Pengaruh Suplementasi Vitamin D Terhadap Indeks Massa Tubuh (IMT) Pada Perempuan di Desa Aman Damai Kec. Sirapit Kab. Langkat Tahun 2016

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Jika seseorang dengan adanya kerentanan penyakit, maka dengan
meningkatkan

asupan

porsi

bahan

makanan

sumber

tersebut

akan

menghindarkannya dari risiko terjadinya penyakit. Penelitian yang dilakukan oleh
Kirang et al.(2012) menyatakan adanya pengaruh asupan makanan tertentu seperti

kalsium yang akan meningkatkan risiko terjadinya sindroma metabolik. Penelitian
tersebut menemukan hubungan yang bermakna antar subjek dengan minor alel
karier rs6445834 dalam ARHGEF3, rs1085033 dalam TBX5, atau rs180349 dalam
BUD13 dengan asupan kalsium, penelitian tersebut mengemukakan keterbatasan

penelitian tersebut adalah tidak menilai asupan dan kadar vitamin D.
2.1

Vitamin D
Vitamin D diperlukan pada masa anak-anak dan dewasa, sejak dalam

kandungan (utero) dan selama masa pertumbuhan. Kekurangan vitamin D dapat
menyebabkan retardasi pertumbuhan dan deformitas tulang, yang di masa lanjut
usia akan meningkatkan risiko fraktur tulang (Holick, 2007).
Defisiensi vitamin D umumnya terjadi di negara empat musim dengan
curah sinar matahari (Ultra Violet B/UVB) kurang, namun berdasarkan penelitian
ternyata defisiensi dapat terjadi juga di negara tropis. Penelitian tersebut
menemukan bahwa defisiensi vitamin D tidak hanya terjadi pada perempuan
postmenopause tetapi juga terjadi pada masa anak-anak usia 7-12 tahun
(Rahmanet al., 2004; Setiati et al., 2007; Khoret al., 2011).

Sifat kimia dan fisika vitamin D, ditemukan dalam bentuk kolekalsiferol
(cholecalciferol/vitamin D3) dan ergokalsiferol (ergocalciferol/vitamin D2),
secara struktur mirip dengan sekosteroid turunan dari radiasi sinar UVB yang
berasal dari sterol provitamin D. Prekursor vitamin D terdapat dalam fraksi sterol
dalam jaringan di bawah kulit hewan (7-dehidrokolesterol) dan tumbuh-tumbuhan
(ergosterol)(Ball, 2006).

3
Universitas Sumatera Utara

4

Vitamin D2 dan D3 ditemukan dalam bentuk bubuk kristal putih kekuningkuningan, bersifat tidak larut dalam air, 95% larut dalam etanol, aseton, lemak,
dan minyak; dan sangat mudah larut dalam kloroform dan eter (Ball, 2006).
Stabilitas vitamin D dalam lemak dan minyak bergantung pada jenis lemak
itu sendiri. Vitamin D lebih stabil dibandingkan vitamin larut lemak lain seperti
vitamin A. Setelah lepas dari matriks makanan, vitamin D sangat mudah terurai
oleh oksigen dan sinar. Kondisi yang dapat mempermudah pecahnya ikatan
vitamin D adalah paparan panas (Ball, 2006).
Vitamin D mudah rusak dalam lemak teroksidasi, walaupun demikian,

