Perbedaan perilaku seksual remaja di sekolah homogen dan heterogen

(1)

PERBEDAAN PERILAKU SEKSUAL REMAJA DI SEKOLAH

HOMOGEN DAN HETEROGEN

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Ursula Kanindya Chrysanthea

NIM : 099114079

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(2)

(3)

iii

MOTTO

Impian Ada Di Tengah Peluh

Bagai Bunga Yang Mekar Secara Perlahan

Usaha Keras Itu Tak Akan Mengkhianati

(JKT 48)

I Can Make It Through The Rain

I Can Stand Up Once Again,

On My Own

And I Know That I’m Strong Enough To Mend

And Every Time I Feel Afraid I Hold Tighter To My Faith

And I live One More Day And I Make It Though The Rain


(4)

iv

PERSEMBAHAN

Tuhan Yesus dan Bunda Maria khususnya karena telah berkenan menyampaikan ujub doa Novena 3 Salam Maria yang hampir setiap hari di daraskan olehku, pada Tuhan serta mengabulkannya. “Terima kasih banyak Tuhan dan Ibu Maria berkat yang berlimpah yang sudah diberikan kepadaku, Ichan sayang sekali sama Tuhan Yesus dan Bunda Maria ”.

Bapak dan Mama. Terima kasih, terima kasih banyak untuk semua hal yang telah diberikan pada penulis. Waktu, tenaga, pikiran, dana dan semua hal yang benar-benar membantuku menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

“banyak..banyak terima kasih ya ma, pak udah mau anter aku kesana kemari. Ngurusin surat perijinan, nyebar kuisioner dan masih banyak lagi. Terima kasih banyak, sekarang saatnya aku gantian membahagiakan mama sama bapak ya”.

Keluarga besar Soelanto. Semua yang tidak bisa disebutkan satu persatu terima kasih doa dan dukungannya untukku selama ini.

Sahabat-Sahabatku.Ciwiiiis. Terima kasih banyak untuk Fransiska Eka Budiarti, Angela Kenya Astari, Nathasya Dea, Putri Sudharsana dan Sisilia Arini untuk semangat dan dukungan yang selalu kalian berikan kepadaku.


(5)

v

Kalian adalah salah satu motivasi penulis untuk bisa segera menyelesaikan skripsi ini. Semoga kita bisa menjadi sahabat untuk selamanya .

Mas Panca Sona Aji selaku pelatih PSM CANTUS FIRMUS Universitas Sanata Dharma. Terima kasih untuk semua petuah-petuah yang diberikan kepadaku dalam semua aspek kehidupannya. Mas Mbong akan selalu diingat sampai kapanpun.

Untuk semua teman-teman di paduan suara mahasiswa Cantus Firmus angkatan 2009. I love you all. Semoga kita bisa bertemu lagi di lain kesempatan dan bernyanyi bersama kembali.

Unit Kegiatan Mahasiswa CANTUS FIRMUS. Beribu terima kasih untuk semua hal yang sudah diberikan padaku dalam bentuk pengalaman. Dari awal kuliah hingga penulis dapat menyelesaikan kuliah saat ini banyak hal yang sudah didapatkan dan hal tersebut merupakan hal berharga yang akan diingat sampai kapanpun olehku. Terima kasih. “aaah i love yo so

much PSM CF, aku pasti sangat rindu menghabiskan waktu di BAA bersama teman-teman satu angkatan 09, kakak angkatan serta adik angkatan pastiii rindu sekalii T.T”.


(6)

vi

Teman-teman satu angkatan, psikologi 09 semuanya tanpa terkecuali terima kasih banyak untuk waktu-waktu yang telah kita lewati bersama. Semoga sukses dalam semua hal di hidup kalian.

Untuk Ruthie, Albert, Gita, Cicik, Dinda, Nao, Awik, Xyannie, Dicky danKeket terima kasih sudah mau meluangkanwaktumembantuku dan menyemangatiku sampai akhirnya aku bisa menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih.

Lagu-lagu yang senantiasa menemaniku mengerjakan skripsiku terima kasih sudah memberikan banyak semangat untuk mengerjakan skripsi yang sangat menguras banyak pikiran ini. Tapi sekarang sudah selesai semuanya.


(7)

(8)

viii

PERBEDAAN PERILAKU SEKSUAL REMAJA DI SEKOLAH HOMOGEN DAN HETEROGEN

Ursula Kanindya Chrysanthea

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan perilaku seksual remaja di sekolah homogen dan heterogen. Hipotesis awal adalah ada perbedaan perilaku seksual remaja di sekolah homogen dan remaja di sekolah heterogen. Di mana perilaku seksual remaja di sekolah heterogen lebih tinggi dari pada perilaku seksual remaja di sekolah homogen. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 140 orang yang terdiri dari remaja di sekolah homogen laki-laki dan perempuan serta remaja di sekolah heterogen. Penelitian ini menggunakan skala perilaku seksual sebagai alat ukur, yang dibuat sendiri oleh penulis. Reliabilitas skala perilaku seksual yang didapatkan sebesar 0,816. Analisis data dilakukan dengan menggunakan

Nonparametric Mann-Whitney U. Hasil Mann-Whitney U menunjukkan spesifikasi p= 0,000<0,05 maka ada perbedaan pada perilaku seksual remaja di sekolah homogen dan heterogen. Kemudian jika dilihat dari mean yang dimiliki setiap kelompok, sekolah homogen memiliki mean sebesar 5,74 dan sekolah heterogen sebesar 13,03 menandakan bahwa remaja di sekolah heterogen memiliki perilaku seksual yang lebih tinggi dibandingkan dengan di sekolah homogen. Kesimpulannya ada perbedaan perilaku seksual remaja, di sekolah homogen dan heterogen.


(9)

ix

THE DIFFERENCE OF SEXUAL BEHAVIOUR ON ADOLESCENCE IN HOMOGENY SCHOOL AND HETEROGEN SCHOOL

Ursula Kanindya Chrysanthea ABSTRACT

This study was aimed to see differences in adolescence sexual behavior in homogeneous and heterogeneous school. Early hypothesis was conclusion there were differences for the adolescence sexual behavior in homogeneous and heterogeneous school. Initial hypothesis was that sexual behavior of adolescence in the heterogeneous school was higher than in the homogeneous school. The subjects of this study were 140 people consisting of adolescence in homogeneous school-boys and girls as well as adolescence in heterogeneous school. This study used the measurement of sexual behavior which was made by the author herself. The reliability of sexual behavior measurement obtained was 0.816. The data was analysed using Nonparametric Mann-Whitney U. The result of Mann-Whitney U indicated the specification of p = 0.000 < 0.05 then there was the difference in the sexual behavior of adolescence in the homogeneous and heterogeneous school. Furthermore, if we saw from the maean owned by each group, homogeneous school had mean 5,74 and heterogeneous school by 13,03 which indicated that adolescence of heterogeneous school had higher sexual behavior than in homogeneous school. In conclusion there were differences for adolescence sexual behavior in homogeneous and heterogeneous school.

Keywords: sexual behavior, adolescence, school, homogeneous, heterogeneous


(10)

(11)

xi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya penjatkan tak henti-hentinya pada Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang telah berkenan menjaga dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perbedaan Perilaku Seksual Remaja di Sekolah Homogen dan Heterogen” ini.

Penulis juga menyadari banyak pihak yang telah berperan serta baik dalam memberikan waktu, tenaga dan pikiran sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Tuhan Yesus dan Bunda Maria khususnya karena telah berkenan menyampaikan ujub doa Novena 3 Salam Maria yang hampir setiap hari di daraskan olehpenulis, pada Tuhan serta mengabulkannya.

2. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti. M.S, terima kasih karena dengan sabar telah membimbingpenulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 3. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si. sebagai penguji, terimakasih sudah

menghantarkan saya pada kelulusan.

4. Ibu MM. Nimas Eki. S., M.Si, Psi sebagai penguji, terima kasih sudah menghantarkan saya pada kelulusan.

5. Romo Kun selaku wakil rektor yang selalu memberikan saya arahan dan masukan yang luar biasa berarti. Terima kasih untuk “surat saktinya” tanpa itu penelitianpenulis akan tersendat. Terima kasih banyak romo.


(12)

xii

6. Bapak C.Siswa Widyatmoko, M.Psi selaku dosen pembimbing akademik, terima kasih sudah selalu membimbing dan memberikan semangat serta masukan selama penulis mengerjakan skripsi dan dapat menyelesaikannya dengan baik.

7. Seluruh dosen dan karyawan fakultas Psikologi. Terima kasih atas bimbingan dan bantuannya selama ini.

8. Kepala sekolah, guru serta semua staff dari SMA Stella Duce 1, Kolose De Britto dan Bopkri 1. Terima kasih atas kerjasamanya dan kesediannya untuk membolehkan penulismengadakan penelitian di sekolah dimana bapak dan ibu mengajar serta bekerja.

9. Bapak dan Mama. Terima kasih, terima kasih banyak untuk semua hal yang telah diberikan pada penulis. Waktu, tenaga, pikiran, dana dan semua hal yang benar-benar membantupenulis menyelesaikan skripsi ini dengan baik

10. Ciwiiiis. Terima kasih banyak untuk Fransiska Eka Budiarti, Angela Kenya Astari, Nathasya Dea, Putri Sudharsana dan Sisilia Arini untuk semangat dan dukungan yang selalu kalian berikan kepadasaya. Kalian adalah salah satu motivasi penulis untuk bisa segera menyelesaikan skripsi ini. Semoga kita bisa menjadi sahabat untuk selamanya.

11. Mas Panca Sona Aji selaku pelatih PSM CANTUS FIRMUS Universitas Sanata Dharma. Terima kasih untuk semua petuah-petuah yang diberikan kepadapenulis dalam semua aspek kehidupannya. Mas Mbong akan selalu diingat sampai kapanpun.


(13)

xiii

12. Unit Kegiatan Mahasiswa CANTUS FIRMUS. Beribu terima kasih untuk semua hal yang sudah diberikan padapenulis dalam bentuk pengalaman. Dari awal kuliah hingga penulis dapat menyelesaikan kuliah saat ini banya hal yang sudah didapatkan dan hal tersebut merupakan hal berharga yang akan diingat sampai kapanpun olehpenulis.

13. Teman-teman satu angkatan, psikologi 09 semuanya tanpa terkecuali terima kasih banyak untuk waktu-waktu yang telah kita lewati bersama. Semoga sukses dalam semua hal di hidup kalian.

