Perbedaan sikap terhadap homoseksualitas antara murid sekolah homogen dan heterogen
i
PERBEDAAN SIKAP TERHADAP HOMOSEKSUALITAS
ANTARA MURID SEKOLAH HOMOGEN DAN HETEROGEN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh: Dicky Sugianto NIM: 099114108
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2014
(2)
ii
SKRIPSI
PERBEDAAN SIKAP TERHADAP HOMOSEKSUALITAS
ANTARA MURID SEKOLAH HOMOGEN DAN HETEROGEN
Oleh: Dicky Sugianto NIM: 099114108
Telah disetujui oleh:
Pembimbing
(3)
iii
SKRIPSI
PERBEDAAN SIKAP TERHADAP HOMOSEKSUALITAS
ANTARA MURID SEKOLAH HOMOGEN DAN HETEROGEN
Dipersiapkan dan ditulis oleh
Dicky Sugianto NIM: 099114108
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 17 Januari 2014
dan dinyatakan memenuhi syarat.
Susunan Panitia Penguji
Nama Lengkap Tanda Tangan Penguji I Debri Pristinella, S.Psi., M.Si. ……… Penguji II M. M. Nimas Eki S., M.Si ……… Penguji III C. Wijoyo Adinugroho, M.Psi ………
Yogyakarta, Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Dekan,
(4)
iv
Allah Bapa Yang Mahakudus, Pencipta alam semesta. Tuhan Yesus Kristus, Sahabat dan Juruselamat.
Roh Kudus, Sang Penghibur dan Penuntun. Kupersembahkan tulisan ini pada-Mu. Karena segala sesuatu berawal dari Engkau.
Dan karena segala sesuatunya adalah demi keagungan dan kemuliaan Nama-Mu.
(5)
v
Lalu datanglah seorang janda yang miskin dan ia memasukkan dua peser, yaitu satu duit.
Maka dipanggil-Nya murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka:
“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini
memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan.
Sebab mereka memberi dari kelimpahannya tetapi janda ini memberi dari kekurangannya,
yaitu seluruh nafkahnya.” – Markus 12:42-44
Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.
– Rasul Paulus dalam 1 Korintus 10:31
Ad maiorem Dei gloriam.
– St. Ignasius Loyola, motto Society of Jesus
Live righteously, pursue happiness, and never regret. – 31 Mei 2013
(6)
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 12 Februari 2014
Penulis
(7)
vii
PERBEDAAN SIKAP TERHADAP HOMOSEKSUALITAS ANTARA MURID S EKOLAH HOMOGEN DAN HETEROGEN
Dicky Sugianto
ABSTRAK
Masyarakat secara umum memiliki sikap yang negatif terhadap homoseksualitas (Blaauw, 2012; Rathus, Nevid & Fichner-Rathus, 2008). Sikap yang negatif ini menimbulkan perlakuan yang negatif terhadap orang-orang homoseksual. Penelitian ini bertujuan untuk melihat sikap terhadap homoseksualitas pada murid sekolah homogen dan heterogen. Penelitian ini berusaha untuk mengungkap perbedaan sikap terhadap homoseksualitas antara sekolah yang memiliki murid sejenis kelamin dan sekolah yang memiliki murid kedua jenis kelamin. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif komparatif. Skala yang mengukur sikap terhadap homoseksualitas dikonstruksi dengan model penskalaan Likert. Data (N = 358) diambil dari empat sekolah yang berada di dua kota besar di Indonesia, yang terdiri dari dua sekolah homogen masing-masing dikhususkan untuk perempuan dan laki-laki, serta dua sekolah heterogen. Data kemudian dianalisis dengan menggunakan independent sample t-test. Berdasarkan hasil analisis data, ditemukan bahwa tidak ada perbedaan sikap terhadap homoseksualitas yang signifikan antara murid sekolah homogen dan heterogen (t(345,377) = 0,745; p > 0.05).
(8)
viii
ATTITUDE DIFFERENCE TOWARD HOMOSEXUALITY BETWEEN SINGLE-SEX AND COEDUCATIONAL SCHOOL STUDENTS
Dicky Sugianto
ABSTRACT
Society in general has negative attitudes toward homosexuality (Blaauw, 2012; Rathus, Nevid & Fichner-Rathus, 2008). These negative attitudes toward homosexuality lead to negative treatments of homosexual people. This research aims to observe attitude toward homosexuality in single-sex and coeducational school students. This research tries to reveal attitude difference toward homosexuality between school which has same-sex students and school which has mixed-sex students. This research is a comparative quantitative research. A scale measuring attitude toward homosexuality was constructed using Likert scale modeling. Data (N = 358) was collected from four schools in two big cities in Indonesia, consisting two single-sex schools each specified for females and males, and also two coeducational schools. Data was analyzed using independent sample t-test. According to data analysis, it is found that there is no significant difference in attitude toward homosexuality between single-sex and coeducational school students (t(345,377) = 0,745; p > 0.05).
(9)
ix
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Dicky Sugianto
Nomor Mahasiswa : 099114108
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
Perbedaan Sikap Terhadap Homoseksualitas antara Murid Sekolah Homogen dan Heterogen
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta,
Pada tanggal 12 Februari 2014
Yang menyatakan
(10)
x
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan syukur dan terima kasih terutama kepada Allah yang Mahakudus dalam perantaraan Tuhan Yesus Kristus, Sang Juruselamat melalui penyertaan dan hikmat dari Roh Kudus yang karena kuasa-Nya yang ajaib serta curahan hikmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perbedaan Sikap Terhadap Homoseksualitas antara Murid Sekolah Homogen dan Heterogen” sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi dan mengakhiri pendidikan penulis di program S1 Psikologi Universitas Sanata Dharma.
Dunia ini telah berkembang menjadi dunia yang penuh penerimaan. Kemanusiaan merupakan nilai yang harus dimiliki oleh setiap individu. Meskipun demikian, masih banyak aspek dalam kehidupan manusia yang luput dari nilai kemanusiaan tersebut. Kebenaran eksistensi nilai kemanusiaan ini tampak maya, ilusi positif dari idealisme manusia. Banyak kelompok masyarakat masih belum mendapatkan penerimaan dan hak yang setara, salah satunya adalah orang-orang seksual minoritas. Terdorong oleh isu tersebut, penulis memutuskan untuk melaksanakan penelitian ini sebagai langkah awal untuk membangun keadaan yang lebih baik bagi orang-orang seksual minoritas, khususnya orang-orang homoseksual. Penulis berharap penelitian ini dapat membuka jalan untuk langkah-langkah berikutnya, dengan tujuan membuat dunia ini lebih nyaman dihuni oleh tiap kelompok manusia.
(11)
xi
Banyak pihak yang terlibat dalam pembuatan skripsi ini dan penulis sangat bersyukur karena kehadiran mereka dalam kehidupan penulis. Oleh karena itu, penulis mengungkapkan rasa terima kasih setulus hati kepada:
1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma karena telah mengizinkan saya mengerjakan, menyelesaikan, dan mempertahankan skripsi ini.
2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si., selaku Kepala Program Studi Psikologi karena juga telah mengizinkan saya mengerjakan, menyelesaikan, dan mempertahankan skripsi ini. Terima kasih juga atas segala dukungan Ibu. 3. Ibu Debri Pristinella, S.Psi., M.Si., terima kasih atas kesabarannya
menghadapi saya selama mengerjakan penelitian ini. Terima kasih juga atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk menjadi asisten penelitian Prof. Bukatko.
4. Papah dan Mamah, terima kasih telah menjadi uluran tangan Tuhan Yesus Kristus. Terima kasih telah menjadi orangtua anugerah yang penuh kasih dalam ketulusan salib Kristus. Terima kasih atas kesabaran dan pelayanan yang luar biasa dalam hidup saya.
5. Emak Kwee Siang Lan, Oh Dial Sugianto, S.P., Oh Dion Sugianto, S.TP., dan Denny Sugianto. Terima kasih atas integritas makna yang telah kalian berikan kepada saya, begitu pula untuk Ci Sinta Novasari dan Ci Anita Anasstasia.
6. Prof. Danuta Bukatko, Ph.D., terima kasih atas segala ilmu, kasih, pertemanan, dan pencapaian yang Anda berikan kepada saya. Terima kasih
(12)
xii
atas kuliah, penelitian, dan publikasi yang lahir karena Anda. Terima kasih telah membuat pendidikan saya semakin bermakna.
7. Bapak Agung Santoso, M.A., terima kasih atas segala ilmu statistika dan SPSS, serta terima kasih atas dukungan dan kemurahan Bapak selama saya duduk di bangku kuliah.
8. Ibu Maria Laksmi Anantasari, M.Si., terima kasih karena dukungan, senyuman, kesabaran, dan nasehat yang telah Ibu berikan.
9. Ibu Dr. Tjipto Susana, M.Si., terima kasih atas kuliah-kuliah Ibu yang terapeutik dan memicu insight. Terima kasih juga atas segala senyuman dan keramahan Ibu.
10.Alm. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani, terima kasih atas segala dukungan Ibu pada suatu momen penting dalam kehidupan perkuliahan saya.
11.Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi., terima kasih juga atas segala ilmu yang saya dapatkan dari Bapak.
12.Ibu Agnes Indar Etikawati, M.Si. dan Ibu A. Tanti Arini, M.Si.,, terima kasih atas kesempatan menjadi asisten yang sangat berharga.
13.Ibu Maria Magdalena Nimas Eki Suprawati, M.Si., terima kasih atas ilmu, dukungan, keramahan, dan kesempatan yang dapat saya alami selama menempuh studi.
14.Bapak V. Didik Suryo Hartoko, M.Si., terima kasih untuk ilmu, kekritisan, dan kuliah-kuliah Bapak yang selalu membuat saya berpikir berhari-hari. 15.Ibu Monica Eviandaru Madyaningrum, M.App.Psych., terima kasih atas
(13)
xiii
16.Ibu Sylvia Carolina MYM., M.Si. dan Mbak P. Henrietta PDADS., M.A.,, terima kasih atas kesempatan, ilmu, dan keramahan yang telah diberikan. 17.Ibu Lusia Pratidarmanastiti, M.S., terima kasih atas keramahan dan
inspirasinya. Terima kasih juga atas pemaknaan yang Ibu berikan.
18.Segenap staf pengajar yang memberikan saya keutuhan makna selama saya menempuh pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma: Ibu Titik Kristiyani, M.Si., Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si., Ibu Dewi Soerna Anggraeni, M.Psi., Bapak Drs. H. Wahyudi, M.Si., Prof. Dr. A. Supratiknya, Romo A. Priyono Marwan, Ph.D., SJ., Prof. J. Subagja, Bapak Minto Istono, M.Si., Bapak C. Wijoyo Adi Nugroho, M.Si. Terima kasih atas ilmu, keramahan, dan kemurahan hati Bapak dan Ibu sekalian. 19.Sekolah-sekolah yang menjadi tempat pengambilan sampel untuk skripsi
ini. Terima kasih atas kemurahan hati dan kerjasamanya.