proses pengolahan makanan, memasak, dan penyimpanan makanan tidak
mempengaruhi aktivitasnya. Vitamin D dapat ditemukan tidak mudah rusak pada
bentuk makanan seperti ikan asap, proses pasteurisasi, sterilisasi susu, dan telur
goreng (Ball, 2006).
Vitamin D diproduksi di bawah kulit, dengan bantuan radiasi sinar UVB
terhadap 7-dehidrokolesterol, akan mengenai steroid inti menyebabkan pecahnya
cincin B pada 9,10-ikatan karbon, menghasilkan sistem triene konyugasi ikatan
rangkap. Untuk selanjutnya akan memperoduksi pre-vitamin D3. Bentuk ini akan
muncul setelah 30 menit paparan sinar UVB dan berlangsung cepat. Panas tubuh
selanjutnya akan menyebabkan pre-vitamin D3 mengalami isomerisasi menjadi
vitamin D3. Pada tumbuh-tumbuhan, radiasi sinar ultraviolet pada ergosterol akan
menghasilkan pre-vitamin D2 yang selanjutnya akan dikonversi menjadi D2 yang
juga dibantu oleh adanya panas.
Sistem penomoran atom karbon (carbon/C) molekul vitamin D sesuai
dengan steroid intinya (Gambar 2.1a). Perbedaan struktur vitamin D2 (C28H44O,
berat molekul=396,6) dan vitamin D3 (C27H44O, berat molekul=384,2) terjadi
pada atom C-17 vitamin D2 yang terdapat ikatan rangkap dan tambahan grup metil
(Gambar2.1b). Kedua bentuk vitamin tersebut ditemukan di alam dengan ikatan
rangkap pada 5,6 dalam bentuk konfigurasi cis (Ball, 2006).


Universitas Sumatera Utara

5

Sumber: Ball, 2006
Gambar 2.1 Struktur kimia vitamin D (a) Struktur vitamin D2 dan D3 (b)
Pada saat radiasi UV terjadi, provitamin D akan dikonversi menjadi bentuk
previtamin D, dan selanjutnya dibantu dengan transformasi suhu, bentuk tersebut
akan di konversi menjadi vitamin D.Radiasi sinar UV terhadap ergosterol yang
terdapat pada tumbuh-tumbuhan, jamur, dan ragi menghasilkan vitamin D2,
sedangkan pada hewan, radiasi tersebut mengkonversi 7-dehidrokolesterol
menjadi vitamin D3 yang dapat mencapai kapiler darah di lapisan dermis, dan
diangkut ke hati menggunakan protein transport plasma (Ball, 2006).
Pada manusia, potensi biologis vitamin D2 dan D3 prinsipnya adalah
seimbang, namun bentuk metabolit 25(OH)2D3 dalam sirkulasi yang berasal dari
bahan makanan sumber hewani mempunyai aktivitas lima kali lebih tinggi
dibandingkan bentuk metabolit vitamin D2 yang berasal dari tumbuh-tumbuhan,
berdasarkan kemampuannya meningkatkan absorpsi kalsium di usus (Ovesen et
al., 2003). Hal tersebut disebabkan oleh karena pada jaringan hewan, bentuk
vitamin D ditemukan dalam bentuk ester yang berikatan dengan asam lemak jenuh

dan tidak jenuh (Ball, 2006).
Secara biologis, vitamin D dalam bentuk tidak aktif dan harus
dimetabolisme menjadi 1, 25-dihidroksi vitamin D 1,25(OH)2D, yang
bertindak sebagai hormon dalam mengontrol homeostasis kalsium dan regulasi
pertumbuhan berbagai jenis sel (Ball, 2006).

Universitas Sumatera Utara

6

Pengaruh hormonal 1,25(OH)2D dimediasi oleh reseptor intraselular
khusus (specific intra-cellular receptor ), yang tergolong reseptor steroid. Setelah
membentuk ikatan kompleks ligand-reseptor, barulah vitamin D akan memberikan
pengaruh terhadap ekspresi gen (Ball, 2006).
Bahan makanan sumber dan kebutuhan vitamin D, sumber utama
vitamin D adalah paparan sinar matahari, asupan bahan makanan sumber,
suplementasi, asupan makanan fortifikasi. Diet dengan tinggi minyak ikan dapat
mencegah defisiensi vitamin D. Paparan sinar matahari berupa radiasi ultraviolet
B (UVB) dengan panjang gelombang 290-315 (sumber lain menyebutkan 280320nm) dapat menjadi sumber yang sangat baik terutama di daerah tropis. Sinar
matahari tersebut akan menembus kulit dan mengkonversi 7-dehydrocholesterol