Penulis,


(14)

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... viii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... xi

KATA PENGANTAR ... xii

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7


(15)

xv

2. Manfaat Praktis ... 7

BAB II LANDASAN TEORI ... 9

A. Remaja ... 9

1. Pengertian Remaja... 9

2. Perkembangan yang Terjadi di Masa Remaja ... 12

3. Tugas-tugas Perkembangan Remaja ... 15

B. Perilaku Seksual ... 18

1. Perilaku Seksual ... 18

2. Tahap PerilakuSeksual ... 19

3. Faktor-faktor Penyebab Remaja Melakukan Perilaku Seksual ... 24

C. Sekolah Homogen dan Heterogen ... 28

1. Sekolah ... 28

D. Perbedaan Perilaku Seksual Remaja di Sekolah Homogen dan Heterogen ... 30

E. Hipotesis ... 32

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 34

A. Jenis Penelitian... 34

B. Variabel Penelitian ... 34

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 34

1. Perilaku Seksual ... 34

2. Sekolah Homogen dan Heterogen ... 35

D. Subjek Penelitian ... 35


(16)

xvi

F. Validitas Dan Reliabilitas Skala ... 37

1. Validitas ... 38

2. Reliabilitas ... 39

G. Metode Analisis Data ... 39

1. Uji Asumsi... 39

2. Uji Hipotesis ... 40

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 41

A. Pelaksanaan Penelitian ... 41

B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 41

C. Deskripsi Data Penelitian ... 42

D. Analisis Data Penelitian ... 44

1. Uji Asumsi... 44

2. Uji Hipotesis ... 46

E. Pembahasan... 47

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

A. Kesimpulan ... 50

B. Keterbatasan Penelitian ... 50

C. Saran ... 51

1. Bagi Sekolah ... 51

2. Bagi Orang Tua ... 51

3. Bagi Peneliti Berikutnya ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53


(17)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Penskoran Item ... 37 Tabel 2 Karakteristik Subjek Penelitian ... 42 Tabel 3 Deskripsi Data Penelitian ... 43 Tabel 4 Uji Normalitas Perilaku Seksual SMA Homogen One-Sample

Kolmogorov-Smirnov Test ... 44 Tabel 5 Uji Normalitas Perilaku Seksual SMA Heterogen One-Sample

Kolmogorov-Smirnov Test ... 45 Tabel 6 Uji Homogenitas di Sekolah Homogen dan Heterogen, Levene’s

Test for Equality of Variances ... 46 Tabel 7 Mann-Whitney U Remaja di Sekolah Homogen dan Heterogen ... 47


(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Izin dari Dinas Perizinan Kota Yogyakarta ... 58 Lampiran 2 Surat Keterangan telah Melakukan Penelitian di SMA Stella

Duce 1 Yogyakarta ... 60 Lampiran 3 Surat Keterangan telah Melakukan Penelitian di SMA Kolose

De Britto Yogyakarta ... 62 Lampiran 4 Surat Keterangan telah Melakukan Penelitian di SMA Bopkri

1 Yogyakarta ... 64 Lampiran 5 Skala Perilaku Seksual ... 66 Lampiran 6 Reliabilitas Skala Perilaku Seksual ... 72 Lampiran 7 Uji Normalitas Perilaku Seksual di Sekolah Homogen

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test ... 74 Lampiran 8 Uji Normalitas Perilaku Seksual Remaja di Sekolah

Heterogen One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test ... 76 Lampiran 9 Uji Homogenitas dan Uji Beda Independent Sample T-Test

Remaja di Sekolah Homogen dan Heterogen, Levene’s Test

for Equality of Variances ... 78 Lampiran 10 Mann-Whitney U Remaja di Sekolah Homogen dan

Heterogen, Levene’s Test for Equality of Variances ... 80 Lampiran 11 MEANS Remaja di Sekolah Homogen dan Heterogen ... 82


(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seseorang masuk usia remaja saat ia telah mengalami kematangan seksual dan fungsi reproduksi. Hal ini ditandai dengan adanya pubertas yang merupakan titik klimaks untuk perkembangan selanjutnya. Freud dalam Santrock (2002) mengatakan pada masa remaja seseorang telah memasuki fase genital dimana kenikmatan yang didapatkan berasal dari alat kelamin yang kemudian memunculkan sexual drive atau dorongan seksual pada lawan jenis.

Pubertas untuk anak perempuan ditandai dengan menstruasi pertama kali atau disebut dengan menarche. Untuk anak laki-laki pubertas ditandai dengan peristiwa mimpi basah atau disebut juga dengan noctural emission (Papalia, Olds, Feldman, 2004; Stone & Church, 1956; Kimmel & Weiner,1985). Hal inilah yang menjadi tanda awal bahwa mereka telah memasuki masa remaja.

Remaja atau adolescence berasal dari bahasa Latin yang berarti tumbuh atau tumbuh kearah kedewasaan. Batasan umur seseorang yang dikatakan remaja ternyata berbeda jika dilihat dari sudut pandang jenis kelamin. Untuk perempuan, mereka sudah bisa dikatakan remaja saat berusia 13 dan untuk laki-laki di usia 14 tahun, 1 tahun lebih lambat dari perempuan (Hurlock, 1967). Kemudian pada masa remaja akhir, baik


(20)

perempuan atau laki-laki akan mulai berpasang-pasangan dan menjalin hubungan dengan lawan jenis (Schienfeld dalam Hurlock, 1959).

Remaja masuk dalam masa kebingungan identitas. Hal tersebut dapat membawa mereka pada hal-hal buruk atau yang biasa disebut dengan kenakalan remaja. Contohnya adalah mengkonsumsi obat-obat terlarang dan minuman keras, terjerumus dalam pergaulan bebas atau free sex (Erikson dalam Santrock, 2002). Pergaulan bebas atau free sex terjadi karena pada masa remaja mereka tidak dapat melakukan keinginan mereka secara tuntas dalam berperilaku seksual dan perilaku seksual mereka masih dibatasi oleh norma yang berlaku di masyarakat dimana di usia remaja belum diperbolehkan melakukan hubungan fisik dengan lawan jenis tanpa adanya ikatan pernikahan yang sah. Sedangkan dorongan seksual yang dibarengi dengan keingintahuan mereka yang besar sudah mulai ada ketika mereka memasuki masa remaja.

Dewasa ini, menurut banyak penelitian terlihat tingginya jumlah remaja yang sudah pernah melakukan hubungan seks pranikah di Indonesia. Pangkahila dalam Soejoeti (2001) mengatakan bahwa penelitian yang dilakukan pada 633 remaja di kota besar di Bali menunjukkan 27% remaja laki-laki dan 18% remaja perempuan pernah melakukan hubungan badan. Hal tersebut juga terlihat dari penelitian yang dilakukan pada remaja oleh Bandi dalam Soejoeti (2001) di Jakarta dan Yogyakarta yang prosentasenya 4,1% dari 3967 remaja pernah melakukan hubungan seks pranikah. Kemudian penelitian yang dilakukan


(21)

3

PKBI & Kutanegara,dkk dalam Suwarni (2009) memperlihatkan remaja di Kalimantan Barat dan di kota Pontianak khususnya menunjukkan angka yang tidak jauh berbeda. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Suryoputro, Ford, Shaluhiyah (2006) di berbagai sekolah di Indonesia menampilkan prosentase serupa mengenai perilaku seksual remaja disana.

Perilaku seksual sendiri dapat diartikan sebagai segala macam bentuk kegiatan yang tujuannya untuk meyalurkan hasrat seksual yang dimiliki, biasanya terjadi diantara dua orang yang berbeda jenis kelaminnya (Sarwono,1989). Menurut Masters,dkk (1982) dan menurut Rathus, dkk (2008) terdapat tingkatan perilaku seksual yang biasa dilakukan oleh seseorang. Tingkatan tersebut yaitu memegang dan bergandengan tangan yang berarti salah satu bentuk sentuhan, berpelukan, berciuman, menyentuh dengan memberi stimulasi pada bagian tubuh yang sensitif, memegang alat kelamin atau memberi stimulasi pada alat vital,

petting, oral genital, anal sex, dan coital sex play/vaginal sex

Perilaku seksual tersebut dapat dipicu atau dipengaruhi oleh beberapa faktor. Beberapa diantaranya ialah faktor gender, keluarga, pendidikan seksualitas di sekolah dan relasi heteroseksual.

Relasi heteroseksual di sekolah homogen dan di sekolah heterogen berbeda. Di sekolah homogen, remaja yang bersekolah di sana memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk memiliki relasi heteroseksual dibandingkan dengan remaja di sekolah heterogen. Hal tesebut


(22)

diakibatkan, relasi di sekolah homogen kebanyakan atau lebih sering dengan teman yang memiliki jenis kelamin yang sama.

Sekolah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran (Tim penyusun kamus pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, 1995/1996). Sekolah dapat dibagi menjadi 2 tipe yaitu sekolah homogen dan sekolah heterogen.

Sekolah heterogen berarti sekolah dengan murid yang memiliki jenis kelamin berbeda di dalamnya yaitu murid laki-laki dan perempuan. Menurut KBBI (1995/1996) heterogen berarti terdiri atas berbagai unsur yang berbeda sifat atau berlainan jenis. Jadi sekolah heterogen dapat diartikan sebagai lembaga atau bangunan yang muridnya terdiri dari jenis kelamin yang berbeda yaitu laki-laki dan perempuan.

Di sekolah heterogen remaja laki-laki dan perempuan mulai berteman dengan remaja lain yang berbeda jenis kelamin, hal ini kemudian dapat memunculkan perasaan suka terhadap mereka satu sama lain (Sudariyanti, 2011) yang memungkinkan untuk menarik atau memunculkan pula hasrat seksual yang mereka miliki. Untuk para remaja yang bersekolah di sekolah heterogen, tugas-tugas perkembangan yang dimiliki oleh remaja yaitu salah satunya memperoleh hubungan dengan teman-teman sebaya antara dua jenis kelamin (Garrison dalam Mappiare, 1982) dapat terlaksana dengan baik yang nantinya juga dapat


(23)

5

memunculkan hasrat seksual yang dapat pula menjurus pada perilaku seksual.

Para remaja di sekolah heterogen memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan perilaku seksual karena masing-masing remaja dapat melampiaskan keinginannya untuk melakukan perilaku seksual walaupun dalam tingkatan yang paling sederhana dengan lawan jenis di sekolah.

Berbeda halnya dengan remaja di sekolah homogen. Homogen menurut KBBI (1995/1996) berarti terdiri atas jenis, macam, sifat, watak dsb yang sama. Jadi dapat disimpulkan bahwa sekolah homogen adalah bangunan atau lembaga di mana murid yang belajar di dalamnya memiliki jenis kelamin yang sama. Menurut data faktual yang diamati sendiri oleh penulis, ditemukan fakta bahwa di sekolah homogen perempuan maupun laki-laki banyak yang membicarakan tentang perilaku seksual yang sudah pernah mereka lakukan. Pembicaraan yag dilakukan memperlihatkan bahwa remaja di sekolah homogen sudah pernah melakukan perilaku seksual namun pada tahap yang rendah seperti bergandengan tangan sampai berciuman atau kissing saja.