20.Segenap staf administratif Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma: Ibu M.B. Rohaniwati, Mas Y. Gandung Widyantoro, Pak Gi. Terima kasih atas pelayanan yang sangat baik, keramahan, kemurahan hati, dan kerjasamanya.
21.Segenap staf laboratorium Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma: Mas P. Mujiono dan Mas AG. Doni Indarto. Terima kasih atas kepercayaan dan pelayanan yang sangat baik.
22.Segenap staf perpustakaan Universitas Sanata Dharma, terima kasih atas pelayanan yang sangat baik. Terima kasih telah membuat perpustakaan sebagai tempat belajar yang kondusif, tempat kontemplasi, dan tempat
(14)
xiv
yang sangat nyaman untuk menghabiskan waktu luang. Terima kasih atas informasi dan kepercayaan yang diberikan.
23.Segenap staf pelayanan kebersihan dan keamanan Universitas Sanata Dharma, terima kasih atas kebersihan, keamanan, dan lingkungan kampus yang akan selalu dirindukan.
24.Teman-teman angkatan 2007, 2008, 2009, 2010, 2011, dan 2012, khususnya Ci Puji, Mba Tinna, Nino, Ci Nana, Mba Berta, Mba Ica, Mba Mengthy, Ci Jeje, Miss Titien, Kak Licia, Rani, Mei mei, dan segenap teman, segenap asisten, mantan anak asisten, dan kenalan lain yang tidak dapat disebutkan di sini. Terima kasih atas pertemanan, dukungan, dan senyuman kalian.
25.Teman-teman seperjuangan: Ong Imelda Gunawan, S.TP., Jevri Eka Susilo, Edo Elkana, terima kasih atas kemurahan hati, kebaikan, ketulusan, dan tawa yang ada karena eksistensi kalian.
26.Lia Susanti, S.Farm. terima kasih karena telah menjadi rekan penulis skripsi, rekan berbagi, teman yang baik. Terima kasih atas segala kemurahan hati, penerimaan, dan kasih dalam Tuhan Yesus Kristus.
27.Yosef Indra Sidharta, S.E., terima kasih telah menjadi teman yang luar biasa baik dan memahami. Terima kasih atas setiap dukungan dan semangatnya.
28.Teman-teman kos Dewi 1: Ci Jojo, Anggi, Alvia, Istri, Nanda, Mita, Pricil, Raisa, Rani, Rea. Terima kasih atas saat-saat dimana saya merasa menjadi mahasiswa seutuhnya.
(15)
xv
29.Untuk kamu, terima kasih telah menjadi bagian penuh makna dalam kehidupan yang singkat ini. Semoga Tuhan Yesus Kristus memberkati kalian kini, nanti, dan selamanya.Hiduplah selalu dalam kebahagiaan! 30.Dan untuk para pembaca skripsi ini, semoga Anda menemukan makna
dalam penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis terbuka pada saran dan kritik terkait dengan karya tulis ini. Semoga karya ini dapat menambah kajian ilmu psikologi dan bermanfaat secara praktis untuk masyarakat.
Yogyakarta, 27 Januari 2014 Penulis
(16)
xvi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xvi
DAFTAR TABEL ... xx
DAFTAR SKEMA ... xxi
DAFTAR LAMPIRAN ... xxii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 8
1. Manfaat Teoritis ... 8
(17)
xvii
BAB II LANDASAN TEORI ... 9
A. Sikap ... 9
1. Definisi Sikap ... 9
2. Komponen Sikap ... 9
3. Pembentukan Sikap ... 10
B. Homoseksualitas ... 11
1. Orientasi Seksual dan Homoseksualitas... 11
2. Homoseksualitas dan Nonkonformitas Gender ... 12
C. Sikap terhadap Homoseksualitas... 13
1. Definisi Sikap terhadap Homoseksualitas ... 13
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap terhadap Homoseksualitas ... 14
3. Komponen Sikap terhadap Homoseksualitas ... 16
D. Sekolah Homogen dan Heterogen ... 17
1. Definisi Sekolah Homogen dan Heterogen ... 17
2. Promosi Peran Gender Tradisional pada Sekolah Homogen... 18
3. Promosi Peran Gender Tradisional pada Sekolah Heterogen ... 19
4. Gambaran Sikap terhadap Homoseksualitas pada Murid Sekolah Homogen dan Heterogen ... 20
(18)
xviii
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 23
A. Jenis Penelitian ... 23
B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 23
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 23
1. Sikap terhadap Homoseksualitas... 23
2. Jenis Sekolah ... 24
D. Subjek Penelitian ... 25
E. Metode dan Instrumen Penelitian... 25
F. Kredibilitas Instrumen Penelitian ... 30
1. Uji Validitas ... 30
2. Uji Reliabilitas ... 30
3. Hasil Uji Alat Ukur ... 31
a. Hasil Uji Reliabilitas ... 31
b. Hasil Uji Kualitas Aitem ... 31
G. Metode Analisis Data ... 34
1. Uji Normalitas ... 34
2. Uji Homogenitas ... 34
3. Uji Hipotesis ... 35
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 36
A. Pelaksanaan Penelitian ... 36
1. Persiapan Penelitian ... 36
2. Proses Penelitian ... 36
(19)
xix
B. Hasil Penelitian ... 39
1. Deskripsi Data Penelitian ... 39
2. Hasil Uji Asumsi ... 40
3. Hasil Uji Hipotesis ... 41
C. Analisis Data Tambahan ... 42
D. Pembahasan ... 43
BAB V PENUTUP ... 49
A. Kesimpulan ... 49
B. Keterbatasan Penelitian ... 49
C. Saran ... 49
1. Bagi anggota orientasi seksual minoritas ... 49
2. Bagi murid-murid sekolah homogen dan heterogen ... 50
3. Bagi penelitian selanjutnya ... 51
DAFTAR PUSTAKA ... 52
(20)
xx
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Tabel Spesifikasi Skala Sikap terhadap Homoseksualitas Sebelum
Seleksi Aitem ... 27
Tabel 2 Cetak Biru Skala Sikap terhadap Homoseksualitas Sebelum Seleksi Aitem ... 28
Tabel 3 Sistem Skoring untuk Pernyataan Favorable ... 29
Tabel 4 Sistem Skoring untuk Pernyataan Unfavorable ... 29
Tabel 5 Cetak Biru Skala Sikap terhadap Homoseksualitas Sebelum dan Sesudah Seleksi Aitem ... 33
Tabel 6 Karakteristik Usia Subjek ... 38
Tabel 7 Karakteristik Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 39
Tabel 8 Karakteristik Subjek Berdasarkan Tingkatan Kelas ... 39
Tabel 9 Statistik Deskriptif Data Penelitian ... 40
Tabel 10 Ringkasan Hasil Uji Normalitas ... 40
Tabel 11 Ringkasan Hasil Uji Homogenitas ... 41
(21)
xxi
DAFTAR SKEMA
Skema 1 Skema Perbedaan Sikap terhadap Homoseksualitas pada Siswa Sekolah Homogen dan Heteogen ... 22
(22)
xxii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Skala Sikap terhadap Homoseksualitas Sebelum Uji Coba ... 56 Lampiran 2 Skala Sikap terhadap Homoseksualitas Sesudah Uji Coba ... 64 Lampiran 3 Analisis Reliabilitas Skala dan Kualitas Aitem Skala... 72 Lampiran 4 Analisis Data ... 76
(23)
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Beberapa tahun belakangan ini, muncul penelitian-penelitian di Amerika Serikat yang berfokus pada pengalaman anak-anak muda lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di sekolah (Kosciw, Greytak, & Diaz, 2009). Sebagai contoh, Kosciw dan Diaz (2008) meneliti pengalaman negatif anak-anak muda LGBT di sekolah. Sementara itu, D’Augelli (2006) meneliti kekerasan yang dialami oleh anak-anak muda LGBT di sekolah. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan tersebut menemukan bahwa anak-anak muda LGBT rentan mengalami hal-hal yang negatif di sekolah yang disebabkan oleh orientasi seksual, identitas gender, dan ekspresi gender mereka (Kosciw et al., 2009).
Hal-hal negatif yang dialami anak-anak muda LGBT di sekolah ini membuat sekolah dapat menjadi lingkungan yang kurang menyenangkan bagi anak-anak muda yang tidak mengidentifikasikan dirinya sebagai heteroseksual (Wilkinson & Pearson, 2009). Anak-anak muda yang memiliki ketertarikan homoseksual (lesbian, gay, dan biseksual) rentan untuk mengalami kekerasan verbal, fisik (Bontempo & D’Augelli, 2002; D’Augelli, 2006), seksual (D’Augelli, Grossman, & Starks, 2006; Wyss, 2004), dan psikologis (Pearson, Muller, & Wilkinson, 2007; Ueno, 2005). D’Augelli, Grossman, dan Starks (2006) menemukan bahwa 56% kekerasan fisik dialami oleh remaja yang
(24)
memiliki ketertarikan homoseksual di sekolah. Di sekolah, anak-anak muda yang memiliki ketertarikan homoseksual juga rentan untuk mengalami isolasi dan masalah interpersonal dengan teman sebaya (Pearson et , 2007; Ueno, 2005). Ueno (2005) menemukan bahwa anak-anak dari kalangan seksual minoritas cenderung kurang lekat dengan teman-temannya di sekolah, dan dengan demikian mereka memiliki jumlah teman yang sedikit di sekolah. Hal-hal negatif yang dialami oleh anak-anak muda dari kalangan seksual minoritas ini menyebabkan mereka memiliki distress psikologis yang lebih tinggi dibandingkan anak-anak muda yang berasal dari kalangan seksual mayoritas (Ueno, 2005). Selain itu, dampak psikologis dari kekerasan yang dialami anak-anak ini lebih parah dibandingkan dengan orang dewasa (Bontempo & D’Augelli, 2002).
Hal-hal negatif yang dialami oleh anak-anak dari kalangan seksual minoritas ini sangat mempengaruhi perkembangan dan kesehatan mental mereka. Anak-anak muda yang memiliki ketertarikan homoseksual seringkali merasa tidak aman dan nyaman berada di sekolah (Kosciw et al., 2009). Hal ini menyebabkan mereka cenderung tidak masuk sekolah (Bontempo & D’Augelli, 2002; Kosciw, et al., 2009; Kosciw, Greytak, Bartkiewicz, Boesen, & Palmer, 2012; Wyss, 2004) dan tidak terintegrasi secara sosial dengan sekolah (Pearson et al., 2007). Pearson dan rekan-rekannya (2007) menemukan anak-anak muda yang memiliki ketertarikan homoseksual merasa tidak terikat dengan sekolahnya dan kesulitan menjalin keterikatan dengan sekolahnya. Selain itu, mereka juga memiliki pemikiran untuk membunuh
(25)
dirinya dan resiko bunuh diri yang meningkat (Bontempo & D’Augelli, 2002; Espelage, Aragon, Birkett, & Koenig, 2008; Russell, 2003; Wyss, 2004). Anak-anak muda ini memiliki resiko untuk terlibat dalam penyalahgunaan obat (Bontempo & D’Augelli, 2002; Espelage et al, 2008; Jordan, 2000; Pearson et al., 2007). Bentuk-bentuk penyalahgunaan obat ini antara lain penggunaan alkohol, mariyuana, kokain, rokok, dan jenis narkotika lainnya (Bontempo & D’Augelli, 2002). Resiko untuk terlibat dalam penyalahgunaan obat ini terkait dengan perasaan terasing dari masyarakat, usaha untuk meringankan depresi dan perasaan terisolasi, dan untuk melepaskan diri dari stress kronis karena stigma yang mereka terima dari masyarakat (Jordan, 2000).