menjadi previtamin D3setelah paparan 30 menit, dan secara cepat akan dikonversi
menjadi vitamin D3. banyaknya previtamin D3 atau vitamin D3 akan dipecah oleh
sinar matahari, kelebihan paparan sinar matahari tidak menyebabkan intoksikasi
vitamin D3 (Holick, 2007; Lehman, 2009, Zitterman, 2003).
Secara alami sangat sedikit makanan yang mengandung atau difortifikasi
vitamin D, termasuk vitamin D2 dan D3. Vitamin D2 diproduksi melalui irradiasi
sinar ultra violet ergosterol dari jamur, dan vitamin D3 melalui irradiasi 7dehidroksikolesterol dari lanolin. Kedua bahan tersebut digunakan untuk membuat
suplemen vitamin D (Holick, 2007) (Tabel 2.1).
Tabel 2.1

Bahan Makanan Sumber, Suplemen, Dan Sumber Bahan
Farmasi Vitamin D2 Dan D3
Sumber

Kandungan Vitamin D

Sumber alami:
Salmon
Segar, di alam


600-1000 SI (D3)

Segar, ternak

100-250 SI (D3 dan D2)

Kalengan

300-600 SI (D3)

Sarden, kalengan

300 SI (D3)

Mackerel, kalengan

250 SI (D3)

Tuna, kalengan


230 SI (D3)

Universitas Sumatera Utara

7

Minyak ikan kod

400-1000 SI (D3)

Jamur shiitake

100-1600 SI (D2)

Jamur kancing

40 SI (D2)

Kuning telur


20 SI (D3 dan D2)

Paparan sinar matahari, radiasi UV B

3000 SI (D3)

Makanan fortifikasi
Susu

100 SI /240 mL (D3)

Jus jeruk

100 SI /240 mL (D3)

Formula susu bayi

100 SI /240 mL (D3)

Yoghurt


100 SI /240 mL (D3)

Mentega

50 SI /100 gr (D3)

Margarin

430 SI /100 gr (D3)

Keju

100 SI /85 gr (D3)

Sereal sarapan pagi

100 SI /porsi (D3)

Suplemen

Bentuk resep
Vitamin D2 (Ergocalciferol)

50.000 SI /kapsul

Drisdol (vitamin D2) suplemen cairan

8000 SI /mL

Bentuk jualan di toko obat
Multivitamin

400 SI

Vitamin D3

400, 800, 1000, dan 2000 SI

Sumber: Holick, 2007
Ket: 1 SI (Satuan Internasional)= 0,025 g vitamin D; 1 g vitamin D=40 SI
Kecukupan vitamin D, tidak hanya penting untuk kesehatan tulang saja
tetapi juga untuk fungsi optimal organ dan jaringan seluruh tubuh. Kebutuhan
meningkat seiring pertumbuhan usia, masa remaja adalah masa yang paling tinggi
kebutuhan akan vitamin D sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk
vitamin D (Tabel 2.2).

Universitas Sumatera Utara

8

Tabel 2.2

Angka Kecukupan Gizi Vitamin D yang Dianjurkan Untuk
Perempuan

Golongan umur (tahun)

AKG (g)