Di sekolah homogen, remaja memiliki waktu yang lebih sedikit untuk berkenalan serta mengenal lawan jenis mereka di sekolah. Dari situ kecil kemungkinan munculnya hasrat seksual dalam diri mereka dan kecil keinginan untuk menyalurkan hasrat seksual tersebut pada perilaku seksual.


(24)

Dari kedua jenis sekolah yang berbeda ternyata remaja yang bersekolah di sana sama-sama ditemukan hasil pernah melakukan perilaku seksual namun dalam tahapan yang berbeda. Di sekolah homogen remaja pernah melakukan perilaku seksual namun pada tahap yang rendah. Sedangkan di sekolah heterogen, perilaku seksual yang ada sudah pada tahap yang lebih tinggi.

Hal ini memunculkan kemungkinan adanya hubungan antara perilaku seksual dengan jenis sekolah. akan tetapi dari beberapa penelitian yang dilakukan mengenai perilaku seksual di sekolah belum ada yang meneliti kaitan perilaku seksual dengan jenis sekolah. Beberapa penelitian tentang perilaku seksual melihat hubungannya dengan teman sebaya dan pendidikan orang tua (Naryanti, 2001), pendidikan seksualitas dalam keluarga dan jenis kelamin (Trisminuratri, 2006), kontrol diri (Primasari, 2004). Kemudian muncul keinginan untuk melakukan penelitian mengenai perilaku seksual yang dikaitkan dengan jenis sekolah.

Penelitian ini penting untuk dilakukan karena, mungkin saja ada hubungan dari perilaku seksual dengan jenis kelamin. Nantinya, setelah melihat hasil dari penelitian ini maka dapat dilihat tingginya perilaku seksual remaja di sekolah homogen maupun heterogen agar nantinya dapat dipikirkan cara-cara pencegahan atau intervensi untuk menekan perilaku seksual yang dilakukan secara bebas dan tidak bertanggung jawab pada remaja yang duduk di bangku sekolah menengah atas.


(25)

7

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan dari latar belakang yang ada penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah ada perbedaan perilaku seksual remaja di sekolah homogen dan heterogen.

C.TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini ialah peneliti ingin mengetahui apakah ada perbedaan perilaku seksual remaja di sekolah homogen dan heterogen. Peneliti juga ingin melihat tingkat perilaku seksual saat ini di kalangan remaja.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

Di bidang psikologi sosial, pendidikan dan perkembangan, hasil penelitian ini berguna untuk mengembangkan dan memberikan info tentang perilaku seksual remaja

2. Manfaat Praktis

Bagi orang tua diharapkan mampu membekali anak-anak mereka pengetahuan tentang seksualitas serta dampak dari perilaku seksual yang dilakukan secara bebas.

Bagi mahasiswa fakultas Psikologi, diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberi masukan untuk para mahasiswa yang ingin meneliti tentang perilaku seksual pada remaja di sekolah homogen dan


(26)

heterogen yang bisa membantu mahasiswa untuk bahan pembuatan karya ilmia


(27)

9

BAB II

LANDASAN TEORI

A.REMAJA

1. Pengertian Remaja

Berdasarkan beberapa definisi atau pengertian remaja yang disampaikan beberapa ahli seperti Hall dan Freud dalam Santrock (2003); Jersild (1963); Meddinus & Johnson (1969) dan Seidman (1960), maka remaja dapat diartikan sebagai masa dimana seseorang sudah mengalami pubertas. Hal tersebut ditandai dengan tumbuh dan berkembangnya organ reproduksi serta ketertarikan pada lawan jenis. Perkembangan remaja yang diikuti oleh perkembangan biologis juga diikuti oleh perkembangan kognitif dan sosio-emosional yang didalamnya mencakup fungsi seksual, proses berpikir secara abstrak hingga kebebasan dalam menjalin suatu relasi. Dalam hal ini perempuan akan lebih cepat memasuki masa remajanya dibandingkan dengan laki-laki.Pada masanya, remaja akan mengalami pergolakan dan akan muncul konflik-konflik serta adanya perubahan suasana hati. Dalam diri mereka, akan mulai tumbuh rasa tanggung jawab atas diri sendiri serta lingkungan sekitar. Mereka juga mulai ada rasa atau keinginan dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi pengalaman-pengalaman baru yang akan mereka hadapi.


(28)

Ada berbagai pendapat menurut beberapa ahli dalam mengklasifikasikan mulai dan berakhirnya masa remaja. Menurut Sarwono (1981) seseorang dikategorikan sebagai remaja ketika berada pada kisaran usia antara 10 tahun sampai dengan 20 tahun, hal tersebut sesuai dengan data yang dimiliki oleh WHO. Sedangkan Hurlock dalam Mappiare (1982) menyatakan pada kisaran usia 12 tahun sampai 21 tahun. Ia membagi masa remaja menjadi 2 tahapan yaitu seseorang dikatakan masuk dalam masa remaja awal ketika berusia 12 atau 14 tahun sampai 17 tahun dan dikatakan masuk dalam masa remaja akhir ketika berusia 17 tahun sampai 21 tahun. Santrock (2003) memiliki pendapat yang berbeda, menurutnya seseorang dikatakan telah memasuki usia remaja ketika berusia 10-23 tahun. Pengklasifikasian tersebut berdasarkan pada budaya Amerika dan kebanyakan budaya lainnya.

Dilihat dari tahap perkembangan remaja, menurut Santrock (2003) dapat dibedakan menjadi 2 tahapan dalam klasifikasi pada masa perkembangan remaja. Tahap-tahap tersebut ialah :

a. Masa Remaja Awal

Pada masa remaja awal, seorang remaja sedang mengenyam pendidikan setara sekolah menengah pertama dan mencakup kebanyakan perubahan pubertas. Masa ini berlangsung ketika seseorang berusia 10 -17 tahun.


(29)

11

b. Masa Remaja Akhir

Seorang remaja dikatakan masuk dalam masa remaja akhir ketika mereka berusia 17-23 tahun. Pada masa ini para remaja telah memiliki ketertarikan kepada lawan jenis.

Selanjutnya, tahap perkembangan menurut Mappiare (1982) dibagi menjadi 2 tahap perkembangan. Tahap tersebut ialah :

a. Masa Remaja Awal

Remaja masuk dalam kriteria remaja awal dimulai saat ia berusia 12 atau 13 tahun sampai dengan 16 tahun.

b. Masa Remaja Akhir

Remaja masuk dalam kriteria remaja akhir saat ia berusia 17-18 tahun.

Berdasarkan beberapa teori tentang remaja dapat disimpulkan bahwa remaja ialah masa menuju kedewasaan. Seseorang dikatakan masuk dalam fase remaja ketika ia berusia 10-23 tahun. Perubahan mulai terjadi di berbagai aspek kehidupan seperti perubahan kognitif, sosioemosional bahkan perubahan suasana hati. Masa remaja ini disertai juga dengan matangnya fungsi organ seksual dan reproduksi seseorang. Secara beriringan, ketika fungsi organ seksual tersebut matang maka hasrat seksual dalam diri remaja juga akan ikut muncul.


(30)

2. Perkembangan yang Terjadi di Masa Remaja

a. Perkembangan Fisik

Masa remaja adalah masa dimana segala aspek dalam kehidupan seseorang, khususnya perkembangan fisik berkembang secara maksimal. Menurut Muss dalam Sarwono (1989) yang tidak jauh berbeda dengan teori mengenai kematangan organ seksual dan perkembangan tinggi badan dan berat badan menurut Santrock (2003) tahap-tahap perkembangan remaja dapat dibagi menjadi : 1) Perkembangan fisik pada remaja perempuan

a) Mencapai pertumbuhan tulang secara maksimal (badan menjadi tinggi, anggota badan menjadi lebih panjang)

b) Mengalami haid (sel telur siap dibuahi) c) Pertumbuhan payudara

d) Tumbuh bulu yang halus dan lembut yang berwarna gelap di kemaluan dan ketiak

e) Bulu kemaluan menjadi keriting 2) Pertumbuhan fisik pada anak laki-laki

a) Pertumbuhan tulang secara maksimal (tinggi badan bertambah) b) Mengalami ejakulasi (keluarnya air mani) pada peristiwa

mimpi basah

c) Testis (buah pelir) membesar


(31)

13

e) Tumbuh serta bertambah gelap dan tebal rambut-rambut halus di wajah (kumis, jenggot)

f) Tumbuh bulu halus di dada g) Bulu kemaluan menjadi keriting b. Perkembangan Sosial

Perkembangan sosial menurut Scheinfeld dalam Hurlock (1959) seorang remaja mengalami perubahan pada umur yang berbeda. Perubahan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut : 1) Saat seorang remaja berumur 10-12 tahun, baik remaja

perempuan atau remaja laki-laki masih memilih untuk bermain dan memilih teman bermain yang memiliki gender yang sama dengan mereka. Jadi dapat dikatakan bahwa remaja laki-laki akan bermain hanya dengan remaja laki-laki dan remaja perempuan juga akan bermain hanya dengan remaja perempuan.

2) Saat remaja berusia 13-14 tahun, mereka masih memiliki kecenderungan untuk bermain dengan teman remaja yang memiliki jenis kelamin sama, namun ada perbedaan untuk remaja perempuan. Mereka sudah mulai tertarik dengan remaja laki-laki dan mencoba menarik perhatian teman laki-laki mereka.

3) Saat memasuki usia 14-16 tahun, remaja laki-laki mulai menujukkan ketertarikan dengan remaja perempuan. Beberapa individu mulai berpasang-pasangan.


(32)

4) Ketika mereka mulai berumur 16-17 tahun, baik laki-laki maupun perempuan banyak yang mulai menjalin hubungan dengan lawan jenis. Pergi berpasang-pasangan dengan teman sebaya lain atau dalam satu grup merupakan hal yang wajar pada tahap ini.

c. Perkembangan Emosi

Masa remaja memasuki periode “badai dan tekanan”, masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Tingginya emosi mereka, diakibatkan karenaremaja laki-laki dan perempuan berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru, sedangkan selama masa kanak-kanak ia kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan-keadaan itu (Erikson dalam Santrock, 2002).

d. Perkembangan Kognitif

Menurut Piaget dalam Latifah (2008) dikatakan bahwa perkembangan kognitif pada remaja berada pada tahap operasi formal yaitu tahap berfikir yang dicirikan dengan kemampuan berfikir secara logis, abstrak, hipotesis, dan ilmiah. Operasional berpikir tidak lagi terbatas pada objek konkrit seperti pada usia sebelumnya. Saat ini remaja memiliki kemampuan yang lebih baik dalam berpikir hipotetik dan logis.

Perkembangan remaja terdiri dari perkembangan fisik, sosial, emosi dan kognitif. Para remaja akan mulai mengalami pubertas dan


(33)

15

mulai muncul hasrat seksual dalam diri mereka.Di usia 14-17, wajar bagi para remaja untuk mulai berpasang-pasangan dan berhubungan lebih intim dengan lawan jenis.