Dampak lain dari kekerasan yang diterima oleh anak-anak muda dari kalangan seksual monoritas tersebut adalah meningkatnya resiko terlibat dalam perilaku seksual yang beresiko (Bontempo & D’Augelli, 2002). Hal-hal ini berdampak pada performansi sekolah dan penghargaan diri anak-anak dari kalangan seksual minoritas. Performansi sekolah mereka menurun (Kosciw et al., 2012; Pearson et al., 2007; Ueno, 2005; Wyss, 2004) dan mereka memiliki penghargaan diri yang rendah (Pearson et al., 2007; Wyss, 2004).
Kekerasan-kekerasan yang dialami oleh anak-anak muda dari kalangan seksual minoritas tersebut disebabkan karena sikap yang negatif terhadap homoseksualitas (lihat Rathus, Nevid, & Fichner-Rathus, 2008). Sikap adalah evaluasi seseorang terhadap aspek kehidupan sosial tertentu (Baron, Bryne, & Branscombe, 2006). Salah satu hal yang membentuk sikap
(26)
yang negatif terhadap homoseksualitas adalah keyakinan terhadap peran gender tradisional (Herek, 1988; Horn, 2012; Whitley & Kite, 2010). Peran gender tradisional adalah stereotip mengenai sekelompok karakteristik yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan, yang membedakan kedua gender tersebut (lihat Baron et al., 2006). Dengan kata lain, peran gender tradisional adalah pandangan masyarakat mengenai bagaimana laki-laki dan perempuan harus berperilaku dan karakteristik kepribadian apa saja yang harus mereka miliki sesuai jenis kelamin mereka. Orang-orang yang memegang peran gender tradisional memiliki sikap yang lebih negatif terhadap orang-orang homoseksual (Herek, 1988; Whitley & Kite, 2010). Hal ini dikarenakan orang-orang homoseksual diyakini memiliki nonkonformitas gender, sehingga mereka dianggap menyimpang dari peran gender yang seharusnya mereka tampilkan.
Nonkonformitas gender adalah ekspresi perilaku yang tidak konsisten dengan peran gender terkait anatomi seksual seseorang (Rathus et al., 2008). Masyarakat memiliki stereotip bahwa orang-orang homoseksual memiliki nonkonformitas gender, dalam hal ini terkait penampilan fisik dan peran sosial mereka, seperti pria gay berlaku seperti wanita heteroseksual dan wanita lesbian berlaku seperti pria heteroseksual (Whitley & Kite, 2010). Dengan demikian, masyarakat memiliki keyakinan bahwa orang-orang homoseksual menyimpang dari peran gender mereka. Berdasarkan penjelasan di atas mengenai pengaruh keyakinan terhadap peran gender tradisional pada sikap terhadap homoseksualitas, masyarakat akan cenderung memiliki sikap yang
(27)
negatif terhadap orang-orang homoseksual. Hal ini dikarenakan orang-orang homoseksual, yang diasumsikan memiliki nonkonformitas gender, dianggap menyimpang dari peran gender mereka.
Sekolah memiliki peran yang penting bagi anak muda homoseksual (Jordan, 2000). Anak-anak muda homoseksual membutuhkan lingkungan sekolah yang aman untuk menunjang perkembangannya. Sekolah-sekolah tertentu dapat menjadi tempat yang kurang aman bagi anak-anak muda homoseksual. Hal ini disebabkan karena jenis sekolah tertentu dapat mempromosikan sikap yang negatif terhadap homoseksualitas. Promosi sikap yang negatif terhadap homoseksualitas ini terkait dengan promosi peran gender tradisional kepada murid-muridnya.
Sekolah homogen, atau sekolah yang seluruh muridnya memiliki jenis kelamin yang sama cenderung mempromosikan seksisme kepada murid-muridnya (lihat Lee, Marks, & Byrd, 1994). Seksisme merupakan sebuah bias dan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin (lihat Lee et al., 1994). Seksisme merupakan manifestasi dari keyakinan terhadap peran gender tradisional. Martino dan Frank (2006) menemukan bahwa sekolah homogen khusus laki-laki di Australia memiliki sistem pendidikan yang mempromosikan maskulinitas. Hal yang sama mungkin saja terjadi di sekolah homogen di tempat lain. Demikian pula Charles (2004) menemukan bahwa sekolah homogen khusus perempuan mempromosikan femininitas. Sementara itu, seksisme tidak dipromosikan pada sekolah heterogen (Lee et al., 1994), yaitu sekolah yang memiliki murid dari kedua jenis kelamin. Sekolah heterogen
(28)
juga membuka kesempatan bagi murid-muridnya untuk berinteraksi dengan lawan jenisnya sehingga anggota kedua jenis kelamin dapat saling mengerti satu sama lain (Ogden, 2011). Promosi maskulinitas dan femininitas pada sekolah homogen akan menyebabkan murid-murid sekolah homogen cenderung memiliki keyakinan yang lebih kuat terhadap peran gender tradisional dibandingkan dengan murid-murid sekolah heterogen. Hal ini akan membuat sikap murid-murid sekolah homogen terhadap homoseksualitas cenderung lebih negatif dibandingkan murid-murid sekolah heterogen.
Berdasarkan uraian di atas mengenai promosi peran gender tradisional pada sekolah homogen dan heterogen, tampak bahwa jenis sekolah dapat mempengaruhi sikap terhadap homoseksualitas. Penelitian ini bermaksud untuk melihat apakah ada perbedaan sikap terhadap homoseksualitas antara murid sekolah homogen dan heterogen. Hasil penelitian ini akan memberikan gambaran mengenai sekolah mana yang memberikan perasaan yang lebih aman bagi anak-anak muda homoseksual. Iklim sekolah yang aman dicirikan dengan sikap terhadap perbedaan individu yang positif dan perasaan aman murid ketika berada di sekolah (Cohen, McCabe, Michelli, & Pickeral, 2009). Sekolah yang aman juga mendorong anak-anak muda homoseksual untuk memiliki kelekatan dan keterikatan dengan sekolah (bandingkan Pearson et al., 2007; Robinson & Espelage, 2011) yang menghasilkan performansi akademik yang lebih baik.
Penelitian ini penting untuk dilaksanakan karena hingga penelitian ini dilakukan, belum ada penelitian yang meneliti perbedaan sikap terhadap
(29)
homoseksualitas pada murid sekolah homogen dan heterogen. Hingga saat ini, penelitian yang telah dilakukan berkisar pada sikap terhadap homoseksualitas pada remaja secara umum (bandingkan Bontempo & D’Augelli, 2002; D’Augelli et al., 2006; Diaz & Kosciw, 2009; Espelage et al., 2008; Goodenow, Szalacha, & Westheimer, 2006) dan belum menyelidiki lebih lanjut kelompok remaja tertentu, seperti remaja dari etnik tertentu atau remaja yang berasal dari jenis sekolah tertentu. Berdasarkan hal tersebut, penelitian yang berfokus pada kelompok remaja tertentu menjadi penting untuk dilakukan untuk memperoleh gambaran utuh mengenai sikap terhadap homoseksualitas. Selain itu, penelitian ini juga dapat menjadi dasar untuk melakukan langkah berikutnya dalam memastikan terciptanya iklim sekolah yang aman dan sehat.
B. Rumusan Masalah
Adakah perbedaan sikap terhadap homoseksualitas pada murid sekolah homogen dan heterogen?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perbedaan sikap terhadap homoseksualitas pada siswa sekolah homogen dan heterogen. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk memeriksa perbedaan sikap terhadap homoseksualitas pada siswa sekolah homogen dan heterogen.
(30)
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat memberikan tambahan informasi pada ranah studi orientasi seksual dan psikologi sosial, terutama sikap terhadap anggota orientasi seksual minoritas.
2. Manfaat Praktis
a. Pada anggota orientasi seksual minoritas
Penelitian ini dapat memberikan tambahan informasi sebagai bahan pertimbangan dalam memilih sekolah baginya atau orang lain sesama anggota orientasi seksual minoritas.
b. Pada murid sekolah homogen dan heterogen
Penelitian ini dapat menjadi sarana murid sekolah homogen dan heterogen untuk merefleksikan sikap mereka terhadap orang-orang anggota orientasi seksual minoritas.
(31)
9
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Sikap
1. Definisi Sikap
Sikap adalah evaluasi seseorang terhadap berbagai aspek kehidupan sosial (Baron, Byrne, & Branscombe, 2006), seperti orang-orang, obyek, ataupun ide-ide (Aronson, Wilson, & Akert, 2005). Evaluasi ini akan mempengaruhi seseorang dalam bertindak dan merasa pada cara-cara tertentu (Lahey, 2012). Sikap seseorang terhadap suatu aspek kehidupan sosial dapat positif maupun negatif. Sikap yang positif dimaksudkan sebagai evaluasi menyenangkan dari seseorang terhadap suatu aspek kehidupan sosial tertentu, sementara sikap yang negatif merujuk pada evaluasi tidak menyenangkan. Seseorang juga dapat memiliki sikap yang positif sekaligus negatif pada suatu aspek kehidupan sosial tertentu (Baron et al., 2006).
2. Komponen Sikap
Berdasarkan definisi sikap menurut Lahey (2012), sikap memiliki tiga komponen yaitu keyakinan, perasaan, dan kecenderungan untuk bertindak. Hal ini selaras dengan komponen sikap menurut Aronson, Wilkinson, dan Akert (2005) yang menyatakan bahwa sikap memiliki komponen afektif, kognitif, dan perilaku. Komponen afektif terdiri dari reaksi emosional seseorang terhadap suatu aspek kehidupan sosial.
(32)
Komponen kognitif terdiri dari pemikiran dan keyakinan mengenai suatu aspek kehidupan sosial. Sementara itu, komponen perilaku terdiri dari tindakan atau perilaku tampak terhadap suatu aspek kehidupan sosial. 3. Pembentukan Sikap
Hampir semua psikolog sosial meyakini bahwa sikap terbentuk karena proses belajar (Baron et al., 2006). Pengalaman sosial seseorang berperan penting dalam membentuk sikapnya (Aronson et al., 2005). Seseorang memiliki sikap tertentu dari interaksinya dengan orang lain atau semata-mata mengamati perilaku mereka (Baron et al., 2006). Berdasarkan teori belajar, sikap terbentuk melalui pengkondisian klasik, pengkondisian instrumental, pembelajaran melalui pengamatan, dan pengaruh dari perbandingan sosial (Baron et al., 2006; lihat juga Aronson et al., 2005; Lahey, 2012).