10-12

5

13-15

5

16-18

5

19-29

5

30-49

5

50-64

10

Lebih dari 65

15

Sumber: Widyakarya Pangan dan Gizi, 2005
Insufisiensi vitamin D berada pada rentangan 21-29 ng/mL dan kecukupan
vitamin D berada pada rentangan lebih dari 30 ng/mL. Keracunan vitamin D dapat
terjadi jika kadar dalam serum lebih besar dari 150 ng/mL. Wanita postmenopause
mempunyai kadar 25(OH)D serum suboptimal-di bawah 30 ng/mL, dan
mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya osteoporosis (Holick, 2007).
Penelitian yang dilakukan Forrest dan Stuhldreher (2011) melaporkan
bahwa prevalensi defisiensi vitamin D muncul pada kelompok non-Hispanic kulit
hitam, rendahnya asupan kalsium, dan kadar HDL. Hubungan ini dikatakan masih
belum diketahui, tapi dikemukakan teori tingginya massa lemak menjadikan kadar
vitamin D yang beredar dalam darah akan berkurang.
Anak-anak dan dewasa muda merupakan risiko tinggi untuk terjadinya
defisiensi vitamin D, penelitian yang dilakukan terhadap gadis dan wanita kulit
hitam usia 15-49 tahun mempunyai kadar 25(OH)D serum dibawah 20 ng/mL
sebanyak 42%. Penelitian tersebut juga menemukan 32% pelajar dan masyarakat
disekitar daerah penelitian mengalami defisiensi vitamin D walaupun telah
meminum segelas susu, minum multivitamin setiap hari, dan makan ikan salmon
sekali seminggu (Tangpricha et al., 2002).
Walaupun berada di daerah yang bersinar matahari cukup, defisiensi
vitamin D juga ditemukan karena sebagian besar kulit dilindungi dari paparan
sinar matahari. Daerah penelitian tersebut antara lain Uni Emirat Arab, Australia,
Turki, India, dan Libanon, menemukan 30-50% anak dan dewasa mengalami

Universitas Sumatera Utara

9

defisiensi vitamin D dengan kadar 25(OH)D kurang dari 20 ng/mL (Tangpricha et
al., 2002).
Hasil penelitian di Malaysia menyatakan adanya defisiensi vitamin D
sebesar 27% pada perempuan etnis malaysia usia 50-65 tahun, hasil ini
diperbandingkan dengan etnis cina yang ditemukan sebesar 87%. Insufisiensi
vitamin D ditemukan lebih tinggi pada etnis malaysia dibandingkan dengan etnis
cina (71% vs 11%). Kadar 25(OH)D serum ditemukan berkorelasi bermakna
dengan IMT, massa lemak, dan kadar hormon paratiroid (Rahman et al., 2004).
Penelitian di Indonesia menunjukkkan defisiensi vitamin D terjadi sebesar
35% pada wanita lanjut usia, yang tergantung dari tipe kulit, usia, IMT, dan
perubahan sistem organ yang terkait dengan sintesis vitamin D. Penelitian tersebut
memberikan perlakuan yaitu paparan sinar matahari pada wajah dan kedua lengan
sebanyak tiga kali dalam seminggu selama enam minggu. Penelitian tersebut
menunjukkan peningkatan kadar vitamin D (Setiati et al., 2007).
Tidak hanya terjadi pada usia lanjut, ternyata defisiensi vitamin D
ditemukan pada anak usia sekolah (7-12 tahun), kasus obesitas sebanyak 16,4%
dan berat badan lebih sebanyak 17,9%. Kadar Hb, serum ferritin, seng, folat, dan
vitamin B12 dalam batas normal, sedangkan kadar 25(OH)D serum menunjukkan
defisiensi vitamin D, pada kelompok laki-laki ditemukan hubungan yang
berlawanan antara kadar vitamin D dan IMT sesuai usia (Khor et al., 2011).
2.2

Obesitas
Obesitas dan berat badan lebih adalah hasil dari ketidak seimbangan antara

asupan dan aktivitas fisik. Penyebab obesitas terkait masalah kompleks,
diantaranya adalah gaya hidup, lingkungan, dan gen. Faktor asupan makanan
dapat berasal dari porsi makanan, sering makan di restoran atau di luar rumah, dan
penurunan aktivitas fisik.
2.2.1. Definisi dan Klasifikasi
Obesitas adalah suatu kondisi berlebihnya lemak. Terdapat beberapa
kesulitan dalam menentukan lemak tubuh secara akurat di masyarakat, maka
digunakan

pengukuran

tinggi

badan

dan

berat

badan

tubuh

untuk

Universitas Sumatera Utara

10

mendefinisikannya, definisi ini menggunakan indeks massa tubuh (IMT) (Hill et
al., 2006).
Indeks massa tubuh dihitung berdasarkan berat badan (kg)/tinggi badan
kuadrat (m2). Nilai IMT berhubungan bermakna dengan lemak tubuh total dan
dapat dijadikan penanda kadar lemak tubuh (Gallagher et al., 2000). Klasifikasi
IMT