3. Tugas-tugas Perkembangan Remaja

Tugas-tugas perkembangan remaja dapat diartikan sebagai sebuah petunjuk yang membuat seorang remaja mengerti dan memahami apa yang menjadi tuntutan masyarakat dan lingkungan kepada remaja. Tugas perkembangan juga dapat diartikan sebagai petunjuk bagi seseorang untuk menuntun mereka menghadapi masa depan. (Mappiare, 1982).

Menurut Havinghurst dalam Mappiare (1982), tugas-tugas yang dimiliki oleh remaja antara lain :

a. Menerima keadaan psikisnya dan menerima peranannya sebagai pria atau wanita

b. Menjalin hubungan-hubungan baru dengan teman-teman sebaya baik sesama jenis maupun lain jenis kelamin.

c. Memperoleh kebebasan secara emosional dari orang tuanya dan orang-orang dewasa lain.

d. Memperoleh kepastian dalam hal kebebasan pengaturan ekonomi. e. Memilih dan mempersiapkan diri ke arah suatu pekerjaan atau


(34)

f. Mengembangkan keterampilan-keterampilan konsep-konsep intelektual yang diperlukan dalam hidup sebagai warganegara yang terpuji.

g. Menginginkan dan dapat berperilaku yang diperbolehkan oleh masyarakat.

h. Mempersiapkan diri untuk pernikahan dan hidup berkeluarga.

i. Menyusun nilai-nilai kata hati yang sesuai dengan gambaran dunia, yang diperoleh dari ilmu pengetahuan yang cukup.

Selanjutnya 6 tugas perkembangan menurut Garrison dalam Mappiare (1982) mengatakan :

a. Remaja dapat menerima keadaan jasmani yang berarti ketika periode pubertas anak remaja diharapkan berkembang pula citra dan sikap diri. Hal ini dikarenakan karena umumnya mereka memiliki kekhawatiran jika keadaan dirinya tidak sebagus/seindah teman-teman sebayanya.

b. Memperoleh hubungan baru dan lebih matang dengan teman-teman sebaya antara dua jenis kelamin. Akibat dari adanya kematangan seksual, remaja mulai memulai hubungan terutama antara dua jenis kelamin yang berbeda. Sangat penting bahwa remaja harus mendapat penerimaan dari kelompok teman sebaya lawan jenis maupun sesama jenis agar ia merasa dibutuhkan dan berharga.

c. Menerima keadaan sesuai jenis kelaminnya dan belajar hidup seperti kaumnya. Hal ini berarti bahwa remaja diharapkan mampu


(35)

17

menerima keadaan diri sebagai pria atau wanita dengan sifat dan tanggung jawab kaumnya masing-masing.

d. Memperoleh kebebasan emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya. Mengartikan bahwa mereka dituntut untuk tidak lagi mengalami perasaan bergantung secara emosi dengan keluarga mereka seperti contohnya sewaktu anak-anak mereka akan ikut menangis jika orang tua mereka menangis.

e. Memperoleh kesanggupan berdiri sendiri dalam hal-hal yang bersangkutan dengan ekonomi atau keuangan. Remaja diharapkan sedikit demi sedikit untuk tidak bergantung dari bantuan ekonomi keluarga dengan mendapatkan pekerjaan (jangka pendek) dan mulai mempersiapkan diri memasuki lapangan kerja. Selanjutnya remaja diharapkan punya keterampilan dalam pengaturan pengeluaran uang belanja, memprioritaskan apa yang akan dibelanjakan dan mengatur penggunaan barang yang dibeli.

f. Mendapatkan perangkat nilai-nilai hidup dan falsafah hidup. Berarti bahwa remaja diharapkan punya standar dalam berpikir, sikap dan perasaan juga perilaku yang dapat menuntun dan mewarnai berbagai aspek kehidupannya di masa dewasa nanti.

Tugas perkembangan adalah panduan untuk membantu seseorang mengerti dan memahami tanggung jawabnya di dalam masyarakat dan lingkungan dengan usia yang dimiliki seseorang. Tugas tersebut meliputi penerimaan diri secara fisik, memiliki kebebasan dalam hal emosi,


(36)

sanggup mandiri dalam ekonomi, menjalin relasi dengan lawan jenis, memiliki prinsip hidup sendiri dan mengembangkan konsep intelektual yang didapatkan dari sekolah.

Selanjutnya dapat ditarik kesimpulan bahwa remaja ialah masa dimana seseorang menuju ke arah kedewasaan. Seseorang dikatakan masuk dalam masa remaja ketika ia berusia 10-23 tahun. di usia 14-17 wajar bagi mereka untuk mulai berpasang-pasangan dengan lawan jenis. Proses ini diawali dengan dimulainya pubertas, matangnya fungsi organ reproduksi, berkembangnya fisik dan berkembangnya relasi dengan lawan jenis serta berkembangnya konsep-konsep intelektual yang dimiliki.

B. PERILAKU SEKSUAL

1. Perilaku Seksual

Perilaku seksual adalah berbagai macam bentuk kegiatan yang berhubungan dengan aktifitas sosial yang bertujuan untuk menyalurkan hasrat seksual. Biasanya dilakukan oleh dua orang yang berbeda jenis kelamin (Sarwono, 1989).

Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Impett & Tolman (2006) perilaku seksual yang biasa diteliti ialah mengenai perilaku seksual laki-laki namun pada remaja perempuan jarang diteliti dan dilihat sampai dampak dari perilaku seksualnya terlihat seperti kehamilan dan juga penyakit seksual. Banyak penelitian menunjukkan bahwa disaat para remaja menyelesaikan pendidikannya di SMA,


(37)

19

ternyata mereka telah memiliki pengalaman tentang seksualitas. Dapat ditarik kesimpulan bahwa saat mengenyam pendidikan di SMA mereka sudah pernah melakukan hubungan seksual. Namun menurut More & Davidson, Sawyer & Smith, dkk. dalam Impett & Tolman (2006) terdapat dampak dari perilaku seksual yang mereka lakukan seperti perasaan bersalah, rasa malu, rasa marah dan rasa kecewa.

Dari beberapa teori diatas perilaku seksual berarti kegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk menyalurkan hasrat seksual yang ada dalam diri mereka. Saat ini remaja yang duduk di bangku SMA banyak yang sudah melakukan hubungan seksual di luar pernikahan.

2. Tahap Perilaku Seksual

Selanjutnya jika dilihat dari tahapan perilaku seksual menurut Masters dkk (1982), tahapan tersebut dibagi menjadi :

g. Memegang dan bergandengan tangan

Memegang atau bergandengan tangan merupakan salah satu bentuk sentuhan. Sentuhan merupakan bentuk perilaku seksual dan bisa diartikan menjadi beberapa hal. Sentuhan dapat berarti komunikasi contohnya memberi ucapan selamat. Sentuhan juga dapat berarti melakukan sesuatu untuk mendapat kepuasan seksual. Pada pengertian paling dalam, sentuhan dapat diartikan memberi rasa nyaman dan kepercayaan.


(38)

h. Berpelukan

Merupakan simbol afeksi yang gunanya untuk memberikan rasa nyaman dan percaya pada pasangan

i. Berciuman

Berciuman adalah salah satu bentuk sentuhan yang berarti simbol afeksi. Berciuman juga dapat bersifat erotik. Ciuman dibagi menjadi 2 jenis. Jenis pertama ialah ciuman ringan atau simple kissing seperti mencium kening atau mencium pipi yang masuk dalam simbol afeksi. Kemudian jenis kedua ialah ciuman sensual yang dapat membangkitkan gairah seksual seperti ciuman di bibir atau ciuman di leher (necking) .

j. Menyentuh dengan memberi stimulasi pada bagian tubuh yang sensitif.

Tahapan ini dapat dicontohkan seperti menyentuh atau menstimulasi payudara. Biasanya dilakukan oleh pria kepada wanita. k. Memegang alat kelamin

Memberi stimulasi pada alat vital untuk memberi kesenangan seksual. Hal ini dilakukan karena alat vital merupakan bagian yang sangat sensitif terhadap sentuhan.

l. Petting

Petting adalah kegiatan memberi kenikmatan seksual tanpa memasukan penis dalam vagina. Hal ini dilakukan sebagai upaya seseorang untuk mempersiapkan organ genital sebelum melakukan


(39)

21

penetrasi (memasukkan penis ke dalam vagina). Tingkatan ini disebut juga tahapan mendekati hubungan seksual secara utuh. m. Oral genital

Oral genital berarti memberi stimulasi genital dengan mulut. Pemberian stimulasi ini juga biasa disebut coital sex. Tahapan ini juga disebut fellatiokarena memberikan stimulus dan kenikmatan seksual lewat mulut dan lidah. Apabila memberi stimulus pada alat vital wanita disebut dengan cunnilingus. Seseorang melakukan tahapan ini dengan cara menjilat,menghisap, berciuman dan gigitan. n. Anal sex

Anal sex berarti perilaku seksual dengan memasukan alat kelamin pria atau benda lain melalui dubur pasangannya. Tekhnik ini biasa dilakukan oleh pasangan homoseksual.

o. Coital sex play/vaginal sex

Perilaku seksual ini merupakan perilaku seksual yang paling wajar dilakukan oleh pasangan heteroseksual. Pada tahap ini penis dimasukkan ke dalam vagina.

Adapun tahapan perilaku seksual menurut Rathus, Nevid dan Fichner (2008) terdiri dari :

a. Foreplay atau perilaku seksual yang dilakukan tanpa adanya penetrasi alat kelamin. Seperti : berpelukan, berciuman, petting, dan kontak oral-genital.


(40)

1) Kissing : gerakan menyesap atau menyedot bibir dan lidah pasangan yang menyebabkan terjadinya saling bertukar ludah dari mulut pasangannya.

(a)Simple kissing : dalam berciuman, pasangan sama-sama tetap menjaga mulut agar tertutup, dapat pula mulai menjilat bibir pasangan dengan lidah atau menggigit dengan perlahan bagian bawah bibir pasangan

(b)Deep Kissing : gaya berciuman ini disebut juga dengan

French Kiss atau berciuman dengan lidah pasangan dimasukkan ke dalam mulut pasangannya.

b. Touching

Perilaku seksual ini dilakukan untuk memberi kepuasan seksual dengan memegang bagian tubuh yang sensitif. Hal ini dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu :

1) Stimulasi pada payudara

Menyentuh payudara khususnya di daerah puting, biasanya dilakukan laki-laki pada perempuan.

2) Oral-genital Stimulation atau menstimulasi alat kelamin

(a) Fellatio: perilaku menjilat penis yang biasa dilakukan oleh perempuan pada pasangannya

(b) Cunnilingus: menjilat atau menstimulus vagina (klitoris) biasa dilakukan laki-laki pada pasangannya.