Teori pengkondisian klasik menyatakan bahwa sikap terbentuk melalui proses asosiasi suatu aspek kehidupan sosial dengan pengalaman tertentu. Sementara itu, teori pengkondisian instrumental menyatakan bahwa sikap terbentuk karena adanya penguatan atau hukuman yang didapat seseorang ketika merespon aspek kehidupan sosial tertentu. Teori belajar melalui pengamatan menyatakan sikap terbentuk dari pengamatan terhadap perilaku orang lain ketika orang tersebut merespon suatu aspek kehidupan sosial. Selain itu, pengaruh perbandingan sosial mempengaruhi sikap seseorang dengan membandingkan sikap yang dimiliki orang
(33)
tersebut dengan sikap orang-orang di sekitarnya untuk menentukan apakah sikapnya benar atau tidak.
B. Homoseksualitas
1. Orientasi Seksual dan Homoseksualitas
Orientasi seksual merujuk pada pola ketertarikan emosional, romantik, dan seksual yang menetap kepada anggota jenis kelamin yang sama atau berbeda dari dirinya, maupun keduanya (APA, 2008; Rathus et al., 2008). Orientasi seksual juga meliputi perasaan identitas seseorang berdasarkan ketertarikan, perilaku terkait, dan keanggotaan pada komunitas yang beranggotakan orang-orang dengan ketertarikan tersebut (APA, 2008). Orientasi seksual biasanya dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu orientasi heteroseksual, homoseksual, dan biseksual.
Orientasi heteroseksual merujuk pada ketertarikan emosi, romantik, dan erotik yang menetap serta kecenderungan untuk mengem-bangkan hubungan romantik pada anggota jenis kelamin yang berbeda dengan dirinya (APA, 2008; Rathus et al., 2008). Sebaliknya, orientasi homoseksualitas merujuk pada ketertarikan emosi, romantik, dan erotik yang menetap serta kecenderungan untuk mengembangkan hubungan romantik pada anggota jenis kelamin yang sama dengan dirinya (APA, 2008; Rathus et al., 2008). Sementara itu, orientasi biseksualitas merujuk pada ketertarikan emosi, romantik, dan erotik yang menetap serta
(34)
kecenderungan untuk mengembangkan hubungan romantik pada anggota kedua jenis kelamin.
2. Homoseksualitas dan Nonkonformitas Gender
Banyak orang mengira orang-orang homoseksual ingin menjadi anggota lawan jenis kelaminnya karena mereka tertarik dengan anggota sesama jenis kelaminnya (Rathus et al., 2008). Meskipun demikian, homoseksualitas berbeda dari transgender. Transgender merupakan sebuah istilah bagi orang-orang yang identitas dan ekspresi gendernya tidak konform dengan jenis kelamin mereka saat lahir (APA, 2011). Orang-orang transgender menjalani kehidupannya dengan mengikuti peran gender lawan jenisnya (APA, 2011). Orang-orang homoseksual belum tentu merupakan seorang transgender (lihat APA, 2011).
Beberapa orang homoseksual menunjukkan nonkonformitas gender, tetapi hal ini tidak dapat digeneralisasikan kepada semua orang homoseksual. Nonkonformitas gender adalah ekspresi perilaku yang tidak konsisten dengan peran gender terkait anatomi seksual seseorang (Rathus, et al., 2008). Beberapa laki-laki homoseksual melaporkan nonkonformitas gender yang disadari sejak kecil, demikian juga beberapa perempuan homoseksual melaporkan perilaku maskulin saat masih kanak-kanak (Rathus et al., 2008). Hal ini terkait dengan faktor biologis terjadinya homoseksualitas, dimana orang-orang homoseksual memiliki struktur neurologis yang cenderung mirip dengan orang-orang yang berjenis kelamin berbeda dari dirinya (LeVay, 2012). Meskipun demikian,
(35)
beberapa orang homoseksual lainnya tidak menunjukkan nonkonformitas gender dan memiliki ekspresi gender sesuai dengan jenis kelaminnya.
Beberapa orang homoseksual berusaha untuk menunjukkan konformitas gender untuk menyembunyikan identitasnya sebagai homoseksual. Hal ini terkait dengan anggapan masyarakat bahwa orang-orang homoseksual cenderung memiliki nonkonformitas gender (Whitley & Kite, 2010). Dengan menunjukkan konformitas gender, orang-orang homoseksual yang menyembunyikan identitasnya akan merasa lebih terlindungi dari diskriminasi, prasangka, dan stereotip sehingga mereka merasa lebih aman (bandingkan D’Augelli et al., 2006; Whitley & Kite, 2010). Sementara itu, beberapa orang homoseksual lainnya memiliki kecenderungan alami untuk menunjukkan konformitas gender. Hal ini semata-mata dikarenakan karakteristik individu bawaan yang dimiliki oleh orang tersebut (lihat LeVay, 2012).
C. Sikap terhadap Homoseksualitas
1. Definisi Sikap terhadap Homoseksualitas
Sikap adalah evaluasi seseorang terhadap aspek-aspek kehidupan sosial (Baron et al., 2006). Evaluasi tersebut diantaranya adalah evaluasi terhadap orang-orang (Aronson et al., 2005). Berdasarkan definisi tersebut, sikap terhadap homoseksualitas adalah evaluasi seseorang terhadap homo-seksualitas.
Sikap seseorang terhadap homoseksualitas dapat positif maupun negatif. Sikap yang positif terhadap homoseksualitas merujuk pada reaksi
(36)
menyenangkan atau menerima terhadap orang-orang homoseksual maupun homoseksualitas secara umum. Sebaliknya, sikap yang negatif terhadap homoseksualitas merujuk pada reaksi tidak menyenangkan atau menolak terhadap orang-orang homoseksual maupun homoseksualitas secara umum.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap terhadap Homoseksualitas
Sikap terhadap homoseksualitas dipengaruhi oleh ajaran agama (lihat Moon, 2002: Olson et al., 2006) dan keyakinan terhadap peran gender tradisional (Herek, 1988; Horn, 2012; Whitley & Kite, 2010). Masing-masing faktor yang mempengaruhi sikap terhadap homoseksualitas tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a. Pengaruh agama pada sikap terhadap homoseksualitas
Beberapa agama tertentu memiliki sikap yang negatif terhadap homoseksualitas. Agama-agama tersebut diantaranya Kristianitas, Islam, dan Yahudi (Moon, 2002; lihat juga Olson et al., 2006). Meskipun sama-sama memiliki sikap yang negatif terhadap homoseksualitas, beberapa pemeluk agama tertentu memiliki sikap yang lebih negatif terhadap homoseksualitas dibandingkan pemeluk agama lainnya. Orang-orang yang memeluk agama Islam memiliki sikap yang lebih negatif dan tidak menerima homoseksualitas dibandingkan dengan orang-orang beragama lain atau tidak menganut kepercayaan tertentu (Adamczyk & Pitt, 2009). Orang-orang yang memeluk agama Katolik, Yahudi, Kristen Ortodoks, Buddha, Hindu,
(37)
dan orang-orang yang tidak menganut sistem kepercayaan tertentu memiliki sikap yang lebih positif terhadap homoseksualitas dibandingkan orang-orang yang memeluk agama Islam (Adamczyk & Pitt, 2009). Di sisi lain, Adamczyk dan Pitt (2009) juga menemukan bahwa sikap pemeluk agama Kristen Protestan terhadap homoseksualitas juga tidak lebih positif daripada pemeluk agama Islam. Dengan demikian, dalam konteks sosial Indonesia, orang-orang yang memeluk agama Islam dan Kristen Protestan akan memiliki sikap yang lebih negatif terhadap homoseksualitas dibandingkan dengan orang-orang yang memeluk agama Katolik, Hindu, maupun Buddha. b. Pengaruh keyakinan terhadap peran gender tradisional pada sikap
terhadap homoseksualitas
Orang-orang yang memiliki keyakinan terhadap peran gender tradisional yang kuat memiliki sikap yang negatif terhadap homoseksualitas (Herek, 1988; Horn, 2012; Whitley & Kite, 2010). Peran gender tradisional adalah stereotip mengenai sekelompok karakteristik yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan, yang membedakan kedua gender tersebut (lihat Baron et al., 2006). Dengan kata lain, peran gender tradisional adalah pandangan masyarakat mengenai bagaimana laki-laki dan perempuan harus berperilaku dan karakteristik kepribadian apa saja yang harus mereka miliki sesuai jenis kelamin mereka.
(38)
Penyimpangan dari peran gender tradisional dapat memicu sikap yang negatif dan penolakan dari orang lain (bandingkan Whitley & Kite, 2010). Masyarakat secara umum menganggap bahwa orang-orang homoseksual menyimpang dari peran gender tradisional (Rathus et al., 2008; Whitley & Kite, 2010). Masyarakat cenderung meyakini bahwa laki-laki yang feminin dan perempuan yang maskulin adalah homoseksual (Whitley & Kite, 2010). Dengan demikian, masyarakat akan cenderung memiliki sikap yang negatif dan menolak orang-orang homoseksual karena orang-orang homoseksual menyimpang dari peran gender tradisional.
3. Komponen Sikap terhadap Homoseksualitas
LaMar dan Kite (1998) meneliti sikap terhadap homoseksualitas pada laki-laki dan perempuan. Mereka membagi sikap terhadap homo-seksualitas dalam empat komponen. Komponen-komponen tersebut adalah sebagai berikut:
a. Moralitas homoseksual
Moralitas homoseksual merupakan komponen sikap terhadap homoseksualitas dengan cara melihat evaluasi seseorang mengenai keselarasan homoseksualitas dengan nilai-nilai moral.
b. Toleransi/generalisasi hukuman kepada orang-orang homoseksual Toleransi/generalisasi hukuman kepada orang-orang homoseksual merupakan komponen sikap terhadap homoseksualitas
(39)
yang berusaha melihat evaluasi seseorang mengenai harus/tidaknya seorang homoseksual dihukum/diterima.
c. Kontak dengan orang-orang homoseksual
Kontak dengan orang-orang homoseksual adalah komponen sikap terhadap homoseksualitas yang berusaha melihat evaluasi seseorang mengenai kenyamanan dirinya ketika harus menjalin kontak dengan orang-orang homoseksual.
d. Stereotip terhadap orang-orang homoseksual
Stereotip terhadap orang-orang homoseksual merupakan komponen sikap terhadap homoseksualitas yang berusaha melihat stereotip yang dimiliki seseorang terhadap orang-orang homoseksual.