berkaitan

dengan

angka

kesakitan

dan

kematian,

dan

dapat

mengidentifikasikan risiko seseorang untuk mengalami komplikasi akibat lemak
tubuh berlebih (Hill et al, 2006).
Risiko terjadinya DM tipe 2, penyakit jantung, dan kanker terjadi seiring
dengan peningkatan IMT, dengan risiko terendah terdapat pada IMT 22-25 kg/m2.
angka kematian meningkat seiring dengan peningkatan IMT diatas 25 kg/m2,
dengan nilai paling tinggi IMT diatas 30 kg/m2 (Hill et al., 2000).
Perhitungan IMT dapat digunakan, tetapi mempunyai kelemahan dimana
seseorang dengan IMT tergolong obes dapat mempunyai jumlah lemak yang
normal akibat besarnya massa otot. Begitu pula dengan IMT normal dapat
mempunyai jaringan lemak yang berlebihan akibat penurunan massa otot.
Perhitungan lingkar pinggang dapat digunakan untuk keakuratan jumlah lemak
tubuh tersebut. Lingkar pinggang berkorelasi tinggi dengan lemak viseral atau
intra abdomen. Kombinasi perhitungan lingkar pinggang dan IMT sangat berguna
untuk menilai risiko kesehatan (Hill et al., 2000).
Perhitungan lingkar pinggang perempuan lebih dari 80 cm mempunyai
peningkatan risiko gangguan metabolik. Berat badan lebih dengan lingkar
pinggang lebih, mempunyai risiko lebih besar untuk mengalami gangguan
metabolik dibandingkan berat badan lebih dengan lingkar pinggang normal (Hill
et al., 2006).
Sel beta pankreas yang mengsekresikan insulin adalah hormon kunci yang
meregulasi kadar gula darah. Obesitas berhubungan dengan resistensi insulin,
ekspansi sel beta, dan hiperinsulinemia. Diawali dengan berat badan lebih, secara
metabolisme masih dalam keadaan normal tetapi ini disebabkan oleh kemampuan
kompensasi dari sel beta pankreas, selanjutnya obesitas, keadaan yang
menunjukkan ketidak mampuan sel beta pankreas untuk berfungsi normal
(Gambar 2.2) (Ahima, 2011).

Universitas Sumatera Utara

11

Gambar 2.2 Hubungan berat badan dan fungsi sel beta pankreas
2.2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi obesitas
Faktor yang mempengaruhi obesitas antara lain jenis kelamin, perempuan
lebih sering tergolong obes dibandingkan laki-laki. Faktor lain adalah suku,
kelompok perempuan non hispanik kulit hitam lebih cenderung untuk mengalami
obesitas dibandingkan dengan kulit putih, penelitian menunjukkan terjadinya
obesitas tetap ditemukan walaupun telah dikoreksi dengan status ekonomi
(Allison dan Saunders, 2000).
Pada usia 20 tahun terjadi peningkatan terjadinya obesitas, penurunan
terjadi setelah berumur 60 tahun. Masa kanak-kanak terutama pada masa remaja
merupakan masa yang sangat menentukan terjadinya obes di masa dewasa. Masa
kanak-kanak obes cenderung untuk menjadi dewasa obes sebesar 30%, sedangkan
sekitar 80% obes yang terjadi di masa remaja cenderung menjadi obes di masa
dewasa (Allison dan Saunders, 2000).
Pengaruh genetik merupakan faktor utama seseorang menjadi obes, bentuk
kelainan genetik adalah melanocortin-I receptor gene (MC IR), mutasi gen leptin,
dan defek pada peroxisome proliferator-activator- receptor (PPAR-) (Hill et al.,
2006). Pengaruh lingkungan dan gaya hidup merupakan faktor yang menyebabkan
ketidak seimbangan energi masuk dan keluar. Termasuk di dalamnya antara lain

Universitas Sumatera Utara

12

resting metabolik rate (RMR), thermic effect of food (TEF), dan physical activity
energy expenditure (PAEE) (Hill et al., 2006).