(41)

23

c. Sexual Intercourse

Aktifitas yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, dimana penis atau alat kelamin laki-laki dimasukkan ke dalam vagina atau alat kelamin perempuan

Ditinjau dari beberapa pengertian perilaku seksual diatas, dapat disimpulkan bahwa, perilaku seksual adalah tahapan atau tingkatan perilaku yang digunakan untuk menyalurkan hasrat seksual yang dimiliki oleh seseorang. Bagi remaja perempuan penelitian yang dilakukan untuk melihat perilaku seksual yang mereka lakukan masih sangat sedikit dibanding dengan perilaku seksual pada remaja laki-laki. Dari banyak penelitian di Indonesia tingkat perilaku seksual di SMA juga cukup tinggi. Kemudian jika dilihat dari tahap perilaku seksual dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan.

Dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual adalah tahap dimana tahapan tersebut dimulai dari tahap yang paling ringan atau touching

yang berfungsi untuk memunculkan kenyamanan atau dapat dikatakan menjadi simbol afeksi yaitu berpegangan tangan dan berpelukan. Selanjutnya tahapan yang berfungsi untuk memunculkan hasrat seksual yaitu kissing, necking dan touching genital. Tahap yang terakhir ialah menyalurkan hasrat seksual untuk mencapai kepuasan seksual atau orgasme yang meliputi petting, oral sex dan sexual intercourse.


(42)

3. Faktor-faktor Penyebab Remaja Melakukan Perilaku Seksual

a. Faktor Keluarga

Faktor keluarga memiliki peran penting untuk mengontrol perilaku seksual para remaja. Dengan pemberian informasi serta pemahaman yang utuh dari para orang tua tentang seksualitas mampu menghambat munculnya perilaku seksual yang menyimpang pada remaja (Welling, Nanchahal & Macdowal, 2001).

Menurut Day dalam Banner (1993) jika seorang remaja, baik laki-laki maupun perempuan yang tinggal satu rumah dengan ayah kandung mereka dapat memperlambat intercourse yang pertama kali dengan pasangan.

Menurut Situmorang (2003) orang tua memiliki andil yang lebih besar untuk menjaga remaja perempuan mereka dalam hal perilaku seksual dengan lebih banyak memberikan pendidikan tentang seksualitas dan membatasi pergaulan anak perempuan mereka dibandingkan dengan anak laki-laki.

b. Faktor pendidikan tentang seksualitas di sekolah

Menurut Creagh (2004) pendidikan seksualitas di sekolah swasta Kristiani berbeda dengan pendidikan seksualitas di sekolah negeri. Di sekolah negeri pendidikan seksualitas dianggap tidak penting diberikan kepada murid-murid mereka karena ada anggapan bahwa murid yang terpilih dan bersekolah di sana merupakan murid pilihan yang berasal dari masyarakat menengah keatas yang sudah


(43)

25

pasti tidak terlibat pada perilaku seksual yang tidak bertanggung jawab. Di skeolah negeri pemberian pengetahuan seksualitas hanya sebatas mengundang tamu dari luar untuk memberikan pengetahuan tentang bahaya seks yang tidak bertanggung jawab

Berbeda dengan sekolah negeri, di sekolah Kristiani pendidikan seksualitas dianggap sangat penting. Sekolah memberikan pendidikan terbuka tentang seksualitas pada murid-murid di sana. Guru Bimbingan Konseling di sekolah Kristen atau Katholik menggunakan panduan UNICEF dicampur dengan akhlak yang sesuai dengan agama Kristen atau Katholik untuk memberikan pendidikans seks di sekolah.

c. Faktor Gender

Seorang laki-laki cenderung memiliki hasrat seksual yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Ada pula penelitian yang menyatakan bahwa perempuan memiliki hasrat seksual yang cukup tinggi namun lebih bisa menahan diri untuk menyalurkannya dibanding dengan laki-laki (Lendis dalam Mellis, 1971).

Menurut Roscoe, Kennedy dan Pope dalam Banner (1993) perbedaan ekspektasi tentang intimasi dapat menyebabkan pengertian mengenai sex pada laki dan perempuan. bagi laki-laki perilaku seksual merupakan alasan mereka memiliki hubungan dengan lawan jenis. Sedangkan bagi perempuan keterbukaan merupakan hal yang lebih penting dalam suatu hubungan.


(44)

Remaja laki-laki, menurut Situmorang (2003) memiliki kesempatan dan kebebasan untuk melakukan hubungan seksual dibandingkan dengan remaja perempuan. sedangkan anak perempuan memiliki kebebasan yang lebih sedikit dalam hal perilaku seksual.

d. Faktor Perilaku Heteroseksual

Pada penelitian yang dilakukan oleh Mutiara, Komariah dan Karwati (2010) diketahui bahwa relasi heteroseksual dapat memicu perilaku seksual. Menurut Hurlock (1976) relasi heteroseksual pada remaja dapat memicu perilaku seksual.

Menurut Brannon (1996) perilaku heteroseksual merupakan perilaku yang wajar dimiliki oleh sebagian besar orang. Ketertarikan seksual dengan lawan jenis lebih mendominasi dibandingkan dengan sesama jenis.

Santrock dalam Brannon (1993) mengatakan bahwa eksplorasi dalam seksualitas merupakan hal yang wajar dalam berkencan. Ketika remaja mulai melakukan aktifitas berkencan, kemungkinan untuk melakukan perilaku seksual menjadi tinggi. Menurut Hurlock (1980) ketika remaja telah matang secara

seksual maka, baik laki-laki dan perempuan akan mengembangkan sikap baru pada lawan jenis pada kegiatan yang melibatkan leki-laki dan perempuan. Minat baru ini bersifat romantis dan disertai dengan keinginan yang kuat untuk memperoleh dukungan dari


(45)

27

lawan jenis. Ada dua unsur yang berbeda dalam perilaku heteroseksual yaitu perkembangan pola perilaku yang melibatkan dua jenis kelamin yang berbeda dan perkembangan sikap yang berhubungan dengan relasi antara kedua kelompok seks.

Pola perilaku seksual yang biasa dalam berkencan dan berpacaran adalah berciuman, bercumbu ringan, bercumbu berat kemudian bersenggama. Karena saat ini remaja mulai berkencan dan mempunyai pasangan tetap lebih awal maka mereka lebih mudah terlibat dalam perilaku seksual lebih awal pula dengan lawan jenis. Bersenggama merupakan hal yang wajar bagi remaja masa kini.

Dari beberapa teori diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual adalah bentuk tindakan yang bertujuan menyalurkan hasrat seksual. Penelitian tentang perilaku seksual pada remaja perempuan masih sangat sedikit dibanding dengan perilaku seksual pada remaja laki-laki. Perilaku seksual dapat dibedakan menjadi beberapa tahapan yang dimulai dari tahap yang paling ringan atau touching yang berfungsi untuk memunculkan kenyamanan atau dapat dikatakan menjadi simbol afeksi yaitu berpegangan tangan dan berpelukan. Selanjutnya tahapan yang berfungsi untuk memunculkan hasrat seksual yaitu kissing, necking dan

touching genital. Tahap yang terakhir ialah menyalurkan hasrat seksual untuk mencapai kepuasan seksual atau orgasme yang meliputi petting, oral sex dan sexual intercourse.


(46)

Beberapa faktor penyebab yang ternyata memicu timbulnya perilaku seksual pada seseorang diantaranya ialah dari faktor keluarga, perbedaan gender dan perilaku heteroseksual.

C.Sekolah Homogen dan Heterogen

1. Sekolah

Arti sekolah sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran

a. Fungsi sekolah

Ketika seseorang dikatakan remaja maka saat itu ia sedang menempuh pendidikan salah satunya di sekolah menengah atas. Sekolah menengah atas dikatakan bertujuan untuk mengarahkan siswa menuju “gudang remaja” yang mengisolasi diri remaja dalam dunianya dan nilai-nilai diri remaja yang jauh dari kehidupan orang dewasa (Brown,Coleman,Martin dalam Santrock 2003).

Dikatakan pula menurut gerakan kembali ke asal atau back to basics movement bahwa sekolah merupakan pelatihan keterampilan intelektual yang ketat melalui sejumlah mata pelajaran seperti bahasa Inggris, matematika dan ilmu pengetahuan (Santrock, 2003)


(47)

29

b. Jenis Sekolah

Sekolah sendiri dapat dibagi menjadi 2 jenis dilihat dari jenis murid yang bersekolah didalamnya yaitu

1) Sekolah heterogen

Sekolah heterogen berarti sekolah dengan 2 jenis kelamin berbeda di dalamnya yaitu laki-laki dan perempuan. Menurut KBBI (1995/1996) heterogen berarti terdiri atas berbagai unsur yang berbeda sifat atau berlainan jenis. Jadi sekolah heterogen dapat diartikan sebagai lembaga atau bangunan yang siswanya terdiri dari jenis kelamin yang berlainan jenis atau laki-laki dan perempuan.

Sekolah heterogen masuk dalam jenis sekolah dilihat dari jenis kelamin murid-murid yang belajar didalamnya. Di sekolah heterogen remaja belajar bersama-sama di dalam kelas, sehingga mereka mempunyai kesempatan untuk berinteraksi lebih dalam antara murid laki-laki dan perempuan.

2) Sekolah homogen

Sekolah homogen adalah bangunan atau lembaga dimana siswa yang belajar didalamnya memiliki jenis kelamin yang sama. Sekolah homogen ialah sekolah dengan hanya 1 jenis kelamin murid di dalamnya yaitu hanya murid perempuan atau hanya murid laki-laki saja.


(48)

Berkebalikan dengan sekolah heterogen, sekolah homogen merupakan jenis sekolah dimana siswa yang bersekolah memiliki jenis kelamin yang sama. Jika sekolah homogen tersebut adalah sekolah homogen putri maka hanya ada siswi perempuan yang bersekolah di dalamnya. Begitu pula jika sekolah tersebut adalah sekolah homogen putra, maka hanya ada siswa laki-laki yang bersekolah di dalam sekolah tersebut. Dari pengertian sekolah diatas dapat disimpulkan bahwa sekolah dalam hal ini dibedakan menurut jenisnya. Jenis sekolah tersebut dibagi menjadi 2 yaitu sekolah heterogen dan juga sekolah homogen dilihat dari gender atau jenis kelamin murid yang bersekolah didalamnya.

Sekolah heterogen merupakan sekolah dimana murid-murid yang bersekolah di dalamnya memiliki jenis kelamin yang beragam yaitu laki-laki dan perempuan. Mereka bersama-sama belajar di sekolah dengan waktu dan tempat yang sama.

D. Perbedaan Perilaku Seksual Remaja di Sekolah Homogen dan

Heterogen

Remaja yang mengalami pubertas memiliki keinginan untuk membentuk hubungan baru dengan lawan jenis dan lebih matang dengan lawan jenis. Hasrat seksual merupakan hal yang wajar dimiliki para


(49)

31

remaja dan hasrat seksual tersebut wajar pula jika ingin disalurkan pada perilaku seksual.