Pada penelitian ini, komponen kognitif, afektif, dan konatif sikap (Aronson, Wilson, & Akert, 2005) digabungkan dengan komponen sikap terhadap homoseksualitas menurut LaMar & Kite (1998). Masing-masing komponen kognitif, afektif, dan konatif sikap mencakup komponen sikap terhadap homoseksualitas menurut LaMar & Kite (1998).
D. Sekolah Homogen dan Heterogen
1. Definisi Sekolah Homogen dan Heterogen
Sekolah homogen secara umum merujuk pada pendidikan di tingkat dasar, menengah, dan lanjut yang mana laki-laki dan perempuan mengenyam masa sekolah dengan anggota sesama jenis kelaminnya (U.S. Department of Education, 2005). Berdasarkan definisi tersebut, sekolah homogen laki-laki adalah sebuah sekolah yang terdiri dari murid yang
(40)
seluruhnya berjenis kelamin laki-laki. Sementara itu, sekolah homogen perempuan adalah sebuah sekolah yang terdiri dari murid yang seluruhnya berjenis kelamin perempuan. Sejalan dengan penjelasan sekolah homogen oleh U.S. Department of Education (2005) tersebut, sekolah heterogen merupakan sebuah sistem pendidikan dimana laki-laki dan perempuan mengenyam masa sekolah dengan anggota sesama maupun berbeda dari jenis kelaminnya. Dengan kata lain, sekolah heterogen merupakan sebuah sekolah yang terdiri dari murid laki-laki dan perempuan.
2. Promosi Peran Gender Tradisional pada Murid Sekolah Homogen
Martino dan Frank (2006) melakukan penelitian pada sebuah sekolah homogen laki-laki dan menemukan sistem pendidikan untuk mempromosikan maskulinitas. Guru-guru pada sekolah khusus laki-laki tersebut mengajarkan dan membina hubungan dengan para siswanya untuk menumbuhkan maskulinitas (Martino & Frank, 2006). Selain itu, guru-guru juga dituntut untuk menjadi contoh maskulinitas (Martino & Frank, 2006). Guru-guru di sekolah khusus laki-laki tersebut harus menunjukkan maskulinitasnya, seperti menjadi pelatih tim olahraga sepakbola (Martino & Frank, 2006). Selain itu, ketidaksetaraan gender juga dipromosikan pada sekolah khusus laki-laki (Lee et al., 1994). Hal ini tampak dari sistem pengajaran yang mensosialisasikan kontrol dan kekuasaan atas perempuan dan penempatan perempuan sebagai objek seksual (Lee et al., 1994).
Femininitas juga dipromosikan pada sekolah khusus perempuan (Charles, 2004). Lee, Marks, dan Byrd (1994) menemukan guru-guru
(41)
sekolah homogen khusus perempuan juga mendorong murid-muridnya untuk menjadi dependen dan kekanak-kanakan, suatu perilaku yang merupakan stereotip peran gender perempuan. Dengan demikian, murid-murid sekolah homogen akan memiliki keyakinan yang kuat terhadap peran gender tradisional karena sistem sekolah yang mempromosikan maskulinitas (pada sekolah homogen laki-laki) dan femininitas (pada sekolah homogen perempuan).
3. Promosi Peran Gender Tradisional pada Sekolah Heterogen
Sekolah heterogen membuka kesempatan bagi para murid-muridnya untuk saling berinteraksi dengan lawan jenisnya sehingga anggota kedua jenis kelamin dapat saling mengerti satu sama lain (Ogden, 2011). Murid-murid sekolah heterogen dapat belajar bagaimana lawan jenisnya berpikir, merasa, merespon, dan bereaksi (Ogden, 2011). Hal ini dapat membuat murid-murid sekolah heterogen cenderung memiliki persepsi peran gender tradisional yang rendah karena adanya proses saling memahami antara satu gender dengan yang lainnya. Selain itu, sekolah heterogen cenderung tidak mempromosikan pembentukan stereotip berdasarkan peran gender (Lee et al., 1994). Dengan kata lain, sekolah heterogen cenderung tidak mempromosikan peran gender tradisional. Lee, Marks, dan Byrd (1994) juga menemukan tingkat seksisme (diskriminasi berdasarkan jenis kelamin yang didasarkan pada pemahaman bahwa laki-laki lebih superior dari perempuan) yang lebih rendah dan kesetaraan antar gender yang lebih tinggi pada sekolah heterogen. Dengan demikian,
(42)
murid-murid sekolah heterogen akan cenderung menerima kehadiran orang-orang yang tidak mengikuti peran gender tradisional, sehingga murid-murid sekolah heterogen akan cenderung lebih menerima homoseksualitas.
4. Gambaran Sikap terhadap Homoseksualitas pada Murid Sekolah Homogen dan Heterogen
Sekolah homogen memiliki sistem pendidikan untuk mempromosikan maskulinitas (pada sekolah homogen laki-laki) dan femininitas (pada sekolah homogen perempuan). Hal ini disebabkan tidak hanya melalui proses di kelas (lihat Lee et al., 1994) tetapi juga melalui proses meniru dari para guru (Lee et al., 1994; Martino & Frank, 2006). Pada sekolah homogen, peran gender tradisional juga dikuatkan melalui penyampaian materi pelajaran (Lee et al., 1994). Sebagai contoh, pada sekolah khusus perempuan, rumus kimia dianalogikan dengan resep masakan (Lee et al., 1994). Sementara itu, di sekolah khusus laki-laki, kelas bahasa Inggris menggunakan literatur yang menempatkan perempuan sebagai objek seksual (Lee et al., 1994). Dengan demikian, murid-murid sekolah homogen akan memiliki keyakinan akan peran gender tradisional yang kuat. Oleh karena keyakinan terhadap peran gender tradisional yang kuat dapat membentuk sikap yang negatif terhadap homoseksualitas, murid-murid sekolah homogen akan memiliki sikap yang lebih negatif terhadap homoseksualitas.
(43)
Sekolah heterogen memiliki sistem pengajaran untuk mempromosikan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan (Lee et al., 1994) melalui interaksi yang terbuka antara kedua jenis kelamin (Ogden, 2011). Hal ini dapat membuat murid-murid sekolah heterogen dapat saling memahami kedua jenis kelamin (Ogden, 2011) yang berdampak pada meningkatnya pemahaman para murid akan kesetaraan gender. Selain itu, karena ketidaksetaraan gender tidak diperkuat di sekolah heterogen, murid-murid sekolah heterogen akan saling menganggap bahwa murid lainnya juga merasa pembedaan gender bukanlah suatu hal yang positif. Berdasarkan teori pembentukan sikap berdasarkan perbandingan sosial, murid-murid sekolah heterogen akan memiliki sikap yang cenderung negatif terhadap ketidaksetaraan gender. Dengan demikian, murid-murid sekolah heterogen akan memiliki keyakinan terhadap peran gender tradisional yang cenderung rendah, sehingga sikap murid-murid sekolah heterogen terhadap homoseksualitas akan cenderung lebih positif.
E. Hipotesis
Ada perbedaan sikap terhadap homoseksualitas antara murid sekolah homogen dan heterogen, dimana sikap murid sekolah heterogen lebih positif dibandingkan murid sekolah homogen..
(44)
Skema 1
Skema Dinamika Perbedaan Sikap terhadap Homoseksualitas
pada Murid Sekolah Homogen dan Heterogen
Jenis Kelamin
Sekolah Heterogen Sekolah Homogen
Adanya Promosi Heteroseksualitas
Tidak Adanya Promosi Heteroseksualitas
Tingkat Kepercayaan pada Peran Gender Tradisional
Cenderung Tinggi
Tingkat Kepercayaan pada Peran Gender Tradisional
Cenderung Rendah
Sikap terhadap Homoseksualitas Cenderung Lebih Negatif
Sikap terhadap Homoseksualitas Cenderung Lebih Positif
(45)
23
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif komparatif. Penelitian kuantitatif komparatif menggunakan analisis statistik inferensial yang bertujuan untuk membandingkan rerata dari dua atau lebih kelompok populasi untuk melihat apakah ada perbedaan statistik yang signifikan pada kedua populasi tersebut (lihat Neuman, 2000). Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan sikap terhadap homoseksualitas pada sekolah homogen dan sekolah heterogen.
B. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel Tergantung : Sikap terhadap Homoseksualitas 2. Variabel Bebas : Jenis Sekolah
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Sikap terhadap Homoseksualitas
Sikap terhadap homoseksualitas adalah evaluasi seseorang terhadap orang-orang homoseksual. Evaluasi ini memiliki tiga aspek, yaitu kognitif, afektif, dan konatif. Pada tiap-tiap aspek, aitem-aitem disususn berdasarkan komponen sikap terhadap homoseksualitas yang dikemukakan
(46)
oleh LaMar dan Kite (1998) yaitu keyakinan moralitas orang-orang homoseksual, toleransi seseorang terhadap orang-orang homoseksual, kenyamanan menjalin kontak dengan orang-orang homoseksual, dan stereotip yang dipegang orang tersebut terhadap orang-orang homoseksual. Sikap terhadap homoseksualitas diukur dengan sebuah skala yang melihat penilaian seseorang akan dirinya pada pernyataan-pernyataan yang mewakili masing-masing komponen tersebut. Nilai skala menunjukkan seberapa positif/negatif sikap seseorang terhadap homoseksualitas, dengan nilai yang semakin tinggi menunjukkan sikap yang semakin positif dan nilai yang semakin rendah menunjukkan sikap yang semakin negatif. 2. Jenis Sekolah
Sekolah homogen merupakan sekolah yang memiliki murid berjenis kelamin sama, dapat berupa sekolah yang seluruh muridnya berjenis kelamin laki-laki maupun sekolah yang seluruh muridnya berjenis kelamin perempuan. Sementara itu, sekolah heterogen merupakan sekolah yang muridnya berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Jenis sekolah partisipan penelitian diketahui dengan cara mengelompokkan skala yang telah diisi berdasarkan jenis sekolah dan diberikan kode yang berbeda untuk masing-masing sekolah. Dengan demikian, peneliti dapat mengetahui apakah partisipan penelitian bersekolah di sekolah homogen atau heterogen.
(47)
D. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah murid-murid kelas X hingga XII. Subjek penelitian berasal dari sekolah homogen dan sekolah heterogen yang berada di Indonesia. Pada masing-masing sekolah, partisipan penelitian didapatkan dari tiap tingkatan kelas. Penentuan kelas ditentukan oleh sekolah dengan menyesuaikan kalender akademik dan kesediaan tiap sekolah. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik pengambilan sampel purposif. Teknik pengambilan sampel purposif adalah sebuah cara untuk mengambil sampel berdasarkan tujuan tertentu yang ditetapkan oleh peneliti (Neuman, 2000).