Ketidakseimbangan

asupan

makanan

yang

berasal

dari

ketidak

seimbangan asupan antara lain asupan lemak, densitas energi makanan, asupan
karbohidrat, buah dan sayur, ukuran porsi makanan, jenis makanan, dan mudahmurahnya suatu jenis makanan diperoleh (Hillet al., 2000; Hillet al., 2006).
Resistensi insulin memegang peran terhadap perkembangan dislipidemia pada
diabetes, dengan mempengaruhi beberapa faktor. Pada resistensi insulin,
peningkatan efluks dari asam lemak bebas dari jaringan lemak dan penekanan
ambilan insulin di otot meningkatkan aliran asam lemak ke hati. Asam lemak
bebas yang meningkat pada individu dengan toleransi glukosa terganggu
memberikan tanda bahwa resistensi insulin berhubungan dengan peningkatan
kadar asam lemak bebas terjadi sebelum higerglikemia timbul (Krauss, 2004).
Patofisiologi terjadi dislipidemia diawali dengan gangguan pada
metabolisme lipoprotein kaya trigliserida, termasuk juga peningkatan sekresi very
low density lipoprotein (VLDL) di hati dan menekanan bersihan VLDL dan

kilomikron dari usus. Akibatnya adalah retensi yang lama dari VLDL dan
kilomikron tersebut sebagai partikel remnan lipolisis. Bentuk sisa atau remnan ini
termasuk intermediate density lipoprotein (IDL) termasuk aterogenik (Krauss,
2004).
Peningkatan produksi di hati dan atau bersihan yang lambat dari VLDL
akan menghasilkan produksi prekursor partikel LDL densitas kecil. Plasma VLDL
berhubungan dengan peningkatan densitas dan penurunan ukuran LDL. Ukuran
dan densitas LDL berhubungan berlawanan dengan kadar HDL, terutama high
densitiy lipoprotein2 (HDL2). Partikel LDL padat berasal dari VLDL di

intravaskular melalui tahapan dalam proses lipolisis. Selanjutnya produk yang
kaya akan trigliserida, bersama dengan cholesterol ester transfer protein (CETP),
hidrolisis trigliserida, dan fosfolipid oleh hepatic lipase (HL), menyebabkan
peningkatan dari partikel LDL densitas kecil. Waktu berada di plasma akan lebih
lama karena terjadinya penurunan afinitas terhadap reseptor LDL (Gambar 2.3)
(Krauss, 2004).

Universitas Sumatera Utara

13

Sumber: Krauss, 2004
Gambar 2.3 Skema metabolisme lipoprotein pada dislipidemia
Defisiensi vitamin D dapat mempengaruhi sekresi insulin dan sensitivitas
melalui pengaruhnya pada kalsium intraseluler (Pittas et al., 2007). Peningkatan
kalsium intraseluler menekan postreceptor binding insulin action , yaitu
defosforilasi

glikogen

sintase

dan

transporter

glukosa

(glucose

transporter /GLUT-4) (Draznin, 1993; Reuschet al., 1991, Zemel et al., 2000).

Terjadinya peningkatan kalsium intraseluler akan merangsang kalmodulin
untuk mengikat substrat-1 reseptor insulin (Insulin Receptors Substrate-1/IRS-1),
yang bergabung dengan fosforilasi tirosin stimulasi-insulin (insulin-stimulated
tyrosine fosforilation) dan aktivasi PI3-kinase (phospohoinositide 13-kinase)

(Alvarez dan Ashraf, 2010).
Sel adiposit mempunyai peran dalam penyimpanan energi untuk
trigliserida, selanjutnya akan dipecah menjadi asam lemak bebas dan gliserol saat
diperlukan energi. Sel adiposit mengekspresikan dan mengsekresikan beberapa
hormon peptida dan sitokin termasuk TNF-; plasminogen activator inhibitor -1
(PAI-1) yang membantu hemostasis; angiotensinogen, merupakan produk
proteolitik meregulasi tekanan vaskular; dan leptin, yang berperan dalam
keseimbangan energi (Kahn dan Flier, 2000).
Walaupun tidak semua penelitian menemukan kadar TNF- yang
meningkat pada obesitas, perannya sangat bervariasi. Pada kadar rendah, ia dapat
berperan sebagai parakrin dibandingkan saat kadar tinggi, yang bersifat endokrin.
Penelitian lanjutan diperlukan untuk melihat efek dari TNF-, kadar berlebihan

