik BUMN untuk kepentingan usaha dalam mencari keuntungan.73

Kedudukan negara terhadap BUMN adalah sebagai pendiri BUMN. Disamping itu, negara juga sebagai penyerta modal (pemegang saham). Selaku penyerta modal, negara memiliki hak untuk mengendalikan BUMN melalui keputusan-keputusannya (keputusan RUPS). Tanggung jawab negara terbatas kepada besarnya modal yang dimasukkan. Apabila BUMN mengalami suatu hal yang melebihi modalnya maka negara tidak ikut bertanggungjawab untuk menanggung kerugian tersebut.74

Melihat pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PPU-IX/2011 yang menyatakan bahwa piutang BUMN bukanlah termasuk piutang negara. Oleh karena itu, piutang negara hanyalah piutang pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah, dan tidak termasuk piutang badan-badan usaha yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara, termasuk piutang bank-bank BUMN. Hal ini disebabkan, Pasal 1 angka 1 dan angka 10 UU BUMN mengatur bahwa BUMN

73


(5)

adalah badan usaha yang memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan negara, sehingga kewenangan pengurusan kekayaan, usaha, termasuk penyelesaian utang-utang BUMN tunduk pada hukum Perseroan Terbatas berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK Nomor 48 dan 62/PUU-XI/2013 yang dibacakan tanggal 18 September 2014 terkait uji materi Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara, telah mengukuhkan status kekayaan negara yang bersumber dari keuangan negara dan dipisahkan dari APBN untuk disertakan menjadi penyertaan modal di BUMN tetap menjadi bagian dari rezim keuangan negara. Mahkamah Konstitusi menyatakan pengujian Pasal 2 huruf g dan i UU Keuangan Negara telah dipertimbangkan sebelumnya dalam putusan bernomor 48/PUU-XI/2013 yang putusannya menolak untuk seluruhnya hal-hal yang diuji. Menurut Mahkamah Konstitusi, justru timbul ketidakpastian hukum apabila Pasal 2 huruf g dan huruf i dihapus karena ada ketidakjelasan status keuangan negara yang digunakan oleh BHMN (Badan Hukum Milik Negara) Perseroan Terbatas dalam menyelenggarakan fungsi negara.75

Paradigma pengelolaan BUMN tak boleh berlari meninggalkan prinsip dasar yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, seharusnya ruh dalam pengelolaan BUMN tetap diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan negara tidak boleh kehilangan kendali pengawasan atas tata kelola BUMN. Intinya adalah pengelola korporasi/perusahaan memiliki tanggung jawab

75

http://www.bpk.go.id/news/pemisahan-kekayaan-negara-di-bumn (diakses pada tanggal 25 Juli 2015)


(6)

terhadap pemegang kontrolnya. Dalam hal BUMN, pemegang kontrol adalah negara.Jajaran direksi BUMN bertanggung jawab kepada negara.76

Pasal 23 UUD 1945 merupakan dasar pembentukan undang-undang APBN. Dan di dalam Undang-Undang APBN menyatakan bahwa kekayaan negara tersebut, antara lain, adalah setoran negara kedalam modal BUMN yang berasal dari APBN dan dividen yang diterima oleh negara dimasukan kedalam APBN. Undang-Undang APBN tidak ada yang menyatakan kekayaan BUMN adalah kekayaan negara yang dimasukan dalam APBN. Dalam Undang-Undang APBN hanya modal BUMN bersumber dari APBN dan dividen yang diterima oleh negara dari BUMN masuk APBN. Keuangan BUMN tidak masuk dalam APBN, sehingga bukan menjadi keuangan negara.77

76

Ibid. 77