Pada penelitian ini, agama dikontrol karena memiliki pengaruh yang cukup signifikan pada sikap terhadap homoseksualitas. Kontrol terhadap variabel agama ini dilakukan dengan memilih sekolah-sekolah yang memiliki latar belakang agama yang sama. Hal ini dilakukan untuk lebih memastikan bahwa hasil penelitian merupakan pengaruh dari jenis sekolah, bukan latar belakang agama sekolah.
E. Metode dan Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode survei dengan desain lintas sektoral. Pada desain lintas sektoral, pengambilan data dari satu atau lebih populasi dilakukan pada saat yang bersamaan (Creswell, 2009). Penelitian ini menggunakan instrumen berupa skala yang mengukur sikap terhadap homoseksualitas yang disusun sendiri oleh peneliti. Skala sikap terhadap
(48)
homoseksualitas disusun berdasarkan empat komponen sikap terhadap homo-seksualitas yang dipaparkan oleh LaMar & Kite (1998).
Berdasarkan komponen dan aspek sikap terhadap homoseksualitas tersebut, peneliti menyusun skala dengan pernyataan sejumlah 40 pernyataan. Keempat komponen sikap terhadap homoseksualitas yang diungkapkan oleh LaMar dan Kite (1998) masing-masing diwakilkan oleh sepuluh pernyataan. Setiap komponen sikap memiliki empat pernyataan yang favorable dan enam pernyataan yang unfavorable. Pernyataan-pernyataan yang favorable merujuk pada sikap yang positif terhadap homoseksualitas, sementara pernyataan-pernyataan yang unfavorable merujuk pada sikap yang negatif terhadap homoseksualitas. Konstruksi skala penelitian dijelaskan dalam tabel-tabel berikut:
(49)
Tabel 1
Tabel Spesifikasi Skala Sikap terhadap Homoseksualitas
Sebelum Seleksi Aitem
Komponen Kognitif Afektif Konatif Jumlah %
Moralitas Homoseksual 5 3 2 10 25
Toleransi/Generalisasi Hukuman kepada Orang Homoseksual
3 2 5 10 25
Kontak dengan Orang
Homoseksual 2 3 5 10 25
Stereotip terhadap Orang
Homoseksual 5 3 2 10 25
(50)
Tabel 2
Cetak Biru Skala Sikap terhadap Homoseksualitas
Sebelum Seleksi Aitem
Aspek Komponen
Nomor Aitem
Bobot Jumlah Favorable Unfavorable
Kognitif
Mor 15, 22 26, 28, 37
37.5 15
Tol 8 1, 21
Cont 6 39
Ste 13, 32 14, 16, 33
Afektif
Mor 36 11, 17
27.5 11
Tol 2 12
Cont 9 7, 27
Ste 40 24, 30
Konatif
Mor 10 23
35 14
Tol 5, 25 29, 35, 38
Cont 3, 34 19, 20, 31
Ste 18 4
Total 16 24 100% 40
Keterangan:
Mor : Moralitas homoseksual
Tol : Toleransi/generalisasi hukuman kepada orang homoseksual Cont : Kontak dengan orang homoseksual
(51)
Skala disusun dengan menggunakan Skala Likert, yaitu suatu bentuk skala dimana seseorang memilih salah satu respon dari pernyataan-pernyataan skala (Smith & Davis, 2010). Dalam skala ini, respon terdistribusi dalam jawaban Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (STS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Demi kemudahan penilaian skala, skor untuk tiap respon terbagi dalam rentang 1 (satu) hingga 4 (empat). Sistem skoring dijelaskan dalam tabel berikut:
Tabel 3
Sistem Skoring untuk Pernyataan Favorable
Respon Skor
Sangat Setuju (SS) 4
Setuju (S) 3
Tidak Setuju (TS) 2
Sangat Tidak Setuju (STS) 1
Tabel 4
Sistem Skoring untuk Pernyataan Unfavorable
Respon Skor
Sangat Setuju (SS) 1
Setuju (S) 2
Tidak Setuju (TS) 3
(52)
Berdasarkan sistem skoring tersebut, semakin tinggi skor subjek, semakin positif sikapnya terhadap homoseksualitas. Sebaliknya, semakin rendah skor subjek, semakin negatif sikapnya terhadap homoseksualitas.
F. Kredibilitas Instrumen Penelitian
1. Uji Validitas
Validitas pengukuran merujuk pada sejauh mana definisi konseptual dan operasional saling berhubungan (Neuman, 2000). Semakin besar hubungan antara definisi konseptual dan operasional, alat ukur dinyatakan semakin valid. Selain itu, validitas merujuk pada seberapa baik sebuah ide mengenai realitas sesuai dengan realitas (Neuman, 2000). Pada skala yang telah dikonstruksi, validitas yang digunakan adalah validitas validitas isi. Validitas isi merupakan validitas yang didapatkan dari uji kelayakan alat ukur (Azwar, 2012). Dalam validitas isi, ahli menilai kesesuaian isi alat ukur dengan domain yang hendak diukur. Pada penelitian ini, validitas isi terpenuhi melalui penilaian kesesuaian isi alat ukur dengan domainnya oleh dosen pembimbing skripsi.
2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah konsistensi atau tingkat kepercayaan alat ukur (Neuman, 2000). Reliabilitas akan menunjukkan hasil yang sama ketika pengukuran dilakukan kembali pada kondisi yang mirip atau identik (Neuman, 2000). Pada skala yang telah dikonstruksi, metode uji reliabilitas yang digunakan adalah dengan menghitung nilai alpha
(53)
Cronbach. Nilai alpha Cronbach yang ideal adalah 0,7 hingga 0,9 (Clark- Carter, 2004).
3. Hasil Uji Alat Ukur
Skala penelitian yang telah dikonstruksi diujikan kepada 93 orang murid sebuah sekolah heterogen di Yogyakarta. Sebanyak 13 skala uji coba gugur karena tidak diisi dengan lengkap. Data yang diperoleh dari hasil uji coba alat ukur adalah sebanyak 80 data. Data kemudian dianalisis untuk mengetahui nilai reliabilitas skala dan kualitas tiap-tiap aitem skala. a. Hasil Uji Reliabilitas
Reliabilitas skala penelitian dilihat melalui nilai alpha Cronbach. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan menggunakan perangkat lunak statistik SPSS versi 16.0.0, nilai alpha Crobach skala sebelum seleksi aitem adalah sebesar 0,912. Sementara itu, nilai alpha Cronbach skala sesudah seleksi aitem adalah sebesar 0,941. Dengan demikian, skala dapat dinyatakan sebagai reliabel karena nilai alpha Cronbach yang ideal berkisar antara 0,7 hingga 0,9 (Clark-Carter, 2009).
b. Hasil Uji Kualitas Aitem
Data uji coba dari skala penelitian diujikan kualitas aitemnya. Hal ini ditujukan untuk mengetahui daya diskriminasi tiap-tiap aitem skala. Daya diskriminasi aitem adalah kemampuan suatu aitem untuk membedakan individu yang memiliki dan yang tidak memiliki atribut yang diukur (Azwar, 2013). Dalam penelitian ini, daya diskriminasi
(54)
aitem skala adalah kemampuan aitem-aitem skala untuk membedakan individu yang memiliki sikap positif terhadap homoseksualitas dengan individu yang memiliki sikap negatif terhadap homoseksualitas. Daya diskriminasi aitem didapat dengan menghitung koefisien korelasi distribusi skor aitem dengan skor total keseluruhan aitem yang menghasilkan koefisien korelasi aitem-total (Azwar, 2013). Aitem yang memiliki koefisien korelasi aitem-total (rix) sebesar minimal 0,3 dianggap memiliki daya diskriminasi yang cukup memuaskan (Azwar, 2013).
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan menggunakan perangkat lunak statistik SPSS versi 16.0.0 terhadap data uji coba skala, didapati 32 aitem yang memiliki koefisien korelasi aitem-total minimal 0,3. Sebanyak 8 aitem memiliki koefisien korelasi aitem total dibawah 0,3, sehingga aitem-aitem tersebut dikeluarkan dari skala penelitian. Konstruksi skala penelitian setelah proses uji coba dinyatakan dalam tabel berikut:
(55)
Tabel 5
Cetak Biru Skala Sikap terhadap Homoseksualitas
Sebelum dan Sesudah Seleksi Aitem
Aspek Komponen
Nomor Aitem Jumlah
Favorable Unfavorable Sebelum Sesudah
Kognitif
Mor 15, 22 26, 28, 37
15 11
Tol 8 1, 21
Cont 6 39
Ste 13, 32 14, 16, 33
Afektif
Mor 36 11, 17
11 9
Tol 2 12
Cont 9 7, 27
Ste 40 24, 30
Konatif
Mor 10 23
14 12
Tol 5, 25 29, 35, 38 Cont 3, 34 19, 20, 31
Ste 18 4
Total 40 32
Keterangan:
Mor : Moralitas homoseksual
Tol : Toleransi/generalisasi hukuman kepada orang homoseksual Cont : Kontak dengan orang homoseksual
(56)
Keterangan: nomor-nomor aitem yang dicetak tebal menunjukkan aitem-aitem yang dikeluarkan dari skala.
G. Metode Analisis Data
1. Uji Normalitas
Uji normalitas adalah suatu metode statistika yang digunakan untuk melihat apakah data sebuah penelitian berasal dari populasi yang sebarannya normal (Santoso, 2010). Uji normalitas diperlukan sebelum melakukan uji hipotesis karena uji hipotesis dirancang dengan asumsi data yang akan dianalisis berasal dari suatu populasi yang memiliki sebaran normal (Santoso, 2010). Uji normalitas pada penelitian ini menggunakan skor Z dari teknik Kolmogorov-Smirnov (lihat Santoso, 2010). Jika hasil uji normalitas menunjukkan nilai p lebih besar dari 0,1, data penelitian dinyatakan normal (Santoso, 2010).
2. Uji Homogenitas
Uji homogenitas adalah suatu metode statistika yang digunakan untuk melihat perbedaan varians pada dua kelompok (Santoso, 2010). Uji homogenitas diperlukan untuk melakukan independent sample t-test
(Santoso, 2010). Hal ini disebabkan karena pada independent sample t-test, data yang dibandingkan adalah sampel dari dua populasi (Santoso, 2010) dan membutuhkan homogenitas varians (Clark-Carter, 2004). Uji homogenitas penting dilakukan untuk menghindari kesalahan mengambil kesimpulan. Uji homogenitas dalam penelitian ini menggunakan metode
(57)
Levene. Suatu data dianggap homogen jika uji homogenitas menunjukkan nilai p yang lebih besar dari 0,05 (lihat Santoso, 2010).
3. Uji Hipotesis
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan sikap terhadap homoseksualitas antara murid sekolah homogen dan heterogen. Oleh karena itu, hipotesis dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan
independent sample t-test karena penelitian ini menggunakan dua sampel.
Independent sample t-test merupakan metode statistika yang digunakan untuk membandingkan perbedaan mean dari dua sampel (Santoso, 2010).