Universitas Sumatera Utara

14

dari TNF- dapat memberikan sinyal yang menekan sinyal insulin, sebagai bagian
dari fosforilasi serin dari IRS-1 dan dapat menurunkan ekspresi gen GLUT-4,
yang nantinya dapat menyebabkan resistensi insulin (Kahn dan Flier, 2000).
Penelitian Zitterman et al (2009) melaporkan tidak dihasilkannya
penurunan berat badan pada pemberian vitamin D sebanyak 83 g per hari selama
12 bulan, tetapi terlihat perbaikan pada beberapa penanda risiko kardiovaskular
seperti profil lipid dan TNF-α, namun terjadi peningkatan kadar LDL pada
kelompok perlakuan.
Sel adiposit merupakan penyimpanan energi terutama trigliserida yang
dalam bentuk asal lemak bebas dan gliserol. Data menunjukkan peran adiposit
sebagai sel sekretoris. Selain leptin, sel adiposit juga dapat memproduksi hormon
lain termasuk estrogen dan kortisol (Kahn dan Flier, 2000).
Peranan TNF- terhadap fungsi sel adiposit adalah dengan jalur
menghambat lipogenesis dan dapat meningkatkan lipolisis, peran ini dapat terlihat
sebagai mekanisme terbalik terhadap simpanan energi yang berlebihan. Sinyal
TNF- dapat menekan sinyal insulin, kemudian melakukan penekanan terhadap
fosforilasi serin dari IRS-1, dan dapat menurunkan ekspresi gen GLUT-4 (Kahn
dan Flier, 2000).
Beberapa penelitian memberikan suplementasi vitamin D pada anak-anak,
dengan tujuan mengurangi risiko terjadinya diabetes tipe 1. Peningkatan asupan
vitamin D selama masa kehamilan mengurangi perkembangan autoantibodi
turunan (Chiu et al., 2004).
Penelitian di Finlandia yang memberikan 2000 SI vitamin D3 per hari
selama tahun pertama kehidupan dan kemudian diikuti selama 31 tahun, risiko
diabetes tipe 1 menurun sampai 80% (Risiko Relatif (RR) 0,22; Interval
Kepercayaan (IK) 95%, 0,05-0,89) (Hypponenet al., 2001).
Terdapat beberapa penelitian lain yaitu penelitian yang menunjukkan
defisiensi vitamin D dapat menyebabkan meningkatnya resistensi insulin,
penurunan produksi insulin, dan berhubungan dengan sindroma metabolik (Chiu
et al., 2004). Penelitian yang dilakukan Pittas et al., (2006) menunjukkan
kombinasi asupan kalsium 1200 mg dan vitamin D 800 SI, dapat menurunkan