Di sekolah heterogen, remaja di sana memiliki kesempatan yang lebih besar untuk memiliki relasi heteroseksual dibandingkan dengan di sekolah homogen karena mereka memiliki waktu yang lebih banyak untuk berelasi dengan lawan jenis. Dari situ dilihat dari tugas perkembangan yang dimiliki remaja yaitu membentuk hubungan baru yang lebih intim, mereka dapat lebih mudah untuk melaksanakan tugas perkembangan tersebut. Perilaku heteroseksual biasa dikaitkan dengan berpacaran atau berkencan. Hal tersebut mampu memunculkan hasrat seksual dalam diri remaja dan keinginan untuk menyalurkannya melalui perilaku seksual lebih mudah untuk terjadi di sekolah heterogen.

Berkebalikan dengan remaja di sekolah heteogen, di sekolah homogen kesempatan untuk berkenalan dengan lawan jenis dan memiliki hubungan yang lebih intim dengan lawan jenis lebih kecil. Kesempatan untuk berkencan atau berpacaran bukan menjadi prioritas di sekolah homogen. Hasrat seksual yang dapat muncul ketika terjadi relasi heteroseksual dengan lawan jenispun frekuensinya menjadi lebih kecil dibandingkan dengan remaja di sekolah heterogen.

Kecilnya muncul hasrat seksual dalam diri remaja di sekolah homogen membuat keinginan untuk menyalurkannya pada perilaku seksual menjadi kecil. Hal ini membuat remaja di sekolah homogen


(50)

memiliki perilaku seksual yang lebih rendah dibandingkan dengan remaja di sekolah heterogen.

E.Hipotesis

Berdasarkan teori di atas dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut : “Ada perbedaan perilaku seksual antara remaja yang bersekolah di sekolah homogen dengan remaja yang bersekolah di sekolah heterogen, dimana perilaku seksual remaja di sekolah heterogen lebih tinggi dibandingkan dengan remaja di sekolah homogen”.


(51)

33

BAGAN PERBEDAAN PERILAKU SEKSUAL REMAJA DI SEKOLAH HOMOGEN DAN HETEROGEN

Jenis Sekolah Menurut

Jenis Kelamin Murid

SEKOLAH HOMOGEN

SEKOLAH

HETEROGEN

 Kurang ada relasi dengan lawan jenis

 Tidak terlalu memikirkan untuk memiliki pacar atau pasangan

 Kemungkinan munculnya hasrat seksual lebih kecil

 keinginan menyalurkan hasrat seksual lebih kecil

 Ada relasi dengan lawan jenis lalu mulai muncul ketertarikan

 Kesempatan untuk berpacaran lebih besar

 Kemungkinan munculnya hasrat seksual lebih besar

 Muncul keinginan untuk menyalurkan hasrat seksual

Perilaku seksual tinggi


(52)

34

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini yang menggunakan metode komparatif atau perbandingan. Bertujuan untuk membandingkan perilaku seksual remaja di sekolah homogen dan heterogen.

B. Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas : Jenis Sekolah 2. Variabel Tergantung : Perilaku Seksual

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi operasional yang digunakan pada penelitian ini adalah : 1. Perilaku Seksual

Perilaku seksual merupakan tindakan yang bertujuan untuk menyalurkan hasrat seksual yang dimulai dari tahapan yanng paling ringan sampai yang paling berat (sexual intercourse). Pada penelitian ini, perilaku seksual diukur dengan menggunakan skala perilaku seksual yang dibuat oleh peneliti sendiri. Skala tersebut berisi tentang gabungan 8 tahapan perilaku seksual sesuai dengan teori Masters,dkk (1986) dan teori dari Rathus, Nevid dan Fichner ( 2008 ). Tahapan perilaku seksual terdiri dari : Bergandengan tangan, berpelukan,


(53)

35

kissing, necking, touching genital, petting, oral sex dan sexual intercourse.

Nantinya skor tinggi pada skala menunjukkan tingginya perilaku seksual dan saat skor rendah menunjukkan rendahnya perilaku seksual.

2. Sekolah Homogen dan Heterogen

Sekolah homogen dan heterogen adalah jenis sekolah berdasarkan kelompok jenis kelamin. Jenis sekolah ini dibedakan dari jenis kelamin siswa bersekolah di dalamnya. Untuk mengetahui tempat dimana subjek bersekolah, digunakan data demografik.

D. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah : 1. Remaja dengan usia 14-17 tahun.

2. Murid sekolah homogen dan heterogen di Yogyakarta.

Subjek dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling,

yaitu teknik pemilihan subjek berdasarkan ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang mempunyai keterikatan yang erat dengan ciri-ciri atau sifat dari populasinya (Hadi,2004). Teknik ini dipakai pada subjek dengan usia 14-17 tahun dan duduk di kelas 2-3 sekolah menengah atas. Kriteria tersebut disesuaikan dengan perkembangan sosial subjek pada usia 14-17 tahun, subjek telah mulai berpasang-pasangan dengan lawan jenis (Scheinfield dalam Hurlock, 1959).


(54)

E. Metode Pengumpulan Data

Peneliti menggunakan skala yang dibuat dengan mengacu pada teori perilaku seksual Master, dkk (1986) dan teori perilaku seksual Rathus, Nevid dan Fichner (2008) untuk mengumpulkan data.

Tiap pernyataan akan diberikan dua pilihan jawaban yaitu “pernah” dan “tidak pernah”. Skala dengan dua jawaban tersebut diadaptasi dan dikembangkan sendiri oleh peneliti sendiri dari skala skalogram yang dibuat oleh Guttman (Edward, 1957).

Tiap tahap perilaku seksual akan diberikan skor yang berbeda. Skor diberikan sesuai dengan ringan dan beratnya perilaku seksual seperti telah diurutkan oleh Master, dkk (1986) serta Rathus, Nevid dan Fichner (2008).

Jika subjek menjawab “pernah”, maka skor yang diberikanberkisar dari 1-8 dan jika subjek menjawab “tidak pernah” maka akan diberikan skor 0. Dalam proses pengerjaan, ketika subjek menjawab “tidak pernah” maka subjek harus berhenti mengerjakan pernyataan yang ada dan diasumsikan bahwa tahap subjek “tidak pernah” melakukan tahapan selanjutnya. Hal tersebut juga menandakan, sampai pada jawaban “pernah” yang terakhirlah perilaku seksual yang sudah pernah dilakukan.

Skor total didapatkan dari penjumlahan tiap tahap yang dijawab “pernah” oleh subjek. Jika subjek belum pernah melakukan tahapan seksual sama sekali maka skor yang di berikan adalah 0.


(55)

37

Pemberian skor didasarkan pada tahap akhir perilaku seksual yang pernah dilakukan. Akumulasi nilai yang dilakukan dengan cara menambahkan skor dari banyaknya tahap perilaku seksual yang berbeda dilakukan karena tiap tahap memiliki bobot yang berbeda dan tidak bisa disamakan bukan semata hanya dilihat dari tahap yang berbeda saja.

Tabel 1

Penskoran Item

No. Tahapan perilaku seksual Skor

1 Bergandengan tangan 1

2. Berpelukan 2

3. Kissing 3

4. Necking 4

5. Touching genital 5

6. Petting 6

7. Oral sex 7

8. Sexual intercourse 8

F. Validitas dan Reliabilitas Skala

Sebelumya, peneliti melakukan tryout kepada 20 orang subjek penelitian pada tanggal 10 Oktober 2013, untuk melihat sejauh mana mereka jujur menjawab pernyataan-pernyataan yang ada dalam kuisioner. Tidak ada seleksi item pada kuisioner karena pernyataan dalam kuisioner merupakan tahapan perilaku seksual yang diasumsikan bahwa saat subjek


(56)

sampai pada tahap akhir maka subjek pasti telah melewati semua tahap sebelumnya. Maka tidak ada item yang gugur dalam kuisioner pada penelitian ini.

1. Validitas

Validitas berasal dari kata validity, yang berarti seberapa tepat dan cermat suatu alat ukur dapat melakukan fungsi ukur dari suatu instrumen. Alat ukur dapat dikatakan valid, ketika mampu memberiksan hasil ukur yang sesuai dengan maksud awal sebelum pengukuran dilakukan. Jika ingin mengukur instrumen Z maka ketika alat ukur tersebut memberikan hasil informasi dan hasil yang mengukur intrumen Z, maka alat ukur tersebut memiliki validitas yang tinggi.

Dalam penelitian ini pengujian validitas yang digunakan adalah validitas isi, yaitu validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat Professional Judgement.

Analisis ini diperoleh dengan cara mengkonsultasikan item-item yang telah dibuat kepada ahli atau dosen pembimbing, dengan tujuan agar item-item yang dibuat dapat mewakili atau mencakup komponen-komponen dalam keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur (aspek representasi) dan sejauhmana item-item tes mencerminkan ciri perilaku yang hendak diukur (aspek relevansi). (Azwar, 2005).


(57)

39

2. Reliabilitas

Menurut Azwar (2011) reliabilitas berasal dari kata rely dan

ability. Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi maka dapat dikatakan sebagai pengukuran yang bersifat reliabel. Dapat disimpulkan bahwa konsep reliabilitas berarti bahwa, bagaimana suatu pengukuran dapat dipercaya kebenarannya. Pengukuran yang akurat dapat dijelaskan sebagai pengukuran yang hasilnya tetap sama atau tidak ada perbedaan yang berarti saat alat ukur diberikan pada subjek yang sama untuk beberapa kali pengukuran.

Dalam aplikasinya, reliabilitas dinyatakan dengan koefisien reliabilitas yang angkanya berada dalam rentang 0 sampai dengan 1,00. Semakin tinggi koefisien reliabilitas mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi reliabilitasnya (Azwar, 2011).

Reliabilitas yang didapatkan pada skala tryout adalah sebesar 0,816 yang menandakan bahwa skala tersebut memiliki reliabilitas yang cukup tinggi.

G. Metode Analisis Data

1. Uji asumsi

a. Uji normalitas

Uji normlitas merupakan uji yang dlakukan untuk mengecek apakah data yang diperoleh dari penelitian merupakan data yang berasal dari populasi yang sebarannya normal. Data


(58)

normal memiliki bentuk kurva yang sama. Analisis yang digunakan adalah dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov. Jika data memiliki p lebih besar atau sama dengan 0,05 maka dapat disimpulkan data tersebut tidak berbeda secara signifikan dengan data virtual yang normal (Santoso, 2010).

b. Uji homogenitas

Uji homogenitas berfungsi untuk melihat apakah varian ada kesamaan varian dari dua populasi yang diuji (Samtoso, 2010). Menurut Priyatno (2010) jika p lebih dari 0,05 maka dapat dikatakan bahwa data berasal dari populasi yang memiliki varian sama namun jika p kurang dari 0,05 maka dapat dikatakan bahwa data berasal dari populasi yang memiliki varian tidak sama.