(58)
36
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penelitian
1. Persiapan Penelitian
Peneliti melakukan beberapa persiapan sebelum penelitian dilakukan. Peneliti mendapatkan surat izin penelitian yang ditandatangani oleh Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma pada tanggal 19 September 2013. Peneliti mengajukan izin penelitian kepada dua sekolah yang terdiri dari satu sekolah heterogen dan satu sekolah homogen khusus perempuan pada tanggal 23 September 2013 dan mendapatkan izin penelitian dari kedua sekolah pada tanggal 24 September 2013. Peneliti mengajukan izin penelitian pada satu sekolah homogen khusus laki-laki pada tanggal 3 Oktober 2013 dan mendapatkan izin penelitian pada hari yang sama. Peneliti mengajukan izin penelitian pada satu sekolah heterogen lainnya pada tanggal 30 Oktober 2013 dan mendapatkan izin pada hari yang sama. Sekolah-sekolah yang menjadi tempat pengambilan data merupakan sekolah yang memiliki latar belakang agama Katolik. 2. Proses Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada sekolah homogen khusus laki-laki pada tanggal 24 Oktober 2013. Pengambilan data dilakukan pada murid-murid kelas X, XI, dan XII sebanyak satu kelas untuk tiap tingkatan kelas. Peneliti mendapatkan 120 partisipan penelitian dari sekolah homogen
(59)
khusus laki-laki. Seratus enam belas data digunakan dalam penelitian dan 4 data tidak digunakan dalam penelitian karena skala tidak diisi dengan lengkap.
Penelitian dilaksanakan pada sekolah heterogen pertama pada tanggal 29 Oktober 2013. Pengambilan data dilakukan pada murid-murid kelas X, XI, dan XII sebanyak dua kelas untuk tiap tingkatan kelas. Peneliti mendapatkan 165 partisipan penelitian dari sekolah heterogen pertama. Seratus lima puluh data digunakan dalam penelitian dan 15 data tidak digunakan dalam penelitian karena skala tidak diisi dengan lengkap.
Penelitian dilaksanakan pada sekolah homogen khusus perempuan pada tanggal 16 November 2013. Pengambilan data dilakukan pada murid-murid kelas XI dan XII sebanyak masing-masing satu kelas. Murid-murid-murid kelas X tidak didapatkan di sekolah homogen khusus perempuan karena kebijakan sekolah. Peneliti mendapatkan 63 partisipan penelitian dari sekolah homogen khusus perempuan.
Penelitian dilaksanakan pada sekolah heterogen kedua pada tanggal 20 November 2013 untuk mendapatkan data tambahan sehingga jumlah data sekolah homogen dan heterogen sama. Pengambilan data dilakukan pada murid kelas XI dan XII berdasarkan kebijakan sekolah. Peneliti mendapatkan 49 partisipan penelitian dari sekolah heterogen kedua. Sebanyak enam data tidak digunakan dalam penelitian karena skala tidak diisi dengan lengkap. Tujuh belas data diambil secara acak dari 30 partisipan penelitian laki-laki dan 12 data diambil secara acak dari 13
(60)
partisipan perempuan agar jumlah data antara sekolah homogen dan heterogen relatif sama.
3. Deskripsi Karakteristik Subjek
Skala penelitian yang telah diberikan kepada 358 partisipan penelitian disusun untuk mengetahui beberapa karakteristik subjek, yaitu usia subjek, jenis kelamin subjek, dan tingkatan kelas subjek. Karakteristik subjek dalam penelitian ini dijelaskan dalam tabel-tabel berikut:
Tabel 6
Karakteristik Usia Subjek
Usia
Jenis Sekolah
Jumlah Homogen Heterogen
14 3 3 6
15 39 38 77
16 57 65 122
17 62 59 121
18 15 13 28
19 2 0 2
(61)
Tabel 7
Karakteristik Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
Jenis Sekolah
Jumlah Homogen Heterogen
Laki-laki 116 113 229
Perempuan 63 63 126
Tidak Teridentifikasi 0 3 3
Tabel 8
Karakteristik Subjek Berdasarkan Tingkatan Kelas
Tingkatan
Kelas
Jenis Sekolah
Jumlah Homogen Heterogen
Kelas X 38 55 93
Kelas XI 74 68 142
Kelas XII 67 56 123
B. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Data Penelitian
Sebanyak 358 data penelitian yang didapat dianalisis untuk mengetahui statistik deskriptif data penelitian. Deskripsi data penelitian dikelompokkan berdasarkan jenis sekolah. Analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak statistik SPSS versi 16.0.0. Statistik deskriptif data penelitian adalah sebagai berikut:
(62)
Tabel 9
Statistik Deskriptif Data Penelitian
Deskripsi
Jenis Sekolah
Homogen Heterogen
N 179 179
Minimum 35 37
Maksimum 117 117
Rerata 72,53 71,22
Simpangan Rerata 1,346 1,127
Standar Deviasi 18,007 15,083
2. Hasil Uji Asumsi a. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak statistik SPSS versi 16.0.0. Berdasarkan hasil analisis Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui normalitas data, ditemukan bahwa data penelitian tergolong normal (Z = 1,039, p > 0,1).
Tabel 10
Ringkasan Hasil Uji Normalitas
Uji Normalitas N Z Signifikansi Keterangan
Tes Kolmogorov-Smirnov Satu- Sampel
(63)
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak statistik SPSS versi 16.0.0. Berdasarkan hasil analisis Levene untuk mengetahui homogenitas data, ditemukan bahwa data penelitian tergolong tidak homogen (F = 7,502, p < 0,05).
Tabel 11
Ringkasan Hasil Uji Homogenitas
Uji Levene untuk Kesetaraan Varians F Signifikansi
Varians diasumsikan setara 7,502 0,006
3. Hasil Uji Hipotesis
Uji hipotesis dilakukan dengan metode independent sample t-test
menggunakan perangkat lunak statistik SPSS versi 16.0.0. Berdasarkan uji homogenitas, ditemukan bahwa data penelitian tidak memiliki homogenitas varians. Dengan demikian, perbedaan rerata kedua kelompok data dilihat melalui asumsi varians yang tidak sama.
Penelitian ini membandingkan 179 sampel dari sekolah homogen (M = 72,53, SD = 18,007) dan 179 sampel dari sekolah heterogen (M = 71,22, SD = 15,083). Hasil independent sample t-test yang dilakukan oleh perangkat lunak statistik SPSS versi 16.0.0 menemukan bahwa tidak ada perbedaan sikap terhadap homoseksualitas yang signifikan antara murid sekolah homogen dan heterogen (t(345,377) = 0,745; p > 0.05).
(64)
Tabel 12
Ringkasan Hasil Uji Hipotesis
Uji Hipotesis
Kelompok
Homogen Heterogen
N 179 179
Rerata 72,53 71,22
Perbedaan Rerata 1,31
Derajat Kebebasan (df) 345,377
Nilai t 0,745
Signifikansi 0,457
Keterangan p > 0.05 (tidak signifikan)
C. Analisis Data Tambahan
Data penelitian dianalisis untuk melihat perbedaan sikap terhadap homoseksualitas antara murid laki-laki dan perempuan pada masing-masing jenis sekolah. Data dianalisis menggunakan analisis varians dengan uji post hoc untuk membandingkan rerata dari empat kelompok (bandingkan Santoso, 2010), yaitu murid laki-laki sekolah homogen, murid perempuan sekolah heterogen, murid laki-laki sekolah heterogen, dan murid perempuan sekolah heterogen. Berdasarkan hasil analisis varians, ditemukan bahwa ada perbedaan rerata pada masing-masing kelompok (F(3, 417) = 13,077; p < 0,05).
Secara umum, sikap murid perempuan (M = 79,39; SD = 16,184) terhadap homoseksualitas cenderung lebih positif dibandingkan dengan murid
(65)
laki-laki (M = 67,83; SD = 15,454), baik pada sekolah homogen maupun sekolah heterogen (t(353) = -6,631; p < 0,05). Secara terinci, sikap murid sekolah homogen perempuan (M = 81,86; SD = 15,930) terhadap homo-seksualitas lebih positif dibandingkan murid sekolah homogen laki-laki (M = 67,47; SD = 17,074) dan murid laki-laki sekolah heterogen (M = 71,22; SD = 15,083). Sikap murid perempuan sekolah heterogen (M = 76,92; SD = 16,185) terhadap homoseksualitas lebih positif dibandingkan murid sekolah homogen laki-laki. Selain itu, sikap murid laki-laki sekolah heterogen terhadap homoseksualitas lebih positif daripada murid sekolah homogen laki-laki. Hasil analisis varians secara terinci dapat dilihat pada lampiran.
D. Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rerata sikap terhadap homoseksualitas pada murid sekolah homogen adalah senilai 72,53. Sementara itu, pada murid sekolah heterogen, nilai rerata sikap terhadap homoseksualitas yang didapatkan adalah senilai 71,22. Hasil analisis data penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan sikap terhadap homoseksualitas yang signifikan antara murid sekolah homogen dengan murid sekolah heterogen (t(345,377) = 0,745; p > 0.05).
Hipotesis dalam penelitian ini, yaitu ada perbedaan sikap terhadap homoseksualitas antara murid sekolah homogen dan heterogen, tidak terbukti. Hipotesis terarah yang menyatakan bahwa sikap murid sekolah heterogen terhadap homoseksualitas lebih positif dibandingkan dengan murid sekolah
(66)
heterogen juga tidak terbukti. Sebaliknya, sikap murid sekolah heterogen (M = 71,22) sekilas lebih negatif daripada sikap murid sekolah homogen (M = 72,53), meskipun tidak signifikan berbeda. Hal ini mungkin disebabkan karena interaksi sosial murid-murid sekolah homogen dan heterogen.
Sikap murid sekolah heterogen terhadap homoseksualitas yang sekilas tampak lebih negatif dimungkinkan terjadi karena murid-murid sekolah heterogen justru mengembangkan keyakinan terhadap peran gender tradisional dan ketidaksetaraan gender dalam interaksi sosial mereka (bandingkan Lee et al., 1994). Sekalipun sistem sekolah heterogen mem-promosikan kesetaraan gender, yang membuat keyakinan terhadap peran gender tradisional semakin rendah, interaksi sosial antara murid dari kedua jenis kelamin dapat mengembangkan keyakinan bahwa ada ketidaksetaraan gender. Murid-murid sekolah heterogen dapat mengembangkan pengelompokkan tugas berdasarkan jenis kelamin ketika murid dari kedua jenis kelamin berinteraksi. Hal ini misalnya tampak pada pemahaman bahwa laki-laki lebih pintar di bidang sains daripada perempuan (lihat Lee et al., 1994). Hal ini dapat menimbulkan perasaan superior laki-laki terhadap perempuan. Selain itu, murid-murid sekolah heterogen dapat mengembangkan keyakinan bahwa masing-masing gender memiliki tugas masing-masing. Hal ini misalnya tampak ketika ada pembagian tugas di kelas. Murid laki-laki biasanya mendapatkan tugas memindah-mindahkan benda berat (seperti meja dan kursi) sementara murid perempuan mendapatkan tugas administratif (seperti mencatat absen) atau
(67)
membersihkan kelas. Hal-hal ini dapat mengembangkan keyakinan terhadap peran gender tradisional yang kuat diantara murid-murid sekolah heterogen.