Universitas Sumatera Utara

15

risiko diabetes tipe 2 sebesar 33% (RR 0.67; IK 0,49-0,90) dibandingkan dengan
asupan kalsium kurang dari 600 mg dan vitamin D 400 SI.
Penelitian potong lintang yang dilakukan menunjukkan hubungan kadar
25(OH)D dengan sensitivitas insulin, hubungan tersebut dapat terlihat dari tiga
faktor yaitu vitamin D yang tersimpan di jaringan lemak, obesitas yang
berhubungan dengan defisiensi vitamin D, dan resistensi insulin. Perbedaan
jumlah jaringan lemak (adipositas) dikatakan dapat menjadi faktor perancu
terhadap hubungan ini (Alvarezet al.,2010).
Beberapa penyebab yang menyatakan hubungan antara defisiensi vitamin
D dan obesitas antara lain aktivitas individu yang jarang terpapar sinar matahari,
simpanan vitamin D dalam jaringan lemak, dan penurunan bioavailabilitas
produksi endogen vitamin D dalam sirkulasi (Wortsman et al., 2000; Martini dan
Wood, 2006).
Penelitian yang dilakukan Cheng et al., (2010) menunjukkan adanya
hubungan antara rendahnya kadar vitamin D dengan besarnya IMT, hubungan
berlawanan antara kadar 25(OH)D serum dengan adipositas terutama lemak
viseral dibandingkan lemak subkutan. Penelitian eksperimental tersebut
menyatakan bahwa defisiensi vitamin D dapat menyebabkan adipositas yang lebih
besar.
Lemak viseral lebih patogenik terjadinya risiko penyakit kardiovaskular
seperti hipertensi, hipertrigliseridemia, penekanan pada glukosa puasa, dan
sindroma metabolik. Lemak viseral juga lebih menyebabkan peningkatan sekresi
adipokin, mediator homeostasis, fibrinolisis, dan faktor pertumbuhan (growth
factor ) dibandingkan lemak subkutan (Foxet al., 2007).

Penelitian yang dilakukan Pittas et al., (2007), memberikan suplementasi
vitamin D bentuk kolekalsiferol 700 SI dan kalsium 500 mg selama 3 tahun dan
dibandingkan dengan plasebo ternyata menunjukkan perbaikan pada sensitivitas
insulin. Penelitian randomized controlled trial (RCT) yang dilakukan Nagpalet
al., (2009), dengan memberikan suplementasi vitamin D 120.000 SI selama enam
minggu menunjukkan peningkatan kadar 25(OH)D serum dan peningkatan
sensitivitas insulin, keterbatasan penelitian ini juga menggunakan pengukuran
sensitivitas insulin tidak langsung.

Universitas Sumatera Utara

16

Penelitian eksperimental yang dilakukan belum menemukan berapa lama
perlakuan atau lamanya pemberian vitamin D untuk memberikan pengaruh pada
sensitivitas dan sekresi insulin. Penelitian yang bertujuan untuk melihat hubungan
vitamin D dengan sensitivitas insulin yang telah dilakukan juga belum
menemukan dosis terapetik yang tepat untuk suplementasi vitamin D (Alvarez dan
Ashraf, 2010).
Penelitian Niikoyeh et al.,(2011) menyebutkan bahwa pemberian vitamin
D sebanyak 500 IU (12,5 g) dan kalsium sebanyak 150 mg per hari dalam
minuman yoghurt selama 12 minggu, menunjukkan perbaikan pada kadar HbA1C.
Peningkatan kadar 25(OH)D dinyatakan dapat memperbaiki sensitivitas insulin
sebesar 13,3%. Beberapa parameter lain seperti HOMA-IR dan kadar insulin juga
menunjukkan hubungan yang berlawanan dengan perubahan kadar 25(OH)D.
Penelitian yang dilakukan Rosenblum et al.,(2012) menemukan adanya
penurunan jaringan lemak viseral pada pemberian suplementasi vitamin Dkalsium sebesar 13% selama 16 minggu. Penurunan ini menunjukkan bahwa
suplementasi tersebut dapat mengurangi kemungkinan terjadinya sindroma
metabolik,

karena

lemak

intraabdomen

berhubungan

langsung

dengan

peningkatan trigliserida, rendahnya HDL, hipertensi, dan intoleransi glukosa.
Kekurangan dari penelitian tersebut adalah tidak memisahkan antara suplementasi
vitamin D dan kalsium, diketahui bahwa kadar 25(OH)D yang rendah
berhubungan independen dengan massa lemak dan peningkatan IMT (Zemel et
al., 2005a ; Zemel et al.,2005b). Penelitian ini juga hanya dilakukan pada etnis
wanita kulit putih saja sehingga sulit untuk mengeneralisasikan hasil penelitian
tersebut.
Berbagai penelitian yang ada sudah melihat pengaruh vitamin D tetapi
masih mempertanyakan peranan vitamin D tersebut. Berikut adalah penelitianpenelitian yang telah dilakukan dan berkaitan dengan vitamin D.

Universitas Sumatera Utara