2. Uji Hipotesis

a. Independent sample t-test

Independent sample t-test atau uji sampel bebas digunakan untuk menguji perbedaan rata-rata dari dua kelompok data atau sampel yang independen. Hasilnya dilihat dari signfikasi H0 pada data. Jika p lebih dari 0,05 maka H0 diterima namun jika kurang dari sama dengan 0,05 maka H0 ditolak (Priyatno,2010)


(59)

41

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian pertama, dilakukan di sekolah homogen perempuan pada hari Sabtu tanggal 26 Oktober 2013. Selanjutnya penelitian di sekolah heterogen dilakukan pada hari 15 November 2013 dan yang terakhir penelitian di sekolah homogen laki-laki pada hari Jumat tanggal 22 November 2013.

Peneliti mengambil data pada remaja sekolah homogen dan heterogen di Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan dengan cara menyebarkan 140 skala. Pengambilan data dilakukan dengan cara datang ke sekolah-sekolah dan masuk ke kelas 2 atau XI pada saat jam pelajaran BK atau Konseling.

Dalam proses pengambilan data, peneliti mengalami beberapa hambatan seperti lamanya prosedur yang harus dilakukan untuk bisa mengambil data di beberapa sekolah. Hal ini membuat pengolahan data menjadi sedikit lama untuk bisa dilakukan.

B. Deskripsi Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini berjumlah 140 orang. Terdiri dari remaja yang bersekolah disekolah homogen yaitu 35 perempuan dan 35 laki-laki, kemudian 70 orang lainnya merupakan remaja yang bersekolah


(60)

di sekolah heterogen yaitu 35 perempuan dan 35 laki-laki. Deskripsi umum tentang subjek berdasarkan usia, jenis kelamin dan nama sekolah.

Tabel 2.

Karakteristik Subjek Penelitian

Usia Jumlah Prosentase

15 Thn 13 9,28%

16 Thn 99 70,71%

17 Thn 26 18,57

18 Thn 2 0,014%

Total 140

Jenis Sekolah Jenis Kelamin Jumlah Prosentase

Homogen Perempuan 35 25 % 50 %

Laki-laki 35 25 %

Heterogen Perempuan 35 25 % 50 %

Laki-laki 35 25 %

Jumlah 70 100 %

C. Deskripsi Data Penelitian

Deskripsi data penelitian berisi mean teoritis dan mean emipis yang dimiliki oleh tiap kelompok.


(61)

43

Tabel 3

Deskripsi Data Penelitian

Variable Skor Empiris Skor Teoritis

Xmin Xmax Mean SD Xmi n

Xmax Mean

Remaja di sekolah homogen

0 36 5,74 8,221 0 36 18

Remaja di sekolah heterogen

0 36 13,03 12,107 0 36 18

Dilihat dari skala perilaku seksual, didapatkan hasil dari mean teoritis sebesar (18) melalui cara menghitung secara manual. Pada remaja di sekolah homogen diperoleh skor mean emipris (5,74) lebih kecil daripada skor mean teoritis (18) hal ini menandakan bahwa perilaku seksual remaja laki-laki di sekolah heterogen cenderung rendah. Sedangkan pada remaja di sekolah heterogen diperoleh skor mean emipris (13,03) lebih kecil daripada skor mean teoritis (18). Dilihat dari totalnya terlihat bahwa mean empiris < mean teoritis, 9,39 < 18. Hal itu berarti rata-rata subjek penelitian, perilaku seksualnya rendah.


(62)

D. Analisis Data Penelitian

1. Uji Asumsi

Sebelum melakukan uji t maka terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas untuk dapat melakukan uji t.

a. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk melihat apakah sebaran data mengikuti kurva normal atau tidak. Uji normalitas diperoleh dengan menggunakan teknik perhitungan Kolmogorov-Smirnov

dengan bantuan program SPSS versi 16.0, Jika nilai p lebih besar daripada 0,05 maka data yang diperoleh memiliki sebaran yang normal.

Tabel 4

Uji Normalitas Perilaku Seksual SMA Homogen, One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

SMA Homogen Kolmogorov-Smirnov Z 2,406

Asymp. Sig. 0,000

Berdasarkan tabel 4 tersebut, sebaran data penelitian tergolong tidak normal karena hasil uji normalitas pada nilai p perilaku seksual remaja di sekolah homogen = 0,000 atau lebih kecil dari 0,05.


(63)

45

Tabel 5

Uji Normalitas Perilaku Seksual SMA Heterogen, One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

SMA Heterogen Kolmogorov-Smirnov Z 2,025

Asymp. Sig. 0,001

Berdasarkan tabel 5 tersebut, sebaran data penelitian tergolong tdak normal karena hasil uji normalitas pada nilai p perilaku seksual remaja di sekolah heterogen = 0,001 atau lebih kecil dari 0,05

Terlihat data tersebut tidak normal. Uji normalitas dengan data yang normal merupakan syarat untuk dapat melakukan uji t maka perlu dilakukan penghitungan menggunakan

nonparametric test yaitu dengan Mann-Whitney’s U (Sufren & Nathanael).

b. Uji Homogenitas

Pengujian ini menggunakan Levene’s Test for Equality of

Variances dalam SPSS versi 16. Uji homogenitas berfungsi untuk melihat apakah varian ada kesamaan varian dari dua populasi yang diuji. Jika p lebih besar dari 0,05 maka kedua varian sama dan sebaliknya jika p lebih kecil dari 0,05 maka memiliki varian berbeda. Dapat dilihat setelah melakukan uji homogenitas hasilnya adalah sebagai berikut :


(64)

Tabel 6

Uji Homogenitas di Sekolah Homogen dan Heterogen, Levene’s Test for Equality of Variances

Remaja di Sekolah Homogen dan

Heterogen

Levene’s Test for Equality of Variances

0,000

Berdasarkan tabel 7 tersebut,varian pada data 2 kelompok tergolong tidak sama atau berbeda karena hasil uji homogenitas pada nilai p remaja di Sekolah Heterogen dan Homogen = 0,000 atau lebih kecil dari 0,05

2. Uji Hipotesis

1. Nonparametric test, Mann-Whitney’s U

Analisis data untuk uji beda menggunakan Nonparametric test, Mann-Whitney’s Udari SPSS versi 16. Syarat untuk dilakukan uji Independent Sample T-Test adalah apabila populasi data sama dan sebaran data berdistribusi normal namun karena data tidak normal maka digunakanlah Nonparametric test, Mann-Whitney’s U.

Dasar pengambilan keputusan Mann-Whitney’s U ialah jika p > 0,05 maka tidak ada perbedaan pada kedua kelompok. Sebaliknya jika p < 0,05 ada perbedaan pada kedua kelompok.

Sebelumnya uji homogenitas juga telah dilakukan. Setelah melakukan uji homogenitas untuk melihat persamaan varian ternyata hasilnya tidak homogen karena p = 0,000. Kelompok banding tersebut kemudian dibandingkan menggunakan Equal Variance Not


(65)

47

Assumed (Santoso, 2010). Terlihat bahwa t hitung sebesar 4,179 dengan probabilitas 0,000. Untuk uji 2 sisi, probabilitas menjadi 0,001/2 = 0,0000 < 0,025 maka H0 ditolak atau rata-rata perilaku

seksual remaja di sekolah homogen benar-benar berbeda dengan rata-rata perilaku seksual remaja di sekolah heterogen. Dilihat dari mean masing-masing kelompok, remaja laki-laki di sekolah heterogen memiliki nilai mean yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa di sekolah homogen yaitu 13,03 : 5,74.

Tabel 7

Mann-Whitney’s U Remaja di Sekolah Homogen dan

Heterogen

Remaja di Sekolah Homogen dan

Heterogen

Asymp. Sig. 0,000

Berdasarkan tabel 8 tersebut,terlihat bahwa p= 0,000 atau lebih kecil dari 0,05 maka ada perbedaan pada perilaku seksual remaja di sekolah homogen dan heterogen

E.Pembahasan.

Pada mean teoritis dan mean empiris dapat dilihat bahwa masing-masing kelompok memiliki mean empiris memiliki skor yang lebih rendah dibandingkan dengan mean teoritis yang berarti masing-masing kelompok memiliki perilaku seksual yang cenderung rendah.


(66)

Mean total untuk semua subjek ialah sebesar 9,39 yang berarti dari keseluruhan subjek, mereka rata-rata pernah melakukan perilaku seksual sampai pada tahap Kissing dan Necking.

Rendahnya perilaku seksual pada masing-masing kelompok dapat disebabkan karena kebanyakan remaja masih tinggal bersama dengan orang tua kandung yang pasti memberikan batasan-batasan tentang perilaku seksual anak mereka. Tinggal bersama orang tua dalam satu rumah terbukti dapat mencegah perilaku seksual remaja (situmorang, 2003; Day dalam Banner, 1993). Kemungkinan yang lain ialah pemberian pendidikan seksualitas di sekolah dapat memperkecil kemungkinan remaja melakukan perilaku seksual yang dilakukan secara bebas (Creagh, 2004).

Setelah dilakukan pengujian menggunakan Mann-Whitney’s U, pada remaja di sekolah homogen dengan remaja di sekolah heterogen. Didapatkan signifikasi 0,000 < 0,05 dengan mean empiris sebesar 13,03 dan 5,74. Hal ini menandakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada perilaku seksual remaja di sekolah heterogen dengan remaja di sekolah homogen. Terlihat bahwa perilaku seksual remaja di sekolah heterogen lebih tinggi dibandingkan remaja di sekolah homogen. Masa remaja merupakan masa dimana seseorang mengalami pubertas dimana baik laki-laki dan perempuan mulai memiliki hasrat seksual dalam diri mereka. (Hall dan Freud dalam Santrock, 2003; Jersild, 1963; Meddinus & Johnson, 1969; dan Seidman, 1960). Saat mereka mulai mengenyam pendidikan di sekolah menengah atas, rata-rata usia mereka berkisar 14-17


(67)

49

tahun dan jika dilihat dari perkembangan relasi, para remaja sudah mulai memiliki ketertarikan dengan lawan jenis. Banyak pula dari mereka yang mulai menjalin relasi dengan lawan jenis. Relasi yang intim dengan lawan jenis dapat memunculkan hasrat seksual. Hasrat seksual tersebut kemudian ingin disalurkan pada perilaku seksual dengan pasangan mereka. Hal tersebut mampu membuat remaja di sekolah heterogen memiliki perilaku seksual yang lebih tinggi dikarenakan lebih banyak menghabiskan waktu bersama di sekolah dan hal tersebut mampu memunculkan hasrat seksual dalam diri mereka. Sedangkan untuk remaja di sekolah homogen, mereka memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk mengenal lawan jenis. Hal tersebut menyebabkan kecil kemungkinan muncul hasrat seksual pada remaja di sekolah homogen. Mereka juga lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman-teman sesama jenis yang kecil kemungkinannya untuk memiliki keinginan melakukan perilaku seksual.