Sikap murid sekolah homogen terhadap homoseksualitas sekilas tampak lebih positif daripada murid sekolah heterogen. Berdasarkan analisis statistik deskriptif yang dilakukan, tampak bahwa sikap murid sekolah homogen terhadap homoseksualitas yang tampak lebih positif banyak disumbang oleh sikap murid sekolah homogen perempuan. Hal ini mungkin menyatakan bahwa murid-murid sekolah homogen perempuan memiliki keyakinan terhadap peran gender tradisional yang lebih rendah dan keyakinan akan kesetaraan gender yang lebih tinggi. Keyakinan terhadap kesetaraan gender yang lebih tinggi dapat mempengaruhi sikap terhadap homoseksualitas yang lebih positif (lihat Adamczyk & Pitt, 2009), disamping penjelasan teoritis sebelumnya yang menyatakan bahwa keyakinan terhadap peran gender tradisional yang lebih rendah juga mempengaruhi sikap terhadap homo-seksualitas yang lebih positif (bandingkan Herek, 1988; Horn, 2012; Whitley & Kite, 2010).
Pada murid sekolah homogen perempuan, keyakinan akan kesetaraan gender yang lebih kuat mungkin disebabkan karena interaksi sosial para muridnya. Sejalan dengan penjelasan mengenai pengaruh interaksi sosial terhadap kesetaraan gender dan keyakinan akan peran gender tradisional pada murid sekolah heterogen, murid-murid sekolah homogen perempuan dapat mengembangkan independensi. Sekalipun sistem sekolah homogen perempuan mempromosikan femininitas pada murid-muridnya, sekolah
(68)
homogen perempuan dapat mengembangkan perasaan independensi pada murid-muridnya. Hal ini misalnya tampak pada pembagian pekerjaan di kelas. Ketiadaan murid laki-laki pada jenis sekolah ini membuat murid-murid sekolah homogen perempuan harus melakukan pekerjaan-pekerjaan di kelas dan sekolah sendiri (tanpa tergantung oleh figur laki-laki). Hal ini dapat membuat murid-murid sekolah homogen merasa mampu untuk melakukan pekerjaan sendiri. Dengan demikian, mereka akan memiliki sikap terhadap peran gender stereotipikal yang lebih rendah (Lee et al., 1994) dan merasa mampu untuk terjun ke dunia profesional dan politik (lihat Lee et al., 1994), suatu dunia yang secara tradisional ditugaskan kepada laki-laki. Hal tersebut dapat membuat murid-murid sekolah homogen perempuan memiliki tingkat keyakinan terhadap peran gender tradisional yang lebih rendah dan keyakinan terhadap kesetaraan gender yang lebih kuat.
Berdasarkan hasil analisis statistik deskriptif, sikap murid sekolah homogen laki-laki terhadap homoseksualitas tampak lebih negatif dibandingkan dengan murid sekolah homogen perempuan dan murid sekolah heterogen. Hal ini dapat menyatakan bahwa murid sekolah homogen laki-laki memiliki keyakinan terhadap peran gender tradisional yang lebih kuat, sehingga mereka meyakini adanya ketidaksetaraan gender. Lee dan kawan-kawannya (1994) menemukan bahwa seksisme (diskriminasi berdasarkan jenis kelamin yang didasarkan pada keyakinan bahwa laki-laki lebih superior daripada perempuan) dipromosikan pada sekolah homogen laki-laki. Sekolah homogen khusus laki-laki juga dapat mengembangkan keyakinan bahwa
(69)
perempuan dan femininitas lebih inferior daripada laki-laki. Murid-murid yang melakukan tugas-tugas yang biasa dilakukan oleh perempuan (misalnya pekerjaan administratif seperti mencatat absen atau membersihkan ruang kelas) mungkin merasa inferior. Hal ini dapat memicu perasaan negatif terhadap tugas-tugas yang identik dengan femininitas sehingga memperkuat keyakinan murid-murid sekolah homogen laki-laki bahwa peran perempuan lebih inferior daripada laki-laki (bandingkan Lee et al., 1994). Dengan demikian, murid-murid sekolah homogen laki-laki memiliki keyakinan terhadap peran gender tradisional dan ketidaksetaraan gender yang lebih kuat.
Berdasarkan uraian di atas, hipotesis penelitian ini ditolak karena murid-murid sekolah homogen dan heterogen mengembangkan keyakinan terhadap peran gender tradisional dan kesetaraan/ketidaksetaraan gender dari interaksi sosial mereka, terlepas dari promosi peran gender tradisional oleh sistem sekolah terhadap murid-muridnya. Murid-murid sekolah heterogen yang diperkirakan memiliki keyakinan terhadap peran gender tradisional yang lebih rendah dan keyakinan terhadap kesetaraan gender yang lebih kuat justru dapat mengembangkan keyakinan terhadap ketidaksetaraan gender yang lebih kuat. Sementara itu, murid-murid sekolah homogen perempuan dapat mengembangkan independensi sehingga mereka memiliki keyakinan terhadap peran gender tradisional yang lebih rendah. Keyakinan terhadap peran gender tradisional dan keyakinan akan kesetaraan gender berpengaruh terhadap sikap seseorang terhadap homoseksualitas (Adamczyk & Pitt, 2009; Herek, 1988; Horn, 2012; Whitley & Kite, 2010). Dengan demikian, murid-murid sekolah
(1)
A.
Statistik Deskriptif Data Penelitian
1.
Statistik Deskriptif Data Sekolah Homogen Laki-laki
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Sum Mean Std. Deviation
Statistic Statistic Statistic Statistic Statistic Std. Error Statistic
TSF 116 35 113 7826 67.47 1.585 17.074
Valid N
(listwise) 116
2.
Statistik Deskriptif Data Sekolah Homogen Perempuan
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Sum Mean Std. Deviation
Statistic Statistic Statistic Statistic Statistic Std. Error Statistic
TSF 63 44 117 5157 81.86 2.007 15.930
Valid N
(listwise) 63
3.
Statistik Deskriptif Data Sekolah Homogen
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Sum Mean
Std. Deviation Statistic Statistic Statistic Statistic Statistic Std. Error Statistic
TSF 179 35 117 12983 72.53 1.346 18.007
Valid N
(listwise) 179
4.
Statistik Deskriptif Data Sekolah Heterogen
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Sum Mean
Std. Deviation Statistic Statistic Statistic Statistic Statistic Std. Error Statistic
TSF 179 37 117 12749 71.22 1.127 15.083
Valid N
(2)
B.
Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Sikap
N 358
Normal Parametersa Mean 71.88
Std. Deviation 16.599
Most Extreme Differences Absolute .055
Positive .048
Negative -.055
Kolmogorov-Smirnov Z 1.039
Asymp. Sig. (2-tailed) .231
a. Test distribution is Normal.
C.
Uji Homogenitas dan Uji Hipotesis
Group Statistics
SID N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Sikap Sekolah Homogen 179 72.53 18.007 1.346
Sekolah Heterogen 179 71.22 15.083 1.127
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-tailed)
Mean Differen
ce
Std. Error Differen
ce
95% Confidence Interval of the
Difference Lower Upper Sikap Equal
variances assumed
7.502 .006 .745 356 .457 1.307 1.756 -2.146 4.760
Equal variances not assumed
.745 345.3
(3)
D.
Analisis Data Tambahan
1.
Hasil Analisis Varians
Descriptives
TSF
N Mean
Std. Deviation
Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimu m
Maximu m Lower
Bound
Upper Bound Homogen
Laki-laki 116 67.47 17.074 1.585 64.33 70.61 35 113
Homogen
Perempuan 63 81.86 15.930 2.007 77.85 85.87 44 117
Heterogen
Perempuan 63 76.92 16.185 2.039 72.84 81.00 37 117
Heterogen
Laki-laki 179 71.22 15.083 1.127 69.00 73.45 37 117
Total 421 72.63 16.617 .810 71.04 74.22 35 117
Test of Homogeneity of Variances
TSF
Levene Statistic df1 df2 Sig.
1.375 3 417 .250
ANOVA
TSF
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 9971.693 3 3323.898 13.077 .000
Within Groups 105994.241 417 254.183
Total 115965.933 420
Robust Tests of Equality of Means
TSF
Statistica df1 df2 Sig.
Welch 12.472 3 165.815 .000
(4)
Post Hoc
Multiple Comparisons
TSF Tukey HSD
(I) DASB (J) DASB
Mean Difference
(I-J)
Std.
Error Sig.
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound Homogen Laki-laki Homogen
Perempuan -14.392
*
2.495 .000 -20.83 -7.96
Heterogen
Perempuan -9.455
*
2.495 .001 -15.89 -3.02
Heterogen
Laki-laki -3.758 1.900 .198 -8.66 1.14
Homogen Perempuan
Homogen
Laki-laki 14.392
*
2.495 .000 7.96 20.83
Heterogen
Perempuan 4.937 2.841 .305 -2.39 12.26
Heterogen
Laki-laki 10.634
*
2.336 .000 4.61 16.66
Heterogen Perempuan
Homogen
Laki-laki 9.455
*
2.495 .001 3.02 15.89
Homogen
Perempuan -4.937 2.841 .305 -12.26 2.39
Heterogen
Laki-laki 5.697 2.336 .071 -.33 11.72
Heterogen Laki-laki
Homogen
Laki-laki 3.758 1.900 .198 -1.14 8.66
Homogen
Perempuan -10.634
*
2.336 .000 -16.66 -4.61
Heterogen
Perempuan -5.697 2.336 .071 -11.72 .33
(5)
Homogeneous
TSF
Tukey HSD
DASB N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3
Homogen Laki-laki 116 67.47
Heterogen Laki-laki 179 71.22 71.22
Heterogen Perempuan 63 76.92 76.92
Homogen Perempuan 63 81.86
Sig. .406 .087 .174
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
2.
Hasil Independent Sample t-test antara Murid Laki-laki dan Perempuan
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
TSF
N 358
Normal Parametersa Mean 71.88
Std. Deviation 16.599
Most Extreme Differences Absolute .055
Positive .048
Negative -.055
Kolmogorov-Smirnov Z 1.039
Asymp. Sig. (2-tailed) .231
a. Test distribution is Normal.
Group Statistics
S N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
TSF Laki-laki 229 67.83 15.454 1.021
(6)
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-tailed)
Mean Differen
ce
Std. Error Differen
ce
95% Confidence Interval of the
Difference Lower Upper TSF Equal
variances assumed
.065 .799 -6.631 353 .000 -11.559 1.743 -14.988 -8.131 Equal
variances not assumed
-6.542 247.7