Jika dilihat dari hipotesis awal yang dibuat peneliti dikatakan bahwa remaja di sekolah heterogen memiliki perilaku seksual yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja di sekolah homogen. Dari hasil penelitian terlihat bahwa perilaku seksual remaja di sekolah heterogen lebih tinggi dari remaja di sekolah homogen. Maka hipotesis awal peneliti terbukti.


(68)

41

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Setelah dilakukan pengujian menggunakan Mann-Whitney’s Uterlihat ada perbedaan perilaku seksual pada remaja di sekolah heterogen dengan remaja di sekolah homogen, dengan p = 0,000 < 0,05, di mana perilaku seksual remaja sekolah heterogen > perilaku seksual remaja sekolah homogen

2. Rata-rata subjek penelitian, perilaku seksualnya rendah karena mean empiris < mean teoritis (9,39 < 18).

B. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian yang dialami peneliti ialah subjek dalam penelitian ini adalah subjek yang sekolahnya berlatar belakang pendidikan kristiani dimana pendidikan seksualitas di sekolah kristiani diberikan secara lengkap pada remaja di sana sedangkan pendidikans seksualitas bagi sekolah negeri bukan merupakan hal yang wajib untuk diberikan .Namun karena hanya menggunakan subjek yang bersekolah di sekolah kristiani hasilnya belum tentu sama jika dilakukan di sekolah yang tidak berbasis sekolah kristiani seperti sekolah yang berlatar belakang pendidikan non kristiani atau di sekolah negeri.


(69)

51

C. Saran

1. Bagi Sekolah

Sekolah diharapkan memberikan informasi atau pengetahuan mengenai secara jelas. Adanya pemberian informasi tentang bahaya serta dampak dari perilaku seksual yang dilakukan secara bebas pastilah dapat menambah wawasan para murid serta membuat mereka mampu mempertimbangkan hal tersebut dengan lebih baik. Membuat acara seperti pendalaman iman yang khusus membahas tentang seksualitas pada murid juga mampu memberikan wawasan pada mereka. Hal tersebut juga diharapkan mampu menghubungkan agama dengan seksualitas serta memberi pemahaman mengenai perilaku seksual yang bertanggung jawab dan yang diperbolehkan oleh agama.

2. Bagi Orang Tua

Saran bagi para orang tua ialah, sebaiknya para orang tua dapat memberikan pengetahuan tentang seksualitas pada anak-anak mereka. Mereka juga dapat memberi tahu dampak-dampak yang ada dari perilaku seksual yang dilakukan secara bebas. Mereka juga hendaknya membekali anak-anak mereka dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat dan juga hal-hal yang baik dan buruk menurut agama yang mereka yakini.


(70)

3. Bagi Peneliti Berikutnya

Saran yang peneliti ingin berikan bagi peneliti yang ingin meneliti dengan tema dan topik yang sama selanjutnya, hendaknya melakukan penelitian dengan subjek yang bukan dari siswa sekolah swasta Kristiani seperti sekolah dengan latar belakang agama non Kristiani atau di sekolah negeri.


(71)

41

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, Syaifuddin. (2005). Dasar-Dasar Psikometri, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Azwar, Syaifuddin. (2009). Reliabilitas dan Validitas, Edisi Ketiga, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Azwar, Syaifuddin. (2011). Penyusunan Skala Psikologi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Brannon, Linda. (1993). Psychological Perspectives, United State of America : A Simon & Schuster Company.

Cornell, J., Felsher, B., Kropp, R., Tschann, J. (2004), Oral Versus Vaginal Sex Among Adolescents: Perceptions, Attitudes, and Behavior, Department of Pediatrics, University of California, San Francisco, California.

Edward, Allen (1957). Techniques of Attitude Scale Constraction, New York : Appleton-Century-Crofis, inc.

Hadi, Sutrisno. (2004). Metodologi Research, Yogyakarta : ANDI

Hurlock, Elizabeth. (1959). Series in Psychology : Developmental Psychology, second edition, Mc Graw Hill, inc.

Hurlock, Elizabeth. (1967). Adolescense,New York : Mc Graw Hill, inc.

Hurlock, Elizabeth. (1980). Psikologi Perkembangan ,New York : Mc Graw Hill, inc & Erlangga.

Impett, E., Tollman, D.(2006). Late Adolescent Girl’s Sexual Experiences and

Sexual Satistfaction. Journal Of Adolescent Research, Vol.21 No. 6, November 2006 628-646 Sage Publication.

Jersild, Arthur. (1963). The Psychology of Adolesence,Second Edition, New York : The Macmillan Company.

Kimmel, D., Weiner, I. (1985). Adolescence a Developmental Transition, London : Lawrence Erlbaum Associates.

Latifah, Melly.(2008) Perkembangan Kognitif Remaja.

http://luluu.student.umm.ac.id/2010/07/15/perkembangan-kognitif-remaja/ Lavine, Daniel. (1964). Coeducation – a Contributing Factor in miseducation of


(72)

Masters, W., Johnson,V., Kolodny, R. (1982). Human Sexuality. Boston and Toronto : Little Brown And Company.

Mappiare, Andi. (1982). Psikologi Remaja, Surabaya : Usaha Nasional.

Meddinus & Johnson. (1969). Child and Adolescent Psychology Behaviour and Development, United State of America : John Wiley & Sons, inc.

Milles, Herbert. (1971). Sexual Understanding Before Marriage, Michigan : Zondervan Pubhlising House.

Mutiara, W., Komariah, M., Karwati. Gambaran Perilaku Seksual Dengan Orientasi Heteroseksual Mahasiswa Kos di Kecamatan Jatinangor-Sumedang. Unpad

Naryanti, Victoria. (2001). Hubungan Perilaku Seksual Dengan Pendidikan Orang Tua dan Adanya Teman yang Telah Melakukan Hubungan Seksual Pada Remaja. Skripsi.

Nugrahawati, Eni., Qodariah, Siti. (2011). Profil Teman Sebaya, Religiusitas dan Perilaku Seksual Pranikah Pada Mahasiswa. Prosiding SnaPP2011: Sosial, Ekonomi, Humaniora .

Papalia, D., Olds, S., Feltman, R. (2004). Human Development, New York : Mc Graw Hill, inc.

Primasari, I. (2004). Hubungan Antara Kontrol Diri Dengan Perilaku Seksual Remaa. Skripsi.

Prinstein, Meade & Cohen. (2002). Adolescent Oral Sex, Peer Popularity and Perceptions of Best Friend’s Sexual Behaviour.

Priyatno, D. (2010). 5 Jam Belajar Olah Data Dengan SPSS 17. Yogyakarta : Penerbit ANDI.

Rathus, Navid & Fitcher-R. (2008). Human Sexuality In a World of Diversity, United State of America : PEARSON

Santoso, Agung. (2010). Statistik Untuk Psikologi, Dari Blok Menjadi Buku, Yogyakarta : Universitas Sanata Dharma.

Santoso, Singgih. (2010). Mastering SPSS 18. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.


(73)

55

Santrock. (2007). Remaja, Jakarta : Erlangga

Sarwono, (1981). Pergeseran Norma Perilaku Seksual Kaum Remaja. Jakarta : CV. Rajawali.

Sarwono. (1989). Psikologi Remaja. Jakarta : Rajawali Pers

Schofield. (1967). The Sexual Behaviour of Young People, Great Britain : Haucer Press.

Seidman. (1981). The Adolescent of Reading, New York : Holt, Rinehart and Winston, Inc. Printed in United State of America.

Situmorang, Agustina. (2003). Adolescent Reproductive Health In Indonesia. Sustaining Technical Achievements in Reproductive Health.

Soejoeti, Sunanti. (2001). Perilaku Seks Remaja dan Permasalahannya. Media Litbang Kesehatan Volume XI Nomor 1 Tahun 2001.

Stone, J., Church. (1956).Childhood and Adolescense. New York :

Sudaryanti, Ni. (2011). Perbedaan Body Image Antara Remaja Putri di Sekolah Homogen Dengan Sekolah Heterogen. Skripsi yang Diterbitkan Oleh Univeritas Sanata Dharma.

Sufren & Natanael, Y. (2013). Mahir Menggunakan SPSS Secara Otodidak. Jakarta : PT Elex Media Komputindo.

Suryoputro, A., Ford, N. & Shaluliyah, Z. (2006). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Remaja di Jawa Tengah : Implikasinya Terhadap Kebijakan dan Layanan Kesehatan Seksual dan Repproduksi. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 4/ No.2/ Agustus 2009.

Suwarni, Linda. (2009). Monitoring Parental dan Perilaku Teman Sebaya Terhadap Perilaku Sex Remaja di Kota Pontianak.

Tim Penyusunan Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (1996). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Perum Balai Pustaka.

Trisminuratri, K. (2006) Intensi Perilaku Seksual Pelajar SMA Ditinjau Dari Pendidikan Seksualitas Dalam Keluarga dan Jenis Kelamin. Skripsi

Welling, K., Nanchahal, K., Macdowall, w., dkk (2001). Sexual Behaviour in Britain : Early Heterosexual Experience. Sexual, Health and Lifestyle. The Lancet vol 358 December 1, 2001.


(74)

Yates, Shierly. (2004). Aspirations, Progress and Perceptions of Boys From Single School Following the Changeover to Education, Intenasional Education Journal vol 4 no 4, 2004


(75)

57


(76)

LAMPIRAN 1


(77)

(78)

LAMPIRAN 2

Surat Keterangan telah Melakukan Penelitian di SMA

Stella Duce 1 Yogyakarta


(79)

(80)

LAMPIRAN 3

Surat Keterangan telah Melakukan Penelitian di SMA

Kolose De Britto Yogyakarta


(81)

(82)

LAMPIRAN 4

Surat Keterangan telah Melakukan Penelitian di SMA

Bopkri 1 Yogyakarta


(83)

(84)

LAMPIRAN 5

Skala Perilaku Seksual


(1)

LAMPIRAN 9

Uji Homogenitas dan Uji Beda

Independent Sample

T-Test

pada Remaja di Sekolah Homogen dan


(2)

Independent Samples Test

Levene's Test for

Equality of Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df

Sig. (2-tailed) Mean Differe nce Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper semuakel Equal

variances assumed

17.045 .000 4.17

9 138 .000 7.286 1.743 3.838 10.733 Equal

variances not

assumed 4.17

9 121.7


(3)

LAMPIRAN 10

Mann-Whitney U

Remaja di Sekolah Homogen dan


(4)

Total 139

Test Statisticsa

PS Mann-Whitney U 1.324E3 Wilcoxon W 3.809E3

Z -4.651

Asymp. Sig. (2-tailed) .000 a. Grouping Variable: kel


(5)

LAMPIRAN 11


(6)

PS * KEL 140 100.0% 0 .0% 140 100.0%

Report

PS

KEL Mean N Std. Deviation HOMOGEN 5.74 70 8.221 HETEROGEN 13.03 70 12.049 Total 9.39 140 10.908